tag:blogger.com,1999:blog-72072486363603091452024-03-13T11:05:17.428-07:00Blog Cerita SilatkuSOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comBlogger114125tag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-4515789043343599212011-10-22T22:11:00.000-07:002011-12-10T02:52:59.217-08:00SERULING KUMALA (8)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKgrWMB2oEQaYW6LUjUZdO0tyH9CJHdWOdg_n6J4koTjrbXILUV50W1cdb-ejH_3i0WI5esXfwTgNsqLjSALRZTnuVnT5GNK1P9U1gaKPcx_B1DeXbTSEoAJYSVXXZQ0IIsVVJN8p32g/s1600/Seruling+Kumala.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 152px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKgrWMB2oEQaYW6LUjUZdO0tyH9CJHdWOdg_n6J4koTjrbXILUV50W1cdb-ejH_3i0WI5esXfwTgNsqLjSALRZTnuVnT5GNK1P9U1gaKPcx_B1DeXbTSEoAJYSVXXZQ0IIsVVJN8p32g/s200/Seruling+Kumala.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5666552114900411090" /></a><div><b>Karya Chin Yung</b></div><div><b>Jilid 08</b></div><div><br /></div><div>LU-TONG Kong-cu yang ditinggal begitu saja oleh Go-tong Sin-kho mana mau</div><div>mengerti? Dengan cepat ia lantas memburu. Tetapi ketika ia melihat keadaannya</div><div>Bee Tie ia merasa kuatir juga, maka ia lalu menghampiri anak muda ini untuk</div><div>memberikan bantuannya.</div><div>Dengan adanya bantuan Lu-tong Kong-cu sebentar saja lalu terdengar suara</div><div>jeritan beruntun dari mulutnya Hoay-yang Kong-cu dan Tho-hoa Kong-cu yang</div><div>kedua-duanya terkena sasaran pedangnya Bee Tie.</div><div>Empat orang tua picak itu juga satu demi satu ikhirnya dapat dirobohkan oleh</div><div>Bee Tie bersama Lu-tong Kong-cu.</div><div>Setelah keadaan tidak terlalu mendesak. Bee Tie lalu menyerahkan Siauw Beng</div><div>Eng yang sudah terluka parah dan tidak sadarkan diri kepada Lu-tong Kong-cu Ie</div><div>Ceng Kun. “Saudara, tolonglah kau bawa dia ini ke kuil Pek bee-sie diluar kota</div><div>Lok-yang dan aku akan segera menyusul. Lekaslah sedikit,” katanya ketika ia</div><div>menyerahkan Siauw Beng Eng kepada Kong-cu dari Lu-tong itu.</div><div>Ie Ceng Kun yang mendengar itu menjadi tertegun, ia lantas menanya.</div><div>“Saudara Bee, kau sendiri disini mau tunggu apa? Mari kita berangkat samasama."</div><div>“Lekaslah kau pergi dulu. Tentang aku, biarlah aku masih dapat melawan</div><div>mereka. Nanti setelah sampai disana tentu akan kuceritakan kepadamu semua</div><div>apa yang kau ingin ketahui.”</div><div>Ie Ceng Kun yang melihat keadaan sudah mendesak demikian rupa, tanpa</div><div>berkata-kata lagi ia lalu ambil oper tubuhnya nona cantik itu. kemudian pergi</div><div>meninggalkan perkampungan Tong-cu San-chung dan orang-orang yang sedang</div><div>bertempur sengit didalamnya.</div><div>Setelah tak ada beban lagi, barulah Bee Tie merata hatinya lega. Tetapi, untuk</div><div>dapat membinasakan Lee Thian Kauw serta Go-tong Sin-kho. rasanya bukanlah</div><div>pekerjaan mudah. Maka setelah menyerang Go-tong Sin-kho beberapa jurus, ia</div><div>lantas meneriaki kawan-kawannya yang lain.</div><div>"Kakek Pendek, Jie Sianseng mari kita tinggalkan mereka!”</div><div>Disebelah sana, Jie Sianseng berbalik sudah mulai terdesak oleh seranganserangan</div><div>Lee Thian Kauw yang mematikan, maka Bee Tie segera maju ketempat</div><div>mereka bertempur dan membantu orang tua ini sambil berteriak kearahnya.</div><div>"Jie Sianseng. lekas kita tinggalkan mereka!"</div><div>Setelah berkata, ia lalu menyerang Lee Thian Kauw secara hebat dan lantas pergi</div><div>lebih dahulu meninggalkan Tong-tu San-chung. Perbuatannya itu segera diikuti</div><div>oleh Kiauw Kio Kong dan Jie Sianseng.</div><div>Go-tong Sin-kho yang masih memikirkan keselamatan pnterinya, tidak mau</div><div>terlalu mendesak lawan-lawannya ini, maka ia hanya berdiri diam saja ketika</div><div>ketiga orang lawannya kabur.</div><div>Lee Thian Kauw yang melihat Go-tong Sin-kho diam bagai terpaku dan tidak</div><div>mau mengejar terus, maka lantas berhenti bergerak. Ia lalu menghampiri</div><div>Kekasihnya ini tanpa berkata-kata.</div><div>Bee Tie, si kakek pendek Kiauw Kiu Kong serta Jie Sianseng bertiga meski tidak</div><div>ada yang mengejarnya namun masih terus lari secepat-cepatnya.</div><div>Tiba-tiba Go-tong Sin-kho menangis menggerung-gerung sambil berteriak teriak.</div><div>“Orang, she Lee! Kau yang bikin aku sampai begini! Kaulah yang mencelakakan</div><div>aku!”</div><div>“Oh ... Kau ... kau ... Kaulah yang membikin kami ibu dan anak berpisah ... Ah!"</div><div>Sambil berteriak-teriak pedangnya juga digerakkan menyerang Lee Thian Kauw</div><div>secara bertubi-tubi.</div><div>Untunglah jago Thian-san ini mempunyai mata yang cukup celi, begitu melihat</div><div>pundak sang isteri bergerak, ia lantas berkelit, dan selanjutnya ketika dicecer</div><div>dengan serangan yang berturut-turut, ia lompat sana melesat kemari</div><div>menghindarkan serangan si janda. Tetapi sambil berlari-larian ia juga berusaha</div><div>membujuki wanita yang sudah seperti orang kalap itu, katanya.</div><div>"Hong Wie, kenapa kau salahkan aku terus terusan? Kau tenangkan dulu</div><div>pikiranmu. Pikirlah apa aku betul-betul bersalah?"</div><div>"Apa? Hmm? Siapa lagi kalau bukan karena kau! Manusia busuk!"</div><div>Lee Thian Kauw tidak dapat berkata-kata lagi. Ia bungkem seribu bahasa!</div><div>"Orang she Lee! Aku peringatkan sekali lagi padamu! Jangan kau harap nanti kau</div><div>bisa ikut aku pulang kepulauku. Sekali lagi kukatakan padamu aku tidak suka</div><div>kau ikut.”</div><div>Lee Thian Kauw tidak marah, ia memainkan bola matanya. Lalu sambil tertawa</div><div>acuh tak acuh ia berkata.</div><div>"Hong Wie, kau jangan marah marah dulu. Aku juga tahu kau tentunya sangat</div><div>menyinta anak gadismu itu .. Kau tenanglah. Aku berani jamin keselamatannya</div><div>dan aku akan berusaha mengembalikan dia kedalam pelukanmu. Kau percayalah</div><div>ucapanku. Sabarlah.</div><div>Go-tong Sin-kho dengan Wajah merah padam berkata pula.</div><div>"Antara kita sudah tidak ada hubungan lagi! Kau mau bikin apa uruslah sendiri!</div><div>Tidak ada sangkut pautnya dengan aku. kau boleh pergi kemana kau suka! Kau</div><div>boleh turuti kemauanmu sendiri. Jangan bawa-bawa aku lagi. Pergi, Pergi!"</div><div>Selelah itu, Go-tong Sin kho lalu menyimpan kembali pedangnya, kemudian</div><div>tanpa menoleh kebelakang lagi ia terus meninggalkan Lee Thian Kauw sendirian.</div><div>Melihat tingkahnya dan mendengar kata-katanya. Lee Thian Kauw agaknya juga</div><div>sudah tidak dapat menahan sabar lagi. Maka dengan memperlihatkan wajah</div><div>aslinya ia lalu menghadang dan berkata dengan suara agak keras.</div><div>"Han Hong Wie! Aku begitu baik perlakukan kau. Tapi begitukah periakuanmu</div><div>terhadapku?"</div><div>Mendengar itu, Go-tong Sin-kho yang sudah agak reda amarahnya, mulai gusar</div><div>lagi. Ia lalu menghunus pedangnya kembali, kemudian dengan tidak kalah keras</div><div>suaranya ia membentak.</div><div>"Minggir! Kalaukau tidak turut kata-kataku, jangan kau sesalkan aku, yang nanti</div><div>tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap kau! Akan kubunuh kau</div><div>disini. Pergi.”</div><div>Tetapi, heran bin ajaib, kegusarannya Lee Thian Kauw mendadak lenyap</div><div>seketika, hilang seperti gumpalan awan hitam tersapu bersih oleh sinarnya mata</div><div>hari siang. Sambil perlihatkan senyumannya yang dibuat-buat ia berkata.</div><div>"Hong Wie jangan kau bergurau lagi dengan aku. Tadi aku sudah katakan</div><div>kepadamu, aku tanggung anakmu itu akan kembali dalam pangkuanmu. Kau</div><div>dengarlah! Besok, tetapi seperti rencana semula, kita bersama sama naik keatas</div><div>kapal berpura-pura hendak kepulau Go-tong. Lalu malamnya, kita kembali lagi</div><div>kedarat secara sembunyi-sembunyi dan kita cari dimana tempat anak emasmu</div><div>itu disembunyikan. Dengan cara ini aku yakin kau berhasil mendapatkan dia</div><div>kembali. Bagaimana? Apa cukup jelas?</div><div>Go-tong Sin-kho bungkam.</div><div>Lee Thian Kauw dengan gerakannya yang amat sebel lantas mencekal lengan</div><div>kekasihnya ini dan kini Go-tong Sin-kho tidak berontak lagi. Melihat usahanya</div><div>berhasil, Lee Thian Kauw lalu menyarungkan pedang Go-tong Sin-kho kembali</div><div>kedalam serangkanya yang tergantung dipinggang sang kekasih yang kecil</div><div>langsing. Kemudian ia mengusap-usap tangannya Go-tong Sin-kho yang halus</div><div>licin, wajahnya ramai dengan senyuman, menenatap wajah kekasihnya yang</div><div>masih agak cemberut. Perlahan-lahan, dengan kepandaiannya memikat hati</div><div>kekasih wanita akhirnya ia telah berhasil membuat janda cantik ini berseri-seri</div><div>kembali.</div><div>Mari sekarang kita tengok perjalanannya Bee Tie dan Jie Sianseng bertiga</div><div>dengan Kiauw Kiu Kong si kakek pendek, yang setelah ia melarikan diri dan</div><div>mengetahui tidak ada orang yang mengejar, sampai janta barulah mereka berani</div><div>mengendurkan langkahnya.</div><div>Saat itu Kiauw Kiu Kong lalu membuka mulut memulai bicara.</div><div>"Bee Tie. sebagai seorang ketua partai besar, mana boleh kau kemana-mana</div><div>sendirian? Apalagi untuk menempuh bahaya mana boleh kau tidak berteman?</div><div>Kalau tadi sampai terjadi sesuatu apa atas dirimu, bukankah akan cuma-cuma</div><div>saja pengharapan kami orang-orang tua?”</div><div>Bee Tie mendengar itu hanya menganggukkan kepala saja ia mengakui</div><div>keadaannnya.</div><div>Kiauw Kin Kong lalu menengok kearahnya Jie Sianseng sambil menanya.</div><div>"Jie Sianseng. entah ada hubungan apa antara kau dengan Sam Ceng Totiang?"</div><div>“Sam Ceng Siansu adalah suhuku almarhum.”</div><div>Kiauw Kiu Kong angguk-anggukkan kepala.</div><div>Jie Sianseng lalu membuka matanya lebar-lebar. Agaknya ia sedang menahan</div><div>rasa gusarnya.</div><div>"Apa betul Lee Thian Kauw itu yang membunuh-bunuhi orang-orang partai kami</div><div>Oey-san pay?" tanyanya kepada si orang tua pendek.</div><div>Bee Tie mendahului si kakek pendek menjawab pertanyaan itu, katanya dengan</div><div>suara keras.</div><div>"Siapa lagi kalau bukan dia! Aku dengan mata kepala sendiri melihat dia satu</div><div>waktu pulang kedalam kamar batunya dengan badan berlepotan darah. Sudah</div><div>pasti dia baru pulang dari gunung Oey san. Jie Sianseng tentang ini tidak perlu</div><div>sangsi-sangsi lagi. Aku sebagai saksi utama."</div><div>Mukanya Jie Sianseng pucat pasi seketika. Sambil menjura menghadap kearah</div><div>gunung Oey-san pay ia berkata.</div><div>“Disini dengan saudara Kiauw dan Bee sebagai saksi aku Ie Hoa Cie bersumpah</div><div>akan membunuh si jahanam Lee Thian Kauw untuk membalaskan dendam sakit</div><div>hati suhu almarhum dan para saudara golongan Oey-san-pay kami yang</div><div>dibinasakan olehnya.”</div><div>Setelah itu ia lalu berkata pada Bee Tie.</div><div>“Engko kecil bukannya aku mau mengumpak-umpak orang, tapi dengan</div><div>sejujurnya aku katakan didalam dunia dewasa ini. tidak ada bakat sebagus kau</div><div>ini. Kau berlatih terus baik-baik supaya cepat berhasil. Aku Ie Hoa Cie sekarang</div><div>mau minta diri. Sampai bertemu dilain waktu."</div><div>Setelah memberi hormat kepada Kiauw Kiu Kong dan Bee Tie berdua, lenyapnya</div><div>Jie Sianseng Ie Hoa Cie dari hadapan mereka.</div><div>Jie Sianseng telah pergi jauh. Saat itu Bee Tie tiba-tiba teringat kembali halnya si</div><div>“Pelajar Pedang Tumpul” yang Sedang menderita luka parah, maka ia lalu</div><div>berkata pada Kiauw Kiu Kong.</div><div>"Kakek pendek, mari kita cari paman Pedang Tumpul. Bagaimana boleh kita</div><div>biarkan ia sedang terluka parah!”</div><div>Kiauw Kiu Kong mendengar itu, setelah berpikir sejenak lalu berkata.</div><div>Tentang itu, kita atur begini saja. Kita sekarang berpisahan. Soal si Pedang</div><div>Tumpul kau serahkan padaku. Kau sendiri boleh cari Lu-tong Kong-cu dengan</div><div>kekasihmu itu?</div><div>Bee Tie yang mendengar usul itu, segera menyetujui dan segera ia berangkat,</div><div>maksudnya hendak pergi ke kuil Pek-bee-sie untuk menyusul Lu-tong Kong-cu</div><div>dan Siauw Beng Eng.</div><div>Belum berjalan seberapa jauh, tiba-tiba di tengah jalan terlihat rebah terlentang</div><div>tubuhnya seseorang, agaknya orang itu sudah tidak bernapas, lekas-lekas Bee Tie</div><div>menghampiri orang tersebut. Bukan main terkejutnya ia karena orang itu bukan</div><div>lain dari pada si Pedang Tumpul sendiri, itu orang yang telah berkali-kali</div><div>membantu dan menolong ia dalam berbagai kesukaran.</div><div>Disitu, ditengah-tengah jalan besar, si Pedang Tumpul rubuh mengeletak dengan</div><div>badan mandi darah. Pada pundaknya yang terluka masih terus mengalir keluar</div><div>darah, begitu pun dan sudut bibirnya.</div><div>Bee Tie yang melihat itu merasa heran sekali ia cepat cepat membungkuk hendak</div><div>meneliti dengan lebih seksama.</div><div>“Hei! Aneh betul. Kenapa dari mulutnya juga bisa keluar darah? Sedang tadi</div><div>ketika bertempur, ia terluka dipundaknya, tentu juga mesti pundak yang</div><div>mengeluarkan darah, tapi, sekarang kenapa bisa keluar darah dari mulut? Ini</div><div>kerjaan siapa lagi.”</div><div>Ia cepat-cepat memeriksa urat nadinya. Ternyata masih berdenyut, meskipun</div><div>sangat perlahan. Hatinya agak girang juga, karena harapan untuk menolong jiwa</div><div>orang tua ini masih ada. Ia segera memberikan bantuannya dengan menyalurkan</div><div>tenaga murninya ketubuh si korban.</div><div>Tidak lana kemudian, si Pedang Tumpul sudah siuman kembali. Tiba-tiba ia</div><div>berterik-teriak tidak karuan.</div><div>“Setan Putih! Beranikau bersekongkol dengan penghianat-penghianat Hoa-sanpay?</div><div>Ini! Kau terimalah sekali lagi seranganku!”</div><div>Dan pelajar tua itu benar benar memukul, tetapi bukan si Setan Putih yang</div><div>diserang adalah Bee Tee yang dijadikan sasaran. Anak muda ini terkejut, ia</div><div>segera mengegos menghindarkan serangan tersebut.</div><div>Saat itu terdengar pula olehannya orang tua itu.</div><div>“Arak! Tambah araknya lagi. Hai Setan Putih! Tunggu dulu! Kau jangan lari dulu</div><div>... ”</div><div>"Paman sadar. Disini tidak ada si Putih Kurus. Aku Bee Tie." kata Bee Tie dengan</div><div>suara halus.</div><div>“Disini cuma ada aku, Bee Tie.” ulangnya.</div><div>”Kau? Apa betul kau. Bee Tie?”</div><div>"Ya, betul. Aku Bee Tie, bukan si Putih Kurus.</div><div>Berbareng pada saat itu di tempat agak kejauhan samar samar terdengar suara</div><div>beradunya senjata. Bee Tie yang mempunyai pendengaran sangat tajam,</div><div>mendengar juga suara itu.</div><div>“Lekas ... Lekas! ... ” demikian si Pelajar Pedang Tumpul mencoba berkata</div><div>dengan susah payah.</div><div>"Cepatan kau pergi ke sana. Disana kekasihmu sudah direbut si setan putih.</div><div>Biarpun ada Lu-tong Kong-cu yang masih terus mengejar dia, tapi aku sangsikan</div><div>... Cepat! Cepat sedikit!"</div><div>Bee Tie mendengar itu sangat terkejut, tetapi ia merasa ragu ragu, apa harus</div><div>mengejar atau mesti menolong jiwa orang lebih dulu.</div><div>"Tapi ... tapi ... kau paman ... kau rasakan badanmu sekarang bagaimana? Apa</div><div>sudah baikan?"</div><div>“Jangan pikirkan aku! Aku tidak bisa mati disini. Lekas! Cepat kau susul si setan</div><div>putih disana.”</div><div>Bee Tie yang melihat si Pelajar Pedang Tumpul masih tidak dapat bergerak,</div><div>mana dapat bergerak, mana dapat hatinya tenang? Mana mau ia meninggalkan si</div><div>Pelajar tua begitu saja! Maka ia segera memondong tubuhnya si pelajar tua itu</div><div>dibawa masuk kedalam sebuah rimba lebat terdapat ditepinya jalanan itu, lalu</div><div>diletakkau didalam semak-semak yang lebat supaya tidak bisa dicari oleh musuh</div><div>dan supaya orang tua ini dapat beristirahat dengan teuang tanpa ada orang yang</div><div>berani mengganggu.</div><div>Setelah selesai mempernahkan dirinya si “Pelajar Pedang Tumpul” yang masih</div><div>terluka, barulah Bee Tie berani meninggalkan pergi, cepat cepat ia menuju</div><div>kearah dari mana datangnya suara beradunya senjata tadi.</div><div>Tidak lama ia berlari, didepan tampak Lu-tong Kong-cu Ie Ceng Kun sedang</div><div>dikerubuti oleh enam tosu penghianat dari Hoa-san-pay.</div><div>Ketika Bee Tie datang lebih dekat, ia sangat terkejut. Dilihatnya Lu-tong Kong-cu</div><div>ini sudah keripuhan sekali melayani enam orang tosu itu.</div><div>Bee Tie yang memangnya mau menolong orang tanpa berkata-kata lagi lalu</div><div>menghunus pedang Siauw Beng Eng yang masih ada dalam tangannya, lantas</div><div>nrenyerbu masuk ketengah-tengah kalangan pertempuran.</div><div>Sebentar terdengar suara jeritan-jeritan ngeri, enam tosu penghianat itu saling</div><div>susul rubuh menggeletak ditanah. Terlepaslah Ie Ceng Kun dari kepungan</div><div>mereka.</div><div>Lu-tong Kong-cu sangat girang mengetahui datangnya bantuan dan melihat</div><div>adanya Bee Tie sendiri maka cepat-cepat ia menyambut.</div><div>“Saudara Bee. Nona Siauw dibawa lari ke sana. Cepat cepat kita kejar,” katanya</div><div>sambil menunjuk kedepan.</div><div>Bee Tie melihat ketempat yang ditunjuk dan betul saja jauh disana samar-samar</div><div>terlihat satu bayangan putih seperti sedang menggendong orang, lari dengan</div><div>cepat menuju ke atas puncak gunung Kie-ling</div><div>“Tentu itu si Putih Kurus yang membawa kabur dia kedalam batunya yang</div><div>berkepala manusia." menggerutu Bee Tie.</div><div>Lalu tanpa menghiraukan mati hidupnya enam tosu (imam) penghianat yang</div><div>saat itu sudah rubuh bergelimpangan ditanah semuanya, ia lantas menarik</div><div>tangannya Ie Ceng Kun sambil berkata.</div><div>"Mari kita kejar!"</div><div>Maka dua Kong-cu muda ini lantas mengejar kearah mana bayangan putih tadi</div><div>melarikan diri.</div><div>XI. SIAPAKAH LU-TONG KONG-CU</div><div>IE CENG KUN.</div><div>PUNCAK gunung Kie-ling sebentar saja sudah tampak didepan mata. Dua Kongcu</div><div>berlari-lari mendekati puncak gunung tersebut.</div><div>Betul saja, tak antara lama dua Kong-cu muda ini dapat menyandak bayangan</div><div>putih yang sedang mereka kejar itu yang bukan lain adalah si Putih Kurus</div><div>sendiri, itu orang yang serakah dan temaha.</div><div>Jauh jauh Bee Tie sudah berteriak-teriak.</div><div>"Hai! Setan Putih! Berhenti ... ! Lepaskan nona Siauw! Kalau kau tidak turut,</div><div>jangan salahkan kalau aku Bee Tie tidak mau perdulikan orang tua lagi! Aku tak</div><div>mau kenal kau lagi!</div><div>Si Putih Kurus tak mau menghentikan langkahnya, ia malah kabur lebih cepat</div><div>sambil tertawa terbahak-bahak ia berkata.</div><div>"Hm! Enak saja. Kecuali kalau kau mau menyerahkan itu kitab Kiu teng Cin-keng</div><div>padaku, lain orang tidak bisa menyuruh aku melepaskan dia ini. Juga jangan kau</div><div>harap seumurmu nanti bisa menemui dia lagi."</div><div>"Ngaco !" seru Bee Tie. Langkahnya lantas dipercepat.</div><div>Sebertar saja si Putih Kurus sudah melewati satu tikungan lagi.</div><div>Ie Ceng Kun dan Bee Tie yang mengejar orang kurus ini sesaat kemudian sampai</div><div>juga ditikungan itu. Tetapi sewaktu mereka sampai disitu, bukan main</div><div>terkejutnya ke dua pemuda itu, karena mereka sudah kehilangan jejaknya si</div><div>Putih Kurus yang membawa kabur Siauw Beng Eng.</div><div>Mereka celingukan ke sana kemari. Terlihatlah sebuah batu aneh yang berbeutuk</div><div>kepala manusia.</div><div>"Hmm! Hmm! ... “ terdengar dua kali suara jengekan si Putih Kurus secara tibatiba.</div><div>Bee Tie yang tajam pendengarannya, tahu bahwa suara nu keluarnya dari dalam</div><div>batu aneh berbentuk kepala manusia itu, maka ia segera mengajak Ie Ceng Kun</div><div>menuju kesitu.</div><div>Pada saat itu tiba-tiba dari atas batu aneh macam kepala manusia itu melesat,</div><div>keluar puluhan jarum jarum kecil.</div><div>Bee Tie sambil membentak keras, dengan menggunakan pedang kepunyaan</div><div>Siauw Beng Eng yang masih tergenggam dalam tangannya! menyampok jatuh</div><div>semua jarum-jarum tersebut. Kemarahannya sudah menjadi jadi, ia lalu</div><div>mengajak Ie Ceng Kun, lebih dulu ia sendiri yang lompat kebawahnya batu aneh</div><div>tersebut. Mereka berdua berputar-putaran disitu sekian lama tetapi biar</div><div>bagaimana telitinya sudah mereka mencari namun masih tidak juga dapat</div><div>menemukan tempat yang digunakan oleh si Putih Kurus sehajat jalan masuknya</div><div>disekitar batu aneh macam kepala manusia tersebut.</div><div>Bee Tie sudah hilang sabar. Ia lalu mengenjot tubuhnya, naik keatas.</div><div>“Kepala, dan baju aneh itu, tetapi juga usahanya sia-sia belaka, ia tidak bisa</div><div>mendapatkan suatu apa yang kiranya mencurigakan. Ia merasa heran, dalam</div><div>hatinya diam-diam berpikir. Eh! Kemaua Si Setan Kurus itu? Dan dari sebelah</div><div>mana dia masuk kedalam tadi? Aneh, bagaimana dia bisa hilang.</div><div>Ie Ceng Kun yang melihat urusan sudah menjadi demikian rupa, lalu menarik</div><div>napas dalam-dalam kemudian berkata.</div><div>"Saudara Bee. maafkan aku yang telah mengakibatkan terjadinya semua kejadian</div><div>ini.”</div><div>Bee Tie mengawasi sahabat barunya ini sesaat, lalu berkata.</div><div>"saudara janganlahkan bersusah hati. Ini bukan melulu kesalahanmu, aku juga</div><div>turut bersalah. Mereka itu memang telah lama merencanakan penculikan ini.</div><div>Mana kita dapat menjaga sesuatu sedang kita telah masih belum bersiap-siap?</div><div>Lagi pula tadi karena terganggu oleh pertempuran kita tidak bisa jalan bersamasama</div><div>satu orang dua tangan mana bisa melawan begitu banyak orang-orang.</div><div>Tapi kalau kita ingat lagi Si Setan Kurus itu yang sudah kenamaan yang meski</div><div>sudah menyerang kau, tetapi kau bisa terus bertahan, itu apa tidak cukup</div><div>membuat kita puas? Kau tidak usah kuatir, dia adalah puterinya Go-tong Sinkho.</div><div>Eh, ya. Siapa nama saudara yang mulia?"</div><div>"Namaku Ie Ceng Kun, aku adalah anak ketiga dari ayahku yang bernama Ie</div><div>Tong Sen. Apa saudara Bee pernah dengar nama ayah?"</div><div>Bee Tie belum lama berkecimpung dilaut dunia Kangouw, terhadap nama-nama</div><div>jago baru maupun lama belum pernah ia dengar, begitu juga nama Ie Tong Sen</div><div>dai Ie Ceng Kun ayah dan anak tidak pernah didengarnya. Maka ia lantas</div><div>menggeleng-gelengkan kepalanya atas pertanyaan sang kawan.</div><div>"Aku sebagai satu anak dusun, yang belum pernah berkelana belum tahu nama Ie</div><div>Locianpwe. Tapi dengan melihat kepandaian saudara Ie saja sudah bisa</div><div>dipastikan tentu Ie Locianpwe sendiri punya nama besar sekali dalam kalangan</div><div>Kangouw, numpang tanya, apa kedudukan ayah saudara dalam dunia rimba</div><div>persilatan.”</div><div>“Ah kenapa saudara Bee Tie terlalu merendah! Ayahku Ie Tong Sen tidak ada apa</div><div>apanya yang bisa diagungkan. Ayah cuma seorang pengemis sekalipun jadi ketua</div><div>juga tetap namanya pengemis. Orang orang dunia Kang ouw menjuluki ayah.</div><div>Naga Jari Sembilan. Begitu juga Toako dan Jieko keduanya sama dengan aku</div><div>adalah orang-orang partai pengemis Jieko menjabat pengurus Kay-pang Jabatan</div><div>Toako sama dengan. Jieko cuma kalau Toako berkuasa di daerah Utara. Jieko</div><div>disebelah Selatan."</div><div>Bee Tie yang mendengar keterangan tersebut diam-diam dalam hatinya berkata.</div><div>“Oh! Tidak tahunya keluarga Ie itu adalah keturunan keluarganya si pengemis.</div><div>Pantas kalau dia ini tidak begitu aksi dengan pakaian yang mewah-mewah seperti</div><div>lain-lain Kong-cu.”</div><div>Ie Ceng Kun setelah berkata tadi, lalu membuka baju luarnya. Kiranya, ia sejak</div><div>lama sudah mengenakan pakaian rangkap dua. Setelah baju luar dibuka</div><div>tampaknya pakaian yang dikenakan disebelah dalam, yaitu pakaian yang penuh</div><div>tambal seperti dipakai oleh kaum pengemis pada umumnya, tapi yang lebih</div><div>aneh, baju itu disebelah kanan dan kiri tidak sama. Dibagian kanan tampak</div><div>mesum serta kotak-kotak sedang disebelah kiri bersih sekali walau pun masih</div><div>banyak sekali tambalannya.</div><div>Bee Tie yang menyaksikannya, lantas tertawa sambil betkata.</div><div>"Dengan berpakaian begini macam, saudara sendiri tentunya menjadi pengurus</div><div>cabang Utara merangkap pengurus bagian Selatan.”</div><div>Ie Ceng Kun tidak menjawab segera, ia mengambil tanah yang lalu dipoleskan</div><div>diatas mukanya, baru kemudian menjawab.</div><div>"Saudara Bee, kau salah tebak. Jabatan cuma sebagai pengemis pengembara saja</div><div>yang mendapat tugas meneliti kelakuan setiap anak murid golongan pengemis</div><div>kami. Siapa yang berkelakuan baik dan kurang baik, aku tahu, adalah</div><div>kewajibanku untuk menyingkirkan mereka itu dari golongan Kaypang kami.”</div><div>"Kalau begitu kekuasaan saudara Ie jauh lebih tinggi diatasnya jabatan Toako</div><div>serta Jiekomu. Apa tidak cukup besar?"</div><div>"Ah! Saudara Bee sendiri, sebagai salah satu ketua partai besar, dimana semua</div><div>anak murid Hoa-san-pay tunduk dibawah perintah saudara, apa itu tidak lebih</div><div>besar lagi?" sanjung Ie Ceng Kun sambil bersenyum-seuyum.</div><div>“Saudara Ie kenapa begitu pandang tinggi diriku? Mana aku berani terima</div><div>pujaan ini?”</div><div>Agaknya Lu-tong Kong-cu Ie Ceng Kun ingat sesuatu maka lalu, ia berkata.</div><div>”Saudara Bee harap sandar tunggu disini sebentar, aku akan pergi dulu dan juga</div><div>cepat akan kembali."</div><div>"Saudara Ie mau pergi kemana?" tanya Bee Tie keheran-heranan.</div><div>"Adalah karena kelalaianku nona Siauw terculik. Juga si setan putih sudah</div><div>mengurung rapat dirinya. Kalau aku memang tidak bisa mencari jalan masuknya.</div><div>apa mesti kita tunggu terus secara ini? Aku hendak pergi kekota Lok-yang dulu</div><div>sebentar untuk mengundang kawan kawan dari Kay-pang. Aku akan suruh</div><div>mereka nanti paksa si setan putih itu keluar dati tempat sembunyinya. Biarlah</div><div>saudara Bee tunggu disini saja."</div><div>Bee Tie terkejut. Cepat-cepat ia geleng-gelengkan kepalanya.</div><div>"Aku rasa lebih baik jangan kita ganggu sekalian saudara dari Kay-pang. Nona</div><div>Siauw sebagai putri tunggalnya Go-tong Sin-kho aku rasa tidak akan mendapat</div><div>gangguan si Setan Putih itu ... Dan yang paling penting, aku ingin rahasia Kiuteng</div><div>Cin keng supaya tidak sampai tersiar diluaran karena kalau sampai teruwar</div><div>susahlah aku nanti."</div><div>“Ya, benar. Kata-kata saudara Bee betul juga. Ah! Sudahlah.”</div><div>Siapa nyana, pada waktu itu dua bayangan tampak berkelebat cepat. Bee Tie yang</div><div>melihatnya diam-diam mengeluh dalam hati Ucapan Kiu-teng Cin-keng sudah</div><div>keluar dari mulutnya, kemungkinan besar sekali kata-kata itu terdengar oleh dua</div><div>orang tersebut. Maka sambil menarik tangan Ie Ceng Kun ia berkata.</div><div>“Mari kita kejar!"</div><div>Bee Tie tahu bahwa ucapan Kiu teng Cin-keng yang keluar dari mulutnya tadi</div><div>kalau sampai tersiar didunia luar celakalah dunia Kang ouw nanti. Pasti orangorangnya</div><div>akan berebutan nanti. Maka dengan dikawani oleh Ie Ceng Kun ia lalu</div><div>terus mengejar kedua orang tersebut dengan sekuat tenaga.</div><div>Akan tetapi, karena terlambat mengejar, juga karena kepandaian lari cepatnya</div><div>dua orang tersebut sudah sangat sempurna, maka sebentar saja orang itu sudah</div><div>hilang dari depan mata mereka.</div><div>Setelah mencari-cari berputaran di sekitar tempat tersebut tanpa hasil, akhirnya</div><div>dengan apa boleh buat Bee Tie mengajak Ie Ceng Kun kembali kedalam kota Lokyang.</div><div>Ie Ceng Kun agaknya ingat sesuatu, ia lantas menanya, "Saudara Bee, bagaimana</div><div>kalau kita kembali dulu keperkampungan Tong-su Sau-chung untuk</div><div>mengabarkan kepada Go-tong Sin-kho tentang diculiknya puteri tunggalnya ini?"</div><div>Bee Tie berpikir, sejurus lamanya ia berpendapat bahwa cara atau usul itu</div><div>sebenarnya terlalu memalukan maka ia tidak menyetujui usulnya Ie Ceng Kun.</div><div>Pengemis Pengembara itu sangat menjunjung tinggi pribadi sahabat barunya!</div><div>Begitu mengetahui sang kawan tidak menyetujui usulnya, ia juga tidak</div><div>menyatakan apa-apa lagi dan begitulah mereka kembali memasuki kota Lokyang.</div><div>Didalam perjalanan menuju kekota Lok-yang, mendadak terdengar dua kali</div><div>suara Huru hara yang aneh sekali.</div><div>Ie Ceng Kun terkejut sebab ia mengenali suara itu adalah pernyataan minta</div><div>bantuan dari anak murid golongan Kay-pang sedang berada dalam berbahaya,</div><div>maka ia segera mempercepat larinya mengejar kearah dari mana datangnya</div><div>suara sambil memanggil Bee Tie.</div><div>“Saudara Bee, apa kau mau ikut aku? Aku akan menengok kawanku yang sedang</div><div>dalam keadaan bahaya. Suara itu tadi adalah suara permintaan tolong kawan</div><div>kawan dari golongan pengemis kami. Aku perlu cepat. Maafkan aku.”</div><div>Bee Tie segera menganggukkan kepala sebagai pernyataan setuju ikut serta</div><div>dengan sang kawan, ia juga lantas menyusul sahabat barunya itu.</div><div>Dua orang muda tersebut lalu menambah kecepatan lari mereka terus masuk</div><div>kedalam sebuah rimba lebar mengikuti arah dari mana datangnya suara areh</div><div>tadi. Sebentar saja mereka sudah masuk jauh kedalam. Kemudian tidak jauh</div><div>didepan mereka tampak dua tubuh manusia menggeletak. Ketika ditegasi</div><div>ternyata itu adalah orang berpakaian compang camping dan agaknya sudah lama</div><div>menghembuskan napasnya yang penghabisan. Ie Ceng Kun segera menghampiri</div><div>dan dilihatnya dua mayat tersebut kulitnya sudah pada matang biru dan</div><div>bengkak-bengkak semuanya. Sungguh menyeramkan.</div><div>Bee Tie yang menyaksikan itu tanpa sadar mengeluarkan jeritan tertahan, ia</div><div>bergidik kakinya mundur lagi beberapa langkah kebelakang, lalu dengan suara</div><div>keheran-heranan ia mennya.</div><div>"Saudara Ie, mereka itu kenapa bisa begitu?"</div><div>Ie Ceng Kun dengan napas tersengal-sengal menjawab.</div><div>"Mereka kedua-duanya terkena serangan beracun dari Kim-coa Tong ciang (ilmu</div><div>pukulan ular emas beracun dari golongan Kim-coa-bun, yang menjadi mus uh</div><div>lama golongan Kay pang kami. Tapi perkumpulan ini dalam duapuluh tahun</div><div>belakangan ini tidak pernah terdengar lagi kabar ceritanya. Heran. Kenapa hari</div><div>ini mendadak mereka bisa ada disitu dan tahu-tahu menbunuh-bunuhi orang</div><div>pengemis kami? Apa sih maksud sebetulnya."</div><div>Ie Ceng Kun berdiri menjublek dengan sikap tegang.</div><div>Bee Tie yang masih belum tahu bagaimana lihaynya orang-orang dari Kim-coabun.</div><div>Melihat kawannya bersikap setegang itu, seolah olah turut merasakan</div><div>keseraman orang-orang dari golongan itu yang tentunya sangat ganas dan</div><div>telengas dalam menggunakan racunnya itu. tanpa terasa buluromanya telah</div><div>berdiri. Tapi tak lama kemudian pikirannya sudah pulih kembali, ia berkata.</div><div>"Saudara Ie, dua saudara ini terkena racunnya masih belum lama. Tentu</div><div>pembunuhnya masih ada didekat-dekat disini, mari kita lekas kejar lagi. Kita cari</div><div>mereka lebih dulu baru nanti kita periksa lagi.”</div><div>Tapi, lagi-lagi mereka dibikin terkejut, suara empat huru-hara kembali terdengar</div><div>dari tempat yang tidak berjauhan dari tempat mereka berdiri.</div><div>Ie Ceng Kun yang kembali mendengar suara permintaan tolong itu kali ini sudah</div><div>berubah wajahnya. Rupanya ia sudah segera mengeuali suara itu siapa yang</div><div>sedang berada dalam bahaya, maka tingkah lakunyapun tak tenang. ia cepatcepat</div><div>melompat meninggalkan tempat itu dengan diikuti oleh Bee Tie.</div><div>"Celaka! Itu suara Yu Suhengku. Ia tentu dalam keadaan sangat bahaya! Mari</div><div>kita lekas ke sana. Siapa yang berani mengganggu Yu Suheng ?”</div><div>Ia berkata sambil menggerakkan kakinya, lari menuju ketempat dari mana</div><div>datangnya suara tadi.</div><div>Bee Tie juga lantas menelad perbuatau kawan-kawannya berlari-lari dibelakang</div><div>sang kawan.</div><div>Sewaktu mereka sampai ditempat itu terdengar suara seseorang yang tengah</div><div>merintih rintih menahan sakit.</div><div>Ie Ceng Kun segera menghentikan larinya lalu memanggil-manggil.</div><div>"Yu Suheng. Yu Sulteng ... ! Kau dimana?"</div><div>Sebentar mereka celingukan, tampak sesosok tubuh menggeletak ditanah. Segera</div><div>mereka menghampiri tubuh itu.</div><div>Ternyata orang di panggil Yu Suheng itu mengenakan pakaian yang sama dengan</div><div>apa yang dipakai oleh Ie Ceng Kun, maka tahulah ia sekarang, bahwa she Yu itu</div><div>tentu juga sama jabatannya dengan sahabat barunya ini, Lu-tong Kong-cu Ie</div><div>Ceng Kun yaitu sebagai pengemis pengembara.</div><div>Mukanya orang she Yu itu sudah mulai matang biru. agaknya racun sudah</div><div>menjalar luas keseluruh tubuhnya.</div><div>Bee Tie yang menyaksikan, dengan tidak terasa telah menarik napas panjang.</div><div>"Kim-coa Tok-ciang sungguh keji," katanya.</div><div>Ie Ceng Kun sudah memanggil-manggil lagi sampai beberapa kali, namun ia</div><div>masih tidak berani membalikkan tubuh yang menggeletak itu, karena tentunya</div><div>juga sudah beracun seluruhnya.</div><div>Selang tidak beberapa lama orang yang di panggil! Yu Suheng itu agaknya sudah</div><div>dapat mendengar namanya dipanggil orang, cepat membalikkan badan, lalu</div><div>dengan suara terputus-putus ia berkata.</div><div>“Dia .. dia ... Kim-coa ... Sin-lie ... ”</div><div>Bicara sampai disitu, ia sudah lidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi,</div><div>tamatlah riwayatnya.</div><div>Ie Ceng Kun yang menyaksikan ini lantas menangis, ia lalu memanggil manggil</div><div>lagi nama suhengnya itu dengan suara menyedihkan sekali.</div><div>"Suheng ... Suheng ... Ah! Suheng Sutemu inilah yang bersalah. Karena Sutee kau</div><div>sampai mengalami nasib begini, Oh! Kenapa aku mengajak kau ... cunna untuk</div><div>kau menonton keramaian di Tong-tu-san-chung ...? Ah! Tidak nyana kau sampai</div><div>menemui ajalmu disini. Bagaimana nanti aku ada muka pulang menemui ayah!</div><div>Oh. suheng. suheng! Kenapa begini malang nasib mu?"</div><div>Lalu dengan menoleh kearahnya Bee Tie ia meneruskan berkata.</div><div>“Saudara Bee musuh besar golongan Kaypay kami Kim-coa-bun telah muncul</div><div>kembali. Aku harus segera kembali kedaerah Lu-tong untuk memberi laporan</div><div>mengenai hal ini kepada ayah. Kim-coa Siaa lie itu sifatnya kejam telengas. Aku</div><div>rasa kecuali ayah sendiri Yang lain bukan tandingannya perempuan jahat itu."</div><div>Bee Tie angguk anggukkan kepala.</div><div>Ie Ceng Kun melanjutkan pula kata-katanya.</div><div>"Aku merasa sangat bersimpati terhadap saudara," sesaat ia barhenti, lalu</div><div>meneruskan. “Setelah perpisahan kita kali ini, masih ada dua urusan yang belum</div><div>bisa kubereskan sendiri. Sudikah kiranya kalau saudara Bee membuat sedikit</div><div>tempomu tolong wakili aku membereskan urusanku ini."</div><div>Sambil angguk-anggukan kepala Bee Tie berkata.</div><div>“Saudara Ie, legakanlah hatimu. Aku bersedia membereskan semua urusanmu.</div><div>Kau katakanlah segera.”</div><div>Ie Ceng Kun agaknya merasa puas dengan jawaban kawan ini, maka ia sambil</div><div>menunjuk mayat suhengnya berkata pula.</div><div>“Setelah aku pergi sukakah kau tolong kuburkan jenasah Yu Yu Suheng ini?"</div><div>Kembali Bee Tie menganggukan kepala.</div><div>"Tapi hendaklah saudara Bee jangan sampai menyentuh tubuhnya, karena</div><div>seluruh tubuhnya sekarang sudah beracun ... Dan yang kedua tolonglah saudara</div><div>kalau bisa lebih cepat, memberitahukan kepada sekalian saudara Kay-pang kami</div><div>yang berada di dekat dekat kota ini supaya mereka bisa menyingkirkan diri jauh</div><div>jauh dan Kim-coa Sin-Lei agar jangan sampai mereka nanti tersiksa seperti yang</div><div>sudah sudah. Lalu tolonglah saudara katakan juga pada mereka supaya mereka</div><div>ikuti terus dirinya Kim-coa Sin-lie dari jauh dan kalau bisa suruh mereka beri</div><div>laporan kepada pemimpin mereka disini."</div><div>Sehabis berkata, Ie Ceng Kun lalu mengeluarkan sesuatu benda dari dalam</div><div>sakunya dan kemudian berkata pula.</div><div>“Ini, adalah tanda perintah tertinggi dari perkumpulan kami. Namanya “Kiu-cie</div><div>Leng-pie. Siapa saja yang melihat benda ini, baik yang di Utara maupun</div><div>disebelah Selatan, asal semua adalah orang-orang Kay-pang kami, pasti akan</div><div>tunduk terhadap perintah yang di berikan oleh pembawanya. Tidak nanti mereka</div><div>berani membantah perintah pembawa Kin cie Leng-pie. Sekarang benda ini aku</div><div>percayakan kepada saudara pakai bilamana perlu. Begini saja kita tetapkan, aku</div><div>harus cepat-cepat kembali ke Lu-tong untuk memberi laporan mengenai</div><div>peristiwa yang terjadi disini. Sampai bertemu pula dilain waktu.”</div><div>Sebentar saja lenyaplah si pengemis pengembara Ie Ceng Kun dari hadapan Bee</div><div>Tie.</div><div>Setelah mengawasi Kong-cu ini berlalu sampai jauh, barulah Bee Tie mulai</div><div>bekerja, menanam jenasahnya orang yang dipinggil Yu Suheng oleh kawannya</div><div>Lu-tong Kong-cu itu. baru setelah itu lalu metgubur pula dua orang pengemis</div><div>lain yang telah diketemukan mati sebelum ada tanda permintaan tolong dari Yu</div><div>Suheng.</div><div>Setelah selesai dengan pekerjaannya cepat-cepat ia berlalu dari dalam rimba itu.</div><div>Ia terkenang pada si Pelajar Pedang Tumpul yang saat itu entah bagaimana</div><div>nasibnya, maka ia segera mempercepat langkahnya dengan maksudahendak</div><div>mencari pelajar tua tersebut karena ia merasa sangat berhutang budi kepada</div><div>orang tua ini yang terus-terusan membelanya dalam segala hal juga yang</div><div>selamanya menolong dirinya setiap saat ketika sedang berada dalam keadaan</div><div>sangat bahaya.</div><div>Begituan kakinya terus bergerak, lari secepatnya ketempat dimana ia pernah</div><div>meletakan tubuh si pelajar tua tersebut. Tidak lama, sampailah ia disitu. Tetapi,</div><div>sewaktunya Bee Tie sampai disitu, ia dibikin kesima. Ia telah kehilangan jejaknya</div><div>si orang tua. Ternyata si Pelajar Pedang Tumpul telah hilang tanpa bekas.</div><div>Dalam keadaan bingungnya itu, tiba-tiba dari tempat yang agak jauh terlihat</div><div>beberapa layar yang sedang dibawa laju oleh angin, diatasnya terlihat bendera</div><div>yang bertulisan. TONG TU SAK CHUNG dengan huruf emas yang besar besar.</div><div>Melihat ini, Bee Tie menjadi bingung sendiri dan dalam hati diam-diam berpikir.</div><div>“Go-ting Sin-kho betul betul keterlaluan. Anaknya sendiri begitu saja</div><div>ditinggalkan. Apa sama sekali tidak ada perasaan dalam hatinya terhadap anak</div><div>gadisnya?"</div><div>Melihat bendera yang bertuliskan Tong-tu San-chung itu, ia terus ingat Go-tong</div><div>Sin-kho dan mengingat janda ini, membuat pikirannya melayang-layang ke</div><div>arahnya Lee Thian Kauw. Kalau ada Go-tong Sin-kho diperahu itu, pasti Lee</div><div>Thian Kauw tidak akan tidak turut dengan dia, Tentu juga orang she Lee ini</div><div>berada didalam perahu itu.</div><div>Mengingat sampai disini, ia lalu cepat-cepat mengejar mendekati perahu perahu</div><div>tersebut sambil berteriak-teriak sepanjang jalan.</div><div>“Lee Thian Kauw! Bangsat Lee Thian Kauw. Jangan lupakan perjanjian kita nanti</div><div>digunung Hoan san tahun depan!"</div><div>Demikian ia berterink-ieriak beberapa kali namun tetap tidak ada orang yang</div><div>menyahut, perahu sudah berlayar jauh.</div><div>Saat itu Bee Tie merasakan perutnya keroncongan minta diisi, maka cepat-cepat</div><div>ia lalu berbalik kembali kedalam kota Lok-yang maksudnya tentu hendak</div><div>menangsal perutnya yang sudah sangat lapar.</div><div>Sesampainya Bee Tie disana, sambil menahan rasa laparnya ia berpikir.</div><div>Ah! Apa lebih baik aku bereskan dulu urusannya Ie Ceng Kun, soal mengisi perut</div><div>bisa belakangan.</div><div>Karena memikir begini, maka ia lantas mencari-cari pengemis disepanjang jalan</div><div>yang dilaluinya, ia hendak membuktikan kebenarannya tanda perintah Kiu cie</div><div>Leng-pIe-yang di serahkan padanya oleh Ie Ceng Kun.</div><div>Ia sudah berputar-pntaran sekian lama di dalam kota, namun tidak dapat juga</div><div>menemukan salah satu diantara orang-orang golongan Kay-pang itu, maka ia</div><div>merasa sangat heran.</div><div>Dalam penasarannya, ia terus berjalan tanpa arah. Akhirnya sampailah pemuda</div><div>ini di perbatasan kota. dari depannya mendadak terlihat mendatangi</div><div>serombongan pengemis yang berjumlah lebih kurang tiga puluh orang. Yang</div><div>berjalan paling depan adalah seorang pengemis yang berperawakan tinggi besar.</div><div>Rupanya orang ini adalah yang menjadi pemimpin rombongan pengemis</div><div>tersebut.</div><div>“Hmm. Tidak heran kalau dari setadi aku tidak bisa ketemukan mereka. Tidak</div><div>tahunya mereka semua sedang berkumpul disini. Eh! Tapi apa yang</div><div>dikerjakannya disini?" demikian pikir Bee Tie dalam hatinya, ia merasa sangat</div><div>heran.</div><div>Rombongan pengemis itu berdiri didepan sebuah rumah makan bertingkat.</div><div>Dengan suara ramai mereka berteriak-teriak.</div><div>Bee Tie yang sedianya begitu bertemu dengan salah seorang pengemis menguji</div><div>tanda perintah tertinggi Kiu-cie Leng pie, melihat itu. tersurung oleh rasa ingin</div><div>tahu lantas urung menuruti kata hatinya. Ia ingin sekali mengetahui apa yang</div><div>akan diperbuat oleh mereka, maka lantas menghampiri mereka sampai dekat</div><div>benar, lalu berjalan mengikuti dibarisan paling belakang.</div><div>Karena pemuda ini mengenakan pakaian compang camping tidak karuan karena</div><div>sangat lamanya dipakai tanpa ganti ganti, maka dengan mengikutinya ia</div><div>dibelakang rombongan pengemis itu, tidak ada orang yang menyangka bahwa dia</div><div>ini sebetulnya adalah seorang Kong-cu yang kenamaan mereka semua hanya</div><div>menganggap bahwa pemuda ini masih termasuk salah satu dari antara mereka,</div><div>kaum pengemis.</div><div>Saat itu pengemis yang berpengawakan tinggi besar yang berjalan paling depan</div><div>tadi lantas berteriak.</div><div>"Hoan Hu Cie dari Kay-pang ingin minta sedikit pengajaran dari Kim-coa-bun</div><div>yang tersohor.”</div><div>Dengan diucapkannya perkataan ini. ketiga puluh orang dalam rombongan</div><div>pengemis tersebut pada memperhatikan sikap tegang. Mereka agaknya sedang</div><div>berjaga-jaga hendak menghadapi segala kemungkinan.</div><div>Bee Tie memandang lurus kedepan melalui kepala-kepala orang. Disana, didalam</div><div>rumah makan bertingkat tersebut, tidak dilihat barang seorang pun juga.</div><div>Pengurus rumah makannya sendiri tidak kelihatan batang hidungnya. Maka ia</div><div>merasa heran, diam-diam dalam hati ia perpikir. Jangan-jangan si pengurus</div><div>rumah makan sendiri karena ketakutan sekali lantas bersembunyi atau</div><div>melarikan diri. Kalau tidak ada tuan rumah, tentu yang lain tidak berani masuk.</div><div>Tapi mengapa mereka ini terus berteriak-teriak?</div><div>Sedeng ia berpikir ini, tiba-tiba terlihat seorang pelayan rumah makan yang</div><div>berjalan keluar sambil menanya.</div><div>"Kalian bangsa pengemis ini mau minta apa dari kami?”</div><div>Dari dalam rombongan pengemis itu, tidak ada suara menjawab.</div><div>SI pelayan yang melihat mereka tidak mau menjawab, lantas menjadi marah,</div><div>maka ia lalu membentak dengan suara keras, sikapnya sombong sekali.</div><div>”Hm ! Apa kalian tuli semua? Apa tidak kalian dengar pertanyaan Toaya-mu ini?</div><div>Sekarang kuulangi selali lagi. Apa kalian ingin disini? Kami tidak punya apa-apa.</div><div>Tuan rumah juga sedang pergi. Kalian cari di tempat lain saja? Pergi dari sini.</div><div>Lekas?"</div><div>Sambil berkata, tangannya juga dikerjakan, ia bermaksudahendak mendorong</div><div>beberapa orang pengemis yang berada dibarisan paling depan.</div><div>Tetapi sebelum ia dapat berbuat suatu apa. dengan tidak terlihat bagaimana cara</div><div>bergeraknya, tahu-tahu orang yang mengaku dirinya bernama Hoan Hu Cie itu</div><div>sudah membanting tubuh dirinya pelayan yang sombong itu.</div><div>Si pelayan dengan susah payah akhirnya dapat bangun kembali. Tapi begitu</div><div>bangun ia lantas memaki lagi.</div><div>“Kalian perampok! Apa kalian mau rampok rumah makan kami? Rampok.”</div><div>Sambil berteriak teriak ia berlari-larian seperti anak kecil, masuk kedalam untuk</div><div>tidak keluar lagi.</div><div>Kembali Hoan Hu Cie berteriak.</div><div>"Hoan Hu Cie sekalian disini sudah siap menantikan gebukan kalian orang-orang</div><div>Kim-coa-bun! Apa kalian tidak mau keluar?"</div><div>Setelah Bee Tie tahu apa maksud rombongan pengemis ini demikian sungguhsungguh</div><div>mencari orang-orang Kim-coa-bun, hatinya sudah tergerak dan</div><div>memikirkan kembali pesanannya Ie Ceng Kain yang minta padanya untuk</div><div>menggunakan Kiu cie Leng-pie supaya dengan itu ia berusaha mencegah</div><div>bentrokan yang mungkin akan terjadi antara dua musuh-musuh lama, Kim-coabun</div><div>dengan Kay-pang.</div><div>Baru saja ia hendak mengeluarkau tanda perintahnya, tiba-tiba matanya yang</div><div>tajam dapat melihat sesuatu yang tidak beres, maka ia lantas berseru.</div><div>"Celaka..! Semua menyingkir!"</div><div>Berbareng ketika suara seruannya keluar dan mulut badannya sudah melesat</div><div>jauh kedepan kesiuran angin dingin lewat disisi telinganya. Saat itu terdengar</div><div>beberapa kali suara jeritan ngeri sepuluh orang dalam rombongan pengemis</div><div>sambil menutup muka masing-masing, badannya rubuh berkelejetan di tanah.</div><div>Tidak selang berapa lama, kulit muka tangan sampai kaki mareka sudah berubah</div><div>biru tua dan bengkak-bengkak begitupun suara rintihan tidak putus putusnya</div><div>terdengar. Sungguh suatu pemandangan yang sangat mengerikan !</div><div>Hoan Hu CIe-yang tidak terkena serangan menggelap tadi, lantas berteriakteriak</div><div>lagi, "Kawan-kawan! Musuh kita menggunakan jarum beracun. Lekas</div><div>menyingkir.”</div><div>Pengemis pengemis 1ain yang tidak terkena sasaran jarum beracun, lantas</div><div>berpencaran dan mundur serabutan. Sebentar saja dipekarangan depan rumah</div><div>makan tersebut sudah sepi, hanya ada orang-orang yang terkena racun masih</div><div>merintih-rintih akan tetapi sudah tidak dapat kabur melarikan diri lagi. Yang</div><div>lain, yang tidak apa, lantas kabur tanpa memilih arah, Hoan Hu Cie sendiri</div><div>setelah memimpin rombongan mundur lalu sudah maju pula sambil berteriak</div><div>teriak.”</div><div>"Budak hina! Kalian turun kalau berani! Aku Hoan Hu Cie sendiri masih cukup</div><div>untuk menghajar kalian. Lekas menggelinding keluar."</div><div>Jawaban, tidak ada.</div><div>Hoan Hu Cie rupanya sudah kalap, ia terus naik keatas tangga loteng rumah</div><div>makan dan hendak berteriak iagi.</div><div>"Budak hi ... ”</div><div>Tapi belum habis keluar semua ucapannya mendadak tubuhnya yang tinggi besar</div><div>terjungkal dari atas tangga loteng yang tinggi, terus jatuh ketanah dan tidak</div><div>berkutik lagi, mati seketika.</div><div>Didepan pintu loteng rumah makan saat itu muncul seorang wanita muda</div><div>diiringi oleh dua anak perempuan kecil yang gerakannya gesit-gesit. Wanita</div><div>inilah yang tadi melepaskan senjata-senjata beracunnya.</div><div>Setelah membunuh Hoan Hu Cie, tanpa memperdulikan orang-orang lain ia</div><div>lantas kembali lagi kedalam dan duduk ditempatnya dengan sikap tenang luar</div><div>biasa, seolah-olah tidak pernah ada kejadian apa.</div><div>Bee Tie melihat terbunuhnya Hoan Hu Cie dengan mata kepala sendiri, tak dapat</div><div>menahan rasa gusarnya, maka ia lantas lompat ke atas loteng rumah makan</div><div>tersebut.</div><div>Anak kecil yang berdiri disebelah kanan wanita muda itu, saat itu terlihat sedang</div><div>mengayunkan tangannya, lalu dengan disertai berkelebatuya sinar kuning</div><div>keemasan tahu-tahu beberapa jarum menyambar muka dan badannya anak</div><div>muda yang sedang menghampiri mereka.</div><div>Bee Tie mengegos sedikit dari serangan jarum beracun anak kecil itu, lalu</div><div>melanjutkan pula langkah kakinya, berjalan maju dengan setindak demi</div><div>setindak. Tapi mendadak ia berjungkir balik. Dengan kepala di bawah dan kaki</div><div>diatas, dengan menggunakan tangan sebagai kaki ia terus maju mendekati</div><div>mereka.</div><div>Wanita muda itu yang menyaksikan keindahan gerakannya si pemuda, tidak</div><div>tahan untuk tidak memuji.</div><div>"Satu gerakan indah. Hei, bocah! Apa kau juga dari golongan pengemis?"</div><div>Tapi Bee Tie yang sedang marah, tidak menjawab, malah membentk wanita jahat</div><div>itu.</div><div>"Apa orang yang dipanggil Kim-coa Sin-lie itu kau ini? Eh! Wanita begini cantik</div><div>tidak tahunya hatinya kejam! Ada permusuhan apa antara kalian dengan saudara</div><div>saudara pengemis itu sampai begitu tega kau bunuh bunuhi mereka dengan</div><div>senjata racunmu yang kecil itu? Lekas jawab penanyaanku !"</div><div>Tapi wanita muda itu hanya ganda tertawa saja, kemudian berkata.</div><div>“Eh. bocah, kenapa marah padaku? Dari mana kau tahu nama julukanku itu?</div><div>Mari kemari. Mari kita minum sama-sama. Aku akan menjamu kau sampai</div><div>kenyang. Mari, jangan malu-malu.”</div><div>Ia berkata itu sambil tertawa-tawa dan lantas menyediakan tempat duduk untuk</div><div>Bee Tie dan sengaja ia menaruh kursinya tepat di sampingnya.</div><div>Meski tidak kelihatan wanita itu menggerakkan tangannya, tapi Bee Tie</div><div>merasakan ada suatu sambaran angin pukulan yang kuat mengarah jalan darah</div><div>dibadannya. Ia terkejut lalu lompat keatas sambil mengirim satu serangan</div><div>tangan kearahnya wanita jahat itu. Bee Tie karena sangat marahnya, sudah</div><div>mengeluarkan sampai delapan bagian dari kekuatan tenaganya, hingga piring</div><div>mangkuk, dan lain-lain barang yang berada diatas meja pada berantakan semua</div><div>terkena angin pukulan yang hebat.</div><div>Si wanita muda berkelit menghindarkan diri dari serangannya si pemuda itu. lalu</div><div>dengan lagu suara yang merdu sekali ia menanya.</div><div>“Siapakah nama saudara kecil? Kau sudah tahu aku disebut Kim-coa Sin-lie. tapi</div><div>kenapa kau masih berani-berani melawan aku? Sungguh besar nyalimu!"</div><div>Bee Tie tertawa dingin.</div><div>"Tidak perduli kau Kim-coa apa Gin-coa, kalau aku tidak ada urusan lainnya lagi,</div><div>aku Bee Tie pasti akan memberi hukuman yang setimpal dengan perbuatanmu."</div><div>Yang di maksud dengan Kim-coa adalah Ular emas dan-coa berarti ular perak.</div><div>Bee Tie yang sudah memikir hendak segera mengeluarkan tanda perintah Kiu cie</div><div>Leng-pie untuk diperlihatkan kepada sisanya rombongan pengemis itu yang</div><div>tidak binasa, sewaktu hendak membalikkan badannya tiba-tiba terdengar</div><div>suaranya Kim-coa Sin-lIe-yang merdu menggiurkan.</div><div>"Yoy! Berlagu benar adik kecil ini. Seumurku belum pernah aku ketemu dengan</div><div>orang yang berani berlaku begitu kurang adat didepanku. Adik kecil, kan tunggu</div><div>dulu.”</div><div>Sambil menengok dua anak perempuan kecil yang mengempit dikanan kirinya, ia</div><div>berkata lagi.</div><div>"Kim Hoa. Kim Eng, apa kalian sanggup menahan bocah itu?”</div><div>Dua anak perempuan kecil yang dipanggil Kim-Hoa dan Kim Eng itu setelah</div><div>menganggukkan kepala lantas bergerak kedua-duanya dengan cepat sudah</div><div>berada didepannya Bee Tie. Mereka hendak mencoba menahan anak muda itu.</div><div>Dari belakang masih terdengar suaranya Kim-coa Sin-lie dan berkata.</div><div>"Adik keci1, hati-hatilah kau jaga ke dua murid nakalku itu.”</div><div>Kim Hoa dan Kim Eng dengan gerak badan yang gesit dan lincah sudah lantas</div><div>menyerang dari kiri dan kanan, mengarah bagian bawah diselangkangan orang.</div><div>Mereka dengan menggunakan senjata berupa alat tulis Tionghoa yang bentuknya</div><div>masih lebih kecil lagi, menyerang gencar pemuda lawannya itu.</div><div>Bee Tie menjadi sengit juga karena dihalang-halangi majunya oleh dua bocah itu,</div><div>maka dengan tidak mengenal kasihan lagi ia lantas menggunakan ilmu</div><div>kepandaian yang di dapat dari dalam Sumur Kematian, mendesak terus dua</div><div>murid Kim-coa Sin-lie tersebut.</div><div>Sekali lagi kesiuran angin dingin lewat di pinggir badannya Bee Tie. Tahu tahu</div><div>Kim-coa Sin-lie sudah berada didepan anak muda ini dan dengan keheranheranan</div><div>ia menanya.</div><div>"Hei, bocah! Ada hubungan apa antara kau dengan Hoa-san-pay?"</div><div>Kim Hoa-san Kim Eng agaknya tidak berani melayani anak muda tangguh ini.</div><div>maka dengan menggunakan kesempatan selagi Bee Tie bicara dengan gurunya,</div><div>mereka lantas mundur berbareng dan sembunyi dibelakang badan gurunya?</div><div>Bee Tie menjadi heran, karena kepandaiannya dari Sumur Kematian buah</div><div>ciptaan guru dan ayahnya yang ia keluarkan tadi, meski benar sebagian besar</div><div>terdiri dari tipu-tipu ilmu silat Hoa-san-pay, akan tetapi mengapa Kim-coa Sinlie</div><div>segera dapat mengenalnya?</div><div>Memikir demikian ia lantas balik menanya.</div><div>”Kau sendiri pernah apa dengan partai kami? Aku adalah ketua kedua puluh</div><div>enam dari Hoa-san-pay. Lalu kau mau apa?”</div><div>Mendengar jawaban itu Kim-coa Sin-lie lantas tertawa berkakakan. Ia juga</div><div>segera berkata.</div><div>"Apa cuma kau sendiri yang tahu asal usulnya Hoa-san-pay? Apa sangkamu aku</div><div>tidak tahu Tongkat Rantai Kumala itu adalah pusaka keturunannya Hoa-sanpay?</div><div>Malah aku inilah sendiri yang dulu pernah mengantarkan tongkat pusaka</div><div>kalian itu kekelenteng Cee thian-koan digunung Hoa-san."</div><div>Bee Tie agaknya percaya sedikit keterangan wanita muda itu, ia sambil tertawa</div><div>dingin berkata.</div><div>"Tongkat Rantai Kumala memang benar adalah benda pusakanya partai kami.</div><div>Ada hubungan apa itu dengan kau? Perlu apa kau mesti antar ketempat kami?"</div><div>"Percuma saja kau menjadi ketua partaimu. Apa kau tidak tahu hubungan</div><div>diantara Hoa-san-pay kau dengan Kim-coa-bun kami?"</div><div>Setelah berkata, Kim-coa Sin-lie lalu menggerakkan tangannya. Ia maju setindak</div><div>dan memukul beruntun sampai tiga kali berturut nurut. Serangannya ini</div><div>dilancarkan dengan cepat sekali.</div><div>Bee Tie merasa kaget terheran heran karena mengenali ilmu pukulan simpanan</div><div>Hoa-san-pay yang dinamakan Sam-yang Ciang-hoat telah digunakan oleh wanita</div><div>jahat itu, maka dengan suara keras ia membentak, “Hai! Kau dapat curi dari</div><div>mana kepandaian simpanan Hoa-san pay kami Itu? Hayo. Lebih baik bau</div><div>mengaku terus terang saja."</div><div>Kim-coa Sin-lie tertawa mengejek sambil berkata.</div><div>"Hmm apa kau kira ilmu silat Hoa-san-pay mampu menundukan dunia? Apa kau</div><div>kira cuma orang Hoa-san-pay saja yang, bisa mainkan ilmu itu?"</div><div>"Meski belum mampu menguasai dunia, tapi sudah cukup untuk mengganyang</div><div>orang semacam kau ini !”</div><div>Kim-coa Sin-lie tertawa cekikan dan lantas berkata pula.</div><div>"Adik kecil, kau masih terlalu muda, untuk keluarkan kata-kata semacam itu.</div><div>Kalau kau mau coba ilmu silat golongan Kim-coa-bun kami, nih! kau sambutlah!"</div><div>Berbareng dengan dikeluarkannya ucapan itu, tangannya Kim-coa Sin-lIe-yang</div><div>putih mulus tirus menjulur menyerang dada anak muda dihadapannya dengan</div><div>gerakannya yang cepat bagai kilat.</div><div>Bee Tie terkejut. Tangan wanita muda itu yang tadinya putih bagai salju mengapa</div><div>mendadak saja bisa berubah menjadi merah membara, maka cepat cepat ia</div><div>menggulingkan badannya ditanah untuk menghindarkan serangan lawan yang</div><div>sangat dahsyat itu.</div><div>Suara menggeleger yang lantas terdengar amat nyaring. Tempat bekas Bee Tie</div><div>berdiri tadi sudah berlubang besar terkena gempuran tangan Kim-coa Sin-lIeyang</div><div>dinamakan Kim-coa Tok-ciang itu.</div><div>Kim-coa Sin-lie kembali tertawa manis.</div><div>"Adik kecil cepat sungguh gerakanmu tadi."</div><div>Bee Tie mengeluh Ia sama sekali tak pernah menyangka bahwa seorang wanita</div><div>yang selalu menyungging senyuman dihadapannya ini ternyata mempunyai hati</div><div>busuk dan kelakuan yang jahat luar biasa. Ia tahu kalau lawannya ini tentu tidak</div><div>mau berhenti sampai disitu saja, maka sambil terus bergilingan ditanah ia</div><div>mencabut keluar seruling hitamnya yang segera ia pergunakan sebagai senjata,</div><div>menangkis setiap serangan yang dilancarkan oleh wanita jahat dihadapannya ini.</div><div><br /></div><div>BERSAMBUNG ...</div><div><br /></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-37723413633333875172011-10-22T22:02:00.000-07:002011-10-22T22:11:11.399-07:00SERULING KUMALA (7)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvJC7JSVvv_oMq8qwMvNpWqQ7K6nAZeKW64MQKT54LZpbdFygn2Nk9kOA1X5De9E4tIVO8H-ELd7ceIRTJOcJNNHDZO9oz-FH4O3fqNwtzP11GTZJxRcRBh9pz-ef-MufgjOh9WKgGag/s1600/Seruling+Kumala.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 152px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvJC7JSVvv_oMq8qwMvNpWqQ7K6nAZeKW64MQKT54LZpbdFygn2Nk9kOA1X5De9E4tIVO8H-ELd7ceIRTJOcJNNHDZO9oz-FH4O3fqNwtzP11GTZJxRcRBh9pz-ef-MufgjOh9WKgGag/s200/Seruling+Kumala.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5666550572066901490" /></a><div><b>Karya : Chin Yung</b></div><div><b>Jilid 07</b></div><div><br /></div><div>BEE Tie lekas kau lari dari sini." Bee Tie bukannya lari menjatuhkan dirinya</div><div>untuk memberikan pertolongan kepadanya.</div><div>Terlihat Go-tong Sin-kho dengan sekali bergerak juga telah menyerang</div><div>kearahnya Bee Tie.</div><div>Tidak percuma Go-tong Sin-kho sebagai istrinya sebagai akhli pedang ternama,</div><div>orang tidak melihat bagaimana ia menggerakan tubuhnya atau tiba-tiba pedang</div><div>sudah terlihat ditangannya dan mengurung tubuhnya Bee Tie yang kecil.</div><div>Bee Tie belum pernah melihat ilmu pedang yang semacam ini. walaupun</div><div>demikian ia masih tidak takut karena mengandalkan ke pandaian “Sumur</div><div>kematian” yang baru dapat dipelajarinya, dengan memapaki serangan pedang ia</div><div>juga mulai menggerakan seruling hitamnya.</div><div>Go-tong Sin-kho yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik kepandaiannya</div><div>Bee Tie sudah dapat menyangka Bee Tie akan menggunakan ilmu ini, pedangnya</div><div>diturunkan sedikit, kemudian digoreskan naik lagi.</div><div>Terdengar sekali jeritannya Bee Tie, lengan kirinya telah terkena goresan</div><div>pedangnya Go-tong Sin-kho tadi, darah mengucur tidak henti-hentinya dari</div><div>lukanya.</div><div>Biarpun demikian, Go-tong Sin-kho yang tidak menyangka akan kegesitannya</div><div>Bee Tie perhiasan diatas tusuk kondenya juga telah terbabat terbang oleh</div><div>seruling hitamnya pemuda gagah itu.</div><div>Saat itu dari jauh terlihat satu bayangan kecil yang berlari-larian mendatangi,</div><div>sebentar saja orang itu sudah sampai dan berkata.</div><div>“Bee Tie, kau sebagai ketua partai Hoa-san-pay mana boleh sembarangan turun</div><div>tangan sendiri.”</div><div>Bee Tie menjadi girang karena mendengar suaranya orang ini, Kiauw Kiu Kong</div><div>yang telah datang. Dengan menahan rasa sakit diatas pundaknya ia sudah segera</div><div>membopong tubuhnya si Pedang Tumpul yang segera dilemparkan kearahnya</div><div>Kiauw Kiu Kong dan berkata.</div><div>"Kakek pendek, kebetulan sekali kedatanganmu ini. Lekas bawa paman Pedang</div><div>Tumpul yang terluka meninggalkan tempat ini, sebentar lagi Bee Tie akan</div><div>menyusul setelah menyelesaikan urusan disini."</div><div>Kiauw Kiu Kong segera menyambut tubuhnya si Pedang Tumpul yang terluka,</div><div>matanya memandang kearahnya Go-tong Sin-kho dan Lee Thian Kauw sebentar,</div><div>lalu dengan menutulkan kakinya ia sudah lompat dari situ beserta dengan si</div><div>Pedang Tumpul yang terluka.</div><div>Bee Tie setelah melihatnya lenyapnya mereka berdua, seperti telah bebas dari</div><div>tugasnya tetih mengeluarkan napas lega. Sambil menghadapi Go-tong Sin-kho</div><div>dan Lee Thiau Kauw berdua ia berkata.</div><div>"Kalian ini sepasang setan lelaki dan perempuan, aku Bee Tie tentu tidak dapat</div><div>melupakan budi kalian berdua, tunggu sajalah akan pembalasanku nanti.”</div><div>Lalu dengan melewati diatas kepalanya para penonton, Bee Tie sudah terbang</div><div>meninggalkan panggung pertandingan ilmu pedang yang sudah dibikin kacau</div><div>oleh kedatangannya itu.</div><div><br /></div><div>Lee Thian Kauw yang telah mempunyai rencana sendiri membiarkan saja Bee Tie</div><div>meloloskan diri, ia sudah boleh merasa puas karena Go-tong Sin-kho seperti</div><div>tidak akan membiarkan ia merasa kesepian lagi.</div><div>Sebentar saja Bee Tie sudah dapat keluar dari Tong-tu-san chung dengan leluasa,</div><div>tapi begitu ia memandang kemuka dilihatnya empat pengikutnya Liang-Pek</div><div>Kong-cu sudah lama menantinya disitu! Bee Tie sudah menjadi marah, terlihat</div><div>seruling hitam berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa, beruntun terdengar</div><div>empat kali jeritannya mereka dan empat belah mata mereka telah mengeluarkan</div><div>darah semua terkena totokannya seruling hitamnya Bee Tie.</div><div>Dengan tidak memperdulikan mereka lagi Bee Tie sudah menyusul kearah</div><div>lenyapnya Kiauw Kiu Kong dan si “Pelajar pedang tumpul, tadi.</div><div><br /></div><div>X. JIE SIANSENG YANG KECIL KURUS DAN LESU</div><div><br /></div><div>SEBENTAR saja Bee Tie telah tiba di atas jembatan kota Lok-yang.</div><div>Saat itu matahari telah condong ke Barat. Awan merah sebentar berubah menjadi</div><div>kuning keemas-emasan seolah-olah hendak merubah menjadi sorganya dunia.</div><div>Siapa yang tidak akan tertarik hatinya menikmati alam indah dihari senja ditepi</div><div>sungai dari atas jembatan ini?</div><div>Diatas jembatan inilah Bee Tie menghentikan gerakan kakinya, ia agaknya</div><div>hendak menikmati khayalannya diatas jembatan tersebut.</div><div>Puncak gunung Kie-ling yang menjulang tinggi tampak samar-samar.</div><div>Tiba-tiba Bee Tie berkemak-kemik sendiri, hatinya tergerak. Ia berkata-kata</div><div>dengan suara sangat perlahan.”</div><div>"SEMBILAN TIANG BATU, BETERBANGAN MELEWATI PUNCAK GUNUNG ...</div><div>”</div><div>BUTIRAN AIR SUNGAI BERKUMPUL ME.WAINGI AWAN RIBU.</div><div>Setelah ia mengucapkan lagi kata-kata sebagai kunci untuk mengambil kitab Kiu</div><div>teng Sinkan yang ia dapatkan dari dalam tongkat Rantai Kumala yang telah</div><div>terpatah-patah sampai dua kali, lalu timbullah pertanyaan dalam hati kecilnya.</div><div>“Apa arti dua baris kata-kata itu sebetulnya?"</div><div>Melihat pemandausan alam yang sekarang terbentang luas didepan matanya, Bee</div><div>Tie tiba-tiba merasakan seperti ada sesuatu dari alam situ yang agaknya ada</div><div>sangkut paut dengan dua berisan kata-kata termaksud, tetapi apa hubungannya,</div><div>ia sendiri juga masih belum tahu. Ia masih terlalu muda untuk mengatasi segalagalanya.</div><div>Ia tetap berdiri sambil mengerjakan otaknya. Pusing juga ia memikirkan</div><div>kata-kata yang tidak dimengerti olehnya itu. Ia tadinya sudah hendak</div><div>meninggalkan jembatan ini. tiba-tiba dari jauh terlihat seorang tua kecil, kurus</div><div>dan lesu tengah mendatangi kearah jembatan tempat ia sedang berdiri.</div><div>Orang tua itu kurus sekali, lagi pula sangat lesu kelihatannya, sehingga</div><div>tampaknya sepintas lalu sebagai orang berpenyakitan.</div><div>Ketika Bee Tie menegasi dengan lebih teliti kiranya orang tua lesu itu adalah</div><div>orang yang dipanggil Jie Sianseng, agaknya orang tua ini sedang kesal</div><div>memikirkan nasib murid bandelnya, Kang-tang-Kong-cu Hian Hui yang</div><div>sebetulnya gagah perkasa. Tetapi karena sang murid ini tidak mau mendengar</div><div>kata-kata gurunya, demikianlah, si Kong-cu gagah yang bersenjatakan pedang</div><div>berat, sang murid itu, setelah dapat mengalahkan sepuluh orang Kong-cu lebih</div><div>akhli-akhlinya telah kehilangan kepalanya diatas panggung pertandingan</div><div>didalam perkampungan Tong-tu-san-chung.</div><div>Melihat sikapnya Jie Sianseng yang harus dikasihani itu, lantas timbul rasa</div><div>simpatinya Bee Tie. Ia lalu berjalan menghampiri orang tua itu, lalu menjura</div><div>dihadapannya sambil berkata.</div><div>“Aku yang rendah di sini datang memberi hormat dihadapannya Jie Sianseng.</div><div>Orang tua itu agaknya kaget melihat tahu-tahu didepannya sudah ada orang</div><div>tanpa ia mengetahui kapan dan dari mana datangnya orang ini, malah ketika</div><div>ditegasi ternyata adalah seorang anak muda, yang agaknya baru masuk dalam</div><div>masyarakat dunia Kangouw sudah lebih-lebih rasa terkejutnya. Tetapi berbareng</div><div>juga ia lantas mengenali bahwa anak muda ini adalah satu Kong-cu yang pernah</div><div>datang keperkampungan Tong-tu-san-chung, maka ia lantas berkata.</div><div>"Oh Kiranya Bong-san Kong-cu,” katanya sambil membalas hormat anak muda</div><div>ini. “Aku Jie Sianseng merasa bangga sekali dapat bertemu lagi dengan Kong-cu."</div><div>Bee Tie Terkejut. Diam-diam dalam hati ia berpikir. Kenapa Jie Sianseng itu</div><div>lantas bisa mengenal aku? Padahal baru pertama kali ini aku berhadapan muka</div><div>dengan orang tua ini. Dan mana ia tahu aku adalah Bong-san Kong-cu?"</div><div>Ia memikir itu, tetapi tidak berani tidak menjawab pertanyaan orang.</div><div>“Aknpun tentu merasa lebih girang bisa bertemu dengan Jie Sianseng." jawabnya</div><div>segera.</div><div>"Dan kau sekarang mau pergi kemana?"</div><div>"Aku yang rendah hendak pergi menyusul Kiauw Kong-Kong si kakek pendek</div><div>dan paman Pedang Tumpul."</div><div>"Hmmm. Memang, memang! Si tua pendek dan si Pedang Tnmpul berdua</div><div>memang paling suka pada orang-orang yang jujur dan berbakat. Tentu mereka</div><div>juga perlakukan Kong-cu sangat baik bukan?”</div><div>Bee Tie mengangguk. Dalam hatinya tiba-tiba timbul rasa ingin tahu tentang asal</div><div>usulnya orang tua dihadapannya ini, yang tentunya bukan orang yang tidak</div><div>mempunyai nama sama sekali didalam dunia Kang-ouw. Maka ia lantas</div><div>bertanya, mula mula dengan pengujiannya.</div><div>"Dan bagaimana pandangan Jie Sianseng terhadap si “Putih Kurus” itu?"</div><div>Si Jie Sianseng lantas tertawa bergelak-gelak. Ia juga segera menyahut.</div><div>"Hmmmm, Si setan serakah itu? Itu orang yang tidak mau mati-mati? Awas</div><div>Kong-cu, kau hati-hatilah kalau kau mendapat kebaikan darinya. Ia selamanya</div><div>tidak pernah memberi secara percuma. Apa yang ia berikan kepada orang, tentu</div><div>ada saja yang diperintahnya sebagai bayaran. Maka hati hatilah Kong-cu</div><div>terhadap orang semacam itu.</div><div>Bee Tie lebih terkejut lagi. Ternyata Si Jie Sianseng ini banyak sekali</div><div>pengalamannya. Ia mengetahui segala-galanya. Maka sambil memuji</div><div>mengacungkan jari jempolnya ia berkata lagi.</div><div>“Jie Sianseng sendiri tentu juga tidak kalah kenamaannya dari mereka itu</div><div>bukan?"</div><div>Si Jie Sianseng tidak mengaku, tetapi juga tidak mau membantah. Ia hanya</div><div>mengganda tertawa pertanyaan pemuda itu. mereka terus bicara ke sana kemari</div><div>sambil berjalan.</div><div>Sebentar saja tanpa terasa oleh mereka, pintu kota Lok-yang sudah dilalui.</div><div>Didalam kota ini mereka lalu memilih salah satu rumah makan yang banyak</div><div>terdapat disitu, kemudian berdua mereka mulai makan minum sepuas-puasnya.</div><div>Setelah makan minum lagi sekian lama, tiba-tiba Bee Tie menanya.</div><div>“Jie sianseng aku mau minta keterangan tentang dirinya dua orang. Apa</div><div>barangkali Jie sianseng kenal dengan mereka.“</div><div>Lalu tanpa menunggu jawaban si Jie Sianseng. Bee Tie lantas melanjutkan</div><div>pertanyaannya.</div><div>"Apa. Jie Sianseng mengetahui riwayatnya Lee Thian Kauw dari Kui-in-chung.</div><div>“Lee Thian Kauw? Muridnya orang pandai dari Thian-san yang tidak punya guna</div><div>itu?” Jawabnya.</div><div>Setelah berkata, ia lalu menenggak araknya sampai kering.</div><div>"Dan ,siapa satu lagi yang hendak kau tanya?"</div><div>"Kau sendiri. Jie Sianseng, kau sendiri siapa?"</div><div>Si Jie Sianseng bangun berdiri, ia sambil mengebas-ngebaskan lengan bajunya,</div><div>lalu tertawa terbahak-bahak. Tapi begitu suara tertawanya berhenti, ia lantas</div><div>menotolkan kakinya dan terus lompat melesat, keluar melalui jendela yang</div><div>terbuka lebar-lebar, sebentar saja orang tua ini sudah lenyap dari pandangan</div><div>mata Bee Tie!</div><div><br /></div><div>Bee Tie terperanjat. Ia lantas berdiri memanggil-manggil, tetapi yang dipanggil</div><div>tidak menyahut. Ia berdiri bangun sesaat kemudian menyelesaikan rekening</div><div>makanan dan minuman yang dipesannya, lalu segera ia meninggalkan rumah</div><div>makan itu dan melanjutkan pula perjalanannya, ia hendak mencari Kiauw Kiu</div><div>Kong dan si “Pelajar Pedang Tumpul”.</div><div>Sekeluarnya ia dari pintu. Selatan, tanpa terasa ia telah melawati jembatan kota</div><div>Lokyang tadi itu kembali, dari sini ia terus berjalan masuk kedalam</div><div>perkampungan Tong-tu-san-chung.</div><div>Agak jauh disebelah depannya ia melihat ada satu bayangan kecil berkelebet. Ia</div><div>lantas membentak.</div><div>"Hai! Kau siapa?"</div><div>"Aku!" jawab bayangan itu, suaranya halus merdu.</div><div>Sewaktu ditegsi. ternyata orang itu adalah Siauw Beng Eng, putrinya Go-tong</div><div>Sin-kho, maka dengan tidak terasa ia sudah berseru.</div><div>"Ah ..., Kau disini? Kau mau apa?"</div><div>Siauw Beng Eng agaknya sedang dalam keadaan terdesak. Begitu melihat Bee</div><div>Tie, ia lantas berkata pada anak muda ini, napasnya sengal sengal, katanya.</div><div>"Engko Bee, akhirnya aku ketemukan kau juga disini. Lekas ikuti aku!”</div><div>Bee Tie lantas mengiknti nona ini, dengan suara perlahan ia menanya.</div><div>"Adik Siauw, ada urusan apa sebetulnya. Sampai kau berlaku begitu tidak</div><div>tenang?"</div><div>"Mari! Lekas!" mari kita sana sama singkirkan dirinya orang she Lee itu dari</div><div>dunia ini?” Jawabnya si nona buru-buru.</div><div>"Lee Thian Kauw? Sekarang dimana dia?”</div><div>“Ikut aku saja. Nanti kau tahu sendiri, cepat.” Tidak lama kemudian mereka telah</div><div>sampai didepan pintu gedung besar dalam kampung Tongcu San-chung.</div><div>rumahnya Siauw Beng Eng. Disitu masih terlihat ada beberapa ekor kuda yang</div><div>ditambat.</div><div>Bee Tie merasa heran, maka ia lalu menanya si nona.</div><div>"Apa Kong-cu-Kong-cu didalam masih belum bubar semua?"</div><div>"Sudah. Tapi. ibuku yang sudah memilih lima orang diantaranya, lantas hendak</div><div>mengajak mereka pulang kepulau Go-tong.”</div><div>“Oooooo ... begitu?"</div><div>Bee Tie lalu menahan suaranya dan berhenti seketika.</div><div>Siauw Beng Eng menjadi heran dan menanya.</div><div>"Hai! Kerapa kau berhenti disitu? Cepatlah sedikit!"</div><div>"Tadi kau katakan kita mau singkirkan Lee Thian Kauw. Apa cuma dengan</div><div>mengandalkan tenaga kita berdua saja? Kau harus tahu, orang she Lee itu adalah</div><div>jago nomor satu waktu ini. Meski betul tadi aku beruntung bisa melukai dirinya,</div><div>tapi itu cuma karena aku menggunakan tipu daya ... Jangankan baru tenaga kita</div><div>berdua, sekalipun ditambah lagi sampai dua kali jumlah kita, rasanya masih</div><div>belum cukup untuk mengambil jiwa anjingnya."</div><div>Mukanya Siauw Beng Eng yang cantik telah berubah secara tiba-tiba. Dengan</div><div>suara keras ia berkata.</div><div>“Engko Bee, apa kau tahu Lee Thian Kauw itu pun mau ikut ibuku pulang</div><div>kepulau Go-tong? Tapi ibuku tidak langsung menyetujui. Lebih dulu ibu</div><div>menjanjikan padanya untuk bertanding dulu dengan ilmu pedang ayahku ibu</div><div>harus bisa dikalahkan olehnya, baru katanya mau mengajaknya. Aku kuatir ibuku</div><div>nanti bisa menangkan orang itu, maka aku pikir sebelum orang she Lee itu</div><div>berhasil, kita singkirkan dulu jiwanya dengan kekuatan kita berdua. Tidak nyana</div><div>kau takut ini takut itu. Kalau tadinya aku tahu kau tidak suka membantu aku. aku</div><div>juga tidak sampai membawa kau kemari ... Kalau kau tidak suka aku juga tidak</div><div>mau memaksa ... kau pergilah.” Ia lalu berjalan meninggalkan Bee Tie seorang</div><div>diri.</div><div>Melihat ini, cepat-cepat Bee Tie mengejar nona ini sambil memanggil manggil.</div><div>”Adik Siauw! Adik Siauw! Kau salah paham maksudku. Kau tentunya tahu</div><div>sendiri aku mempunyai permusuhan sangat dalam dengan orang she Lee itu,</div><div>malah sudah aku anggap dia itu sebagai musuh buyutanku. Mana bisa aku tidak</div><div>mau membantu kau? Tapi kau harus tahu, kalau kita teruskan usaha kita hendak</div><div>menyingkirkan orang jahat itu, aku kuatir kau nanti mengalami nasib serupa aku</div><div>..”</div><div>Siauw Beng Eng merasa terharu mendengar kata-katanya anak muda ini. Ia</div><div>lantas berkata pula.</div><div>"Ah! Kalau betul-betul si orang she Lee itu jadi ikut ibuku, lebih baik untuk</div><div>seumurku aku tidak kembali lagi kepulau Go-tong. Aku juga tidak sudi ditemani</div><div>olehnya.</div><div>Saat itu Bee Tie sudah sampai disisinya nona cantik mania ini. Ia lantas menepok</div><div>bahunya si nona dengan perlahan sambil berkata menghibur sang kawan.</div><div>”Adik Siauw. kau harus percayakan penuh apa yang ada pada ibumu. Semua ibu</div><div>rasanya tidak ada yang tidak memperhatikan kepentingan anaknya. Ia telah tahu</div><div>juga kalau kau tidak sudi ditemani oleh orang she Lee itu?"</div><div>Si nona menganggukkan kepalanya.</div><div>"Nah! itulah. Belum tentu ibumu mau mengijinkan Lee Thian Kauw ikut kepulau</div><div>Go-tong nanti.”</div><div>Siauw Beng Eng lalu lompat melesat, jauh tinggi kedepan, terus naik keatas</div><div>tembok gedung. Tiba-tiba lompat kembali.</div><div>Bee Tie baru saja hendak menaikan kepadanya, tapi nona ini sudah mendahului</div><div>dengan isyarat tangannya, mencegah sang kawan ini bicara. Dan si pemuda ini</div><div>memang cerdas cepat mengerti maksud orang. Ia tidak berani bicara lagi. Lalu</div><div>sambil berjalan berendap-endap Siauw Beng Eng menuju keujung tembok</div><div>disebelah kiri gedung tersebut, lalu menempelkan telinganya diatas tembok.</div><div>Bee Tie juga lantas menelad perbuatan sang kawan. Ia turut memasang kuping.</div><div>Dibalik tembok terdengar suara wanita berkata.</div><div>“Lee Thian Kauw, apa kau kira urusan antara kita bisa dibereskan begitu</div><div>gampang seperti apa yang kau sangka? Hmmm!”</div><div>Siauw Beng Eng yang mendengarkan, tahu itu adalah suara ibunya sendiri, maka</div><div>ia terus mendengarkan dengan hati berdebar-debar. Ia tidak tahu mengapa Sang</div><div>ibu itu terhadap orang she Lee itu bisa begitu baik bicaranya, suaranya halus</div><div>merdu, tidak seperti biasa-biasanya</div><div>Lantas setelah Go-tong Sin-kho berkata terdengar suara orang laki-laki, tentu dia</div><div>adalah Lee Thian Kauw sendiri yang menjawab sambil sebentar-sebentar</div><div>perdengarkan suara tertawa.</div><div>Meski dunia bukan punya kita, tapi segala urusan didalamnya ada ditangan kita</div><div>Hong Wie (demikian nama ibunya Siauw Beng Eng), apa kau tidak percaya pada</div><div>tenaga gabungan kita berdua? Apa kau masih sangsikan aku Go-tong Sin-kho</div><div>Han Hiang Wie tidak marah mendengar disebutnya nama aslinya secara</div><div>langsung. Ia malah balas tertawa sambil berkata.</div><div>"Dengan kepandaian yang kau miliki dan kau sendiri adalah salah satu dari</div><div>Sepasang orang aneh dari Thian-san, tentu saja aku percaya penuh. Tapi kenapa</div><div>hari ini kau sudah dua kali gagal dengan kerjaanmu yang begitu gampang?</div><div>Pertama itu bocah she Bee sudah berhasil meloloskan diri. Dan yang kedua kau</div><div>mimpi lagi mau ikut kami pulang kepulau Go-tong. Itu mana mungkin.”</div><div>Lee Thian Kauw masih tetap tertawa-tawa.</div><div>"Hong Wie, kau dengar dulu keteranganku,“ katanya. “Yang pertama, itu bocah</div><div>Lee Tie pasti tidak akan lolos lagi dari tangan mautku. Kedua, impianku juga</div><div>tidak akan tidak bisa tercapai. Kita besok pasti bisa pergi kepulau Go-tong dan</div><div>aku tidak mungkin tidak bisa ikut dengan kau?"</div><div>Bee Tie yang sejak tadi mendengarkan semua pembicaraan antara mereka itu.</div><div>diam-diam dalam hati merasa geli sendiri, apa lagi ketika mendengar ucapan</div><div>yang mengenai dirinya, maka dalam hati ia berkata-kata sendiri.</div><div>“Lee Thian Kauw, kau sungguh jumawa. Apa kau kira aku Bee Tie tidak punya</div><div>kepandaian apa-apa? Apa kau sangka aku bisa gampang-gampang dihina orang</div><div>tuacam kau ini? Hmm! Hmm.”</div><div>Saat itu Siauw Beng Eng sudah mendapat sebuah pohon yang tinggi dan lebar</div><div>daunnya, maka ia lekas lekas naik keatasnya. Bee Tie juga segera menelad</div><div>perbuatan kawannya ini, cepat cepat mengejarnya dan naik keatas pohon</div><div>tersebut.</div><div>Sesampainya Bee Tie diatas pohon, segera ia membisik dekat telinga nona itu</div><div>katanya.</div><div>"Rupanya mereka akan segera mulai bertanding.”</div><div>Liauw Beng Eng menganggukan kepala. Tangannya menunjuk kebawah sebelah</div><div>dalam gedung tanpa berkata-kata.</div><div>Mengikuti arah yang sudah ditunjuk oleh nona itu, Bee Tie sigera dapat melihat</div><div>gerakannya Go-tong Sin-kho yang sedang berdiri berhadapan dengan Lee Thian</div><div>Kauw ditempat sejarak sepuluh tombak lebih jauhnya dari ia dan si nona</div><div>sembunyikan.</div><div>"Jarak antara tempat sembunyi kita dengan mereka lebih jauh. Bagaimana nanti</div><div>kita bisa menyerang si Lee Thian Kauw itu. Apa tidak lebih baik kita ke sana lebih</div><div>dekat mereka supaya lebih leluasa kita turun tangan nanti?" bisik Bee Tie lagi</div><div>ditelinga sang kawan.</div><div>"Biarlah, Rasanya sudah tidak bisa kita ke sana. Kalau kita bergerak, sedikit</div><div>suara saja sudah pasti dapat diketahui oleh mereka. Biarlah kita tunggu</div><div>kesempatan baik saja.”</div><div>Saat itu terdengar pula Go-tong Sin-kho berkata sambil tertawa.</div><div>"Lee Thian Kauw kau jangan terlalu pandang rendah diriku. Jangan kau sangka</div><div>aku ini bisa sembarang kau hinakan begitu rupa. Biar bagaimana aku masih ingat</div><div>anak perempuanku satu-satunya itu. bagaimana perasaannya nanti ... Ah! cepatcepatlah</div><div>kau keluar dari sini! Aku tidak suka kau ikut kami pulang kepulauku.”</div><div>"Hong Wie, kau juga hendaknya jangan pungkiri janjimu sendiri. Aku akan</div><div>segera menyerang. Sebentar setelah ada keputusan siapa unggnl siapa asor. kita</div><div>boleh bicara lagi. kau berjaga-jagalah.”</div><div>Setelah berkata begitu, dengan sebat Lee Thian Kauw sudah menghunus</div><div>pedangnya yang lalu dipakai menyerang ia mengarah bagian dada orang, tetapi</div><div>belum lagi mengenai sasarannya, sudah hampir menempel di kulit dada wanita</div><div>tersebut, serangannya sudah di tarik kembali.</div><div>Go-tong Sin-kho menurunkan pedangnya agak sedikit kebawah. lalu</div><div>menggentaknya kembeli keras-keras. hingga seketika pedang itu mengeluarkan</div><div>bunyi mengaung yang nyaring, lama tidak berhenti, sampai masuk ke dalam</div><div>telinga muda mudi yang sedang mencuri lihat merasakan telinga mereka</div><div>ketulian.</div><div>Lee Thian Kauw tidak menyingkir dari serangan pedangnya wanita cantik itu. ia</div><div>tahu si cantik ini tidak akan melukai dirinya, maka ia sendiri lantas menyerang</div><div>seperti yang pertama.</div><div>Kini Go-tong Sin-kho tidak diam saja ia berkelit kesamping, lalu dari samping</div><div>lompat menubruk lagi kemudian dengan membalikkan pedangnya ia mengarah</div><div>bagian iga ditubuh lawannya tanpa melihat lebih dulu.</div><div>Lee Thian Kauw memuji dalam hati. Lawannya tanpa melihat lagi telah bisa</div><div>membuat arah tujuan pedangnya dengan sangat tepat pada sasarannya. Entah</div><div>bagaimana lagi tingginya ilmu pedang keluarga Siauw Yung sudah termasyur?</div><div>Atas datangnya serangan ia membungkukan badannya sedikit, dadanya ambles</div><div>kebelakang menghindarkan serangan ujung pedang menuju iganya.</div><div>Go-tong Sin-kho dengan cepat menarik pulang senjatanya, ia lalu mengayun</div><div>tubuhnya melesat kebelakang tubuh lawannya melalui kepala orang she Lee itu.</div><div>Bee Tie yang menyaksikan setiap gerakan wanita cantik itu, dalam hati diamdiam</div><div>ia memuji.</div><div>“Ilmu pedang yang sangat bagus,” katanya tanpa terasa, untung suaranya</div><div>perlahan.</div><div>Tetapi dilain pihak Siauw Beng Eng sudah seperti orang menangis wajahnya</div><div>dengan suara gemetaran ia berkata.</div><div>"Ibuku belum lagi menggunakan sepenuh kepandaiannya. Sebetulnya gerakan</div><div>tadi itu biasanya ibu gunakan kalau hendak menyerang musuh tangguh. Biar</div><div>bagaimana musuh itu tidak luput dari serangan-serangannya ke arah embunembunan</div><div>orang she Lee itu.”</div><div>"Oooo ... ” seru Bee Tie, suaranya agak tertahan. Jadi kalau begitu ibumu sendiri</div><div>sengaja mengalah.</div><div>Siauw Beng Eng menutup rapat mulutnya. Ia tidak menjawab pertanyaan</div><div>kawannya.</div><div>Didalam gelanggang pertempuan atau lebih tepat lagi kalau dikatakan tempat</div><div>latihan dalam satu perguruan, terlihat Lee Thian Kauw sudah memamerkan</div><div>seluruh kepandaian simpanannya dan sudah mulai mengurung di sekitar badan</div><div>langsingnya Go-tong Sin-kho.</div><div>Bee Tie menoleh kebelakang, melihat Siauw Beng Eng sudah mulai mandi air</div><div>mata. Ia jadi turut bersedih. Dengar suara sesenggukkan si nona berkata pula.</div><div>"Ibu sekarang sudah tidak menggunakan ilmu kepandaian keluarga Siauw lagi.</div><div>Ah, ibu. Kau kenapa bisa jadi begitu?”</div><div>"Adik Siauw, janganlah selalu kau turuti getaran hatimu. Tenanglah. Jagalah</div><div>baik-baik kesehatanmu sendiri. Kau tidak boleh terlalu bersedih," demikian Bee</div><div>Tie coba menghibur hati nona cantik itu.</div><div>Siauw Beng Eng tundukan kepala, ia lalu melayang turun, kemudian dengan</div><div>tindakan perlahan ia berjalan menuju ketempat orang sedang bertanding.</div><div>Bee Tie menjadi sibuk sendiri. Cepat-cepat ia menyusul turun, ia sibuk tidak</div><div>karuan karena saat itu Siauw Beng Eng dengan terang-terangan hendak langsung</div><div>menghampiri Lee Thian Kauw. Diam-diam dalam hati ia berkata-kata sendiri.</div><div>Kalau kita kepergok oleh mereka, bukannya percuma saja siasat yang kita atur</div><div>tadi?</div><div>Maka ia lalu memeringati si nona.</div><div>"Adik Siauw, kau sabar sedikit apa tidak bisa?" katanya perlahan.</div><div>Tetapi yang ditegur seolah-olah tidak mendengar ucapannya itu. sama sekali</div><div>tidak menjawab ia terus berjalan kemuka.</div><div>Saat itu Lee Thian Kauw sudah berkata lagi dengan suara sombong.</div><div>"Hong Wie, lebih baik kau menyerah saja. Mari besok kita sama-sama pergi. Apa</div><div>kau kurang puas dengan lima orang Kong-cu pilihanmu? Berhentilah, mari kita</div><div>duduk-duduk didalam. Sekarang kau masih bukan tandinganku. Tiga tahun</div><div>kemudian, meski dunia bukan kita punya, tapi rasanya untuk kita berdua malang</div><div>melintang tidak ada yang bisa melarang kita lagi. Berbantah Go-tong Sin-kho</div><div>tidak menghentikan gerakannya, tetapi juga tidak menyerang sungguh.</div><div>Begitu pula halnya dengan Lee Thian Kauw orang yang pengawakannya tinggi</div><div>besar ini tidak berhenti sampai disitu gerakan-gerakan mereka sama-sama</div><div>perlahan, seolah olah mereka itu bukan sedang bertanding mengadu kekuatan</div><div>atau kemahiran dalam ilmu pedang, melainkan seperti dua saudara seperguruan</div><div>yang sedang berlatih ilmu silat."</div><div>Saat itu terdengar pula suaranya Lee Thian Kauw menanya.</div><div>"Bagaimana? Apa kau tidak mau menghentikan gerakannya?"</div><div>"Apa dengan ucapanmu tadi nama busukku nanti tidak akan tersebar kemanamana,</div><div>Lee Thian Kauw tertawa dingin. Ia berkata pula.</div><div>"Nama busuk ...? Nama busuk .?” Pada saat itu nanti, siapa yang berani</div><div>membusukkan nama kita? Apa kau kira mereka akan berani mengganggu kita</div><div>berdua? Apa kau masih belum yakin kita nanti akan berhasil gilang gemilang?</div><div>Sudahlah Hong Wie. kau tahanlah seranganmu.</div><div>Meski dimulut ia menyuruh menahan serangan, tetapi ia sendiri tidak mau</div><div>berhenti dengan gerakan-gerakannya.</div><div>Bee Tie yang mendengarkan terus pembicaraan mereka, tanpa merasa menjadi</div><div>bergidik juga.</div><div>Disana, Go-tong Sin-kho dan Lee Thiait Kauw mana lagi boleh dikatakan</div><div>mengadu ilmu pedang. Mereka tampaknya seperti pengantin baru yang sedang</div><div>melatih ilmu, mata mereka lirik sini memain ke sana. asyik sekali rupanya</div><div>mereka.</div><div>Bee Tie yang menyaksikan terus, tambah lama tambah merasa sebal dan rasa</div><div>gusarnya sudah menjadi-jadi.</div><div>Tiba-tiba terlihat satu bayangan hijau berkelebat. Matanya Bee Tie dirasakan</div><div>berkunang-kunang. Karena sedikit lalai, tangan Siauw Beng Eng yang sedang</div><div>dicekalnya terlepas, dan nona ini terus melesat ke arah mereka yang sedang</div><div>main-main. Untuk menyandaknya, sudah tidak keburu. Ia tidak berdaya.</div><div>Maka sambil mengempos semangatnya, pemuda ini lantas terbang melayang</div><div>menuysul kawannya, seruling hitam masih tetap tergenggam di tangan.</div><div>"Siapa?" demikian terdengar suara bentakannya Lee Thian Kauw. Tangannya</div><div>yang sebesar kipas lantas dikerjakan, memukul kearah bayangan hijau yang</div><div>sedang menubruk dirinya.</div><div>Siauw Beng Eng. demikian bayangan hijau itu, tidak dapat menahan datangnya</div><div>serangan dahsyat dari tangannya orang she Lee itu. Tubuh kecil langsingnya</div><div>lantas terbang melayang-layang terkena serangan Lee Thian Kauw untuk</div><div>kemudian jatuh ketanah tanpa dapat bangun kembali. Ia sudah pingsan.</div><div>Go-tong Sin-kho sangat terperanjat begitu lekas ia mengenali siapa orang yang</div><div>terkena serangan si orang she Lee. Itulah puterinya sendiri!</div><div>Maka sambil menjerit berat ia lantas terbang menubruk puteri kesayangannya</div><div>itu.</div><div>Lee Thian Kauw sendiri. begitu mengetahui siapa yang terkena pukulannya,</div><div>menjadi kaget juga, tanpa terasa ia menjerit tertahan. Ia sama sekali tidak</div><div>menyangka hari itu ia akan melukai bakal anak tirinya. Seketika ia berdiri</div><div>termangu-mangu bagai orang yang sudah lupa segala-galanya.</div><div>Ini sungguh merupakan suatu kesempatan yang sangat baik bagi Bee Tie.</div><div>Seruling hitamnya lantas diputar-putarkan beberapa kali, mengurung seluruh</div><div>jalan darah terpenting ditubuhnya Lee Thian Kauw.</div><div>Lee Thian Kauw yang sudah kelepasan tangan melukai calon anaknya, seperti</div><div>sudah hilang semua ingatannya, sama sekali tidak tahu bahaya datang</div><div>mengancam jiwanya. Ia tidak mampu menahan serangan Bee Tie yang paling</div><div>hebat. Sewaktu ia engah datangnya bahaya, waktunya sudah kasep. Meski ia</div><div>sudah bergerak cepat menyingkirkan diri. namun tak urung dirinya telah kena</div><div>totokan seruling hitamnya anak muda itu. Dengan sangat tepat tiga jalan darah</div><div>ditubuhnya sudah kena tertotok. Badannya orang she Lee ini sampai terhuyunghuyung</div><div>mundur lima kaki jauhnya dan keadaannya sangat mengenaskan.</div><div>Melihat ini, Bee Tie kembali merangkak. Seruling hitam dipindahkan ketangan</div><div>kiri. lalu Bluk! dadanya sang musuh sudah dihajar tangan kanannya.</div><div>Bee Tie sudah sangat girang. Pikirnya, hari ini Lee Thian Kauw pasti akan roboh</div><div>dalam tangannya sendiri.</div><div>Tidak nyana, sambil keluarkan suara seruan melengking tinggi, badannya Lee</div><div>Thian Kauw yang tinggi besar melompat berdiri dan pergi menghindarkan</div><div>serangan maut yang sedang ditujukan ketubuhnya oleh si anak muda Bee Tie.</div><div>Bee Tie mengerti, meski Lee Thian Kauw sudah terluka, tetapi rasanya masih</div><div>belum mampu untuk ia dapat hasil kemenangan dari jago Thian-san itu. maka</div><div>kalau ia masih tetap tidak mau lari menyingkirkan diri cepat-cepat, tentu</div><div>kerugian akan diderita oleh pihaknya rendiri.</div><div>Maka tanpa pikir panjang lagi ia lalu lompat tinggi sambil membalikan tubuh,</div><div>lalu berdiri disampingnya Go-tong Sin-kho, Seruling hitamnya sudah dikerjakan</div><div>lagi, mengarah bagian pundak wanita itu mulutnya membentak.</div><div>"Kau! Perempuan macam apa kau? Tidak tahu malu. Apa kau masih punya muka</div><div>menemui putrimu? Kau kepinggir!"</div><div>Dengan didahului satu sambaran angin kuat serulingnya telah menyerang lurus</div><div>mengarah satu jalan darah ditubuhnya Go-tong Sin-kho. Wanita ini tidak</div><div>menyangka sama sekali. Tadinya ia sedang membungkuk dan memeriksa luka</div><div>ditubuh putrinya. Begitu mendengar ada suara angin berkesiur. ia lantas</div><div>mengerti ada orang sedang membokong. Sebelah tangannya lantas menekan</div><div>tanah dan tubuhnya. melesat pergi dari depan putrinya.</div><div>Bee Tie tidak membuang buang tempo lagi. Ia terus memondong tubun Siauw</div><div>Beng Eng dan lantas melayang pergi, Sebentar kemudian ia sudah berada</div><div>kembali diatas tembok tempat ia dan nona dalam pondongannya sekarang</div><div>mengumpat tadi.</div><div>Tadi baru saja ia mau lompat turun, tiba-tiba ia mendengar suara tertawanya Lee</div><div>Thian Kauw yang amat nyaring.</div><div>Ternyata dibawah tembok tempat Bee Tie berdiri, sudah berdiri rapih lima orang</div><div>Kong-cu, semua adalah Kong-cu-Kong-cu pilihannya Go-tong Sin-kho. Agaknya</div><div>mereka sudah lama menanti disitu, wajahnya sudah tak sabaran tampaknya.</div><div>Go-tong Sin-kho sendiri menggunakan kesempatan selagi Bee Tie merandek,</div><div>lantas mengayun diri menerjang kearah anak muda ini sambil tertawa dingin ia</div><div>berkata.</div><div>“Bocah she Bee, paling selamat kau letakkanlah tubuh anakku disitu. Dengan</div><div>cara itu baru aku nanti tak akan menyusahkan dirimu lagi.</div><div>Bee Tie menyingkir.</div><div>"Ngaco belo !" bentaknya cepat. “Nona Siauw sendiri tidak sudi akui kau ibunya,</div><div>mana ia mau punya ibu macam kau? Hmm. Hm. Apa kau masih punya muka</div><div>mau minta dua lagi dari aku si orang she Bee ini? Hmm. Jangan harap! Kau</div><div>jangan mimpi.”</div><div>Badannya Go-tong Sin-kho menjadi gemetaran seketika mendengar kata-kata si</div><div>anak muda.</div><div>"Bee Tie, apa arti ucapanmu tadi?”</div><div>"Kau! Perempuan hina tidak tahu malu. apa kau kira bisa mengelabui puterimn</div><div>sendiri? Paling baik lekas-lekaslah kau enyah dari sini. Dan cepat-cepatlah kau</div><div>kembali kepulan Go-tong-mu bersamu suami barumu itu," kata pemuda ini.</div><div>“Tentang nona Siauw ini. biar sampai harus terlunta-lunta sekali pun, tidak nanti</div><div>mau kenal kau lagi! Kau mau bikin apa? Hayo pergi ,”</div><div>Go-tong Sin-kho gusar bukan main. Bagai orang kemasukan setan ia lalu</div><div>mengamuk, menyerang secara membabi buta.</div><div>“Bocah. Aku mati ambil jiwa anjingmu.”</div><div>Mulutnya berkata, pedangnya juga sudah lantas dikerjakan.</div><div>Bee Tie tidak berdaya menghadapi wanita lihay ini. Ia segera lompat turun</div><div>menyingkirkan diri dari serangan Go-tong Sin-kho yang sudah kalap.</div><div>Tiba-tiba tubuhnya Siauw Beng Eng menggeliat dalam pelukannya Bee Tie.</div><div>Dengan suara perlahan terdengar nona ini berkata.</div><div>"Engko Bee, lekas kau gunakan pedangku."</div><div>Bee Tie telah dapat disadarkan juga. Lekas-lekas ia menyimpan seruling</div><div>pemberian ayahnya dan menghunus keluar pedangnya si nona yang tersoren</div><div>dipinggangnya yang langsing.</div><div>Go-tong Sin-kho menyerang. Bergeraknya tubuh disertai menggunakan suara</div><div>pedang. Ia melakukan serangan secara sungguh sungguh mengeluarkan tipu-tipu</div><div>simpanan keluarga Siauw Yung mematikan.</div><div>Bee Tie mesti sudah dapat memahami segala macam tipu-tipu atau lengkapnya</div><div>setiap gerakan ilmu pedang dari berbagai macam golongan, meski tidak takut</div><div>menghadapi wanita cantik itu, terapi oleh karena Go-tong Sin-kho sewaktu</div><div>menghadapi Lee Thian Kauw tadi tidak memperlihatkan serangan-serangan yang</div><div>dilancarkan seperti terhadap dirinya sekarang, maka ia masih belum dapat</div><div>memahami, juga tidak bisa memecahkan dengan segera. Apalagi sekarang ia</div><div>sedang memondong si nona yang sedang terluka. maka sebentar saja sudah kena</div><div>terdesak dan kerepotan sendiri.</div><div>Seruling!</div><div>Dalam keadaan sangat genting itu, tiba-tiba Siauw Beng Eng berkata.</div><div>“Ular berkeliaran! Burung beterbangan! ...</div><div>Orang bermabukan! Setan bergentayangan! ...</div><div>Meskipun suaranya perlahan sekali, tetapi cukup dapat didengar jelas,</div><div>sampaikan Go-tong Sin-kho sendiri dapat menangkapnya.</div><div>Bee Tie bagai orang baru tersadar dari tidurnya, sambil menepuk batok</div><div>kepalanya ia berkata.</div><div>“Terima kasih, adik Siauw."</div><div>Sambil berkata, kakinya yang sebelah kanan digeser mundur satu langkah, ia</div><div>berhasil menghindarkan ujung pedang Go-tong Sin-kho secara mudah sekali.</div><div>Lalu, tiba-tiba ia mengangkat pedangnya dan membuat gerakan setengah</div><div>lingkaran di tengah udara, ini bermaksudahendak meloloskan diri secara paksa</div><div>dari lingkungan sinar pedang Go-tong Sin-kho.</div><div>Go-tong Sin-kko yang mendengar puterinya mengisiki ilmu pedangnya kepada</div><div>orang luar, bukan main rasa gusarnya. Maka ia lantas membentak dengan suara</div><div>amat keras.</div><div>"Anak keparat. Bagus betul kelakuanmu? Kau bukannya menolong ibumu sendiri</div><div>malah sebaliknya kau membantu musuh. Awas kau!"</div><div>Bee Tie yang sudah dapat mengambil kedudukan sangat baik, dari pihak diserang</div><div>sekarang berbalik menjadi pihak penyerang, ia tidak mau menyia-nyiakan lebih</div><div>cepat sehingga tampaknya bagai seekor naga kecil sedang berloncatan, badan</div><div>pedang sudah hendak melilit tubuhnya Go-tong Sin-kho yang sedang gusar.</div><div>Kala itu di atas tembok sudah berdiri lima orang Kong-cu pilihan, mereka itu</div><div>adalah, Lutong dan Kim-leng Kong-cu berdua di sayap kanan. Tiang-pek Kongcu</div><div>ditengah-tengah dan dua Kong-cu lainnya adalah Tho-hoa dan Lam-yang</div><div>Kong-cu dibagian kiri.</div><div>Sambil menghunus pedang masing masing kelima orang Kong-cu tersebut</div><div>seolah-olah merupakan satu pagar manusia, menjaga jalan lolosnya Bee Tie yang</div><div>bermaksudahendak keluar dari dalam pekarangan Tong-tu-san-chung.</div><div>Diantara lima orang Kong-cu yang memiliki rasa perikemanusiaan yang wajar</div><div>dan tidak menaruh hati dengki atau dendam terhadap pemuda yang sedang</div><div>terkurung disitu. Empat orang Kong-cu yang lain adalah sebaliknya sangat iri</div><div>hati terhadap pemuda lawan mereka itu yang sejak tadi terus memondong</div><div>tubuhnya si nona cantik, maka setiap waktu mereka sudah siap hendak</div><div>membunuhnya.</div><div>Terutama sekali adalah Tiang-pek Kong-cu yang berdiri ditengah-tengah antara</div><div>mereka. Ia adalah orang yang paling membenci Bee Tie, kalau ia hendak menelan</div><div>bukti-bukti sang musuh, karena keempat orang gurunya, semua telah dibikin</div><div>hilang masing-masing satu matanya oleh anak muda itu, tentu saja rasa</div><div>dendamnya luar biasa hebatuya. Ia ini dengan mata beringas sejak tadi terus</div><div>mengawasi lawannya agaknya ia sudah tidak sabaran.</div><div>Bee Tie mengeluh melihat jaring yang dipasang untuknya itu. Meski sekiranya ia</div><div>dapat berhasil merubuhkan Go-tong Sin-kho atau setidak-tidaknya dapat</div><div>meloloskan diri dari hadapan wanita cantik ini, tetapi agaknya tidak dapat ia</div><div>meloloskan diri dari kepungan lima Kong-cu itu bersama Lee Thian Kauw</div><div>sendiri.</div><div>Begitu ia mengingat namanya Lee Thian Kauw segera ia ingin melihat orangnya.</div><div>Apa lacur, orang yang ditakuti masih belum tampak, sebaliknya yang terlihat</div><div>adalah empat orang tinggi besar, guru gurunya Tiang-Pek Kong-cu tengah</div><div>memandang padanya terus dengan mata sebelah tanpa berkesiap. Tidak jauh ia</div><div>mengisar pandangan matanya dilihatnya Lee Thian Kauw yang saat itu telah</div><div>selesai menyatakan pernapasannya juga tengah memandang kearahnya dengan</div><div>sorot mata buas.</div><div>“Bocah," bentaknya. Apa dalam ke adaan sekarang ini kau masih memikir</div><div>hendak meloloskan diri lagi?"</div><div>Bee Tie tidak menggubris ucapan Lee Thian Kauw, ia berpaling mengawasi Gotong</div><div>Sin-kho. lalu sambil keluarkan suara dihidung ia berkata.</div><div>"Hmm. Anaknya sendiri tidak mau akui ibunya apalagi ... Hmm. Hmm.”</div><div>“Tutup mulut!” Bentak Lee Thian Kauw, suaranya amat keras bagai bunyi</div><div>geledek menggelegar.</div><div>Seiring, dengan ucapannya, orangnya juga turut maju, diikuti oleh empat</div><div>gurunya Tiang-pek Kong-cu.</div><div>Mereka ambil posisi mengurung.</div><div>"Apa kau masih tidak mau menyerah!” bentak Lee Thian Kauw lagi.</div><div>Bee Tie tanpa memperdulikan musuh-nusuhnya yang tengah mengurung dirinya,</div><div>saat itu lalu menundukan kepala, dengan suara perlahan ia menanya Siauw Beng</div><div>Eng dalam pelukannya.</div><div>"Adik Siauw keadaan sudah jadi begini. Rasanya ini masih lebih sukar dari pada</div><div>naik ke langit. Buat aku sendiri tidak nanti aku merasa menyesal mati disini. Tapi</div><div>kau, adik Siauw, bagaimana dengan kau yang masih terluka sekarang ini?”</div><div>Siauw Beng Eng menggerakan mulutnya yang mungil. Dengan suara perlahan ia</div><div>menyahut.</div><div>"Engko Bee, tinggalkan aku disini! Biarlah, biarkan aku disini. Aku sangat</div><div>berterima kasih atas budimu ini. Kau tinggalkanlah aku ... Dan. Meski aku tahu</div><div>ibuku tidak nanti kerembet-rembet hanya karena urusanku ... ”</div><div>“Adik Siauw." dengan cepat Bee Tie memotong. Bukan maksudku begitu. Kalau</div><div>kiranya ibumu tidak suka mengampuni kau, mengapa aku tinggalkan kau disini?</div><div>Tentu lebih baik kita adu jiwa dengan mereka. Betul tidak?”</div><div>“Jangan engko Bee. kau jangan begitu nekad. Taruhlah aku disini. Aku rasa,</div><div>dengan kepandaian yang kau miliki sekarang pasti kau bisa lolos dari sini.</div><div>Biarkanlah aku. Cepat!"</div><div>Bee Tie menjadi terharu. Dengan suara pilu ia berkala.</div><div>"Adik Siauw, mesti aku tahu cuma ada satu jalan buat kita tempuh, tapi tidak</div><div>boleh tidak kita harus punya kepercayaan pada diri sendiri. Biar kita mesti mati.</div><div>tapi kita harus tetap mempertahankan harga diri kita. Adik Siauw, sekarang aku</div><div>mau tanya lagi padamu. Kau mau ikut aku atau kembali lagi pada ibumu!”</div><div>Siauw Beng Eng dengan suara sedih mengharukan berkata.</div><div>"Engko Bee, jangan kau sebut-sebut ibu lagi padaku, Aku sudah tidak punya ibu.”</div><div>Semua orang yang berada disekitar tempat itu cukup mendengar terang katakata</div><div>yang mengharukan hati yang keluar dari dalam mulutnya nona cantik itu.</div><div>Tidak terkecuali dengan Go-tong Sin-kho, wanita cantik ini sudah lantas pucat</div><div>pasi wajahnya, ia tidak mampu mengucapkan kata-kata apapun juga. Ia hanya</div><div>berdiri menjublek, berdiri bagai patung tak bergerak.</div><div>Di lain pihak, Bee Tie sudah terbangun kembali semangatnya. Dengan suara</div><div>keras ia membentak.</div><div>“Sekarang kalian boleh maju semua!"</div><div>Tetapi tidak ada orang yang bergerak. Dalam keadaan demikian, tidak ada yang</div><div>berani mendahului bergerak.</div><div>Melihat keadaan mereka itu, diam-diam Bee Tie bersiap siap hendak</div><div>meninggalkan tempat itu.</div><div>Ketika ia lewat disampingnya Go-tong Sin kho, tiba-tiba Siauw Beng Eng dalam</div><div>pondongaunya menjerit keras.</div><div>“Hong Wie! Kau racun dunia! Bunuhlah aku. Aku tidak sudi melihat muka ibuku</div><div>seperti kau! Sampai mati rasa benciku tidak akan hapus! Kalau kau tidak mau</div><div>bunuh aku, nanti setelah aku keluar, jangan sesalkan pembalasanku!"</div><div>Bee Tie yang mendengar itu, sangat terkejut. Sebenarnya ia hendak menutup</div><div>mulutnya si nona, tetapi tersurung oleh rasa ingin tahu. ia terus mendengarkan</div><div>semua kata-kata caciannya si nona sampai habis. Ahirnya ia menghiburi hati</div><div>Siauw Beng Eng.</div><div>..Adik Siauw janganlah kau terlalu bersedih. Lukamu tidak enteng, hati hatilah</div><div>kau sedikit. Jangan kau turuti bisikan hatimu. Kau tenanglah ... ”</div><div>Masih banyak yang mau diucapkan, tapi tiba-tiba tubuhnya Siauw Beng Eng yang</div><div>kecil lingsing sudah berontak dari pelukannya. Dari mulutnya darah segar lantas</div><div>menyembur keluar, tapi ia masih terus berusaha melepas diri dari dalam</div><div>pondongannya Bee Tie.</div><div>Go-tong Sin-kho yang mengawasinya, tidak berani memandang lebih lama. Ia</div><div>lalu menutupi mukanya sambil menjerit keras keras.</div><div>"Lee Thian Kauw. Sudah puaskahkan sekarang? Apa tidak cukup kau</div><div>permainkan kami?!"</div><div>Setelah berkata sambil melemparkan pedangnya ketanah, janda cantik itu lantas</div><div>lompat naik keatas tembok pekarangan, ia bermaksudahendak berlalu</div><div>meninggalkan Tong-tu San-cung.</div><div>Tiba-tiba terlihat dua sosok bayangan dari luar tembok yang lompat masuk</div><div>sambil menyerang berbareng kearahnya Go-tong Sin-kho, memaksa janda cantik</div><div>ini turun kembali.</div><div>Dibarengi oleh suara tertawanya yang nyaring, munculah disitu si “Pelajar</div><div>Pedang Tumpul”. Dengan suara keras ia berseru.</div><div>"Sin-kho. Kau jangan lari dulu! Tidak hormat rasanya, begitu tamu datang, tuan</div><div>rumah sudah lantas mau pergi keluar.”</div><div>Melihar orang baru datang ini. dalam hati diam-diam Bee Tie mengucapkan</div><div>syukur.</div><div>"Dia datang ... Aku ketolongan ... Hah! Syuknrlah.” demikian pikirnya.</div><div>Tetapi, biar bagaimana pun juga. ia masih tetap merasa heran. Mengapa lukalukanya</div><div>si pelajar tua itu bisa sembuh dalam waktu yang demikian cepat?</div><div>Baru saja Bee Tie merasa kegirangan, tiba-tiba ia melihat Lee Thian Kauw</div><div>mengangkat ibu jari tangan kanannya. Melihat itu, hatinya terkejut. Tanpa terasa</div><div>ia sudah berteriak.</div><div>"Awas! Dia membokongi? Seorang lagi yang berdiri disebelah si Pelajar Pedang</div><div>Tumpul, yang "selalu memperhatikan gerak-geriknya Lee Thian Kauw, melihat</div><div>gerakan orang she Lee ini lantas menyilangkan tangannya dari dalamnya lalu</div><div>keluar angin pukulan kuat menyerang Lee Thian Kauw. Sambit tertawa ia juga</div><div>berkata</div><div>"Orang she Lee! Apakan mau bikin satu Sumur kematian lagi disini? Aku Kiauw</div><div>Kiu Kong yang pernah mengalami kebaikan hatimu, kini hendak minta</div><div>pengajaranmu.”</div><div>Lee Thian Kauw keluarkan suara dihidung. Ia kini berdiri berhadap-hadapan</div><div>dengan Kiauw Kiu Kong. si orang tua pendek.</div><div>Go-tong Sin-kho yang mendengar perkataan-perkataan Siauw Beng Eng yang</div><div>menusuk hati, yang katanya tidak mau mengenal ia lagi sebagai ibunya, perih</div><div>rasa hatinya. Walau pun demikian, hubungan erat antara ibu dan anak sukar</div><div>diputuskan begtu saja. Maka ia sengaja hendak meninggalkan Tong-tu Sanchung</div><div>supaya putrinya ini bersama Bee Tie bisa meloloskan diri. Tidak nyana</div><div>tiba-tiba muncul dua orang aneh ini, si Pedang Tumpul dan si Kakek Pendek</div><div>yang memaksanya balik kembali kedalam. Karena ini, gusarnya sudah menjadi</div><div>jadi. Ia yang terus mengalami desakan desakan yang tidak habis habisnya begitu</div><div>mendapat desakan yang terlalu hebat, tidak dapat menahan sabarnya lagi, maka</div><div>ia lalu mengeluarkan perintahnya.</div><div>“Para Kong-cu, dengar perintah! Orang-orang yang mengacau didalam gedung</div><div>ini jangan sampai ada yang satu bisa lolos. Bereskan mereka semua.”</div><div>Menggunakan kesempatan selagi wanita ini bicara, Bee Tie lalu menghampiri si</div><div>Pedang Tumpul dan berkata padanya dengan suara sangat perlahan.</div><div>“Ular berkeliaran. Burung berterbangan. Orang bermabukan. Setan</div><div>bergentayangan.”</div><div>Go-tong Sin-kho lalu mengambil kembali pedangnya yang dilemparkan ditanah</div><div>tadi, kemudian sambil menuding dengan pedangnya ia membentak Bee Tie.</div><div>”Bocah she Bee! Apa kau kata tadi? ... Anak-anak. Tangkap bocah kurang ajar ini</div><div>lebih dulu."</div><div>Tiang-pek Kong-cu yang paling membenci Bee Tie, begitu mendapat perintah,</div><div>lantas mendahului kawan-kawannya yang lain, maju kedepan sambil berkata.</div><div>"Bee Tie! Kau ganti dulu empat mata guru-guriku! ... !Kalian-kalian, maju</div><div>semua!"</div><div>Mendengar terakan ini, dari empat Kong-cu kawannya, sudah ada tiga orang lagi</div><div>maju sanbil menghunus senjatanya masing-masing, dengan bersenjatakan</div><div>pedang semuanya, mereka lalu maju mengepung Bee Tie ditengah-tengah. Hanya</div><div>Lu-tong Kong-cu seorang yang masih tetap berdiri di tempatnya dengan tegak.</div><div>Lee Thian Kauw yang menyaksikan perbuatannya lantas menjadi marah. Ia lalu</div><div>membentak keras.</div><div>"Hai! Bocah Lu-tong! Apa kau tidak dengar perintah! lekas maju."</div><div>Berbareng pada saaat itu, ia juga lantas menggerakkan tangannya menyingkirkan</div><div>serangan tangan Kiauw Kiu Kong yang sedang maju menghantamnya.</div><div>Kiauw Kiu Kong tidak berani mengadu kekerasan dengan kekerasan. Ia sudah</div><div>cukup tahu kelihayannya orang she Lee ini, maka ia hanya menyingkirkan diri</div><div>dari serangan orang lihay itu. Ia terus mencari-cari adanya kesempatan baik</div><div>untuk tangan terhadap jago Thian-san ini</div><div>Empat gurunya Tiang-pek Kong-cu, agaknya sudah tidak bisa tinggal diam</div><div>terlalu lama. Serentak mereka mengurung Bee Tie, Go-tong Sin-kho sendiri</div><div>lantas memapak si Pedang Tumpul yang pada anggapannya adalah biang</div><div>keladinya dari kekacauan tersebut.</div><div>Keadaan dalam Tong-tu San-chun kembali kalut. Lebih dari sepuluh orang</div><div>sedang melakukan pertempuran hebat? Semua orang-orang disitu sudah</div><div>bergerak kecuali Lu-tong Kong-cu seorang yang masih tetap berdiri tanpa</div><div>bergerak, hanya matanya saja yang bermain. Ia selalu memperhatikan sekitar</div><div>medan pertempuran. Terutama ketika ia melihat Bee Tie yang sedang terkurung</div><div>oleh tujuh orang musuhnya, dianggapnya perbuatan itu sangat keterlaluan sekali.</div><div>Kecuali Lu-tong Kong-cu sendiri, masih ada seorang lagi, yang terus</div><div>memperhatikan jalannya pertempuran dari atas payon rumah yang tidak</div><div>berjauhan letaknya dari medan pertempuran. Orang ini adalah Jie Sianseng yang</div><div>sangat dicurigai oleh Bee Tie, bahwa orang tua kurus macam orang</div><div>berpenyakitan itu tentu mempunyai asal usul tersendiri yang masih merupakan</div><div>rahasia besar!</div><div>Orang tua kurus macam orang berpenyakitan itu memperhatikan terus setiap</div><div>gerakannya Bee Tie. Diam-diam dalam hati ia memuji.</div><div>“Bakat bagus! Buat melihat bocah ini rasanya tidak sulit.</div><div>Tetapi Jie Sianseng menjadi sangat terkejut karena saat itu ia melihat Kiauw Kiu</div><div>Kong dan si Pedang Tumpul sudah terdesak mundur masing-masing oleh Lee</div><div>Thian Kauw dan Go-tong Sin-kho. Melihat keadaan mereka ini, Jie Sianseng</div><div>sudah bersiap siap hendak turun tangan membusuk. “Tidak nyana aku Jie</div><div>Sianseng hari ini akan terlibat dalam urusan bocah ini ...” demikian dalam</div><div>hatinya berkata, ia lalu menghela napas dalam dalam.</div><div>Tetapi sesaat sebelum Jie Sianseng turun tangan membantu. Lu-tong Kong-cu</div><div>tiba-tiba sudah lompat mendahului sambil perdengarkan suara tertawa</div><div>mengejek. Ia berkata.</div><div>"Ilmu pedang keluarga Siauw Yung kesohor tidak tahunya cuma sebegitu saja.</div><div>Hmm! Aku Lu-tong Kong-cu Jie Ceng Kun aku merasa sangat kecewa dan</div><div>percuma menbuang-buang waktuku melulu untuk pulang kepulau Go-tong."</div><div>Go-tong Sin-kho menjedi murka. Ia melancarkan Juras jurus serangannya</div><div>dengan terlebih gencar lagi. Tidak lama kemudian terdengar suara jeritan si</div><div>Pedang Tumpul. Ternyata pundaknya telah tertusuk tembus oleh pedangnya si</div><div>janda cantik dari jago pedang she Siauw almarhum.</div><div>Go-tong Sin-kho menekan sebelah kakinya dan mencabut keluar pedang yang</div><div>menancap dipundak si Pelajar tua. Darah segar lantas mengalir keluar dari bekas</div><div>luka tusukan pedang tadi.</div><div>Si Pedang tumpul yang telah berkali-kali mendapat luka, merasa tidak dapat</div><div>bertahan lebih lama, maka dengan sebelah tangan menekan lukanya, tangan</div><div>lainnya menyerang Go-tong Sin-kho dan kakinya tidak tinggal diam lantas</div><div>lompat tinggi untuk terus kabur dari situ.</div><div>"Sungguh hebat permainan ilmu pedang keluarga Siauw! Ah sekarang baru</div><div>merasa dibikin melek mataku. Sampai lain kali. Aku si Pedang Tumpul mau jalan</div><div>lebih dulu.”</div><div>Sesaat Kemudian, lenyaplah si Pelajar Pedang Tumbul yang baik hati dan suka</div><div>menolong sesamanya itu.</div><div>Go-tong Sin-kho lalu menoleh, memandang Lu-tong Kong-cu dengan wajah</div><div>beringas.</div><div>"Hmm! Sungguh berani kau! Berani kau mencaci aku?" katanya dengan</div><div>geregetan.</div><div>Setelah berkata, tanpa membuang-buang waktu lagi ia lantas menggerakkan lagi</div><div>pedangnya yang baru saja minta korban menusuk kearahnya Lu-tong Kong-cu Ie</div><div>Ceng Kun.</div><div>Ie Ceng Kun tidak merasa gentar. Ia cepat menyampok pedang lawan dengan</div><div>pedangnya sendiri.</div><div>Dua senjata saling bentur hingga mengeluarkan lelatu seperti kembang api.</div><div>Go-tong Sin-kho merasakan tangannya kesemutan. Ia terperanjat. Ternyata ilmu</div><div>kepandaian pedang dan tenaga dalamnya Lu-tong Kong-cu yang sedang</div><div>dihadapinya ini jauh tinggi dari empat Kong-cu pilihannya yang lain.</div><div>Tetapi, dilain pihak. Ie Ceng Kun lebih-lebih kagetnya. Karena begitu dua pedang</div><div>beradu, telapak tangannya dirasakan pedas linu, hampir saja ia tidak dapat</div><div>menyekal pedangnya lagi.</div><div>Jie Sianseng yang menyaksikan kehebatannya si Kong-cu dari Lu-tong, diamdiam</div><div>dalam hati memuji.</div><div>“Ah! Ada lagi satu bakat bagus. Kepandaiannya cukup tinggi. Bagus!"</div><div>Dari gebrakan pertama ia sudah tahu kalau hanya untuk melayani Go-tong Sinkho</div><div>dalam puluhan saja rasanya masih mampu Lu-tong Kong-cu</div><div>menghadapinya, tapi tak demikian halnya dengan Kiauw Kiu Kong Si kakek</div><div>pendek agaknya sudah tak dapat bertahan lagi dalam sepuluh jurus berikutnya,</div><div>maka dengan segera ia melayang turun dan pedangnya bareng dikerjakan</div><div>menyerang Lee Thian Kauw untuk menolong Kiauw Kiu Kong</div><div>Lee Thian Kauw lantas berteriak teriak melihat datangnya orang baru.</div><div>Jie Sianseng terus mendesak orang She Lee itu dengan tipu tipu pukulan yang</div><div>istimewa dari golonganya sendiri.</div><div>Lee Thian Kauw yang diserang bertubi tubi ahirnya merasa kewalahan juga, tapi</div><div>dari serangan serangan itu lama kelamaan ia dapat ingat juga seperti pernah</div><div>melihat tipu tipu lawanya itu.</div><div>Demikianlah, setelah berpikir sejurus lamanya, tanpa terasa ia berseru.</div><div>“Hai! Apa kau orang dari Oey-san-pay?"</div><div>Jie Sianseng yang mengetahui orang she Lee itu dalam waktu sekejapan saja</div><div>sudah dapat mengenali gerakan ilmu pedangnya, seketika itu wajahnya berubah</div><div>pucat. Cepat cepat ia berkata.</div><div>“Hmm! Ternyata kau kenal juga permainanku? Bagaimana? Apa kau cukup puas</div><div>...? Eh! Kapankau bertemu dengan orang Oey-san-pay kami?"</div><div>Kiauw Kiu Kong yang mendengarkan pembicaraan antara kedua orang tersebut</div><div>agak tergetar juga hatinya. Ia lantas maju lagi dengan maksudahendak</div><div>mengerubuti Lee Thian Kauw.</div><div>Lee Thian Kauw agak gelisah hatinya. Ia lantas meneriaki kekasihnya.</div><div>“Hong Wie, tinggalkan bocah keparat itu. Jangan kau takut dia nanti bisa kabur.</div><div>Pasti dia tak akan lolos dari tangan kita ... Lebih baikkan tahan dulu setan tua</div><div>yang pendek buntek ini. Aku sendiri mau membereskan sisanya orang Oey-sanpay."</div><div>Kiauw Kiu Kong gusar. Ia lantas membentak dengan suara keras.</div><div>"Lee Thian Kauw! Orang-orang Oey-san-pay punya ganjelan apa dengan kau?"</div><div>Kenapa kau begitu ganas membasmi orang-orangnya."</div><div>Jie Sianseng, mendengar perkataannya Lee Thian Kauw dan kata-katanya Kiaw</div><div>Kiu Kong agaknya sudah mulai mengerti, inilah dia orangnya yang membasmi</div><div>partainya. Maka ia lantas mengeluarkan teriakan keras.</div><div>“Lee Thian Kauw! Jadi kaulah orangnya yang membunuh-bunuhi orang-orang</div><div>Oey-san-pay kami! Hmm! Kau manusia kejam! Aku harus adu jiwa dengan kau!”</div><div><br /></div><div><b>BERSAMBUNG...</b></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-1937204570435228362011-10-22T21:32:00.000-07:002011-10-22T21:38:42.754-07:00SERULING KUMALA (6)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqEaFFKHFxZxrXelURbaK2K56dxg72Pj19pscFY_UxDaZvasoij0NqUi7S2d2pgt3mjnKdf3c7hWpM3RPxcct51-DrO1h2fwRy7euGvsfiNpH7Iddi44Xf8KBUcnRYRYVusoa7y2iQcw/s1600/Seruling+Kumala.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 243px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqEaFFKHFxZxrXelURbaK2K56dxg72Pj19pscFY_UxDaZvasoij0NqUi7S2d2pgt3mjnKdf3c7hWpM3RPxcct51-DrO1h2fwRy7euGvsfiNpH7Iddi44Xf8KBUcnRYRYVusoa7y2iQcw/s320/Seruling+Kumala.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5666542247414213506" /></a><div><b>Karya : Chin Yung</b></div><div><b>Jilid 06</b></div><div><br /></div><div>PEK-LIAN Kong-cu membalikkan pedangnya, menusuk kearah iga lawannya.</div><div>Tetapi Kang-tang Kong-cu memang benar-benar lihay. Kepandaiannya luar</div><div>biasa. Sebelum lawannya dapat berbuat apa-apa, ia sudah bergerak mendahului</div><div>dengan menggunakan gerakan yang sama dari lawannya, memapaki pedang</div><div>lawan.</div><div>“Trang”. Dua belah pedang beradu keras, lelatu api muncrat ketengah udara!</div><div>Pedangnya Pek-lian Kong-cu yang memangnya kalah berat dan ia sendiri kalah</div><div>tenaga dari lawannya, maka terlepaslah pedangnya dari cekalannya, terpental</div><div>jauh-jauh.</div><div>Pek-lian Kong-cu dengan wajah merah padam menahan rasa malunya, lantas</div><div>bergerak mengundurkan diri. Tetapi Kang-tang Kong-cu sendiri agaknya sudah</div><div>dibikin lupa daratan sama sekali karena kemenangannya yang gilang gemilang, ia</div><div>lantas menjadi congkak sombong sekali. Dengan tingkah laku menjemukan ia</div><div>menantang lagi.</div><div><br /></div><div>"Kalau Pek-lian Kong-cu ada disini. tentu Kim-leng Kong-cu juga tidak mau</div><div>ketinggalan. Hai sahabat, kemana kawan karibmu itu?"</div><div>Orang tua kurus yang tampaknya seperti berpenyakitan dibawah panggung lagilagi</div><div>memanggil Kang-tang Kong-cu dengan suara keras.</div><div>"Hiang Hui. Kau kemari dulu ... Apa kau sudah gila?"</div><div>Tetapi Kang-tang Kong-cu yang benar-benar sudah seperti lupa daratan, sambil</div><div>tertawa terbahak-bahak ia menyahut.</div><div>"Jie Sianseng. tunggu sebentar lagi. Kalau aku bisa mengalahkan Kim-leng Kongcu.</div><div>niscaya tidak percuma kita datang kemari, barulah aku akan berhenti."</div><div>Bee Tie lalu mengalihkan pandangan matanya mengawasi si Putih Kurus dan</div><div>Kim-leng Kong-cu. Disana dilihatnya Kim-leng Kong-cu sedang meronta-ronta</div><div>hendak membebaskan dirinya dari cekalan si “Putih Kurus” yang terus menahan</div><div>si Kong-cu keluar.</div><div><br /></div><div>Dasar si Kang-tang Kong-cu sudah betul-betu1 gila nama. Bukannya dia lekas</div><div>turun beristirahat dulu sebentar, malah ia berteriak-teriak lebih keras lagi.</div><div>"Hai! Mana dia Kim-leng Kong-cu itu? Kau dimana sembunyi Kong-cu?”</div><div>Si orang tua yang dipanggil Jie Sianseng, oleh Kang-tang Kong-cu itu kembali</div><div>berseru.</div><div>"Ya. Tunggu sebentar. Kalau aku sudah menggulingkan Kim-leng Kong-cu yang</div><div>begitu kenamaan kebawah panggung baru puas hatiku dan aku akan segera</div><div>turun.”</div><div>Si Jie Sianseng. dengan sekali mengebaskan tangan bajunya yang gerombongan</div><div>sudah membalikkan badanya dan segera hendak berlalu, tetapi ia masih tetap</div><div>hendak membujuk turun Kang-tang Kong-cu.</div><div>"Hiang Hui kau turunlah. Apa kau mau bikin aku suhumu, menyesal untuk</div><div>selama lamanya? Turunlah."</div><div>Tetapi setelah ditunggu-tunggu sekian lama si Kong-cu bandel itu tidak mau</div><div>menyahut juga. dengan perasaan mendongkol orang tua itu berkata pula.</div><div>"Kau tidak mau turun juga? Mulai sekarang, kau bukan muridku lagi! Kau</div><div>berbuatlah sesukamu.”</div><div>Setelah berkata begitu, lalu kakinya menotol tanah seperti asap mengepul tahutahu</div><div>orangnya sudah menghilang.</div><div>Kang-tang Kong-cu terkejut. Tetapi baru saja ia mau turun meninggalkan</div><div>panggung mengejar gurunya, tiba-tiba Kim-leng Kong-cu Jie Ceng yang telah</div><div>berhasil melepaskan diri dari cekalannya si “Putih Kurus” dan sudah terus</div><div>lompat naik keatas panggung tahu-tahu sudah ada didepan matanya.</div><div>"Disini aku Kim-leng Kong-cu Jie Ceng mau belajar kenal dengan kepandaian</div><div>saudara yang sangat, tinggi. Hai! Kau mau kemana? Kenapa mau lari? Kau takut?</div><div>Ini aku Kim-leng Kong-cu Jie Ceng?”</div><div>Dengan apa boleh buat Kang-tang Kong-cu tidak jadi berlalu, dan juga karena</div><div>gurunya telah berlalu meninggalkannya, maka ia dapat bertindak lebih leluasa. Ia</div><div>tidak mau memusingkan gurunya itu lagi. Dengan sikap sangat jumawa ia lalu</div><div>menjawab pertanyaan lawannya dengan suara keras.</div><div>"Tidak mau kemana-mana. Apa betul kau Kim-leng Kong-cu? Lekas keluarkan</div><div>pedangmu yang seperti cacing itu.”</div><div>Kemudian dengan tidak berkata lebih dulu ia membuka serangan dengan pedang</div><div>beratnya mengarah bagian terpenting dibadanya lawannya.</div><div>Kim-leng Kong-cu yang memang sejak tadi sudah sangat gusar dalam</div><div>kegusarannya yang sudah melampaui batas ia lantas mengeluarkan jurus-jurus</div><div>pertama dari ilmu pelajaran Si “Putih Kurus”. Dengan beruntun beberapa kali</div><div>semua tipu-tipu dalam jurus pertamanya sudah dikeluarkan habis. Ia sudah</div><div>mulai mengeluarkan tipu-tipu dalam jurus selanjutnya.</div><div>Para penonton sudah dibikin kebat-kebit hatinya menyaksikan pertandingan</div><div>yang sangat seru antara Kim-leng Kong-cu dan Kang-tang Kong-cu itu. Mereka</div><div>itu hanya dapat melihat sinar pedang yang memutih perak berkelebat cepat</div><div>mengurung tubuhnya si Kang-tang Kong-cu, tak lama kemudian kepalanya</div><div>Kang-tang Kong-cu Hiang Hiu yang congkak sombong itu terpisah dari</div><div>badannya, terus bergelindingan diatas panggung, tetapi badannya yang masih</div><div>belum sampai roboh dipanggung sudah disamber dan dibawa kabur oleh satu</div><div>bayangan orang yang bergerak sangat cepat ternyata orang itu adalah orang tua</div><div>yang tampaknya seperti berpenyakitan itu sendiri, gurunya Kang-tang Kong-cu</div><div>yang dipanggil Jie-sian-seng.</div><div><br /></div><div>Sambil berpekik keras si Jie Sianseng lalu berlalu meninggalkan panggung dan</div><div>orang banyak dengan memondong terus jenazah tak berkepala dari muridnya</div><div>yang kepala batu dan tidak mau menurut perintahnya itu, sebentar kemudian</div><div>orang tua itu sudah menghilang dari pandangan mata orang banyak.</div><div>Kesudahan pertandingan yang sangat cepat itu sama sekali ada di luar dugaan</div><div>para penontonnya sekalian sampai Bee Tie sendiri tidak menyangkanya bisa</div><div>berakhir demikian cepat pertandingan itu. Dulu, ada juga beberapa orang yang</div><div>pernah melihat dan menyaksikan sendiri bagaimana kepandaiannya Kim-leng</div><div>Kong-cu Jie Ceng ini tetapi sama sekali mereka tidak pernah menyangka Kongcu</div><div>ini sudah dapat memiliki suatu ilmu kepandaian lain yang sangat tinggi.</div><div>Mungkin hanya Bee Tie seorang saja disitu yang mengetahui latar belakangnya</div><div>diperolehnya kepandaian tinggi oleh Kim-leng Kong-cu itu.</div><div>Bee Tie memandang wajahnya Go-tong Sin-kho lagi, kini tidak terlihat</div><div>perubahan romannya sama sekali, wanita cantik itu masih tetap duduk tenangtenang</div><div>saja ditempatnya. Tetapi kini disebelahnya Go-tong Sin-kho sudah tidak</div><div>terlihat bayangannya Siauw Beng Eng lagi, entah kemana dan sejak kapan ia</div><div>pergi!</div><div><br /></div><div>Bee Tie lalu celingukan mercari ke sana kemari, tidak juga kelihatan si nona</div><div>cantik jelita. Ia merasa heran. Mengapa nona itu tidak mau menyaksikan sampai</div><div>selesai semua pertandingan dalam babak pertama ini?</div><div>Tiba-tiba ia meihat si Kong-cu alis tebal. Tiang-pek Kong-cu berjalan perlahan</div><div>mendekati panggung, lalu mengenjot tubuhnya, naik ke-atas panggung dengan</div><div>gayanya yang sangat indah.</div><div>Bee Tie lalu mencari para pengiring Tiang-pek Kong-cu itu. Salah seorang dari</div><div>antaranya, entah sejak kapan tahu-tahu sudah berada di sebelahnya Lu-tong</div><div>Kong-cu.</div><div>Bee Tie menengok mengawasi orang tua tinggi besar yang duduk disampingnya.</div><div>Ternyata ia masih tetap tenang-tenang saja, duduk ditempatnya sambil</div><div>mengangkat kaki.</div><div>Saat ini, diatas panggung lantas terdengar suaranya Tiang-pek Kong-cu yang</div><div>berkata keras.</div><div>"Saudara Jie, ilmu pedang Goat-lie-kiam-mu sudah lama terkenal. Tidak nyana</div><div>hari ini saudara bisa membuka mata kami. mempertunjukan permainan ilmu</div><div>pedang macam lain yang sangat bagus. Sungguh bagus, ilmu pedang yang belum</div><div>pernah kulihat sebelumnya. Atas kemajuan saudara dalam menuntut ilmu, aku</div><div>rasanya disini perlu mengucapkan selamat!"</div><div>"Ah! Saudara terlalu memuji aku. mana aku berani terima?" demikian Kim-leng</div><div>Kong-cu coba merendahkan diri.</div><div>“Tapi biarlah! Yang sudah biar tinggal sudah. Aku rasanya tidak sampai bisa</div><div>dikalahkan dengan ilmu yang sungguh hebat itu." Tiang-pek Kong-cu mulai</div><div>dengan kata-kata ejekannya.</div><div><br /></div><div>Sekali terdengar suara “Sreet” yang panjang sekali, pedang pusakanya Tiang-pek</div><div>Kong-cu sudah keluar dari serangkanya.</div><div>Semua orang yang datang kedalam Tong-to Saa chung kebanyakan adalah jago</div><div>jago pedang semuanya. Maka begitu melihat sinarnya pedang Kong-cu itu saja,</div><div>mereka lantas mengenali bahwa pedang pusaka yang tajamnya luar biasa.</div><div>Seketika itu juga ramailah mereka kasak kusuk mengutarakan pendapatnya</div><div>masing masing.</div><div>Tetapi, Kim-leng Kong-cu, tidak keder melihat pedang lawannya yang baru ini</div><div>begitu tajam, sambil membentak keras ia menyerang terlebih dnlu.</div><div>Tiang-pek Kong-cu. lawannya, melihat itu hanya ganda dengan ketawa dingin. Ia</div><div>berkelit menghindarkan serangan lawan, lalu membalas menyerang dengan</div><div>menggunakan pedang pusakanya. Walaupun ia bergerak ke belakang dari</div><div>lawannya, tetapi karena sangat cepatnya ia bergerak, malah ia lebih dulu yang</div><div>berhasil menyarang dada lawannya.</div><div><br /></div><div>Kim-leng Kong-cu terkejut. Kalau ia teruskan serangannya, tentu dadanya akan</div><div>tertikam lebih dulu. Maka itu, sambil menarik pulang pedangnya, ia</div><div>menyingkirkan diri dari serangan lawan yang sangat hebat.</div><div>Karena dalam peraturan pertandingan tidak dilarang orang menggunakan</div><div>pedang pusakanya, maka Kim-leng Kong-cu yang sudah tahu pedang lawan ini</div><div>adalah pedang pusaka, juga tidak bisa berbuat lain dari pada melanjutkan</div><div>pertandingan dan melayani sedapat mungkin lawanya. Tiang-pek Kong-cu itu.</div><div>Sebentar saja barulah sudah keadaan dalam gelanggang pertandingan. Kim-leng,</div><div>Kong-cu mempunyai ilmu pedang yang sangat bagus tetapi Tiang-pek Kong-cu</div><div>juga seakan-akan sudah mengetahui setiap gerakan lawanya, selalu dapat</div><div>mendahului lawan bergerak.</div><div>Bee Tie yang menyaksikan pertandingan itu dari samping, hatinya merasa</div><div>tertarik karena dilihatnya kepandaian Tiang-pek Kong-cu juga istimewa, maka</div><div>dengan tidak terasa ia terus memperhatikan setiap gerakan Kong-cu itu yang lalu</div><div>diingatnya baik-baik dalam otaknya.</div><div>Pertandingan antara mereka itu kelih.tan berimbang sama gesit, sama cepat dan</div><div>sama kuat, sebentar saja tiga puluh jurus sudah di lalui.</div><div>Tiba-tiba Tiang-pek Kong-cu menggeram, hatinya merasa sangat penasaran, ia</div><div>lalu mendesak lawannya dengan serangan-serangannya yang sangat cepat dan</div><div>gencar.</div><div><br /></div><div>Sebentar saja badannya Kim-leng Kong-cu sudah seperti terkurung sinar pedang</div><div>dari Tiang-pek Kong-cu.</div><div>Melihat ini Bee Tie terkejut. Peristiwa seperti tadi mungkin akan terulang</div><div>kembali Ia terus memperhatikan lebih seksama.</div><div>Si “Putih Kurus” dari Bong-san juga kelihatan seperti berdiri tak bisa duduk tak</div><div>tentram. Ia sibuk sendiri. Baru saja si Kurus ini mau bangkit berdiri, tiba-tiba</div><div>ada dua orang tinggi besar menghalangi tindakannya.</div><div>Bee Tie yang saat itu juga sedang menengok kearah si “Putih Kurus”, terkejut</div><div>melihat dua orang tinggi besar itu. Mereka itu dikenalnya sebagai pengiring si</div><div>Kong-cu alis tebal Tiang-pek Kong-cu. Lebih-lebih lagi terkejutnya ia, karena</div><div>orang tinggi besar disampingnya saat itu juga mengancamnya, berkata dengan</div><div>suara berat.</div><div><br /></div><div>"Diam! Jangan bergerak! Aku mau lihat kau bisa berbuat apa.”</div><div>Mendengar suaranya, Bee Tie lalu ingat kembali suaranya Si orang berkerudung</div><div>kain hitam yang bersama-sama dengan dia turut mencuri lihat permainan ilmu</div><div>pedangnya si “Putih Kurus” sewaktu Kim-leng Kong-cu melatihnya didalam</div><div>sebuah gedung tua diperbatasan kota Lok-yang dulu, maka dalam hati diamdiam</div><div>ia memaki.</div><div>“Hmm! Kalau begitu kau duduk disini dari tadi khusus menjagai aku! Persetan!</div><div>Kalau Kong-cumu tidak melukai Kim-leng Kong-cu masih tidak apa, Tapi kalau</div><div>..., Hmm! Hmm! ... ”</div><div>Ia lalu memejamkan matanya memikirkan cara bagaimana nanti menghadapi</div><div>Tiang-pek Kong-cu, bagaimana caranya memecahkan ilmu permainan</div><div>pedangnya. Dalam waktu sekejapan saja ia sudah berhasil mendapatkan jalan</div><div>pemecahannya maka lalu ia membuka matanya kembali. Bukan main terkejutnya</div><div>ia karena ia saat itu Kimleng Kong-cu Jie Ceng dilihatnya sudah tak berdaya</div><div>sama sekali, sedangkan si Putih Kuras yang juga masih berusaha melepaskan diri</div><div>dari rintangannya dua orang tinggi besar pengiringnya Tiang-pek Kong-cu,</div><div>ternyata masih belum berhasil juga.</div><div>Baru saja Bee Tie hendak berdiri, tiba-tiba tangan si orang tua tinggi besar yang</div><div>duduk disampingnya tahu-tahu sudah menempel di belakang gegernya. Dilihat</div><div>sekelebatan, dua orang ini terlihat seperti dua sahabat-sahabat lama yang baru</div><div>bertemu setelah sekian lama berpisahan tangan orang tinggi besar itu menempel</div><div>rapat benar dibadannya Bee Tie. Tangannya mengancam, mulutnya juga tidak</div><div>tinggal diam. Ia berkata.</div><div>"Jangan bergerak! Sedikit bergerak berarti mati ! Apa kau sangka kau bisa</div><div>berontak melawan aku? Jangan harap!"</div><div>Tahulah Bee Tie kini bahwa dirinya sudah terjatuh dalam tangan kekuasaan</div><div>orang, maka gusarnya bukan main.</div><div>Baru saja ia mau berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan orang</div><div>tinggi besar itu, tiba-tiba datang seorang Kong-cu berbaju hijau, itu Kong-cu</div><div>yang memang sedang dicari-cari oleh Bee Tie, berjalan menghampiri sambil</div><div>tersenyum, wajahnya berseri-seri.</div><div>Bee Tie berseru kegirangan melihat, kawannya yang sedari tadi dicari-carinya,</div><div>kini ternyata begitu mudah didapatkan.</div><div>“Halo kawan, kau datang juga?" katanya dengan membuka percakapan.</div><div>“Dari tadi aku cari-cari kau didalam gedung ini. tapi tidak nyana kau bisa datang</div><div>sendiri. Kau kemana tadi? Apa kau sudah tidak marah lagi dengan aku? Hai!</div><div>Bagaimana sahabat?”</div><div>Si Kong-cu baju hijau mengerlingkan matanya memandang orang tinggi besar</div><div>itu.</div><div>"Siapa kata aku marah padamu?" demikian katanya Kong-cu baju hijau itu</div><div>membalas pertanyaan orang.</div><div>Saat itu dirasakan tangan si orang tua tinggi besar yang menempel digegernya</div><div>sudah semakin diperkeras, Bee Tie tidak dapat menahan rasa sakitnya, ia</div><div>meringis menahan sedapat mungkin, bicaranya batal.</div><div>Tetapi si Kong-cu baju hijau yang masih menyangka orang tinggi besar itu adalah</div><div>salah seorang sahabat barunya Bee Tie, melihat orang begitu rapat berdirinya,</div><div>lalu berkata.</div><div>"Ooo ... Kau dapat kawan baru lagi, sahabat? Kenapa tidak kau perkenalkan</div><div>padaku. Siapa dia?"</div><div>Baru saja Bee Tie mau menyahut, orang tua tinggi besar itu sudah menalangi ia</div><div>bicara.</div><div>"Ya, Kami adalah sahabat-sahabat lama."</div><div>Bee Tie mengeluarkan suara di hidung ketika ia mendengar, ia berani bicara</div><div>begitu, tapi si orang tua sudah menggoreskan lagi tekanannya membuat Bee Tie</div><div>meringis lagi.</div><div>Kong-cu baju hijau yang mempunyai sepasang mata lihay memandang kearah</div><div>kawannya sebentar dan dilihatnya itu tangan orang yang sedemikian rapatnya,</div><div>hatinya sudah mulai menjadi marah.</div><div>Saat itu si “Putih Kurus” yang memang lihay sudah berhasil meloloskan diri dari</div><div>kepungannya itu dua orang tua, Bee Tie yang melihatnya sudah berkata kepada</div><div>orang yang berada disampingnya.</div><div>"Kau lihat ... “ Tangannya sambil merunjuk kearah sana.</div><div>Orang tua itu ketika melihat kearah yang ditunjuk Bee Tie sudah menjadi kaget.</div><div>dengan segera melepaskan tangannya yang menempel dibadan orang dan siap</div><div>untuk pergi membantui kawan-kawannya.</div><div><br /></div><div>Bee Tie yang sudah sedemikian bencinya orang itu mana mau melepaskannya</div><div>dengan begitu saja, dengan sebal ia sudah mencabut seruling warisan ayahnya</div><div>dan menotok jalan darah orang itu cepat sekali.</div><div>Dengan tidak ampun lagi orang tua itu sudah jatuh terduduk lagi.</div><div>Gerakan yang cepat ini sudah dapat dilihat oleh si Kong-cu baju hijau yang</div><div>berada dikadapaannya sambil tertawa ia berkata.</div><div>"Tidak kusangka kepandaiannya saudara Bee Tie telah maju sedemikian</div><div>pesatnya.”</div><div>Karena melihat nyawanya Kim-leng Kong-cu sangat terancam, dengan</div><div>meninggalkan sang kawan Bee Tie sudah lompat keatas panggung dan</div><div>membentak.</div><div>"Berhenti.”</div><div>Kim-leng Kong-cu Jie Ceng yang memang sudah terdesak segera lompat</div><div>menyingkir dari lawannya dan berhenti tidak menyerang lagi. Tapi Tiang-pek</div><div>Kong-cu yang bermaksudahendak membunuh musuh tangguhnya ini sengaja</div><div>seperti yang tidak mendengar dan meneruskan tusukannya.</div><div>Semua orang yang melihat kelicikannya sudah pada berteriak. Bee Tie dapat</div><div>bergerak sebat, ia menyelak dan serulingnya di kasih bekerja mengetok</div><div>pergelangan tangan orang untuk menahan tusukannya pedang.</div><div>Tangannya Tiang-pek Kong-cu tergetar hampir saja tak dapat mencekal</div><div>pedangnya lagi.</div><div>"Kau siapa?” bentaknya marah. “Jika hendak mengadu pedang, seharusnya</div><div>menunggu sampai selesainya pertandingan ini !"</div><div>Bee Tie sangat jemu pada Kong-cu licik ini, ia menjawab.</div><div>"Dengan mengandalkan tajamnya pedang mustika apa kau tidak merasa malu</div><div>memperoleh kemenangan? Apa lagi saudara Jie ini sudah kalah, mengapa kau</div><div>masih hendak membunuhnya juga ?"</div><div>Para penonton sudah mulai kasak kusuk lagi.</div><div>"Siapakah pemuda yang berani ini?"</div><div>Diatas panggung terdengar geramannya Tiang-pek Kong-cu yang menjadi panas</div><div>hati.</div><div>"Apa kau kira aku takut padamu?"</div><div>Pedang pusakanya diangkat lagi untuk menyerang kearahnya pemuda yang</div><div>dianggapnya pengacau.</div><div>Bee Tie lantas naik darah. Entah bagaimana ia bergerak, cukup dengan sekali</div><div>tendang saja membuat Tiang-pek Kong-cu menggelinding pergi dan langsung</div><div>pergi jatuh ke bawah panggung.</div><div>Semua orang lantas menjadi ribut lagi, siapa juga tidak ada yang melihat dengan</div><div>gerakan apa Bee Tie menjatuhkan Tiang-pek Kong-cu yang tangguh.</div><div>Diatas panggung terlihat Bee Tie sudah menggapekan tangannya kearah Kimleng</div><div>Kong-cu dan berkata.</div><div>"Kau tadi masih belum kalah betul, mari sekarang melawan aku lagi.”</div><div>Kim-leng Kong-cu menjadi ragu-ragu jika mengingat akan ketangguhannya anak</div><div>muda ini. Belum lagi ia dapat berbuat suatu apa tiba-tiba dibawah panggung</div><div>sudah terdengar teriakannya si “Putih Kurus” yang pernah memberi pelajaran</div><div>padanya.</div><div>"Lee Tie, kemarilah kau.”</div><div>Bee Tie dengan mempelototkan matanya sudah membentak.</div><div>"Aku she Bee, bukannya Lee. Apa kau ingin bertanding dengan aku juga? Aku</div><div>tidak takut untuk kau si Setan putih.”</div><div>Semua orang yang mendengar disebutnya nama”Lee Tie” ini. lantas menjadi</div><div>gempar lagi.</div><div>"Oooo ... kiranya dia Bong-san Kong-cu dari Kui-in chung.”</div><div>Bee Tie diatas panggung yang mendengar sudah memberikan bantahannya.</div><div>"Aku bukannya Bong-san Kong-cu dari Kui-in-chung lagi, aku adalah ketua Hoasan</div><div>pay yang kedua pulah enam Bee-Tie."</div><div>Setelah berkata ia memindang kepada orang yang berada disekitarnya dan</div><div>terjatuh pandangannya diatas dirinya itu Lu-tong Kong-cu. Mukanya mendadak</div><div>bersinar terang dan berkata kepadanya tertawa.</div><div>"Kau bagaimana? Apa kau tidak ingin mengadu pedang denganku?"</div><div>Bee Tie sudah ada niatan untuk memberikan gelaran juara Tong-tu san-chun ini</div><div>kepadanya, maka ia sengaja mengajak bertanding dengannya.</div><div>Lu-tong Kong-cu baru saja mau berdiri satu bayangan hijau sudah berkelebat</div><div>lewat dihadapannya dan langsung naik keatas panggung. Ternyata si Kong-cu</div><div>baju hijau sudah mendahuluinya naik keatas dan berkata kepada Bee Tie.</div><div>"Saudara Bee aku ingin meminta sedikit pelajaran darimu."</div><div><br /></div><div>Setelah berkata ia memandang ke arahnya Go-tong Siu-kbo sebentar, terlibat Gotong</div><div>Sin-kho memanggutkan kepalanya sembari tertawa.</div><div>Si Kong-cu baju hijau sudah segera mencabut pedangnya. Begitu melihat</div><div>kearahnya Bee Tie yang hanya memegang seruling hitamnya ia lantas</div><div>mengkerutkan keningnya.</div><div>Tapi pada waktu itu tiba-tiba terdengar satu suara orang tertawa berkakakan.</div><div>Bee Tie melihat ke sana dan ia menjadi gembira karena yang datang ini tidak lain</div><div>adalah si "Pelajar pedang tumpul” yang baik hatinya. Sambil tertawa ia berkata.</div><div>“Siokhu Pedang Tumpul, apa kau dapat meminjamkan pedang tumpulmu itu</div><div>kepadaku?"</div><div>Dengan masih tertawa si Penlajar tua sudah akan menyerahkan pedang</div><div>tumpulnya yang diminta.</div><div>Tapi Go-tong Sin-kho mendadak tertawa dan berkata.</div><div>"Saudara Pedang Tumpul, tidak usah kau menyerahkan pedangmu Kepadanya.</div><div>Pertandingan ilmu pedang didalam Tong-in-san-chung ini tetah selesai sampai</div><div>disini saja. Kepandaiannya Bee Tie berada diatasnya semua Kong-cu lainnya, dan</div><div>esok hari ia boleh ikut kepadaku untuk pulang kepulau Go-tong saja "</div><div>Sungguh aneh Kong-cu baju hijau yang mendengar keterangan itu sebaliknya ini.</div><div>Tapi yang membikin ia lebih kaget lagi ialah itu kata-katanya Go-tong Sin-kho</div><div>yang susah dimengerti, apa maksudnya. Maka dengan suara keras ia berkata.</div><div>“Aku Bee Tie tidak mau dijadikan babah mantunya keluarga Siauw, dan juga</div><div>tidak mau ikut kepulau Go-tong yang jauh itu. Go-tong Sia-kho yang mendengar</div><div>kata-katanya Bee Tie ini sudah berubah parasnya menjadi pucat. Dengan sekali</div><div>menggoyangkan kedua pundaknya ia sudah lompat kehadapannya Bee Tie dan</div><div>memandangnya dengan teliti sekali.</div><div>Bee Tie yang dipandangnya demikian sudah menjadi kikuk, tapi yang membikin</div><div>ia lebih heran lagi. iayalah cekalannya si Kong-cu baju hijau sudah menjadi</div><div>gemetaran seperti lakunya seorang yang ketakutan saja.</div><div>Bee Tie yang tidak mengetahui akan keadaan si Kong-cu sudah membalikan</div><div>kepalanya dan berkata kepadannya.</div><div>"Apa yang kau takuti? Kita tidak perlu menjadi takut untuk menghadapi kejadian</div><div>ini.”</div><div>Go-tong Sin-kho yang mendengar kata-katanya Bee Tie tadi dengan secara</div><div>langsung lantas menanya kepadanya.</div><div>"Jika kau tidak mau ikut kepada kita untuk pulang kepulau Go-tong mengapa</div><div>kau tadi berani naik keatas panggung ini.”</div><div>“Karena harus menolong jiwa orang, aku sampai melupakan diriku sendiri.”</div><div>"Jadi kau bersifat main-main saja !"</div><div>“Boleh dikata juga begitu,” jawab Bee Tie tertawa.</div><div>Matanya Go-tong Sin-kho mulai menjadi beringas. Bee Tie yang melihat</div><div>perobahan mukanya sudah mengerti akan bahaya, dengan melepaskan</div><div>cekalannya si Kong-cu baju hijau ia sudah mulai siap siaga untuk menghadapi</div><div>segala kemungkinan.</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpnl” yang melihat Bee Tie berada didalam bahaya juga</div><div>sudah memajukan dirinya untuk siap memberikan bantuannya.</div><div>Dalam saat yang segenting ini, tiba-tiba terdengar suara tertawanya si “Putih</div><div>Kurus” tadi.</div><div>"Go-tong Sin-kho, lebih baik kau menyerah kalah sajalah kepadanya.”</div><div>Empat orang tua tinggi besar yang selalu mengikuti Tiang-pek Kong-cu juga</div><div>tidak mau ketinggalan untuk membakar panas hati orang, salah satu dari mereka</div><div>sudah berkata.</div><div>Tidak disangka Go-tong Sin-kho yang ternama bolehnya jatuh namanya begitu</div><div>saja.”</div><div>Kata-kata merek ini seperti dua kipas saja yang mengipasi hatinya Go-tong Sin</div><div>kho yang sedang panas.</div><div>Si Kong-cu baju hijau yang berdiri disebelahnya Bee Tie tiba-tiba menjerit seperti</div><div>gila.</div><div>“Bee Tie aku benci sekali padamu.”</div><div>Kaki dan tangannya sudah berjingkrakan seperti mau memukul kearahnya. Bee</div><div>Tie sudah menjadi kaget dan tidak mengerti akan sikap kawannya yang telah</div><div>berubah dalam seketika ini. Dengan cepat ia telah mengulurkan kedua tangannya</div><div>untuk menyekal dua tangan orang yang sudah seperti setengah gila ini.</div><div>"Kau mengapa benci kepadaku? Kesalahan apa yang telah menyebabkan kau</div><div>berlaku seperti ini," Dengan sabar Bee Tie berkata kepada kawannya itu.</div><div>Go-tong Sin-kho yang sudah tidak dapat menahan kesabarannya sudah mulai</div><div>menyerang dengan angin pukulannya yang hebat kepada si anak muda, Bee Tie</div><div>dengan terpaksa harus melepaskan cekalannnya pada tangan kawannya dan</div><div>lompat nyamping tiga tindak.</div><div><br /></div><div>Go-tong Sin-kho sambil menarik tangannya si Kong-cu baju hijau sudah</div><div>membentak lagi kearahnya Bee Tie.</div><div>"Apa betul kau tidak mau ikut pergi dari sini?"</div><div>Belum juga Bee Tie dapat menjauhi atau tiba-tiba terdengar suara tindak yang</div><div>cepat sesekali sedang mendatangi. Seorang tinggi besar dengan menyelak sana</div><div>dan sini tahu-tahu sudah berada diatas pangung.</div><div>Bee Tie dan si “Pelajar Pedang Tumpul” yang membelakangi orang baru datang</div><div>ini sudah tentu tidak dapat melihat bagaimana wajahnya orang ini Go-tonng Sin</div><div>kho biarpun dapat melihatnya dengan jelas sekali tapi karena tidak mengenalnya</div><div>juga tidak mau ambil perduli. Hanya si Kong-cu baju hiiau yang lantas menjerit</div><div>kaget atas kedatangannya orang itu.</div><div>"Lee Thian Kauw." Demikian teriaknya si Kong-cu baju hijau dengan ketakutan</div><div>sekali.</div><div><br /></div><div>IX. JARING ASMARANYA LEE THIAN KAUW</div><div><br /></div><div>BEE Tie yang mendengar disebutnya nama “Lee Thian Kauw” sudah menjadi</div><div>tergetar hatinya, ia membalikan tubuhnya dengan tiba-tiba dan tidak mau</div><div>memperdulikan Go-tong Sin kho lagi. Sambil menghadapi Lee Thian Kauw ia</div><div>sudah membentak keras. "Bagus, Lee Thian Kauw. kau akhirnya datang kesini</div><div>juga, kebetulan sekali karena aku sudah tidak susah susah mencarimu lagi.</div><div>Lee Thian Kauw tertawa terbahak bahak. “Tidak disangka disini kita dapat</div><div>bertemu lagi." ia menyindir.</div><div>Lalu dengan tidak memperdulikan Bee Tie lagi ia sudah menghadapi Go-tong</div><div>Sin-kho dan berkata.</div><div>"Lee Thian Kauw dari Kui-in-chung datang untuk turut menyaksikan wajah</div><div>cantiknya Sin-kho yang tersohor.</div><div>Tapi si Kong-cu baju hijau yang berada dibelakangnya Go-tong Sin-kho sudah</div><div>meneriakinya.</div><div>"Ibu, aku sudah mengatakan padamu dan janganlah dapat terpedya oleh</div><div>perkataan manisnya.</div><div>Bee Tie yang mendengar si Kong-cu baju hijau membasahakan Ibu, kepada Gotong</div><div>Sin-kho seolah-olah disambar petir, tidak disangka bahwa sang kawan ini</div><div>dapat mengelabui matanya sedemikian lamanya. "Kalau begitu dia perempuan.”</div><div>dalam hatinya berkata.</div><div>Dilain pihak Go-tong Sin-kho berdua dengan Lee Thian Kauw sudah</div><div>berpandangan sekian lama, Go-tong Sin-kho meski tidak tertawa, tapi juga tidak</div><div>marah kepadanya, sedang Lee Thian Kauw masih tertawa saja.</div><div>Bee Tie mengeluarkan suara dari hidung. Baru saja ia mau berkata atau sudah</div><div>terdengar Go-tong Sin-kho membuka mulutnya. "Kiranya chung-cu dari Kui-inchung</div><div>yang datang kemari? Pernah juga ada yang mengatakan padaku bahwa</div><div>kedatanganmu ini tidak mempunyai maksud baik kepadaku apa betul?”</div><div>Si Kong-cu baju hijau Siauw Beng Eng sudah turut menyambung kata-kata</div><div>ibunya. "Betul. Ibu jangan percaya padanya, sifat kejamnya sukar untuk diduga.”</div><div>Go-tong Sin-kho mengerlingkan matanya dan menanya kepada Lee Thian Kauw.</div><div>"Lee chungcu, apa betul kata-katanya itu?"</div><div>Lee Thian Kauw mesem senyumannya seperti tidak ada habis-habisnya saja.</div><div>Dengan lagu suara yang dapat memikat wanita ia berbalik menanya?"</div><div>"Apa Sin-kho percaya akan kata-katanya?"</div><div>Lalu ia mulai menghampiri Bee Tie lagi, dari dalam sakunya ia mengeluarkan itu</div><div>senjata rahasia yang tempo hari ditimpukkan oleh Bee Tie menghantam</div><div>mukanya, segera disodorkan kehadapan mukanya Bee Tie dan berkata dengan</div><div>suara halus.</div><div>"Anak, kau lupa mengambil kembali senjata rahasiamu ini."</div><div>Bee Tie menjadi melongo, ia menatap wajahnya Lee Thian Kauw dan segera</div><div>dapat lihat di pipi kirinya ada tanda bekas luka. ia tidak berani menyambuti, lalu</div><div>mundur tiga tindak.</div><div><br /></div><div>"Lee Thian Kauw, siapa yang menjadi anakmu?" bentaknya.</div><div>"Kebencianmu sampai sedemikian hebatuya apa kau telah lupa kepadaku yang</div><div>selalu telah mengampuni dirimu?"</div><div>Bee Tie dengan menggoyang-goyangkan serulingnya berkata. "Lee Thian Kauw</div><div>aku sudah benci sekali padamu.”</div><div>Ia lain mengeluarkan kepandaiannya ilmu silat dari “Sumur kematian”. Kaki</div><div>kirinya bertindak ke kiri selangkah dan mengangkat kaki kanannya tiga langkah,</div><div>tangannya yang memegang seruling sudah disodorkan menotok jalan darahnya</div><div>Lee Thian Kauw.</div><div>Lee Thian Kauw tertawa berkakakan. Ia memajukan langkahnya dua tindak,</div><div>lengan bajanya dikibaskan untuk menggulung seruling orang.</div><div>Tapi ia tidak menyangka bahwa kepandaiannya Bee Tie sudah bukan</div><div>kepandaiannya pada waktu yang lampau. Pada saat tangannya Lee Thian Kauw</div><div>belum dapat ditarik kembali sudah terdengar teriakannya Bee Tie yang nyaring</div><div>sekali.</div><div>“Kena!”</div><div>Jalan darah dibokongnya sudah terasa terkena totokannya seruling Bee Tie,</div><div>masih untung Lee Thian Kauw mempunyai kepandaian yang luar biasa dengan</div><div>menyedot sedikit hawa. ia sudah dapat menarik diri serangan orang. Tapi</div><div>walaupun demikian tidak urung ia juga merasakan sakit pada bagian jalan darah</div><div>yang terkena totokan tadi. Cepat-cepat Lee Thian Kauw membalikkan diri,</div><div>dengan muka pucat dipandangnya anak muda dihadapannya.</div><div>Lee Thian Kauw bisa menyesuaikan diri, perobahan mukanya tadi hanya</div><div>sebentar saja, kemudian ia tertawa lagi dan bersenyum kearahnya Bee Tie sambil</div><div>berkata.</div><div><br /></div><div>"Pesat sekali majunya kepandaianmu, aku sampai tidak menyangkanya sama</div><div>sekali.”</div><div>Semua penonton dengan mata tidak berkesiap memandang kearah mereka</div><div>berdua, siapa juga tidak mengerti apa yang dilakukan oleh mereka yang seperti</div><div>main tonil saja.</div><div>Ada juga beberapa tamu yang pernah mengenal Lee Thian Kauw sudah menjadi</div><div>heran sekali. Siapa yang tidak heran melihat Cung-cu Kui-in-chung yang tidak</div><div>berkepandaian ini dalam sekejapan mata saja sudah menjadi satu jago yang kuat</div><div>sekali, Bee Tie yang tahu akan kelihayan Lee Thian Kauw, tidak begitu heran</div><div>melihat serangannya yang berhasil tapi masih tidak dapat menjatuhkan Lee</div><div>Thian Kauw. Dengan perlahan-lahan ia memajukan dirinya lagi.</div><div>Tapi. Lee Thian Kauw rupanya tidak mau menghadapinya ini hari. dengan</div><div>menjauhi dirinya Bee Tie ia sudah lompat kehadapannya Go-tong Sin-kho dan</div><div>berkata dengan suara yang merayu hati.</div><div>“Apa kau masih tidak mengerti akan maksudahatiku ini?"</div><div>Sikapnya Go-tong Sin-kho tiba-tiba telah berubah menjadi keren dan berkata</div><div>dengan singkat.</div><div>"Tidak mengerti.”</div><div>Tapi walaupun ia berkata begitu, pandangan matanya memandang Lee Thian</div><div>Kauw dengan penuh arti.</div><div>Lee Thian Kauw sebagai seorang akhli mana tidak mengetahui kalau tipu Ha, ha,</div><div>hi, hi-nya yang pertama telah berhasil bagus, maka ia lantas tertawa berkakakan</div><div>ditempatnya tadi.</div><div>Muka Go-tong Sin-kho tiba-tiba telah berubah, terdengar ia menggeram dan</div><div>membentak.</div><div>"Lee Thian Kauw, kau berani menghina aku disini?"</div><div>Berkata sampai disini, badannya Go-tong Sin-kho seperti menggigil, matanya</div><div>juga sudah agak merah (mau mewek? Kok).</div><div>Siauw Beng Eng yang menyaksikan perobahan ibunja sudah meneriakinya.</div><div>“Bu, kau mengapa?"</div><div>Go-tong Sin-kho coba menenangkan hatinya, dengan adem menjawab.</div><div>“Tidak apa-apa.”</div><div>Si Pelajar pedang tumpul, jnsa sudah membuang sikap jenakanya, dengan</div><div>sunguh-sungguh menanya kearahnya Bee Tie.</div><div>“Bagaimanakah kejadiannya?"</div><div>Bee Tie yang tidak memandang mata kepada mereka sudah menjebikan bibirnya</div><div>dan berkata, "Hanya jaringan asmaranya Lee Thian Kauw saja.”</div><div>Go-tong Sin-kho yang mendengar kata-kata Bee Tie sudah menjadi marah,</div><div>sambil memandang kearahnya Lee Thian Kauw dengan suara keras ia berkata.</div><div>"Lee cungcu, apa kau tidak dapal mewakiliku mengajar adat kepada bocah yang</div><div>kurang ajar ini !"</div><div>Tertawanya Lee Thian Kauw masih belum habis semua, begitu mendapat</div><div>sambutan hawa dari si janda jelita, tangannya kelihatan semakin tengik matanya</div><div>memandang kearahnya Bee Tie sendiri.</div><div>Ketegangan telah terlihat dari kelakuannya Bee Tie, ia mundur tiga tindak dan</div><div>melintangkan seruling ayahnya diatas dada.</div><div>"Lee Thian Kauw kau mau berbuat apa?" bentaknya.</div><div>Senyuman iblis Lee Thian Kauw sudah mulai kentara, dengan tidak</div><div>memperdulikan kata-katanaya Bee Tie tadi ia menoleh kearahnya si “Putih</div><div>Kurus” dan menanya</div><div>“Setan tua dari Bong-san, apa kau masih mau menolongi bocah yang belum tahu</div><div>tingginya langit ini."</div><div>Si “Putih Kurus” berdehem sekali dan tertawa.</div><div>"Bocah yang tak mengenal budi, siapa yang keinginan menolongi.” Jawabnya.</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” yang melihat keadaan tak menguntungkan sudah</div><div>mulai memajukan dirinya dan membentak kearah mereka.</div><div>"Kalian mau berbuat apa padanya?"</div><div>Lee Thian Kauw tertawa panjang, dengan memandang kearahnya si “Pelajar</div><div>Pedang Tumpul” ia berkata, "Apa kau bersedia menalangi dirinya?"</div><div>"Kau siapa?"</div><div>Lee Thian Kauw tertawa berkakakan.</div><div>"Apa kau masih belum pernah mendengar namanya. Sepasang orang aneh dari</div><div>Thian-san?”</div><div>Pandangan matanya si ”Pelajar pedang tumpul” yang kebentrok dengan sinar</div><div>tajamnya Lee Thian Kauw sudah menjedi tergetar juga, apalagi setelah</div><div>mendengar disebutnya nama Sepasang orang aneh dari Thian-san hatinya</div><div>semakin kaget. Tahulah ia sekarang bahwa tidak mungkin baginya dapat</div><div>menandingi jago ternama ini. dengan tertawa lebar ia coba menenangkan diri.</div><div>Terdengar suara Bee Tie lagi.</div><div><br /></div><div>"Terima kasih atas perhatiannya lo-cianpwe yang telah mencapaikan diri. tapi</div><div>Lee Thian Kauw ini mempunyai permusuhan yang dalam sekali dengan diriku,</div><div>maka disini boan-pwee sudah siap untuk mengadu jiwa dengannya, harap</div><div>locianpwce hanya turut menyaksikan saja."</div><div>Lalu dengan sikap yang berani ia menghampiri Lee Thian Kauw.</div><div>Lee Thian Kauw, setelah terkena totokannya seruling Bee Tie tadi, pandangannya</div><div>terhadap anak muda ini sudah menjadi lain sekali. Ia heran melihat kemajuan</div><div>Bee Tie yang pesat sekali, maka ia tak berani gegabah lagi, dengan sikap setengah</div><div>tertawa setengah waspada ia berdiri saja ditempatnya tadi.</div><div>Seluruh ruangan pertandingan ini sudah mejadi tenang sekali. Semua orang</div><div>sudah menyaksikan akan kepandaiannya Bee Tie saja, tapi banyak orang juga</div><div>yang sudah pernah mendengar namanya. “Sepasang orang aneh dari Thian-san</div><div>yang kesohor, siapa juga tidak berani sembarangan memastikan siapa lebih</div><div>unggul di antara mereka berdua.</div><div>Bee Tie mulai bertindak maju lagi. ia tegang karena tahu akan kepandaian musuh</div><div>besarnya ini.</div><div>Baru saja Bee Tie bertindak dua langkah lagi atau sudah terdengar bentakannya</div><div>Lee Thian Kauw.</div><div>"Apa betul kau sudah tidak takut mati?”</div><div>Bee Tie tidak mau memperdulikan ancamannya sang musuh besar ini, hanya</div><div>terlihat bayangan kecil berkelebat seruling hitam membuat setengah lingkaran</div><div>dan mengarah bebokong orang lagi.</div><div>Lee Thian Kauw mengeluarkan geramannya, hur, hur, dan pukulan tangan</div><div>kosongnya telah dikeluarkan mengarah bayangan yang datang kearahnya.</div><div>Bee Tie mana membiarkan badannya terkena pukulau musuh besarnya ini.</div><div>seruling digentak kebawah menutul tanah dan melesatlah ke udara tubuhnya</div><div>yang kecil.</div><div><br /></div><div>Lee Thian Knuw mengibas-ngibaskan lengan bajunya, berlompatan kesini dan</div><div>ramailah pertarungan diantara dua lengan baju dan seruling hitamnya Bee Tie.</div><div>Semua penonton sampai pada menahan napasnya ratusan mata dipentang</div><div>selebar-lebarnya memandang mereka berdua. Inilah pertempuran yang sukar</div><div>untuk tidak meminta jiwa, karena lengih sedikit saja salah satu dari mereka tentu</div><div>akan ada yang terluka."</div><div>Mendadak Lee Thian Kauw membentak keras, terlihat Bee Tie terpental mundur</div><div>lebih dari lima tindak dengan muka pucat sudah terjatuh diatas panggung</div><div>pertandingan.</div><div>Walapun demikian, Lee Thian Kauw juga tidak dapat menarik banyak</div><div>keuntungan darinya, terlihat ia mulai batuk-batuk dan memuntahkan darah</div><div>segar. Sewaktu ditegasi ternyata baju didepan dadanya terlihat tiga bolongan</div><div>bekas totokan serulingnya si cabe rawit.</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul”, yang melihat Bee Tie telah terluka sudah</div><div>menghunus pedang tumpulnya, dengan sekali lompat saja ia sudah berada di</div><div>dampingnya si anak muda untuk melindungi keselamatannya.</div><div>Go-tong Sin-kho waktu itu sudah menghampiri dengan tertawa ia berkata.</div><div>"Saudara Pedang Tumpul, apa kau sudah bersedia untuk menjadi pembelanya."</div><div>Si Pedang Tumpu1 tertawa dingin.</div><div>“Sin-kho memang mempunyai hati yang melebihi jarum tajamnya. Dengan nama</div><div>besarnya keluarga Siauw Yung ternama, kau apa tidak malu telah menyuruh</div><div>Thian Kauw membunuh seorang anak kecil yang masih belum tahu suatu apa?”</div><div>Go-tong Sin-kho tidak dapat menjawab jengekannya si Pedang Tumpul yang</div><div>mempunyai lidah tidak tumpul ini. Ia memandang kearahnya para tetamu yang</div><div>juga tidak puas dengan tindakannya tadi. Terlihat diantara mereka tidak sedikit</div><div>yang sudah mempelototkan mata mereka kearahnya dengan perasaan tidak enak</div><div>perlahan-lahan ia mulai mengundurkan dirinya lagi.</div><div><br /></div><div>Keadaan disaat itu memang menguntungkan dirinya Bee Tie baru saja si pedang</div><div>Tumpul mau mengangkat tubuhnya Bee Tie untuk dibawa pergi atau terdengar</div><div>teriakanrya si Putih Kurus yang serakah dan jahat.</div><div>"Hei, tunggu sebentar, perhitunganmu dengan aku harus dibikin beres terlebih</div><div>dahulu.”</div><div>Dengan tidak memberi kesempatan untuk lawannya membantah lagi, si “Putih</div><div>Kurus” sudah mengirim pukulannya sampai dua kali.</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” mengangkat Padang tumpulnya dan diputar</div><div>demikian rupa yang segera disodorkan kearah lawan busuknya. Dengan marah ia</div><div>mengeluarkan bentakannya.</div><div>"Setan kuras, permusuhan apa yang mengganjal diantaramu dengan anak muda</div><div>ini.”</div><div>Tentu saja si Pedang Tumpul tidak tahu bahwa itu ‘Pepatah sebagai kunci</div><div>pengambilan kitab Kiu-teng-sin-kang’ yang tersimpan di dalam Tongkat Rantai</div><div>Kumala telah dapat didengar oleh si “Putih Kurus”. Demi kepentingannya sendiri</div><div>tentu saja ia mesti membunuh Bee Tie, ialah orang satu-satunya yang bakal</div><div>menjadi saingannya dalam pengambilan kitab yang berharga itu. Apa lagi tadi</div><div>setelah menyaksikan sendiri bagaimana ia bertempur dengan Lee Thian Kauw,</div><div>dengan kepandaian barunya ternyata sudah dapat menandingi Lee Thian Kauw</div><div>yang ternama, bagaimana ia tidak menjadi iri hati dan takut dikemudian hari?"</div><div>Si “Putih Kurus” sambil tertawa terkekeh-kekeh mengbindarkan serangannya si</div><div>Pedang Tumpul, dan lompat ke belakang orang untuk memukul dengan tangan</div><div>kosong.</div><div><br /></div><div>Selihay-lihaynya a si Pedang Tumpul, mana ia dapat menandingi si “Putih Kurus”</div><div>dari goa Batu Kepala Manusia digunung Bong-san ini? Sebentar saja ia sudah</div><div>mulai mandi keringat karena harus lelompatan ke sana sini menghindari</div><div>serangan musuhnya yang Iihay.</div><div>Terlihat semua orang sudah menjadi tegang lagi, mereka bukannya</div><div>menguatirkan Si pedang tumpul yang sudah terkurung oleh pukulannya si Putih</div><div>Kurus tadi, tapi waktu itu Lee Thian Kauw yang mempunyai latihan sempurna</div><div>sebentar saja telah dapat menyembuhkan luka-luka dalamnya, tampak dengan</div><div>perlahan-lahan sudah menghampiri Bee Tie, yang masih belum kuat untuk</div><div>bangun berdiri.</div><div>Semua orang merasa sudah menjadi sesak napas menikiri nasibnya si pemuda.</div><div>Tiba-tiba terlihat sinar hijau berkelebat tahu-tahu Siauw Beng Eng sudah</div><div>menyelak disana dan membentak arahnya Lee Thian Kauw.</div><div>"Kau ini pengacau dunia, jika berani kau mengganggu selembar rambutnya, aku</div><div>akan segera mengadu jiwa disini!"</div><div>Pertama-tama Lee Thian Kauw sudah dibikin melengak juga, tapi setelah</div><div>berpikir sebentar ia sudah tertawa lagi seperti biasa. Dengan sikap yang sangat</div><div>menghormat sekali ia sudah berkata kearahnya Go-tong Sin-kho yang menjadi</div><div>ibunya si gadis nakal ini.</div><div>"Lee Thian Kauw sudah menurut perintahnya Sin-kho tadi, tapi mengapa Sinkho</div><div>juga menyuruh dia menghalangi tindakanku? Apa Sin-kho bukannya sedang</div><div>bercanda saja?"</div><div>Saking gemasnya Go-tong Sin-kho sudah menjadi geregetan sekali, dengan suara</div><div>galak ia membentak anak gadisnya.</div><div>“Beng Eng, lekas kau kemari.”</div><div>Siauw Beng Eng dengan muka yang minta dikasihani sudah menalangi Bee Tie</div><div>memohon pengampunannya.</div><div>“Bu, biarpun Bong-san Kong-cu tidak mau mengikuti kita pulang kepulau Gotong,</div><div>tapi untuk kesalahannya ini apa tidak terlalu berat jika mendapat hukuman</div><div>mati?"</div><div>Go-tong Sin-kho tidak bergerak dari tempatnya sudah membentak lagi!</div><div>"Beng Eng, ini semua bukannya urusanmu. Lekas kau kembali kemari.”</div><div>Tapi Siauw Beng Eng masih tetap membandel dan diam saja disamping</div><div>pujaannya yang terluka.</div><div>Go-tong Sin-kho menjadi bertambah marah perlahan-lahan ia maju</div><div>menghampiri Siauw Beng Eng yang lebih tahu akan sifat ibunya sudah menjadi</div><div>gemetaran ditempatnya. dalam keadaan yang segenting ini tiba-tiba ujung</div><div>bajunya seperti ada yang ditarik dengan perlahan sekali.</div><div>Ia menundukan kepalanya dan dilihatnya Bee Tie masih terduduk ditempatnya</div><div>tadi tapi mukanya sudah tak seperti tadi, Siauw Beng Eng sudah mengerti dan</div><div>menubruk ke arah ibunya dengan lagak kolokan sekali.</div><div>"Bu. anakmu tidak akan berani lagi."</div><div>Go-tong Sin-kho perlahan-lahan menyingkirkan tubuh anaknya, dengan suara</div><div>dingin berkata.</div><div>“Hampir saja aku akan membunuhmu juga bersama-sama dengan dia."</div><div>Siauw Beng Eng menjadi bergidik mendengar akan kata-kata ibunya ini. Tidak</div><div>lama sudah terdengar suaranya Go-tong Sin-kho yang berkata searahnya Lee</div><div>Thian Kauw.</div><div>“Lee cungcu jangan salah mengerti, bilakah aku berani mempermainkan dirimu.”</div><div>Lee Thian Kauw menengadah kelangit dan berkata dengan suara yang keras.</div><div>“Bee suheng bukannya sutemu tidak dapat memelihara baik-baik anakmu, tapi</div><div>dia sendirilah yang mancari mati disini.</div><div>Begitu perkataannya ini tertutup, badannya sudah melesat tinggi, seperti burung</div><div>rajawali besar yang mau menerkam mangsanya saja ia telah menubruk</div><div>kearahnya Bee Tie.</div><div>Si Pedang tumpul biarpun sedang dalam keadaan terdesak oleh pukulanpukulannya</div><div>si “Putih Kurus”, tapi sedari tadi Ia tidak dapat melupakan</div><div>keadaannya Bee Tie yang memang cukup berbahaya. Begitu melihat tangan</div><div>elmaut sudah mengancam si pemuda ia sudah melupakan bahaya yang</div><div>mengancam dirinya dan melemparkan pedang tumpulnya ke sana.</div><div>Karena pecahnya perhatian inilah, dengan tidak ampun lagi pakaiannya si Putih</div><div>Kurus dengan tepat telah mengenai sasarannya.</div><div>“Duk, Duk, si Pedang Tumpul sampai terhuyung-huyung mundur.</div><div>Lee Thian Kauw tidak menyangka kepada si Pedang Tumpul, yang untuk</div><div>membela dirinya sendiri saja sudah susah, masih dapat memberikan</div><div>pertolongannya. Maka begitu pedang datang menyambar kearahnya hampir saja</div><div>ia tertusuk, untung saja ia mempunyai latihan mata yang cukup sempurna,</div><div>dengan melepaskan mangsanya ia sudah menyingkir dari lemparan pedang</div><div>tumpul.</div><div>Begitu Lee Thiau Kauw sudah berdiri tegak lagi ia sudah siap untuk menerkam</div><div>lagi korbannya, tiba-tiba sudah terdengar teriakannya Lu-Tong Kong-cu yang</div><div>sudah tidak dapat menyabarkan diri.</div><div>“Tahan."</div><div>Lee Thian Kauw sudah menjadi penasaran, siapakah orangnya yang masih</div><div>mempunyai nyali sebesar itu? Ia menengokan kepalanya untuk melihat dimana</div><div>suara Lu-tong Kong-cu tadi berada.</div><div>Tapi dalam yaktu secepat ini, terlihat Bee Tie sudah mementalkan dirinya lagi,</div><div>dengan kesebatan yang luar biasa ia sudah menggunakan seruling hitamnya</div><div>menyabet musuh besarnya.</div><div>Lee Thian Kauw lantas menjerit, ketika ditegasi ternyata benar luka dimukannya</div><div>sudah mencucurkan darah lagi karena terkena goresannya seruling hitam musuh</div><div>ciliknya.</div><div>Bee Tie yang sudah menjadi seperti seekor macan kecil yang kalap tidak berhenti</div><div>sampai disini saja seperti datangnya angin puyuh saja ia sudah menubruk</div><div>kearahnya si Putih Kurus yang sedang kegarangan menang bertempur.</div><div>Sebentar saja si Putih Kuius menjadi gelagapan menghindari seranganseranganya</div><div>Bee Tie yang aneh-aneh.</div><div>Dibawah pancung Kim-leng Kong-cu yang melihat gurunya dicecer oleh serangan</div><div>pemuda galak ini sudah lompat naik ke atas untuk memberikan bantuan</div><div>tenaganya.</div><div>Bee Tie tertawa dingin, ia mengempos tenaganya dan beruntun sampai tiga kali</div><div>menyerang dengan seruling hitamnya.</div><div>Si “Putih Kurus” mundur-mundur, dan mundur lagi. Bee Tie memindahkan</div><div>seruling hitamnya ketangan kiri, Buk. pukulannya dengan tepat telah dapat</div><div>menempel diatas dada orang.</div><div>Hampir saja si Putih Kurus jatuh terjengkang jika tidak lekas lekas melompat ke</div><div>kiri.</div><div>Bee Tie tidak berhenti sampai disini, dengan seruling yang berada ditangan kiri</div><div>tidak henti-hentinya ia mendesak lagi.</div><div>Si “Putih Kurus” berteriak-teriak kalang kabutan menghindari serangan ini dan</div><div>tidak henti-hentinya main mundur lagi. (Jadi kaya undur undur dong? Kor)</div><div>Sekarang ia telah masuk kedalam perangkapnya Bee Tie, ternyata dibelakangnya</div><div>ada si Pedang Tumpul yang sudah lama menanti, jika saja si pelajar mau</div><div>menambah pukulannya dari belakangnya, tertu tamatlah riwayatnya orang</div><div>serakah dan sekeker ini.</div><div>Kejadian diluar dugaan sudah terjadi, bukan saja si pelajar tua tidak memberikan</div><div>pukulan tambahannya, malah mengangsurkan tangannya mengangkat tubuhnya</div><div>si setan kurus yang segera disingkirkan kesampingnya dan berkata.</div><div>“Setan Kurus”, sudahlah menyerah kalah saja."</div><div>Lalu pelajar tua yang budiman ini dengan menahan rasa sakitnya juga sudah</div><div>menghadang didepannya Kim-leng Kong-cu Jie Ceng yang datang mau</div><div>membantui gurunya, berkata.</div><div>"Kau masih bukan tandingannya, lekaslah bawa gurumu ini meninggalkan</div><div>tempat ini."</div><div>Si “Putih Kurus” sebagai orang yang kawakan mana mau mengerti dapat</div><div>dikalahkan oleh bocah yang masih ingusan ini? Dengan kalap ia sudah menubruk</div><div>lagi kearahnya Bee Tie.</div><div>Si cabe rawit lompat menyingkir dari tubrukannya orang kalap ini dan</div><div>memberikan peringatannya.</div><div>“Setan Kurus”, aku Bee Tie masih ingat kepadamu yang telah memberikan</div><div>pertolongannya padaku pada tiga bulan yang lalu. Maka aku tidak mau terlalu</div><div>mendesak kepadamu."</div><div>Di sana terlihat Lee Thian Kauw seperti sudah pulih lagi tenaganya dan siap</div><div>untuk menerkam mangsanya lagi.</div><div>Bee Tie yang melihat sudah menjadi tegang lagi, ia mengeraskan cekalan seruling</div><div>hitamnya siap untuk menanti.</div><div>Si Pedang Tumpul juga telah menggunakan kesempatan mereka sedang kalut</div><div>tadi telah mengambil pedang tumpulnya kembali, ia melangkah maju dua tindak</div><div>lagi dan berteriak kearahnya si Putih Kurus yang bandel.</div><div>“Setan Kurus” lekaslah ajak muridmu untuk meninggalkan tempat ini.”</div><div>Si “Putih Kurus” mempelototkan matanya dan sukar untuk begitu saja mau turun</div><div>dari panggung pertandingan ini.</div><div>Si Pedang Tumpul yang tahu akan kesukaran orang sudah tertawa berkakakan.</div><div>“Setan Kurus, jika kau mau mengadu kekuatan carilah tempat yang lebih leluasa</div><div>dari panggung ini, tiga hari kemudian bagaimana jika aku berkunjung kepuncak</div><div>Kie-ting, untuk mengadu kekuatan kita disana?"</div><div>Inilah siasat pintarnya si pelajar tua, ia sengaja berkata begini agar si “Putih</div><div>Kurus” punya alasan kuat untuk mengundurkan dirinya. Maka betul saja terlihat</div><div>si “Putih Kurus” dengan membelalakan putih matanya berkata.</div><div>"Baiklah. Tiga hari kemudian aku akan siap menunggumu disana."</div><div>Dengan mengajak muridnya ia sudah untuk meninggalkan Tong-tu san-chung</div><div>atau tiba-tiba Go-tong Sin-kho yang telah lama tidak bicara sudah meneriaki</div><div>mereka.</div><div>“Jie Kong-cu, tunggu sebentar." Kim-leng Kong-cu Jie Ceng melengak, ia</div><div>menolehkan kepalanya menatap dengan pandangan mata tidak mengerti.</div><div>Go-tong Sin-kho tertawa terhadapnya.</div><div>“Kong-cu telah datang ketempat Tong-tu-san-chung sini, tentu mempunyai</div><div>niatan untuk mengikuti kita pulang kembali ke pulau Go-tong. Tunggulah</div><div>sebentar biar aku dapat memikirkan persoalan ini.”</div><div>Harapannya Jie Ceng sudah timbul kembali, para Kong-cu lainnya yang</div><div>mendengar kata-kata inipun masih hilang harapan dan semua memandang</div><div>kearahnya Go-tong Sin-kho.</div><div>Go-tong Sin-kho tak perdulikan mereka, seperti sengaja sudah mengerlingkan</div><div>matanya kearah Lee Thian Kauw.</div><div>Si orang she Lee yang sedang berjalan menghampiri Bee Tie mendengar katakatanya</div><div>tadi sudah berpaling, ia melihat kerlingan si janda jelita, tapi tidak</div><div>mengerti dan menanya.</div><div>"Kata-kata Sin-kho barusan mempunyai arti apa?"</div><div>"Aku hanya mau mengajak mereka kepulan Go-tong untuk meniliknya."</div><div>Siauw Beng Eng yang mendengar kata-kata ibunya ini sudah menjadi berjingkrak</div><div>dan menanya.</div><div>"Apa betul kata-kata ibu ini?"</div><div>Go-tong Sin-kho dengan perlahan membisiki kuping anaknya.</div><div>"lbumn sudah bersusah payah mendirikan panggung pertandingan ini untuk</div><div>mencarikan babah mantu yang dapat dipenujui, tidak disangka bocah angkuh itu</div><div>tidak memandang mata kepada kita. apa kita dapat pulang dengan percuma? Kau</div><div>tenangkan sajalah hati mu, aku mempunyai rencanaku sendiri.”</div><div>Siauw Beng Eng sudah menjadi menggigil seperti kedinginan dengan</div><div>membanting-banting kaki ia menyesali akan tindakan ibunya yang sembrono itu.</div><div>"Bu, jika kau betul berbuat begitu, aku tidak akan kembali ke pulau Go-tong lagi.”</div><div>“Diam." sang ibu membentak puterinya.</div><div>Siauw Beng Eng dengan tidak berkata-kata lagi sudah enjot badannya melesat</div><div>dan lenyap diantara orang banjak yang datang ke dalam Tong-tu-san-chung itu.</div><div>Ketika Go-tong Sin-kho engah akan perbuatan anak gadisnya ini, ia sudah</div><div>menjadi tidak berdaya lagi karena sudah kehilangan jejaknya sama sekali. Semua</div><div>kemarahannya sudah segera ditumplekan keatas dirinya Bee Tie, dengan</div><div>perlahan-lahan dihampirinya anak muda yang dianggap menjadi gara-garanya.</div><div>Bee Tie kaget, dengan tidak terasa ia sampai mundur dua kali, tapi kemudian ia</div><div>sudah maju lagi dan mengeluarkan bentakannya sebagai penguat hati.</div><div>"Kau ini setan cantik, apa kau kira aku takut padamu?"</div><div>Ia memalangkan serulingnya siap untuk menantikan segala seranganya, tiba-tiba</div><div>si Pedang Tumpul sudah menyelak diantara mereka dan tertawa.</div><div>"Biar aku saja yang menerima pelajaran darinya.”</div><div>Lee Thian Kauw juga tidak mau tinggal diam. ia lompat ke sana, memberikan</div><div>pukulannya dan mengeluarkan bentakannya.</div><div>"Minggir."</div><div>Pukulan tangan kosong ini jika dilihat dengan sekelebatan saja memang tidak</div><div>ada artinya. si “Pedang Tumpul” tertawa, pedang tumpulnya digeser ketangan</div><div>kiri dan menyambati tenaga pukulan tadi.</div><div>Dasar nasibnya lagi apes, si pelajar tua yang lukanya baru saja sembuh tadi.</div><div>begitu membentur pukulannya Lee Thian Kauw yang istimewa, kontan ia telah</div><div>memuntahkan darah segar lagi. Walaupun demikian ia masih ingat akan</div><div>keadaannya Bee Tie yang berbahaya dan meneriakinya.</div><div><br /></div><div>BERSAMBUNG....</div><div><br /></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-60664871195075425572011-09-29T20:56:00.001-07:002011-09-29T21:04:51.011-07:00SERULING KUMALA (5)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0VHhXB9EhaUNbpX7sjdy0thQ7VBfLbm7AwPtYWU3xHQijtsBr4u9QJ9bPeXxqzhA6d9LOX7SgSHKpRUXRlcHYa46Ct_CVTXD-rMFfsRvu0C97Q3CMltQ-bioSwHP6-kqOEPTuTup1lg/s1600/Seruling+Kumala.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 243px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0VHhXB9EhaUNbpX7sjdy0thQ7VBfLbm7AwPtYWU3xHQijtsBr4u9QJ9bPeXxqzhA6d9LOX7SgSHKpRUXRlcHYa46Ct_CVTXD-rMFfsRvu0C97Q3CMltQ-bioSwHP6-kqOEPTuTup1lg/s320/Seruling+Kumala.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5657997301411461122" /></a><div><b>Karya Chin Yung</b></div><div><b>Jilid 05</b></div><div><br /></div><div>Suatu bayangan hitam yang melihat mula-mula ada batu menyambar ke arahnya,</div><div>lalu kemudian melihat lagi gerakannya si “Putih Kurus”, segera melesat tinggi</div><div>untuk menghindarkan serangan tangannya si “Putih Kurus” yang datangnya</div><div>amat cepat.</div><div><br /></div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” yang menyaksikan kejadian tersebut terkejut juga</div><div>dibuatnya. Begitu gesit gerakan bayangan hitam itu, sebentar kemudian agaknya</div><div>si “Putih Kurus” akan sudah tertinggal jauh. Maka sambil menarik lengan</div><div>bajunya Bee Tie, berkata, “Kepandaiannya orang itu tidak berada disebelah</div><div>bawahnya Si Setan Kurus. Lekas lari!” Dengan mendahului Bee Tie ia sudah</div><div>meninggalkan tempat persembunyian mereka ditembok dinding gedung tua</div><div>tersebut.</div><div>Bayangan hitam tersebut mengetahui bahwa tempat persembunyiannya sudah</div><div>diketahui orang, dengan lantas badannya sudah melesat tinggi keatas, mulut juga</div><div>tidak berhenti-hentinya berteriak matanya terus ditujukan ke arah tempat</div><div>persembunyiannya si “Pelajar Pedang Tumpul” dan Bee Tie.</div><div>“Loji! Kenapa tidak cepat-cepat kerja? Kalau tidak malam ini, mau tunggu kapan</div><div>lagi?”</div><div>Si “Putih Kurus” yang sedang lari mengejar bayangan hitam tadi, mendengar</div><div>teriakannya, menghentikan langkahnya mengejar, lalu dengan cepat</div><div>membalikkan badan dan segera kembali ke dalam rumah tua dimana Jie Teng</div><div>ditinggal seorang diri, karena ia sangat kuatirkan keselamatan Kong-cu tersebut</div><div>tidak dapat dijamin.</div><div>“Celaka! Aku kena tipu mereka, Jie Teng sendiri mana mampu melawan</div><div>mereka?"</div><div>Sesampainya didalam, langsung ia mencari Kimleng Kong-cu dan setelah</div><div>dilihatnya, segera juga ia menghampirinya, yang ternyata masih tetap berdiri</div><div>menjublek ditempatnya tadi. Setelah diperhatikan lebih seksama, juga tidak ada</div><div>apa-apa yang mencurigakan, maka ia hanya dapat berdiri termangu-mangu</div><div>ditempatnya, wajahnya merah padam, matanya terus menatap wajahnya si Kongcu</div><div>hitam itu. Setelah menghela nafas panjang, akhirnya ia berkata, seolah-olah</div><div>mengatakan pada-diri sendiri.</div><div>“Bajingan! Sungguh bajingan ulung kau! Hmmm! Aku betul-betul sekarang kena</div><div>tipumu. Kau akali aku mentah-mentah tunggulah pembalasanku!"</div><div>Saat itu, Bee Tie dan si Pelajar pedang tumpul yang sudah jauh meninggalkan</div><div>gedung tua itu, Terus lari, gerakannya dipercepat. Setelah lari lagi sekian lama</div><div>dan yakin tidak ada orang yang mengejar barulah mereka berani memperlambat</div><div>gerakan mereka.</div><div><br /></div><div>Tidak jauh didepan mereka, ada sebuah benteng kota, itu adalah tembok kota</div><div>Lok-yang yang dengan sangat megahnya. Ternyata mereka tadi telah lari</div><div>memutari kota Lok-yang, tadi disebelah belakang, sekarang sampai kesebelah</div><div>depannya.</div><div>Mereka lalu baristirahat sebentar di bawah sebuah pohon besar tidak jauh dari</div><div>tembok kota tersebut.</div><div>Tidak lama mereka berhenti, tiba-tiba terlihat tembok kota tersebut melayang</div><div>turun sesosok bayangan mauusia yang berperawakan tinggi besar, tidak antara</div><div>lama ada lagi empat orang lain mengikuti di belakangnya, agaknya mereka itu</div><div>sedang mengejar orang di depannya itu.</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” terkejut. Dengan suara perlahan ia berkata.</div><div>“Kejadian-kejadian semalaman ini memang aneh! Kau tunggu aku sebentar</div><div>disini, aku mau melihat apa yang akan mereka kerjakan."</div><div>Dalam tempo sekejapan saja si “Pelajar Pedang Tumpul” sudah menghilang dari</div><div>depan matanya.</div><div><br /></div><div>Bee Tie yang ditinggalkan seorang diri lama kelamaan akhirnya merasa kesal</div><div>juga, ia merasa kesepian.</div><div>Dengan tidak terasa ia menghela nafas panjang, lalu secara iseng-iseng ia</div><div>berjalan-jalan di sekitar tempat itu.</div><div>Belum lama ia berjalan, tiba-tiba dari sebelah depannya terdengar suara orang</div><div>bicara.</div><div>“Bocah, kau Kong-cu dari mana? Siapa itu orang yang barusan sama-sama jalan</div><div>dengan kau?”</div><div>Lalu dari tempat yang ditumbuhi alang-alang tinggi, seorang berpengawakan</div><div>tinggi besar yang mukanya ditutupi kerudung kain hitam. Dengan langkah</div><div>perlahan-lahan ia bertindak mendekati. Bee Tie yang tajam ingatannya,</div><div>mengetahui pasti lagu-lagu dan suaranya, bahwa orang itulah yang mencuri lihat</div><div>permainan pedangnya Kim-leng Kong-cu didalam gedung tua dipinggiran kota</div><div>Lok-yang sebelah belakang. Dia juga telah menduga orang inilah pembunuhnya</div><div>para Kong-cu yang ingin turut mengikuti pertandingan adu pedang Tong-tu-sanchung</div><div>nanti.</div><div><br /></div><div>Orang sekejam itu, dimatanya sama sekali tidak dipandangnya. Maka dengan</div><div>suara dingin angkuh ia menanya.</div><div>“Hai! kau siapa? Dengan hak apa kau mau tahu segala urusan orang?"</div><div>Orang berkerudung hitam itu ketawa dingin. Lalu ia menghunus pedangnya dan</div><div>menyerang mengarah mukanya Bee Tie.</div><div>Tangannya bergerak, mulutnya tidak mau tinggal diam, Ia berseru keras.</div><div>“Apa kau juga salah satu Kong-cu yang mau ikut dalam pertandingan adu pedang</div><div>di Tong-tu-san-chung nanti? Lekas jawab!"</div><div>Bee Tie melesat tinggi menghindarkan serangan hebat tersebut. Ditengah udara</div><div>badannya di lekuk membentuk setengah lingkaran dan terus menukik turun ke</div><div>tanah kembali. Dari atas ia balas menyerang dengan tipu-serangan yang tidak</div><div>kalah hebatunya.</div><div>“Hmmm! Kepandaianmu boleh juga. Lebih tinggi sedikit dari kepandian Kanglam</div><div>dan Coan tiong Kong-cu. Kau lebih-lebih tidak boleh dikasih hidup terus</div><div>dalam dunia ini. Sambutilah!"</div><div>Selama orang berkerudung hitam itu bercakap-cakap, tangannya tidak tinggal</div><div>diam, terus dikerjakan menyerang bertubi-tubi ke arahnya Bee Tie.</div><div>Bee Tie itu kecil orangnya, tetapi nyalinya sangat besar. Mendapat serangan</div><div>hebat, lagi-lagi ia melesat tinggi keatas. Ketika badannya melayang turun lagi</div><div>kebawah, tangannya menuruti arah pedang lawan, menotok jalan darah</div><div>dipundaknya orang itu.</div><div><br /></div><div>Orang berkerudung itu sama sekali tidak pernah menyangka serangannya Bee</div><div>Tie yang masih muda itu bisa berubah-ubah demikian cepatnya, belum sempat ia</div><div>menarik kembali pedangnya, tahu-tahu pundak kanannya dirasakan kesemutan.</div><div>Masih untung ia sudah bergerak cepat. Kalau tidak, tidak ampun lagi ia akan</div><div>jatuh rubuh tertotok. Ia hanya merasakan sakit sedikit, tempat yang kena</div><div>serangan totokannya anak muda itu ternyata agak meleset sedikit dari yang</div><div>dituju olehnya, sehingga tidak sampai membahajakan apa-apa.</div><div>“Jahanam! Kalau begitu, betul-betul Kam-lam dan Coan tiong Kong-cu berdua</div><div>kau yang bunuh! Lihat seranganku!"</div><div>Tetapi, belum lagi sempat serangannya dikeluarkan, orang berkerudung hitam</div><div>itu sudah mendahului menyerang lagi dengan pedangnya. Sudah begitu, belum</div><div>puas rasanya kalah hanya menggunakan pedangnya saja, tangan kirinya juga</div><div>lantas dikasih beraksi, dari situ lantas keluar sambaran angin yang luar biasa</div><div>hebatuya.</div><div><br /></div><div>Bee Tie yang insyaf bahaya sudah mengancam dirinya cepat-cepat</div><div>menyingkirkan diri jauh-jauh dari lawannya.</div><div>Tetapi, orang berkerudung hitam Itu agaknya tidak mau melepaskan dirinya lagi,</div><div>seperti bayangan saja terus mengikuti di belakangnya dan lagi-lagi sudah</div><div>mengirim serangan-serangan yang mematikan.</div><div>Mendapat desakan rapat demikian rupa, Bee Tie lalu ambil keputusan hendak</div><div>berlaku nekad.</div><div>Ia lalu mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang baru saja selesai</div><div>dilatih didalam Sumur Kematian untuk menyambuti serangan sang lawan yang</div><div>hebat.</div><div>Dua kekuatan tenaga dalam yang amat dasyat lantas beradu. Orang berkerudung</div><div>hitam itu ternyata tidak kuat menahan serangannya si pemuda yang dahsyat,</div><div>tubuhnya terpental kebelakang beberapa tombak, setelah badannya</div><div>sempoyongan beberapa saat baru dapat berdiri tegak lagi.</div><div>Bee Tie sendiri, juga sudah terkena gores pedangnya musuh yang tangguh itu.</div><div>Darah mengalir keluar dari luka-lukanya yang tidak boleh dikatakan ringan.</div><div>Saat itu orang berkerudung hitam itu menatap wajahnya si pemuda. Tidak lama</div><div>kemudian ia sudah dapat mengatur kembali jalan pernafasan seperti sediakala.</div><div>Lalu dengan wajah beringas ia menanya.</div><div>“Bocah! Dari mana kau dapatkan kepandaianmu?!”</div><div>Pedangnya kembali diluruskan, bersiap-siap menyerang musuh mudanya lagi.</div><div>Bertepatan pada saat itu, satu gumpalan hitam dengan gerakannya yang cepat</div><div>datang menghampiri mereka. Ternyata itu adalah bayangannya si “Pelajar</div><div>Pedang Tumpul” yang tengah mendatangi dengan cepatnya.</div><div>Gerakan orang berkerudung itu ternyata gesit sekali. Begitu melihat datangnya</div><div>kawan lihay lawannya dengan sekali goyangkan pundak, cepat-cepat ia sudah</div><div>kabur dari situ.</div><div>Sesampainya si “Pelajar Pedang Tumpul” dihadapannya Bee Tie, segera ia</div><div>berkata:</div><div>“Kau boleh kembali dulu. Aku belum berhasil usahaku. Aku akan menyelidiki</div><div>sampai jelas sekali.”</div><div>Setelah berkata demikian, segera juga ia putar tubuhnya, meninggalkan Bee Tie</div><div>lagi seorang diri. Ia sekarang hendak mengejar orang berkerudung hitam yang</div><div>kabur tadi. Bee Tie mengawasi berlalunya si “Pelajar Pedang Tumpul” sampai</div><div>tidak dapat dilihatnya lagi, lalu setelah menjublek sekian lama, baru ia ingat lagi</div><div>luka-luka dibadannya sendiri. Dengan cepat ia lalu merobek sedikit lengan</div><div>bajunya untuk membebat luka dilengannya yang masih mengeluarkan darah.</div><div>Ia dongakkan kepalanya melihat waktu hampir jam tiga menjelang pagi. Pada</div><div>waktu demikian itu, dimana ia bisa mendapatkan barang makanan? Maka apa</div><div>boleh buat ia lantas kembali lagi kedalam perkampungan Kui-in-chung, terus</div><div>menuju ke daerah terlarang dan lalu masuk kedalam Sumur Kematian. Ia segera</div><div>mendapatkan ayahnya Bee Cin Cee dan ketua Hoa-san-pay Cie Gak berdua yang</div><div>telah menunggu-nunggunya sekian lama dengan perasaan kuatir. Mereka</div><div>terkejut sekali melihat Bee Tie datang dengan membawa luka ditangan. Mereka</div><div>hendak menanya, tetapi sudah didahului anak muda itu, yang melihat perubahan</div><div>muka mereka, lantas mengetahui rasa kekuatiran mereka berdua. Ia segera</div><div>menceritakan semua kejadian yang barusan ia alami. Bagaimana ia sudah</div><div>mencuri lihat ilmu kepandaian si “Putih Kurus” dan bagaimana pula ketika ia</div><div>mendengar kabar tentang kematiannya banyak Kong-cu didalam kota Lok-yang</div><div>dan bagaimana akhirnya mendapat luka dilengannya itu.</div><div>Cie Gak memasang telinga baik-baik mendengarkan semua penuturan si anak</div><div>muda, hatinya tertarik setelah mendengar habis, ia lalu ketawa bergelak</div><div>kemudian berkata.</div><div><br /></div><div>“Bee Tie, tindakan yang kau ambil itu sama sekali tidak salah, Tetapi kau jangan</div><div>sampai sekali-kali menelad perbuatan dan tingkah lakunya si Putih itu, si orang</div><div>paling serakah!”</div><div>Bee Cin Cee yang dapat melihat perubah wajahnya Cie Gak yang agaknya seperti</div><div>hendak terjun lagi dalam dunia rimba persilatan, lantas tertawa hambar dan</div><div>berkata.</div><div>“Saudara Cie, apa kau sudah lupa janji kita dulu?”</div><div>Mendengar kata-kata itu. Cie Gak merasa seolah-olah disambar geledek, seketika</div><div>itu menjadi lesu wajahnya.</div><div>Bee Tie yang menyaksikan perubahan wajah Cie Gak dan tingkah laku kedua</div><div>orang tua itu, ia merasa heran di hati, maka itu ia lantas menanya, “Ayah,</div><div>sebetulnya ayah dan paman Cie pernah berjanji apa? Bolehkah anak tahu</div><div>sedikit?”</div><div>Bee Cin Cee, sang ayah. coba ketawa dan menjawab:</div><div>“Ini bukan urusanmu. Anak kecil tidak usah banyak tanya.”</div><div>Bee Tie yang tahu ayahnya tidak marah, timbul keberaniannya. Ia lalu menanya</div><div>lagi:</div><div>“Kenapa ayah mau tetap tinggal dalam sumur ini? Ayah, anak pikir didalam</div><div>Sumur Kematian ini tidak ada apa-apanya yang harus diberati. Sebenarnya ayah</div><div>masih menunggu apa lagi?”</div><div>Mendengar pertanyaan anaknya, seketika itu berubah wajahnya sang ayah.</div><div>Cie Gak yang sudah mengetahui benar tabiatnya orang tua senasibnya itu, tahu</div><div>juga bahwa sang kawan itu sedang marah, maka cepat-cepat ia mendahului</div><div>berkata:</div><div>“A Tie, kau jangan bertanya-tanya lagi soal itu.”</div><div>Bee Tie yang keras kepala, bukannya lantas diam mendengar kata-kata orang,</div><div>malah sudah berkata pula: “Aku harus tanyakan ini pada ayah. Aku wajib</div><div>bertanya pada ayahku sendiri. Kenapa tidak boleh?”</div><div>Karena sangat terharunya, hampir-hampir saja ia mengucurkan air mata lagi.</div><div>Sambil mengeluarkan sepatu peninggalan ibunya, ia berkata lagi: “Ayah dan</div><div>paman tidak tahu kesengsaraan hidupku. “Ibu cuma bisa meninggalkan sepatu</div><div>kecil tidak sempat mengatakan apa-apa lagi ketika meninggalkan aku. Sekarang,</div><div>setelah dengan susah payah aku berhasil juga dapatkan ayah disini, apa aku</div><div>harus biarkan terus ayah terkurung dalam sumur yang tidak ada penyinarannya</div><div>ini? Apa aku bisa melihat ayah hidup tersiksa ditempat ini? Apa aku ...?”</div><div>Sampai disini, air matanya deras tak tertahan sudah mengalir keluar bagai hujan</div><div>gerimis. Dengan air mata berlinang-linang ia mengawasi wajah ayahnya.</div><div>Bee Cin Cee yang tadi marah sekali, perlahan-lahan mulai hilang rasa</div><div>amarahnya, setelah tenang benar-benar ia lalu menarik lengan sang anak dan</div><div>memeluknya erat-erat.</div><div><br /></div><div>Bee Tie merasakan badan ayahnya gemetaran, ia tahu tentu ada apa-apanya yang</div><div>tidak wajar, tetapi ia membiarkan saja dirinya terus dipeluk demikian oleh</div><div>ayahnya.</div><div>Akhirnya Bee Cin Cee juga yang lebih dulu membuka percakapan, katanya:</div><div>“Ya betul, Aku memang tidak boleh salahkan kau anak. Tapi kau juga hendaknya</div><div>jangan terlalu salahkan ibumu. Belum tentu ibumu itu mempunyai kesulitan</div><div>sendiri, seperti juga halnya aku juga ada kesukaranku sendiri. Sekarang, kau</div><div>selesaikan pelajaranmu yang kami berikan, setelah kau sempurnakan</div><div>kepandaianmu, ayah juga tentunya akan menceritakan lagi, apa saja yang kau</div><div>ingin tahu. Anak, apa kau setuju usul ayahmu ini?”</div><div>Tanpa dipikir lagi Bee Tie sudah berkata lagi, ”Apa sih sebetulnya kesulitan ayah</div><div>itu? Bolehkah ayah beritahukan pada anak? ... Anak juga tahu, ayah pernah</div><div>berjanji hendak mengadakan pertandingan ilmu kepandaian dengan Lee Thian</div><div>kauw di gunung Hoasan. Apa perjanjian itu mau ayah pungkiri? Apa ayah tidak</div><div>mau keluar juga waktu itu dari sini?”</div><div>Bee Cin Cee sama sekali tidak pernah menduga kalau anaknya tahu semua</div><div>urusannya, bahkan begitu jelas, mukanya mendadak menjadi tegang lagi. Tetapi</div><div>hanya sebentaran saja terlintas perubahan itu, tidak lama kemudian sudah pulih</div><div>kembali seperti biasa. Ia lalu menghela napas panjang. Ketika Cie Gak lagi-lagi</div><div>melihat perubahan wajah kawannya, ia terkejut juga, maka cepat-cepat ia</div><div>menanya, “Saudara Bee, kau sedang pikirkan apa?”</div><div>Setelah itu, ia lalu menoleh mengawasi si anak muda Bee Tie, kemudian katanya:</div><div>“Bee Tie. kau kemarilah.”</div><div><br /></div><div>Bee Tie jalan menghampiri ketua Hoa-san-pay generasi kedua puluh lima Cie</div><div>Gak. saat itu terdengar lagi suaranya Cie Gak berkata: “Aku mau tanya kau, apa</div><div>Kiauw Supek tidak pernah mengatakan apa-apa kepadamu?”</div><div>“Kiauw Supek? Siapa itu Kiauw Supek?”</div><div>“Ya. Kiauw Supek itu, adalah itu kakek pendek yang telah menyuruh kau datang</div><div>kemari.”</div><div>Sekarang Bee Tie agaknya sudah mulai mengerti apa yang sedang dipikir oleh</div><div>orang tua itu, tentu penukaran jabatan ketua Hoa-san-pay itu yang akan</div><div>dirundingkan, maka dengan angguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya,</div><div>pernah. Kiauw Supek memang pernah mengatakan soal penyerahan ketua Hoasan-</div><div>pay kepadaku. Ia memilih aku menjalankan tugas berat itu.”</div><div>“Ia menyerahkan kepadamu jabatan itu anak?” demikiann Bee Cin Cee, sang</div><div>ayah menanya anaknya, agaknya hendak mendapatkan penegasan.</div><div>Cie Gak yang mendengar pertanyaan itu lantas tergelak-gelak. Ia mengawasi Bee</div><div>Tie, si anak muda, kemudian berkata lagi padanya.</div><div>“Kalau bukan sekarang kau jalankan peradatan pengangkatan guru dihadapanku,</div><div>tunggu kapan lagi?”</div><div>Bee Tie segera sadar, ia segera jatuhkan diri menjalankan peradatan dihadapan</div><div>“guru baru” itu, Cie Gak berkata pula dengan suara sungguh-sungguh. “Mulai</div><div>hari ini kau adalah ketua Hoa-san-pay dua puluh enam secara resmi.”</div><div>Bee Cin Cee yang mendengarnya, lantas berseru keras-keras:</div><div>“Saudara Cie, kau kandung maksud apa lagi.”</div><div>Cie Gak mengawasi Bee Cin Cee sambil bersenyum. Ia lalu berkata:</div><div>“Aku pasti bisa mengatasi semuanya. Saudara Bee, legakanlah hatimu.</div><div>Kemudian, dengan suara keren berkata pada murid barunya:</div><div>“Kau istirahatlah dulu. Segala urusan boleh kita bicarakan belakangan. Nanti</div><div>semua kita rundingkan lagi perlahan perlahan-lahan.”</div><div>Mulanya Bee Tie hendak menampik, tetapi akhirnya setelah berpikir bulak balik,</div><div>diterima juga tugas beratnya itu. Ia lalu pamitan dan pergi meninggalkan Cie Gak</div><div>dan ayahnya berdua. Malam itu ia tidak dapat tidur pulas. ia terbangun. Ia terus</div><div>menerus memikirkan apa yang menyelubungi diri sang ayah serta gurunya itu,</div><div>mengapa mereka tidak mau keluar dari sumur celaka itu.</div><div>Sang waktu berlalu dengan amat cepat. Dalam tidurnya, tiba-tiba, Bee Tie</div><div>dikejutkan dengan suara seruling ayahnya yang ditiup dengan nada yang sangat</div><div>mengenaskan. Cepat-cepat ia lompat bangun lalu dengan berindap-indap ia</div><div>menghampiri ayahnya dan segera duduk disampingnya. Tetapi karena rasa letih</div><div>yang tak terhingga, sebentar kemudian ia sudah tertidur lagi, badannya</div><div>bersandar didada ayahnya. Tanpa disadari Bee Cin Cee telah mengucurkan air</div><div>mata. Dengan wajah berlinang-linang air mata, ia menatap wajah anaknya. Ia</div><div>juga tahu mengapa ia tertidur secepat itu. Demikianlah, Bee Tie yang telah</div><div>berdiam didalam sumur Kematian itu selama dua puluh hari, telah mewarisi</div><div>seluruh kepandaian ayah serta gurunya, yang selain menurunkan kepandaian</div><div>masing-masing, juga mewariskan kepandaian yang mereka ciptakan sendiri.</div><div>Pagi-pagi sekali ketika Bee Tie terbangun dari tidurnya sudah mendengar suara</div><div>tertawa ayahnya serta gurunya yang agaknya sedang bergembira. Begitu Cie Gak</div><div>mengetahui Bee Tie berjalan menghampiri mereka, suara tertawanya menjadi</div><div>keras. Ia tertawa terbahak-bahak. “A Tie, kebetulan kau datang. Lekas kau pergi</div><div>cari dua guci arak dan makanan yang enak-enak. Hari ini kita akan mengadakan</div><div>pesta semeriah-meriahnya.”</div><div>Bee Tie menjadi heran, maka ia bertanya.</div><div>“Untuk merayakan apa?”</div><div>“Tolol tentu saja untuk merajakan hari gemilangmu. Kau telah berhasil</div><div>meyakinkan seluruh ilmu kepandaian dari sumur ciptaan kami sendiri, itu ilmu</div><div>kepandaian dari sumur Kematian, apa kau rasa itu tidak seharusnya? ha, ha, ha.“</div><div>Bee Cin Cee juga lantas menyambungi tertawanya Cie Gak. Tetapi sebentar saja</div><div>ia sudah berhenti tertawa, lalu berkata pada anaknya: “Anak, lekaslah! Kau</div><div>turutlah perintah gurumu!”</div><div>Walaupun dalam hatinya Bee Tie merasa keheranan, tetapi akhirnya ia pergi</div><div>juga.</div><div><br /></div><div>Baru saja ia keluar dari lubang Sumur Kematian, ada seorang Kong-cu, Kong-cu</div><div>baju hijau sedang berdiri menanti didekat mulut Sumur itu. Sambil memegang</div><div>tangannya Bee Tie ia berkata.</div><div>“Saudara Bee, akhirnya kau keluar juga. Sudah beberapa kali aku kemari, tidak</div><div>pernah aku lihat kau muncul. Untung sekarang kau keluar. Hai! Kenapa kau tak</div><div>mau cari aku dirumah saja?”</div><div>Bee Tie yang mendengarkan si Kong-cu baju hijau itu, yang katanya sudah</div><div>pernah beberapa kali datang kepinggiran sumur khusus untuk menunggu</div><div>keluarnya ia dari dalam, dalam hatinya merasa sangat heran. Kong-cu itu</div><div>sebenarnya mempunyai urusan apa yang perlu disampaikan padanya? Tetapi</div><div>karena ia sendiri sudah dibikin pusing oleh kelakuan ayah serta gurunya, yang</div><div>dianggapnya tidak wajar, sama sekali ia tidak mau perdulikan lagi</div><div>kedatangannya Kong-cu itu. Maka ia segera bertanya dengan suara yang tawar</div><div>hambar.</div><div>“Apa maksudmu datang kemari?”</div><div>Si Kong-cu baju Hijau yang mendapat perlakuan demikian rupa dari orang yang</div><div>sudah lama ditunggu-tunggunya. dalam hati merasa kurang senang, maka</div><div>dengan pandangan mata penuh rasa penyesalan ia berkata.</div><div>“Tidak aku sangka kau bisa bersikap begini rupa didepanku.”</div><div>Lalu dengan sekali mengebas tangan, orangnya sudah berlalu meninggalkan Bee</div><div>Tie jauh-jauh. Sewaktu dirinya melayang ditengah udara, ia berkata pula dengan</div><div>sangat gemas:</div><div>“Sebetulnya salahku sendiri. Punya mata tidak bisa melihat, sekarang aku salah</div><div>lihat orang. Mau apa lagi?”</div><div>Bee Tie agak merasa menyesal atas perlakuannya terhadap si Kong-cu, maka ia</div><div>segera lari menyusul sambil berteriak:</div><div>“Sahabat, jangan terlalu menuruti hawa napsu dulu. Kau kembalilah. Aku masih</div><div>ada banyak kata-kata yang hendak kutanyakan padamu. Hai sahabat, kenapa</div><div>begitu besar ambekmu?”</div><div>Tetapi si Kong-cu baju hijau sudah tidak mau menghiraukan lagi padanya dan</div><div>terus berjalan meninggalkan Bee Tie.</div><div>Bee Tie meski merasa bersalah dan menyesal. tetapi karena sifatnya angkuh,</div><div>melihat si Kong-cu baju hijau tidak mau meladeni padanya, ia juga tidak mau</div><div>mengejarnya lagi dan lalu membelokkan arahnya, pergi kedalam kota Lok-yang.</div><div>Dengan cepat ia membeli segala rupa barang keperluan yang dipesan oleh guru</div><div>dan ayahnya. tidak lupa juga araknya yang dua poci itu. Setelah dianggap cukup</div><div>semuanya, ia segera balik kembali masuk kedalam Sumur Kematian.</div><div>Hari itu. Cie Gak dan Bee Cin Cee memang sudah bermaksud mau mabukmabukan.</div><div>Arak yang dibeli oleh Bee Tie dengan cepat sudah mereka tenggak</div><div>habis. Muka mereka sudah merah padam.</div><div>Bee Tie yang menyaksikan mereka berdua sudah mabok demikian rupa, makin</div><div>merasa kuatir, maka dengan menahan rasa ngantuknya ia terus menjagai</div><div>disebelah mereka.</div><div><br /></div><div>Tetapi biar bagaimana kuatnya, Bee Tie tetap Bee Tie. Bee Tie mash merupakan</div><div>satu anak kecil, Tidak lama kemudian ia sudah tertidur diluar kemauannya.</div><div>Entah sudah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia bangun. Dengan cepat ia</div><div>menoleh ke tempat dimana ayah dan gurunya tadi tidur. Kagetnya kini menjadijadi.</div><div>Ia tidak dapat melihat bayangan ayah maupun suhunya. satu firasat tidak</div><div>baik mulai menyerang dirinya. Ia segera membuka mulutnya dan berkaok</div><div>memanggil:</div><div>“Ayah! ... Ayaaah! ... Suhu! ... Suhuuu! “</div><div>“Hai! Kenapa kau berteriak-teriak begitu? Lekas kemari! Mari sini ! Aku ada</div><div>banyak perkataan yang mau aku bicarakan dengan kau!”</div><div>Suara itu datangnya dari suatu tempat dibelakang dirinya. Dengan cepat ia</div><div>membalikkan badan. Ternyata gurunya itu entah sejak kapan sudah duduk diam</div><div>disitu dengan mata terus menerus memandang kearahnya, sedang tangannya</div><div>tidak henti-hentinya menggapai-gapai memanggil padanya. Disampingnya,</div><div>duduk ayahnya, Bee Cin Cee yang juga sedang memandang terus wajahnya anak</div><div>muda itu.</div><div>“Suhu ada perintah apa yang murid harus lakukan?” demikian Bee Tie segera</div><div>menanya gurunya.</div><div>Bee Cin Cee memandang Cie Gak sejurus lamanya, dan orang yang dipandang</div><div>segera membalas dengan anggukkan kepala.</div><div>“A Tie,” demikian kata sang guru, ”aku mau tanya kau. Apa kau sudah tahu</div><div>sekarang ini kau sudah mewarisi semua kepandaian dari golongan Hoa-san-pay</div><div>kita?”</div><div>Bee Tie menganggukkan kepalanya.</div><div>Mulutnya Cie Gak berkemak kemik, bicara dengan suara sangat perlahan:</div><div>“Sembilan tiang batu beterbangan melewati puncak gunung.”</div><div>“Butiran air sungai berkumpul menyaingi awan biru.” demikian Bee Tie segera</div><div>melanjutkan kata-kata gurunya.</div><div>“Hei! Dari mana kau dapatkan kata-kata lanjutannya itu?” tanya sang suhu</div><div>keheranan.</div><div>“Dari tujuh kepingan batu kumala yang terpecah-pecah oleh si Lee Thian Kauw!”</div><div>“Apa kau tahu asal usulnya pecahan kumala itu?”</div><div>“Tentu saja, itu Tongkat Rantai Kumala.”</div><div>“Ya, betul!”</div><div>Cie Gak lalu menoleh, sekarang ia memandang Bee Cin Cee, ayahnya Bee Tie dan</div><div>berkata padanya:</div><div>“Ya, saudara Bee, didunia ini sebetulnya tidak kurang keadilan. Ilmu kepandaian</div><div>Kiu-teng Sin-kang yang ada dalam Tongkat Rantai Kumala sudah ia dapatkan.</div><div>Apa lagi yang harus aku pikirkan? Untuk menjadikan bocah ini jago dunia</div><div>rasanya tidak susah lagi. Betul tidak?”</div><div>Setelah itu kembali ia mengawasi Bee Tie, dan berkata pula padanya:</div><div>“A Tie, dua baris kata-kata tadi itu adalah kuncinya untuk siapa saja yang ingin</div><div>mendapatkan kitab pelajaran Kiu-teng Sin-keng, harta pusakanya Hoa-san-pay.</div><div>Kau carilah itu sendiri.”</div><div>Bicari sampai disitu, Cie Gak sudah tidak dapat menahan rasa girangnya, ia</div><div>tertawa berbahak-bahak.</div><div>Tetapi belum lama ia tertawa itu. tiba-tiba diatas sumur terdengar suara</div><div>seseorang yang menyambungi ketawanya. Wajahnya Cie Gak berubah seketika.</div><div>Sambil menghela napas ia berkata:</div><div>“Itu tentu suaranya si Setan yang paling serakah. Kata-kata kuncinya untuk</div><div>mengambil kitab palajarau Kui-teng Si-keng itu sudah di dengar semua olehnya.</div><div>Kalau mau menyaingi dia sukar rasanya Ah! Tiga tahun yang lalu, kalau</div><div>bukannya dia yang terus mengganggu kami didalam, sekarang ini aku tidak</div><div>mungkin jadi begini.”</div><div>Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan lagi kata-katanya. Suaranya makin</div><div>keras:</div><div>“A Tie! Sekarang ini, soal jatuh bangunnya Hoa-san-pay kuserahkan dalam</div><div>tanganmu! Baik-baik kau jaga diri.”</div><div>Lagi-lagi Bee Tie anggukkan kepala.</div><div>Mendadak Cie Gak tertawa lagi, suaranya menyeramkan. Lalu sambil</div><div>menengadahkan mukanya ke atas ia berkata lagi:</div><div>“Murid Hoa-san-pay Cie Gak sudah menunaikan tugas baktinya. Tapi sayang</div><div>tenaganya kurang, dia merasa tidak ada muka lagi menemui orang. Dia juga yang</div><div>menyebabkan Tongkat Rantai Kumala sampai jatuh dalam tangan orang lain,</div><div>maka dia sudah bersedia ... ”</div><div>Bee Tie yang mendengarkan terus, merasa ada apa-apa yang tidak wajar, maka ia</div><div>lantas menjerit keras. orangnya juga turut lompat melesat menghampiri sang</div><div>guru. “Suhu ... Suhu ... Kau ... ”</div><div>Ketua Hoa-san-pay turunan kedua puluh lima tertawa hambar. Ia berkata pula:</div><div>“A Tie, baik-baikIah kau jaga diri.“</div><div>Berbareng dengan habisnya perkataannya itu, tangan kanannya sudah</div><div>menghajar batok kepalanya sendiri.</div><div>Sekali terdengar suara nyaring dari barang pecah, kepalanya Cie Gak tidak tahan</div><div>menyambuti gempuran tangannya sendiri yang sangat hebat, seketika itu juga</div><div>hancur berantakan, darah menyembur ke luar seperti air mancur. Bee Tie</div><div>menjerit, menangis dan meraung-raung.</div><div>“Suhu! ... Suhu! ... suhu! ...” ratapnya terus.</div><div>Tetapi Bee Cin Cee yang menyaksikannya. hanya tertawa dingin saja, tingkah</div><div>lakunya menjadi aneh. Ia lalu berkata pada anaknya:</div><div>“He! Apa yang kau tangisi? Dengan menghabiskan nyawa sendiri, gurumu tidak</div><div>berbuat salah. Sekarang semua tugas beratnya sudah diserahkan atas pundakmu.</div><div>Kau harus pikul itu sekuat tenaga. Lanjutkanlah terus usahanya. Wujudkanlah</div><div>cita-citanya. Sekarang kau diam!”</div><div>Bee Tie memesut kering air matanya dan menganggukkan kepala.</div><div>Bee Cin Cee, sang ayah bersenyum puas dan melanjutkan kata-katanya lagi:</div><div>“Tempo hari, bukankah kau pernah tanyakan kenapa aku tidak mau keluar dari</div><div>dalam sumur ini? Begini. Itu sebabnya karena aku pernah berjanji dengan Lee</div><div>Thian Kauw tidak akan mencari ia diluar sumur tetapi ia sendiri juga tidak boleh</div><div>masuk kedalam mencari setori. Begitu juga dengan suhumu, dia ini dan aku</div><div>sudah berjanji sehidup semati dalam sumur celaka ini. Maka itu juga aku tidak</div><div>mau keluar dari dalam sumur ini sampai hari akhirku.”</div><div>Bee Tie mulai menangis lagi. Ia mencoba terus hendak merobah pendiriannya</div><div>sang ayah.</div><div>“Apa ayah tidak mau ketemukan ibu dulu?” demikian tanyanya,suaranya</div><div>memilukan hati.</div><div>Perlahan-lahan Bee Cin Cee memasukkan tangannya kedalam saku bajunya, dari</div><div>dalamnya ia mengeluarkan sesuatu benda kecil yang lantas diserahkan kepada</div><div>anaknya sambil berkata: “Katakanlah pada ibumu, aku akan pergi lebih dulu. Ini,</div><div>ini adalah pasangan sepatu kecilmu yang kau simpan satunya lagi itu.”</div><div>Bee Tie tidak dapat menangkap apa maksudnya kata-kata sang ayah. Ia terus</div><div>menangis, dan terus menangis walaupun tangannya sudah menerima sepatu</div><div>pemberian ayahnya.</div><div>Setelah menyerahkan sepatu kecil, pasangan sepatu pemberian ibunya Bee Tie</div><div>ketika ia hendak meninggalkan Kui-in-chung, kemudian Bee Cin Cee</div><div>melanjutkan pula kata-katanya:</div><div>“A Tie, kau jangan bisanya menangis melulu. Sekarang kau harus ingat dan catat</div><div>dalam hatimu betul-betul! Lee Thian Kauw itu adalah orang yang telah</div><div>menyebabkan kau terlantar sampai begini. Ingatlah terus selama hidupmu!</div><div>Sekarang kau pergilah dari sini. Lekas!”</div><div>Bee Tie lantas menangis menggerung-gerung macam anak kecil. Ia tidak</div><div>mengetahui kalau ayahnya secara diam-diam sudah, mengeluarkan pisaunya dan</div><div>juga sudah menempelkan pisau itu pada dadanya. Agaknya ia akan segera</div><div>menamatkan jiwanya sendiri! Sudah dua belas tahun lamanya ia hidup terus</div><div>bersengsara didalam Sumur Kematian. Sudah dua belas tahun lamanya ia</div><div>menghadapi godaan lahir maupun bathin. Sekarang, setelah dapat melihat</div><div>anaknya serta mengetahui bagaimana kepandaian anaknya, apa salahnya kalau ia</div><div>membunuh diri menamatkan riwayatnya sendiri?</div><div>“Kau masih tidak mau tinggalkan tempat ini? Apa kau mau lihat aku mati</div><div>didepanmu sekali?” terdengar lagi bentakannya Bee Cin Cee, si orang tua,</div><div>suaranya menyeramkan sekali.</div><div>Walaupun Bee Cin Cee membentak-bentak dihadapan anaknya, tetapi dengan</div><div>penuh kasih sayang tangannya yang satu mengusap-usap kepalanya sang anak,</div><div>sedangkan tangan lainnya dipakai untuk menyodorkan seruling hitamnya,</div><div>sebuahseruling yang membawa riwayat.</div><div>Betul-betul Bee Tie merasa seperti kehilangan pegangan. Apa yang dapat</div><div>diperbuatnya?</div><div>Mendadak ia jatuhkan diri, berlutut dihadapan sang ayah sambil terus menerus</div><div>membentur-benturkan kepalanya ditanah. Darah sudah mengalir keluar dari</div><div>jidatnya tetapi anak muda ini masih terus berbuat apa yang dipikirkan.</div><div>Melihat keadaan sang anak, pisau yang sudah berada dalam genggamannya dan</div><div>sudah menempel dada itu akhirnya terlepas jatuh ditanah, air matanya turun</div><div>deras membasahi rambut anaknya yang masih tetap berlutut sambil</div><div>membenturkan kepalanya.</div><div><br /></div><div>Tiba-tiba sang ayah menubruk anaknya dan merangkul anaknya erat-erat.</div><div>Pakaian bagian dadanya berlepotan darah sang anak tidak dihiraukan. Ia terus</div><div>merangkul dan memeluk tubuh anaknya sambil menangis.</div><div>Lama dua orang berpeluk-pelukan dengan air mata berlinang-linang. Mereka</div><div>tidak berkata-kata.</div><div>Demikianlah, akhirnya suatu drama yang akan menyedihkan telah terhindar dan</div><div>kini perlahan-lahan mereka telah melupakan diri sendiri ...</div><div><br /></div><div>VIII. PERTANDNGAN ILMU PEDANG DI TONG-TU SAN-CHUNG.</div><div><br /></div><div>KUIL Pek-bee-sie diluar kota Lok-yang sudah lama terkenal karena</div><div>kemegahahnya.</div><div>Suatu hari, sebelum sinar matahari muncul menyinari bumi, ketika pukulan</div><div>genta memperdengarkan suaranya, delapan ratus orang padri sedang repotrepotnya</div><div>membaca doa, terlihatlah seorang anak muda yang sedang berjalan</div><div>meninggalkan kuil tersebut.</div><div>Anak muda itu tidak lain tidak bukan adalah Bee Tie, yang akhirnya dapat juga</div><div>membujuk ayahnya supaya jangan mencari jalan pendek dan demikianlah</div><div>mereka telah keluar dari dalam Sumur Kematian dan meminjam kuil Pek-bee-sie</div><div>sebagai tempat menetap sementara.</div><div><br /></div><div>Karena sangat lamanya baju sutera yang dikenakan oleh anak muda ini, maka</div><div>walaupun mahal harganya, tetapi karena banyak tambalannya, menyebabkan</div><div>orang-orang tidak ada seorang juga yang tahu bahwa anak muda ini</div><div>sesungguhnya adalah bekas Kong-cu dari Kui-in-chung di gunung Bong-san yang</div><div>sudah tersohor namanya.</div><div><br /></div><div>Dengan membawa seruling ditangan, seruling pemberian ayahnya, ia keluar dari</div><div>dalam kuil Pek-bee-sie dan mulutnya menggumam sendiri.</div><div>“Ayah, anak akan pergi menyelesaikan satu urusan dulu. Semoga dewa</div><div>kebahagiaan selalu melindungi ayah.”</div><div>Demikianlah, Bee Tie, yang kini telah menjadi ketua Hoa-san-pay yang resmi,</div><div>dengan sendirinya mempunyai banyak urusan yang harus dikerjakan. Ia harus</div><div>dapat mencari enam orang tosu penghianat partainya. Ia harus dapat mencari</div><div>dimana letaknya kitab Kiu-teng Sin-keng, dan lain-lainnya lagi.</div><div>Setelah dapat tempat tinggal sementara untuk memernahkan ayahnya, dua hari</div><div>kemudian ia lalu pergi meninggalkan sang ayah hendak menyelesaikan</div><div>persoalan-pokok yang terus menjadi buah pikirannya.</div><div><br /></div><div>Ditengah perjalanannya, tiba-tiba ia ingat si Kong-cu hijau, kenalan barunya, dan</div><div>ingat juga pada hari pertandingan pedang yang akan segera dibuka didalam</div><div>Tong-tu San-chung, maka arah yang ditujunya kini, adalah tempat tersebut.</div><div>Berjalan lagi tidak lama, ia sudah hampir sampai di Tong-su San-chung. Dari</div><div>jauh ia sudah dapat melihat ada empat orang penjaga pintu didepan sebuah</div><div>gedung besar, dan ini adalah itu tempat yang dijadikan pusat perhatiannya tiap</div><div>jago pedang muda yang akan mengangkat nama.</div><div>Sedang enak-enaknya ia berjalan sambil memandang lurus kemuka tiba-tiba ia</div><div>dikejutkan oleh suara derapnya kaki-kaki kuda yang banyak sekali. Ia cepat-cepat</div><div>menoleh kebelakang. Segera pula dilihatnya ada delapan penunggang kuda, kuda</div><div>putih seluruhnya. sedang mengiring seorang Kong-cu beralis tebal yang</div><div>menunggang kuda kuning sendiri. Kong-cu alis tebal ini tentunya juga mau ikut</div><div>dalam pertandingan adu pedang.</div><div>“Kenapa orang-orangnya besar-besar semuanya?” demikian dalam hati Bee Tie</div><div>berpikir dengan diliputi perasaan keheran-heranan.</div><div>Si Kong-cu alis tebal juga sudah segera melihat anak muda dengan pakaiannya</div><div>yang kurang pantas, tetapi lantas ia buang muka sambil keluarkan suara tertawa</div><div>menghina.</div><div>Tidak demikian halnya dengan si orang tua tinggi besar yang ada disebelah</div><div>kanannya. Begitu kebentrok dengan sinar matanya Bee Tie, ia segera mengetahui</div><div>bagaimana kepandaiannya si anak muda. Ternyata pandangan matanya sangat</div><div>tajam. Ia tidak menduga keliru. Memang benar anak muda yang berpakaian</div><div>sederhana itu adalah seorang jago muda yang berkepandaian sangat tinggi.</div><div>Agaknya orang tua itu tidak dapat lagi menahan untuk tidak mengeluarkan</div><div>seruan kagetnya.</div><div>“Ehh!”, dan ia terus memperhatikan si pemuda, Tetapi Bee Tie sendiri, sama</div><div>sekali tidak mau ambil pusing siapa mereka, langkahnya dipercepat dan langsung</div><div>menghampiri salah satu dari empat penjaga pintu tersebut. Ia segera menanya</div><div>padanya:</div><div>“Numpang tanya, apa disini ada seorang Kong-cu yang mengenakan baju hijau?</div><div>Tolonglah kau panggil dia keluar untuk menemui aku.”</div><div>Si penjaga yang melihat Bee Tie hanya seorang diri saja tanpa pengiring, juga</div><div>pakaiannya tidak begitu sempurna, sama sekali tidak memandang mata padanya.</div><div>Maka dengan seenaknya saja ia menjawab.</div><div>“Kong-cu mana itu yang kaucari? Pada waktu ini, hampir semua Kong-cu sudah</div><div>berkumpul disini. Juga tidak sedikit dari antara mereka itu yang mengenakan</div><div>pakaian warna hijau. Siapa sebenarya yang kau maksud itu?”</div><div>Baru saja Bee Tie hendak memberikan penjelasannya, Kong-cu alis tebal beserta</div><div>para pengiringnya itu juga sudah sampai ditempat itu.</div><div>Salah seorang tua tinggi besar perigiringnya si Kong-cu itu lalu maju</div><div>menghampiri seorang penjaga dan mengucapkan beberapa-patah kata</div><div>kepadanya.</div><div>Si penjaga yang mendengarnya, lantas berkaok kedalam dengan suaranya yang</div><div>nyaring keras.</div><div>“Tiang-pek Kong-cu dari Thian-kian-chung tiba!”</div><div>Suara seruan “Tiang-pek Kong-cu dari Thian-kian-chung” itu terus menggema</div><div>diudara sekian lamanya, lalu dari dalam gedung terdengar suara orang</div><div>menyambuti suara itu dengan seruannya yang sama.</div><div>“Tiang-pek Kong-cu dari Thian-kian-chung tiba!”</div><div>Suara seruan itu terus sambung menyambung terdengarnya, sampai masuk jauh</div><div>kedalam gedung. Mendengar itu, Bee Tie juga lantas membatalkan niatnya</div><div>hendak menceritakan tentang pertemuannya dengan si Kong-cu baju hijau yang</div><div>baru dikenalnya. Lalu dengan perasan tidak puas dia berkata pada penjaga itu.</div><div>“Aku juga mau ikut dalam pertandingan adu pedang disini. Kenapa kau tidak</div><div>ijinkan aku masuk kedalam?”</div><div>Penjaga itu tertawa keras-keras. dengan sikapnya yang sangat mengejek ia</div><div>bertanya:</div><div>“Kau Kong-cu dari mana sih!”</div><div>“Bong-san Kong-cu dari Kui-in-chung!” jawab Bee Tie tanpa pikir panjangpanjang</div><div>lagi.</div><div>Empat penjaga pintu yang mendengar disebutnya nama Bong-san Kong-cu dari</div><div>Kui-in-chung, lantas pada melengak. Setelah ditegasi, ternyata salah seorang dari</div><div>antara mereka memang juga pernah pergi ke Kui-in-chung dulu, lantas sudah</div><div>mengenal pemuda itu. Karena sangat terkejutnya, seketika itu ia berseru.</div><div>“Oh! Betul kau Bong-san Kong-cu. Mengapa Kong-cu bisa jadi begini?”</div><div>Bee Tie mengetahui bahwa tentu penjaga ini pernah juga datang kerumahnya di</div><div>Kui-in-chung dulu, maka sambil bersenyum segan ia berkata.</div><div>“Nah! Sekarang tentu kalian perbolehkan aku masuk, bukan? Tapi untuk aku</div><div>kalian tidak perlu berteriak-teriak seperti tadi.”</div><div>“Itu mana boleh? Disini sudah aturannya begitu.“ demikian kata si penjaga lekas</div><div>sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia lalu mementang bacotnya dan</div><div>berteriak lagi.</div><div>“Bong-san Kong-cu dari Kui-in-chung tiba!”</div><div>Begitu juga seperti tadi, suara yang sama setelah berkumandang agak lama, lalu</div><div>terdengar berturut-turut seruan yang serupa sampai masuk jauh kedalam.</div><div>Dengan tindakan lebar Bee Tie lalu masuk kedalam, berjalan mengikuti</div><div>rombongan Kong-cu beralis tebal Tiang-pek Kong-cu.</div><div>Setelah melewati lagi sebuah lorong yang terdiri dari batu putih melulu yang</div><div>cukup panjang, lalu sampailah anak muda ini didalam sebuah ruangan peranti</div><div>bertanding.</div><div><br /></div><div>Disitu sudah berkumpul banyak orang, lebih dari empat ratus pasang mata terus</div><div>ditujukan kearah depan pintu masuk. mereka ingin sekali melihat bagaimana</div><div>rupanya si Kong-cu dari Kiu-in-chung yang telah lama mereka segani.</div><div>Tetapi Bee Tie tidak mau menarik perhatian mereka, ia terus berjalan sambil</div><div>tundukkan kepala. Setelah sampai didalam. ia terus menyelinap masuk kedalam</div><div>deretan bangku-bangku yang masih ada yang kosongnya, disalah satu kursi ia</div><div>duduk tenang-tenang.</div><div>Sebentar kemudian ruangan didalam gedung itu telah berubah sunyi senyap.</div><div>Semua mata masih ditujukan kedepan pintu masuk. Semua orang tuasih</div><div>menanti-nantikan kedatangannya Bong-san Kong-cu dari Kui-in-chung. Lama</div><div>sekali, yang ditunggu-tunggu tidak-kunjung muncul, tiada orang lain lagi yang</div><div>masuk.</div><div><br /></div><div>“Hmm ... Bongsan Kong-cu dari Kui-in chung. Sungguh besar kepala dia! Begini</div><div>lama ia masih belum mau masuk juga? Tunggu apa dia diluar?” demikian Bee Tie</div><div>mendengar salah seorang berkata, orang yang tepat duduk disebelahnya berkata</div><div>pada kawannya.</div><div>Ternyata, sewaktu Bee Tie, si Kong-cu dari kui-in-chung tadi masuk, tidak ada</div><div>seorangpun juga yang menyangka kalau seorang anak muda yang mengenakan</div><div>pakaian yang kurang pantas yang mereka lihat masuk dan berjalan</div><div>dibelakangnya rombongan Tiang-pek-Kong-cu, sebenarnya adalah itu orang yang</div><div>mereka nanti-nantikan sekian lamanya itu. Dialah Bong-san Kong-cu dari Kuiin-</div><div>chung yang mereka segani.</div><div>Bee Tie yang menyaksikan tiagkah laku mereka dalam hati merasa geli, tetapi</div><div>sebentar kemudian ia sudah tidak pusingkan mereka lagi. Yang ia ingin</div><div>ketemukan ialah si Kong-cu baju hijau. Dia lantas mendongakkan kepala</div><div>memandang keatas panggung tinggi, tempat yang khusus disediakan untuk para</div><div>Kong-cu mengadu ilmu pedang mereka, yang tidak lama lagi akan segera</div><div>dimulai.</div><div><br /></div><div>Jauh disebelah depan, ia melihat dua orang perempuan yang sedang duduk</div><div>beraling dibalik tirai sutera merah. Dibelakangnya dua wanita itu, dilihatnya</div><div>empat wanita lain yang berdiri.</div><div>Bee Tie lantas mengambil kesimpulan bahwa dua orang wanita yang duduk itu</div><div>masing-masing adalah Go-tong Sin-kho dan anaknya, dan empat orang wanita</div><div>yang berdiri itu tentunya adalah empat orang pelayan mereka, ibu dan anak.</div><div>Tidak lama Bee Tie memandang kearah tirai sutera. lalu meneruskan arah</div><div>pandangnya ke kanan dan ke kiri.</div><div>Dalam gedung diperkampungan Tong-su San-chung saat itu ternyata sudah</div><div>penuh sesak dibanjiri orang-orang dari perbagai tempat yang sengaja berkunjung</div><div>kesitu dari tempat-tempat jauh maupun dekat untuk menyaksikan pertandingan</div><div>pedang atau turut bertanding sendiri. Para Kong-cu datang dengan pakaian serba</div><div>mewah dan indah. Kebanyakan diantara mereka itu membawa pengiringnya</div><div>masing-masing. Semua pengiringnya juga mengenakan pakaian yang cukup</div><div>mentereng. Mereka ini juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. hanya Bee</div><div>Tie saja yang belum mengenali mereka masing-masing.</div><div>Tiba-tiba matanya Bee Tie, Kong-cu dari Kui-in-tihung terbelalak. Disalah satu</div><div>sudut dalam ruangan itu. Disebelah Timur laut gedung, dilihatnya seorang yang</div><div>tidak asing lagi baginya, si Putih Kurus yang sedang bercokol dengan aksinya.</div><div>“Hmm! Bagus! Kau juga ada disini,” demikian pikirnya dalam hati, alisnya</div><div>dikerutkan, giginya mengertak.</div><div><br /></div><div>Ketika matanya celingukan lagi ke sana kemari lebih-lebih kaget ia.</div><div>Disebelahnya, entah sejak kapan, tahu-tahu sudah duduk seorang tanpa ia</div><div>sendiri mengetahui kedatangannya. Ia lalu menoleh kebelakang. Kagetnya kini</div><div>makin menjadi-jadi. Orang yang ada dibelakangnya itu ternyata tidak lain tidak</div><div>bukan dari pada si orang tua tinggi besar sendiri. salah seorang dari empat</div><div>pengikutnya si Kong-cu beralis tebal. Tiang-pek Kong-cu. Meskipun orang tua</div><div>tinggi besar itu duduk dibelakangnya dan tenang-tenang saja tampaknya, tetapi</div><div>dalam hatinya Bee Tie sudah agak bercekat. Ia heran, mengapa orang tua tinggi</div><div>besar ini hanya duduk seorang diri saja. Kemana si Kong-cu alis tebal?</div><div>Ia lalu memandang lurus kedepan. Disebelah sana, ia dapat melihat tegas si</div><div>Kong-cu alis tebal itu yang sedang duduk ditempat yang agak dekat dengan</div><div>panggung pertandiigan. Mengapa pengikutnya bisa berada didekatnya Bee Tie,</div><div>jauh dari majikan mudanya sendiri?“</div><div>Dalam hati Bee Tie sudah timbul rasa curiganya. Tetapi ia tidak takut segala apa.</div><div>Ia juga tidak takuti padanya dan masih duduk tenang-tenang saja di tempatnya.</div><div>Tidak antara lama didalam gedung itu berturut-turut mendatangi Kiu-hoa Kongcu,</div><div>Lam-hay Kong-cu, Lu-tong Kong-cu dan terakhir Oey-san Kong-cu. Diantara</div><div>mereka itu semua, hanya Lu-tong Kong-cu seorang yang berpakaian sangat</div><div>sederhana dan sikapnya juga tidak angkuh. Melihat Kong-cu ini, diam-diam Bee</div><div>Tie menganggukkan kepala dan berkata dalam hati.</div><div><br /></div><div>“Kong-cu ini seolah-olah sebutir mutiara yang terpendam, ada orangnya tidak</div><div>dapat dilihat. Orang seperti dia inilah yang banyak mempunyai harapan besar</div><div>dalam hidupnya.”</div><div>Lu-tong Kong-cu itu sendiri, yang senantiasa memperhatikan Bee Tie dari jauh,</div><div>sudah mengerti bagaimana perangainya anak muda ini. Kebetulan saat itu Bee</div><div>Tie sedang mengawasi padanya. Dua pasang mata bentrok. Senyum yang manis</div><div>menghias bibirnya Lu-tong Kong-cu, ia juga lalu menganggukkan kepala yang</div><div>segera dibalas oleh Bee Tie sambil bersenyum. Ketika Bee Tie hendak berpaling</div><div>kebelakang, orang tinggi besar yang tadinya ada dibelakangnya, saat itu ternyata</div><div>sudah berada disebelahnya tepat. Bukan main terkejutnya ia. Entah sejak kapan</div><div>orang tua ini pindah kesebelahnya. Saat itu, orang tua tinggi besar itu juga</div><div>sedang memandang kearah Lu-tong Kong-cu. Tiba-tiba Bee Tie melihat ia</div><div>bangun berdiri, lalu dengan jalan perlahan-lahan pergi mendekati Tiang-Pek</div><div>Kong-cu dan berbisik-bisik dengan Kong-cu ini, setelah itu ia lalu balik kembali</div><div>ketempatnya, di sebelah Bee Tie. Menyaksikan semua tingkah lakunya orang tua</div><div>tinggi besar ini, hatinya Bee Tie sudah semakin curiga. Tetapi ia masih berlagak</div><div>tidak mengerti, berpura-pura tidak tahu menahu dengan mereka. Ia hanya ingin</div><div>menantikan perkembangan selanjutnya.</div><div><br /></div><div>Sementara itu, alat tetabuhan sudah mulai dipukul gent yar, suara tepuk tangan</div><div>riuh sudah mulai terdengan berkumandang didalam ruangan pertandingan.</div><div>Berbareng dengan itu, tirai sutera merah juga mulai terangkat perlahan-lahan.</div><div>Dibalik tirai kini tampaklah dengan tegas wajahnya Go-tong Sin-kho serta</div><div>anaknya, Siauw Beng Eng. Bee Tie hampir saja terlompat dari tempat duduknya</div><div>tatkala dapat melihat wajah mereka. Dalam hati diam-diam ia berpikir.</div><div>“Eh! Dalam dunia ini tidak tahunya masih ada perempuan secantik itu ...</div><div>Sungguh cantik!”</div><div>Semua yang hadir dalam ruangan pertandingan itu, juga tidak ada seorang yang</div><div>tidak memuji kecantikannya yang sangat menyolok dari dua wanita yang tadi</div><div>duduk dibalik tirai, terutama lagi yang lebih muda, anaknya bukan main</div><div>cantiknya. Suara kasak kusuk sebentar saja sudah riuh teidengar disana sini.</div><div>Dua wanita yang duduk dibelakang tirai sutera itu, memang sungguh cantik.</div><div>Mereka itu adalah Go-tong Sin-kho bersama puterinya, Siauw Beng Eng.</div><div>Go-tong Sin-ko yang pandai merawat diri, walaupun usianya sudah mendekati</div><div>setengah abad. tetapi orang melihat seperti baru berumur dua puluhan tahun</div><div>saja. Sedangkan Siauw Beng Eng, yang kini baru berusia lima belas tahun,</div><div>cantiknya melebihi bidadari.</div><div><br /></div><div>Bee Tie yang melihat parasnya Siauw Beng Eng yang seperti sudah tersedot</div><div>semangatnya, pandangan matanya sudah tidak bergerak lagi, terpaku</div><div>ditempatnya si nona. Hatinya memukul keras, entah bagaimana perasaannya</div><div>saat itu. Diam-diam dalam hatinya ia berpikir.</div><div>“Rasanya aku seperti pernah tertemu wajah cantik ini. Tapi kapan dan dimana?</div><div>Yang terang, aku pasti sudah pernah bertemu dengan dia. Tapi dimana, ya?”</div><div>“Dengan susah payah akhirnya berulah ia dapat menarik kembali pandangnya</div><div>dari muka si nona cantik. Ia berpikir sejenak. Tiba-tiba ia ingat kembali maksud</div><div>sebenarnya, hendak mencari si Kong-cu baju hijau, yang sampai sekarang masih</div><div>belum dapat dilihatnya, maka ia lalu mencari-cari kembali kemana-mana.</div><div>Dalam herannya ia berpikir.</div><div>“Kenapa sampai sekarang aku tidak bisa melihatnya? Barangkali ia tidak datang</div><div>kesini. Kalau datang. kenapa tidak bisa ku-lihat padanya, sedang aku sudah dari</div><div>pagi-pagi duduk disini.”</div><div>Bee Tie mengangkat kepalanya lagi, memandang wajahnya Siauw Beng Eng</div><div>kembali. Tetapi sebentar kemudian sudah dialihkan lagi arah pandangnya,</div><div>mencari-cari orang yang sedang dipikirinya.</div><div>Saat itu hari menjelang tengah hari Go-tong Sin-kho perlahan-lahan berdiri, lalu</div><div>sambil tertawa manis menggiurkan ia memandang tempat sekitarnya, kemudian</div><div>berkata:</div><div>“Atas kunjungan para hadirin sekalian yang terhormat, disini atas nama Tong-tu</div><div>San-chung aku menghaturkan selamat datang kepada saudara-saudara sekalian.</div><div>Terima kasih atas perhatian para hadirin yang sudi berkunjung ketempatku yang</div><div>sempit ini, baik untuk mereka yang mau mengikuti pertandingan sendiri,</div><div>maupun untuk mereka yang hanya ingin menyaksikan keramaian saja. Tentang</div><div>pertandingan adu pedang yang sekarang akan dibuka ini, sebenarnya adalah atas</div><div>kemauannya mendiang ayahnya anakku ini.” tangannya menunjuk kearah Siauw</div><div>Beng Eng, terus melanjutkan. “Beliau mengandung maksud tersendiri, dan tentu</div><div>para hadirin sekalian telah mengetahui maksud ayahnya ini, maka tidaklah perlu</div><div>disini aku sebut-sebutkan lagi. Sekarang pertandingan akan segera dimulai. Tapi,</div><div>untuk menjaga ketenangan supaya tetap terjamin dan untuk menghindarkan</div><div>segala bahaya, hendaklah para Kong-cu sekalian suka memberi sedikit</div><div>kelonggaran pada lawannya masing-masing. Sampai disini aku membuka</div><div>pertandingan ini, dengan resmi pertandingan dibuka. Silahkan!”</div><div>Sedikit kata-kata pembukaan ini telah disambut meriah oleh para hadirin disitu,</div><div>suara tepuk tangan riuh terdengar disana-sini.</div><div>Go-tong Sin-kho sendiri lalu duduk kembaii di tempatnya, senyumnya selalu</div><div>menghias bibirnya, kecantikannya bertambah-tambah. Hening sesaat.</div><div>Tidak ada Kong-cu yang berani maju dalam babak pertama ini.</div><div>Lama sekali. Tiba-tiba terdengar suara tambur berbunyi sebagai tanda</div><div>pertandingan boleh dimulai. Seorang Kong-cu muka hitam lantas naik ke</div><div>panggung.</div><div>“Biarlah Hiang Hui Kang-tang yang maju lebih dulu membuka pertandingan</div><div>dalam babak pertama ini,” demkian terdengar suaranya yang nyaring keras,</div><div>menantang musuhnya.</div><div>Kemudian perlahan-lahan pedangnya diloloskan dari sarungnya. Semua orang</div><div>yang menyaksikannya tidak ada yang tidak kaget. Pedang itu bukan pedang</div><div>sembarangan. Panjangnya lebih panjang dari pada pedang-pedang umumnya,</div><div>tebalnyapun jauh lebih tebal beberapa kali lipat dari pada pedang biasa. Beratnya</div><div>sedikitnya juga lebih dari tiga puluh kati. Pada umumnya, dalam permainan</div><div>pedang, keringanan dan kelincahan tubuhlah yang diutamakan, maka pedangnya</div><div>juga dibuat tidak terlalu tebal untuk mempermudah gerakan tubuh dan lebih</div><div>leluasa. Tetapi Kotigcu muka hitam itu agaknya mempunyai kelebihan banyak</div><div>tenaga, sehingga pedangnya sengaja dibuat setebal dan sepanjang itu, yang</div><div>dengan sendirinya juga tentu berat luar biasa, tetapi toch tetap lincah ia dalam</div><div>permainan pedangnya, yang sudah lantas dipertunjukkan begitu ia sampai diatas</div><div>panggung tadi.</div><div><br /></div><div>Beberapa orang dari para Kong-cu yang hadir di situ yang melihat kesombongan</div><div>si Kong-cu muka hitam, sudah pada panas hatinya. Demikianlah, sebentar</div><div>kemudian keluarlah seseorang Kong-cu dari tempat duduknya dan lantas lompat</div><div>naik keatas panggung hendak mencoba melayani si Kong-cu muka hitam itu.</div><div>Tetapi memang sesungguhnyalah luar biasa hebatuya kepandaian si Kong-cu</div><div>muka hitam dalam ilmu permainan pedangnya, dalam dua kali gebrakan saja</div><div>Kong-cu itu sudah digulingkan dibawah ujung pedangnya yang berat.</div><div>Soh-cow Kong-cu, demikian nama Kong-cu yang, pertama kali berani maju</div><div>kedepan dan dengan cepat sudah dikalahkan itu, dengan muka muram lalu balik</div><div>kembali ketempat duduknya. Sedangkan si Kang-tang Kong-cu sendiri masih</div><div>tetap berdiri di atas, agaknya puas ia dengan hasil kemenangannya yang</div><div>pertama. ia tertawa terbahak-bahak, lalu mulai menantang lagi.</div><div>“Siapa berani maju lagi? Hayo cepat sedikit! Aku sudah tidak sabaran!”</div><div>Diantara sekian banyak Kong-cu-Kong-cu yang hadir di situ, maju lagi seorang</div><div>Kong-cu yang langsung naik keatas panggung. Badannya Kong-cu ini gemuk.</div><div>Tetapi ketika ia melayang naik keatas panggung, kelincahannya tidak kalah dari</div><div>pada si Kong-cu yang duluan maju tadi, kegemukannya tidak menghambat</div><div>pergerakannya.</div><div><br /></div><div>Begitu bertemu muka, mereka langsung sudah bergebrak. Tetapi, seperti juga</div><div>halnya dengan si“ Kong-cu tadi, Kong-cu gemuk ini juga sebentaran saja sudah</div><div>dikalahkan oleh Kang-tang Kong-cu dengan pedang beratnya.</div><div>Saat itu dibawah panggung seorang tua kurus yang tampaknya seperti</div><div>berpenyakitan kelihatan menggapaikan tangannya memangil Kang-tang Kong-cu</div><div>yang masih terus menantang lawan-lawannya. Orang tua kurus itu tidak hanya</div><div>menggapaikan tangannya saja tetapi juga berteriak berseru padanya:</div><div>“Kong-cu,kau istirahatlah! Nanti setelah mengaso sebentar kau boleh</div><div>melanjutkan lagi kalau kau mau!”</div><div>Kang-tang Kong-cu menganggukkan kepalanya dan sudah hendak turun</div><div>kebawah panggung. Tetapi tiba-tiba ada lagi seorang Kong-cu berbaju putih yang</div><div>naik keatas panggung sambil berkata:</div><div>“Saudara Hiang, sunguh tinggi kepandaian saudara. Aku, Lauw Ciu dari Pek-lianchung</div><div>mau coba-coba bermain-main beberapa jurus dengan kau.”</div><div>Begitu sampai diatas panggung Kong-cu baju putih Lauw Ciu itu sudah lantas</div><div>menyerang dengan menggunakan tipu “Perahu laju”, salah satu tipu silat</div><div>pedangnya yang paling dibanggakan selama hidupnya.</div><div>Kang-tang Kong-cu tertawa. Dengan mengikuti gerakan pedang sang lawan ia</div><div>juga meniru menggunakan tipu serangan yang sama dari si Kong-cu baju putih</div><div>itu. Bee Tie yang menyaksikannya, diam-diam merasa kagum. Tanpa merasa ia</div><div>telah menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hatinya ia berkata.</div><div>“Yah! Sungguh hebat kepandaianmu ... Cuma sayangnya. kau masih belum kenal</div><div>berapa tingginya langit dan bagaimana tebalnya bumi.”</div><div><br /></div><div>BERSAMBUNG...</div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-62085146010198430042011-09-29T20:52:00.000-07:002011-09-29T20:56:07.257-07:00SERULING KUMALA (4)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhb65q1jFjBFOPnGoWjUKD0OBmmeGuL9ErbLAf51LbUIw84KyycrkEZoPJ44SNKMFIGYybFWLtC5__-iLaBYrhZBwwwAuCIwLNI1couEh1qTkAUdXKkgliJ-wVjQMBKG5osh4nkFm5cLg/s1600/Seruling+Kumala.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 243px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhb65q1jFjBFOPnGoWjUKD0OBmmeGuL9ErbLAf51LbUIw84KyycrkEZoPJ44SNKMFIGYybFWLtC5__-iLaBYrhZBwwwAuCIwLNI1couEh1qTkAUdXKkgliJ-wVjQMBKG5osh4nkFm5cLg/s320/Seruling+Kumala.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5657996356798283794" /></a><div><b>Karya Chin Yung</b></div><div><b>Jilid 04</b></div><div><br /></div><div>"LEE THIAN Kauw, kau mau lari kemana?" Lee Tie membentak.</div><div>"Lee Thian Kauw memandangnya sebentar dan mengeluarkan bentakannya.</div><div>"Kau? Apa kau sudah tidak takut mati!"</div><div>Lee Tie malah memajukan lagi tindakannya dan membentak.</div><div>"Lee Thian Kauw, malam ini aku akan meminta keadilannya disini juga.”</div><div>Dengan tidak memperdulikan dirinya lagi Lee Tie sudah menyeruduk kearah</div><div>musuh besarnya ini.</div><div>Yang paling repot yalah si Kong-cu baju hijau, begitu melihat tubuhnya sang</div><div>lawan bergerak, ia sudah tahu akan celaka. Untuk memberikan pertolongannya</div><div>sudah tidak keburu, maka dengan menggigit bibirnya ia juga sudah majukan</div><div>dirinya, dua tangannya disodorkan kemuka mengeluarkan serangannya.</div><div>Lee Thian Kauw tertawa dingin, dengan sekali mengibaskan lengan bajunya ia</div><div>sudah dapat mementalkan dua anak muda ini. Dengan suara keras ia membentak</div><div>kepada mereka.</div><div>"Bocah yang tidak tahu diri, sepuluh jiwa kecilmu juga tidak nanti dapat lolos</div><div>dari tangan kematianku juga. Inilah untuk ketiga kalinya aku memberi ampun</div><div>kepadamu dan juga untuk penghabisan kalinya."</div><div>Kong-cu baju hijau sudah mendahului menyelak diantara mereka dan terdengar</div><div>teriakannya.</div><div>"Saudaraku mundur, biar aku yang menghadapinya!"</div><div>"Sret,” tangan kanannya sudah mengeluarkan pedang lemasnya dan tangan kiri</div><div>sudah segera merogoh kedalam sakunya mengeluarkan semacam senjata rahasia</div><div>berduri yang mempunyai delapan muka.</div><div>Lee Thian Kauw hanya tertawa dingin saja melihatnya.</div><div>Kong-cu baju hijau mengibaskan pedang lemasnya, dengan membuat beberapa</div><div>lingkaran kecil ia sudah menyerang kearah mukanya Lee Thian Kauw.</div><div>Si Iblis menjadi kaget juga melihat ilmu permainan pedang yang sebagus ini,</div><div>dengan tidak terasa ia sampai mengeluarkan pujiannya.</div><div>'Ilmu pedang yang sangat bagus. Dengan hanya menundukkan kepalanya saja ia</div><div>sudah berhasil menghindari serangan berbahaya ini. Beberapa lingkaran pedang</div><div>lagi sudah berada didepannya karena Kong-cu baju hijau sudah meneruskan</div><div>permainan pedangnya membuat tembok yang sukar dilihat dengan mata.</div><div>Tapi tidak percuma Lee Thian Kauw sebagai salah satu dari dua jago Thian-san</div><div>yang bernama dengan hanya hawa telapak tangannya saja sudah cukup untuk</div><div>melayani si Kong-cu muda.</div><div>Tiba-tiba suara seruling dari dalam sumur kematian sudah terdengar lagi. tapi</div><div>tidak lama karena dibarengi oleh bentakannya.</div><div>"Lee Thian Kauw apa kau sudah mulai lagi dengan pembunuhanmu disini? Jika</div><div>dugaanku tidak salah, tentu A Tie, sedang berada diatas, tadi bukankah kau telah</div><div>mengatakan tidak akan membunuh dirinya?" '</div><div>Lee Thian Kauw sudah segera meninggalkan si Kong-cu baju hijau dengan sekali</div><div>loncat ia sudah berada diatasnya sumur kematian lagi dan berkata.</div><div>"Bee Suheng, akhirnya kau toh berkata juga kepadaku. Anakmu dengan selamat</div><div>masih berada disini. Inilah untuk ketiga kalinya kau dapat mengampuni dirinya</div><div>dan juga untuk penghabisan kalinya.</div><div>Suara dari sumur berkata lagi.</div><div>“Aku bukannya Bee Cin Cee, karena tidak mungkin Bee Cin Cee mau bicara</div><div>denganmu lagi.</div><div>Lee Thian Kauw menjadi heran, tapi tidak lama lagi ia sudah tertawa berkakakan.</div><div>"Janganlah membohongi diri sendiri. Kau bukannya Bee Suheng? Di dalam</div><div>sumur apa masih terdapat orang kedua?"</div><div>Menggunakan kesempatan ini Lee Thian Kauw bicara dengan orang yang berada</div><div>didalam sumur, Lee Tie sudah segera menghampiri Si Kong-cu dan menanya.</div><div>"Kau tidak kenapa-napa?"</div><div>Kong-cu baju hijau menggeleng-gelengkan kepalanya.</div><div>"Sungguh lihay." katanya. "Jika saja ia menambah lagi kekuatannya bisa mati</div><div>konyol aku olehnya.”</div><div>Lalu seperti teringat akan sesuatu ia sudah berkata lagi.</div><div>"Sudah sampai waktunya untuk aku kembali. Dan bagaimana dengan kau</div><div>disini?"</div><div>Lee Tie dengan sedih menjawab.</div><div>“Aku masih belum mau pergi karena orang yang meniup seruling itu adalah</div><div>ayahku sendiri yang belum pernah kubertemu muka."</div><div>"Aku sudah tahu sekarang." Kong-cu baju hijau berkata lagi, “kau tentunya she</div><div>Bee, bukan? Jika pada suatu waktu kau ingin menemuiku, datanglah ke Tong-tusan-</div><div>chung di luar kota Lok-yang."</div><div>Matanya Bee Tie menjadi bersinar terang selanjutnya shenya 'Lee' dibuang. Ia</div><div>pernah mendengar disebutnya nama Tong-tu-san-chung ini' di antara</div><div>pembicaranya si 'Pelajar Pedang Tumpul" dengan si 'Putih Kurus' yang serakah</div><div>itu, dan ia juga tahu bahwa Go-tong Sin-kholah yang tinggal disitu, tapi ia sudah</div><div>tidak keburu menanya kepadanya pernah apa kawan barunya ini dengan Go-tong</div><div>Sin-kho karena pada saat itu si Kong-cu sudah lompat keatas tembok</div><div>pekarangan-terlarang.</div><div>Kong-cu tadi begitu menaiki tembok tinggi sudah membalikkan lagi badannya,</div><div>sambil melemparkan senjata rahasia berduri bermuka delapan kearahnya Lee Tie</div><div>ia berkata.</div><div>"Simpalah baik-baik senjata rahasia ini."</div><div>Setelah ditanggapi dan dilihatnya. Lee Tie telah kehalingan jejaknya Kong-cu</div><div>aneh tadi.</div><div>Lee Thian Kauw masib tetap melongok kedalam sumur dan menanya.</div><div>"Siapa pula kau ini jika bukannya Bee Cin Cee?”</div><div>Suara dari sumur menjawab.</div><div>"Tidak perlu kau menanyakan aku siapa, cukuplah sudah jika kau tahu bukannya</div><div>Bee Cin Cee saja. aku telah mewakilinya bicara untuk mengajak kau bertanding</div><div>lagi dengannya dipuncak. gunung Hoa-san. Apa kau dapat menerimanya?"</div><div>Lee Thian Kauw tertawa lagi.</div><div>"Bee Cin Cee telah kehilangan dua kakinya untuk keluar dari sumur tua ini saja</div><div>sudah bukannya soal yang gampang baginya, apa lagi disuruh naik keatas puncak</div><div>gunung Hoa-san. Ha. ha. Ha. ... "</div><div>Suara dari sumur dengan keren berkata.</div><div>"Aku hanya menanyakan kepadamu beranikah kan melayani?"</div><div>Lee Thian Kauw setelah berpikir sejenak, menjawab.</div><div>"Baiklah. Tapi kau harus mengatakan dulu siapa sebenarnya kau ini?"</div><div>"Ketua partai yang ke dua-puluh lima dari Hoa-san-pay, Cie Gak.”</div><div>Jawaban ini diluar dugaannya Lee Thian Kauw, ia tertegun sejenak dan</div><div>kemudian dengan gusar berkata.</div><div>"Kau bagaimana dapat masuk kedalam? Bukankah kau telah lama meninggal</div><div>dunia. membuang diri dari atas puncaknya gunung Kie-ling.”</div><div>"Lee Thian Kauw, kau jangan ngelantur kemana-mana. Bagaimana dengan</div><div>perjanjian diatas puncak gunung Hoa-san? Dapatkah kau terima?" tanya si suara</div><div>dalam sumur.</div><div>Lec Thian Kauw tertawa dingin.</div><div>“Cee Gak, katakanlah kepada Bee Cin Cee bahwa aku siap untuk datang kesana</div><div>dan melayaninya.”</div><div>Lalu ia membalikkan mukanya memandang Bee Tie lagi dan berkata.</div><div>'"Eh, mengapa kau masih belum mau lari? Beruntung sekali bagi si baju hijau</div><div>yang ini hari dan disini ia menemui aku."</div><div>Bee Tie sudah dapat menenangkan lagi hatinya.</div><div>"Lee Thian Kauw." Katanya, “Hari ini betul aku masih belum dapat menandingi</div><div>kekuatan, tapi pada suatu hari awaslah dengan pembalasanku."</div><div>Lee Thian Kauw meski masih tertawa di wajahnya, tapi dalam hatinya tidak enak</div><div>juga. Dipandangnya mukanya Bee Tie yang cakap karena, dalam hatinya berkata.</div><div>"Biar bagaimana ia tetap merupakan bibit bencana bagiku.”</div><div>Diwajahnya masih tetap tersungging senyumnya.</div><div>"Apa kau benci kepadaku?" tanyanya. “Tentu saja karena akulah orangnya yang</div><div>telah menyemplungkan ayahmu kedalam sumur kematian ini. Bagaimana jika</div><div>kau juga turut kesana melihatnya?”</div><div>Dengan sekali jambak sudah dapat mencekek batang lehernya Lee Tie yang</div><div>masih tidak berdaya untuk melawannya.</div><div>Lee Thian Kauw jika kau menurunkan tangan jahatnya, sebenarnya dengan</div><div>sekali juga telah dapat mengambil jiwanya sang mangsa. Tapi entah mengapa ia</div><div>tidak dapat berbuat demikian kepadanya. Dengan perlahan-lahan ia sudah</div><div>mengangkat kedua kakinya Lee Tie yang berjingkrak menenteng-nenteng</div><div>diatasnya sumur-kematian.</div><div>Lee Thian Kauw seperti sedang menenteng anak ayam saja mengangkat</div><div>tubuhnya Lee Tie yang kecil dan sudah siap untuk di lemparkan kedalam sumur</div><div>pembuangannya lagi, tapi sebetulnya dengan perlahan sekali ia berkata.</div><div>"Dengan mengingat perhubungan kita yang telah lama, sudah tiga kali aku</div><div>mengampuni jiwa anjingmu. Dengarkanlah dengan baik-baik. Hawa asliku dari</div><div>luar dunia" telah terlatih sempurna dan sudah tidak ada orang lagi yang dapat</div><div>menandinginya. Jika kau masih ingin mencoba membalas dendam juga berarti</div><div>mencari mati saja.”</div><div>Ia tidak mau menggunakan tangannya sendiri untuk membunuh mati. Tetapi ia</div><div>mau melemparkannya ke dalam sumur supaya mati. Hanya saja masih ada</div><div>kemungkinan Lee Tie hidup jika tidak jatuh mati di dalam sumur maka ia</div><div>berkata demikian agar Lee Tie jangan menuntut balas kepadanya dan</div><div>menandakan bahwa ia seperti masih tidak ada niatan untuk membunuhnya.</div><div>Lee Tie cakup tahu bahwa nyawanya ibarat telur diujung tanduk, ia menjadi</div><div>mengeluh juga.</div><div>"Celaka."</div><div>Ia mencoba menggunakan tenaganya, tapi karena Lee Thian Kauw sudah</div><div>menekan jalan darah tidurnya, begitu ia bergerak sedikit saja sudah terasakan</div><div>olehnya dunia seperti berputaran mengelilinginya.</div><div>Lee Thian Kauw sudah merasa sang korban berontak, ia lalu tertawa dingin.</div><div>"Jika kau berusaha untuk berontak di bawah tanganku berarti kau mencari</div><div>sengsara saja. Mudah saja jika aku mau membunuhmu. mana dapat kau hidup</div><div>sampai sekarang ini? lebih baik kau diam-diam saja menyerah.”</div><div>Dengan tidak memperdulikan rasa sakitnya Bee Tie berkata dengan gemes.</div><div>"Jika aku masih bernyawa, tetap akan kumencari mu juga."</div><div>Kata-kata ini diucapkan dengan menahan kesakitan yang luar biasa kedua</div><div>matanya menjadi melotot besar, giginya mengeretek sampai berbunyi, kepalanya</div><div>diremes-remes menahan sakit.</div><div>Tiba-tiba tangannya merasa disakunya benda yang menusuk, pikirannya telah</div><div>teringat kembali akan benda pemberiannya si Kong-cu baju hijan yang</div><div>merupakan senjata rahasia berduri bermuka delapan, duri-duri inilah yang telah</div><div>menusuk.</div><div>Terdengar lagi suaranya Lee Thian Kauw yang menjemukan.</div><div>"Bukankah sekarang kau sudah dapat menemukanku disini?"</div><div>Bee Tie dengan menahan rasa sakitnya telah menyumput benda berduri tadi,</div><div>dalam hatinya berkata.</div><div>"Jika ia masih tidak melepaskan cekalannya, bagaimana aku dapat lolos dari</div><div>tangannya?"</div><div>Lee Thian Kauw sudah mengangkat tinggi-tingi tubuhnya siap untuk dilepaskan</div><div>dan akan jatuhlah tubuhnya Bee Tie yang kecil. Itu waktu biarpun Bee Tie</div><div>mempunyai nyali yang besar juga percuma saja untuk menahan kecepatan</div><div>turunnya sang tubuh yang akan segera tertumbuk remuk dengan dasar sumur ini</div><div>yang tentu tidak ada airnya lagi.</div><div>Lee Tie sudah menjadi nekad, keinginan mencari jalan hidup telah</div><div>menguasainya, dengan menggunakan kesempatan sewaktu tubuhnya diangkat</div><div>tinggi-tinggi, dimana tangannya Lee Thian Kauw rada sedikit kendor, ia</div><div>menekukkan lututnya melupakan sakitnya dan segera disepakan kearah</div><div>musuhnya yang jahat itu dengan semua kekuatan yang ada.</div><div>Lee Thian Kauw tidak menyangka, dua kaki kecilnya Lee Tie dengan telak telah</div><div>mengenai perutnya, saking sakitnya sampai lupa dengan cekalannya dan</div><div>terlepaslah Bee Tie keseberang sumur kematian.</div><div>Lee Tie yang melayang kedepan bukannya segera lari meninggalkan Lee Thian</div><div>Kauw, tapi ia membalikan tangaunya dan senjata rahasia yang penuh dengan</div><div>duri itu telah dilontarkan kearah musuh besarnya.</div><div>Hanya terdengar jeritannya Lee Thian Kauw dengan tidak mengetahui kena atau</div><div>tidaknya lontarannya tadi Bee Tie sudah segera melarikan dirinya loncat keatas</div><div>tembok pekarangan terlarang yang pada rusak.</div><div>Dilihatnya Ku- in-chung yang telah termusnah termakan api sudah hampir rata</div><div>dengan tanah, maka jika ia lari kemana saja sudah pasti terlihat oleh Lee Thian</div><div>Kauw yang tidak mungkin melepaskan dirinya. Bee Tie yang mempunyai otak</div><div>encer bukannya lari lagi malah menjatuhkan dirinya dibawah tembok</div><div>pekarangan terlarang, dan mengumpat disitu.</div><div>Betul saja satu bayangan tinggi besar telah menyusul lewat diatas kepalanya dan</div><div>sebentar saja sudah lari jauh sekali didepannya.</div><div>Ia harus kembali lagi kedalam pekarangan terlarang pada waktu sebelum Lee</div><div>Thian Kauw engah, maka ia lidak berani lama-lama diam disitu dan segera</div><div>lompat masuk lagi berlari larian menuju kesumur kematian dan naik lagi keatas</div><div>pohon yang lebat tadi.</div><div><br /></div><div>Baru sekarang Bee Tie dapat menghela napas lega. Dilihatnya ditempat kejauhan</div><div>bayangannya Lee Thian Kauw yang sedang ubek-ubekan mencari jejak dirinya</div><div>dan kemudian lenyap diantara kegelapan.</div><div>Tapi waktu itu hatinya Bee Tie malah menjadi berdebaran lagi. Jika Lee Thian</div><div>Kauw mencarinya sekian lama dan tidak mendapatkannya, bagaiman jika ia balik</div><div>kembali lagi mencarinya disini? Ia kini merasakan juga akan ketidak amanan</div><div>ditempat persembunyiannya.</div><div>Pada waktu itu tiba-tiba dari tembok Pekarangan terlarang loncat masuk lagi</div><div>seorang, Bee Tie menjadi kaget dan sndah menyangka akan dirinya Lee Thian</div><div>Kauw. Tapi setelah ditegasi bayangan ini ia sudah menjadi kegirangan sekali</div><div>karena tidak lain dari pada sikakek pendeknya Kiauw Kiu Kong yang paling</div><div>disukai.</div><div>Terlihat Kiauw Kiu Kong dengan sebelah tangan menenteng rantang makanan</div><div>sedang celingukan melihat kesana sini dan langsung menuju kearahnya sumur</div><div>kematian.</div><div>Bee Tie dengan mengeraskan sedikit suaranya berkata kearahnya.</div><div>"Kakek pendek, kebetulan sekali kedatanganmu ini."</div><div>Segera ia loncat turun dari tempat mengumpatnya dan menghampiri Kiauw Kiu</div><div>Kong yang sedang berdiri tertegun.</div><div>Setelah dapat tahu orang yang muncul itu Bee Tie adanya, Kiauw Kiu Kong</div><div>bukannya menyambut kedatangannya malah menjadi marah, tegurnya.</div><div>"Mengapa kau berani datang kemari lagi? Mengapa kau tak baik-baik diam</div><div>didalam kota Lok-yang menunggu kedatanganku?"</div><div>Bee Tie hampir menangis mendengar sesorah yang nyerocos ini, dalam waktu</div><div>singkat mana dapat ia cepat-cepat menceritakan kesedihannya ia berkata.</div><div>“Kakek pendek jangan menyalahkan dulu, lain kali saja akan kuberikan</div><div>penjelasannya. Sebentar lagi Lee Thian Kauw mungkin balik kembali kesini yang</div><div>penting kita harus mencari tempat sembunyi dulu."</div><div>“Betnl?" Kata Kiauw Kiu Kong kaget.</div><div>Bee Tie memanggutkan kepalanya. “Betul. Baru saja ia telah kuhantam dengan</div><div>senjata rahasia.”</div><div>Kiauw Kiu Kong setelah berpikir sebentar lalu berkata.</div><div>"Malam ini akan kuajak kau untuk menemui dua orang? Apa kau bersedia?"</div><div>Bee Tie yang mendengar sudah tahu akan siapa adanya dua orang ini, maka</div><div>dengan sedikit gemeteran ia menanya, “Apa dua orang itu ayahku Bee Cin Cee</div><div>dan ketua Hoa-san-pay yang ke dua puluh lima Cie Gak?”</div><div>Matanya Kiauw Kiu Kong bersianar terang, ia memuji akan kepintarannya calon</div><div>ketua pilihannya ini, dengan tidak berkata apa-apa ia hanya memanggutkan</div><div>kepalanya.</div><div><br /></div><div>Secara tiba-tiba Bee Tie sudah segera menjatuhkan dirinya dan berlutut di</div><div>hadapannya Kiauw Kiu Kong dan berkata, “Kakek Kiauw, kaulah orang yang</div><div>selalu menolong diriku, disini aku Bee Tie mengunjuk hormatnya sebagai</div><div>pernyataan terimakasihku yang tidak terhingga.”</div><div>Kiauw Kiu Kong malah dibuat kelabakan karena kelakuannya ini, ia hanya dapat</div><div>berkaok-kaok keheranan, “Kau mengapa? Kau mengapa? Lekas bangun dan</div><div>berkata seperti biasa saja.”</div><div>Bee Tie sambil mengucurkan air mata dengan perasaan syukur menyoja sampai</div><div>empat kali baru bangkit dari berlututnya. Tiba-tiba mereka dibikin kaget karena</div><div>sudah terdengar tindakan kaki dan makiannya Lee Thian Kauw yang berada di</div><div>luar tembok pekarangan terlarang.</div><div>Kiauw Kiu Kong dengan tidak terasa sampai menyebut, “Celaka!”</div><div>Dengan sekali loncatan saja ia sudah dapat menyamber tubuhnya Bee Tie dan</div><div>segera mencemplungkan dirinya ke dalam sumur yang berada di depannya itu.</div><div>Pandangan matanya Bee Tie mendadak menjadi gelap, badannya juga sudah</div><div>tidak menyentuh tanah dan melayang dengan kecepatan yang tidak terhingga. Ia</div><div>merasa berkuatir juga, bagaimana Kiauw Kiu Kong dapat menahan jatuhnya</div><div>badan mereka?</div><div><br /></div><div>Tapi Bee Tie ingat pernah lihat bagaiamana Kiauw Kiu Kong sampai dua kali</div><div>lompat turun ke dalam sumur ini, bahkan yang kedua kalinya ia harus</div><div>membopong mayatnya si tosu pengembara Jin Cun Bee dengan tidak mendapat</div><div>luka suatu apa, barulah hatinya menjadi tenang juga.</div><div>Saat itu Bee Tie telah merasakan bau amis yang sangat hebat, tubuhnya tetap</div><div>turun dengan kecepatannya. Tiba-tiba ia merasa tergerak sedikit dan tubuhnya</div><div>dapat berhenti di udara, denga heran ia menanya.</div><div>“Kita sekarang berada di mana?”</div><div>Tubuh mereka sudah mulai turun lagi ke bawah dengan tertawa Kiauw Kiu Kong</div><div>menjawab pertanyaannya, “Kita berada di tengah-tengahnya sumur ini.”</div><div>Bee Tie menjadi kaget, bagaimanakah Kiauw Kiu Kong dapat menahan</div><div>tubuhnya? Maka ia sudah menanya lagi, “Kakek pendek, dengan cara apakah kau</div><div>dapat menahan diri kita?"</div><div>Kiauw Kiu Kong tertawa.</div><div>“Sebentar lagi setelah kau menjadi biasa dengan kegelapan dan melihat dengan</div><div>jelas tentu dapat mengetahuinya."</div><div>Bee Tie membuka kedua matanya lebar-lebar dan betul saja setelah lewat sekian</div><div>lamanya setelah ia dapat membiasakan dirinya ditempat kegelapan, dilihatnya</div><div>tangan kanannya Kiauw Kiu Kong digerak-gerakan. Dan didalam cekalannya</div><div>terlihat sebatang bambu kecil yang di tancepkan ke pinggiran sumur. Begitu</div><div>bambu kecil ini ditusukkan masuk tentu saja badan mereka jadi tertahan dari</div><div>meluncurnya ke dasar sumur.</div><div><br /></div><div>Tapi dalam hal ini jika tidak mempunyai latihan tenaga dalam yang sempurna</div><div>juga percuma saja menggunakan caranya itu, karena orang yang menggunakan</div><div>tongkat bambu ini harus mempunyai emposan tenaga baru dapat menahannya</div><div>atau ia akan terjungkal jika kurang teguh kekuatannya.</div><div>Tenaganya Kiauw Kiu Kong sudah cukup sempurna dan Bee Tie juga telah</div><div>mengetahuinya. Tapi kemarin ini ia telah menderita luka yang tidak ringan,</div><div>mengapa dapat sembuh demikian cepatnya? Baru saja ia mau menanya atau</div><div>keburu Kiauw Kiu Kong membuka mulutnya, “Si Setan Kurus” dari Bong-san</div><div>setelah dapat menolongmu dari tangannya Lee Thian Kauw apa telah dapat</div><div>menemui mu lagi?”</div><div><br /></div><div>Bee Tie memanggutkan kepalanya, “Jika bukan adanya paman “Pelajar Pedang</div><div>Tumpul” yang datang menolongi, mungkin aku sudah terbunuh di tangannya.”</div><div>Kiauw Kiu Kong dengan gemas berkata, “Aku juga sudah tahu akan sifatnya, tapi</div><div>dalam keadaan terdesak aku terpaksa minta tolong juga padanya. Pada tiga</div><div>tahun yang lalu aku percaya ia juga berada di dalam goa batu kepala manusianya</div><div>dan mendiamkan saja Cie Gak sedang dikejar-kejar oleh enam sute durhakanya</div><div>yang berakhir dengan terampasnya Tongkat Rantai Kumala oleh Lee Thian Kauw</div><div>dan Cie Gak lompat bunuh diri dari puncaknya gunung Kie Ling.”</div><div>“Tapi paman Cei Gak sekarang sudah berada di sini?”</div><div>“Entah mengapa ia tidak sampai mati, aku masih belum menanyakan padanya.”</div><div>“Dan bagaimanakah kakek dapat demikian cepatnya menyembuhkan luka-luka</div><div>dalamnya?”</div><div>Kiauw Kiu Kong menghela nafas.</div><div>“Masih untung dengan datangnya Si Setan Kurus dari Bongsan itu.”</div><div>“Ia juga masih mempunyai hati yang baik?”</div><div>Kiauw Kiu Kong tertawa dingin, “Jika bukannya dengan ilmu simpanan Hoa-sanpay</div><div>yang berada di dalam tongkat Rantai Kumala sebagai pancingannya, mana ia</div><div>dapat gampang-gampang memberikan pertolongannya?”</div><div>“Lantaran itu juga maka ia baru menolongku dari tangan jahatnya Lee Thian</div><div>Kauw?”</div><div>“Apa kau masih menyangka ia dapat sembarangan menolong orang percuma?”</div><div>Bee Tie menjadi terdiam kemudian dengan gemas ia berkata, “Terhadap orang</div><div>yang seperti ia ini, sampai matipun tidak nanti kau mau mempertontonkan</div><div>kepandaian simpanan dari tongkat Rantai Kumala.”</div><div><br /></div><div>Kiauw Kiu Kong sampai tertawa mendengarnya, ia telah menarik pulang lagi</div><div>tenaganya dan turun ke bawah sumur yang berbau amis ini.</div><div>Begitu semakin dekat dengan dasar sumur hatinya Bee Tie sudah menjadi</div><div>semakin berdebaran saja. Kiauw Kiu Kong yang menggendongnya juga telah</div><div>merasakan hal ini dan menanya, “Kau mengapa? Sebentar lagi kau juga dapat</div><div>menemui ayahmu itu, mengapa malah menjadi takut karenannya?”</div><div>Bee Tie belum lagi menjawab pertanyaannya atau telah terasakan tubuhnya</div><div>tergentak karena telah sampai pada dasarnya sumur yang menyeramkan ini.</div><div>Dari samping kirinya terlihat ada sinar yang menyinari masuk dan terlihat</div><div>olehnya tulang belulang manusia yang berserakan di sekitarnya, bahkan masih</div><div>ada yang belum menjadi tulang semua yang menyiarkan bau amisnya.</div><div>Dengan tidak terasa Bee Tie sampai bergidik melihatnya.</div><div>Kiauw Kiu Kong sambil menyerahkan tentengan bawaannya kepadanya sudah</div><div>berkata sambil tertawa, “dengan mengikuti arah sinar terang ini kau boleh segera</div><div>pergi ke sana untuk menemui ayahmu. Dan bawalah makanan ini pada mereka.”</div><div>Bee Tie dengan heran menanya, “Kau sendiri hendak ke mana?”</div><div>Terlihat Kiauw Kiu Kong menggeleng-gelengkan kepalanya, “aku tidak masuk</div><div>terus lagi, katakana saja kepada ayahmu dan Cei Gak bahwa aku telah</div><div>meninggalkannya.”</div><div><br /></div><div>Lalu sambil mengeluarkan pisau belati kecil yang segera diserahkan ke dalam</div><div>tangannya Bee Tie, berkata, “ Inilah barang tanda matanya si tosu pengembara</div><div>dari Oey San yang bernama Jin Cun Bee, mungkin kau dapat menggunakannya,</div><div>simpanlah baik-baik karena aku akan segera meninggalkannya.”</div><div>Dengan mendongakkan kepalanya Kiauw Kiu Kong sudah lompat naik lagi ke</div><div>atas dengan kecepatan yang tidak kalah dengan turunnya. Sebeantar saja ia</div><div>sudah berada lebih dari sepuluh tombak jauhnya.</div><div>Bee Tie dengan serak berkata, “Kakek Kiauw, awas dengan bokongannya Lee</div><div>Thian kiauw yang mungkin masih ada disana.”</div><div>Baru sekarang Bee Tie membalikkan lagi kepalanya dan dilihatnya sinar terang</div><div>tadi ternyata keluar dari satu terowongan entah menuju kemana.</div><div>Bee Tie dengan memberanikan dirinya telah maju menuruti arahnya terowongan</div><div>ini.</div><div><br /></div><div>Tapi tidak disangka baru saja ia berjalan belasan tindak atau dari dalam</div><div>terwongan sudah dengar satu bentakannya orang, “Siapa?”</div><div>Bee Tie dengan suara terharu menjawabnya, “ aku Bee Tie yang mau menemui</div><div>ayah.”</div><div>Hampir saja Bee Tie mengucurkan air matanya menyaksikan keadaan yang</div><div>mengharukan disitu.</div><div>Dari dalam terdengar lagi satu suara lain yang tidak kalah terharunya.</div><div>“bagaimana caranya kau turun?” Bee Tie dengan menahan rasa sedihnya</div><div>menjawab.</div><div>“Kiauw Kiu Kong yang telah membawaku ... ”</div><div>Tapi suara dari dalam terowongan tadi sudah menjadi marah dan bentaknya,</div><div>”kembali lagi ... kembali lagi ... apa kau tidak bisa turun sendiri?”</div><div>Bee Tie yang mendengar bentakan ayahnya ini sudah tidak dapat menahan lagi</div><div>bendungan air matanya, tapi ia sebagai seorang anak yang berbakti dengan</div><div>mengeluarkan pisau belati pemberian Kiauw Kiu Kong tadi sudah membalikan</div><div>lagi langkahnya menuju ke tempat mulut sumur dan berkata.</div><div>“baik, ayah boleh tunggu saja disini, tidak lama A Tie juga akan balik lagi.”</div><div>Baru saja ia mau melompat naik lagi atau suara yang pertama tadi terdengar</div><div>sudah berkata lagi. ”tidak usah naik lagi, aku dan ayahmu sudah datang</div><div>padamu.”</div><div><br /></div><div>Bee Tie berpaling kebelakang dan menjadi menjerit kesima.</div><div>“Ohhh ... ”</div><div>Dimulut terowongan dilihatnya satu makhluk, mirip makhluk jadi-jadian,</div><div>badannya tak besar, kepalanya dua buah dan tiada berlengan.</div><div>Makhluk tersebut bergerak mendatangi ke arah tempat Bee Tie berdiri.</div><div>Sambil memegang gagang pisau belatinya keras Bee Tie membentak.</div><div>“Hai! Kau ini manusia apa jejadian? Berhenti jangan kau maju setindak lagi saja!</div><div>... ”</div><div>”Apa? Jejadian? Siapa jejadian? Kurang ajar! Bocah tidak tahu diri!" demikian</div><div>terdengar suara bentakan dari mulutnya makhluk aneh itu, kepala yang sebelah</div><div>kirilah yang tadi berseru.</div><div>Bee Tie merasa agak lega juga hatinya, suara itu adalah suara manusia, bukan</div><div>seperti apa yang ia duga semula, sama sekali bukanlah jejadian sumur yang</div><div>sedang menungkuli tempat kediamannya. Tetapi walaupun demikian, belum</div><div>berani Ia menyimpan pisau belatinya, malah digenggamnya lebih keras. lalu</div><div>berjalan maju menghampiri makhluk aneh untuk melihat lebih jelas.</div><div>Ternyata-makhluk yang ia duga makhluk jejadian itu, sebenarnya adalah</div><div>manusia biasa, tetapi bukan hanya seorang, melainkan ada dua orang yang duaduanya</div><div>sudah kehilangan semua kakinya sampai batas paha. Dengan sebelah</div><div>tangan mereka bergandengan, kelihatan dari jauh seperti satu orang dengan dua</div><div>kepala. Malah dengan sebelah tangan lainnya mereka gunakan sebagai kaki</div><div>lebih-lebih mirip mereka itu seperti makhluk jejadian dengan dua kepala, badan</div><div>besar dan tidak berlengan.</div><div><br /></div><div>Tetapi, Bee Tie sendiri sudah menerka pasti bahwa kedua orang tersebut, yang</div><div>pertama pasti adalah ayahnya sendiri. Bee Cin Tiee, dan yang lainnya, ialah ketua</div><div>Hoa-san-pay generasi kedua puluh lima Cie Gak, Yang pernah mencoba bunuh</div><div>diri dengan cara terjunkan diri dari atas puncaknya gunung Kie Ling.</div><div>Di belakangnya perkampungan Kui-in-chung. Tetapi entah dengan cara</div><div>bagaimana pula ia sekarang sudah berada didalam Sumur Kematian, malah.</div><div>Seolah-olah menjadi satu dengan ayahnya Bee Tie membentuk makhluk lain.</div><div>Matanya Bee Tie sudah mengembeng dengan air mata. Walaupun ia belum dapat</div><div>membedakan siapa diantara kedua orang yang bergandengan tangan itu adalah</div><div>ayahnya, karena sejak masih kanak-kanak sampai pada saat ini ia belum pernah</div><div>melihat wajah aslinya Sang ayah, maka pertemuan ini adalah pertemuan mereka</div><div>yang pertama antara ayah dan anak yang telah lama berpisahan.</div><div><br /></div><div>Maka itu begitu Bee Tie melihat keadaan ayahnya yang demikian mengenaskan,</div><div>tanpa merasa ia lantas menangis menggerung-gerung macam anak kecil. Tetapi</div><div>pikirannya masih terang. Ia masih ingat kata-katanya si orang tua-pendek</div><div>semua, ia masih ingat bagaimana ayahnya dalam kesedihan sering menyatakan</div><div>kesedihan hatinya dalam tiupan seruling. Maka itu, pada pikirannya kalau saja ia</div><div>dapat melihat seruling, seruling yang merupakan harta peninggalan satu-satunya</div><div>dari ayahnya, dapatlah ia memastikan siapa ayahnya yaitu tentunya orang yang</div><div>memegang seruling ditangannya.</div><div><br /></div><div>Tetapi dalam keadaan demikian itu, dimana dua orang seolah-olah menjadi satu</div><div>itu, dengan sebelah tangan mereka yang saling bergandengan dan sebelah tangan</div><div>lainnya digunakan sebagai kaki, sudah tentu saja tidak ada kelebihan tangan</div><div>yang dapat dipakai untuk menggenggam seruling atau barang-barang lainnya</div><div>lagi.</div><div>Tetapi, ia masih merasa penasaran. Ia hendak mencari kalau-kalau disalah satu</div><div>diantara mereka, didalam pakaiannya ada apa-apa yang mencurigakan, atau</div><div>yang menonjol keluar, tetapi ternyata usahanya itu tetap sia-sia belaka. Ia lebih</div><div>bersedih. Air matanya sudah bercucuran bagai hujan tumpah dari langit.</div><div>“Jangan menangis! Kalau kau mau menangis kau tidak boleh bersama kita disini.</div><div>Kau boleh segera naik keatas. Disana kau boleh menangis sepuas-puasnya,”</div><div>demikianlah suatu suara bentakan keras terdengar masuk dalam telinganya Bee</div><div>Tie.</div><div><br /></div><div>Selanjutnya, salah seorang diantara dua orang yang tadinya bergandengan</div><div>tangan itu, kini melepaskan cekalannya pada kawannya, kemudian dengan dua</div><div>tangannya menekan ketanah, badannya tahu-tahu sudah masuk ke dalam</div><div>terowongan tadi lagi, lenyap dari pandangan mata Bee Tie, si anak muda.</div><div>Bee Tie sedapat mungkin hendak mencoba menahan tangisnya. Ia merasa kagum</div><div>sekali ketika menyaksikan perbuatan orang tanpa kaki itu, yang ternyata masih</div><div>dapat bergerak demikian cepatnya. Biar orang berilmu cukup tinggi sekalipun,</div><div>orang yang masih lengkap semua anggota badannya, rasanya tidak dapat</div><div>bergerak secepat orang tanpa kaki itu.</div><div><br /></div><div>Setelah orang tanpa kaki yang seorang itu masuk meninggalkan mereka, disitu</div><div>hanya tertinggal Bee Tie dan orang tanpa kaki yang lainnya. Dengan nada suara</div><div>penuh rasa kasih sayang, orang tanpa kaki yang satu ini berkata pada Bee Tie.</div><div>“Ayahmu tidak suka anaknya menangis. Ia gusar tadi karena kau menangis. ia</div><div>selalu mengharap anaknya bisa menjadi orang yang pandai orang yang gagah</div><div>berani, dan bukannya orang sebangsa manusia cengeng. Maka itu, janganlah kau</div><div>menangis di hadapannya. Kau juga harus dapat menyelami segala kesukaran</div><div>hatinya. Mari! Marilah kita susul padanya. Tentu ayahmu sekarang pergi ke</div><div>dalam. Dia berada di dalam goa sana itu. Mari! Ikuti aku saja."</div><div>Setelah berkata sampai disitu, dengan mengajak Bee Tie yang mengikuti terus di</div><div>belakangnya, ia berjalan masuk ke dalam jalan lorong yang berada didasar</div><div>Sumur Kematian, didalam terowongan.</div><div><br /></div><div>Maka tahulah Bee Tie kini, siapa ayahnya dan siapa pula orang yang sedang</div><div>berjalan sama-sama dengan dia masuk ke dalam ini. Dia pastilah itu ketua Hoasan-</div><div>pay generasi kedua puluh lima, yang pernah membunuh diri dengan jalan</div><div>terjunkan diri dari puncak gunung Kie-ling di belakang perkampungan Kui-inchung.</div><div>Dengan tidak berkata-kata ia terus mengikuti orang bercacat itu masuk ke</div><div>dalam terowongan.</div><div>Jalan lorong dalam terowongan itu, sangat dalam sekali.</div><div>Makin jauh masuk ke dalam, makin menurun jalannya. Mereka berdua berjalan</div><div>menyusuri lorong itu, semakin lama semakin gelap juga nenurun. Hawa udara</div><div>disebelah dalam agak lembah.</div><div>Entah berapa lama mereka telah berjalan itu, mendadak Bee Tie dapat melihat</div><div>disebelah depannya, sebuah tempat yang kemasukan cahaya matahari. Mereka</div><div>berdua sekarang sudah sampai di ujung lain dari terowongan Sumur Kematian</div><div>itu, Sekarang mereka seolah-olah sudah berada ditempat diluar Sumur</div><div>Kematian. Ditempat itu sinar matahari dapat masuk, tempatnya terbuka.</div><div>Sesampainya ditempat yang terang itu, Bee Tie mendongakkan kepala. Ia lihat</div><div>diatasnya ada lubang yang terbuka lebar. Dari lubang itulah matahari menyorot</div><div>masuk. Ia tahu juga, bahwa sekarang ini ia sedang berada diujung lain dari jalan</div><div>lorong dalam terowongan itu.</div><div>Di sekitar lubang disebalah atas, ia melihat ada tiga puncak gunung yang tinggitinggi,</div><div>terbingnyapun curam-curam. Disebelah bawah, ditempat ia berdiri,</div><div>merupakan sebuah tempat atau ruangan yang luas. Tidak jauh di depannya</div><div>tumbuh rumput dengan sangat teratur, rapihnya seolah-olah sebuah barisan tin</div><div>yang kecil bentuknya.</div><div><br /></div><div>Disitu, bukan hanya rumput saja tumbuh teratur yang terdapat tetapi disamping</div><div>itu juga masih ada lagi banyak goresan-goresan berupa gambar-gambar di manamana,</div><div>sampai-sampai diatas batu-batu cadas agak kesebelah atasannya juga</div><div>coretan itu masih terdapat. Agaknya goresan-goresan itu mempunyai arti</div><div>tersendiri, tetapi tidak dapat dimengerti oleh Bee Tie yang melihat dengan mata</div><div>tak berkesip.</div><div><br /></div><div>Disuatu pojokan, ayahnya Bee Tie, Bee Cin Cee sedang duduk sambil mengawasi</div><div>Bee Tie, anaknya dengan sorot mata tajam.</div><div>Melihat ayahnya, Bee Tie segera lompat dari mulutnya goa, terus menghampiri</div><div>ayahnya yang sedang duduk menantikan padanya sejak tadi. Gerakan yang</div><div>diperlihatkan itu demikian gesit dan lincahnya, begitu ringan sehingga begitu</div><div>sampai ditanah, kakinya Sama sekali tidak menerbitkan suara apa."</div><div>Bee Cin Cee dan Cie Gak, dua orang tua tak berrkaki yang menyaksikan</div><div>perbuatannya Bee Tie, keduanya hanya saling pandang, dalam hati mereka diamdiam</div><div>sudah memuji ketangkasannya anak muda ini.</div><div>Baru saja Bee Tie hendak menjalankan peradatan di hadapan ayahnya, tiba-tiba</div><div>sang ayah itu berseru sambil menuding dengan serulingnya kesuatu tempat,</div><div>yaitu lubang atau mulut goa itu. Ia berkata keras. “Cepat! Lompat lagi kau ke</div><div>sana!"</div><div><br /></div><div>Bee Tie memandang muka ayahnya sejenak, kemudian lompat lagi kemulut goa</div><div>tempat ia keluar tadi. Bee Cin Cee dan Cie-Gak yang menyaksikannya, sambil</div><div>mengangguk-anggukan kepala menyatakan kekaguman mereka, sudah segera</div><div>saling pandang lagi.</div><div>Bee Tie tadi, sesampainya sang kaki dimulut goa, terus ditotol kembali dan</div><div>melayanglah badannya balik kehadapan ayah serta bekas ketua Hoa-san-pay Cie</div><div>Gak. Sesampainya ia di hadapan ayahnya, ia segera menjalankan peradatannya,</div><div>berlutut di depan ayahnya sambil angguk-anggukkan kepala.</div><div>Tempat, yang mereka injak saat ini, ternyata adalah sebuah lembah, yaitu</div><div>lembah dari pegunungan Kie ling yang berdekatan dengan perkampungan Kui-in</div><div>chung.</div><div>Pada tiga tahun berselang. ketika Cie Gak terjun dari atas puncak gunung Kieling,</div><div>secara kebetulan sekali jatuhnya ke dalam lembah ini, sehingga kemudian</div><div>dapat ditolong oleh ayahnya Bee Tie, Bee Cin Cee. Rupanya memang belum</div><div>sampai waktunya Cie Gak harus binasa. Kecuali kedua kakinya yang hilang</div><div>karena terbentur sebuah batu cadas yang tajam, bagian lain ditubuhnya sama</div><div>sekali tidak terganggu, maka itulah sampai sekarang ia masih hidup. Dengan</div><div>bantuannya Bee Cin Cee, akhirnya kakinya dapat disembuhkan dari lukalukanya,</div><div>dan orangnya juga tidak sampai binasa. Sejak dari waktu itulah terus</div><div>menetap didalam lembah itu, kemudian menjadi temannya Bee Cin Cee yang</div><div>sudah lama tidak bertemu dengan manusia sesamanya.</div><div>Sampai pada hari itu, telah dua belas tahun lamanya Bee Cin Cee tinggal didalam</div><div>lembah atau Sumur itu, adapun selama itu hidupnya bergantung dari nasib</div><div>isterinya.</div><div><br /></div><div>Selama sang isteri masih hidup dan masih tinggal di Kui-in-chung, ia juga akan</div><div>terus hidup, ia juga terus mendapatkan makanannya dari isterinya itu yang selalu</div><div>saja melemparkan apa-apa kebutuhannya ke dalam sumur kematian itu.</div><div>Dendaman sakit hati selama dua belas tahun itu, tidak bisa ia lupakan barang</div><div>sesaat. Ia terus memperdalam ilmunya memperbanyak latihannya. Setelah Cie</div><div>Gak masuk juga kesitu, sebagai temannya, juga mereka akhirnya berhasil</div><div>menciptakan suatu ilmu baru, ilmu “Sumur kematian”.</div><div>Demikianlah, sejak saat itu Bee Tie terus tinggal bersama mereka didalam Sumur</div><div>Kematian atau didalam lembah dan disitu pulalah ia mendapatkan pelajaran</div><div>ilmu kepandaian ciptaan penghuni Sumur Kematian tersebut.</div><div>Lewat lagi dua bulan kemudian. Bee Tie sudah dapat memahami seluruh</div><div>pelajarannya berikut prakteknya sekali. Disamping itu, ia juga mendapat</div><div>pelajaran ilmu pengobatan dan ilmu menabuh alat-alat musik dan yang paling</div><div>terutama adalah ilmu meniup seruling. Semuanya itu didapatkan dari ayahnya,</div><div>juga dari Cie Gak.</div><div><br /></div><div>Selama dua bulan itu, Bee Tie yang memperhatikan benar-benar bagaimana cara</div><div>ayahnya bersama-sama dengan Cie Gak berjalan dengan menggunakan tangan</div><div>mereka sebagai kaki baru, perasaan herannya bukan main. Sungguh suatu</div><div>permainan akrobat yang menarik sekali. Walaupun mereka ke dua-duanya sama</div><div>sekali tidak mempunyai kaki lagi, tetapi asalkan mereka mau saja, tidak sukar</div><div>rasanya untuk keluar dari dalam Sumur Kematian. Tidaklah sukar rasanya</div><div>pekerjaan itu baginya, melihat kepandaian yang mereka berdua miliki. Tetapi</div><div>herannya, mengapa mereka agaknya senang tinggal terus didalamnya? Mengapa</div><div>agaknya mereka itu mau menjadi penghuni tetap dari sumur kematian?</div><div>Pada suatu hari, sewaktu Bee Tie sedang berada berdua saja dengan Cie Gak,</div><div>ketua Hoa-san-pay ia bermaksudahendak mendapatkan keterangan lebih jelas</div><div>dari padanya tentang apa yang selalu dipikirkannya maka itu ia bertanya.</div><div>“Cie Siokhu bersama ayah rasanya tidak sukar mau keluar dari dalam sumur</div><div>celaka ini. Kenapa Cie Siokhu tidak mau coba-coba saja? Kenapa ayah juga tidak</div><div>mau keluar dari sini?"</div><div>Cie Gak, ketika mendengar pertanyaan Bee Tie begitu, wajahnya berubah</div><div>seketika. Dengan suara keren ia berkata.</div><div>“Sekali-kali jangan kau ulangi lagi pertanyaanmu ini di hadapan ayahmu maupun</div><div>di hadapanku, kalau ayahmu mendengar ini, ia pasti akan marah lagi padamu."</div><div>Bee Tie merasa heran. ”Kenapa demikian?" segera ia bertanya.</div><div>“Apa kau mau kami pertotonkan cara jalan kami di depan orang banyak?"</div><div>“Apa Siokhu sudah bosan dengan keramaian dunia?" demikian Bee Tie bertanya</div><div>lagi. Agaknya ia masih belum dapat menangkap apa maksud arti kata-katanya</div><div>Cie Gak tadi.</div><div>Mendengar orang bertanya yang bukan-bukan, Cie Gak merasa agak marah.</div><div>maka ia lalu membentak dengan suara keras.</div><div>“Jangan banyak tanya! Kau baik-baik belajar dulu semua pelajaranmu. Jangan</div><div>kau omong-omong soal itu lagi dengan aku."</div><div>Mengetahui orang sudah marah, Bee Tie menjadi agak keder juga. Tetapi ketika</div><div>ia ingat lagi Cie Gak dulu pernah menceritakan padanya tentang perjanjian</div><div>hendak mengadu kepandaian di puncak gunung Hoa-san antara ayahnya dengan</div><div>Lee Thian Kauw, maka ia merasa semakin tidak mengerti. Itu pulalah sebabnya</div><div>mengapa ia terus bertanya, bertanya lagi.</div><div>“Siokhu, katanya ayah dan Lee Thian Kauw berdua pernah mengaadakan</div><div>perjanjian bersama hendak melakukan pertandingan diatas gunung Hoa-san,</div><div>Apa waktu itu ayah juga tidak mau keluar dari dalam Sumur ini?"</div><div>Cie Gak agak bercekat hatinya. Dengan perasaan agak ragu-ragu ia menjawab.</div><div>“Nanti, satu tahun kemudian, aku tidak tahu bagaimana perkembangannya lagi.</div><div>Pada waktu itulah kau boleh pergi menanyakan sendiri soal itu padanya.”</div><div>Bee Tie masih tidak mengerti. Segala persoalan agaknya akan tetap menjadi tekateki</div><div>baginya. Ia lalu memutuskan untuk menanti, setahun kemudian, akan</div><div>menanyakan sendiri hal itu lagi kepada ayahnya Bee Cin Cee, sang ayah, kecuali</div><div>memberikan pelajaran macam-macam ilmu kepandaian kepada anaknya. Waktu</div><div>senggangnya tidak pernah digunakan untuk bercakap-cakap dengan anaknya, ia</div><div>hanya melewatkan waktunya itu untuk duduk bersemedi. Pernah beberapa kali</div><div>Bee Tie hendak membuka mulut menanyakan hal itu, tetapi akhirnya selalu saja</div><div>mesti batal, karena melihat begitu berwibawanya sang ayah. Suatu malam,</div><div>sebagaimana biasanya, Bee Tie keluar dari dalam Sumur Kematian untuk</div><div>mencari bahan makanan dan keperluan mereka lain-lainnya. Kala itu, bulan dan</div><div>bintang-bintang tampak memancarkan sinarnya yang kemilau, putih memerak,</div><div>menghias angkasa lepas. Keluar dari mulut Sumur Kematian, Bee Tie terus</div><div>berjalan meninggalkan perkampungan Kui-in-chung dan langsng menuju ke</div><div>dalam kota Lok-yang, kota yang tidak memberi kesan baik terhadapnya.</div><div>Ia berjalan sambil tundukkan kepala. Belum lama ia berjalan, tiba-tiba jauh di</div><div>belakangnya terdengar derap kaki kuda. Ia merasa heran. Ia berkata seorang diri</div><div>seperti orang mendumel.</div><div><br /></div><div>“Jalan ini bukannya jalan raya. Disekelilingnya juga tidak ada rumah-rumah.</div><div>Dari mana itu suara derap kaki kuda? Siapakah gerangan penunggangnya?"</div><div>Terdorong oleh rasa ingin tahu, ia segera menyingkir menyembunjikan diri</div><div>ketempat yang sukar diketahui orang. Ia mengintai dengan mata terbuka lebarlebar.</div><div>Tidak antara lama, seekor kuda berlari dengan sangat cepatnya mendatangi, yang</div><div>pada perkiraannya akan lewat agak dekat dengan tempat persembunyiannya.</div><div>Kuda itu, tidak begitu asing lagi baginya. Suatu kuda berbulu merah dengan</div><div>ekornya yang dua buah adalah kuda tunggangannya si orang kurus, si “Putih</div><div>Kurus”, yang tidak ia sukai kelakuannya.</div><div>Melihat orang ini, dalam hati Bee Tie berpikir, “Aku kira siapa! Tidak tahunya,</div><div>hmmm! “Setan Kurus Serakah!"</div><div>Tetapi ia merasa heran juga, mengapa orang kurus ini datang kekota Lok-yang.</div><div>Dalam hati lagi-lagi ia berkata-kata seorang diri.</div><div>“Sudah begini malam mau kemana dia? Baik aku kuntit saja padanya. Aku mau</div><div>lihat apa kerjanya disana.”</div><div>Ketika ia memikir sampai disitu, kuda berbulu merah berekor dua itu sudah</div><div>lewat didekatnya.</div><div>Si “Putih Kurus” duduk diatas kudanya dengan tingkahnya yang memualkan.</div><div>Lama sudah Bee Tie menguntit dari tempat agak kejauhan sambil</div><div>memperhatikan terus semua gerak geriknya orang kurus itu, dan betul saja</div><div>seperti apa yang ia duga semula, orang “Putih Kurus” itu terus membedal</div><div>kudanya masuk ke dalam kota Lok-yang. Tetapi anehnya, belum masuk dalam</div><div>kota Lok-yang, arah kudanya dibelokkan secara tiba-tiba, terus menuju kesalah</div><div>sebuah rurnah yang agakya sudah lama tidak terurus.</div><div>Rumah itu sudah tua keadaannya, temboknya agak tinggi.</div><div>Bee Tie merasa lebih heran lagi. Dalam hati ia berpikir.</div><div>“Dia mau apa datang kerumah tua itu?"</div><div>Tepat pada saat itu, dari dalam kota Lok-yang masuk mendatangi seorang muda</div><div>yang juga sedang berlari-larian, kemudian masuk ke dalam rumah tua itu.</div><div>Setelah ditegasi, Bee Tie sudah segera mengenali, bahwa orang itu adalah salah</div><div>seorang dari tiga penunggang kuda yang pernah ia jumpai di tengah jalan belum</div><div>lama berselang. Anak muda ini, mengenakan pakaian warna hitam. Entah</div><div>kemana perginya dua kawannya yang lain, yang mengenakan pakaian masingmasing</div><div>warna kuning dan merah? Mereka bertiga itu dikenal sebagai tiga orang</div><div>Kong-cu, dan yang ini adalah Kim-leng Kong-cu yang bernama Jie Teng. Dengan</div><div>tidak merasa ragu-ragu sedikitpun Kong-cu baju hitam ini terus melangkah</div><div>masuk ke dalam rumah tua yang sebelumnya sudah masuk lebih dulu si orang</div><div>kurus, Si “Putih Kurus”.</div><div><br /></div><div>Kini agaknya Bee Tie sudah mengerti sebagian.</div><div>Rupanya si Kong-cu baju hitam ini telah berjanji dengan si orang kurus untuk</div><div>mereka malam itu bertemu didalam rumah tua yang kurang rawatannya itu.</div><div>Tetapi entah mereka akan merundingkan soal apa ditempat demikian jeleknya</div><div>itu?</div><div>Karena merasa sangat ingin sekali Bee Tie mengetahui apa yang akan mereka</div><div>bicarakan, maka dengan cepat menyusul mereka, terus kedepan pekarangan</div><div>rumah itu.</div><div>Dari jauh ia sudah dapat mendengar suarannya si orang kurus yang berkata,</div><div>agaknya sedang berkata dengan si Kong-cu baju hitam itu. Suaranya walaupun</div><div>sangat perlahan, tetapi masih cukup terang untuk dapat masuk dalam telinganya</div><div>Bee Tie yang sudah terlatih baik.</div><div>“Kau tahukah bahwa ilmu “Hawa murni dari dasar dunia” ini telah memakan</div><div>waktu setengah abad lamanya baru bisa aku yakini betul-betul? Kalau tinggal</div><div>mempelajari saja ilmu yang sudah ada, tentu tidak sampai begitu lama aku sudah</div><div>paham betul. Tapi, kala itu aku sendirilah yang menciptakannya. Waktu sebegitu</div><div>rasanya sudah cukup membuat aku bangga bisa berhasil gemilang. Kalau kau</div><div>bisa meyakini ilmuku ini, sebagian saja, pasti semua Kong-cu tidak akan yang</div><div>bisa merebut kemenangan dari kau."</div><div>Bicara sampai disitu, ia lalu tertawa bangga.</div><div>Tidak lama kemudian, terdengarlah suaranya orang lain, yang tentu tidak lain</div><div>tidak bukan dari suaranya si Kong-cu baju hitam itu sendiri, yang berkata, “Kalau</div><div>betul aku bisa menangkan mereka dalam pertandingan pedang di Tong-tu-sanchung</div><div>nanti, tentu itu semua adalah atas jasanya Cianpwee seorang. Aku akan</div><div>sangat berterima kasih sekali pada Cianpwee."</div><div>Bee Tie yang mendengarkan semua percakapan mereka, merasa heran sekali, ia</div><div>sampai merandek dan lalu memasang telinganya baik-baik. Dalam hati ia</div><div>berpikir.</div><div><br /></div><div>“Kenapa Kong-cu baju hitam itu juga kenal padanya? Ah! Celaka!"</div><div>Ia tidak berani datang terlalu dekat. Sambil sembunyikan diri ia hendak mencuri</div><div>dengar pembicaraan mereka selanjutnya.</div><div>Tidak antara lama, kedengaran lagi suaranya si orang kurus yang berkata:</div><div>“Biarpun baru dua bulan, tetapi berkat ketekunan dan kesungguhan, sekarang ini</div><div>kau sudah memiliki dari separuhnya ilmu kepandaianku. Kalau cuma untuk</div><div>mengalahkan semua Kong-cu-Kong-cu itu, rasanya tidak sampai perlu</div><div>menggunakan tenaga terlalu banyak. Pasti kau akan dapatkan kemenangan</div><div>gemilang! ... Nanti, kalau kau sudah dapatkan kitab pelajaran “Sari permainan</div><div>ilmu Pedang itu, jikalau waktu itu kau masih ingat sedikit budiku itu, cukup kau</div><div>pinjamkan padaku untuk sementara waktu, untuk aku lihat-lihat."</div><div>Bee Tie yang mendengarnya, dalam hati memaki-maki tidak habis-habisnya.</div><div>"Dasar “Setan Kurus”! Setan temaha! Orang rakus! Serakah! “Pinjam”, dalam</div><div>istilahmu itu sama saja artinya dengan “Minta”. Memang! Orang serakah, tetap</div><div>serakah!"</div><div><br /></div><div>Karena kedua orang itu bicara sambil berjalan, jarak antara mereka dengan Bee</div><div>Tie makin lama menjadi makin dekat. Untunglah masih ada dinding sebagai</div><div>penghalang, sehingga tidaklah Bee Tie merasa kuatir untuk terus mendengarkan.</div><div>Dari sedikit lobang didinding tua itu, Bee Tie mengintai ke dalam.</div><div>DI seberang sana si orang kururs sedang manyandarkan badannya di dinding.</div><div>Kong-cu baju hitam itu sendiri, saat itu sedang membetulkan ikat pinggangnya,</div><div>agaknya ia akan segera mulai dengan latihannya. Wajahnya si orang kurus yang</div><div>tadinya pucat seperti kertas, kini menunjukkan roman berseri-seri.</div><div>Tetapi dengan cepat wajahnya berubah pula. Sambil kerutkan alis ia menanya;</div><div>“Jie Teng, aku mau tanya kau. Apa kau tahu beberapa hari belakangan ini</div><div>didalam kota Lok-yang berkali-kali terjadi peristiwa berdarah. Dan lagi yang mati</div><div>mesti selalu adalah Kong-cu-Kong-cu yang berniat hendak turut dalam</div><div>pertandingan adu pedang di Tong-tu-san-chung nanti itu? Kong-cu dari Kamlam,</div><div>Oh Kong-cu Jie-gie-kiam dan Kong-cu dari Coan tiong Liok, Kong-cu Samcay-</div><div>kiam, dan beberapa orang Kong-cu lain berturut-turut kedapatan mati di</div><div>dalam kota Lok-yang. Mereka terkena serangan ilmu tenaga dalam yang sudah</div><div>sangat sempurna. Sekarang ini, dalam kota Lok-yang macam-macam cerita</div><div>burung telah membuat semua Kong-cu lainnya merasa kebat kebit hatinya,</div><div>mereka ketakutan setengah mati ... Aku juga merasa kuatir atas keselamatan</div><div>dirimu.”</div><div><br /></div><div>Bee Tie yang terus mencuri dengar pembicaraan mereka, mendengar itu menjadi</div><div>kaget bukan main. Dalam hati ia berkata.</div><div>“Apa betul ada kejadian serupa itu di dalam kota Lok-yang ini? Orang yang</div><div>menyingkirkan jiwanya semua Kong-cu yang hendak turut dalam pertandingan</div><div>adu pedang di Tong-tu-san-chung itu, tentunya punya maksud tidak baik, Tapi</div><div>apa gunanya orang itu berbuat begitu? Sungguh kejam perbuatannya!"</div><div>Setelah si Kong-cu baju hitam Jie Teng selesai dengan pekerjaannya, ia lalu</div><div>bicara lagi dengan si orang kurus, katanya.</div><div>“Locianpwee, legakanlah hatimu. Aku di Kim-leng sudah cukup mendapatkan</div><div>nama. Meski betul orang itu benar-benar bisa membunuh Kam-lam, Coang Tiong</div><div>dan lain-lain Kong-cu tapi belum tentu dia bisa membunuh mati Kim-leng Kongcu."</div><div>Si orang kurus menggeleng-gelengkan kepalanya, ia berkata pula.</div><div>“Bukannya aku tidak percayakan kepandaianmu, tentunya kau juga tahu, lebih</div><div>baik kalau kau berlaku lebih hati-hati dan lebih baik-baik jaga dirimu. Apa kau</div><div>tidak bersedia ikut aku terus? Disampingmu ada aku, kau tidak usah kuatirkan</div><div>apa-apa lagi. Kau percayalah aku."</div><div>Kim-leng Kong-cu Jie Teng, si baju-hitam yang mendengar itu, merasa terkejut.</div><div>Setelah berpikir sejurus ia tiba-tiba bertanya.</div><div>“Dimanakah Locianpwee tinggal? Kalau aku ikut Locianpwee, apa nanti aku tidak</div><div>akan ketinggalan dalam pertandingan adu pedang yang waktunya sudah dekat</div><div>sampai itu?"</div><div>Si orang kurus tertawa berkakakan. Setelah puas ketawa, ia lalu berkata lagi.</div><div>“Jangan kuatir, jangan kuatir. Rumahku tidak jauh dari sini. Kau tidak perlu</div><div>begitu kuatir! Tidak sampai waktunya kita nanti tentu sudah berada di Tong-tusan-</div><div>chung. Kau percayalah ucapanku."</div><div>Kim-leng Kong-cu Jie Teng bungkem. Terpaksa ia harus melulusi permintaan</div><div>orang.</div><div>Demikianlah, pembicaraan mereka berdua berakhir sampai disini, si Kong-cu</div><div>baju hitam sudah menyediakan diri untuk dirinya dilindungi orang kurus itu.</div><div>Ia mulai mengangkat pedangnya, mulai dengan latihannya. Sinar pedangnya</div><div>berkeredepan menyilaukan mata. Ia memainkan jurus-jurus pertama dalam</div><div>ilmunya “Hawa murni dari dasar dunia.”, apa yang ia dapat pelajarkan dari orang</div><div>kurus, si “Putih Kurus”.</div><div><br /></div><div>Dalam jurus-jurus pertamanya ini saja, tubuhnya Jie Teng sudah seolah-olah</div><div>seperti terkurung dalam sinarnya pedang. Daya pertahanannya demikian kuat</div><div>mungkin sukar untuk lawan memecahkan benteng pertahanannya itu.</div><div>Bee Tie diluar terus memperhatikan dengan seksama, dalam hati diam-diam ia</div><div>memberi pujiannnya, “Sungguh suatu permainan ilmu pedang yang sangat</div><div>bagus."</div><div>Sedang asyiknya Bee Tie memperhatikan serangan maupan cara-cara</div><div>mempertahankan diri; yang tergabung dalam ilmu permainan pedangnya</div><div>Kimleng Kongchu, tiba-tiba satu tangan hangat menyekal pergelangan</div><div>tangannya. Bukan kepalang terkejutnya ia, hampir saja ia menjerit kalau saja</div><div>tidak ada lain kejadian, yaitu datangnya satu suara halus perlahan yang masuk</div><div>dalam telinganya. Suara halus itu mengatakan. “Jangan kaget! Ini aku.”</div><div>Bee Tie cepat-cepat menoleh. Dilihatnya disampingnya sudah berdiri si “Pelajar</div><div>Pedang Tumpul”, berdiri sambil tersenyum-senyum. Setelah melepaskan</div><div>cekalannya, ia lalu berkata.</div><div><br /></div><div>“Kami ingatkan baik-baik! Dengan kecerdasanmu kau ingatlah setiap</div><div>gerakannya. Kau ikutilah terus latihannya. Ilmu itu akan banyak sekali faedahnya</div><div>bagimu dikemudian hari."</div><div>Bee Tie hanya menganggukkan kepalanya saja. Mulutnya didekatkan ketelinga</div><div>orang dengan suara berbisik ia menanya: “Paman, kenapa kau datang kemari</div><div>juga? Apa maksudmu datang kemari?"</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” memandang Bee Tie sejurus lamanya, kemudian</div><div>sambil goyang-goyangkan tangannya ia berkata; suaranya juga perlahan sekali:</div><div>“Jangan banyak tanya! Lekas kau ikuti terus permainan ilmu pedangnya Kong-cu</div><div>itu."</div><div>Bee Tie tidak berani membantah. Cepat-cepat ia mengintai lagi kesebelah dalam,</div><div>memperhatikan secara sungguh-sungguh setiap gerakan pedang dari pelajaran</div><div>Hawa murni dari dasar dunia yang sedang dimainkan oleh Kong-cu dari Kimleng</div><div>itu.</div><div>Bee Tie yang mendapat banyak petunjuk-petunjuk dari ayahnya maupun dari Cie</div><div>Gak, yang kedua-duanya sudah mempunyai pengalaman dan pandangan yang</div><div>luas, pernah juga mendengar ceritanya mereka tentang, “Hawa murni dari</div><div>dasarnya dunia” itu, maka baru saja Jie Teng melatih lagi untuk ketiga kalinya,</div><div>Bee Tie sudah memahami semua. Ia lalu berbisik di telingannya si “Pelajar</div><div>Pedang Tumpul”, ia berkata: “Aku sudah memahami semua. Mari kita pergi."</div><div>Siapa sangka, si Pelajar pedang tumpul yang turut mengintai tadi, kini sedang</div><div>berdiri menjublek. Atas pertanyaan orang ia hanya diam saja, tidak menjawab.</div><div>Bee Tie yang melihat sikapnya, merasa heran, lalu ia melongok lagi ke dalam,</div><div>tetapi disana tidak ada apanya yang lebih istimewa, juga tidak ada yang aneh.</div><div>Baru saja ia mau menarik diri, tiba-tiba si “Pelajar Pedang Tumpul” berkata</div><div>padanya.</div><div><br /></div><div>“Lihatlah ditembok di depan kita itu. Hmmm! Orang mana yang nyalinya begitu</div><div>besar? Berani juga dia mengintai Si Setan Kurus?"</div><div>Bee Tie mengikuti arah pandangnya si “Pelajar Pedang Tumpul”.</div><div>Disebelah depan diatas dinding tua, ada bayangan manusia yang sedang berdiri.</div><div>Kiranya, di belakang tembok sebelah muka, juga ada orang yang sedang mencuri</div><div>lihat permainan pedang si Kong-cu dari Kim-leng itu.</div><div>Bee Tie tergerak hatinya. Dengan suara perlahan ia berkata pada sahabatuya, si</div><div>orang tua.</div><div>“Paman, siapa orang di depan itu? Apa mungkin dia pembunuhnya Kong-cu-</div><div>Kong-cu itu? Katanya didalam kota Lok-Yang sering terjadi peristiwa berdarah.</div><div>Apakah dia ... ”</div><div>“Ya, Mungkin memang dia orangnya. Sejak tadi aku telah menguntit padanya</div><div>sampai kemari. Kalau betul dia yang membunuhnnya, kita harus berusaha untuk</div><div>menyingkirkannya dari dalam dunia ini supaya jangan sampai orang yang tidak</div><div>bersalah menjadi korbannya lagi.”</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” lalu mengambil sebuah batu kecil dari dalam</div><div>pekarangan rumah tua itu lalu berkata pada Bee Tie.</div><div>“Bersiap-siaplah! Kita akan segera meninggalkan tempat ini."</div><div>Lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatan Tenaga dalamnya si “Pelajar Pedang</div><div>Tumpul” melemparkan batu dalam genggamannya ketembok seberang.</div><div>Suara benda beradu keras lalu terdengar amat nyaring.</div><div>Si “Putih Kurus” yang memang cerdik luar biasa mengetahui bahwa diluar ada</div><div>orang berkepandaian tinggi yang mencuri lihat permainan ilmu pedangnya,</div><div>maka dengan sekali gerakkan pundaknya, tahu-tahu orangnya sudah melesat</div><div>kemuka, lalu menyerang ke tempat didinding bekas terkena lemparan batu dari</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul”.</div><div><br /></div><div>BERSAMBUNG...</div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-23431655626725306582011-09-29T20:39:00.000-07:002011-09-29T20:42:57.939-07:00SERULING KUMALA (3)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2-qIh3FIq0jyx7wgi__obLE5zSdoJY_gvPsRfXIkuQQVUsc7J10CiU7bjEjnfTFB3HtFZcenggMWqQcj4xWuhjJkHJOQPTjCndbGojx1SyiQiS3mj_bOtMLf1C3vG8buOYkxCt6IFZg/s1600/Seruling+Kumala.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 243px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2-qIh3FIq0jyx7wgi__obLE5zSdoJY_gvPsRfXIkuQQVUsc7J10CiU7bjEjnfTFB3HtFZcenggMWqQcj4xWuhjJkHJOQPTjCndbGojx1SyiQiS3mj_bOtMLf1C3vG8buOYkxCt6IFZg/s320/Seruling+Kumala.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5657992854645457906" /></a><div><b>Karya Chin Yung</b></div><div><b>Jilid 03</b></div><div><br /></div><div>LEE TIE menjadi heran dan menanya.</div><div>”Kau mengatakan kuda merah ini adalah kepunyaan Kakek Putih?”</div><div>Matanya si pelajar tua mendadak memancarkan sinarnya, tapi tidak lama lagi ia</div><div>sudah menariknya kembali dan bertanya. “Apa kau masih tidak mengetahuinya?</div><div>Inilah satu yang sangat mengherankan sekali, katakanlah padaku dengan cara</div><div>bagaimana kau mendapatkan kuda merah ini?”</div><div>Lee Tie dengan terus terang sudah menceritakan pengalamannya.</div><div>Si pelajar tua sudah menggaruk-garuk kepalanya.</div><div>“Celaka, ... celaka ... Si “Setan Putih Kurus” paling suka menarik keuntungannya</div><div>sendiri, mengapa ia dapat menolongmu dengan percuma?" Baru saja ia berkata</div><div>sampai disini, dari kejauhan tiba-tiba terdengar satu suara pekikan yang</div><div>melengking tinggi dan nyaring sekali. Kuda merah yang mendengar suara ini</div><div>sudah berdiri kupingnya dan berjingkrak mau pergi. Si pelajar tua yang</div><div>melihatnya sudah segera merosot turun meninggalkan kalde pincangnya dan</div><div>tahu-tahu sudah berada di belakangnya si kuda merah.</div><div>“Kau boleh pergi dan katakana kepada Si “Setan Putih Kurus” bahwa aku si</div><div>“Pelajar Pedang Tumpul” tidak dapat membiarkan ia mengakali seorang bocah</div><div>yang tidak mengerti suatu apa.” Lalu ia menepok pantatnya kuda yang segera</div><div>memekik dan terbang pergi.</div><div><br /></div><div>Lee Tie tidak tahu harus berbuat bagaimana? Sedari kedatangannya pelajar tua</div><div>lucu yang mengaku bernama si “Pelajar Pedang Tumpul” ini, hatinya telah</div><div>menjadi sedemikian gembiranya dan lupa akan segala-galanya. Tapi begitu</div><div>melihat kepergiannya si kuda merah, pikirannya sudah mulai tersadar lagi dan</div><div>berkata didalam hati. "Celaka, kuda merah ini memang disengaja ditaruh disana</div><div>dan memancing diriku untuk menaikinya. Tapi entah siapa orangnya? Mengapa</div><div>ia mau menganiaya diriku? Aku harus hati-hati dan jangan sampai terpedaya.”</div><div>Waktu itu kuda merah yang tadi telah terbang pergi mendadak balik lagi, dan</div><div>diatasnya bercokol orang tua kurus dengan rambut, jenggot dan baju putih</div><div>seluruhnya.</div><div><br /></div><div>Hatinya Lee Tie sudah menjadi tersadar, pikirnya.</div><div>“Oh, kiranya Kakek Putih lagi yang telah menolongku.”</div><div>Tapi si “Putih Kurus” sambil mengedipkan sebelah matanya ia sudah berkata.</div><div>“Lekas ikut kepadaku untuk meninggalkan tempat ini.”</div><div>Sambil menarik tangannya Lee Tie ia sudah segera terbang meninggalkan tempat</div><div>itu. Tidak berapa lama berdua sudah sampai di bawahnya satu pekarangan yang</div><div>bertembok tinggi dengan diikuti oleh si kuda merah tadi. Si “Putin Kurus” sudah</div><div>melepaskan cekalannya. seraya memandang mukanya Lee Tie sebentar ia kata.</div><div>“Tidak percuma Lee Thian Kauw sebagai salah satu dari “Sepasang orang aneh</div><div>dari Thian-san”, aku si “Putih Kurus” betul-betul harus takluk padanya, aku telah</div><div>terluka di bawah tangannya." Lee Tie sudah segera menghaturkan terima kasih.</div><div>“Aku sangat berterima kasih kepadamu yang telah menolong jiwaku, sebab kalau</div><div>tidak, lenyaplah nyawaku didalam Kui-in-chung di tangan ayahku sendiri."</div><div>Si “Putih Kurus” memanggutkan kepalanya.</div><div>“Betul. Betul. Untunglah jika kau telah mengetahui. Jika bukannya si tua pendek</div><div>yang sampai berkali-kali meminta-minta tolong kepadaku, aku juga tidak berani</div><div>membentur Lee Thian Kauw yang tanggguh itu.”</div><div>Lee Tie mulai menjadi jelas dan berkata pada diri sendiri.</div><div>“Ternyata si kakek pendek yang selalu memperhatikan diriku.”</div><div>Tapi si “Putih Kurus” sudah membelalakkan matanya, katanya.</div><div>“Tentu saja gara-garanya si tua pendek itu, jika bukannya ia yang mengatakan</div><div>kau memiliki kepandian rahasianya Hoa-san-pay, mana aku dapat</div><div>mengetahuinya?”</div><div>“Sudahlah jangan banyak bicara lagi, lekaslah kau pertunjukan kepandaianmu</div><div>itu dan bereskan perhitungan dagang kita ini,”</div><div>Lee Tie jadi melongo dan tidak dapat berkata suatu apa, ia sampai lupa harus</div><div>berbuat bagaimana.</div><div>Mukanya si “Putih Kurus” sudah mulai berobah.</div><div>“Apa? Apa kau telah menyesal. Menunggangi kuda “Merah darah buntut dua”ku?</div><div>Apa kau masih belum menanya kepada orang bagaimana sifatnya si “Putih</div><div>Kurus” dari Batu Kepala Manusia di daerah Bong-san? Apa kau kira pemberian</div><div>sedekahku gampang-gampang diberikan kepada orang? Lekaslah menurut</div><div>perintahku dan pertontonkan kepandaianmu.”</div><div>Telinganya Lee Tie telah penuh dengan suara dengungannya si “Putih Kurus”</div><div>dari Batu Kepala manusia di daerah Bong-san ini, tidak disangka orang yang</div><div>disangkanya serba putih ini dapat mempunyai hati yang tidak putih. Pantas saja</div><div>si “Pelajar Pedang Tumpul” tadi mengatakan kepadanya bahwa si “Putih Kurus”</div><div>ini paling suka menarik keuntungan.</div><div>Begitu mengingat akan si “Pelajar Pedang Tumpul” yang jenaka. kepalanya sudah</div><div>menjadi celingukan mencarinya. Dalam hatinya berkata “Eh, kemanakah</div><div>orangnya tadi? Mengapa aku sudah kehilangan jejaknya?”</div><div>Maka ia sudah mulai mengerti mengapa si “Pelajar Pedang Tumpul” selalu</div><div>menyebutnya dengan “Setan Kurus”, dengan tidak terasa mulutnya sudah</div><div>berkata. “Pantas kau selalu disebut orang “Si “Setan Putih Kurus”.”</div><div>Si “Putih Kurus” sudah menjadi berjingkrak.</div><div>“Apa? Kau juga berani menyebut Setan” terhadap aku?”</div><div>Lee Tie membusungkan dadanya. “Kau tidak salah jika mendapat julukan “Si</div><div>“Setan Putih Kurus”, tidak mau aku mempertontonkan kepandaianku di</div><div>hadapannya setan yang seperti kau ini.”</div><div>Si “Putih Kurus” menjadi marah.</div><div>“Bagus, kau bocah kurang ajar. Dengan susah payah aku bertempur sampai</div><div>menderita luka yang tidak ringan dengan Lee Thian Kauw dan berhasil merebut</div><div>jiwa anjingmu dari tangan elmaut, sekarang sesudah lolos dari mara bahaya</div><div>sudah lupa kepada budinya aku si “Putih Kurus” dan berani membantah</div><div>kemauanku.”</div><div>Lee Tie terpaksa memasrahkan nasibnya kepada “Putih Kurus” yang memang</div><div>betul pernah menolong dari mara bahaya dengan mengandung maksud tertentu</div><div>ini.</div><div>Si “Pulih Kurus” bertambah-tambah marah lagi melihat tidak mendapat jawaban</div><div>yang memuaskan dari anak muda yang tidak mengenal mati ini. Maka dengan</div><div>keras ia membentak lagi. “Bocah, baik-baiklah dengar dulu kata-kataku ini,</div><div>karena kaulah baru aku terkena pukulan “Hawa asli dari luar dunia”nya Lee</div><div>Thian Kauw, maka kini baik-baiklah menerima pukulan “Hawa murni dari dasar</div><div>dunia” ini.”</div><div>Dan betul saja ia “Putih Kurus” sudah mengerahkan tangannya memukul ke</div><div>arahnya bocah yang boleh dikata masih ingusan. ia percaya dengan sekali pukul</div><div>saja lenyaplah nyawanya anak yang dianggapnya bandel ini.</div><div>Si “Putih Kurus” dari Batu Kepala Manusia di daerah Bong-san sudah terkenal</div><div>dengan sifatnya yang temaha dan suka menggaruk keuntungannya sendiri ia</div><div>mempunyai tenaga dan kepandaian yang hampir sama dengan si orang tua</div><div>pendek Kiauw Kiu Kong dan ilmu pukulan “Hawa murni dari dasar dunia” inilah</div><div>yang selalu disohorkannya.</div><div>Lee Tie telah merasakan hawa panas Yang datang menggencet dadanya dan</div><div>membuat ia hampir tidak dapat bernapas karenanya.</div><div>Tapi ia masih tidak merasa takut dan mengeluarkan tangan kecilnya bersedia</div><div>untuk menyambutnya juga.</div><div>Si “Putih Kurus” tertawa dingin, rambut dan jenggot putihnya berkibar-kibaran</div><div>karena ia sudah menambah lagi kekuatannya. Sebentar lagi saja tamatlah</div><div>riwayatnya Lee Tie yang baru saja lolos dari bahaya kematian didalam rumahnya.</div><div>Tapi secara tiba-tiba satu desiran angin yang keras telah menyelak diantara</div><div>mereka dan menarik keluar dari daerah bahaya. Kemudian terdengar satu suara</div><div>“Duk” yang keras dan tembok tinggi yang ada di belakangnya Lee Tie tadi telan</div><div>pecah berantakan dan ambruk.</div><div><br /></div><div>Entah dari mana munculnya si “Pelajar Pedang Tumpul” yang sudah segera</div><div>lompat ke sana dan menyerang ke arahnya si “Putih Kurus” yang jahat itu.</div><div>Si “Putih Kurus” berteriak-teriak dan mundur beberapa tindak, dengan tangan</div><div>menunjuk ke arahnya si “Pelajar Pedang Tumpul” ia mulai dengan makiannya.</div><div>“Dari manakah munculnya pelajar jorok ini selalu mengacau urusan saja?”</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” dengan tidak kalah marahnya berkata. “Setan Putih</div><div>Kurus”, kau ada sangat keterlaluan, sampaipun anak kecil juga masih tidak luput</div><div>dari ketamakanmu.”</div><div>Setelah si “Putih Kurus” membetulkan jalan napas dengan mengeluarkan suara</div><div>dari hidung ia berkata.</div><div>.Aku si “Putih Kurus” selalu bertindak dengan secara adil, akulah yang telah</div><div>menolong jiwanya bocah ini dan tentu aku jugalah yang boleh mencabutnya</div><div>kembali.”</div><div>“Pelajar Pedang Tumpul” majukan langkahnya dua tindak dan berkata “Setan</div><div>Putih Kurus”, terus terang saja dengan maksud apakah kau telah menolong</div><div>jiwanya?”</div><div>Si “Putih Kurus” seperti menjadi lesu, dengan gusar dipandangnya sejenak</div><div>pelajar tua yang menjadi palang pintunya. Kemudian dengan tidak berkata-kata</div><div>lagi ia sudah segera menghampiri kuda merahnya.</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” tahu bahwa Si “Setan Putih Kurus” ini banyak</div><div>akalnya, dengan tidak berkesip ia memandang terus padanya dan dilihatnya Lee</div><div>Tie yang masih berdiri dikejauhan tidak kurang suatu apa hatinya baru merasa</div><div>lega dan berjalan untuk menghampirinya.</div><div><br /></div><div>Tapi tidak disangka baru saja ia membalikan kepalanya, si “Putih. Kurus” telah</div><div>menggunakan kelengahannya orang sudah berbalik menyerang ke arahnya.</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” yang melihat datangnya bahaya bukannya memapaki</div><div>atau menyingkiri dari serangan gelap itu, malah menjatuhkan diri dengan</div><div>serangan tadi. Hingga tubuhnya lantas melayang-layang mengikuti arah</div><div>sambaran angin sampai sejauh sepuluh tombak.</div><div>Setelah berdiri mengambil posisi ia segera mengeluarkan pedang tumpulnya</div><div>yang telah lama terkenal dikalangan Kangouw.</div><div>Si “Putih Kurus” juga tidak mau kalah merek, entah kapan dan dari mana ia juga</div><div>sudah mengeluarkan pedang kurusnya, Senjata yang lemas, karena</div><div>kelemasannya pedang ini dapat dilibat dipinggang”. Dengan membuat satu</div><div>lingkaran pedang di udara si “Putih Kurus” sudah berkata.</div><div>“Apa kau kira dengan mengandal namanya pedang Tumpul saja dapat merajai</div><div>dunia?”</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” tidak menjawab, kaki kanannya disertai keluar</div><div>menjujukan pedangnya.</div><div>Rambut, alis dan jenggotnya si “Putih Kurus” sudah menjadi berdiri semua.</div><div>“Kau terlalu menghina." katanya sangat gusar.</div><div>Tenaga dalamnya lalu disalurkan masuk ke dalam pedangnya, dengan sekali</div><div>tusuk ia telah mengarah tiga tempat dari dada musuhnya. Kemudian</div><div>memutarkan badannya sampai satu putaran dan menusuk lagi ke tiga jurusan.</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” tertawa berkakakan, hanya menjaga diri saja dan</div><div>masih tidak balas nyerang, pedangnya yang seperti pentungan tidak lepas</div><div>mengikuti putaran badannya. Kemudian dengan menggunakan kesempatan</div><div>sewaktu berada tidak jauh di tempatnya Lee Tie berdiri ia berkata kepadanya.</div><div>“Kepandaiannya “Hawa murni dari dasar dunia” si setan dari Bong-san ini telah</div><div>terkenal kelihayannya, bocah, mengapa kau tidak lekas-lekas memperhatikan</div><div>gerakan-gerakannya?”</div><div>Lee Tie yang mendengar segera tersadar dan tidak lama kemudian terdengar</div><div>teriakan-teriakannya si “Pelajar Pedang Tumpul” menyebut.</div><div>“Lihat kaki kiri ... lihat arah tujuannya ... perhatikan gerakan pedangnya ... yang</div><div>kiri ... kakinya yang diangkat keatas ... ”</div><div>Lee Tie dengan tidak terasa sampai menari-nari memuji: "Bagus sekali.”</div><div>Tapi si “Putih Kurus” menjadi panas hati, dengan rambut berdiri ia berteriak</div><div>marah. Berhenti ... Berhenti ... Latihan dua puluh tahunku mana dapat gampanggampang</div><div>diberikan kepada bocah jahat ini? Berhenti ... Aku tidak mau</div><div>meneruskan pertempuran ini lagi."</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” tertawa berkakakan, bukannya ia berhenti malah</div><div>berbalik menyerang dan memaksa si “Putih Kurus” ini harus tetap melayaninya. “</div><div>Ha ha, ha, ha Hatinya setan kok masih dapat sakit juga, tapi aku masih dapat</div><div>memaksa kau meneruskannya.”</div><div>Lalu terdengar lagi teriakan-teriakannya.</div><div>“Perhatikan kaki kiri yang mundur menghindarkan diri ... kaki kanan yang</div><div>menyingkir mengikuti ... pedang kurusnya ditekuk kembali.</div><div>Si “Putih Kurus” sampai menjadi gemeteran karena mendongkolnya. “Kau terlalu</div><div>sekali.”</div><div>Kemudian ia mendesak dengan pedang lemas berikut tubuhnya juga dan</div><div>memaksa si “Pelajar Pedang Tumpul” lompat melayang ke atas tembok besar</div><div>tadi. Dengan badan masih gemetaran karena marahnya ia berkata.</div><div>“Aku telah dirugikan oleh kau orang, aku menderita kerugian yang terbesar.”</div><div>Sambil menunjuk ke arahnya si “Pelajar Pedang Tumpul” ia menambahkan.</div><div>“Pelajar tua jorok, kau sendirilah yang mencari permusuhan diantara kita.</div><div>Awaslah dengan hari pembalasanku nanti.”</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” tertawa.</div><div>“Setan Kurus”. kau membenci kepadaku hari ini karena aku telah menggagalkan</div><div>rencana busukmu, ditambah lagi beberapa orang yang sepertimu ini entah</div><div>bagaimana nanti jadinya dunia? Tapi bagaimana pun kau masih lebih baik dari</div><div>pada mereka, jika mau mendengarkan kata-kataku dan merobah kelakuanmu,</div><div>dalam tiga bulan saja kutanggung kau bisa dapatkan keuntungan yang lebih</div><div>besar lagi."</div><div><br /></div><div>Hati serakahnya si “Putih Kurus” begitu mendengar kata-kata mendapatkan</div><div>keuntungan yang "lebih-besar lagi” sudah menjadi tergerak. Tapi setelah dipikir</div><div>lagi ia menggeleng-gelengkan kepalanya.</div><div>“Aku tidak percaya. Siapa mau percaya kepada pelajar jorok seperti kau ini?"</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” tertawa.</div><div>“Percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri. Tapi tiga tahun kemudian, dalam</div><div>pertandingan pedang yang akan diadakan di Cong-lam-san nanti. apa kau dapat</div><div>mengetahui. ”Pedang nomor satu akan terjatuh dalam tangannya siapa?”</div><div>Sekalipun si “Putih Kurus” ini sikapnya seplah-olah menunjukan rasa yang tidak</div><div>percaya, tapi sebenarnya juga mencurahkan semua perhatiannya mendengarkan</div><div>orang bicara.</div><div>Selelah selesai si “Pelajar Pedang tumpul bicara cepat-cepat ia berkata.</div><div>“Siapa yang tidak tahu bahwa sejak si “Ahli Pedang Siauw To Ciat” dari pulau Gotong</div><div>meninggal dunia, telah meninggalkan petunjuk sari permainan ilmu</div><div>pedangnya kepada sang isteri yang bernama Go-tong Sin-kho. Siapa yang</div><div>memiliki buku “Petunjuk sari permainan ilmu pedang” tersebut, itulah orangnya</div><div>yang akan mendapatkan, julukan ahli “Pedang nomor satu.”</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” anggukkan kepalanya.</div><div>“Matanya ”Setan putih kurus” memang tidak dapat dicela. Tapi apa kau tahu</div><div>bahwa Go-tong Sin-kho telah mendirikan panggung pertandingan di Tong-tusan-</div><div>chung diluar kota Lok-yang ini?”</div><div>“Putih Kurus” mempelototkan matanya.</div><div>“Siapakah yang tidak mengetahui hal ini? Hanya permainan kecil Go-tong</div><div>Sin.kho yang tidak dapat dipandang mata.”</div><div>“Hm, enak saja kau pentang bacot. Siapa yang tidak tahu bahwa namanya saja</div><div>mengadu pedang, tapi maksud yang sebenarnya iyalah sedang mencari calon</div><div>untuk anak perempuan tunggalnya. Ada hubungan apa denganku yang tidak</div><div>kepingin dipungut mantu?”</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” sampai tertawa pingkal-pingkal.</div><div>“Setan Kurus” memang hanya memikirkan urusannya sendiri saja, orang yang</div><div>manakah dapat disamakan dengan kau? Kecuali anak perempuan satu-satunya</div><div>ini, Go-tong Sin-kho tidak mempunyai anak lainnya lagi. Dengan sendirinya itu</div><div>buku “Petunjuk sari permainan ilmu pedang” tentu akan terjatuh ke dalam</div><div>tangannya si calon mantu.”</div><div>Si “Putih Kurus” menundukan kepalanya, dengan lesu ia berkata.</div><div>“Baiklah. Untuk sementara aku percaya kepadamu, tapi apakah artinya katakatamu</div><div>yang mengatakan Dalam tiga bulan saja dapat memberikan keuntungan</div><div>lebih besar itu?”</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” memandang ke arahnya sebentar, lalu membuka</div><div>mulutnya yang mengandung penuh arti.</div><div>“Soal ini begini ... ”</div><div>Tapi kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan perlahan-lahan</div><div>berkata. “Sebenarnya kau orang ini sukar untuk dipercaya, lebih baik aku tidak</div><div>mengatakan saja."</div><div>Mukanya si “Putih Kurus” menjadi berobah marah ia berkata. “Pelajar jorok, apa</div><div>kau masih menganggap aku sebagai seorang anak kecil saja?”</div><div>Badannya terbang turun lagi dari tembok tadi memukul ke arahnya si “Pelajar</div><div>Pedang Tumpul”.</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” lompat berkelit, sambil menyeret tangannya Lee Tie</div><div>ia berkata. “Setan putih, aku tidak membohong kepadamu tapi sekarang perutku</div><div>sudah menagih arak lagi, lain kali saja aku beritahukan kepadamu.”</div><div>Lalu dengan mengajak Lee Tie ia meninggalkannya dan menuju ke arahnya kota</div><div>Lok-yang yang masih sepi.</div><div><br /></div><div>Si “Putih Kurus” menjadi tertegun, ia duduk disana sambil bersila.</div><div>Tapi tidak lama lagi secara tiba-tiba lompat berdiri sambil menepok kepalanya</div><div>berkata: “Si “Pelajar jorok memang tidak salah sama sekali, si bocah jika dapat</div><div>mempelajari ilmu Pedang-tumpulnya, ditambah dengan ilmu ”Hawa murni dari</div><div>dasar dunia” kepunyaanku, dengan kepandaiannya Hoa-san-pay didapatinya</div><div>dari dalam Tongkat Rantai Kumala memang tidak sukar untuk menjadikan dia</div><div>seorang yang berilmu tinggi. Jangan kata baru beberapa Kong-cu yang</div><div>berkumpul disini tidak dapat mengalahkan dirinya, biarpun orang yang</div><div>terpandai di zaman ini juga masih belum tentu dapat gampang</div><div>menundukannya.”</div><div>Ia berkata-kata dengan sebelah kakinya sudah berada ditempat injakan kuda</div><div>merahnya. Tapi kemudian ia mengeleng-gelengkan kepalanya.</div><div>“Percuma ... Percuma ... ”Petunjuk sari permainan ilmu pedang” hanya satu buku</div><div>saja, diantara aku “Si “Putih Kurus” dan kau pelajar jorok siapakah yang harus</div><div>mendapatkannya? Apa diantara demikian banyaknya Kong-cu yang menghadiri</div><div>pertandingan di Tong-tu-san-chung ini tidak ada satu yang dapat</div><div>menandinginya.</div><div>Terdengar ia mengeluarkan suara tertawa dingin lalu dengan sekali lompat ia</div><div>sudah berada diatas kuda merahnya dan lalu mengaburkan kudanya lenyap dari</div><div>pemandangan.</div><div><br /></div><div>Y KONG-CU TAMPAN BERBAJU HIJAU</div><div><br /></div><div>KITA menyusul si “Pelajar Pedang Tumpul”. mengajak Lee Tie, setelah melewati</div><div>dua tikungan jalan mereka sudah sampai disatu pohon besar rindang daunnya.</div><div>Setelah mengikat kalde pincang dengan tidak sabaran lagi ia sudah segera</div><div>mengeluarkan tempat araknya dan ditenggaknya sampai beberapa kali.</div><div>Setelah puas meminumnya, baru dengan menghela nafas lega ia menyimpan</div><div>kembali tempat araknya dan menanya kepada Lee Tie.</div><div>“Bocah, apa kau mempunyai guru?”</div><div>Lee Tie biarpun baru ini kali ketemu pelajar tua ini, hatinya merasa suka</div><div>kepadanya. Maka dengann lucu ia menjawab pertanyaannya.</div><div>“Bocah tidak mempunyai guru, tapi ... ”</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” tertawa keras, sambil menyeret tangan Lee Tie ia</div><div>berkata.</div><div>“Kebetulan ... kebetulan ... Aku si “Pelajar Pedang Tumpul” juga tidak</div><div>mempunyai</div><div>murid bagaimana jika kau ... ”</div><div>Sebelum si “Pelajar Pedang Tumpul” dapat melampiaskan perkataannya, Lee Tie</div><div>sudah berontak pegangannya dan berkata dengan suara yang keras. “Atas</div><div>maksud baik dan pertolongannya locian pwee yang baru saja diberikan, Lee Tie</div><div>sampai disini saja menghaturkan terima kasihnya, Boanpwe telah dapat tugas</div><div>untuk menjabat ketua partai yang ke 26 dari Hoa-san-pay. maka tentang-urusan</div><div>menjadi murid, boanpwe masih belum dapat menerima.</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” menjadi melongo setelah dapat mengerti akan</div><div>duduknya perkara ia sudah menjadi tertawa lagi. “Kau si bocah memang pandai</div><div>sekali membuat cerita yang bukan-bukan. Ketua Hoa-san-pay yang ke-dua puluh</div><div>lima Cie Gak telah mati lama, kapankah kau telah menemuinya dan mengangkat</div><div>kau sebagai ketua barunya? Di depannya aku “Pelajar Pedang Tumpul” percuma</div><div>kau mengarang cerita yang tidak masuk diakal.</div><div><br /></div><div>“Pelajar Pedang Tumpul” sudah salah duga mengira Lee Tie hanya mengarang</div><div>cerita untuk dijadikan alasan untuk menolak keinginannya yang mau</div><div>mengangkat dirinya sebagai muridnya. Maka setelah kebohongannya dapat</div><div>terbongkar, bukankah ia masih ada harapan untuk menerima murid yang</div><div>mempunyai bakat bagus ini? Saking girangnya ia sampai tertawa dan lupa akan</div><div>segala apa.</div><div><br /></div><div>Tiba-tiba ia telah menjadi kaget karena mendengar sendiata rahasia yang</div><div>datangnya dengan kecepatan luar biasa. Tapi tidak percuma si “Pelajar Pedang</div><div>Tumpul” mendapatkan namanya, dengan sekali jepit saja, diantara jempol dan</div><div>telunjuk kanannya sudah bertambah dengan semacam barang tembaga.</div><div>Kiranya Lee Tie yang menyambit dengan tembaga tadi.</div><div>Waktu itu Lee Tie sudah menjadi marah dan berkata “Siapa yang mau</div><div>membohong kepadamu? tentu kau dapat mengenali akan pemiliknya benda</div><div>ditanganmu itu, bukan?”</div><div><br /></div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” periksa benda tembaga tadi dan berjingkrak tertawa.</div><div>“Ha, ha, ha, ... Kukira siapa? Tidak tahunya si tua pendek juga ada mempunyai</div><div>pandangan mata yang sama.”</div><div>Tapi kemudian dengan sikap yang sungguh-sungguh berkata ,”Si tua pendek</div><div>Kiauw Kiu Kong seperti si “Putih Kurus” tadi, meski ada mempunyai hubungan</div><div>dengan Hoa-san-pay, tapi masih belum terhitung orang-orangnya Hoa-san-pay.”</div><div>Lee Tie berkata.</div><div>“Kakek pendek telah mendapat pesenan dari ketua partai lama Cie Gak untuk</div><div>menolong mencarikan gantinya.”</div><div>Si “Pelajar Pedang Tumpul” menyambungi. “Maka ia telah menjatuhkan</div><div>pilihannya keatas dirimu? Baik. Si tua pendek, kali ini kembali kau dapat</div><div>mendahuluiku.”</div><div>Setelah dapat menenangkan lagi hatinya ia berkata: “Baiklah. Jika betul kau telah</div><div>menjadi Ketua yang ke dua puluh enam dari Hoa-san-pay, sudah cukup jika</div><div>memanggil “Susiok” saja kepadaku ini.”</div><div>Dengan lesu dibukanya tali ikatannya kalde pincangnya, setelah menaikinya,</div><div>sambil melemparkan benda tembaganya Kiauw Kiu Kong tadi ia berkata. “Baikbaiklah</div><div>kau menjalankan tugasmu dan sampai disini saja pertemuan kita ini.”</div><div>Dengan mengikuti irama keteklak-keteklok kuda pincangnya ia meninggalkan</div><div>tempat itu.</div><div><br /></div><div>Waktu telah menjelang siang hari, Lee Tie yang telah mengalami berkali kali</div><div>peristiwa tadi menjadi lelah sekali. Biarpun hatinya masih was-was jika</div><div>mengingat pertemuan-pertemuan dengan si “Putih Kurus” dan “Pelajar Pedang</div><div>Tumpul” tadi, tapi karena sudah tidak tahan saking lelahnya, baru saja ia</div><div>menyenderkan diri di bawahnya pohon besar tadi, tertidurlah ia disana.</div><div>Baru saja ia mau mengimpi atau layap-layap terdengar beberapa suara yang</div><div>diucapkan dengan berbareng. “Teecu berenam disini memberi hormatnya kepada</div><div>Ketua partai yang ke dua puluh enam.”</div><div>Lee Tie menjadi kaget dan terbangun, dilihatnya enam Tosu yang pernah</div><div>dilihatnya tampak berdiri di hadapannya membuat setengah lingkaran. Biarpun</div><div>mereka “Menghormat” kepada Ketua barunya ini, tapi paras mereka yang pucatpucat</div><div>tidak terlihat Hormatnya ini apa lagi yang berdiri di paling pinggir kiri</div><div>yang bertubuh kurus sekali, karena pernah mengalami kerugiannya di bawah</div><div>tangannya ketua barunya yang masih kecil ini sudah mengeluarkan sorot mata</div><div>kebenciannya.</div><div><br /></div><div>Dalam keadaan yang segenting ini, Lee Tie sudah dapat tahu akan bahaya yang</div><div>mengancam dirinya, ia tidak berdaya untuk menghadapi mereka semua. Meski</div><div>demikian, ia sudah mengerahkan tenaga dalamnya untuk siap siaga, dengan</div><div>tenang ia menanya: “Enam Totiang mengapa datang kemari? Kesukaran apakah</div><div>yang sedang dialami?”</div><div>Enam pasang sorot mata yang penuh kedengkian memandang ke arahnya, salah</div><div>satu diantara mereka yang berdiri ditengah dengan adem berkata. “Hoa Ceng</div><div>beserta lima sute hanya ingin menunjuk baktinya dan sekalian meminta sedikit</div><div>petunjuk tentang tujuh rangkaian ilmu simpanan Hoa-san-pay yang tersimpan</div><div>didalam Tongkat Rantai Kumala.”</div><div>Sudah sedari tadi Lee Tie mengetahui akan maksudnya ini, maka dengan tertawa</div><div>ia berkata.</div><div>“Tujuh rangkaian ilmu simpanan Hoa-san-pay hanya tersedia bagi ketua partai</div><div>saja, bagaimana enam Totiang dapat meminta dengan paksa?"</div><div>Hoa Ceng mewakili lima sutenya bicara.</div><div>“Kami telah meminta kepada Ketua partai secara bijaksana. Dapatkah Ketua</div><div>partai tidak meluluskannya?”</div><div>Lee Tie sudah merasa sebal kepada enam tosu ini. alisnya berdiri menandakan</div><div>kemarahannya.</div><div>“Ketua partai. Ketua partai. Dalam pandangan mata kalian apa masih ada Ketua</div><div>partai? Ilmu simpanan tetap sebagai ilmu simpanan, lekaslah orang enyah dari</div><div>sini.”</div><div>Hoa Ceng tidak menyangka Lee Tie berani marah kepada meraka, dalam hati</div><div>kecilnya juga memuji akan keberaniannya. Diam-diam ia berkata didalam hati.</div><div>Bocah ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, ditambah keberanian yang</div><div>dimlikinya, sukar untuk menaklukinya dikemudian hari, lebih baik dibikin beres</div><div>saja disini.”</div><div>Waktu itu si Tosu kurus sudah tidak dapat menahan kemarahannya.</div><div>"Bocah yang sudah berada didalam kurungan kami masih berani berlaku galak</div><div>juga?" ia menjengeki.</div><div>Tapi Tosu yang berada disebelahnya yang mempunyai daun telinga lebih besar</div><div>dari para saudara seperguruannya sudah menyelak.</div><div>"Ketua partai jangan main marah saja, jika dihitung menurut tingkatannya, kau</div><div>harus menyebut 'Susiok' kepada kami."</div><div>"Aku tidak mempunyai Susiok brengsek" jawab Lee Tie gagah.</div><div>Tapi tiba-tiba ia teringat akan kata-katanya Kiauw Kiu Kong yang pernah</div><div>membentak mereka, maka ia sudah menanya.</div><div>"Numpang tanya kepada enam Totiang, apakah yang di artikan dengan</div><div>'Hukuman didepan sembilan Tiang batu?"</div><div>Mukanya enam Tosu tadi telah berobah seketika, dalam sekejapan mata saja</div><div>mereka telah ambil sikap waspada seperti menghadapi musuh tangguhnya.</div><div>Ternyata yang disebut 'Hukuman didepan Tiang batu' adalah hukuman yang</div><div>terberat bagi Hoa-san-pay hanya orang yang mempunyai kesalahan terbesar saja</div><div>baru dapat di hukum disitu. Mereka telah salah duga bahwa Lee Tie telah</div><div>mengetahui perbuatan mereka yang telah mengejar-ngejar Ketua partai lama</div><div>mereka Cie Gak yang akhirnya bunuh diri karena gara-gara mereka. Menyangka</div><div>kesitu dan menganggap Lee Tie tentu mempunyai kepandaian yang cukup tinggi</div><div>untuk dapat menangkap mereka kembali, tentu saja sikap mereka menjadi</div><div>tegang karenanya.</div><div>Lee Tie cukup tahu bahwa kepandaiannya masih tidak dapat untuk menandingi</div><div>enam Tosu dihadapannya ini, jika sudah kebentrok sukarlah untuk melarikan</div><div>dirinya. Hanya Satu jalan baginya, ialah mengulur waktu dan mencari</div><div>kesempatan yang bagus untuk melarikan diri. Maka dengan berdehem ia berkata.</div><div>"Mesti betul aku telah berada didalam kurungannya kau orang, tapi dapatkah</div><div>kalian menangkan aku?”</div><div>Mulutnya berkata demikian dan menggerakkan tangannya dengan seenaknya</div><div>saja. Lee Tie telah pertunjukkan beberapa gerakannya Hoa-san-pay yang</div><div>ternama.</div><div>Enam Tosu yang melihat gerakan-gerakan menjadi tertegun, dengan sendirinya</div><div>mereka turut menggerak-gerakan tangan mereka untuk mengikutinya.</div><div>Pada saat itu dibaliknya pohon besar yang disenderi Lee Tie tadi telah muncul</div><div>seorang Kong-cu berwajah cakap sekali, umurnya diantara lima belas sampai</div><div>enam belas dengan bajunya yang menyolok mata karena mengenakan warna</div><div>hijau terang yang jarang dipakai oleh kanm pria.</div><div>Kupingnya Lee Tie yang tajam dengan cepat sudah dapat mendengar datangnya</div><div>Kong-cu baju hijau ini, segera membalikan kepalanya dan menjadi kesima</div><div>karena belum pernah ia melihat adanya pemuda yang secakap ini. Dengan tidak</div><div>terasa ia telah menghentikan gerakan tangannya.</div><div>Saat itu Kong-cu cakap tadi sudah maju kehadapannya Lee Tie dan menggoyanggoyangkan</div><div>tangannya lalu menyelak mendahului Lee Tie berkata kepada enam</div><div>Tosu.</div><div>"Para Totiang yang telah mempunyai umur cukup tinggi mengapa sampai hati</div><div>mengerubuti saudara kecil ini?"</div><div>Hoa Ceng sebagai kepalanya enam Tosu tadi mana mau meladeni pemuda ini, ia</div><div>diam saja tidak menjawab pertanyaannya. Tapi si Tosu kurus yang berangasan</div><div>sudah maju dan membentak.</div><div>"Dari mana lagi datangnya bocah ini? Lekas minggir dan jangan menghalanghalangi</div><div>maksud kami."</div><div>Pukulannya telah mendahului kata-katanya mengarah batok kepalanya si Kongcu</div><div>cakap.</div><div>Lee Tie menjadi kaget dan heran atas kedatangannya Kong-cu baju hijau yang</div><div>tidak dikenalnya ini, kekagetannya sudah menjadi bertambah sewaktu melihat</div><div>Kong-cu itu menghadapi bahaya, maka dengan cepat ia sudah melesat kesamping</div><div>mendahului hendak menangkis serangannya si Tosu kurus.</div><div>Tapi tidak disangka-sangka Kong-cu baju hijau tadi hanya tertawa dingin saja</div><div>melihat serangannya si Tosu kurus, seolah-olah tidak dipandang mata olehnya.</div><div>Tangan kirinya dikibaskan dengan tangan kanannya memapaki pukulannya si</div><div>Tosu kurus.</div><div>Dua telapak tangan lalu saling bentur menjadi satu, tapi tidak terdengar suara</div><div>beradunya kedua telapak tangan tadi. Kong-cu baju hijau masih tertawa</div><div>ditempatnya, si Tosu kurus sudah menjadi pucat, biarpun ia masih tetap berdiri</div><div>juga, tapi ternyata telah terluka dalamnya.</div><div>Baru Lee Tie tahu bahwa pemuda baju hijau ini me.npmyai kepandaian yang</div><div>lihay. Dengan sikapnya yang membela tadi, Lee Tie telah menjadi suka</div><div>kepadanya.</div><div>Lima orang Tosu Hoa-san lainnya yang melihat kejadian ini sudah menjadi</div><div>bengong. Hoa Ceng maju dan menanya.</div><div>"Citte kau kenapa?"'</div><div>Waktu itu empat Tosu lainnya sudah menjadi marah dan maju mengurung</div><div>musuh barunya. Tapi Kongea tadi hanya menggoda dengan tertawa.</div><div>“Dengan secara baik-baik aku menanya," katanya, “tapi kau orang tidak mau</div><div>menjawabnya. Melihat sikap kau orang ini apa mau turut merasakan juga seperti</div><div>kawan kalian tadi?”</div><div>Si Tosu kuping lebar menanya.</div><div>"Hei, bocah, siapakah sebenarnya gurumu.”</div><div>Ternyata ia takut juga kepada Kong-cu muda ini, dengan umurnya yang sekecil</div><div>ini ia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi. Entah bagaimana pula dengan</div><div>gurunya? Maka ia menanyakan dahulu asal usulnya baru berani bertindak untuk</div><div>menghadapinya.</div><div>Kong-cu berbaju hijan tertawa. Di kedna belah pipinya terlihat sepasang</div><div>sujennya yang menggiurkan. Dengan seenaknya ia berkata.</div><div>"Jika kau orang ada niatan untuk menyerang, silahkan saja dan boleh segera</div><div>mulai. Mengapa harus menanyakan guruku dahulu? Terus terang saja kukatakan</div><div>kepadmu bahwa aku tidak mempunyai guru. Tidak percaya?"</div><div>Para Tosu masih terdiam ditempatnya, maka Kong-cu tadi cepat menarik</div><div>tangannya Lee Tie dan meninggalkan mereka. Dengan perlahan ia berkata.</div><div>"Tidak disangka para Tosu ini bernyali kecil semua baru digertak saja sudah</div><div>tidak ada yang berani majukan dirinya.</div><div>Tapi baru saja berjalan beberapa tindak atau terdengar salah satu Tosu</div><div>mengeluarkan bentakannya.</div><div>"Bocah, kau terimalah ini!'</div><div>Dengan sebat Kong-cu tadi sudah membalikkan badannya dan terlihat</div><div>ditangannya sudah berhasil menjepit satu senjata rahasia. Sebelum Lee Tie</div><div>sempat memeriksanya atau Kong-cu tadi sudah lompat melesat dan berbareng</div><div>dengan terdengarnya satu jeritan keras, Tosu yang melepas senjata rahasia tadi</div><div>telah roboh dengan memuntahkan darah segar.</div><div>Hatinya Lee Tie sudah menjadi berdebaran juga tapi si Kong-cu seperti tak</div><div>pernah terjadi suatu apa sudah berjalan lagi kearahnya.</div><div>Begitu melihat perobahan pada mukanya Lee Tie, dengan tertawa ia menanya.</div><div>"Saudara bernama siapa? Apakah saudara merasa heran oleh kejadian barusan?”</div><div>Lee Tie yang melihat ia sudah dua kali melukai orang lantas menunjukan rasa</div><div>tidak puasnya, maka dengan segan ia berkata.</div><div>“Kepandaiannya Kong-cu memang mengagumkan sekali, aku tetap akan</div><div>memujinya. Tapi enam Tosu dari Hoa-san yang tidak mempunyai permusuhan</div><div>Suatu apa dengan Kong-cu mengapa harus menerima pukulan yang seberat</div><div>demikian?"</div><div>Si Kong-cu masih tertawa.</div><div>"Maka aku menanyakan kepadamu, apakah heran melihatnya? Inipun baru yang</div><div>paling ringan saja."</div><div>Lee Tie menjadi heran mendengar katanya yang terakhir ini. Dengan tidak terasa</div><div>ia menegasi.</div><div>"Masih ada yang lebih berat lagi?”</div><div>Kong-cu baru hijau menunjukkan lagi sepasang sujennya, ditatapnya sebentar</div><div>paras mukanya Lee Tie yang sedang marah ini, sambil menghela napas ia</div><div>berkata.</div><div>"Apa kau marah karenanya? Kau boleh percaya kepadaku, bahwa selanjutnya</div><div>tidak sembarangan aku menurunkan tangan berat, terhadap orang yang tidak</div><div>terlalu jahat.”</div><div>Mendengar ini, wajah tidak senang dari Lee Tie terhapus dan kembali seperti</div><div>biasa. Si Kong-cu yang sudah dapat melihat perobahan muka orang sudah</div><div>mengulangi pertanyaannya lagi.</div><div>"Bolehkah kau memberitahukan kepadaku tentang she dan namamu?"</div><div>Lee Tie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak tahu !"</div><div>Sedari ia tahu bahwa Lee Thian Kauw bukan ayah yang sebenarnya, memang</div><div>betul ia telah merasa tidak mempunyai nama lagi, maka ia menjawabnya dengan</div><div>kata 'Tidak tahu' ini.</div><div>Si Kong-cu baju hijau juga tidak menjadi marah mendapat jawaban yang tidak</div><div>semestinya ini. ia menyangka Lee Tie masih marah kepadanya gara-gara</div><div>pukulannya yang terlalu berat tadi, hinggi tidak mau memberitahukan namanya</div><div>sendiri.</div><div>Saat itu, enam Tosu yang mengetahui dengan mengandalkan kepandaian mereka</div><div>saja tidak mungkin dapat menandingi dua pemuda yang gagah itu sudah</div><div>meninggalkan tempat tadi dengan membimbing dua diantaranya yang telah</div><div>terluka.</div><div>Lee Tie menunggn sampai mereka sudah pergi semua dan lenyap dari</div><div>pandangan, baru menoleh lagi kearahnya Kong-cu baju hijau tadi. Dilihatnya</div><div>pemuda yang tidak dikenalnya ini masih memandangnya terus sambil</div><div>menunjukan sepasang sujennya, maka dengan tidak terasa Lee Tie sudah</div><div>menundukan kepalanya.</div><div>Tapi Kong-cu baju hijau tidak pemaluan seperti Lee Tie seraya menarik</div><div>tangannya ia menanya. “Kulihat jiwanya seperti ditutupi kemurungan, jika kau</div><div>masih memandang mata kepadaku, bolehkah sekiranya kau memberi tahukan</div><div>sebab-sebabnya?"</div><div>Diwajahnya Kongea ini telah terlihat ketulusan hatinya. Lee Tie yang tadinya</div><div>tidak puas karena kelakuan kejamnya, setelah mendengar kata-kata yang</div><div>mengunjukan perhatian ini sudah lenyap perasaan tidak senangnya. ia hampir</div><div>menceritakan pengalaman getirnya, hanya sifat angkuhnya yang telah memaksa</div><div>ia tidak berlaku demikian. Maka dengan lesu ia berkata.</div><div>"Terima kasih atas perhatian saudara, tapi aku tidak mengalami Suatu apa.”</div><div>Si Kong-cu masih tidak percaya dan mendesaknya.</div><div>"Kau jangan mencoba membohong dihadapanku, dari pandangan muka saja aku</div><div>telah dapat meagetahuinya.”</div><div>Lee Tie telah dibuat terharu karena perhatiannya, tiba-tiba ia mencekal</div><div>tangannya si Kong-cu yang tidak dikenalnya ini terasa satu tangan yang halus</div><div>sekali, mengapa hatinya menjadi tergetar menyentuh tangannya Kong-cu ini.</div><div>Dengan termenung dipandangnya lagi si Kong-cu, kecakapannya pemuda ini</div><div>hampir membuat ia tidak percaya. Dalam hatinya menanya.</div><div>"Betulkah didalam dunia terdapat seorang pemuda yang cakap ini?”</div><div>Si Kong-cu yang melihat Lee Tie juga mulai memandangnya menjadi tertawa.</div><div>"Dimanakah rumah saudara? Bolehkah aku datang kesana?”</div><div>Matanya Lee Tie menjadi merah karena pertanyaan ini. Kui-in-chung telah</div><div>termusna dimakan api dan ia sendiri juga sedang terlunta-lunta karenannya.</div><div>Dengan secara tiba-tiba Lee Tie telah melepaskan cekelannya dan lagi</div><div>meninggalkannya.</div><div>Si Kong-cu baju hijau menjadi kaget, dengan cepat memburu dan menanya.</div><div>"Apa aku barusan telah membuat kesalahan lagi?”</div><div>Lee Tie yang sedang menahan perasaan hatinya yang sedang bergelumbang,</div><div>tidak menjawab pertanyaannya dan terus berjalan lagi.</div><div>Si Kong-cu baju hijau menjadi gugup sambil menarik tangannya ia menanya lagi.</div><div>"Hei. dimana lagi kesalahanku ini?"</div><div>Lee Tie masih tetap tidak menjawab pertanyaannya. Si Kong-cu yang memang</div><div>mempunyai adat aseran sudah menjadi marah juga dan berkata.</div><div>' Bagaimana sih kau ini? Jika menurut adat lamaku sudah kupukul sedari tadi.”</div><div>Kegusarannya Lee Tie telah dibangunkan lagi, karenanya. Terdengar</div><div>bentakannya yang ketus.</div><div>"Kau ini memang orang terlalu kejam."</div><div>Tangannya juga sudah dikibaskan kebelakang, ingin menggulingkan tubuhnya</div><div>Kong-cu kejam yang entah mengapa terus-terusan mengikutinya saja.</div><div>Seperti licinnya seekor lindung saja tangannya si Kong-cu yang halus tadi telah</div><div>terlepas sama sekali tapi ia tidak terus menyingkirkan diri, dibiarkannya saja</div><div>tangannya Lee Tie yang diteruskan hendak memukul ke arah dadanya.</div><div>Lee Tie menjadi kaget, sambil menarik lagi tangannya tadi ia menanya.</div><div>"'Mengapa kan tidak menyingkirkan diri?'"</div><div>Kong-cu baju hijau sambil ketawa menunjukkan sepasang sujennya lagi berkata.</div><div>"'Aku tidak mau memapaki tanganmu karena takut dikatakan kejam lagi.”</div><div>Lee Tie tertegun sambil menghela napas ia barkata sendiri.</div><div>"Kota Lok-yang ... kota Lok-yang ... Ko-ta Lok-yang memang banyak Kong-cunya</div><div>yang aneh sekali .. Aku menjadi tidak kepingin memasukinya lagi."</div><div>Lalu membalikkan lagi badannya, dengan membelakangi kota ia berlari balik</div><div>kembali.</div><div>Si Kong-cu baju hijau dengan tidak berkata apa-apa juga sudah mengikuti</div><div>jejaknya lagi. Waktu itu kemarahannya Lee Tie telah lenyap sama sekali dan</div><div>membiarkan saja Kong-cu aneh ini mengikuti dirinya.</div><div>Sang waktu mengunjuk telah lewat tengah hari, matahari panas tetap menyinari</div><div>tubuh mereka. Dua orang sudah mulai mandi keringat, si Kong-cu aneh dengan</div><div>perlahan-lahan membentur lengannya sang kawan dan berkata.</div><div>"Mungkin kau juga telah lapar, tunggu sajalah kau disini agar aku dapat</div><div>menyiapkan makanan untukmu.”</div><div>Lee Tie tidak menyetujui atau membantah perkataannya, ia masih tetap</div><div>melanjutkan perjalanannya. Tapi baru saja ia bertindak beberapa langkah sudah</div><div>kehilangan suara kakinya sang Kong-cu. Ia meajadi heran juga dan berkata</div><div>sendiri.</div><div>"Kecepatan luar biasa sekali, entah dari manakah datangnya Kong-cu ini?'</div><div>Karena ia memikir begini dengan sendiri telah mengendorkan langkahnya dan</div><div>berhenti.</div><div>Betul saja tidak lama kemudian, Kong-cu tadi dengan tangan penuh tengtengan</div><div>sedang lari-larian lagi kearahnya, sebentar saja ia telah sampai lagi dan berkata.</div><div>"Mari kita boleh memakannya sambil berjalan."</div><div>Tangannya dengan sebat telah mengeluarkan bak pauw yang tidak berisi yang</div><div>segera disodorkan kedepan mukanya Lee Tie. Lee Tie yang memang sedang</div><div>kelaparan dengan tidak malu-malu lagi telah menyambutnya dan segera</div><div>dimakan, dengan setengah ngedumel ia berkata.</div><div>"Kau memang aneh sekali?"</div><div>Si Kong-cu hanya membalasnya dengan tertawa, tapi kemudian dengan perlahan</div><div>ia menanya.</div><div>"Kemanakah sekarang kita pergi?'</div><div>Lee Tie menggeleng-gelengkan kapalanya.</div><div>"Kita mau pergi kemana? Aku sendiripun tidak mengetahuinya."</div><div>Si Kong-cu baju hijau juga telah menjumput bakpauw tadi yang dijejalkan</div><div>kedalam mulutnya yang kecil, tapi begitu ingat akan kata-katanya Lee Tie yang</div><div>lucu tadi hampir keselak karenanya sembari menjebikan bibirnya ia berkata.</div><div>"Kau boleh mengatakan aku sebagai orang aneh, tapi kau sendirilah yang lebih</div><div>aneh lagi."</div><div>Lee Tie dibuat hampir tertawa oleh ucapan yang Jenaka itu, tapi ia tidak dapat</div><div>tertawa karena mulutnya penuh dengan bakpauw. Dengan menambah</div><div>kecepatannya ia telah mendahului Kong-cu aneh ini berjalan di muka.</div><div>Si Kong-cu baju hijau masih tetap merendenganya berjalan bersama-sama.</div><div>sebentar berkata dan sebentar ketawa, tampak bukan main rasa puas dan</div><div>gembira hatinya.</div><div>Tapi Lee Tie masih membungkam dalam seribu bahasa, ia telah teringat lagi</div><div>akan kampung halamannya yang telah termusna, teringat akan rahasia sumur</div><div>kematian yang masi belum terbuka. Kiauw Kin Kong pernah mengatakan</div><div>kepadanya bahwa sumur ini mempunyai hnbungan erat dengan dirinya,</div><div>mengapa ia tidak mau pergi kesana untuk melihatnya?</div><div>Semakin dipikir semakin cepat lagi jalannya hanya pada saat itu mereka sedang</div><div>berjalan dijalan raya dan takut menggegerkan orang-orang biasa, maka tidak</div><div>berani menggunakan ilmu mengetengi tubuh mereka.</div><div>Dua jam kemudian matahari mulai condong kearah barat, orang-orang yang</div><div>berjalan dijalan raya juga sudah mulai mengurang, dari jauh sudah mulai terlihat</div><div>reruntuhannya Kui-in-chung.</div><div>Lee Tie. yang dapat melihat kembali tempat bekas ia bermain, sudah menjadi</div><div>sedih lagi. air mataaya dengan tidak tensa telah meleleh keluar. Tapi ia tidak</div><div>ingin dapat dilihat oleh si Kong-cu yang memparhatikannya ini, dengan sekali</div><div>loncat ia mendahului terbang maju melintasi.</div><div>Tapi si Kong-cu baju hijau yang tajam pandangannya sudah dapat melihat</div><div>kejadian ini ia enjot dirinya menyusul dan memegang lima jari kirinya Lee Tie,</div><div>terasa olehnya hawa dingin yang keluar dari telapakan tangan Lee Tie da n</div><div>tergetarlah hatinya. Maka dengan kaget ia menanya.</div><div>"Mengapa tangan saudara dapat sedingin ini dan tidak sewajarnya? Apa didepan</div><div>terdapat bahaya yang menyebabkan ketegangan?"</div><div>Lee Tie mengibaskan pegangan orang, dengan tidak memperdulikannya sama</div><div>sekali ia malah menambah kecepatan kakinya lari kemuka.</div><div>Si Kong-cu menjadi mengeluh juga dalam hatinya berkata.</div><div>"Orang ini mempunyai adat keras sekali.</div><div>Dengan tidak berkata-kata ia juga mengikutinya terus, Sebentar saja langit pun</div><div>sudah mulai menghitam dan orang begitu memasuki daerah Kui-in-chung sudah</div><div>langsung menuju ketempatnya sumur kematian didaerah Pekarangan terlarang.</div><div>Tapi baru dua orang ini loncat naik keatas reruntuhan tembok atau tiba-tiba si</div><div>Kong-cu aneh telah mengeluarkan suara tertahannya.</div><div>"Eeeeeee!"</div><div>Lee Tie sudah merandek dan memandang kearahnya sipemuda baju hijau. Si</div><div>Kong-cu yang melihat pandangannya Lee Tie tidak mengandung kemarahan lalu</div><div>berkata.</div><div>"Aku seperti melihat adanya bayangan orang yang lewat disana."'</div><div>Lalu ia mengunjuk dengan telunjuknya ke arah yang berada di Barat-daya.</div><div>Dengan mengikuti arah yang ditunjuk. Lee Tie mengarahkan pandangan</div><div>matanya dan tidak terlihat suatu apa olehnya. Maka ia lalu menanya.</div><div>"Orang yang bagaimana?"</div><div>"Seorang pendek, seorang yang mempunyai tubuh badan pendek.”</div><div>Lee Tie sudah segera dapat menyangka akan datangnya Kiauw Kiu Kong lagi,</div><div>maka ia segera memburu kearah sana dan betul dari kejauhan sudah terlihat</div><div>bayangan yang pendek lenyap diujung-ujung sana. Dengan menghela napas ia</div><div>berkata.</div><div>"Kakek pendek, aku datang terlambat."</div><div>Si Kong-cu juga sudah mengikuti lagi dan menimbrungi.</div><div>"Gerakannya orang ini sangat cepat sekali jika dibandingkan dengan ibuku</div><div>mungkin ... "</div><div>Ia menghentikan kata-katanya, sepasang matanya tidak lepas dari arah mukanya</div><div>pemuda kukuh yang diikutinya ini.</div><div>Lee Tie meski, mendengar kata-katanya tadi, tapi ia tidak menanyakan</div><div>sambungannya, dengan sekali loncat ia sudah berada di atas tembok Pekarangan</div><div>terlarang lagi dan loncat masuk kedalamnya kemudian ia duduk termenung</div><div>diatas sumur kematian.</div><div>Si Kong-cu tetap masih mengikutinya dan duduk berendeng disebelahnya, sekian</div><div>lama berdua duduk disana dengan tidak berkata apa-apa.</div><div>Rembulan mulai memancarkan sinar kuningnya, perlahah-lahan muncul dari</div><div>sela-selanya gunung Kie-ling yang terkenal didaerah Bong-san ini.</div><div>Akhirnya si Kong-cu juga yang mulai menanya.</div><div>"Tempat apakah yang sekarang saudara kunjungi ini? Apa tujuanmu telah</div><div>berakhir sampai disini?”</div><div>Lee Tie yang selang terbenam dalam kenangan lamanya yang hanya</div><div>memanggutkan kepalanya saja dan tetap tidak berkata-kata.</div><div>Si Kong-cu seperti tidak percaya dan mulai menegasnya lagi.</div><div>"Mengapa kau harus datang kemari? Apakah namanya tempatnya ini?"</div><div>Lee Tie dengan acuh tak acuh menjawab.</div><div>"Sumur kematian dari Kui-in chung.”</div><div>Kong-cu baju hijau menjadi kaget.</div><div>"Telah lama aku mendengar namanya Sumur kematian dari Kui-in-chung yang</div><div>menyeramkan, mengapa kau dapat datang kemari?" tanyanya heran.</div><div>Lee Tie dengan masih memandang kosong kedepan menjawab.</div><div>"Inilah rumahku sendiri.”</div><div>Hati Kong-cu baju hijan tadi menjadi tergetar, tapi kemudian engah juga.</div><div>"Ooooo, kiranya kau adalah Kong-cu dari Kui-in-chung ini.”</div><div>Lee Tie menggoyang-goyangkan kepalanya dengan ketus ia menjawab.</div><div>"Aku tidak tahu, Janganlah kau menyebut-nyebutnya lagi soal ini.”</div><div>Tiba-tiba ia lompat bangun dari tempat duduknya dan berdiri dengan sungguhsungguh</div><div>ia berkata.</div><div>"Aku akau segera masuk kedalam Sumur-kematian ini. Ada satu hal yang akan</div><div>kuminta pertolonganmu, yalah jika setelah lewat jam tiga aku masih tidak dapat</div><div>keluar juga. sepuluh hari kemudian kau boleh balik kembali kedalam kota Lokyang</div><div>dan mencari seorang tua pendek yang bernama Kiauw Kin Kong untuk</div><div>memberi tahu keadaannya. Dapatkah kau melulusi permintaanku ini?"'</div><div>Si Kong-cu sampai dibuat terlongong-longong karenanya, sekian lamanya ia</div><div>memandangnya dengan tidak menjawab permintaannnya.</div><div>"Dapatkah kau meluluskan permintaanku ini?" Lee Tie mendesak.</div><div>Kong-cu baju hijau menggeleng-gelengkan kepalanya dan herkata.</div><div>'"Aku seadiri belum tahu kau mau berbuat apa?"</div><div>Lee Tie sudah mau mengatakan duduk soalnya, tapi dalam tempo pendek mana</div><div>dapat memberikan penjelasan yang terang padanya? Maka berdua terdiam lagi</div><div>disana.</div><div><br /></div><div>Bulan purnama sedang memainkan kepalanya diantara gumpalan awan, sebentar</div><div>menonjolkan dirinya seperti menggoda.</div><div>Tiba-tiba Lee Tie dan si Kong-cu sudah dapat dengar adanya suara tindakan kaki</div><div>di luar tembok Pekarangan terlarang ini. mereka jadi saling pandang disana.</div><div>Rasa takutnya Lee Tie sudah dapat dibangunkan kembali dan berkata.</div><div>"Apa ia masih berada disini?' Dengan cepat ia sudah menarik tangannya si Kongcu</div><div>yang mau berjalan pergi untuk melihatnya sembari menggeleng-gelengkan</div><div>kepalanya ia mencegah pemuda itu bicara.</div><div>Didengarinya lagi suara tindakan kaki yang seperti biasanya Lee Thian Kauw</div><div>berjalan bolak balik ini, maka dengan menempelkan mulutnya di kuping orang</div><div>Lee Tie berkata.</div><div>"Jangan sampai kau mengeluarkan suara atau habislah nyawa kita berdua disini.</div><div>Mari ikut kepadaku kesini.”</div><div>Dengan perlahan-lahan ia menarik si Kong-cu yang halus untuk diajak</div><div>mengumpat di atas pohon yang berdaun rindang diatas sumur kematian.</div><div>Setelah sampai diatas pohon baru Kong-cu baju hijau ini berani menanya.</div><div>"Mengapa kau demikian takut kepadanja? Siapakah ia?”</div><div>Lee Tie dengan setengah berbisik berkata.</div><div>"Lee Thian Kauw si iblis yang memakai jubah Chungeu Kui-in-chung." Si Kongcu</div><div>menjadi heran.</div><div>"Orang mengatakan bahwa. Chungeu dari Kui-in-chung paling suka menerima</div><div>tamu dan paling ramah tamah. Mengapa kau menamakan iblis kepadanya?"</div><div>Lee Tie hanya menggengam erat tangannya si Kong-cu dan tidak menyahut,</div><div>karena saat itu dari dalam sumur kematian terdengar lagi suara tiupan seruling</div><div>yang menyayat hati.</div><div>Baru saja si Kong-cu mau menanyakan lagi atau terlihat bayangan tinggi besar</div><div>berkelebat, ditempatnya kapan datangnya kesitu.</div><div>Lee Tie mengeraskan genggamannya sampai dua kali, si Kong-cu sudah mengerti</div><div>dan memanggutkan kepalanya.</div><div>Orang yang baru datang ini betul saja Lee Thian Kauw adanya, setelah bolak</div><div>balik dua kali didepan sumur-kematiannya tadi lalu berdiri melihat kedalam</div><div>sumur yang penuh rahasia ini.</div><div>YI. SUHENG DAN SUTE DARI PERGURUAN THIAN-SAN</div><div>SUARA tiupan suling yang menyayat hati masih tidak henti-hentinya keluar dari</div><div>lobang sumur kematian tadi.</div><div>Lee Thian Kauw setelah bolak balik dua kali sudah mengeluarkan suara tertawa</div><div>dinginnya, dipandangnya lobang sumur ini lagi dan tertawa panjang sehingga</div><div>sampai lama sekali.</div><div>Satu suara tertawa yang dapat mendebarkan hati, hawa napasnya Lee Tie dan si</div><div>Kong-cu tadi telah dibikin bergolak karenanya, dengan cepat mereka berusaha</div><div>menenangkannya lagi dan mengosongkan pikiran mereka.</div><div>Saat itu Lee Thian Kauw sudah menghentikan suara tertawanya dengan</div><div>menghadapi sumur ia berkata, "Sahengku Bee Cio Cie. kau telah meniup seruling</div><div>hitammu lebih dari empat belas tahun bukannya masa yang pendek, mengapa</div><div>kau masih tidak mau menyerah kalah juga?"</div><div>Terdengar lagi suara tertawanya Lee Thian Kauw yang nampaknya merasa puas.</div><div>Suara tiupan seruling dari dalam sumur kematian telah merobah lagunya dari</div><div>ratapan hati menjadi tiupan angin yang menerjang langit tinggi. Waktu itu sang</div><div>bulan juga telah ditelan oleh tebalnya awan hitam, angin puyuh menderu-deru</div><div>menyambuti pekikan seruling yang bernada tinggi tadi sebagai jawaban</div><div>kemarahannya si peniup seruling, di dalam sumur kematian ini.</div><div>Hatinya Lee Tie menjadi bergidik juga mendengarnya, keringat dingin mulai</div><div>membasahi sekujur badannya.</div><div>Lee Thian Kauw sudah tertawa lagi.</div><div>'Satu julukan yang indah si Capung Kumala dari Thian-san. Bee Tin Cee. Sedari</div><div>dahulu sudah kukatakan kepadamu bahwa janganlah mempelajari segala macam</div><div>permainan musik yang tidak ada gunanya, sehingga akhirnya harus mengalah</div><div>kepada kepandaianku sampai istri sendiripun tak dapat menjaganya lagi, hingga</div><div>terjatuh kedalam tanganku.</div><div>Bulu tengkuknya Lee Tie sampai berdiri semua mendengar kata-katanya Lee</div><div>Thian Kauw ini.</div><div>Tapi sampai disini Lee Thian Kauw sudah tak meneruskan lagi kata-katanya tadi,</div><div>sampai berkali-kali ia mondar mandir dipinggiran sumur kematian ini dan</div><div>duduk diatasnya.</div><div>Suara seruling dari tinggi perlahan-lahan menurun kembali kemudian berhenti</div><div>sama sekali. Lee Tie dan Kong-cu baju hijau tadi dengan tangan siling genggam</div><div>sedang berusaha untuk menahan tekanan hati mereka.</div><div>Tak lama kemudian Lee Thian Kauw sudah berkata lagi, nadanya telah berolah</div><div>menjadi tenang kembali karena ini kali di ucapkan dengan suara yang</div><div>mengandung kesedihan rasa hatinya.</div><div>"Bee Suheng, urusan dulu-dulu sudah tidak dapat ditarik kembali. Dengan tidak</div><div>dapat menguasai perasaan hatiku, aku telah merebut istrimu si 'Bungsu teratai</div><div>dari Thian-san karena kecantikannya. Maka kau si 'Capung Kumala dari Thiansan"</div><div>sampai harus kehilangan sepasang kaki dan mengeram didalam Sumur</div><div>kematian yang tidak ada sinar matahari dan aku sendiri si "Garuda ganas dari</div><div>Thian-san" juga harus merobah diriku menjadi satu iblis yang tidak dapat</div><div>diampuni lagi ... "</div><div>Lee Tie sudah tidak dapat menahan sabarnya lagi, sudah beberapa kali ia mau</div><div>lompat turun untuk menghampiri, tapi masih untung keburu dicegah oleh si</div><div>Kong-cu yang selain membisiki.</div><div>"Sabar saudaraku. Kau harus dapat menyabarkan diri.”</div><div>Terdengar Lee Thian Kauw sudah mengucapkan kata-katanya lagi.</div><div>“Bee Suheng, terus terang saja kukatakan kepadamu, 'Capung kumala dari Thiansan'</div><div>sudah tidak ada lagi, 'Bunga teratai' dari Thian-san juga telah melarikan diri,</div><div>aku si Garuda ganas dari Thian-san, juga telah menjadi iblis yang tidak dapat</div><div>diampuni ... "</div><div>Secara tiba-tiba suaranya sudah menjadi tidak tenang lagi dan terdengar</div><div>terusannya.</div><div>Tapi sibiis juga mempunyai tingkah laku keiblisannya sendiri, Bee Cin Cie.</div><div>Janganlah kau terus-terusan meniup serulingmu yang tidak berguna itu, aku</div><div>hanya dapat meniup lagunya 'Seorang jago Thian-san' yang tidak ternama,</div><div>karena salah menerima kedua muridnya, tapi tidak dapat meniup lagu tingkah</div><div>lakuku yang telah merobah dirinya menjadi iblis ini. Aku telah lupa kepada</div><div>manusia, telah lama aku tidak mau mengenalnya. Kedatangaku pada malam ini</div><div>hanya mau mengatakan kepadamu bahwa aku pun akan segera meninggalkan</div><div>tempat ini. Sebelum berlalu aku juga harus memberitahu dulu padamu bahwa</div><div>anakmu A Tie masih dapat berjalan seperti biasa karena aku tidak tega untuk</div><div>membunuhnya dan sampai disini perpisahan kita."</div><div>Suara seruling didalam sumur kematian memekik sebentar dan kemudian lenyap</div><div>sama sekali.</div><div>Lee Tie sudah dapat memastikan bahwa Lee Thian Kauw inilah yang menganiaya</div><div>ayahnya dan mengusir ibunya, sebelum Lee Thian Kauw dapat bertindak pergi ia</div><div>sudah lompat turun kehadapannya diikuti oleh si Kong-cu sebagai bayangannya.</div><div><br /></div><div>BERSAMBUNG.....</div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-49686178479351453392011-09-29T20:29:00.001-07:002011-09-29T20:33:16.569-07:00SERULING KUMALA (2)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjY5BHhtVVaMRQK92KL4Iqz9WK37XI-H_DJR5Tp9_11RB-K3B4OgxDaoTlxhH4LpnNWnPcA1YUaRJfYwNsuDRA107K0Uxbi9yfrkZskfZGcMtJs0-q84rThdvkU6WbrZXeIlZX9D-_f1A/s1600/Seruling+Kumala.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 243px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjY5BHhtVVaMRQK92KL4Iqz9WK37XI-H_DJR5Tp9_11RB-K3B4OgxDaoTlxhH4LpnNWnPcA1YUaRJfYwNsuDRA107K0Uxbi9yfrkZskfZGcMtJs0-q84rThdvkU6WbrZXeIlZX9D-_f1A/s320/Seruling+Kumala.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5657990479083426610" /></a><div><b>Karya Chin Yung</b></div><div><b>Jilid 02</b></div><div><br /></div><div>IA LOMPAT kesamping kiri untuk menghindarkan tendangan kaki kecil.</div><div>Tapi tidak disangka belum juga ia dapat menaruh kakinya lagi atau terlihat Lee</div><div>Tie sudah meneruskankan gerakannya lagi, dengan gerakan “Melihat kaki ia</div><div>sudah meneruskan sepakannya tadi menjadi gaetan kaki, dua tangannya ditarik</div><div>kembali dan menubruk ke arah kaki.</div><div>Kiauw Kiu Kong berseru memuji.</div><div>“Dua gerakan yang manis sekali.”</div><div>Secara tiba-tiba Lee Tie sudah menarik kembali serangannya tadi, sambil lompat</div><div>mundur ia berteriak.</div><div>”Celaka.”</div><div>Dengan kecepatan yang luar biasa ia sudah segera lompat naik keatas pohon dan</div><div>menyelipkan dirinya diantara semak-semak daun yang tinggi. Kiauw Kiu menjadi</div><div>heran, tapi tidak lama ia juga telah lihat bahaya dan lompat naik menyusulnya</div><div>untuk menyembunjikan diri.</div><div>Ternyata gerakan-gerakan mereka tadi telah dapat menimbulkan suara desiran</div><div>angin pukulan yang membuat dedaunan kering berterbangan ke sana sini, dua</div><div>orang penjaga yang mendengarnya sudah segera naik keatas tembok</div><div>Pekarangan-terlarang dan menanya.</div><div>“Siapa?”</div><div>Mereka tidak berani gegabah memasuki ke dalam tempat yang menyeramkan ini,</div><div>setelah berdiri diatas tembok dengan tidak dapat melihat suatu apa sudah loncat</div><div>turun lagi untuk memberikan laporannya kepada Cung tuyu mereka.</div><div>Kiauw Kiu Kong dan Lee Tie yang mengumpat diri tentu saja tidak mau</div><div>menyahuti pertanyaan mereka, setelah menunggu sampai dua penjaga tadi turun</div><div>pergi, baru dengan suara perlahan Kiauw Kiu Kong membisikinya.</div><div>“Sudah waktunya kau kembali, jika kau masih percaya boleh kau menanyakan</div><div>kepada ibumu sendiri yang dapat mengeluarkan bukti-buktinya. Dan jangan lupa</div><div>besok malam datang lagi kemari.”</div><div>Lalu ia menggerakkan badannya, dan lenyaplah si tua pendek Kiauw Kiu Kong</div><div>dari pandangan matanya Lee Tie.</div><div>Lee Tie menunggu sampai mendapat kepastian tentang kepergiannya dua</div><div>penjaga tadi baru berani turun dari atas pohon. Waktu itu telah hampir</div><div>menjelang pagi, langit sudah menjadi gelap sekali. Lee Tie dengan menyusuri</div><div>jalan balik sudah membelokan arah tujuannya ketempat Ruangan-batu ayahnya.</div><div>Terlihat dua penjaga sedang menghadang dipintu masuknya, tapi ia tidak</div><div>menjadi takut lagi, dengan membusungkan dadanya ia bertindak maju</div><div>menghampiri.</div><div>Dua penjaga yang melihat kedatangannya majikan muda ini sudah segera</div><div>menyapa.</div><div>“Mengapa Kong-cu sepagi ini sudah datang kemari?”</div><div>Lee Tie dengan tertawa menjawab.</div><div>“Ibu yang menyuruh aku untuk datang kemari.”</div><div>“Tapi Chungeu telah memberikan perintahnya bahwa dalam beberapa hari ini,</div><div>jika dengan tidak seizinnya, kami orang tidak boleh mengganggu</div><div>ketenangannya.”</div><div>“Apa termasuk aku juga?”</div><div>“Siapa juga tidak boleh mengganggunya.“</div><div>Lee Tie mana mau percaya ia yang sudah biasa dimanjakan oleh ayahnya dengan</div><div>tidak memperdulikan halangannya lagi sudah maju mendekatinya. Dua penjaga</div><div>yang melihat tidak mungkin mereka menahan Kong-cu yang manja ini sudah</div><div>mulai dengan ratapannya.</div><div>“Harap Kong-cu dapat menimbang akan kesukaran kami, ayahmu memang betul</div><div>demikian memberi perintahnya, bahkan ia juga ada mengatakan ... ”</div><div>Lee Tie sudah menjadi tidak sabaran, dengan mendorong badannya salah satu</div><div>penjaga itu ia sudah siap untuk membuka pintunya.</div><div>“Tapi aku masih mau masuk juga,” katanya dengan aseran sekali.</div><div>Penjaga yang satu lagi sudah tidak dapat menahan sabarnya dan membentak.</div><div>“Kong-cu, jangan memaksa memasukinya, karena ayahmu pernah berkata bahwa</div><div>kami diberikan hak kekuasaan penuh untuk membunuh siapa saja yang berani</div><div>memasukinya.”</div><div>Lee Tie sudah menjadi mendongkol.</div><div>“Siapa yang berani membunuh aku?" bentaknya.</div><div>Biarpun Lee Tie hanya berumur empat belas tahun, tapi sebagai majikan</div><div>mudanya Kui-in-chung tentu saja mempunyai sifat pembawaannya sendiri,</div><div>dengan keren ia memperlototkan kedua matanya memandang ke arah dua</div><div>penjaga tadi.</div><div>Dua penjaga itu tidak berdaya, dengan menghela napas mereka sudah segera</div><div>ngeloyor pergi untuk membikin laporannya.</div><div>Lee Tie yang melihat kepergiannya dua orang tadi sudah ngedumel sendiri.</div><div>“Baru kau orang saja mana berani membunuhku?”</div><div>Ia sudah mulai menyentuh daun pintu dan mulai dengan teriakannya.</div><div>“Ayah, buka pintu, A Tie datang untuk menengokmu.”</div><div>Tidak ada jawaban sama sekali. Lee Tie sudah mulai memeriakinya lagi sampai</div><div>beberapa kali, setelah sekian lama masih tidak mendapat jawaban juga ia</div><div>menjadi heran dan mendorong daun pintu dengan perlahan-lahan. Ternyata</div><div>pintu tidak terkunci karena sekali dorong saja sudah menjadi terbuka.</div><div>Ruangan didalam kamar batu ini ada gelap sekali karena tidak dipasang</div><div>penerangannya, tapi Lee Tie yang sudah apal dengan keadaan didalam, karena</div><div>sering datang kemari, dengan cepat sudah dapat mencari pelita yang segera</div><div>dinyalahkan olehnya.</div><div>Semua perabotan terletak sebagaimana biasa dan tidak ada perobahan sama</div><div>sekali, ranjang batu yang berada disebelah kiri dari ruangan ini masih teratur</div><div>rapi dengan bantal gulingnya hanya saja debu tebal telah tertimbun melapisinya.</div><div>Lee Tie yang cerdik sudah menjadi heran, pikirnya.</div><div>“Kiranya ayah telah lama meninggalkan kamar batunya, tapi mengapa ia tidak</div><div>mernberitahu kepada ibu sehingga kita tidak dapat mengetahuinya? Entah</div><div>kemana kepergiannya yang sangat dirahasiakan ini?”</div><div>Tiba-tiba matanya yang tajam sudah dapat melihat diatas telah berserakan</div><div>potongan kertas, dengan cepat dipungutnya selembar dan dibaca.</div><div>“Kui-in-chung bubar, harapan buyar."</div><div>Hanya tulisan ini yang terlihat olehnya ia masih dapat mengenali akan tulisan</div><div>ayahnya. Dipungutnya lagi selembar yang lain dan ternyata juga tulisan yang</div><div>seperti tadi juga. Setelah sampai beberapa lembar tulisan masih tidak berubah</div><div>juga ia meniadi heran dan tidak mengerti mengapa ayahnya hanya menulis</div><div>beberapa kata ini saja?</div><div>Diperhatikannya lagi keadaan sekitar ruangan kosong ini dan terlihat olehnya</div><div>disudut didekat pintu terdipat pecahan benda hitam yang mengkilat.</div><div>Entah barang apa yang sebagus ini? Mengapa ayah tidak sayang untuk</div><div>memecahkannya?</div><div>Demikian pikirnya, lalu dipungutnya benda tadi yang ternyata berupa pecahan</div><div>batu kumala yang terdapat gaetannya, di bawah gaetan ini terdapat lobang kecil</div><div>yang telah membuat batu kumala hitam ini kosong ditengahnya. Pikirannya telah</div><div>teringat akan kata-katanya Kiauw Kiu Kong yang pernah menanyakan kepadanya</div><div>tentang Tongkat Rantai Kumala yang menjadi barang pusakanya Hoa-san-pay.</div><div>Dipungutnya pecahan-pecahan kumala hitam yang berupa seperti bambu ini dan</div><div>disambungnya menurut besarnya gaetan-gaetan yang ada dan betul saja</div><div>berbentuklah satu tongkat yang terdiri dari batu kumala hitam.</div><div>“Mengapa Tongkat Rantai Kumala ini dapat berada disini?”</div><div>Sewaktu diperhatikannya ternyata didalamnya kumala hitam ini terdapat</div><div>tulisan-tulisan yang kecil sekali. Dipungutnya salah satu dan sewaktu dibaca</div><div>ternyata disini terdapat satu hurup ying berbunyi “Tiang”. Ia menjadi heran</div><div>melihat tulisan ini diukir di tempat yang cekung dari kumala tadi. Siapakah</div><div>pengukirnya yang sedemikian pandainya sehingga dapat menulis huruf yang</div><div>yang sekecil itu didalam kumala hitam yang tadinya tidak dapat dibuka? Ia betulbetul</div><div>menjadi tidak mengerti, dipungutnya lagi pecah-pecahan kumala hitam</div><div>tadi. ternyata semuanya beryumlah tujuh huruf, Sembilan, tiang, batu,</div><div>beterbangan, melewati puncak, gunung.”</div><div><br /></div><div>Biarpun ia tidak mengerti apa artinya ini “Sembilan, tiang, batu, beterbangan,</div><div>melewati puncak, gunung.” tapi ia sebagai seorang anak yang pintar sudah baik</div><div>mencatatnya didalam hati. Lalu ia melemparkan kembali pecahan-pecahannya</div><div>batu kumala hitam tadi ketempat asalnya, baru ia memadamkan api dan berbalik</div><div>untuk meninggalkan kamar batu ayahnya yang penuh rahasia ini.</div><div>Tapi baru saja ia membalikan kepalanya atau terlihat olehnya Lee Thian Kauw</div><div>dengan pandangan sinar mata yang berapi-api, entah sudah berapa lama berdiri</div><div>di belakangnya tadi.</div><div>Lee Tie yang melihat perubahan wajah coba menenangkan hatinya dan berseru.</div><div>“Ayah ... ”</div><div>Lee Thian Kauw dengan sikap yang adem sekali menanya.</div><div>“Siapa yang telah menyuruh kau datang kemari?”</div><div>Lee Tie yang kini telah berhadap-hadapan dengan sang ayah sudah dapat melihat</div><div>diseluruh baju ayahnya telah berlepotan dengan darah yang menyiarkan bau</div><div>amis. Didalam hatinya ia berkata.</div><div>“Mengapa dibaju ayah yang biasanya bersih boleh kecipratan demikian</div><div>banyaknya darah?”</div><div>Tapi mulutnya dengan sikap yang hati-hati menjawab: ”Ibu yang menyuruh</div><div>menengoki ayah.”</div><div>Lee Thian Kauw tertawa dngin.</div><div>“Setelah kau tahu ayah tidak berada didalam, mengapa masih tidak mau lekaslekas</div><div>keluar lagi?”</div><div>“A Tie telah melihat itu kertas yang berantakan diatas meja dan pecahan batu</div><div>kumala yang ayah telah buang, karena bagusnya A Tie telah mempermainkannya</div><div>sekian lama dan mendapatkan ... ” ia sebenarnya sudah mau mengatakan telah</div><div>mendapatkan huruf-huruf yang ia tidak mengerti didalam pecahan-pecahan</div><div>kumala tadi atau terlihat Lee Thian Kauw dengan tubuh yang gemetaran sudah</div><div>memotong perkataannya.</div><div>“Mendapatkan apa? Apa kautelah dapat melihat bentuk aslinya?”</div><div>Lee Tie melihat keadaan tidak munguntungkan baginya. Begitu mendengar</div><div>pertanyaannya sang ayah yang berbeda dari hari-hari biasanya, sudah tahu</div><div>bahwa sang ayah tidak senang dengan perbuatannya yang telah memasuki kamar</div><div>batunya ini dengan tidak seijinnya, yang terpenting ayahnya tidak ingin</div><div>rahasianya tongkat Rantai Kumala itu dapat diketahui olehnya. Maka sudah</div><div>tentu saja ia tidak berani mengakuinya.</div><div>“Tidak. A Tie tidak mengetahui sama sekali.”</div><div>Di mukanya Lee Thian Kauw yang galak telah terkilas sedikit senyuman.</div><div>“Apa yang telah kau dapatkan disini?”</div><div>Lee Tie sudah tidak berani meneruskan kata-katanya, dengan cepat ia menjawab.</div><div>“A Tie takut akan ketajamannya itu pecahan kumala, maka sudah membatalkan</div><div>menyentuhnya dan menaruh ketempat asalnya lagi."</div><div>Lee Thian Kauw angguk.anggukkan kepalanya.</div><div>“A Tie baik-baik kau perhatikan! Selanjutnya, jika tidak ada panggilanku</div><div>janganlah kau sembarangan memasuki kamar batu ini. Jika aku ada keperluan</div><div>denganmu, tentu aku dapat menyuruh orang memanggilmu.”</div><div>Baru sekarang Lee Tee hatinya merasa lega. Setelah memberikan hormatnya</div><div>kepada sang ayah, dengan tidak berani menoleh kebelakang lagi ia sudah</div><div>meninggalkan kamar itu.</div><div>Ia berjalan baru saja belasan tindak, tiba-tiba ia sudah membalikan kepalanya</div><div>dan menanya.</div><div>“Ayah, jika ibu ada urusan lagi siapa yang diharuskan memanggil ayah?”</div><div>Ia sengaja menanya begini menandakan bahwa diantara mereka tidak ada</div><div>ganjelan suatu apa. Betul saja Lee Thian Kauw yang mendengarnya sudah</div><div>menjadi tertawa.</div><div>“Kau ini setan kecil memang banyak akalnya. Jika ada urusan tentu saja aku bisa</div><div>datang ke sana."</div><div>Lee Tie juga membalas tertawa. dengan menggunakan ilmu mengetengi tubuh ia</div><div>sudah langsung pulang keatas loteng ibunya. Kejadian yang dialaminya pada hari</div><div>itu ada sangat janggal sekali, ia tidak segera pulang kembali ke dalam kamarnya,</div><div>tapi langsung mendorong pintu kamar ibunya sambil berkata.</div><div>“Bu, A Tie ada sedikit urusan yang mau dikatakan kepada ibu.”</div><div>Tapi apa yang diketemukan di dalam?</div><div>Hanya kamar kosong. Entah ibunya sudah pergi kemana?</div><div>Lee Tie menjadi bengong. satu perasaan yang aneh telah timbul dalam</div><div>ingatannya, hatinya berdebaran keras dan hampir saja ia menangis kerenanya.</div><div><br /></div><div>III. BUNGA TERATAI DARI THIAN-SAN.</div><div><br /></div><div>LEE TIE memperhatikan keatas meja dan disana ada terletak sebuah sepatu kecil</div><div>yang terbuat dari kain, dan di bawahnya sepatu kecil ini terdapat sepotong kertas</div><div>yang berbunyi,</div><div>“Diberikan kepada anakku Lee Tie. Dari ibumu “Bunga teratai” dari Thian-san.”</div><div>Matanya Lee Tie menjadi berkunang-kunang seperti kepalanya terkena pukulan</div><div>benda keras. Ia tidak mempunyai waktu untuk memikirkan artinya sepatu kecil</div><div>lagi, yang sudah segera dimasukkan ke dalam kantong bajunya, lari keluar untuk</div><div>mencari ibunya.</div><div>Degan sekali loncat Lee Tie sudah berada diatas dan berteriak dengan sekeras</div><div>tenaganya.</div><div>"Buuuuuu ... kau berada dimana?”</div><div>Setelah berkali-kali ia berteriak masih tetap tidak ada jawabannya juga, dengan</div><div>sekenanya saja ia sudah lari menuju keluar Kui-in-chung. Teriakan-teriakannya</div><div>Lee Tie telah mengagetkan para penjaga, mereka sudah pada maju untuk</div><div>menanyakannya tapi Lee Tie tidak memperdulikannya dan tetap lari saja. hanya</div><div>dalam sekejapan mata ia sudah meninggalkan Kui-in-chung.</div><div>Tiba-tiba matanya Lee Tie sudah menjadi bersinar terang, karena diantara selasela</div><div>gunung dilihatnya satu bayangan putih yang sedang memanjat ke sana.</div><div>Dengan menambah kecepatannya ia sudah mengarahkan tujuannya ke sana..</div><div>Sebentar saja ia sudah sampai dimana bayangan tadi berada, tapi si bayangan</div><div>putih tadi juga tidak tinggal diam saja, kini ia sudah tidak berada ditempatnya.</div><div>Lee Tie lari maju lagi kedepan dan betul saja dilihatnya di depannya kini telah</div><div>tertampak samar-samar bayangan putih tadi. Dengan keras ia berteriak.</div><div>“Buuuuu ... ”</div><div>Ia menambah kecepatannya lari menghampirinya, Bayangan putih yang di depan</div><div>begitu mendengar teriakahnya Lee Tie sudah membalikan kepalanya dan betul</div><div>saja ia ada ibunya Lee Tie. Ia menahan langkahnya dan berhenti menunggui</div><div>anaknya. Sebentar saja Lee Tie sudah sampai dan menjatuhkan dirinya didalam</div><div>pelukannya sang ibu sambil menangis menggerung-gerung.</div><div>Mendadak Lee Tie merasa tubuhnya sang ibu menjadi tergetar. ia juga telah</div><div>terpental mundur sampai beberapa tindak. Dilihatnya sang ibu dengan air mata</div><div>yang bercucuran sedang memandang ke arahnya.</div><div>“Ibu, kau mengapa?" Lee Tie menanya.</div><div>Sang ibu memandangnya sebentar, sambil menyusut air matanya ia berkata</div><div>dengan suara tawar.</div><div>"Ibumu mempunyai kesukaran yang sukar dikatakan mengapa kau masih</div><div>memaksanya juga?”</div><div>Kata-katanya ini telah memastikan akan kepergiannya.</div><div>Lee Tie menjadi menangis lagi.</div><div>“Mengapa ibu tidak mau mengajakkan juga?” tanyanya penasaran.</div><div>Sang ibu melesat meninggalkannya sambil berkata.</div><div>“Mengapa aku harus membawa-bawamu juga? Kau mempunyai masa depan</div><div>yang gilang gemilang. baik-baiklah kau mempergunakannya.”</div><div>“Buuu ... " Lee Tie dengan memilukan memanggilnya lagi, tapi sang ibu sudah</div><div>melenyapkan dirinya di daerah Bong-san dengan meninggalkan Lee Tie yang</div><div>masih menangis sendiri.</div><div>Sang waktu berjalan terus.</div><div>Angin gunung meresap ke dalam tubuhnya Lee Tie dan membuat menggigil</div><div>kedinginan. Tiba-tiba ia menolehkan kepalanya karena di belakangnya kini telah</div><div>berdiri enam Tosu yang bersikap dingin.</div><div>“Kau orang ingin apa?" Bentak Lee Tie kepada mereka.</div><div>Enam Tosu itu hanya memandangnya saja, salah satu yang menjadi kepala sudah</div><div>memberikan perintahnya.</div><div>“Cit-tee boleh geledah tubuhnya.”</div><div>Salah satu dari mereka yang bertubuh kurus sudah memajukan dirinya</div><div>menghampiri Lee Tie menjalankan perintahnya.</div><div>Lee Tie biarpun masih kecil umurnya, tapi mempunyai nyali yang cukup besar</div><div>untuk menghadapi Tosu yang tidak dikenal ini. Begitu melihat gerakannya Tosu</div><div>kurus ini yang tidak menguntungkan dirinya sudah segera siap untuk</div><div>menghadapinya.</div><div><br /></div><div>Terlihat si Tosu kurus sudah menggerakkan tangan untuk mencekal jalan</div><div>darahnya Lee Tie, lima tosu lainnya juga sudah mengambil sikap mengurung dan</div><div>menjaga jalan larinya Lee Tie.</div><div>Lee Tie yang melihat Tosu kurus ini biarpun mempunyai gerakan yang cukup</div><div>cepat tapi tipu silatnya biasa saja sudah menjadi tenang dan membiarkannya</div><div>bergerak terlebih dahulu. Kemudian dengan melompat kesamping ia</div><div>menghindarkan serangannya dengan tidak balas menyerang.</div><div>Si Tosu kurus berdehem sekali dan menyerang lagi dari sebelah kiri, terlihat</div><div>tangan kanannya mendahului tangan yang sebelah kiri dan ingin mencengkram</div><div>lagi.</div><div>Hatinya Lee Tie menjadi tergerak, “Oow, kiranya kau orang dari Hoa-san-pay?"</div><div>Begitu berkata ia sudah mulai dengan serangan balasannya. Dengan</div><div>menggunakan tipu silat tangan kanan “Mencekal rembulan” dan tangan kiri</div><div>“Menunjuk bintang” badannya terputar ke arah belakang dan membentak keras.</div><div>“Lihat, kepandaiannya Hoa-san-pay sendiri!”</div><div>Serangannya dirobah menjadi Tangan setan dan angin puyuh, jari tangan kirinya</div><div>berputar-putar di atas kepala orang.</div><div><br /></div><div>Si Tosu kurus sudah tidak dapat menyingkir ke kiri atau ke kanan, jalan satusatunya</div><div>ialah hanya mundur menjauhi sang lawan. Tapi saat itu Lee tIe-yang</div><div>sudah dapat merebut posisi telah mendahului meluncur kedepan dan memukul</div><div>tepat diatas dada orang.</div><div><br /></div><div>Lee Tie yang telah menjadi naik darah sudah tidak berhenti sampai disini saja,</div><div>begitu melihat gerakan berbareng dari lima Tosu lainnya, ia sudah mendahului</div><div>menotok jalan darahnya si Tosu kurus tadi, kemudian dengan sekali jambret ia</div><div>sudah berhasil mengangkat tubuh orang. Sambil diacungkan ke arah mereka ia</div><div>berteriak keras.</div><div><br /></div><div>“Apa kau orang sudah tidak memperdulikan jiwanya lagi?”</div><div>Lima Tosu itu menjadi kaget dan marah, tapi kekagetan mereka tidak sampai</div><div>disini karena mendadak telah terdengar suaranya Lee Thian Kauw yang dingin.</div><div>“A Tie, kemari!”</div><div>Lee Tie sudah segera melemparkan tubuhnya si Tosu kurus tadi ke arah lima</div><div>kawannya dan menghampiri ayahnya.</div><div>Terlihat sang ayah sedang berdiri di belakangnya batu besar, dari jauh tidak</div><div>terlihat air mukanya yang mengandung kemarahan.</div><div>“Ayah ... “ Panggil Lee Tie dengan suara sedikit gemetaran.</div><div>“Apa kerjamu sehingga sampai datang kemari?”</div><div>”Ibu telah lari. Maka aku mengejarnya sampai datang kemari,” Jawab Lee Tie</div><div>dengan suara yang hati-hati.</div><div>Terlihat Lee Thian Kauw memejamkan matanya, ia menggigit bibirnya dan</div><div>terlihat kedua pipinya yang bergerak-gerak.</div><div>Lee Tie hampir tidak berani berkata-kata, perasaan sedihnya telah timbul dengan</div><div>tiba-tiba, air matanya sudah tidak dapat ditahan lagi dan bercucuran sambil</div><div>terisak-isak ia menanya.</div><div><br /></div><div>“Ayah ... ayah mengapa sampai memaksa ibu meninggalkan kita?”</div><div>Lee Thian Kauw membuka kembali matanya dan membentak.</div><div>“Apa yang kau tangisi? Mengapa kau juga tidak turut sekalian pergi dari sini?”</div><div>Lee Tie kemekmek. Hawa dingin dari tangan ayahnya menyambar ke arahnya,</div><div>hingga ia membuka lebar-lebar sepasang matanya yang kecil memandang kepada</div><div>sang ayah yang seperti telah berubah ini.</div><div>Mukanya Lee Thian Kauw telah berobah menjadi beringas, tapi begitu</div><div>membentur pandangan matanya Lie Tie yang masih tidak mengerti suatu apa</div><div>seperti terkena alirannya stroom saja telah menggetarkan hatinya.</div><div>“Lekas kau balik kembali!" katanya pelahan, sambil menarik pulang tangannya.</div><div>Lalu ia membalikan badannya dan mendahului meninggalkan anaknya. Lee Tie</div><div>seperti telah dipengaruhi oleh kata-kata tadi sudah balik kembali ke dalam Kuiin-</div><div>chung dan langsung masuk ke dalam kamarnya.</div><div>Dasar masih anak-anak begitu membaringkan tubuhnya, sebentar lagi</div><div>tertidurlah ia dengan tidak ingat suatu apa pula.</div><div>Pada esok harinya sampai siang sekali baru Lee Tie terbangun. Sinar matahari</div><div>telah lama masuk ke dalam kamarnya dan menyinari puncak guuang Kie-ling.</div><div>Bayangan yang menyeramkan semalam telah mulai menerjangnya. Ia lantas</div><div>lompat bangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia merasa suatu benda didalam</div><div>tangannya kiranya itu ada sebelah sepatu kecil peninggalan ibunya. ‘Bukankah</div><div>benda itu ada dalam kantongnya?’ Demikian pikirnya.</div><div>Ia merogoh ke dalam kantong dan betul saja sudah tidak ada, Lee Tie menjadi</div><div>heran, ia menggerutu sendirian.</div><div>“Siapakah yang telah mengeluarkannya? Atau semalam ada orang yang telah</div><div>masuk mengembalikanya? Tapi siapakah orangnya?"</div><div>Dibolak baliknya sepatu kain ini dan sepotong kertas kecil terdiatuh dari</div><div>dalamnya, dipungutnya kembali kertas kecil ini yang ternyata ada tulisannya</div><div>yang berbunyi.</div><div>“Simpanlah baik-baik sepatuh kecil yang dapat menandakan asal-usulmu sendiri</div><div>dan janganlah menyinggung-nyinggung soal ini kepada Lee Thian Kauw yang</div><div>mungkin dapat membunuh dirimu sendiri.”</div><div>Di bawah kiri tertulis.</div><div>“Bunga teratai dari Thian-san.”</div><div>Berulang kali Lee Tie menyebut kata tiga ini.</div><div>“Bunga teratai dari Thian-san ... Bunga teratai dari Thian-san.“</div><div>Baru sekarang ia tahu akan nama julukan ibunya sendiri, tapi mengapa ia</div><div>mendapat nama ini? Apa ibu bukan orang Kui-in-chung? Atau ia pernah</div><div>mengembara ke daerah Thian-san dan mendapat julukan ini? Betulkah ayah mau</div><div>membunuhku juga? Tapi aku lari kemana?" tanyanya pada diri sendiri.</div><div>Inilah bukannya kata-kata yang bergurau kepadanya karena ia masih dapat</div><div>mengenali akan tulisan ibunya. Dari ragu-ragu ia sudah menjadi takut dan</div><div>teringatlah akan tangan dingin sang ayah yang semalam telah menyentuhnya,</div><div>“Betulkah ayah mau membunuhku juga? Tapi mengapa?" pertanyaan-pertanyaan</div><div>ini tidak menemui jawaban. Saat itu kata-katanya Kiauw Kiu Kong telah</div><div>berkumandang kembali.</div><div>“Lee Thian Kauw tidak berada didalam kamar batu karena ia memang bukan</div><div>ayahmu.”</div><div>“Braaaaakk,” kepalannya Lee tie sudah memukul meja.</div><div>“Siapa yang percaya kepada kata-kata ini? Ayah mana yang dapat membunuh</div><div>anaknya sendiri?" ia telah ngedumel sendiri.</div><div>“Siuuuuuuuut,” Lee Tie telah lomoat melesat meninggalkan kamarnya sendiri, ia</div><div>berlari-larian di daerah Bong-san dengan tidak mempunyai arah tujuan sama</div><div>sekali. Tujuannya ia ingin menyendiri untuk menenangkan hatinya yang kalut. Ia</div><div>masih sukar untuk mengambil keputusannya sendiri, tinggal atau lari dari Kuiin-</div><div>chung?</div><div>Biarpun Lee Tie bukannya seorang anak yang takut mati, tapi keadaan yang</div><div>sekarang sedang dihadapinya memang tidak mudah untuk diatasi.</div><div>Sewaktu Lee Tie dalam keadaan serba salah ini mendadak dari arah depannya</div><div>ada mendatangi seorang kakek kurus yang memakai jubah putih, alis putih,</div><div>jenggot putih dan rambut putih.</div><div>Hatinya Lee Tie sudah menjadi tergerak, sambil mengulapkan tangan kecilnya ia</div><div>mulai meneriaki.</div><div>“Hei, Kakek putih, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu?”</div><div>Si Kakek putih menghentikan langkahnya, dengan sekali lompat Lee Tie sudah</div><div>berada di depan mukanya, “Kakek putih; jika ibu menyuruh lari dan ayah</div><div>menyuruh mati, jalan yang manakah yang harus kuambil?”</div><div>Si Kakek putih yang mendengar pertanyaan tidak ada juntrungannya ini sudah</div><div>tentu tidak mengerti. Sambil membuka kedua matanya yang tersimpan didalam</div><div>alis putihnya ia memandang sekian lama pada Lee Tie, baru menjawab sambil</div><div>menggoyang-goyangkan kepala putihnya.</div><div>“Hiduppun mati, matipun mati.”</div><div>Lalu ia membalikan arahnya dan berjalan pergi.</div><div>Lee Tie sudah lari mengikutinya Iagi, sambil menarik-narik baju putihnya ia</div><div>menanya lagi.</div><div>“Kakek putih jangan lari, kau harus memberi jalan dulu kepadaku yang sedang</div><div>mengalami soal sulit ini.”</div><div>Kakek putih menghentikan lagi langkahnya, dengan tertawa ia berkata.</div><div>“Yang menyuruh toh ayah ibumu sendiri? Jalan apa yang kudapat katakan?”</div><div>Lee Tie dengan sungguh-sungguh berkata.</div><div>“Bagaimana jika kukasihkan kepada kakek putih saja yang menentukannya?“</div><div>Si Kakek putih menjadi marah.</div><div>“Kau ini bocah memang tidak tahu diri, Mati hidupmu bukannya aku yang</div><div>menguasai mana dapat kau meminta kepadaku untuk menentukannya.”</div><div>Lalu dengan tidak menoleh-noleh lagi ia menerus perjalanannya ke arah</div><div>pegunungan di daerah Bong-san itu.</div><div>Lee Tie melihat bayangan putih si Kakek lenyap dibaliknya gunung dan menghela</div><div>napas panjang.</div><div>Ia tersadar dengan kata-katanya si Kakek putih yang mengatakan “Mati hidupmu</div><div>bukannya aku menguasai." Mati hidupnya seseorang memangnya seseorang saja</div><div>yang dapat mengusai, maka ia sudah dapat mengambil keputusannya.</div><div>“Aku akan tetap tinggal disini dan sebentar malam akan kutemui lagi si Kakek</div><div>pendek didalam Pekarangan terlarang untuk menanyakan kepadanya.”</div><div>Setelah dapat mengambil kepastiannya, hatinya menjadi lega dan tidak bersusah</div><div>lagi.</div><div><br /></div><div>Menjelang tibanya sang malam, setelah menunggu sampai dipukulnya kentongan</div><div>pertama, Lee Tie sudah mengarahkan langkahnya lagi ke tempatnya itu sumur</div><div>kematian di dalam pekarangan terlarang ayahnya. Saat itu Kiauw Kiu Kong</div><div>masih belum tiba, ia duduk numprah di bawah temboknya sumur kematian yang</div><div>tadinya sangat angker membangunkan bulu roma. Setelah sekian lama ia</div><div>menunggu dan tidak melihat kedatangannya Kiauw Kiu Kong, hatinya menjadi</div><div>tidak sabaran juga. Baru saja ia mau berjalan pergi atau tiba-tiba kupingnya telah</div><div>mendapat dengar suara tiupan seruling yang menyedihkan sekali, hatinya yang</div><div>tabah sudah dbikin tergetar juga karenanya.</div><div><br /></div><div>Suara seruling ini ternyata keluar dari sumur kematian yang berada di</div><div>sebelahnya.</div><div>Ia memperhatikannya suara seruling yang sedih ini. Diam-diam ia merasa heran</div><div>juga, mengapa keluarnya justru dari sumur yang sering meminta korban ini?</div><div>Apakah setan penasaran yang meniupnya?</div><div>Tapi Lee Tie tidak percaya dengan dongeng-dongengan setan, ia menjadi</div><div>termenung-menung memikirkannya.</div><div>Tiba-tiba ia dbikin kaget lagi dengan suara tertawa berkakakannya seseorang,</div><div>suara ini ada demikian, miripnya dengan suaranya Kiauw Kiu Kong yang telah ia</div><div>kenali. Tapi sewaktu dipikir kembali. seperti tidak masuk diakal sama sekali,</div><div>Kiauw Kiu Kong selalu menyelundup masuknya ke dalam Kui-in-chung, mana</div><div>gampang ia tertawa berkakakan seperti ini?</div><div>Suara tertawa berkakan itu datangnya bukan Dari arah sumur kematian dan</div><div>terdengar tidak lama karena seperti orangnya berjalan pergi dan kemudian tidak</div><div>terdengar sama sekali.</div><div>Lee tie menjadi penasaran dan tidak mau meninggalkan sumur kematian yang</div><div>penuh dengan keanehan ini, sebentar saja dua jam lagi telah dilewati.</div><div>Waktu itu tiba-tiba ia telah dibikin kaget oleh satu suara serak yang datangnya</div><div>dari arah belakangnya.</div><div>“Lee Tie, lekas datang kemari." Ia dengan cepat membalikan mukanya, tapi tidak</div><div>terlihat bayangan orang disana. Dengan memberanikan diri ia bertanya.</div><div>“Kau siapa?”</div><div>“Aku si tua pendek, lekas kau datang kemari!" Lee Tie segera enjot tubuhnya</div><div>melesat ke sana dan betul saja dibaliknya batu terlihat seorang pendek yang</div><div>sedang duduk numprah.</div><div>“Kakek pendek, mengapa baru sekarang kau datang kemari?”</div><div>Ia menanya seraya menghampiri ke dekatnya Kiu Kong. Tiba-tiba ia telah</div><div>menjerit kaget dan lompat kebelakang lagi.</div><div>“Kau bukan dia. Kau siapa? Setan atau manusia?”</div><div>“Lee Tie, apa kau menjadi heran kerena darah dimukaku? Lekas kemari dan</div><div>jangan takut lagi. Aku terluka parah karena terkena pukulannya orang, maka</div><div>tidak dapat bergerak menghilangkan darah ini." Lee Tie yang mendengar katakatanya</div><div>yang diucapkan dengan susah payah ini memang mirip sekali dengan</div><div>Kiauw Kiu Kong, lalu datang menghampiri dengan penuh perhatian ia menanya.</div><div>“Kakek pendek, siapakah orangnya yang telah memukulmu?”</div><div>Kiu Kong memaksakan dirinya untuk tertawa.</div><div>“Kecuali Lee Thian Kauw sudah tidak ada orang yang dapat melukaiku dengan</div><div>semudah ini."</div><div>Lee Tie menjadi heran.</div><div>“Apa? Ayahku yang telah memukulmu?”</div><div>Kiauw Kiu Kong memanggutkan kepalanya.</div><div>“Aku Kiauw Kiu Kong baru ini kali terjatuh dengan menyedihkan sekali.”</div><div>Lalu dengan sungguh-sungguh ia berkata lagi.</div><div>“Lee Tie, kau harus percaya kepadaku bahwa Lee Thian Kauw itu adalah seorang</div><div>iblis, seorang iblis yang berjubah manusia. Semua Tosu yang berada di dalam</div><div>Sam-ceng-koan digunung Oey-san telah habis terbunuh olehnya dan perhitungan</div><div>ini dengan sendirinya telah terjatuh ke atas pundakku.”</div><div>Lee Tie tertegun, kemudian seperti menjadi kalap ia berteriak.</div><div>“Tidak ... Tidak ... Kau bohong ... Kau bohong ... Aku akan segera pergi untuk</div><div>menanyakan sendiri kepadanya.”</div><div>Kiauw Kiu Kong menghela napas.</div><div>“Kau juga akan segera terbunuh di bawah tangannya.”</div><div>Lee Tie menjadi bergidik.</div><div>“Apa?" tanyanya.</div><div>“Kau hanya mencari mati saja jika sekarang datang kepadanya.”</div><div>“Mengapa?”</div><div>“Kau datanglah kemari dulu agar aku dapat perlahan-lahan menuturkan</div><div>kejadiannya kepadamu.”</div><div>Lee Tie menjadi ragu-ragu juga dan termenung ditempatnya. Kiauw Kiu Kong</div><div>Yang melihat keragu-raguannya sudah lantas mulai dengan penuturannya.</div><div>“Sedari waktu itu aku mengantarkan mayatnya si Tosu pengembara Jin Cun Bee</div><div>ke Sam-ceng-koan di gunung Oeysan. Lee Thian Kauw sudah menjadi takut dan</div><div>curiga kepadaku yang dapat membongkar rahasianya didalam sumur</div><div>kematiannya, maka ia segera pergi meninggalkan Kui-in-chung dan menyusul ke</div><div>tempat Sam-ceng-koan dan membunuhi bersih semua Tosu yang berada disana.</div><div>Ia masih belum puas sampai disini saja, dengan mengikuti jejakku ia ingin</div><div>membunuh aku juga.”</div><div>Lee Tie yang mendengar sampai disini sudah segera ingat akan bajunya sang</div><div>ayah yang kecipratan darah, maka dengan kurang lancar ia menanya.</div><div>“Rahasia apakah yang ada didalam sumur kematian ini? Apa gara-gara ini juga</div><div>yang telah memaksa ibuku meninggalkannya?”</div><div>“Apa? Ibumu telah meninggalkannya?"</div><div>Lee Tie memanggutkan kepalanya.</div><div>Kiauw Kiu Kong menghela napas, mulutnya kemak-kemik seperti berkata pada</div><div>dirinya sendiri.</div><div>“Sudah seharusnya si Bunga teratai dari Thiansan meninggalkannya.”</div><div>Tapi kemudian dengan mengarahkan pandangan ketempat Lee Tie ia menanya.</div><div>“Dan mengapa kau juga tidak turut kepadanya? Sesudahnya ibumu</div><div>meninggalkan Kui-in-chung, kini giliranmulah yang menjadi sasarannya.”</div><div>Lee Tie yang mendengar kata-katanya Kiauw Kiu Kong ini sama dengan apa yang</div><div>ibunya katakan sudah menjadi bergidik juga, tapi dengan mencoba</div><div>menenangkan hatinya ia berkata.</div><div>“Kakek pendek, aku masih tidak mengerti akan maksud kata-katamu!”</div><div>Kiauw Kiu Kong sampai lupa akan luka parahnya, dengan menyekal tangannya</div><div>Lee Tie ia berkata.</div><div>“Aku telah mengatakan bahwa Lee Thian Kauw itu bukan ayahmu kalau mau</div><div>tahu siapa ayahmu, orang yang meniup seruling didalam sumur ini adalah</div><div>ayahmu yang asli.”</div><div>Kemudian dengan menurunkan nada suaranya ia berkata.</div><div>“Tapi sayang ia sudah tidak berkaki lagi sehingga tidak dapat mengeluarkan ilmu</div><div>kepandaiannya.”</div><div>Sepasang matanya Lee Tie sudah dibuka dengan lebar-lebar; sambil berontak</div><div>dari cekalannya Kiauw Kiu Kong ia berjingkrak.</div><div>“Apa?”</div><div>Karena gerakannya Lee Tie yang terlalu besar ini telah menimbulkan getaran</div><div>hebat sekali, hingga menggoncangkan luka dalamnya Kiauw Kiu Kong lagi</div><div>dengan memuntahkan darah segar ia memejamkan matanya untuk mengatur</div><div>kembali penapasannya.</div><div>Lee Tie menjadi tidak enak hati melihat keadaan Kiauw Kiu Kong.</div><div>“Kakek pendek," katanya, “aku sangat berterima kasih kepadamu, tapi sekarang</div><div>sudah waktunya untuk aku pergi.”</div><div>Baru saja ia mau menggerakan badannya atau Kiauw Kiu Kong sudah membuka</div><div>kedua matahya dan berkata.</div><div>“Tunggu dulu.”</div><div>Sambil mengeluarkan semacam benda tembaga yang segera diserahkan kepada</div><div>Lee Tie ia berkata.</div><div>“Inilah tanda kepercayaanku yang telah banyak orang kenalinya baik-baiklah kau</div><div>menyimpannya. Jika kita sama-sama terhindar dari bahaya, sepuluh hari</div><div>kemudian kita dapat berjumpa didalam kota Lok-yang.”</div><div>Lee Tie sudah segera mengucapkan terima kasihnya dan ingin menemui ayahnya</div><div>tapi mendadak ia ingat akan sesuatu dan berkata.</div><div>“Kakek pendek apa kau tahu akan artinya “Sembilan tiang batu beterbangan</div><div>melewati puncak gunung?”</div><div>Kiauw Kiu Kong melengak, tapi tidak lama kemudian ia meneruskan katakatanya</div><div>Lee Tie.</div><div>“Butiran air sungai berkumpul menyaingi awan biru.”</div><div>Kata-katanya Kiauw Kiu Kong ini malah membingungkan Lee Tie saja. Maka</div><div>Kiauw Kiu Kong sudah segera memberikan penyelasannya.</div><div>”Inilah kata-kata yang diucapkan sewaktu melantik ketua baru Hoa-san-pay. Dan</div><div>hanya ketua Hoasan-pay saja yang boleh mengetahuinya."</div><div>Lee Tie yang mempunyai reaksi tajam sudah dapat menangkap kesalahannya</div><div>kata-kata ini dan menanya.</div><div>“Kakek pendek telah membohong kepadaku, Jika kata-kata ini hanya diketahui</div><div>oleh ketua partai saja mengapa kau juga dapat mengetahuinya?”</div><div>Kiauw Kiu Kong tersenyum puas.</div><div>”Betul. Memang tidak seharusnya aku dapat mengetahui kata-kata ini, tapi ketua</div><div>Hoa-san-pay yang ke-dua puluh lima Cie Gak telah memesan kepadaku untuk</div><div>mencari calon gantinya dan telah mengatakan kepadaku.”</div><div>Lee Tie yang mendengar kata-kata ini sudah menjadi kaget, dengan membalikan</div><div>badannya ia sudah segera melarikan dirinya.</div><div>Tapi Kiuw kui Kong sudah lantas meneriakinya.</div><div>“Lee tie kau balik kembali, jika ku tidak mau menghormati lagi kepadaku,</div><div>pergilah ... pergilah ke tempat mana yang kau sukai.”</div><div>Biarpun Lee Tie masih berumur kecil, tapi pikirannya telah dapat melebihi orang</div><div>dewasa, maka segera ia balik kembali dan menjura ke arahnya.</div><div>“Kakek pendek, aku tahu akan maksud baikmu tapi kau terlalu memandang</div><div>tinggi kepadaku.”</div><div>Kiuw kui kong tertawa, “Aku tidak salah melihat orang ... ”</div><div>Lalu dengan sungguh ia berkata, “ Lee Tie mulai hari ini kau telah diangkat</div><div>menjadi ketua partai Hoa-san-pay yang ke 26. tentang upacara penobatan boleh</div><div>diundurkan pada lain hari ... “</div><div>Tapi kata-katanya Kiauw Kiu Kong telah terputus karena saat itu secara tiba-tiba</div><div>telah terdengar suara tetawa dinginnya dari beberapa orang.</div><div>Kiauw Kiu Kong sudah tahu siapa mereka ini, maka ia tidak menjadi kaget</div><div>karenanya, dengan tertawa dingin ia berkata kepada mereka.</div><div>“Kalian ini enam orang durhaka apa masih tidak mengenal mundur juga? Jika</div><div>aku Kiauw-kui-kong tidak mati disini, hm, hm aku mau lihat apa kau orang satu</div><div>persatu dapat meloloskan diri dari sembilan hukumannya Hoa-san-pay?”</div><div>Lalu dengan memalingkan mukanya ke arah Lee Tie ia berkata, “ Lee Tie baikbaiklah</div><div>bawa dirimu sendiri.”</div><div>Dengan menggunakan semua kekuatan yang masih ada Kiauw Kiu Kong telah</div><div>mementalkan dirinya melewati tembok pekarangan terlarang untuk mengejar</div><div>mereka.</div><div><br /></div><div>Enam orang yang berada di luar melihat kegalakkannya Kiauw Kiu Kong masih</div><div>ada sudah berpencaran melarikan dirinya.</div><div>Kui-in-chung telah kembali menjadi gelap sebagaimana asalnya. Lee Tie</div><div>memandang ke arahnya langit gelap dan termenung di sana.</div><div>Tiba-tiba sinar merah mencorong tinggi di tengah-tengahnya Kui-in-chung,</div><div>lelatu api berterbangan dengan nyata sekali.</div><div>Lee Tie menjadi kaget, dengan beberapa kali loncatan saja ia telah berhasil</div><div>samapai di sana, ternyata ruangan persahabatan telah dimakan api. Ia segera</div><div>tersadar akan bahaya apa yang sedang menimpa Kui-in-chung, dengan membuka</div><div>mulut kecilnya ia berteriak-teriak memanggil orang-orangnya.</div><div>Tapi waktu itu panah berapi telah terlihat disana sini. sebentar saja Kui-in-chung</div><div>sudah penuh dengan api yang leloncatan menari-nari. Yang mengherankan ialah</div><div>meskipun api telah menjalar sampai sedemikian luasnya, tapi masih juga tidak</div><div>terdengar suara berisiknya orang yang menolong api.</div><div>Lee Tie terbelalak matanya dengan tidak dapat berbuat suatu apa, sebentar lagi</div><div>Kui-in-chung yang megah ini akan termusnah oleh lautan api. Tapi kemudian ia</div><div>menjadi tersadar dan berteriak-teriak lagi.</div><div>“Api ... api ... ”</div><div>Dengan menggunakan ilmu mengentengi tubuhnya ia telah berlari-larian menuju</div><div>ketempat kamar batu ayahnya. Tapi semakin ia lari hatinya menjadi semakin</div><div>heran, sebegitu jauh belum pernah ia menemukan salah satu orangnya, teriakanteriakannya</div><div>hanya berkumandang seorang diri saja.</div><div>Mendadak kakinya telah menyentuh sesuatu hampir saja membuat ia terjungkal</div><div>karenanya, ia menengokkan kepalanya dengan serta merta berteriak kaget..</div><div>“Aaaaaaaa ... ”</div><div>Ia menjadi ternganga melihat benda yang nyangkut kakinya tadi yang ternyata</div><div>tidak lain adalah tubuhnya salah satu penjaga ayahnya. Ia menjadi tersadar dan</div><div>mengerti mengapa tidak ada orang-orang yang menolong memadamkan api,</div><div>diperiksanya lagi keadaan di sekitar situ dan betul saja disana sini terlihat</div><div>menggeletak bergelimpangan mayat-mayatnya para penjaganya, termasuk juga</div><div>itu delapan pengawal rumah dua belas anak penjaga pintu yang berkepandaian</div><div>tinggi. Didalam Kui-in-chung kini hanya tinggal Lee Tie seorang diri tapi</div><div>perbuatan siapakah yang seganas ini? Jika menurut penuturannya Kiauw Kiu</div><div>Kong yang mengatakan bahwa ayahnya pernah pergi kegunung Oey-san dan</div><div>membasini bersih Tosu disana, itu ada benar, dengan sendirinya Lee Tie sudah</div><div>dapat menduga akan perbuatannya Lee Thian Kauw.</div><div>Lee Tie sudah merasa bimbang, dua kakinya mulai gemetaran, mulutnya dengan</div><div>terengah-engah menyebut.</div><div>“Aku tidak jadi menemuinya ... aku tidak jadi menemuinya ... ”</div><div>Tapi kemudian hati murninya berkata.</div><div>“Sekalipun aku mempunyai seorang ayah sebagai iblis, tapi harus menemuinya</div><div>juga. Aku harus menemuinya untuk penghabisan kalinya. Apa bedanya mati atau</div><div>hidup? Biarpun mati juga harus mati dengan terang.“</div><div>Betul juga Lee Tie sudah memajukan lagi langkah-langkahnya mendorong pintu</div><div>kamar batu ayahnya, dengan mudah ia sudah dapat mendorong pintu ini karena</div><div>memang tidak terkunci. Lampu pelita tidak dinyalakan, keadaan didalam</div><div>ruangan ada sangat gelap sekali.</div><div>“Ayah, A Tie datang melihatmu lagi.”</div><div>Tidak ada jawaban dari dalam kamar yang masih gelap gelita ini. Lee Tie menjadi</div><div>heran dan memikir.</div><div>“Apa ia tidak berada di dalam kamar lagi?”</div><div>Seperti patung hidup saja ia berdiri terpaku, betapapun besarnya perasaan</div><div>herannya namun diwajahnya sudah tidak terlihat rasa takutnya lagi,</div><div>dipandangnya ruangan yang gelap ini.</div><div>Mendadak badannya menjadi tergetar, dilihatnya di sebelah kiri depannya</div><div>terdapat dua sinar aneh yang mencorong ke arahnya. Diperhatikan lagi dua sinar</div><div>aneh ini, ternyata di dalam keadaan remang-remang itu terpeta merupakan dua</div><div>biji mata manusia, dari sinar pandangan mata ini ia juga seperti melihat wajah</div><div>ayahnya yang menyeramkan sekali, inilah satu wajah yang belum pernah</div><div>dilihatnya.</div><div>Wajah Lee Tie seketika lantas berubah, dengan tidak terasa ia bertindak mundur,</div><div>tapi tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin yang menyeramkan dari orang yang</div><div>berada di depannya yang memang Lee thian Kauw adanya.</div><div>“Kau datang lagi?”</div><div>Seluruh tubuh Lee Tie menjadi dingin semua, ia tidak tahu harus bagaimana</div><div>menjawab pertanyaan ayahnya ini. Dalam keadaan ragu-ragu ini, tangan kirinya</div><div>terasa sakit karena tercekal oleh satu cengkraman yang kuat.</div><div><br /></div><div>IV. SI “PUTIH KURUS” DARI BONGSAN</div><div><br /></div><div>LEE TIE dengan terhuyung-huyung maju kedepan, terasa badannya sudah</div><div>menjadi ringan sekali dan melayang membentur tembok batu.</div><div>Kepalanya terasa sudah menjadi pening, dengan memaksakan membuka kedua</div><div>matanya ia memandang ke arahnya Lee thian kauw yang kini sedang berhadaphadapan</div><div>muka dengannya dalam yarak yang dekat sekali.</div><div>Ia menahan getaran hatinya dan memanggil dengan suara yang pedih sekali.</div><div>“Ayah ... ”</div><div>“Hm ... ” Hanya suara ini yang telah dikeluarkan dari hidung sebagai jawabannya</div><div>Lee thian kauw yang telah berubah menjadi kejam. Sepasang sinar mata</div><div>setannya tetap memandang orang yang akan dijadikan mangsanya itu.</div><div>Lee tie sudah merasa tidak leluasa jika dipandangnya terus-terusan seperti ini,</div><div>maka ia mulai memecahkan kesunyian dan menanya, “ Menagapa ayah</div><div>memandangku secara ini?”</div><div>“Apa kau takut?” Lee thian kauw berbalik menanya.</div><div>Lee tie malah menjadi bertambah tabah, “Apa yang harus kutakuti? Biarpun</div><div>umpama betul kau bukannya ayahku, tapi aku juga tidak perlu merasa takut.”</div><div>Ia sudah menjadi sangat sedih dan menangis.</div><div>Tapi tiba-tiba Lee thian kauw sudah membentaknya.</div><div>“Jangan menangis, siapa yang mengatakan semua ini kepadamu? Jika kau tahu</div><div>aku bukannya ayahmu, mengapa masih mau datang juga?”</div><div>Lee tie menyusut air matanya, sambil coba menenangkan dirinya ia menjawab, “</div><div>Jika betul kau bukannya ayahku, siapakah kau sebenarnya?”</div><div>Lee thian kauw bertindak ke samping setindak, mukanya mulai menjadi tenang</div><div>kembali dan menanya, “Kau menyangka siapa sebenarnya aku ini?”</div><div>Lee Tie memutar-mutarkan bola matanya dan berpikir sebentar, lalu menanya.</div><div>“Apa bisa jadi kau sendiri yang telah membakar Kui-in-chung? Apa mungkin kau</div><div>juga yang telah membunuhi semua orang-orang yang berada disini?”</div><div>Lee Thian Kauw tidak menyangka Lee Tie dapat menanyakan soal ini, tapi seraya</div><div>memanggutkan kepalanya ia tertawa, “Boleh juga demikian kau</div><div>menganggapnya."</div><div>Tiba-tiba Lee Tie dengan keren membentaknya.</div><div>“Kau ini iblis yang berupa manusia, tidak mungkin aku mempunyai ayah seperti</div><div>kau ini.”</div><div>Wajahnya Lee Thian Kauw lantas berobah menjadi kejam lagi, dengan beringas</div><div>ditatapnya anak yang tabah ini.</div><div>Lee Tie mundur setindak menjauhkan diri dilihatnya Lee Thian Kauw masih</div><div>tetap tidak bergerak memandang ke arahnya. Hatinya sudah menjadi tergerak</div><div>dan mundur setindak lagi. Begitu merasakan badannya telah menempel pada</div><div>tembok batu, dengan mengempos tenaganya ia telah mencelat keluar dari kamar</div><div>batu itu.</div><div>Begitu tahu dirinya telah dapat keluar dari kamar batu yang penuh bahaya itu,</div><div>dengan tidak ayal lagi lantas meluncur pergi.</div><div>Tapi baru saja ia merasa lega atau kupingnya telah dapat mendengar</div><div>bentakannya Lee Thian kauw yang telah lewat mendahului.</div><div>“Kau masih mau lari kemana lagi?”</div><div>Lee Tie lantas mengeluh dan menjatuhkan dirinya. Sebentar saja ia sudah diseret</div><div>ke dalam kamar batu tadi. Saat itu ia malah sudah merasa tidak takut lagi dan</div><div>mengeluarkan bentakannya.</div><div>“Akan kau apakan aku disini?”</div><div>“Apa kau masih belum mengetahui?”</div><div>Lee Tie sudah lompat bangun berdiri.</div><div>“Apa kau juga mau membunuhku disini?" tanyanya.</div><div>Lee Thian Kauw diam-diam memuji akan ketabahan anak muda ini, tapi justru</div><div>karena inilah yang telah memaksa ia menurunkan tangan jahatnya kepada Lee</div><div>Tie.</div><div>”Membunuh disini? Siapa yang telah mengatakan kepadamu?" tanyanya seram.</div><div>”Kemarin ketika aku masuk kesini juga telah megetahui akan maksud busukmu</div><div>ini.” jawab Lee Tie gagah.</div><div>Lee Thian Kauw tertawa berkakakan, katanya.</div><div>“Jika betul-betul aku mau mengambil jiwamu, sudah sedari siang-siang kau tidak</div><div>dapat bernapas lagi. Harta benda Kui-in-chung yang tidak terhitung banyaknya</div><div>telah berada di dalam kamar batu ini, aku masih mengharap kepadamu untuk</div><div>dapat mewarisinya."</div><div>Tapi Lee Tie yang sudah menjadi demikian benci kepadanya malah meludah.</div><div>“Cis, siapa yang sudi akan harta benda haram.”</div><div>Tiba-tiba ia ingat akan katanya Kiauw Kiu Kong, ia berteriak keras. “Jika betul</div><div>kau telah membunuh ayahku sendiri. kaulah yang akan menjadi musuhku nomor</div><div>satu disini.”</div><div>Lee Thian Kauw tertawa tergelak-gelak, terdengar geramannya yang galak, “ Lee</div><div>Tie kau sendirilah yang mencari mati, dan jangan menyesalkan aku Lee Thian</div><div>Kauw yang telah menjadi lupa diri.”</div><div>Telapak tangannya dibuka mengarah dadanya si anak muda, satu serangan hawa</div><div>dingin mulai dilancarkan.</div><div>Tapi Lee Tie mana mau menerima mati dengan demikian mudahnya? Dengan</div><div>melesatkan kakinya ia sudah dapat menghindarkan serangan maut ini.</div><div>Lee Thian Kauw Teratawa berkakakan lagi, “ Lee Tie percuma saja kau</div><div>menghindarkan diri, karena akhirnya tetap kau akan mati juga dengan ilmuku</div><div>“Hawa asli dari luar dunia ini”.</div><div>Ia mengangkat pula tangannya, siap untuk menyerang dengan hawa dinginnya</div><div>lagi, tapi tiba-tiba dari luar pintu mencelat masuk satu bayangan putih yang</div><div>segera mengeluarkan suara jengekannya, “ Hmm ... ! tentu saja kau sebagai salah</div><div>satu dari si “sepasang orang aneh dari Thian-san” boleh saja mengatakan bahwa</div><div>“hawa asli dari luar dunia” ini bisa membikin orang tuati, tapi tidak seharusnya</div><div>digunakan untuk menghadapai bocah kecil ini.”</div><div>Lee Thian Kauw terkejut. Terpaksa ia menarik kembali telapak tangannya.</div><div>Lee Tie segera mengenali orang yang datang adalah si Kakek tua yang serba putih</div><div>tadi, maka mulutnya lantas berteriak memanggil, “Kakek putih ... ”</div><div>Tapi kata-kata ini telah terputus karena Lee Thian Kauw sudah mengeluarkan</div><div>bentakannya.</div><div>“Aku Lee Thian Kauw belum pernah mengganggu urusanmu “Setan Putih</div><div>Kurus”, sedari dulu Kui-in-chung belum pernah melanggar wilayahmu batu</div><div>kepala manusia, mengapa hari ini dengan secara tiba-tiba kau berani</div><div>mengacau?”</div><div>Tapi orang tua kurus yang serba putih ini tidak memperdulikan tegurannya,</div><div>sambil membungkukkan badannya ia menanya kepada Lee Tie dengan suara</div><div>yang perlahan sekali,</div><div>“Bocah apa kau masih kenal ke padaku?”</div><div>Lee Tie menganggukkan kepalanya.</div><div>“Kenal, kaulah orang yang kutemui di daerah Bongsan tadi.”</div><div>“Bagus,” orang tua serba putih itu memuji seraya menarik tangnnya Lee Tie</div><div>diajak keluar dari kamar batu itu.</div><div>Tapi tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan Lee Thian Kauw sudah menghadang</div><div>dengan tertawa dingin, “Hm, Hm ... apa kau “Setan Putih Kurus” dari Bongsan</div><div>mengira dapat gampang-gampang meninggalkan tempatku ini?”</div><div>Si orang tua serba putih menjadi marah, “Kui-in-chung dan batu kepala mnausia</div><div>tidak pernah bentrok, mengapa kau menghalang-halangi?”</div><div>Lee Thian Kauw tertawa dingin.</div><div>“Apa kau kira aku Lee Thian Kauw takut kepada ilmumu “Hawa murni dari dasar</div><div>dunia”.</div><div>Si orang tua serba putih masih tetap tidak mau meladeninya, tangannya yang</div><div>mencekal Lee Tie tadi sudah dikibaskan hingga membuat si anak muda</div><div>berjumpalitan pergi, si kakek berkata ke arahnya, “Bocah tolol, lekaslah kau pergi</div><div>dari sini.”</div><div>Lee Tie yang terpental jauh membalikkan kepalanya dan dilihtanya si kakek</div><div>putih sudah terkurung oleh serangan-serangannya Lee Thian Kauw yang dasyat</div><div>sekali, ia sudah menjadi kaget sekali dan meneriakinya, “Kakek Putih awas</div><div>dengan kaki kiri yang mendahului kaki kanan, menyingkir dari si kiri</div><div>membiarkan si kanan.”</div><div>Kakek Putih betul-betul sudah menurut kata-katanya Lee Tie tadi, ia selalu</div><div>menyerang ke arah sebelah kanannya Lee Thian Kauw yang memang dalam</div><div>keadaan kosong. Sebentar-saja Lee Thian Kauw sudah berbalik berada dipihak</div><div>yang terserang.</div><div><br /></div><div>Tapi si Putih begitu berhasil dengan desakannya bukannya terus menyerang lagi</div><div>malah berlompat mundur dan membentak kepada Lee Tie.</div><div>“Apa kau mau menunggu kematianmu disini?”</div><div>Saat itu Lee Thian Kauw yang diberi kesempatan sudah maju lagi, ia sudah</div><div>merobah ilmu silatnya dengan ilmu silatnya Hoa-san-pay yang diberi nama</div><div>“pukulan menaklukkan langit” dan ia mengeluarkan tiga pukulannya yang</div><div>terakhir yang bernama menjambak langit” menanya dan “menerobos langit”.</div><div>Kakeh Putih sudah menjadi kelabakan lagi menghadapi perubahan serangan Lee</div><div>Thian Kauw, dengan menggunakan kegesitan tubuhnya ia hanya dapat lompat ke</div><div>sana sini menghindarkan serangan-serangan yang datang bertubi-tubi.</div><div>Hatinya Lee Tie telah tergerak, jika ia tetap tinggal disitu saja, sukarlah untuk</div><div>Kakek putih menyingkirkan diri. Maka ia sudah berteriak kepadanya.</div><div>“Kakek Putih, aku akan jalan duluan." Dengan menggunakan ilmu mengentengi</div><div>tubuhnya sudah meninggalkan dua orang yang sedang enak berantam itu.</div><div>Baru saja ia berjalan tidak lama, dilihatnya disana telah tersedia seekor kuda</div><div>merah komplit dengan pelananya, dengan tidak memperdulikan kuda itu</div><div>kepunyaannya siapa lagi ia sudah cemplak dan dikaburkan ke arah Utara.</div><div>Kuda merah ini dapat berlari dengan cepat sekali. sebentar saja Kui-in-Chung</div><div>sudah dapat ditinggalkan jauh di belakang dan tidak terlihat sama sekali. Kini ia</div><div>sudah berada diluar daerah Bong-san yang tidak mudah untuk dikejar oleh Lee</div><div>Thian Kauw.</div><div><br /></div><div>Lee Tie tiba-tiba telah teringat akan kata-katanya Kiauw Kiu Kong yang telah</div><div>menjanjikan padanya untuk bertemu lagi didalam kota Lok-yang.</div><div>Sedari kecil belum pernah ia meninggalkan Kui-in chung. Biarpun sering</div><div>mendengar disebutnya nama kota ini, tapi tentang letak dan jalan yang menuju</div><div>ke sana masih belum diketahuinya sama sekali.</div><div><br /></div><div>Waktu saat itu lewat jam lima pagi, hawa udara segar, Tadi karena harus</div><div>menguatirkan pengejarannya, Lee Thian Kauw, ia sampai melupakan diri dan</div><div>membiarkan sang kuda lari dengan semaunya sendiri, tapi sekarang sewaktu</div><div>dipikirnya lagi, kedatangan kuda merah ini ada sangat mencurigakan sekali.</div><div>Kui-in-chung yang boleh dikatakan sudah menjadi satu perkampungan mati,</div><div>hampir tidak terdapat makluk hidup lagi disitu. Dari manakah datangnya kuda</div><div>merah yang sebagus ini?</div><div>Setelah larikan kudanya sebentar lagi, waktupun telah menjadi pagi. Di depan</div><div>dari kejauhan sudah mulai terlihat bayangannya sebuah kota. Hatinya Lee Tie</div><div>sudah menjadi gembira sekali.</div><div>“Inikah kota Lok-yang?” ia menanya pada dirinya sendiri.</div><div>Hatinya berdebaran keras, pada waktu itu terlihat dari arah depannya debu yang</div><div>mengepul naik, tiga ekor kuda yang berwarna kuning, hitam dan putih dilarikan</div><div>berendeng mendatangi ke arahnya.</div><div>Sebentar saja tiga ekor kuda itu telah tiba di hadapannya, matanya Lee Tie</div><div>menjadi bersinar kagum melihat tiga penunggangnya juga mengenakan pakaian</div><div>yang mempunyai warna sama dengan masing-masing kudanya.</div><div>Umur mereka rata-rata tidak berbeda jauh dengannya, hanya saja karena mereka</div><div>ada menyoren pedang yang telah membuat lebih keren dilihatnya.</div><div>Lee Tie segera menyingkir kesamping untuk memberi lewat pada mereka. ia</div><div>tidak suka kepada mereka yang berlaku sedikit angkuh-angkuhan.</div><div><br /></div><div>Tapi memang urusan sukar untuk dihindarkan begitu saja, penunggang kuda</div><div>kuning, hitam dan putih ini begitu sampai didepannya lantas menahan kuda</div><div>mereka, terlihat si pemuda baju hitam yang pertama membuka mulutnya. “Hei,</div><div>kau datang dari mana?”</div><div>Lee Tie menjadi heran, jawabnya. “Kota apakah ini? Apakah mengharuskan</div><div>orang yang mendatanginya kudu melaporkan asal usulnya dahulu?”</div><div>Sikapnya Lee Tie yang agak ketolol-tololan ini membuat si pemuda berbaju putih</div><div>tertawa.</div><div>“Aku yang melihat ia tidak menyoren pedang sudah tahu bahwa pertanyaannya</div><div>saudara Yie tadi ada percuma saja.”</div><div>Si pemuda berbaju kuning malah lebih menghina lagi.</div><div>“Lihat saja tingkah lakunya, biarpun ia juga mengenakan pakaian yang terbuat</div><div>dari sutera, tapi biar bagaimana juga masih tidak dapat meninggalkan sifat</div><div>dusunnya.”</div><div>Tiga pemuda itu sudah sama-sama tertawa dan meninggalkannya. Lee Tie meski</div><div>merasa terhina tapi ia hanya diam saja tidak meladeninya.</div><div>Lee Tie turun dari kudanya dan membiarkan ia makan rumput.</div><div>Baru saja tiga penunggang kuda yang bersikap jumawa tadi berlalu</div><div>meninggalkannya, dari arah datangnya mereka tadi telah mendatangi lagi lain</div><div>orang.</div><div>Hampir saja Lee Tie tidak tahan untuk menahan tertawanya melihat</div><div>kedatangannya orang yang belakangan ini.</div><div>Umurnya orang yang baru datang ini mendekati setengah abad, tapi masih</div><div>memakai pakaiannya seorang pelajar yang sudah penuh dengan kotoran minyak</div><div>yang tidak dicuci-cuci. Dipinggangnya orang ini juga tersoren sebilah pedang,</div><div>tapi pedang ini merupakan pedang tumpul yang tidak ada ujung tajamnya.</div><div>Bahkan tidak disarungi juga olehnya, sehingga terlihatlah dengan nyata seperti</div><div>pentung karatan saja.</div><div>Binatang tunggangannya juga istimewa, karena ia memilih kalde pendek yang</div><div>mempunyai kaki pincang sebelah, dengan keteklak-ketekluk terpincang-pincang</div><div>kalde itu lari.</div><div>Si pelajar tua begitu sampai di hadapannya Lee Tie sudah dapat melihat sikapnya</div><div>si anak muda yang hendak mentertawainya, tapi ia tidak menjadi marah</div><div>karenanya bahkan tertawa terbahak-bahak dan berkata. “Si setan ‘“Putih Kurus”’</div><div>dari Batu Kepala Manusia memang tidak percuma mempunyai mata, tepat sekali</div><div>jika pilihannya telah terjatuh ke atas dirimu. Apa itu Lok-yang Kong-cu, Kimleng</div><div>Kong-cu atau Kang-lam Kong-cu? Siapa diantara mereka yang dapat</div><div>menyaingimu!”</div><div><br /></div><div>Lee Tie menjadi heran dan tidak mengerti dengan kata-katanya ini, baru saja ia</div><div>mau menanya atau telah keburu didahului olehnya. “Apa si Setan dari Bong-san</div><div>itu masih baik-baik saja Kepandaiannya “Hawa murni dari dasar dunia” apa juga</div><div>telah diturunkan kepadamu?”</div><div><br /></div><div>Lee Tie sudah dapat menduga bahwa orang yang disebut “Setan dari Bong-san”</div><div>atau “Setan Putih Kurus” dari Batu kepala Manusia” itu tentu si kakek kurus yang</div><div>serba putih, maka dengan cara yang hormat ia menjawabnya ,”Kakek Putih</div><div>masih sehat sebagaimana biasa tapi ia tidak pernah memberikan sesuatu</div><div>kepandaian apa-apa.”</div><div>Si pelajar tua seperti tidak percaya, terdengar teriakannya.</div><div>“Apa? Ia tidak pernah menurunkan kepandaiannya kepadamu? Dengan cara</div><div>bagaimana kau dapat mengalahkan semua Kong-cu disini?”</div><div>Lee Tie lebih-lebih menjadi heran lagi.</div><div>“Mengapa harus mengalahkan semua Kong-cu disini?”</div><div>Tidak henti-hentinya si pelajar tua ini menggeleng-gelengkan kepalanya.</div><div>“Ooooooo ... Ia bukannya datang untuk mengikuti pertandingan Tong-tu-sanchung</div><div>diluar kota Lok-yang. Ia bukannya ahli warisnya si Setan putih ... Tapi</div><div>mengapa ia dapat menaiki kudanya merah “Darah buntut dua? ... Heran ... heran</div><div>... ”</div><div>Lebih lucu lagi keadaannya si pelajar tua ini yang sedang mengoceh sendirian</div><div>dengan masih tetap menggeleng-gelengkan kepalanya.</div><div><br /></div><div>BERSAMBUNG...</div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-33348195461075112842011-09-29T18:34:00.000-07:002011-09-29T20:28:55.684-07:00SERULING KUMALA (1)<a href="http://2.bp.blogspot.com/-yLk9x_gIyks/ToU3APnaBGI/AAAAAAAAB5k/crrv69ko51I/s1600/Seruling%2BKumala.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 243px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-yLk9x_gIyks/ToU3APnaBGI/AAAAAAAAB5k/crrv69ko51I/s320/Seruling%2BKumala.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5657988984192238690" /></a><div><b>Karya : Chin Yung</b></div><div><b>Jilid 01</b></div><div><b><br /></b></div><div><b>Tongkat Rantai Kumala (Kim Lan Phay)</b></div><div><br /></div><div>MALAM gelap telah membuat batu aneh yang berupa kepala manusia di</div><div>puncaknya gunung Kie-ling di daerah Bong-san berobah seram tampaknya</div><div>seolah-olah setan penunggu disitu yang selalu siap mau menerkam mangsanya.</div><div>Mendadak terdengar siulan panjang seperti orang yang meminta pertolongan</div><div>telah memecahkan kesunyian, dari sela-sela pegunungan terlihat seorang Tosu</div><div>imam sedang lari ke arahnya puncak gunung Kie-ling dengan kecepatan yang</div><div>luar biasa.</div><div><br /></div><div>Tosu yang bermuka kurus dan pucat ini begitu sampai di atas puncaknya gunung</div><div>Kie-ling sudah segera mengeluarkan Rantai Kumala hitamnya dan menotol mata</div><div>kirinya batu aneh berkepala manusia tadi sambil berkata.</div><div>“Cie Gak dari Cee-thian-koan digunung Hoa-san datang untuk menemui Bongsan</div><div>Supek.”</div><div><br /></div><div>Setelah berulang kali ia meneriakinya masih tidak mendapat jawaban juga,</div><div>sambil menghela napas ia berdiri menjublek.</div><div>Saat itu kupingnya mendadak telah mendengar tertawa dingin dari beberapa</div><div>orang, dengan cepat ia membalikkan kepalanya dan dilihatnya di belakang</div><div>dirinya ada berdiri enam orang sutenya (adik seperguruan).</div><div>“Sute!" ia berseru memanggil.</div><div>Jawabannya ...?</div><div>Segera ia merasakan adanya sambaran angin dingin yang mengarah dirinya,</div><div>enam orang tadi dengan berbareng menyerang padanya.</div><div>Mereka telah mencar menjadi dua rombongan dengan beringas mereka</div><div>mengawasi kepadanya. Ia tidak berdaya dan menggigil karena gusarnya.</div><div>Mukanya dari pucat pasi telah berobah menjadi biru, sambil mengangkat tinggi</div><div>Tongkat Rantai Kumalanya, ia membentak.</div><div>“Biarpun kalian tidak mengakui aku sebagai ketua partai lagi, tapi terhadap</div><div>Tongkat Rantai Kumala yang menjadi pusaka partai kita ini apa kalian masih</div><div>tidak menaruh hormat juga?”</div><div>Baru saja ia selesai mengucapkan kata-katanya atau suatu gelombang angin</div><div>pukulan telah mendaparnya, tangan kanannya telah tergetar dan tongkat Rantai</div><div>Kumalanya terlepas dari cekalannya.</div><div><br /></div><div>Enam orang yang mengurungnya itu tiba-tiba menjadi kaget dan tidak</div><div>meneruskan serangannya karena dari atas batu aneh berkepala manusia tadi</div><div>telah lompat turun seorang tinggi besar yang telah menutup seluruh mukanya</div><div>dengan kerudung kain hitam dan sudah mendahului mereka merampas Tongkat</div><div>Rantai Kumalanya yang mengandung rahasia.</div><div><br /></div><div>Tongkat Rantai Kumala yang terdiri dari tujuh untai kumala hitam yang</div><div>disambung-sambung menjadi satu itu adalah tongkat pusakanya Hoa-san-pay</div><div>yang telah menyimpan semua kepandaian ilmu silat partainya.</div><div><br /></div><div>Tongkat ini turun temurun terjatuh ke dalam tangannya ketua partai mereka dan</div><div>akhirnya sampailah ke dalam tangannya Cie-Gak sebagai ketuanya yang baru.</div><div>Tapi baru saja ia menjabat ketua partainya, karena kepandaiannya yang kurang</div><div>sempurna, sehingga terjadi perpecahan dalam partai, dan menyebabkan ia</div><div>dikejar-kejar oleh enam orang sutenya hingga akhirnya ia lari ke atas gunung</div><div>Kie-ling yang menyeramkan ini.</div><div><br /></div><div>Sesaat kemudian hanya terdengar ketawa dinginnya seorang tinggi besar tadi dan</div><div>lenyaplah tongkat pusaka Hoa-san-pay yang mengandung rahasia itu.</div><div>Kejadian yang tak diduga ini telah membuat enam orang yang tadi mengejarngejarnya</div><div>menjadi melenggak, dengan hampir berbareng mereka membentak</div><div>dan meninggalkan Cie Gak yang tidak berdaya untuk mengejar orang tinggi besar</div><div>tadi turun dari puncak gunung Kie-ling.</div><div><br /></div><div>Sekarang hanya ketinggalan Cie Gak si ketua Hoa-san-pay yang menyandarkan</div><div>dirinya di bawah batu aneh berkepala manusia, dengan lesu ia menghela nafas</div><div>dan berkata sendirian, “Nama harumnya Hoa-san-pay habislah di bawah</div><div>tanganku yang tidak berguna ... ”</div><div><br /></div><div>Lalu perlahan-lahan menujukan langkahnya ke ujung tebing.</div><div>Tapi baru saja ia berjalan beberapa tindak atau di belakangnya sudah ada orang</div><div>yang mendatangi ke arahnya lagi, dengan cepat ia membalikan mukanya dan</div><div>terlihat olehnya seorang tua pendek dengan rambutnya yang awut-awutan</div><div>sedang memandang ke arahnya. Begitu melihat siapa orang tua pendek ini, ia</div><div>sudah segera memberikan hormatnya dan berkata, “ Kiauw supek kau telah</div><div>datang terlambat hingga Tongkat Rantai Kumala sudah dirampas orang.”</div><div>Si orang tua pendek menjadi kaget, mendadak ia lompat maju kedepan mencekal</div><div>pergelangan Cie Gak, sambil menggoyang-goyangkannya ia sudah membentak</div><div>kepada ketua Hoa-san-pay yang seperti sudah tidak bertenaga ini.</div><div>“Bagaimana Tongkat Rantai Kumala dapat dirampas? Lekas ceritakan jalannya</div><div>kejadian.”</div><div><br /></div><div>Cie Gak dengan air mata bercucuran telah menceritakan bagaimana kejadian</div><div>yang baru saja dialaminya.</div><div>Orang tua pendek tadi mendadak melepaskan cekalannya karena Cie Gak sudah</div><div>berontak meloloskan dirinya dan berkata dengan suara berduka, “Karena ini, Cie</div><div>Gak mana ada muka untuk berkecimpung di dunia Kang-ouw lagi?”</div><div>Lalu ia melesat setinggi tiga tombak dan menerjunkan dirinya ke dalam jurang</div><div>yang curam, dari puncaknya gunung Kie-ling yang masih diliputi oleh kegelapan</div><div>itu.</div><div><br /></div><div>Ketua partai Hoa-san turunan yang ke-dua puluh lima dengan cara ini telah</div><div>menamatkan riwayatnya sendiri dan telah menjadi buah tutur orang-orang</div><div>selama tiga tahun lamanya.</div><div><br /></div><div>I. SUMUR KEMATIAN</div><div><br /></div><div>WAKTU telah menjelang pagi, bunyi lonceng yang dipukul tidak henti-hentinya</div><div>telah menggema di Kui-in-chung, perkampungan Kui-in di bawah puncak</div><div>gunung Kie-ling di daerah Bong-san.</div><div><br /></div><div>Kemudian ribuan burung dara putih mulai menerjang awan dan terbang pergi</div><div>seolah-olah mau menutupi Kui-in-chung dari bunyi lonceng yang dibunjikan</div><div>demikian pagi itu.</div><div><br /></div><div>Inilah lonceng “Dara Putih”, yang ditabuh sambil melepaskan ribuan burung</div><div>dara putih sebagai tanda Kui-im-chung dilanda bahaya.</div><div>Lebih dari tiga ribu tamu yang menginap di Kui-in-chung sudah menjadi tidak</div><div>mengerti mendengar dipukulnya lonceng “Dara Putih” tidak henti-hentinya. Soal</div><div>apakah yang telah menggetarkan Kui-in-chung.</div><div><br /></div><div>Para tamu yang tersebar luas di sekitar perkampungan itu sudah mulai pada</div><div>keluar dari masing-masing tempat menginapnya dan menuju ke suatu tempat</div><div>berkumpul yang dinamai “Ruangan-persahabatan”. Sebentar saja seluruh</div><div>ruangan-persahabatan ini sudah penuh dengan bermacam-macam orang, tidak perduli Tosu atau Hweshio, orang gemuk atau kurus, berpakaian tani, atau nelayan dan sampai pengemisnya juga tidak ada satu yang berani membuka suaranya. Dari wajah mereka telah terlihat</div><div>akan kebingungannya, mereka sedang menanti-nanti kedatangannya pemilik</div><div>Kui-in-chung si “orang dermawan” Lee Thian Kauw.</div><div><br /></div><div>Tidak lama, lonceng dipukul lagi kedua kalinya, tampak dua belas anak penjaga</div><div>pintu dengan pakaian yang seragam memasuki ruangan-persahabatan dan</div><div>berbaris membuka jalan dengan tindakan yang rapih sekali. Setelah dua belas</div><div>anak penjaga pintu tadi masuk disusul lagi dengan delapan pengawal rumah</div><div>yang mendahului dan berdiri di depannya dua belas anak penjaga pintu tadi.</div><div>Para tamunya Kui-in-chung tahu sesudahnya mereka tentu muncul lagi empat</div><div>pengurus kampungnya dan yang terakhir baru masuk si Orang dermawan Lee</div><div>Thian Kauw yang menjadi majikan mereka.</div><div><br /></div><div>Tapi setelah ditunggu-tunggunya sekian lama masih belum muncul juga Kim,</div><div>Phang, Lauw, dan Kui yang bertugas empat pengurus kampung. Diantara tiga</div><div>ribu tamu disitu sudah ada yang mulai menduga-duga, di ruangan persahabatan</div><div>itu sudah mulai terdengar mendengungnya suara kasak kusuknya mereka.</div><div>Dan pada waktu inilah lonceng telah dipukul untuk ketiga kalinya, ini kali suara</div><div>lonceng ada sedikit berbeda, ia tidak dipukul sekeras tadi, tapi terlebih lama</div><div>menggemanya di angkasa. Bunyinya seolah-olah pada ada mengandung</div><div>kesedihan, hingga para tamu rata-rata melongo karenanya.</div><div><br /></div><div>Suasana di dalam ruangan persahabatan telah menjadi berubah seperti</div><div>dirundung malang, muka mereka pucat, perasaaan mereka tegang. Dalam hati</div><div>mereka semua berpikir,</div><div>“Apa sumur kematian mulai meminta korbannya lagi?”</div><div>“Katanya empat orang sudah menjadi korbannya lagi?</div><div>“Siapa?”</div><div>Sewaktu mereka sedang repot memikirkan, mendadak terdengar satu suara yang</div><div>memecah keramaian.</div><div>“Cungcu telah tiba.”</div><div>Para tetamu pada mengunjuk hormatnya.</div><div>Terlihat seorang bermuka putih dengan badannya yang tinggi besar tegap sedang</div><div>berjalan dengan gagahnya. Di belakangnya orang ini terdapat seorang anak lakilaki</div><div>yang mengikutinya, usianya kira-kira empat belas tahun.</div><div>Sebagaimana biasanya, para tetamu sudah mulai dengan pekikan nyaringnya</div><div>lagi, tetapi mendadak orang tadi sudah mengulapkan tangannya mencegah</div><div>perbuatan mereka sekalian. Setelah mana ia menoleh ke belakang dan</div><div>menggapai ke arah ke empat orang pengikutnya.</div><div>Ke empat orang termaksud lantas datang menghampiri delapan pengawal</div><div>rumah, di tangannya membawa peti merah yang kemudian diletakkan di</div><div>hadapan mereka.</div><div><br /></div><div>Para tetamu menjadi semakin heran lagi.</div><div>“Mengapa Kim, Phang, Lauw, Kui, keempat pengurus kampung disini masih</div><div>belum kelihatan datang juga?” Demikian dalam hati mereka bertanya-tanya.</div><div>Orang berbadan besar tadi matanya menyapu ke arah para tamu lainnya, dengan</div><div>mencoba tertawa ia berkata.</div><div><br /></div><div>“Aku yang rendah disini menghaturkan maaf sedalam-dalamnya, karena telah</div><div>mentelantarkan para tamu sehingga menunggu sekian lamanya.”</div><div>Tiga ribu tamu dengan hampir serentak menjawab.</div><div>“Mana bisa kami sesali? Kami sudah cukup berterimakasih pada Chungeu yang</div><div>telah memelihara kami.”</div><div><br /></div><div>Setelah berkata para tamu sudah pada mengunjuk hormatnya kepada Chungeu</div><div>dari Kui-in-chung itu.</div><div>Pada waktu ini diantara tamu-tamu tadi telah terdengar suaranya seorang yang</div><div>tertawa terbahak-bahak.</div><div>“Kui-in-chung dari daerah Bong-san telah terkenal lama, tidak tahunya hanya ini</div><div>saja yang dipertunjukkan? Aku si tua pendek tidak dapat melihatnya lagi sampai</div><div>disini saja aku mohon berlalu.”</div><div><br /></div><div>Semua orang segera menujukan pandangan matanya ke arah suara tadi dari</div><div>dilihatnya seorang tua pendek dengan rambutnya yang awut-awutan sudah mulai</div><div>mau meninggalkan Ruangan-persahabatan dengan mulut masih mendumel</div><div>terus.</div><div><br /></div><div>Di dalam ruangan itu juga ada enam pasang mata kejam yang sedang melihatnya</div><div>secara sembunyi, tapi dalam hati mereka diam-diam pada mengeluh.</div><div>“Celaka, jika ia juga turut datang ke sini ... ”</div><div>Si Orang dermawan Lee Thian Kauw tidak nyangka sama sekali si orang tua</div><div>pendek itu bisa berkata demikian, mula-mula memang membuat ia gusar, cepat</div><div>sudah dapat menunjukan senyumannya lagi dengan suara yang nyaring ia</div><div>berkata.</div><div><br /></div><div>“Inilah memang kesalahanku yang rendah, harap saudara suka menahan dulu</div><div>langkah yang diambil secara terburu-buru.”</div><div>Orang tua pendek tadi mendengar kata-kata ini lantas menghentikan langkahnya</div><div>dan tertawa.</div><div>“Nama besarnya Lee Thian Kauw memang tidak percuma, aku si tua pendek</div><div>sesungguhnya merasa sangat kagum. Tapi, Lee Thian Kauw, mengapa kau</div><div>memukul lonceng tanda kesedihan dalam perkampunganmu?”</div><div>Lee Thian Kauw anggukkan kepalanya, dengan sungguh-sungguh ia berkata.</div><div>“Lonceng itu hanya dipukul untuk mengumpulkan orang-orang dari</div><div>perkampungan kami bila dilanda bahaya ... ”</div><div><br /></div><div>Sampai disini ia telah menghentikan katanya sejenak, kemudian dengan</div><div>bercucuran air mata meneruskan lagi ceritanya, “Para saudara yang datang dari</div><div>jauh mungkin tahu bahwa Sumur kematian di Pekarangan terlarang sudah mulai</div><div>meminta korbannya lagi. Hanya waktu semalaman saja. Kim, Phang, Lauw, Kui</div><div>yang menjadi pengurus kampung kami yang sudah terkenal akan kepandaiannya</div><div>telah terbinasa semua.”</div><div><br /></div><div>Ruangan persahabatan sudah menjadi sepi karena tidak ada yang bicara, tiga</div><div>ribu muka sudah menjadi berubah mendengar ceritanya.</div><div>Terlihat Lee Thian Kauw sudah mengulapkan tangannya lagi memanggil empat</div><div>pengiringnya yang membawa peti merah tadi. Mereka sudah maju dan membuka</div><div>tutupnya peti. Kini telah terbentang di hadapannya tiga ribu tamu tadi satu</div><div>pemandangan yang mengerikan sekali, empat kepala manusia sudah tidak dapat</div><div>dikenalinya lagi adalah isinya peti merah tadi.</div><div><br /></div><div>Tapi herannya si orang tua pendek tadi yang melihat ini malah menjadi tertawa.</div><div>“Lee Thian Kauw, janganlah kau menjual obat disini, apa hanya dengan empat</div><div>kepala orang kau sudah dapat membikin sudah urusan sampai disini?"</div><div>Kata-kata ini telah mengagetkan lagi semua orang, semua masih tidak mengerti</div><div>akan maksud sebenarnya kata-katanya ini. Waktu itu salah satu orang yang tidak</div><div>dapat menahan sabarnya sudah bertanya.</div><div><br /></div><div>“Mendengar kata-katamu ini, apa kau telah mengetahui urusan ini? Dan</div><div>beranilah masuk ke dalam sumur kematian?”</div><div>Orang tua pendek itu mendelikan matanya, dengan nyaring ia menjawab.</div><div>“Apa? Kau berani menghina aku? Pernahkah aku takut kepada sesuatu?”</div><div>Melihat kegalakannya orang tua pendek ini, si penanya tadi lantas robah</div><div>sikapnya, ia coba membaiki.</div><div><br /></div><div>“Aku harus memuji kepada kau si orang tua yang masih mempunyai keberanian.”</div><div>Orang tua pendek itu lalu tertawa bergelak-gelak, sambil memandang ke arahnya</div><div>anak kecil yang berdiri disebelahnya Lee Thian Kauw ia memuji didalam hati.</div><div>“Anak ini dengan bakatnya yang sedemikian bagus, jika bisa mendapat</div><div>didikannya orang ternama tidak sukar untuk menjadikan ia sebagai bintangnya</div><div>dunia Kang-ouw.”</div><div><br /></div><div>Pada parasnya Lee Thian Kauw yang kaku tidak terlihat perobahan apa juga,</div><div>hanya matanya tampak bersinar tajam.</div><div>Orang tua pendek itu seperti telah tergerak hatinya, ia balas memandangnya, dua</div><div>pasang sinar mata kebentrok menjadi satu dan mengalihkan lagi pandangannya.</div><div>Masing-masing telah mengerti sendiri siapa yang menjadi lawannya.</div><div>Orang tua pendek itu menganggukkan kepalanya, diam-diam dalam hatinya</div><div>berkata.</div><div><br /></div><div>”Dengan persahabatan mengundang tamu? Hanya membaca buku pengetahuan</div><div>sebagai ilmu? Chung-cu dari Kui-in-chung ini kiranya mempunyai ilmu</div><div>kepandaian silat yang sukar diukur. Hm, hm, ... Apa bisa jadi ia adanya?”</div><div>Memikir sampai disini dengan tidak terasa sudah mengeluarkan senyuman</div><div>ewanya, tapi untuk menutupi kecurigaan orang ia sudah tertawa.</div><div>Lee Thian Kauw sudah mengerutkan alisnya dan menanya.</div><div><br /></div><div>“Dapatkah aku mengetahui siapa nama besar saudara? Dan jika aku tidak salah</div><div>saudara tentu mempunyai nama terkenal juga dikalangan Kang-ouw. Tahukah</div><div>saudara, sumur kematian di Pekarangan terlarang dalam Kui-in-chung ini telah</div><div>lama terkenal? Setiap tahun tentu ia akan meminta korbannya dengan</div><div>mengambil salah satu kepala orang dari perkumpulan kami yang ditaruh</div><div>dipinggiran sumur, sedari dahulu belum pernah kami melihat putusan tubuhnya</div><div>dari sikorban yang entah lenyap kemana. Dan kepada siapa saja yang berani</div><div>memasukinya tidak ada satupun yang dapat terhindar dari bahaya ... ”</div><div>Lee Thian Kauw dapat bercerita dengan sedemikian lancarnya dan telah</div><div>mendapat perhatian yang sepenuhnya dari para tamunya. Hanya si orang tua</div><div>pendek saja yang menyengir menunjukan giginya, sambil bertepuk tangan ia</div><div>berkata.</div><div><br /></div><div>“Ha, apa betul demikian terjadinya? Inilah satu peristiwa yang mengherankan</div><div>sekali.”</div><div>Lee Thian Kauw mukanya merengut.</div><div>“Biarpun betul ada orang yang beruntung dapat naik kembali ke atas sumur, tapi</div><div>tidak dapat memeperthanakan nafasnya sampai tiga langkah dan jatuh</div><div>menggeletak untuk tidak dapat bangun lagi.”</div><div>Berkata sampai disini ia berdehem untuk membetulkan suaranya, kemudian</div><div>dengan menurunkan nadanya dan perlahan-lahan meneruskan ceritanya.</div><div>“Tidak disangka kali ini ada giliran empat pengurus kampung kami yang</div><div>kepandaiannya bukannya sembarangan yang menjadi korban! Mereka sudah</div><div>lama bekerja untuk kepentinganku dan akhirnya harus menerima kematiannya</div><div>yang sangat penasaran ini. Bagaimana aku tidak menjadi bersedih karenanya?"</div><div>Lalu dengan meninggikan suaranya secara tiba-tiba ia telah mengeluarkan</div><div>pengumumannya.</div><div><br /></div><div>“Kepada siapa saja yang berani masuk ke dalam sumur kematian dan</div><div>menganggap mempunyai kepandaian yang dapat melebihi Kim, Phang, Lauw,</div><div>Kui empat pengurus kampung kami, dipersilahkan masuk untuk melihatnya.”</div><div>Orang tua pendek tadi setelah mendengar sampai disini sudah mulai mengerti,</div><div>dalam hati berpikir.</div><div><br /></div><div>“Hm, kau sengaya menakut-nakuti orang dengan cerita isapan jempolmu saja,</div><div>Apa kau kira dapat menahan orang untuk memasukinya? Sumur kematian</div><div>didalam Pekarangan terlarang itu tentu ada rahasianya, mengapa aku tidak</div><div>mencoba masuk untuk</div><div>memeriksanya?"</div><div>Setelah ia berpikir sebentar lalu majukan langkahnya.</div><div>“Jika ceritanya Chung-cu tadi betul semua, aku si tua pendek sudah mulai</div><div>menjadi takut juga ... ” katanya sambil nyengir.</div><div><br /></div><div>Kata-katanya yang terakhir ini telah membuat semua orang tertawa, air mukanya</div><div>Lee Thian Kauw yang tadinya kaku sudah berubah lunak. Tapi baru saja ia mau</div><div>membuka mulutnya atau si tua pendek yang cerewet ini sudah menari-narikan</div><div>kedua tangannya dan berteriak.</div><div>“Tapi aku si tua pendek masih ada satu cara untuk memaksa orang berani</div><div>memasukinya.”</div><div>Suara berisiknya orang-orang tadi sudah dapat ditahan olehnya, hanya orang</div><div>yang paling tidak sabaran tadi sudah menanya lagi.</div><div>“Dengan cara apa saudara dapat memaksa orang tuasuk ke dalamnya? Lekas</div><div>katakan kepada kami yang ingin cepat-cepat mengetahuinya.”</div><div>Lee Thian Kauw membuka lebar sepasang matanya, sinar matanya yang tajam</div><div>menatap pada si tua pendek tadi. Tapi ia tidak menunjukkan kemarahannya</div><div>karena mukanya tetap dapat dipeliharan kekakuannya.</div><div>Waktu itu si orang tua pendek dengan tingkah laku yang dibuat-buat sudah</div><div>berdehem-dehem sampai beberapa kali. Ada beberapa orang yang tidak sabaran</div><div>sudah mulai meneriakinya.</div><div>“Mengapa kau masih tidak lekas-lekas bicara?"</div><div>Orang tua pendek itu sudah memainkan dua pundaknya.</div><div>“Gampang saja untuk mengatakannya tapi aku harus mendapatkan persetujuan</div><div>Chung-cu dari Kui-in-chung dahulu.”</div><div>Ada beberapa orang sudah menalangi berkata.</div><div>“Siapa kata Chungeu tidak ingin cepat-cepat membongkar rahasianya sumur</div><div>kematiannya? Asal saja kau tidak meminta yang bukan-bukan, Chung-cu tentu</div><div>dapat menyetujuinya.”</div><div>Orang tua pendek tadi sudah menegaskan.</div><div>“Lee Thian Kauw betulkah kata-katanya saudara ini?”</div><div>Lee Thian Kauw memanggutkan kepalanya dengan curiga dipandangnya orang</div><div>tua pendek yang aneh ini.</div><div>“Hanya hadiah besar yang dapat memaksa orang mengadu jiwa.“</div><div>Terdengar orang tua pendek tadi berkata.</div><div>Semua orang menjadi mengeluh mendengar kata-katanya ini, tapi si tua pendek</div><div>sudah merobah lagu suaranya dengan keras berkata.</div><div>“Lee Thian Kauw, orang mengatakan kau memiliki tongkat yang pernah</div><div>menggetarkan dunia, jika dengan menggunakan tongkat Rantai Kumala ini</div><div>sebagai pancingannya dan dicemplungkan ke dalam sumur sebagai hadiah</div><div>kepada siapa yang berani memasukinya, aku percaya masih ada orang yang</div><div>berani mengadu jiwa.”</div><div><br /></div><div>Mukanya Lee Thian Kauw sudah menjadi berobah, hatinya juga menjadi tergetar</div><div>mendengar kata-katanya orang tua pendek yang mencurigakan ini.</div><div>Diantara sedemikian banyak tamunya juga sudah ada enam orang yang</div><div>menyorotkan matanya sinar kebencian ke arah Chungeu yang mengaku tidak</div><div>berilmu silat ini.</div><div>Tapi sebentar saja Lee Thian Kauw sudah menenangkan lagi hatinya dengan</div><div>tertawa ia membantah kata-katanya si-orang tua.</div><div>“Dari mana saudara dapat mengetahuinya? jangan kata aku Lee Thian Kauw</div><div>tidak mempunyai barang ini, sampaipun namanya tongkat Rantai Kumala juga</div><div>masih belum pernah kudengarnya.”</div><div><br /></div><div>Orang tua pendek itu mengawasi padanya, dan tertawa tergelak-gelak.</div><div>"Siapa yang tidak tahu bahwa Tongkat Rantai Kumala yang menjadi pusakanya</div><div>Hoa-san-pay telah terjatuh ke dalam tangannya Cie Gak, ketua Hoa-san-pay</div><div>turunan yang ke dua puluh lima. Pada, tiga tahun yang lalu karena keadaan</div><div>terdesak oleh enam sutenya, diatas puncak gunung Kie-ling di daerah Bong-san</div><div>ini tongkatnya telah dirampas oleh seorang tinggi besar yang tertutup seluruh</div><div>mukanya dengan kain. Lee Thian kauw, apa kau masih mungkir tidak</div><div>mengetahuinya?”</div><div><br /></div><div>“Kui-in chung selalu siap untuk menerima tamu, naga dan harimau siapa yang</div><div>tahu? Itu orang aneh yang menutup seluruh mukanya memang mungkin sekali</div><div>datang dari perkampungan kami tapi jika main sembarang menuduh aku yang</div><div>melakukannya, apa tidak takut ditertawakan orang dunia?”</div><div>Dengan tenangnya Lee Thian Kauw masih dapat tertawa. lalu dengan</div><div>menghadapi para tamunya berkata dengan suara nyaring.</div><div>“Diantara tamuku yang telah lama, siapakah yang pernah melihat aku Lee Thian</div><div>Kauw mempunyai Tongkat Rantai Kumala?”</div><div><br /></div><div>Si orang tua pendek tertawa dingin, diwajahnya sudah terlihat kegusarannya.</div><div>“Lee Thian Kauw. ada tidaknya hanya kau seorang saja yang mengetahuinya.</div><div>Tapi semua orang mengetahui bahwa kau masih mempunyai itu daun “Leng-ci</div><div>merah” yang telah berumur lebih dari seribu tahun jika dengan daun ini sebagai</div><div>gantinya pancingan juga tidak mungkin tidak ada orang yang mau</div><div>memasukinya.”</div><div>Si orang tua pendek tetap masih memaksanya, juga hatinya Lee Thian Kauw</div><div>menjadi mengeluh, dengan tidak merubah arah pandangannya ia memanggutkan</div><div>kepalanya.</div><div>“Ini memang satu soal yang tidak dapat dipungkiri tapi siapakah orangnya yang</div><div>berani mencoba memasukinya?”</div><div>Si orang tua pendek membuka mulutnya yang lebar.</div><div>“Daun “Leng-ci merah” dapat menghidupkan kembali orang yang baru-mati</div><div>hanya memakan seiris saja sudah cukup untuk menambah panjang umur</div><div>manusia, maka didalam dunia Kang-ouw sudah terang orang ingin melihatnya.</div><div>Rahasia sumur kematian di pekarangan terlarang dari perkampungan Kui-inchung</div><div>juga tidak mungkin dapat menahan daya penariknya daun “Leng ci merah</div><div>tadi.”</div><div>Lee Thian Kauw tertawa dingin.</div><div>“Daun Leng-ci merah” yang tidak dapat dinilai harganya mana dapat gampang</div><div>dimasukan ke dalam sumur kematian? Jika tidak ada orang yang berani</div><div>mengambilnya bukanlah sayang?”</div><div>Si orang tua pendek berkata lagi.</div><div>“Lee Thian Kauw, tidak usah kau menguatirkanya. Setelah kau memasukkan itu</div><div>daun ke dalam sumur kematian dan dalam tiga hari tidak ada yang berani</div><div>memasukinya, aku si tua pendek biarpun bakal tidak bernyawa juga tetap akan</div><div>memasukinya.”</div><div>Saat itu tiba, seorang Tosu perantau sudah memajukan dirinya dan berkata.</div><div>“Jika betul Chung-cu mau memasukan daun, “Leng-ci merah” ke dalamnya,</div><div>pinto sudah bersedia untuk mencobanya.”</div><div>Dilihatnya Tosu itu berumur empat puluh tahun lebih, dua pelipisnya agak</div><div>melesak menandakan dalamnya ia punya latihan lweekang. Dengan muka penuh</div><div>kesedihan ia menegaskan kata-katanya.</div><div>“Pinto sebagai seorang perantau yang tidak mempunyai rumah tangga ingin</div><div>mencobanya.”</div><div><br /></div><div>Tidak disangka itu anak kecil yang sedari tadi berdiri disampingnya Lee Thian</div><div>Kauw sudah tertawa dan berrkata kepada ayahnya.</div><div>“Ayah bukan pernah mengatakan bahwa orang yang mempunyai pelipis semakin</div><div>dekok ke dalam berarti semakin tinggi pula kepandaiannya? Bagaimanakah</div><div>dengan Tosu ini yang tentunya mempunyai kepandaian tinggi juga?”</div><div>Lee Thian Kauw menjadi kaget, ia membentak.</div><div><br /></div><div>“A Tie tidak boleh sembarangan bicara. Kau anak kecil tahu apa?”</div><div>Tapi si orang tua pendek sudah dapat mendengarnya dengan tertawa ia berkata.</div><div>“Betul, betul. Siapa yang mampunyai pelipis dekok ke dalam berarti semakin</div><div>tinggi pula kepandaiannya, Lee Thian Kauw, apa ini anakmu yang bernama Lie</div><div>Tie itu? Tajam sekali pandangan matanya.”</div><div>Lee Thian Kauw masih tetap membawa sikap kakunya.</div><div>“Kata-katanya anakku yang kurang ajar mana dapat dipercaya? Kami tidak dapat</div><div>menerima pujianmu. Lakas pulang ketempat ibumu, katakan sebentar ayah juga</div><div>segera datang ke sana.”</div><div>Lee Tie menunjukan perasaan tidak puasnya. tapi ia mendengar perintah</div><div>ayahnya dan meninggalkan ruangan persahabatan yang penuh sesak dengan para</div><div>tamu ayahnya.</div><div>Setelah menunggu sampai berlalunya sang anak, Lee Thian Kauw berkata.</div><div>“Apa Totiang percaya dapat menempuh bahaya dengan selamat? Disini ada</div><div>menyangkut akan mati hidupnya jiwa, harap Totiang dapat memikir untuk kedua</div><div>kalinya.”</div><div>Si Tosu pengembara menjawab.</div><div>“Pinto Jin Cun Bee sebagai murid pertama dari Oey-san Sam-ceng-koan karena</div><div>harus mencari obat untuk menyembuhkan penyakitnya guru kami yang tercinta</div><div>sangat memerlukan sekali daun “Leng-ci merah” ini, maka dengan</div><div>memberanikan diri ingin mencoba untuk mendapatkannya.”</div><div>Lee Thian Kauw yang mendengar penuturannya sudah mengkerutkan keningnya,</div><div>tapi kemudian ia menjadi tertawa.</div><div><br /></div><div>“Mengapa Totiang tidak cepat mengatakanya. demi kepentingan orang, aku Lee</div><div>Thian Kauw sudah rela untuk mempersembahkannya.”</div><div>Tiga ribu tamunya yang mendengar kata-katanya ini sudah beramai-ramai</div><div>bertepuk tangan memuji tindakan bijaksananya. Hanya si Tosu pengembara Jin</div><div>Cun Bee saja yang masih terdiam, setelah menunggu sampai suara tepuk tangan</div><div>tadi sudah menjadi sirap semua baru ia berkata.</div><div>“Jin Cun Bee sangat berterimakasih kepada Chungeu yang sedemikian baik</div><div>hatinya, tapi semua murid Sam-tieng-koan tidak dapat menerima pemberian</div><div>percuma. Harap Chung-cu dapat menjalankan rencana semula dan Pinto</div><div>bersedia untuk menerjun ke dalam sumur kematian sebagai orang pertama.”</div><div>Diantara elahan napasnya tiga ribu tamu perkampungan Kui-in-chung, si orang</div><div>tua pendek tadi sudah memperdengarkan lagi kata-katanya.</div><div><br /></div><div>“Suatu peraturan yang harus dipuji dari Sam-ceng-koan. Jin Cun Bee, legakanlah</div><div>hatimu, jika betul terjadi suatu apa di dalam sumur kematian, aku si tua Pendek</div><div>akan berusaha mendapatkan daun “Leng-ci merah” untuk dibawa Sam-cengkoan</div><div>di Oey-san diserahkan kepada gurumu.”</div><div>Jin Cun Bee yang mendengar kata-katanya sudah menjura ke arahnya.</div><div>“Jin Cun Bee jika masih mempunyai peruntungan bagus dan tidak mati didalam</div><div>sumur kematian tentu berusaha untuk membalas kebaikan hatinya Locianpwee</div><div>yang belum dikenalnya.”</div><div>Lalu ia menjatuhkan dirinya untuk berlutut di hadapannya si tua pendek yang</div><div>aneh itu</div><div>Si tua pendek menjadi kaget, dengan cepat ia sudah melompat maju untuk</div><div>memimpin bangun Tosu pengembara yang harus mendapat pujian itu.</div><div>“Tidak percuma Jin Cun Bee menjadi murid Sam-cerg-koan, aku Kiauw Kiu Kong</div><div>paling tidak suka dengan segala macam adat peradatan, lekaslah kau berdiri</div><div>seperti biasa lagi.”</div><div>Jin Cun Bee yang mendengar disebutnya nama Kiauw Kiu Kong sudah</div><div>bertambah hormatnya.</div><div>“Ow, kiranya Locianpwe Kiauw Kiu Kong, harap maafkankan Jin Cun Bee yang</div><div>tidak mempunyai mata.”</div><div>Lee Thian Kauw yang mendengar si tua pendek sudah memperkenalkan</div><div>namanya juga sudah maju untuk memberi hormatnya.</div><div>“Hanya Kiauw Kiu Kong yang mempunyai kebesaran hati seperti ini. sedari tadi</div><div>aku Lee Thian Kauw juga sudah dapat menerkanya, hanya saja karena aku tidak</div><div>mempunyai hubungan dengan dunia Kang-ouw, aku tidak berani sembarangan</div><div>menyebutnya.”</div><div><br /></div><div>Kiauw Kiu Kong tertawa terbahak-bahak.</div><div>”Ada apa kegunaannya Kiauw Kiu Kong yang hanya mendapat nama?" katanya.</div><div>“Apa tidak sama juga menjadi tamu makannya Kui-in-chung saja? Lee Thian</div><div>Kauw, janganlah kau berkata-kata saja, lekaslah masukan itu daun “Leng-ci</div><div>merah” ke dalam sumur kematian yang menjadi kebanggaanmu."</div><div>Lee Tliian Kauw sudah kehabisan akal. Sampai beberapa kali ia</div><div>mengucapkannya, kemudian ia sudah mengulapkan tangannya ke arah semua</div><div>tamunya dan berkata.</div><div>“Para tamu Kui-in-chung yang budiman dipersilahkan menunggu di Pekarangan</div><div>terlarang.”</div><div>Kemudian dengan tidak.berkata-kata lagi, ia sudah mendahului untuk</div><div>mengundurkan dirinya masuk ke dalam ruangan.</div><div>Tiga ribu tamunya Kui-in-chung bersorak dan membubarkan dirinya</div><div>meninggalkan ruangan persahabatan, mereka sudah saling mendahului menuju</div><div>ke tempat Pekarangan-terlarang dimana terdapat sumur kematian dari Kui-inchung</div><div>yang sudah terkenal keangkerannya</div><div>Saat itu Kiauw Kiu Kong sudah menarik tangannya Jin Cun Bee dan berkata</div><div>dengan perlahan.</div><div><br /></div><div>”Mari kita melihat itu sumur kematian yang penuh dengan rahasia.”</div><div>Dua orang sudah lari meninggalkan Ruangan-persahabatan dan mendahului</div><div>para tamu tadi menuju ke tempat Pekarangan-terlarang.</div><div>Setelah mengitari setengah perkampungan Kui-in-chung, di hadapan mereka</div><div>telah tertampak tembok yang menghadang di hadapan mereka, pohon-pohon</div><div>yang merambat telah penuh mengitari tembok tua ini. Di sekitar tembok sudah</div><div>seperti tidak ada pintu masuknya saja, semua orang berkumpul mengitarinya.</div><div>Kiauw Kiu Kong dan Jin Cun Bee yang mendahului mereka melihat ke sana</div><div>mendapat kenyataan bukannya tidak ada pintunya, hanya saja karena pintu itu</div><div>terlalu kecil membuat orang hampir tidak dapat melihatnya karena hampir</div><div>tertutup dengan pepohonan merambat tadi.</div><div><br /></div><div>Kiauw Kiu Kong yang melihat bangunan pekarangan ini sudah enjot tubuhnya</div><div>dan berdiri diatasny tembok tadi, terbentang di depan matanya hanya satu</div><div>pekarangan yang kosong dikitari oleh tembok besar tadi, Cuma di tengah-tengah</div><div>tembok ada terlihat satu sumur tua menyendiri, dua pohon tua yang telah</div><div>hampir berkumpul menjadi satu ada melintang diatasnya.</div><div>Waktu itu sudah ada ratusan orang yang masuk ke situ dan berdiri dari kejauhan</div><div>untuk menonton saja.</div><div><br /></div><div>Orang yang melatih dirinya memang mempunyai pendengaran yang lebih tajam</div><div>dari orang biasa, maka Kiauw Kiu Kong sedari melompat ke atas tembok tadi</div><div>lapat-lapat telah mendengar adanya satu suara suling yang membawa lagu</div><div>kesedihan dan membuat orang yang mendengarnya sudah tidak tahan untuk</div><div>tidak mengucurkan air mata. Di barengi juga dengan tiupannya angin yang</div><div>membawa bau amis tersebar kemana-mana.</div><div>Kiauw Kiu Kong sudah menjadi tidak tahan sambil memencet hidungnya ia</div><div>berkata.</div><div><br /></div><div>“Aduh amisnya Lee thian kauw, hampir saja kau berhasil untuk membatalkan</div><div>perjanjian kita.”</div><div>Lalu ia menutulkan lagi kakinya dan kini sudah berada dipinggirannya sumur</div><div>kematian yang terkenal angker itu, ia melongok ke dalamnya dan tiba-tiba</div><div>berkaok-kaok.</div><div>“Aduh dalamnya, jika aku telah masuk bagaimana dapat Keluar lagi.”</div><div>Saat itu si Tosu pengembara Jin Cun Bee juga sudah berada disampingnya dan</div><div>menanya.</div><div>“Locianpwe, apa suara tiupan suling itu dari sumur ini datangnya?”</div><div>Kiauw Kiu Kong memanggutkan kepalanya, tiba-tiba seperti ingat akan sesuatu</div><div>dengan suara perlahan ia berkata.</div><div>“Aku telah dibuat teringat lagi akan dirinya dua orang ternama dari dunia Kangouw,</div><div>pada sepuluh tahun yang lalu sewaktu aku lewat digunung Thian-san, dari</div><div>kejauhan sudah terlihat olehku dua orang ternama ini dan satu diantaranya juga</div><div>sedang meniup suling memperdengarkan lagunya yang seperti ini.</div><div>“Locianpwe apa tahu asal usulnya dua orang ternama itu?”</div><div>Kiauw Kiu Kong menggelengkan kepalanya.</div><div><br /></div><div>“Hanya dalam sekejapan mata saja aku telah kehilangan jejak mereka. Aku</div><div>menjadi heran dan menyusul mereka, kecuali angin yang meniup-niup mana ada</div><div>orang disana?”</div><div>Yin Cim Bee dengan heran berkata.</div><div>“Dengan kepandaian locianpwee yang terkenal masih tidak dapat melihat arah</div><div>tujuannya juga, betul-betul gunung Thian-san masih mempunyai dua orang</div><div>ternama ... ”</div><div>Yin Cun Bee sudah tidak meneruskan kata-katanya karena saat itu terlihat</div><div>olehnya Kiauw Kiu Kong sudah membungkukkan badannya, dengan</div><div>mengarahkan mulutnya dalam sumur kematian telah memekik panjang sekali.</div><div>Pekikkannya ini telah terkenal dengan nama “raungan singa”, suaranya melebihi</div><div>lonceng dan genta menggaung kemana-mana. Hanya terdengar suara panjang ini</div><div>masuk ke dalam sumur dan tidak kembali lagi. Kiauw Kiu Kong dan Jin Cun Bee</div><div>sudah menjadi saling pandang karena herannya. Terlihat Kiauw Kiu Kong</div><div>meleletkan lidahnya dan berkata.</div><div>“Aaaa ... apa sumur ini tidak ada dasarnya?”</div><div>Jin Cun Bee yang sudah siap untuk memasukinya menjadi ragu-ragu juga,</div><div>pikirnya.</div><div>“Bagaimana jika betul tidak ada dasarnya?”</div><div>Kiauw Kiu Kong memandang Jin Cun Bee sebentar, mendadak dalam sumur</div><div>suara tadi telah berbalik keluar lagi.</div><div>Kiauw Kiu Kong tertawa berkakakan, Jin Cun Bee juga menunjukan muka</div><div>girang, hanya ribuan orang yang berdiri ditempat kejauhan saja yang menjadi</div><div>terheran-heran, entah ada makluk apa didalamnya?</div><div>Tidak lama kemudian dua belas anak penjaga pintu dan delapan pengawal rumah</div><div>sudah beruntun muncul disana. dan sebentar kemudian terlihat Lee Thian Kauw</div><div>juga dengan membawa sebuah kotak besi kecil sudah berjalan menghampirinya.</div><div>Setelah sampai di hadapannya Kiauw Kiu Kong dan Jin Cun Bee, ia sudah segera</div><div>membuka kotak kecil tadi dengan perlahan-lahan sekali. Sebentar saja semacam</div><div>bau harum sudah mulai tersebar luas sehingga beberapa orang yang terdekat</div><div>juga dapat mencium baunya, dalam kotak itu tampak semacam tumbuhan kecil</div><div>yang mempunyai daun merah darah dan akar putih berupa manusia kecil.</div><div>Kiauw Kiu Kong dan Jin Cun Bee membelalakkan kedua pasang mata mereka</div><div>yang kecil memandang ke arahnya daun “Leng-ci merah-yang mempunyai</div><div>khasiat mujijat. Lee Thian Kauw dengan perlahan-lahan menutup lagi kotaknya</div><div>dan tertawa.</div><div><br /></div><div>“Dua saudara sudah melihatnya dengan mata sendiri barang ini tidak palsu</div><div>adanya, aku Lee Thian Kauw sudah segera akan memasukannya ke dalam sumur</div><div>kematian yang penuh bahaya ini.”</div><div>Dengan perlahan-lahan ia maju mendekati sumur angker itu dan siap untuk</div><div>melemparkan peti kecilnya yang berisi daun “Leng-ci merah”.</div><div>Tapi tiba-tiba saat itu terdengar suaranya anak kecil yang berkata.</div><div>“Ayah, tunggu dahulu untuk melemparkannya.”</div><div>Kiauw Kiu Kong memalingkan mukanya dan dilihatnya Lee Tie sedang berlarilarian</div><div>mendatangi dengan kecepatan yang luar biasa dan tindakan enteng sekali,</div><div>ternyata anak ini telah mempunyai dasar kepandaian yang lebih sempurna dari</div><div>apa yang telah diduga.</div><div>Hanya sebentaran saja Lee Tie sudah berada di depannya dan berkata.</div><div>“Ibu memesan kepada ayah bahwa ia ingin sekali melihat wajahnya dua orang</div><div>yang mati memasuki sumur kematian kita.”</div><div>Lee Thian Kauw mengkerutkan alisnya.</div><div>“Mengapa tadi ia tidak berkata?”</div><div>Lee Tie tidak memperdulikan pertanyaannya sang ayah dan berpaling ke arahnya</div><div>Kiauw Kiu Kong, sambil tertawa berkata.</div><div>“Orang yang sependek kau ini apa mempunyai kepandaian juga untuk masuk</div><div>dalam sumur? Ibu pernah mengatakan kepadaku bahwa kini hanya tinggal dua</div><div>orang saja didunia Kang-ouw yang dapat memasukinya, dan mungkin sekali</div><div>mereka juga akan terluka.”</div><div>Kiauw Kiu Kong yang mendengar kata-kata ini sudah menjadi melongo, tapi Lee</div><div>Thian Kauw yang mendengarnya sudah menjadi marah dan membentak.</div><div>“A Tie, kau berani mengacau disini? Lekas kembali dan cegah agar jangan sampai</div><div>ibu datang kemari.”</div><div>Mukanya Lee Tie sudah menjadi pucat, dengan sekali melesat saja ia sudah</div><div>berada dua puluh lima tombak dari tempat mereka. Tosu dari Oey-san Jin Cun</div><div>Bee yang melihatnya menjadi heran, ia tidak menyangka anak kecil ini sudah</div><div>mempunyai ilmu megentengi tubuh yang demikian tinggi.</div><div>Kiauw Kiu Kong tertawa panjang dengan setengah memuji ia berkata.</div><div>“Lee Thian Kauw, bagus sekali kepandaiannya ilmu mengentengi tubuh dari</div><div>anakmu itu.”</div><div>Lee Thian Kauw coba bersenyum.</div><div>“Anak anjingku yang kurang ajar ini bisanya lari-larian saja diantara tamu-tamu</div><div>Kui-in-chung, kecuali itu tidak ada kepandaian lainnya lagi.”</div><div>Lalu dengan menghadapi Jin Cun Bee ia berkata.</div><div>”Silahkan Totiang segera bersiap-siap.”</div><div>Sambil mencemplungkan kotak kecil yang berisi daun “Leng-iyi merah” ia</div><div>berkata nyaring.</div><div>“Aku Lee Thian Kauw sudah bersedia mengorbankan pusaka turunan yang dapat</div><div>membuka rahasianya sumur kematian yang selalu dianggap keramat ini. Para</div><div>tamu Kiu-in-chung yang budiman diharap kalian dapat menjadi saksi tentang</div><div>kejadian ini."</div><div><br /></div><div>Demikianlah benda pusaka turunannya yang daun “Leng-ci merah” ini telah</div><div>melayang turun ke dalam sumur keramatnya bersama-sama dengan katakatanya</div><div>tadi.</div><div>Jin Cun Bee sambil membetulkan pakaiannya sudah segera mencabut keluar</div><div>belati kecilnya dan menjura ke arahnya Kiauw Kiu Kong.</div><div>“Locianpwee, aku sampai disini saja mengambil selamat perpisahan.”</div><div>Kiauw Kiu Kong dengan sungguh-sungguh berkata.</div><div>”Tetapkan hatimu.”</div><div>Jin Cun Bee menengadah sebentar, sambil menunjukkan ketabahan hatinya ia</div><div>sudah berada dipinggirannya sumur kematian. Ia melongok kebawah sebentar,</div><div>kemudian terjun dengan kedua kakinya lebih dahulu sebelah tangannya tetap</div><div>masih memegang kencang-kencang belati kecilnya dan tangan kirinya sudah</div><div>dipejarkan merupakan gaetan.</div><div>Tiga ribu tamu Kui-in-chung memuji ketabahannya sambil tepuk tangan riuh</div><div>sekali.</div><div>Kiauw Kiu Kong melihati bagaimana Jin Cun Bee menerjunkan dirinya ke dalam</div><div>sumur yang penuh rahasia ini, ia melongok ke dalam sumur dan dilihatnya Jin</div><div>Cun Bee sedang meluncur turun kebawah dangan kecepatan yang luar biasa,</div><div>sebentar saja ia sudah lenyap diantara kegelapan.</div><div>Pada hari biasa sang waktu dapat lewat dalam sekejapan mata saja, tapi kali ini</div><div>terasa bukan main lambatuya. Ribuan tamu Kui-in-chung dipinggiran tembok</div><div>pada menyenderkan dirinya, dua belas anak penjaga pintu dan delapan pengawal</div><div>rumah berdiri laksana patung, Lee Thian Kauw sebagai Chungeu dari Kui-inchung</div><div>sedang membalikkan kedua tangannya, si tua pendek Kauw Kiu Kong</div><div>masih tetap mangarahkan pandangannya ke dalam sumur rahasia.</div><div>Perkampungan Kui-in-chung telah dirundung kesepian, di langit yang terang</div><div>kadang masih terlihat beberapa gumpalan awan yang sedang terbang melewati</div><div>puncak gunung Kie-ling di daerah Bong-san.</div><div><br /></div><div>Demikian telah berjalan lebih dari satu jam. semua orang yang berada diatas</div><div>sumur sudah mulai terlihat kegelisahannya, malah sudah ada beberapa orang</div><div>yang mengeluarkan suara keluhan.</div><div>Satu jam lagi telah berlalu, keadaan didalam sumur masih tetap menguatirkan,</div><div>Lee Thian Kauw sudah mulai mengalihkan padangannya ke arahnya Kiauw Kiu</div><div>Kong.</div><div>”Saudara Kiauw ... ” Panggilnya dengan suara perlahan.</div><div>Ia sudah tidak meneruskan lagi kata-katanya karena terlihat Kiauw Kiu Kong</div><div>sedang menumplek perhatiannya ke dalam sumur.</div><div>“Tutup mulutmu!" terdengar ia membentak.</div><div>Terlihat ia mengangkat kepalanya memandang ke arahnya Lee Thian Kauw</div><div>dengan bengis dan mengeluarkan beberapa kali suara tertawa dingin dari</div><div>hidungnya. Dipandangnya muka Lee Thian Kauw yang menjadi matang biru,</div><div>hatinya menjadi tergerak. Tapi tiba-tiba dari dalam sumur telah terdengar satu</div><div>suara pekikan yang panjang, dilongoknya lagi ke dalam dan terlihat olehnya satu</div><div>sinar putih berklebat-kelebat digoyangkan dan kemudian mulai naik keatas.</div><div>Kiauw Kiu Kong tahu bahwa Jin Cun Bee sudah sampai di bawah dasarnya</div><div>sumur dan mulai naik lagi ke arahnya Lee Thian Kauw.</div><div>“Lee Thian Kauw, apa betul hanya dua orang saja yang dapat masuk ke dalam</div><div>sumur kematianmu ini?”</div><div>Mukanya Lee Thian Kauw sudah berobah menjadi menyeramkan dan dengan</div><div>lagu suara yang tidak enak untuk didengar ia berkata.</div><div>“Ia akan tergolong orang kelas satu jika betul dapat naik kembali dari sumur</div><div>kematian di Pekarangan-terlarang.”</div><div>Kiauw Kiu Kong tidak membantahnya dan hanya tertawa saja untuk</div><div>menenangkan hatinnya. Hanya terlihat bayangan orang berkelebat diatas sumur,</div><div>Jin Cun Bee dengan sebelah tangan memegang pisau belati dan sebelah</div><div>memegang kotak besi kecil yang telah dilemparkan masuk ke dalam sumur</div><div>kematian tadi, dengan muka penuh kegusaran berdiri di pinggiran sumur.</div><div>Sepasang matanya yang beringas tidak mau meninggalkan mukanya Lee Thian</div><div>Kauw yang sudah menjadi pucat, dengan menjujukan pisau belatinya ia berkata</div><div>ke arahnya Lee Thian Kauw.</div><div>“Chung-cu, Kau ... ”</div><div>Siapa tahu baru saja mengucapkan kata “kau” ini atau sudah menjerit keras</div><div>memuntahkan darah segar, badannya sudah terpelanting ke dalam sumur</div><div>kembali dengan masih mencekal itu kotak, dan “Leng-ci merah tadi.</div><div>Perobahan yang mendadak ini berada diluar dugaan semua orang, termasuk</div><div>Kiauw Kiu Kong yang sedang kegirangan juga, dengan cepat ia ini mengulurkan</div><div>tangannya untuk memberikan pertolongannya, tapi hanya angin kosong yang</div><div>dapat dipegangnya.</div><div>Ia menjadi berdiri menjublek sambil mernbelalakan sepasang matanya seperti</div><div>setengah gila.</div><div>Tiga ribu tamunya Kui-in-chung pada menundukkan kepala menyatakan turut</div><div>berduka cita. Tapi Kiauw Kiu Kong yang telah menjadi kalap sudah membentak</div><div>keras dan menyerang ke arahnya Lee Thian Kauw yang sedang berdiri tersenyum</div><div>mengejek.</div><div>“Lee Thian Kauw, permusuhan apakah diantara kau dengannya? “ Bentaknya si</div><div>orang tua pandek itu.</div><div>Lee Thian Kauw melompat sedikit menghindarkan serangannya, sambil kerutkan</div><div>alisnya ia berkata.</div><div>”Apakah maksud yang sebenarnya dari saudara Kauw ini? Jin Cun Bee karena</div><div>luka-lukanya telah terjatuh lagi ke dalam sumur kematian yang tidak dapat</div><div>dipandang gegabah ini, ada hubungan apakah dengan Lee Thian Kauw yang</div><div>tidak tahu menahunya? Apa lagi sebelumnya telah ada perjanjian diantara kita ...</div><div>”</div><div>Kata-katanya Lee Thian Kauw tidak habis dikatakan karena Kiauw Kiu Kong</div><div>sudah tertawa berkakakan, yang menyedihkan sehingga menyebabkan siapa yang</div><div>mendengarnya sampai bergidik karenanya. Tiga ribu tamu Kui-in-chung telah</div><div>mengira si tua pendek ini hanya tertawa gila karena saking sedihnya saja. Saat itu</div><div>Lee Thian Kauw juga sudah tidak seperti biasanya berlaku ramah tamah lagi,</div><div>terlihat mukanya sudah penuh dengan ejekan yang menghina dan beberapa kali</div><div>mengeluarkan suara hm, hm, dari hidungnya yang mancung.</div><div>Kiauw Kiu Kong setelah tertawa sekian lamanya. telah dapat menenangkan lagi</div><div>dirinya, dengan tegas ia berkata.</div><div><br /></div><div>“Biarlah. tulang tuaku ini juga akan segera kupendam disini.”</div><div>Dengan sekali menutulkan kakinya ia sudah lompat lagi ke pinggiran sumur</div><div>kematian, dilongoknya sebentar dan loncatlah ia masuk ke dalam sumur yang</div><div>penuh dengan bahaya ini.</div><div>Waktu telah menjelang siang hari, sinar matahari yang terang benderang</div><div>menyinari ratusan burung dara putih yang tidak terbang, ada beberapa ekor</div><div>diantaranya malah masih ada yang hinggap di pohon diatas sumur kematian, tapi</div><div>tidak lama kemudian mereka juga telah terbang pergi lagi. Diluar sumur</div><div>kematian tertampak kesunyiannya duniawi. Tapi didalam sumur kematian,</div><div>Kiauw Kiu Kong, orang yang paling ditakuti oleh kawanan kurcaci, sedang</div><div>mengalami kejadian mengerikan hati dan mulai membuka tabirnya rahasia</div><div>sumur kematian dari Kui-in-chung ini.</div><div><br /></div><div>Di sekitar Ruangan-terlarang telah penuh dengan tiga ribu tamunya Kui-inchung</div><div>beserta dengan Chung-cunya, Lee Thian Kauw ini. Sambil menahan napas</div><div>mereka mengarahkan pandangan mereka ke tempat sumur kematian untuk</div><div>menunggu munculnya Kiauw Kiu Kong kembali.</div><div>Satu jam lamanya mereka menanti, diatas sumur kematian terlihat bayangan</div><div>Kiauw Kiu Kong yang mengempit mayatnya Jin Cun Bee dan kotak besi kecil</div><div>yang berisi daun “Leng-ci merah” sambil menancapkan sebelah kakinya</div><div>dipinggiran sumur. Wajahnya sudah berubah menjadi lain sekali, dengan sorot</div><div>mata yang berapi, ia memandang kepada Lee Thian Kauw tanpa berkesip</div><div>samasekali.</div><div><br /></div><div>Ia telah berhasil dengan membawa kemenangannya kembali, tapi semua orang</div><div>tuasih menguatirkan keselamatannya. Mereka takut akan terjadinya kembali</div><div>peristiwa yang seperti Jin Cun Bee telah alami mereka telah turut mengucurkan</div><div>keringat dingin demi keselamatannya si orang tua pendek yang berani ini.</div><div>Kiauw Kiu Kong memandang sekian lamanya ke arah Lee Thian Kauw dan</div><div>terdengar geramannya yang menyayatkan hati.</div><div>“Lee Thian Kauw, “</div><div>Betul saja baru saja ia menyebut namanya Lee Thian Kauw badannya sudah</div><div>mulai bergoyang-goyang mau jatuh ke dalam sumur lagi. Mukanya Kiauw Kiu</div><div>Kong sudah menjadi pucat, tapi biar bagaimana pun juga ia sebagai seorang</div><div>tokoh rimba persilatan yang terkemuka tidak mudah dibikin celaka. Dengan</div><div>menutul ujung kakinya ia sudah dapat melompat tinggi, sebelah tangannya</div><div>diputarkan dan suatu angin pukulan telah mengarah ketempatnya Lee Thian</div><div>Kauw berdiri. kemudian seperti seekor kera besar saja ia sudah merambat naik</div><div>keatas pohon dan sekejapan saja ia telah menginjakan kakinya diatas tembok</div><div>ruangan terlarang, sekali enjot tubuh lagi lenyaplah. Kiauw Kiu Kong dari</div><div>pandangan mata mereka ini.</div><div><br /></div><div>II. PECAHAN KUMALA.</div><div><br /></div><div>SEDARI Kiauw Kiu Kong masuk ke dalam sumur kematian dan melarikan diri,</div><div>nama Ruangan-terlarang dari Kui-in-chung sudah tersebar luas kemanamana.</div><div>Tapi yang membikin orang tidak habis mengerti jalan sedari itu waktu Lee</div><div>Thian Kiauw tidak pernah memunculkan dirinya lagi. Belum juga para tamunya</div><div>mengerti sebabnya atau tiga hari kemudian datang lagi satu pengumuman yang</div><div>mengatakan Kui-in-chung sudah tidak menerima tamu lagi. Tiga ribu tamu</div><div>sudah menjadi simpang siur dengan bermacam-macam pendapat mereka yang</div><div>tidak sama, dengan terpaksa mereka sudah siap sedia dengan buntalannya dan</div><div>tidak sampai tujuh hari sepilah Kui-in-chung karena mereka sudah pada</div><div>bubaran.</div><div><br /></div><div>Pada hari kedelapan, di bawahnya sinar bintang diatasnya puncak gunung Kieling</div><div>dari daerah Bong-san, pada suatu pojok dari perkampungan Kui-in-chung</div><div>yang sepi terdapat bangunan yang tersendiri. Setelah kentongan malam dipukul</div><div>sampai dua kali, terdengar satu suara wanita yang halus berkata.</div><div>“A Tie, lagi berbuat apa lagi kau disitu? waktunya tidur lagi.”</div><div>Dalam kamar telah terdengar jawabannya Lee Tie.</div><div>“Aku masih belum mau tidur, ingin sekali aku menemukan ayah lagi untuk</div><div>mengetahui mengapa beberapa hari ini ia tidak terlihat datang kemari?”</div><div>”Janganlah kau pergi ke sana." Suara wanita itu terdengar mengela napas dan</div><div>berkata sendiri.</div><div><br /></div><div>“Ayahmu memang begitu, awaslah dengan hatinya yang busuk sekali.”</div><div>“Aku tahu, tapi aku tidak takut. Telah tujuh hari ia mengurung dirinya di dalam</div><div>kamar batunya, entah apa yang sedang diperbuatnya?”</div><div>“A Tie, jangan kau pergi ke sana.”</div><div>“Tidak. Aku akan pergi ke sana hanya melihatnya saja.”</div><div>“Tapi janganlah kau berkata suatu apa dengannya.”</div><div>“Legakan hati ibu, jangan kuatir.”</div><div>Terlihat satu bayangan kecil sudah melesat dari bangunan tadi keatas ganteng</div><div>pekarangan yang sudah segera lenyap ditelan kegelapan.</div><div><br /></div><div>Tapi Lee Tie bukannya menuju ke arahnya ruangan batu ayahnya. Dengan sekali</div><div>loncat ia sudah meninggalkau genteng tadi ke arah jalan kecil dengan tidak</div><div>menerbitkan suara sama sekali. Ternyata bocah ini telah mempunyai kepandaian</div><div>ilmu mengentengi tubuh yang sempurna sekali. memandang ke arah depannya</div><div>sejenak dan sebentar lagi tibalah ia di depannya tembok Ruangan-terlarang</div><div>ayahnya. Dari kejauhan sudah terlihat olehnya dua penjaga Ruangan-terlarang</div><div>yang berdiri disana.</div><div>“Bagaimana aku dapat melewati mereka? Jika secara terang masuk dari pintu</div><div>yang dijaga tentu dapat mengakibatkan bocornya rahasia." demikian pikirnya.</div><div>Tapi hatinya menjadi tergerak juga setelah melihat salah satu dari tembok itu</div><div>yang berjarak tidak jauh darinya. dengan meminjam kegelapan malam sebagai</div><div>alingan ia sudah enjot tubunnya melayang melalui tembok tadi masuk ke dalam</div><div>Ruangan-terlarang yang penuh rahasia ini.</div><div><br /></div><div>Samar-samar terlihat olehnya dipinggiran sumur kematian telah menanti</div><div>bayangannya seseorang, dengan perlahan sekali ia menujukan langkahnya ke</div><div>sana dan memberi tanda dengan tangannya mengatakan bahwa diluar masih ada</div><div>dua orang penjaga. Setelah berjalan dekat baru ia membuka mulutnya.</div><div>“Kakek pendek, sebagaimana yang dijanjikan aku telah datang kemari, maka</div><div>katakanlah rahasia apa yang ada dalam diriku?”</div><div>Ternyata yang telah menantinya dipinggiran sumur kematian tadi adalah Kiauw</div><div>Kiu Kong yang tempo hari telah melarikan diri. ia seperti tidak mendengar katakatanya</div><div>Lee Tie ini dan duduk disana dengan memandang ke langit.</div><div>“Kakek pendek. rahasia apakah yang berada didalam diriku?" Lee Tie</div><div>mengulangi pertanyaannya.</div><div>Kiauw Kiu Kong membalikan mukanya. terlihat ketegangan hatinya. Dengan</div><div>sungguh-sungguh ia bertanya.</div><div>”Sekarang ayahmu sedang berada dimana?"</div><div>“Didalam ruangan batu entah sedang mengerjakan apa." Jawab Lee Tie.</div><div>Kiauw Kiu Kong mengangguk-anggukan kepalanya. Dengan suara pasti ia</div><div>berkata.</div><div>“Ayahmu tidak berada didalam ruangan batu. kau belum pernah melihatnya</div><div>lagi?”</div><div>Lee Tie menjadi kaget dan tidak percaya dengan kata-katanya orang tua pendek</div><div>ini.</div><div>“Dengan bukti apa kau berani mengatakan demikian?" tanyanya.</div><div>“tidak percaya? Kau ingin mendapatkan bukti? Kau harus menjawab dulu segala</div><div>pertanyaanku.”</div><div>Lee Tie bercekat, dengan marah ia berkata.</div><div>“Aku sudah tidak percaya kepadamu dan juga tak mau menjawab pertanyaanmu</div><div>karena ternyata kau hanyalah seorang penipu belaka. Sampai disini saja</div><div>pertemuan kita, aku tidak ada tempo.”</div><div>Betul saja ia sudah membalikan badannya dan menuju ke arah tembok Ruanganterlarang</div><div>lagi, dengan tidak menolehkan kepalanya lagi ia sudah mau pergi.</div><div>Tapi tiba-tiba kupingnya telah mendengar kata-katanya si pendek.</div><div>“Aii, seorang bocah yang harus dikasihani, karena tidak tahu dirinya sebetulnya</div><div>siapa.”</div><div>Hatinya Lee Tie menjadi tergetar dan menanya kepada diri sendiri.</div><div>”Ia mengatakan bocah yang tidak mengetahui diri sendiri? Apa aku yang</div><div>dimaksudkan olehnya?". Biarpun ia tidak percaya, tapi membalikkan kepalanya</div><div>juga dan menanya.</div><div>“Siapa yang tidak mengetahui dirinya sendiri?"</div><div>Kiauw Kiu Kong membelalakan matanya palingkan mukanya ke arah lain,</div><div>seolah-olah ia tidak mendengarkan pertanyaannya Lee Tie.</div><div>Lee Tie menjadi penasaran dengan mengeraskan suaranya ia menanya lagi.</div><div>“Siapa yang tidak mengetahui dirinya sendiri?"</div><div>Terdengar Kiauw Kiu Kong tertawa dirigin.</div><div>“Jika kau sudah tidak percaya, untuk apa menanyakan kepadaku lagi?”</div><div>Lee Tie mengkretek giginya.</div><div>“Baiklah. Aku percaya kepadamu dan akan menjawab pertanyaanmu.”</div><div>Kiauw Kiu Kong tertawa, sambil menarik tangannya Lee Tie diajak duduk</div><div>dipinggiran sumur kematian yang tadinya menyeramkan itu.</div><div>“Kau duduklah untuk mendengar penuturanku dulu, sebenarnya aku juga tidak</div><div>bermaksud jahat kepadamu. Jika kau ingin masih mendapatkan bukti juga tidak</div><div>sukar bagimu, tapi aku juga mempunyai kesukaranku sendiri maka telah</div><div>menarikmu sampai kesini.”</div><div>“Aku tidak menyalahkan kepadamu, mulailah dengan pertanyaan-pertanyaanmu</div><div>itu.”</div><div>Kiauw Kiu Kong angguk-anggukkan kepalanya.</div><div>“Apa kau tidak pernah melihat ayahmu lag? Aaa.,bukan. Ia bukannya ayahmu</div><div>sendiri, ia tetap sebagai Lee Thian Kauw. Apa ia mempunyai satu Tongkat Rantai</div><div>Kumala?”</div><div>Lee Tie menggeleng-gelengkan kepalanya.</div><div>“Aku belum pernah melihatnya.” jawabnya.</div><div>Jawaban ini seperti berada diluar dugaannya Kiauw Kiu Kong, ia merandek</div><div>sebentar dan menanyanya lagi.</div><div>“Apa Lee Thian Kauw pernah memberi pelajaran silat kepadamu?”</div><div>Lee Tie memanggutkan kepalanya.</div><div>“Berapa macam kepandaiankah yang masih dapat kau ingat coba kau perlihatkan</div><div>kepadaku.”</div><div>Lee Tie membelalakan kedua matanya yang kecil, dengan lagunya yang lucu</div><div>menjawab.</div><div>“Semua kepandaian masih kuingat benar, ilmu pukulan tangan, ilmu pedang,</div><div>ilmu golok dan ilmu mengentengi tubuh, tapi hanya ilmu mengatur jalan</div><div>pernapasan yang sudah pasti menjadi pelajaran setiap hari, pernah juga ibuku</div><div>yang mewakili ... ”</div><div>Kiauw Kiu Kong yang sudah tidak mau mendengarkan ocehannya sudah</div><div>memotong.</div><div>“Cukup ... cukup bukan ini yang kumaksudkan, Aku hanya mau mengetanui</div><div>dalam belakangan ini pelajaran apa yang telah diberikan kepadamu?”</div><div>Lee Tie menatap wajahnya si tua pendek dan seperti baru tersadar ia menanya.</div><div>“Apa itu tiga jurus yang menjadi satu?" Kauw Kiu Kong sampai berjingkrak</div><div>kegirangan.</div><div>”Betul-betul, Apa kau telah dapat mempelajrinya semua. Bukankah semuanya</div><div>berjumlah tukuh rangkaian?”</div><div>Lee Tie dengan heran menanya.</div><div>“Mengapa kau juga dapat mengetahuinya?”</div><div>Kiauw Kiu Kong mengarahkan pandangannya arah langit yang gelap seperti</div><div>sedang mengenangkan sesuatu. sampai dua kali Lee Tie mengulangi</div><div>pertanyaannya baru dapat menarik kembali ingatannya. Setelah memandangnya</div><div>sebentar baru Kiauw Kiu Kong berkata.</div><div>“Kepandaian ini hanya terdapat didalam itu tongkat Rantai Kumala yang</div><div>menjadi barang pusakanya Hoasan-pay. Biarpun hanya terdiri dari tujuh</div><div>rangakaian saja. tapi jika betul-betul digunakannya bukanlah suatu soal yang</div><div>gampang untuk digunakannya. Bagaiamana dengan perasaanmu yang telah</div><div>dapat mempalayarinya?”</div><div>Lee Tie memanggut-manggutkan kepalanya, tapi kemudian ia menggelenggelengkan</div><div>lagi kepalanya Dengan girang ia berkata.</div><div>“Memang susah tapi tidak begitu susah karena aku telah dapat mempelajarinya</div><div>semua.”</div><div>Kiauw Kiu Kong yang mendengari perkataannya anak ini sudah menjadi heran</div><div>dan tidak percaya.</div><div>“Mana kau dapat membual di hadapanku?"</div><div>Lee Tie yang tadinya menyangka si tua pendek ini memuji akan kepintarannya,</div><div>tidak disangka hanya kata-kata ini yang dikeluarkannya. Maka dengan muka</div><div>cemberut ia berkata.</div><div>“Siapa yang kesudian membual kepadamu?"</div><div>Kiauw Kiu Kong tertawa dan coba membaikinya.</div><div>“Apa kau dapat memperlihatkan di depanku?"</div><div>Lee Tie tiba-tiba lompat berdiri dari tempatnya, ia menggerakan sepasang</div><div>tangannya yang kecil disilangkan didada. Terlihat tangan kanannya menggaet</div><div>tapi tangan kiri memukul dan dengan berdiri dengan sebelah kaki kirinya ia juga</div><div>telah mengunakan sebelah kakinya lagi menyepak dada orang. Sekali gebrak tiga</div><div>jurus dalam waktu yang bersamaan.</div><div>Kauw Kiu Kong menjadi kaget.</div><div>“Bocah, tidak kusangka kau mempunyai latihan yang setinggi ini.”</div><div><br /></div><div>BERSAMBUNG...</div><div><br /></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-16942524761387579982011-08-14T05:21:00.001-07:002011-08-14T05:37:15.653-07:00BAJAK LAUT KERTAPATI<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhE8iHs0wiqv_Nu6oIAsxC4a-ZUWC38_zhvd26JPqt8DO47BbNRebfBIzn86-ekj3Z6xffEm3R9XhjnUFV6XsKSAku6GI6joM80VjQItfduCA00gaxqnzwoVhosupulkZHuy6sts8eN8Q/s1600/Bajak+Laut+Kertapati.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="text-align: justify;float: left; margin-top: 0px; margin-right: 10px; margin-bottom: 10px; margin-left: 0px; cursor: pointer; width: 226px; height: 300px; " src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhE8iHs0wiqv_Nu6oIAsxC4a-ZUWC38_zhvd26JPqt8DO47BbNRebfBIzn86-ekj3Z6xffEm3R9XhjnUFV6XsKSAku6GI6joM80VjQItfduCA00gaxqnzwoVhosupulkZHuy6sts8eN8Q/s320/Bajak+Laut+Kertapati.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640687805987083074" /></a><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><i>by - Kho Ping Hoo</i></span></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Semenjak orang Belanda untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi Indonesia , yakni dalam tahun 1596, mulailah timbul kekacauan-kekacauan yang tadinya tidak di kenal oleh bangsa Indonesia . Demi keuntungan dan kepentingan kongsi-kongsi perkapaan Belanda yang mulai dengan pengisapannya pada kekayaan bumi Indonesia, maka mereka bentuklah Kompeni India Timur Belanda atau Verengde Oost-Indische Compagnie ( V.O.C ) pada tahun 1602 dan selanjutnya tahun demi tahun mereka menjelajah di seluruh Indonesia dan memperluas kekuasaan mereka. Bagikan penyakit kangker menyerang tubuh atau anjing makan tulang, sedikit demi sedikit Belanda menggerogoti kepulauan Indonesia sehingga akhirnya seluruh daerah lenyap ditelan oleh kekuasaan mereka. Dan untuk dapat mencapai maksud ini, Belanda tidak segan-segan menjalankan politik yang sekotor-kotornya dan melakukan tipu muslihat serndah-rendahnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi jangan dikira bahwa Indonesia merupakan roti kiju yang empuk bagi Belanda, oleh karena semenjak kedatangan mereka, terutaa setelah rakyat mengetahui akan maksud buruk Belanda, di mana-mana mereka mendapat tantangan hebat. Tiada hentinya pemberontakan-pemberontakan meletus terhadap Belanda. Bangsawan-bangsawan berjiwa patriot, pahlawan-pahlawan bangsa yang gagh perkasa dan sakti mendraguna, memimpin rakyat untuk mengusir Belanda dari tanah air.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dimana-mana Belanda menghadapi keris-keris telanjang di tangan rakyat, dimulai semenjak mereka berhasil merebut Jakarta yang mereka jadikan bandar dan diberi nama Batavia . Bahkan semenjak pertama kali Belanda mendarat di Banten pada tahun 1596, dibawah pimpinan Cornelis Houtman dan De Keyzer, karena rakyat mengalami penderitaan yang pertama kali yang timbul dari kekasaran dan kekejaman mereka, telah terjadi perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Namun harus diakui bahwa sesungguhnya rakyat Indonesia pada umumnya, dan khususnya di pulau Jawa, takusah merasa takut dan kalah dalam hal kegagalan dan kepandaian bertempur dengan Belanda, akan tetapi, dalam menjalankan tipu muslihat dan kecerdikan, ternyata Belanda lebih unggul. Perlawanan-perlawanan yang gagah berani dan pantang mundur dari rakyat membuat Belanda menjadi kuwalahan dan mereka merobah taktik dan siasat mereka. Bujukan-bunjukan halus dan siasat adu domba dengan umpan berupa suap dan sogok, mulai mereka jalankan. Apabila bujukan mereka berhasil dan mulai terjadi perpecahan dan kekalutan di antara pangeran dan para pengikut mereka, yakni memancing ikan di air keruh, mendekati fihak yang kurang waspada dengan siasat “ membantu “ yang disertai syarat-syarat menguntungkan fihak Belanda belaka!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan siasat yang licin dan tipu muslihat rendah ini, Belanda berhasil menipu banyak pemimpin-pemimpin rakyat dan berhasil membuat mereka dipandang sebagai sahabat baik oleh para pangeran dan pemimpin yang kurang wasapada.</div><div style="text-align: justify;">Ketika Mataram berada dibawah pimpinan sunan Amangkurat I, Belanda mulai mengulur kukunya yang panjang dan runcing, mempergunakan kelicinannya untuk menarik keuntngan dari keadaan Mataram yang di masa itu sedang kalut. Pangeran-pagenran satu dengan yang lain berselisih, sedangkan Sunan yang sudah tua itu sakit keras.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Belanda menghadapi pemberontakan hebat yang dipimpin oleh Trunajaya terhadap Mataram dan hal ini digunakan oleh Belanda untuk mendekati Mataram. Oleh karena pemberontakan yang dipimpin oleh Trunajaya ini amat kuat, maka di batavia Kompeni Belanda mulai menjadi gelisah. Akhirnya dipilih seorang jago tua di fihak mereka, yakni Cornelis Speelman, seorang ahli siasat yang amat licin dan cerdik. Dengan muka manis, urusan-urusan Speelman mendatangi Mataram dan pertemuan yang disertai janji bantuan ini menghasilkan keuntungan yan besar sekali bagi Belanda, karena mereka dapat memperluas dan menambah perjanjian-perjanjian dengan kerajaan Mataram.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Akhirnya, Belanda mengirim tentaranya menyerbu pusat pertahanan Trunajaya, yakni di Surabaya. Setelah berperang sengit sehari penuh, jatuhlah benteng pertahanan Trunajaya yang didirikan di dekat Jembatan Merah ( Surabaya ) kepada tangan Belanda.</div><div style="text-align: justify;">Peristiwa ini terjadi para tanggal 13 April 1677, dan Trunajaya melarikan diri ke Kediri di mana ia mendirikan keraton yang megah dan indah.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Speelman tidak pernah menyangka bahwa Trunajaya akan dapat mengumpulkan kembali kekuatan pasukannya dengan amat cepatnya, maka Belanda tidak terus mengejar Trunajaya, bahkan lalu menyerang Madura. Kesempatan ini dipergunaka oleh Trunajaya untuk meluruk ke Mataram dan pada tanggal 12 Juli 1677, dua bulan setengah semenjak kekalahan, ia berhasil merebut keraton Mataram.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Demikianlah, dengan siasatnya yang licik dan dengan jalan mengadu domba, pada tahun 1680, jajahan kompeni Belanda di Pulau Jawa telah makin meluas. Dari Batavia, jajahan mereka ke timur dan setelah sampai ke Laut Hindia, sehingga boleh di bilang bahwa seluruh Jawa Barat, ada sepertiganya berada dalam jajahan dan kekuatan Belanda. Juga Semarang dan sekitarnya telah pula menjadi bandar dari kapal-kapal Belanda, Batavia dan Semarang merupakan pintu-pintu lebar dari mana mengalir keluar kekayaan bumi Indonesia! Dan pada sekitar waktu itulah cerita ini terjadi. Cerita menarik yang sungguhpun bukan merupakan kisah tercatat dalam buku sejarah, namun cukup menjadi bukti bahwa semenjak dahulu, banyak terdapat pahlawan-pahlawan bangsa tak terkenal, pahlawan bangsa dan kesatria-kesatria utama yang berjasa besar, yang telah mengurbankan nyawa demi nusa dan bangsa , akan tetapi yang sama sekali tak mengharapkan balas dan jasa, bahkan nama merekapun sama sekali tak pernah didengar oleh rakyat. Betapapun juga, mereka itu, pahlawan-pahlawan bangsa sejak jaman dahulu sampai sekarang, pahlawan-pahlawan yang tak terkenal, maklum bahwa perjuangan dan pengorbanan mereka takkan sia-sia, akan berbunga dan berbuah demi kebahagiaan bangsa mereka! Hal dan pengertian ini saja sudah merupakan balas dan jasa yang cukup mulia bagi mereka!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sebelum Sunan Amangkurat I mangkat, ia mengangkat Putera Mahkota sebagai penggantinya, dan Sunan baru ini bernama Sunan Amangkurat II.</div><div style="text-align: justify;">Fihak Belanda lalu mempergunakan siasatnya dan mendekati Sunan Amangkurat II untuk “membantunya” melenyapkan Trunajaya dan sekutunya, Cornelis Sepeelma lalu mengadakan pertemuan dengan Amnagkurat II di Jepara. Dengan amat pandainya, Sepeelman dapat mempermainkan lidahnya terhadap Sunan yang masih hijau itu sehingga diantara mereka lalu dibuat perjanjian yang amat berat sebelah. Perjanjian ini berisi seperti berikut.</div><div style="text-align: justify;">1. Fihak kompeni mengakui Amangkurat II sebagai Sunan yang sah di Mataram.</div><div style="text-align: justify;">2. Kompeni memperoleh kemerdekaan berniaga di seluruh kerajaan Mataram, dan boleh mendirikan tempat pembuatan kapal di Rembang.</div><div style="text-align: justify;">3. Kompeni dibebaskan daripada membayar bea pemasukan barang-barang ke seluruh pelabuhan di Mataram.</div><div style="text-align: justify;">4. Daerah jajahan Kompeni diperluas dengan Krawang dan sebagian Priagan, sebagai batas antara Mataram dan jajahan Belanda ialah Sungai Cimanuk.</div><div style="text-align: justify;">5. Semarang dan daerah sekitarnya diserahkan kepada Kompeni.</div><div style="text-align: justify;">6. Kompeni memiliki daerah pantai Jawa sebagai barang gadaian, hingga Sunan dapat melunasi biaya peperangan yang akan dilakukan untuk melenyapkan Trunajaya.</div><div style="text-align: justify;">Perjanjian macam ini sesungguhnya bukan merupakan perjanjian lagi, lebih pantas disebut pengisapan yang amat kurang ajar. Akan tetapi Belanda mencapai maksudnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Malam terang bulan di Jepara. Di kota itu berkumpul banyak pasukan, yakni pasukan pengawal Cornelis Speelman, dan pasukan-pasukan pengiring Sunan Amangkurat II yang sedang mengadakan pertemuan dengan pemimpin Belanda itu. Kalau di kota kelihatan ramai dengan gatangnya orang-orang agung dengan sekalian pengiringnya itu, adalah di pantai Jepara nampak sunyi sekali. Hawa udara sejuk dan laut nampak tenang, seakan-akan semua penghuninya telah tidur nyenyak. Angin bersilir perlahan, tak cukup kuat menggerakkan ketenangan laut sehingga hanya pada permukaan air saja yang bergoyang sedikit, tak sampai menimbulkan ombak.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bulan bercahaya penuh, membuat air laut nampak kemerah-merahan dan mendatangkan bayang-bayang yang amat indahnya. Di tepi laut tampak sunyi, perahu-perahu nelayan berderet-deret di pantai, siap untuk diberangkatkan besok pagi-pagi sebelum fajar menyingsing. Para nelayan telah mengaso karena besok pagi-pagi mereka sudah harus mulai dengan pekerjaan mereka. Di ujung barat nampak sebuah perahu besar dengan layar terguling. Tali-telami layar nampak jelas di bawah sinar bulan pernama. Diantara jendela-jendela perahu itu, nampak tersembul keluar beberapa buah laras merlam.</div><div style="text-align: justify;">Inilah sebuah kapal layar Belanda yang biasanya digunakan untuk, mengangkut hasil bumi, atau juga untuk, berperang menyerang pantai! Bendera Belanda berkibar di puncak tiang. Akan tetapi, perahu inipun diam tak bergerak dan nampak sunyi sekali, seakan-akan tidak ada mahluk hidup di atasnya. Memang, sebagian besar anak kapal telah turun dan mencari kesenangan di darat, dan hanya ada beberapa orang penjaga saja yang mendapat giliran menjaga kapal, akan tetapi orang-orang inipun lebih senang tidur mendengar setelah kenyang minuman keras.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Seluruh permukaan laut Jepara bagaikan mati tak bergerak, keculi setitik hitam kecil yang nampak bergerak maju dan makin lama membesar. Kemudian kelihatanlah titik hitam itu yang ternyata adalah sebuah perahu kecil berujung runcing dan didayung dari jurusan timur menuju ke barat.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perahu ini berwarna hitam seluruhnya, bahkan dayung yang dipegang oleh seorang penumpangnya juga berwarna hitam. Perahu ini hanya mempunyai seorang penumpang saja, seorang laki-laki muda belia yang bertubuh tegap. Sepasang lengannya yang memegang dayung nampak kuat sekali, akan tetapi ia mendayung perahunya dengan seenaknya. Emat lima kaki dayungnya digerakkan sehingga perahu meluncur cepat, kemudian ia menunda gerakkan dayungnya dan membiarkan perahu meluncur dengan halus dan tenang.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan pandang mata tajam ia melihat ke arah pantat yang snyi kemudian pandangannya dialihkan ke arah kapal Belanda yang besar itu penuh perhatian.</div><div style="text-align: justify;">Pakaian orang itu sederhana, berbaju hitam dengan lengan baju panjang, tak berleher. Celananya panjang warna hitam pula, dengan sehelai sarung tenun dikalungkan pada lehernya. Gagang keris tersembul dari ikat pinggangnya di bawah dada. Melihat wajah yang masih halus tak berkumis itu, dapat ditaksir bahwa usianya baru dua puluhan, akan tetapi garis-garis pada mukanya menunjukkan bahwa sudah banyak pengalaman pahit ia derita, sedangkan sepasang matanya bersinar tajam.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Inilah Kertapati, bajak laut muda yang namanya telah menggemparkan pantai laut jawa, mulai dari pantai laut tegal sampai Jepara! Ia amat terkenal karena keberaniannya yang luar biasa, karena kecerdikan dan kegagahannya. Dengan sekelompok kawan-kawannya yang hanya terdiri dari belasan orang muda saja, ia berani melakukan pembajakan pada perahu-perahu besar, tak peduli siapa yang amat sia-sia, bahkan merugikan, karena pernah terjadi anak buah perahu besar yang terdiri dari dua puluh orang lebih, semuanya dilemparkan ke dalam laut oleh Kertapati dan lima orang kawannya!</div><div style="text-align: justify;">Nelayan?</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Lebih takut kepada bajak laut Kertapati daripada kepada ikan-ikan cucut yang ganas dan liar. Setiap kali perahu-perahu nelayan mendapat hasil ikan yang banyak, mereka tentu akan melakukan pelayaran pulang secara berkelompok, tidak berani memisahkan diri, untuk menjaga kalau-kalau di tengah laut bertemu dengan bajak laut Kertapati dengan perahu-perahu kecilnya ayang cepat, dan berwarna hitam itu!</div><div style="text-align: justify;">Baiknya bahwa bajak-bajak laut ini tidak selalu berada di daerah tertentu, akan tetapi bergerak dan berpindah-pindah sepanjang daerah pantai Tegal sampai Jepara.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Keberanian bajak laut Kertapati memang mengumumkan. Pernah tiga buah perahunya yang kecil-kecil dengan ditumpangi oleh lima belas orang anak buahnya, menyerbu sebuah kapal Belanda yang besar dan sedang berlabuh di pelabuhan Semarang. Hal ini benar-benar melewati batas dan kini nama bajak laut Kertapati tidak hanya terkenal di kalangan nelayan dan pemerintah Mataram, akan tetapi juga dikenal oleh Kompeni. Namun, tiap kali Kompeni mengadakan ekspedisi dengan kapal-kapal perangnya untuk mencari rombongan bajak laut yang menganggu lalu lintas di lautan itu, tiba-tiba saja perahu-perahu kecil berwarna hitam dan dengan layar hitam pula itu lenyap tanpa meninggalkan bekas, seakan-akan disembunyikan di dasar lautan!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kertapati yang sedang melakukan penyelidikan seorang diri di dalam perahunya, sama sekali tidak tahu bahwa di dalam bayangan jala-jala ikan yang digantung di pinggir pantai dan di balik-balik perahu yang berada di tepi laut itu, terdapat lima orang yang berbisik-bisik dan mengikuti gerak-geriknya ketika seorang diantara mereka dapat melihat perahu hitam itu dari balik teropongnya. Orang yang memegang teropong ini adalah seorang serdadu Belanda berpangkat sersan, sedangkan empat orang yang lain adalah ponggawa-ponggawa Sunan.</div><div style="text-align: justify;">Empat orang ponggawa ini telah mendengar bahwa Kertapati berada di daerah Jepara, maka mereka mempergunakan kesempatan pertemuan dengan para tentara Belanda untuk membujuk seorang sersan Belanda agar suka bersama mereka mengadakan penyelidikan dan kalau mungkin penangkapan atas diri kepala bajak yang terkenal itu. Mereka berempat tak kan berani melakukan pekerjaan berbahaya ini apabila tidak dapat bantuan seorang sersan yang bersenjata api dan memiliki teropong yang dapat melihat sesuatu dari jarak amat jauh.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Lihat ... ! “ kata sersan itu dalam bahasa daerah yang amat kaku, “ aku melihat sebuh perahu hitam dengan seorang baju hitam di dalamnya! Siapakah dia? “</div><div style="text-align: justify;">Seorang ponggawa menghampirinya dan setelah dan setelah diberitahu cara mempergunakan teropong itu, ia lalu mengintai ke arah perahu kecil yang terapung-apung di tempat jauh. Setelah memandang beberapa lamanya, ia berseru perlahan.</div><div style="text-align: justify;">“ Benar! Dialah Kertapati, bajak laut itu! Aku kenal bentuk tubuhnya, dan mukanya licin tak berkumis! “</div><div style="text-align: justify;">Ponggawa-ponggawa lainnya berebutan meminjam teropong dan mereka inipun mendapatkan bahwa orang di dalam perahu kecil itu memang Kertapati, bajak muda yang membuat mereka merasa gentar!</div><div style="text-align: justify;">“ Bagus, bagus! “ Sersan Belanda itu berkata girang, sambil mempersiapkan senapannya.</div><div style="text-align: justify;">“ Kita tangkap dia, mati atau hidup dan membagi hadiah yang dijanjikan oleh Sunan! “</div><div style="text-align: justify;">“ Akan tetapi, tuan sersan, “ bantah seorang ponggawa, “ bukankah Kompeni juga menjanjikan hadiah bagi siapa yang dapat menangkap atau menewasakan bajak laut Kertapati? Kalau kita berhasil, kau boleh ambil semua hadiah dari Kompeni, sedangkan hadiah dari Gusti Sunan adalah hak kami berempat! Bukankah ini adil namanya? “</div><div style="text-align: justify;">Sersan itu menyumpah dalam bahasanya yang tak dimengerti oleh empat orang ponggawa itu, lalu katanya sombong, “ Kalian hanya ikut saja dan yang akan berhasil membunuhnya adalah aku dengan, senapanku ini! “ Ia mengangkat senapannya tinggi-tinggi. “ Akan tetapi, biarlah kalian ambil hadiah dari Sunan, aku tidak membutuhkannya, asal saja kalian memberitahu bahwa seorang sersan Kompenilah yang telah berhasil membunuh bajak laut itu! Tanpa bantuan kompeni, mana kalian orang-orang Mataram menangkap atau membunuhnya? “</div><div style="text-align: justify;">Biarpun merasa mendongkol, empat orang ponggawa itu tidak mau membantah dengan sersan itu, oleh karena memang mereka telah tahu akan kegagahan Kertapati dan mereka hanya mengandalkan bantuan sersan ini untuk dapat menangkap atau menewaskan bajak itu.</div><div style="text-align: justify;">“ Sekarang tidak ada angin, dia tidak mungkin mempergnakan layar! “ kata seorang ponggawa yang faham akan kepandaian mengemudikan perahu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Dengan hanya tenaga seorang saja, tak mungkin dia dapat mendayung perahunya pergi dari kejaran kita. Kita tunggu sampai perahunya pergi dari kejaran kita. Kita tunggu sampai perahunya mendekati pantai, lalu kita serbu dia dengan mendayung perahu yang laju. Kalau kita berlima atau berempat mengayuh, mustahil takkan dapat menyusulnya? Kau yang bertugas mempergunakan senapanmu, tuan sersan. “</div><div style="text-align: justify;">Jangan kuatir, dengan sekali ledakan senapanku saja, kepalanya akan hancur! “ sersan itu menyombong.</div><div style="text-align: justify;">Kertapati mendayung perahunya dan kini ia menunjukan perahunya ke arah kapal Belanda yang terapung di pinggir pantai dengan megahnya Kesunyian di atas kapal itu membuat ia merasa girang karena mklum bahwa anak kapal itu tentu banyak yang mendarat dan yang menjaga kapal tidak banyak. Dengan berani ia mengambil keputusan untuk menghampiri dan kalau mungkin naik ke kapal itu!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, tiba-tiba ia melihat sebuah perahu meluncur cepat dari pantai dan mengejarnya! Matanya yang tajam dapat menksir bahwa perahu itu sedikitnya ditumpangi oleh empat atau lima orang, dan karena perahu itu menuju ke arah perahunya, ia maklum bahwa mereka itu memang sengaja mengejarnya. Tak mungkin kalau ada nelayan pergi mencari ikan pada waktu seperti itu, dan juga tidak mungkin pula perahu itu ditumpangi oleh lebih dari tiga orang nelayan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Apakah mereka anak buah kapal Belanda itu? Demikian pikirnya sambil mendayung pergi perahunya, menjauhi kapal, akan tetapi tidak terlalu cepat, karena ia masih ragu-ragu apakah benar mereka itu anak buah kapal. Kalau bukan, ia takusah melarikan diri, karena kalau baru menghadapi lima orang lawan saja, tak sudi ia melarikan diri! Ia pernah dikepung oleh belasan orang ponggawa Mataram di darat dan dapat meloloskan diri setelah merobohkan lebih dari dari setengah jumlah lawannya, apalagi kini hanya lima orang dan yang mengejarnya di atas air pula! Kalau di darat Kertapati merupakan seorang yang amat tangguh dan gagah perkasa, di air ia merupakan dewa laut yang mentakjubkan. Kepandaiannya bermain di air membuat ia sanggup menghadapi musuh yang banyak jumlahnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi setelah perahu yang ditumpangi oleh lima orang itu datang dekat dan hampir dapat menyusulnya, tiba-tiba terdengar letusan keras dan dari perahu itu nampak bunag api memancar. Air di dekat perahunya memercik ke atas, tanda bahwa ada sesuatu yang keras menyambar air itu. Senapan, pikirnya. Akan tetapi Kertapati tidak menjadi gugup dan dengan tenang lalu melepaskan bajunya yang hitam.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Sayang tidak kena! “ kata seorang ponggawa ketika melihat betapa tembakan pertama sersan Belanda itu tidak mengenai sasaran.</div><div style="text-align: justify;">Sersan itu menjadi penasaran dan marah. “ Jangan mendayung dulu, perahu menjadi bergerak dan aku tak dapat membidik tepat! “</div><div style="text-align: justify;">Keempat orang ponggawa lalu menahan dayung mereka dan perahu meluncur dengan tenang. Mereka tidak bergerak untuk memberi kesempatan kepada si sersan menembak lagi. Kini di atas perahu kecil itu nampak jelas betapa orang berbaju hitam yang mendayung perahu itu berdiri dengan tegak, seakan-akan menantang untuk menerima peluru senapan sersan itu!</div><div style="text-align: justify;">Sersan itu membidik, dan tiba-tiba terdengar letusan keras untuk kedua kalinya.</div><div style="text-align: justify;">“ Mampus kau! “ sersan itu berseru keras dan empat orang ponggawa melihat betapa tubuh yang berdiri di atas perahu kecil itu roboh di dalam perahunya! Mereka berseru girang,</div><div style="text-align: justify;">“ Kena ... ! Kena ... ! “ Dan serentak mereka mendayung perahu menyusul perahu kecil itu.</div><div style="text-align: justify;">“ Jangan lupa melaporkan kepada Sunan bahwa Sersan Zeerot yang menembak mampus bajak laut itu! “ kata sersan tadi sambil tersenyum-senyum puas.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kini mereka berada dekat sekali dengan perahu kecil tadi sehingga mereka dapat melihat dengan jelas ke dalam perahu. Alagkah kaget hati mereka ketika melihat bahwa “ orang “ yang mereka lihat roboh tertembak tadi tidak lain hanya sebatang dayung yang diberi batu hitam!</div><div style="text-align: justify;">“ Celaka ... ! “ seorang ponggawa berseru, akan tetapi pada saat itu juga, perahu mereka terguncang keras tanpa dapat ditahan lagi perahu itu miring lalu terbalik, membuat kelima orang itu terlempar ke dalam air!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sebenarnya yang ditembak itu memang bukan Kertapati, akan tetapi bajak laut muda yang cerdik itu setelah meninggalkan pakaiannya lalu mengenakan pakaian itu pada dayungnya dan memegangi dayung sambil bertiarap di dalam perahunya! Setelah sersan itu menembak, ia lalu menggerakkan dayungnya yang “ menyamar “ dan menggantikan dirinya itu seakan-akan orang terkena tembak dan menjatuhkan di dalam perahu, sedangkan ia sendiri diam-diam lalu meluncur ke dalam air dan berpegang pada pinggir perahu sambil mengintai! Ketika perahu lawan itu sudah datang dekat, ia menyelam dan berenang di bawah permukaan air menyambut kedatangan mereka. Ia pegang perahu yang sudah tak didayung lagi itu dengan kedua tangan dan dengan tenaga yang luas biasa ia berhasil menggulingkan perahu dan membuat kelima orang penumpangnya jatuh ke dalam air!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dua orang ponggawa yang tak pandai berenang, segera megap-megap dan sebentar saja perut mereka menjadi besar dan kembung, penuh air laut yang asin! Yang dua orang lagi hendak berenang ke perahu, akan tetapi tiba-tiba setelah kaki mereka ditangkap oleh kedua tangan Kertapati dan tubuh mereka diseret ke bawah! Seketika lamanya mereka bergulat dengan air karena tak mampu menyerang orang yang memegang kaki mereka sampai mereka tidak kuat lagi dan menjadi pingsan perut kembung!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sersan Zeerot yang juga pandai berenang, lalu berenang dan berhasil memegang pinggir perahu, akan tetapi tiba-tiba ia merasa perutnya perih seakan-akan ditusuk oleh tombak ikan cucut. Tubuhnya menjadi lemas dan pegangannya terlepas. Ia menjerit kesakitan dan tenggelam tanpa bardaya lagi!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Peristiwa hebat itu terjadi tanpa banyak ribut, hanya disaksikan oleh bulan yang bergurau dengan mega-mega ditas laut. Peristiwa berikutnya yang terjadi lebih hebat lagi, membuat nama bajak laut Kertapati makin terkenal dan ditakuti orang dari segala fihak.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kapal layar Belanda yang berlabuh di tempat itu memang telah ditinggalkan oleg sebagian besar anak kepalnya yang mendarat dan mencari hiburan di kota Jepara. Yang diwajibkan menjaga hanya sebanyak sepuluh orang yang rendah kedudukannya, hanya serdadu-serdadu biasa yang kasar. Serdadu-serdadu ini menghilangkan kekesalan hatinya, menghibur diri dengan minuman keras, dan ada pula yang bermain kartu mempertaruhkan uang belanja mereka yang tiada gunanya di dalam kapal itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sambil bersenda-gurau mempercakapkan pengalaman mereka dengan perempuan-perempuan di tiap pelabuhan yang mereka darati, mereka menghibur diri, dama sekali tidak melihat adanya bayangan seorang berpakaian hitam yang dengan cekatan sekali memanjat ke atas kapal melalui rantai jangkar kapal. Bayangan ini adalah Kertapati yang setelah “ membereskan “ lima orang pengejarnya tadi, msih melanjutkan kehendaknya menyelidiki kapal asing itu.</div><div style="text-align: justify;">Setelah naik ke tas kapal, ia mengintai dari balik tiang layar dan memandang ke arah orang-orang kulit putih itu dengan senyum menghina. Ingin ia menerjang dan meyerang mereka, akan tetapi tentu saja ia tidak mau bertindak demikian sembrono ketika melihat betapa sepuluh orang itu bersenjata api dan senapan-senapan mereka terletak dekat.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Hanya berarti pembunuhan diri yang bodoh apabila ia menyerang, pikirnya. Dilihatnya tiga orang telah mabok dan tidur mendengkur di atas geladak kapal, sedangkan yang tujuh orang masih mengelilingi meja sambil main kartu dan bersenda gurau.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan amat berani dan tabah, Kertapati lalu menyelinap dan cepat memasuki anak tangga yang membawanya turun ke dalam kapal itu. Telah beberapa kali ia dan kawan-kawannya menyerbu kapal Belanda dan kini ia mencari kamar yang menjadi tujuan pemeriksaannya, yakni kamar senjata. Girang sekali hatinya ketika ia dapat menemukan kamar itu dan melihat banyak senapan berada di tempat itu berikut obat pasang dan peluru-pelurunya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kertapati sendiri amat benci melihat senjata api ini dan tidak sudi mempergunakannya, akan tetapi banyak kawan-kawannya ingin memilikinya, maka kini timbul keinginannya untuk mencuri senapan-senapan ini! Kamar itu diterangi dengan sebuah lampu minyak yang tergantung di dinding.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Pemuda itu cepat mengumpulkan tujuh pucuk senapan yang kelihatan masih baru, diikatnya senapan-senapan itu menjadi satu dengan sebuah tambang yang terdapat di situ, dan ketika ia sedang mengumpulkan obat pasang dan peluru, tiba-tiba pintu di belakangnya dibuka orang dan tiba-tiba terdengar bentakan keras dalam bahasa Belanda yang tak dimengertinya. Ketika ia menoleh dengan cepat, ia melihat seorang opsir Belanda yang bermuka merah sekali telah berdiri di ditu dengan senapan ditodongkan ke arahnya! Kembali Belanda itu membentaknya dan biarpun Kertapati tidak mengerti bahasanya, akan tetapi pemuda ini naklum bahwa ia diperintahkan untuk mengangkat kedua tangannya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, ia berpura-pura bodoh dan tersenyum manis! Wajahnya menjadi menarik sekali kalau tersenyum, lenyap sama sekali kekerasan yang tergaris pada mukanya. Bibir tersenyum mata berseri-seri dan sikap ini selalu mendatangkan kemenangan padanya. Menurut nasihat gurunya dulu, dalam menghadapi bahaya yang bagaimana besarpun, ia harus dapat menenangkan hati dan memperlihatkan sikap gembira, oleh karena selain hal ini dapat membuat ia berkata waspada dan membuat pikiran dapat berjalan terang untuk mengusahakan sesuatu yang tepat, juga jarang sekali terdapat orang yang tepat, juga jarang sekali terdapat orang yang mau membunuh orang tersenyum gembira!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Memang benar, opsir itu yang belum tahu siapa adanya pemuda yang berada di kamar senjata itu, tadinya masih agak ragu-ragu untuk segera menembak, apalagi setelah melihat betapa muka itu tersenyum ramah dan gembira, ia tertipu dan tekanan jarinya pada pelatuk senapan mengendur.</div><div style="text-align: justify;">“ Kamu ... pencuri ... ? “ tanyanya dengan bahasa yang amat kaku.</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, saat yang hanya sedetik itu tak dilewatkan oleh Kertapati yang semenjak tadi menjadi perisai pertama untuk menyelamatkan diri dan setelah melihat betapa ketegangan pada lawannya mengendur, tangannya diam-diam menggenggam erat beberapa butir peluru yang tadinya sedang diperiksa dan dikumpulkannya. Senyumnya melebar dan pada saat opsir Belanda itu membuka mulut bertanya, secepat kilat tangannya bergerak ke arah lampu dan otomatis tubuhnya menubruk maju ke arah kaki opsir itu!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Terjadi tiga kali dalam detik yang sama. Pecahaya kaca lampu yang memadamkan penerangan itu. Meletusnya obat psang dalam senapan di tangan opsir Belanda, dan berteriaknya opsir itu ketika tiba-tiba sepasang lengan yang amat kuat merangkul kedua kakinya dan yang membuat ia terpelanting jatuh! Saat berikutnya, keris di tangan Kertapati telah mendapat kurban lagi dan lawannya mati dalam gelap tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.</div><div style="text-align: justify;">Dengan kecepatan yang luar biasa, Kertapati telah dapat menyambar senapan dan peluru berikut obat pasang yang tadi dikumpulkan, lalu tubuhnya melompat dan menaiki anak tangga. Ia telah dapat keluar dari lubang di atas dan bersembunyi di belakang tiang sebelum kawan-kawan opsir yang bersenda-gurau di atas geladak mengejar ke tempat itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tiga orang serdadu dengan lampu di tangan dan senapan disiapkan, berlari-lari menuruni anak tangga untuk melihat kawannya yang tadi turun untuk mengambil tambahan minuman keras.</div><div style="text-align: justify;">Kawan-kawannya yang lain lalu bersiap pula dengan senapan di tangan. Tiba-tiba seorang diantara mereka melihat berkelebatnya tubuh Kertapati, maka sambil berseru ia menembak ke arah pemuda itu!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kertapati cepat melompat dan berlindung dibalik tiang. Lalu sambil merangkak dan berlindung di balik tali temali tiang, ia menghampiri pinggir kapal dan melongok ke bawah di mana ia melihat perahunya menempel dekat rantai jangkar. Ia mengira-ngira dan segera melemparkan senapan-senapan itu ke bawah, tepat masuk ke dalam perahunya yang bergoyang-goyang. Suara senapan jatuh di perahunya terdengar oleh orang-orang Belanda itu, maka mereka lalu mengejarnya. Kalau ia mau, dengan mudah Kertapati dapat melompat ke air dan meyelamatkan diri, akan tetapi ia tidak menyerah kalah begitu saja sebelum menimbulkan kerugian di fihak lawan dan berdaya upaya untuk menyelamatkan perahu dan bedil-bedil yang yang rampasnya.</div><div style="text-align: justify;">Maka kembali ia merangkak-rangkak menjauhi mereka dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor tikus. Ia mengambil dua butir peluru yang tadi tercecer, lalu menyambit ke arah yang berlawanan. Peluru-peluru itu membentur papan dan menerbitkan bunyi keras. Serentak terdengar senapan-senapan ditembakkan ke arah suara itu!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kertapati tersenyum ketika melihat betapa orang-orang itu dengan berendang lalu berlari memburu ke tempat yang disambit tadi, maka ia cepat melompat ke arah meja di mana mereka tadi main kartu, mengambil lampu minyak yang berada di atas meja dan segera melemparkan lampu itu ke atas, ke tempat gulungan layar! Lampu itu membentur layar dan minyaknya tumpah, disambar oleh api dan segera layar itu terbakar!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang-orang Belanda tadi segera membalikkan tubuh dan melihat betapa layar telah berkobar besar, mereka menjadi ribut dan sibuk berusaha memadamkan kebakaran. Kegaduhan itu dipergunakan untuk lari oleh Kertapati yang dengan enaknya lalu memanjat turun dari rantai jangkar. Ketika kebakaran pada layar itu dapat dipadamkan dan orang-orang di atas kapal dengan menyumpah-nyumpah dan marah sekali mencari-cari pengacau dan pembunuh opsir kawan mereka, Kertapati telah mendayung perahunya dengan cepat, jauh dari kapal itu!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dan pada waktu keesokan harinya, pada waktu fajar menyingsing, para nelayan yang berangkat menuju ke tengah laut untuk mulai pekerjaan mereka menangkap ikan, menjadi ribut ketika mereka mendapatkan sebuah perahu itu terapung-apung di atas air sana di dalam perahu itu terdapat empat orang ponggawa Sunan yang pingsan dengan perut kembung! Selain ini, merekapun mendapatkan mayat seorang sersan Belanda yang terapung pula dengan perut terluka bekas tusukan keris!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mereka segera menolong empat orang ponggawa itu, juga membawa mayat itu ke pantai. Ketika para ponggawa telah ditolong dan air telah dikeluarkan dari perut mereka sehingga mereka siuman kembali, mereka menceritakan bahwa semua itu adalah perbuatan bajak laut Kertapati. Maka gemparlah semua orang dan para nelayan melanjutkan pekerjaan mereka dengan hati kebat-kebit!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Beberapa pekan kemudian. Tepi pantai laut Jepara ramai sekali dikunjungi orang. Gamelan berbunyi semenjak pagi sekali, mengiringi suara tambang yang merdu, meramaikan suasana dan menggembirakan semua pengunjung. Di sepanjang pantai didirikan panggung dan tarup dari bambu. Sebagaian besar penduduk Jepara mengunjungi pantai laut, bahkan para nelayan hari itu senjata tidak pergi mencari ikan untuk dapat menyaksikan keramaian luar biasa ini.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Keramaian apakah yang seang berlangsung? ternyata bahwa hari ini diadakan perlombaan dan pemilihan anak-anak kapal yang cakap. Belanda telah bermufakat dengan para pembesar setempat untuk mencari anak-anak kapal sebagai pelayan dan pembantu pada kapal-kapal mereka dan untuk mengadakan pemilihan, maka diadakan perlombaan berenang, bermain di air dan kecakapan mengemudikan perahu berlayar. Selain itu, juga dalam kesempatan ini, para pembesar hendak berpesta, merayakan perjanjian perdamaian dan persetujuan yang tercapai antara pembesar Belanda Speelman dan Sunan Amangkurat II!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dalam kesempatan ini, para puteri jelita dari gedung-gedung pembesar, mendapat alasan untuk keluar dari gedung dan kamarnya, untuk ikut menyaksikan keramaian ini. Mereka ini bersama ayah buda mereka, ikut naik ke atas panggung dan menyaksikan perlombaan-perlombaan itu, juga memberi kesempatan kepada para pemuda yang jarang dapat memandang wajah mereka untuk kali ini memandang sepuasnya dan mengaguminya dengan diam-diam!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Hiburan yang paling ramai, bahkan melebihi ramainya perlombaan-perlombaan itu, adalah acara bebas yang tidak direncanakan lebih dulu. Seorang isteri tumenggung, tanpa disengaja telah menjatuhkan tempolongnya ( tempat ludah sirih ) ke dalam air di depan panggung. Air ini dalam dan jernih sehingga tempolong itu kelihatan dari atas, menggelinding ke atas dasar pantai. Melihat hal ini, seorang nelayan muda lalu melompat ke dalam air dan menyelam untuk mengambilkan tempolong kuningan itu. Tubuhnya yang bergerak-gerak bagaikan ikan besar itu nampak dari atas dan semua pembesar, terutama para isteri dan puteri memuji dengan kagum dan girang. Memang hal ini mendatangkan pemandangan yang amat mengagumkan, jauh lebih menarik daripada melihat perlombaan perahu atau berenang dari tempat itu. Maka, setelah nalayan muda itu timbul dari air sambil membawa tempolong dan menyerahkan kepada penjaga, ia disambut dengan tepuk sorak.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat kegembiraan semua tamu, maka tumenggung itu lalu mengusulkan untuk membauat permainan sebagai penambah acara, yakni mereka melempar-lemparkan benda dengan sengaja ke dalam air dan para penonton diperbolehkan terjun dan mendapatkan benda-benda itu kembali! Tentu saja untuk ini diadakan hadiah-hadiah, bahkan karena gembiranya, lalu ditetapkan bahwa benda yang dilemparkan itu boleh dimiliki oleh para penyelam!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Hal ini mendatangkan kegembiraan besar sekali. Para pemuda lalu memperlihatkan kesigapan dan kepandaiannya. Dan ternyata bahwa yang paling suka melempar-lemparkan benda ke dalam air adalah para puteri dan wanita! Yang dilemparkan ke dalam air sebagaian besar adalah mata-mata uang. Memang menyenangkan sekali melihat para pemuda nelayan itu menyelam dan berenang di atas dasar laut, hilir mudik bagaikan ikan-ikan besar berebut makanan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Diantara sekian banyakknya penonton yang melihat pertunjukan ini, terdapat seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpotongan tubuh kekar dan tegap. Kulitnya bersih dan halus, membuat ia kelihatan seperti Arjuna diantara sekian banyak nelayan yang berkulit haitam terbakar matahari setiap hari. Semenjak tadi pemuda ini berdiri di dekat panggung, akan tetapi berbeda denagn semua orang yang menonton para penyelam memperebutkan uang, ia menunjukan pandang matanya kepada seorang gadis yang duduk di atas panggung.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Gadis ini cantik jelita seperti kebanyakan puteri yang berada di situ, akan tetapi dalam pandangan pemuda itu, dia adalah gadis yang tercantik diantara sekian semua wanita yang pernah dijumpainya! Dara itu bertubuh lagsing, berkulit kuning lagsat, dan wajahnya manis sekali. Bibirnya seperti gendewa terpentang, tipis dan merah basah menggairahkan hati, dan yang terindah dari semua itu adalah sepasang matanya. Inilah mata yang disebut damarkanginan, atau bagaikan dian tertiup angin. Sinar matanya bagaikan mengandung pengaruh yang menjatuhkan hati pria manapun juga. Bentuknya lebar agak meruncing di ujung membuat lirikannya tajam sekali. Dihias bulu mata yang panjang dan lentik, melengkung ke atas membuat mata itu nampak berseri bergerak-gerak dengan lincah.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dara juita ini adalah Roro Santi, puteri dari Dipati Wiguna, seorang bangsawan dari demak yang kini menjadi pembesar di Jepara. Roro Santi terkenal sebagai bunga Jepara dan kecantikannya telah terkenal diantara semua penduduk Jepara. Telah tiga bulan ia dipertunagkan dengan Raden Suseno, putera Bupati Randupati dari Rembang. Akan tetapi, tiap kali orang tuanya hendak melangsungkan pernikahannya, juita itu selalu menolak dan sambil menagis minat agar supaya pernikahannya diundurkan karena ia tidak sampai hati meminggalkan dan berpisah dari orang tuanya. Sebagai puteri tunggal yang amat dimanja dan dicinta, tentu saja kedua orang tuanya tak mau memaksanya dan demikianlah, telah tiga bulan lebih ia bertunangan, akan tetapi belum juga pernikahan dilangsungkan. Raen Suseno menjadi tidak sabar, akan tetapi ia tidak berani terlalu mendesak, hanya merasa cukup puas apabila beberapa hari sekali ia diperbolehkan datang ke Jepara dan memandang tunagannya dengan dendam birahi yang menggelora di dalam dadanya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Roro Santi bukannya tidak tahu bahwa pemuda tampan itu telah semenjak tadi memandangnya dengan mata menyatakan kekagumannya, akan tetapi siapakah diantara sekian banyaknya laki-laki yang tidak memandangkanya dengan kagum? Oleh karena itu, ia tidak mengambil perduli, hanya diam-diam ia merasa heran mengapa diantara nelayan-nelayan yang sederhana itu terdapat seorang pemuda yang demikian cakapnya. Kegembiraannya bertambah ketika mengetahui bahwa pemuda itupun mengagumi kecantikannya. Perempuan manakah yang tidak merasa gembira dan bangga apabila ada mata laki-laki memandangnya dengan kagum? Segalak-galaknya wanita, biarpun di luar ia mungkin akan marah apabila ada laki-laki lain memandangnya dengan tajam, akan tetapi tak salah lagi di dalam hatinya ia pasti merasa amat gembira dan bangga! Dengan adanya kekaguman yang terpancar keluar dari mata orang-orang lelaki yang ditunjukan kepadanya, maka tak pecumalah segala jerih payahnya merawat dan menjaga diri serta bersolek setiap hari!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Di luar sangkaan semua orang, pemuda ini bukan lain ialah Kertapati, bajak laut yang menggemparkan itu! Dengan menyamar seperti seorang nelayan biasa, ia mencampurkan dirinya dengan orang banyak untuk ikut menonton keramaian itu dan sekalian melakuan penyelidiakan untuk keperluan “pekerjaannya “.</div><div style="text-align: justify;">Ia merasa heran dan benci kepada matanya sendiri mengapa mata itu tidak mau menurut kehendaknya. Selama ini, diantara kawan-kawannya, yakni anak buahnya yang membantu pekerjaannya sebagai bajak laut, ia terkenal sebagai seorang pemuda yang “ alim “ dan sama sekali tidak suka membicarakan tentang perempuan-perempuan cantik.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Apabila kawan-kawannya bercakap-cakap soal perempuan, ia menjatuhkan dirinya tanpa mencurahkan sedikitpun perhatian sungguhpun ia tidak melarang mereka. Akan tetapi, para anak buah bajak laut itu jangan sekali-kali berani emncoba untuk menganggu wanita di depannya! Pernah ia menghajar seorang anak buahnya sampai setengah mati ketika anak buahnya itu menculik seorang gadis dari perahu yang mereka rampok.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kini, melihat Roro Santi, menurut kehendaknya, ia tidak mau mengambil perduli sama sekali dan bahkan tidak ingin melihatnya, akan tetapi aneh, matanya seperti terkena pesona dan ia tidak dapat menguasainya pula! Oleh karena itu aia merasa benci kepaa matanya, kepada hatinya, dan kepada diri sendiri.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Bodoh! “ bisiknya kepada diri sendiri. “ Mata keranjang! “</div><div style="text-align: justify;">Ia memaki-maki diri sendiri seakan-akan yang berbuat itu adalah seorang yag menjadi orang kedua. Melihat betapa juita itu agaknya tidak mengacuhkan, ia menjadi makin gemas kepada diri sendiri dan merasa direndahkan. Saking gemasnya, untuk menghukum diri sendiri, ia lalu terjun ke dalam air, ikut menyelam dan mengejar uang yang dilempar ke dalam air! Ia sampai lupa untuk, membuka bajunya dan terjun ke dalam air dengan pakaian masih lengkap!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat seorang pemuda terjun ke dalam air dengan pakaian lengkap, pecahlah suara ketawa dari para penonton. Diluar kehendaknya, Kertapati menarik perhatian semua orang. Apalagi ketika ia memperlihatkan kesigapan dan kecepatannyadi dalam air yang tiada ubahnya laksana seekor ikan belut itu. Para penyelam lainnya merasa terkejut sekali karena tiap kali mereka hendak menangkap sebuah mata uang yang dilemparkan dan tenggelam di depan mereka, tahu-tahu berkelebat bayang-bayang hitam bagaikan seekor ikan menyambar dan uang itu telah dihahului dan disaut oleh bayangan hitam yang cepat gerakannya itu. Yang telah mengherankan lagi ialah kekuatan menyeam pemuda ini, karena lin penyelam setelah menyelam sekali dan mendapatkan sepotong uang logam itu, dan muncul kembali untuk mengambil napas, akan tetapi Kertapati bermain-main di dalam air bagaikan ikan dan seakan-akan ia tidak membutuhkan pergantian napas! Penyelam lain telah tiga kali mengambil napas di permukaan air, akan tetapi ia masih saja berada di dalam air!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Akhirnya, setelah kedua tangannya penuh dengan uang logam, Kertapati mncul di permukaan air. Tepuk-sorak menyambutnya sebagai tanda memuji dan ketika Kertapati melihat betapa tepuk tangan dan sorakan itu diberikan untuknya, ia menjadi merasa malu dan sebal. Dilemparkannya kembali semua uang di tangannya itu ke dalam air sambil tertawa bergelak! Tentu saja semua orang merasa heran melihat ini, akan tetapi para nelayan yang melihat demikian banyaknya uang dilempar ke air, segera ikut menyelam dan sebentar saja uang yang dilempar oleh Kertapati itu menjadi rebutan di dasar air!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kertapati kembali memandang ke arah Roro Santi dan kebetulan sekali gadis inipun sedang memandang ke arahnya dengan mata kagum. Biarpun Kertapati tidak membuka pakaiannya ketika menyelam, akan tetapi oleh karena kini bajunya basah kuyup, maka baju itu melekat pada kulit tubuhnya, membuat potongan tubuhnya nampak nyata.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bahu yang bidang, dada yang menonjol ke depan, lengan yang kuat pinggang yang kecil itu memang amat mengagumkan, terutama karena tubuh yang gagah ini dimiliki oleh wajah yang demikian tampan.</div><div style="text-align: justify;">Diam-diam Roro Santi memuji ketampanan dan kegagahan pemuda ini dan melihat betapa pemuda itu melemparkan kembali semua uang yang tadi melemparkan kembali semua uang yang tadi diambilnya ketika ia menyelam, ia dapat menduga bahwa pemuda ini pasti bukan seorang nelayan atau petani biasa! Ksatria dari manakah dia?</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepadanya, Roro Santi menjadi gugup dan merasa betapa mukanya menjadi panas. Ia segera menundukkan mukanya yang menjadi merah itu dan dengan tangan gemetar ia mencabut tusuk kondenya yang terbuat daripada emas dihias permata intan. Ia lalu mengerling ke arah Kertapati yang masih memandangnya, kemudian sengaja melepaskan tusuk konde itu ke dalam air!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kertapati melihat gerakan ini, juga banyak penyelam yang telah timbul di permukaan air melihat benda berharga ini terjatuh ke dalam air, maka cepat mereka menyelam untuk memperebutkannya. Kertapati memandang dengan dada berdebar aneh, dan ia merasa seakan-akan bahwa tusuk konde itu sengaja dilempar di dalam air untuknya! Sebelum ia dapat menekan debar jantungnya, ia telah melompat kembali ke dalam air!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kertapati melihat gerakan ini, juga banyak penyelam yang telah timbul di permukaan air melihat benda berharga ini terjatuh ke dalam air, maka cepat mereka menyelam untuk memperebutkannya. Kertapati memandang dengan dada berdebar aneh, dan ia merasa seakan-akan bahwa tusuk konde itu sengaja dilempar di dalam air untuknya! Sebelum ia dapat menekan debar jantungnya, ia telah melompat kembali ke dalam air!</div><div style="text-align: justify;">Tiga orang penyelam yang terpandai telah meluncur dekat benda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh mereka terdorong ke kanan dan kiri oleh sepasang lengan yang luar biasa kuatnya dan sebelum mereka dapat mempertahankannya, tusuk konde itu telah disambar oleh tangan penyelam baju hitam yang aneh tadi!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kertapati lalu timbul lagi di permukaan air dan berenang cepat sekali ke darat, lalu melompat dengan sigapnya ke atas batu karang. Dari situ ia lalu melompat ke arah panggung dengan tangan kanan dan sekali ia ayun tubuhnya, ia telah naik ke atas panggung itu, tepat dihadapan Roro Santi yang menjenguk ke bawah untuk melihat siapa yang berhasil mendapatkan tusuk kondenya!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Untuk sejenak, Roro Santi tertegun dan memandang dengan matanya yang indah itu terbelalak kepada pemuda yang kini berada dihadapannya. Kertapati tersenyum dan mengulurkan tangannya yang memegang tusuk konde itu sambil berkata perlahan, “ Terimalah kembali tusuk kondemu ... kau telah menjatuhkannya ke dalam air ... “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Pemuda itu merasa terheran sendiri mengapa ia merasa begitu gugup sehingga bicaranyapun terputus-putus dan napasnya tersengal.</div><div style="text-align: justify;">Dengan muka merah Roro Santi mengulur tangannya, akan tetapi ia segera menariknya kembali dan berkata dengan muka tetap tunduk, “ Kau ... ambillah ... itu menjadi hakmu! “</div><div style="text-align: justify;">Semua orang-orang bagsawan yang duduk ditarup itu, merasa marah dan penasaran melihat betapa seorang penyelam berani naik ke panggung dan menghadapi Roro Santi dengan berdiri saja, sedangkan puteri itu duduk di kursi. Alangkah berani dan kurang ajarnya! Bahkan andaikata Kertapati naik ke panggung dan menghadapi puteri itu dengan menyembah dan berlututpun sudah merupakan perbuatan yang kurang ajar karena tanpa mendapat perkenan mereka, tak seorang nelayan atau penonton boleh naik ke panggung begitu saja, apalagi mengajak bicara seorang puteri dipati!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Yang paling marah adalah Raden Suseno yang duduknya tak jauh dari tempat itu. Dengan hati penuh cemburu dan marah, pemuda ini melihat betapa sinar mata kertapati menatap wajah tunangannya dengan berani, kurang ajar, dan penuh perasaan. Ia berdiri dari kursinya dan segera melompat ke depan Kertapati.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ bangsat rendah ! “ ia memaki samnil memandang dengan mata melotot. “ Jangan berlaku kurang ajar! “</div><div style="text-align: justify;">Kertapati memandangnya dengan senyum simpul, seperti seorang dewasa memandang seoranga nak kecil yang nakal. “ Puteri ini menjatuhkan perhiasan rambutnya dan aku menolong mengambilkannya lalu mengembalikan benda ini kepadanya, mengapa kurang ajar? “</div><div style="text-align: justify;">“ Tutup mulut! Lekas kembalikan perhiasan itu kepadaku dan segera enyah dari sini! “ bentak Raden Suseno marah.</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi Kertapati tetap tersenyum dengan wajah tenang. Para bangsawan yang berada di situ makin tertarik melihat pertengkaran ini, bahkan beberapa orang opsir Belanda yang menjadi tamu juga memandang dengan tertarik. Mereka semua kini berdiri dari kursinya dan semua mata, baik yang berada di tas panggung maupun yang berada di bawah, yakni para nelayan dan penonton, ditujukan ke arah atas panggung di mana pemuda baju hitam yang aneh itu sedang berdiri berhadapan dengan Raden Suseno yang sedang marah.</div><div style="text-align: justify;">“ Benda ini bukan milikmu, enak saja kau memintanya! “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Raden Suseno makin marah. “ Bangsat kurang ajar! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Aku adalah Raden Suseno putera bupati dari Rembang, dan puteri ini adalah tunanganku, Raden Roro Santi! “</div><div style="text-align: justify;">Kertapati segera memotong pembicaraannya dengan membongkokkan tubuh dan berkata. “ Terima kasih atas pemberitahuan nama itu, bukan namamu, akan tetapi nama puteri ini Roro Santi, alangkah indah nama ini, sesuai benar dengan orangnya ... “</div><div style="text-align: justify;">“ Keparat! Lekas berikan barang itu kepadaku! Atau barangkali kau minta dihajar dulu? “ Raden Suseno sudah menjadi marah sekali maka ia lalu mengayun tangan kanannya, menempiling ke arah kepala Kertapati. Akan tetapi, dengan tenang sekali Kertapati merendahkan tubuhnya sehingga tamparan itu lewat di atas kepalanya, mengenai tempat kosong.</div><div style="text-align: justify;">“ Pemiliknya telah memberikan kepadaku, kau perduli apa? “ katanya, “ Kalau kau menghendaki benda ini, mengapa tadi kau tidak melompat ke dalam air? “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi Raden Suseno taidak mau banyak cakap lagi, wajahnya menjadi pucat saking marahnya dan ia merasa penasaran sekali betapa tamparannya dihindarkan dengan mudah oleh pemuda itu. Ia menyerang lagi dengan tonjokan keras ke arah dada lawannya, dan menyusul dengan tendangan keras dan cepat untuk menendang tubuh pemda bulu hitam itu agar terlempar ke bawah panggung!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Raden Suseno adalah seorang pemua ahli pencak, maka gerakannya cepat dan tenaganya kuat. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kertapati miringkan tubuh ke kiri untuk mengelak dari tonjokan ke arah dadanya, kemudian ketika kaki kanan lawannya yang menendang menyambut dekat, tiba-tiba ia ulur tangan kirinya dan mendorong tubuh Raden Suseno ke kanan! Karena tenaga tendangan sendiri ditambah denagn dorongan lawan, tak dapat tertahan lagi tubuh Raden Suseno terlempar ke kanan dan jatuh ke bawah panggung! Terdengar suara “ jeburr! “ ketika tubuhnya menimpa air, disusul suara tertawa yang ditahan-tahan dari para penonton di bawah panggung!</div><div style="text-align: justify;">Pada saat itu, terdengar teriakan orang dari bawah panggung, “ Dia Kertapati ... ! Dia yang dulu kami kejar-kejar! Dia Kertapati! Tangkap ... ! “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Yang berteriak-teriak ini adalah seorang diantara empat ponggawa yang dulu hendak menangkap Kertapati dengan bantuan seorang sersan Belanda. Ponggawa itu lupa bahwa kalau bajak laut itu berlaku kejam dan tidak menolong dia dan tiga orang kawannya ke dalam perahu, tentu mereka berempat telah mati seperti sersan Belanda itu pula! Kini ia berteriak-teriak dan berlari menuju ke panggung itu.</div><div style="text-align: justify;">Roro Santi terkejut sekali mendengar ini dan ia memandang kepada Kertapati dengan mata terbelalak dan muka pucat. Jadi inilah bajak laut Kertapati yang telah menggemparkan seluruh negeri selama beberapa bulan ini?</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Terima kasih atas pemberian benda yang akan kusimpan selama hidupku ini ... “ Kertapati masih sempat berbisik perlahan sebelum mempersiapkan diri menghadapi musuh-musuhnya.</div><div style="text-align: justify;">Memang, teriakan yang dikeluarkan oleh ponggawa tadi, untuk sejenak membuat semua orang merasa seakan-akan tubuh mereka menjadi kaku. Mereka berdiri bagaikan patung memandang kearah pemuda baju hitam yang msih berdiri di depan Roro Santi, bahkan kini tidak ada orang yang memandang ke dalam air di mana Raden Suseno sedang berenang ke tepi sambil menyumpah-nyumpah!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kemudian, serentak timbullah keributan besar ketika para penjaga dan ponggawa, dengan tombak di tangan lalu mengurung punggung di mana Kertapati mengeluarkan suara ketawa bergelak dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah terjun ke dalam air!</div><div style="text-align: justify;">Terdengar tembakan yang dilepas dari senjata api di tangan seorang opsir tamu Belanda, akan tetapi dengan menyelamkan diri ke dalam air, Kertapati dapat menyelamatkan diri dari peluru yang menyambarnya itu. Opsir-opsir Belanda lain ketika mendengar bahwa pemua itu adalah bajak laut yang mereka benci, juga sudah mengeluarkan senjata api masing-masing dan kini dengan membabi-buta mereka menembak ke dalam air sambil mengira-ngira saja!</div><div style="text-align: justify;">Kertapati terus berenang di bawah permukaam air dan ketika ia muncul kembali, ternyata ia telah berada di tepi yang jauh dari terup itu, lalu melompat ke darat di mana terdapat banyak penonton. Akan tetapi, apra opsir itu masih menembakkan senjata api mereka ke arah tempat itu dan dua orang penonton roboh terkena peluru, sedangkan Kertapati lenyap diantara penonton yang banyak!</div><div style="text-align: justify;">Tentu saja hal ini menimbulkan keributan dan geger. Semua penonton berlari cerai-berai, takut terkena tembakan yang nyasar dan yang lepas dengan ngawur itu. Ketika tempat itu sudah bersih dari para penonton, ternyata Kertapati telah lenyap pula tanpa meninggalkan bekas! Para pnggawa masih mencari ke sana ke mari dengan hati kebat-kebit karena ketakutan, akan tetapi yang dicari telah lenyap, entah ke mana perginya!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perbuatan Kertapati yang amat berani ini mendatangkan kesan mendalam pada semua orang. Para opsir Belanda makin membencinya dan menggangapnya sebagai pengacau yang kurang ajar, terutama sekali Raden suseno merasa amat marah dan juga cemburu sekali. Ia tidak puas akan sikap tunangannya yang memberikan tusuk kondenya kepada bajak laut jahat itu! Hanya di dalam dada seorang saja kertapati menimbulkan kesan yang luar biasa, yakni dalam dada Roro Santi sendiri! Gadis ini merasa demikian tertarik kepada pemuda baju hitam itu. Ia menganggap pemuda itu gagah berani, jujur, dan juga tidak menjilat-jilat seperti Raden Suseno atau lain-lain pemuda dihadapannya. Kekurangajaran dan kekasaran bajak laut itu menarik hatinya. Biarpun berkali-kali ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menganggap Kertapati sebagai seorang bajak laut yang kejam, pengacau yang penuh dosa, akan tetapi perasaan wanitanya berpendapat lain dan anehnya, bayangan pemuda dengan senyumnya yang manis dan tenang itu sukar sekali diusir dari alam pikirannya!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Opsir Belanda yang pertama-tama melepaskan tembakan ketika Kertapati muncul dalam keramaian di pantai Jepara itu, adalah seorang berusia kurang dari tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, berambut kekuning-kuningan dan matanya biru serta tajam sekali. Dia bukanlah seorang opsir biasa, karena sesunguhnya opsir ini yang namanya Dolleman, adalah seorang kepala pasukan rahasia atau mata-mata Belanda yang banyak disebar untuk menyelidiki keadaan dan pergerakan para pengeran di Mataram berhubung dengan pemberontakan-pemberontakan Trnajaya. Dolleman amat cerdik dan ia telah mempelajari bahasa daerah sehingga dapat bercakap-cakap alam bahasa itu cukup fasih, sungguhpun lidahnya masih terasa kaku untuk dapat mengucapkan kata-kata daerah yang sing baginya itu.</div><div style="text-align: justify;">Telah banyak jasa yang diperbuat selama ia datang dari negerinya sehingga di kalangan Kompeni, ia mendapat kepercayaan penuh, bahkan ia mempunyai surat kuasa untuk menggerakkan semua pasukan Kompeni yang terdapat di mana saja, menurut perintahnya apabila terjadi sesuatu yang penting.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Selain mendapat tugas untuk mengawal Speelman yang mengunjungi Jepara dan mengadakan perteuan dengan Sunan, iapun mendapat tugas pula untuk menyelidiki dan mencari sarang bajak laut Kertapati yang mengacau disepanjang tepi Tegal sampai Jepara. Maka ketika Kertapati dengan beraninya muncul dalam keramaian di pantai itu, Dolleman segera mengerahkan seluruh pembantunya untuk disebar an melakukan penyelidikan di sekitar daerah Jepara. Ia merasa yakin bahwa bajak laut itu tentu berada di sekitar daerah itu dan bersembunyi di sebuah desa.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dolleman mempunyai banyak sekali kaki tangan yang terdiri dari penduduk pribumi yang tela makan uang sogokannya, akan tetapi, ia tidak kenal betul kecerdikan Kertapati, dan tanpa disadarinya seorang diantara kaki tangannya adalah seorang anak buah bajak laut sendiri! Oleh karena itu, tentu saja kaki tangannya melakukan pengejaran dan penyelidikan, mereka tak berhasil menemukan bajak laut itu,</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Di dalam rumah penginapan. Dolleman duduk di kamar, sudut bibirnya menjepit sebatang serutu dan kedua tanagnnya mempermain-mainkan sebatang tangkai pena. Pikirannya bekerja keras dan ia benar-benar merasa bingung menghadapi bajak laut kertapati yang amat cerdik itu. Peristiwa terbunuhnya sersan Zeerot dan keadaan empat kawan ponggawa yang pingsan di dalam perahu, membuat ia dapat menduga bahwa betapapun juga, sebagai seorang bajak laut, Kertapati masih melindungi orang-orang sebangsanya. Siapa lagi kalau bukan Kertapatiyang menolong empat orang ponggawa itu sehingga mereka tidak mati tenggelam? Perbedaan nasib sersan Zserot dan empat orang ponggawa itu menimbulkan dugaannya bahwa Kertapati bukanlah bajak laut biasa dan Dolleman mulai menghubungkan keadaan bajak laut itu dengan pemberontakan Trunajaya. Adakah hubungan antara Kertapati dan Trunajaya?</div><div style="text-align: justify;">Untuk mencari sesuatu yangmerupakan titik terang guna mencari jejak untuk penyelidikan, ia mulai mengenangkan lagi semua peristiwa yang terjadi di dekat pantai pada waktu keramaian itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Terbayanglah di depan matanya yang biru tajam itu ajah Roro Santi yang cantik jelita, pandang matanya yang amat manis itu.</div><div style="text-align: justify;">Terbayang pula betapa Kertapati memandang puteri itu dengan mata penuh perasaan dan teringatlah ia akan pemberian tusuk konde itu. Tiba-tiba Dolleman menancapkan penanya di atas meja dan berseru.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Bagus ... !! Akal inilah yang harus kugunakan!! “</div><div style="text-align: justify;">Wajahnya yang cakap menjadi berseri gembira, matanya yang tajam bercahaya terang ia segera menukar pakaiannya dengan pakaian yang indah dan baru. Kemudian denagn langkah lebar dan bersiul-siul, ia berjalan keluar dari rumah penginapannya dan lagsung menuju ke gedung Adipati Wiguna.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Adipati Wiguna menyambutnya dengan ramah tamah dan tamunya duduk di ruang tengah. Diperintahnya pelayan untuk mengeluarkan hidangan bagi tamu itu, akan tetapi Dolleman lalu berkata sambil tersenyum.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Jangan merepotkan diri, tuan Adipati! Saya hanya ingin bercakap-cakap sebentar dan karena yang akan saya bicarakan ini adalah suatu hak yang amat penting, harap tuan Adipati suka menyuruh semua pelayan mengundurkan diri agar percakapan kita takkan terganggu. “</div><div style="text-align: justify;">Biarpun merasa agak heran, Adipati Wiguna lalu memerintahkan semua pelayannya mundur, kemudian ia menghadapi Dolleman yang duduk di depannya sambil bertanya, “ Perkara apakah gerangan yang hendak kau bicarakan? “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sebelum mulai bicara, Dolleman mengeluarkan sebungkus cerutu dan menawarkannya kepada tuan rumah, akan tetapi dengan halus Adipati Wiguna menampiknya sambil mengucapkan terima kasih. Dolleman mencabut sebatang cerutu dan menyalakannya, lalau menghisap asap cerutu itu dalam-dalam ke dadanya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Tuan Adipati Wiguna, “ katanya setelah menghembuskan asap itu keluar dari mulut dan hidungnya, “ telah lama saya mendengar nama tuan Adipati dan kalau tidak salah tuan Adipati berasal dari Demak, bukan? “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Adipati Wiguna mengganguk dan bangsawan ini cukup mklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang opsir penyelidik yang terkenal sekali, maka ia menanti dengan hati berebar akan kelanjutan dari percakapan ini. Karena tidak mungkin opsir ini datang sekedar untuk bercakap-cakap angin belaka.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Memang saya sekeluarga berasal dari Demak tuan Dolleman, “ jawabnya menekan debar jantungnya “ belum la asaya dipindahkan ke Jepara dan menjabat pangkat di sini. “</div><div style="text-align: justify;">Dolleman mengangguk-angguk dan menyentil-nyentil cerutunya dengan jari sehingga abunya yang putih jatuh ke atas lantai. “ Tuan Adipati, saya telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran, diantaranya pertempura melawan Trunajaya di Surabaya. Pertemuan saya dengan tuan Adipati mengingatkan saya akan seorang pemimpin pemberontak pembantu Trunajaya, oleh karena wajahnya mirip sekali dengan tuan Adipati. “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Biarpun Adipati Wiguna berusaha menetapkan hatinya, namun wajahnya tetap saja berubah pucat mendengar uapan ini. Ia tersenyum menutupi kegelisahannya dan berkata, “ Kau aneh sekali, tuan letnan! Tentu saja diantara ribuan manusia di dunia, banyak yang mirip mukanya, apakah anehnya hal ini? “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dolleman mengangguk-angguka kepalanya yang berambut kuning keemasan itu. “ Saya tahu, saya tahu ... akan tetapi anehnya pula, orang inipun berasal dari Demak! “ Kemudian letnan itu mendekatka kepalanya kepada tuan rumah danmatanya memandang tajam sekai, seakan-akan berusaha hendak menembus mata Adipati Wiguna an menjenguk ke dalam hatinya. “ Dia itu bernama Wiratman, kenalkah kau kepadanya, tuan adipati?? “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Wajah Adipati Wiguna makin pucat dan ia tidak dapat menjawab untuk beebrapa lama. Ia maklum bahwa letnan Belanda itu telah mengetahui hal ini dan iamerasa seakan-akan ia berada dalam cengkraman tangan tamunya ini.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat kebimbangan tuan rumah, letnan Dolleman tersenyum dan menarik napas panjang tanda kepuasan hatinya. “ Tuan adipati, jangan kau gelisah. Sesungguhnya saya sudah tahu belaka bahwa Wirataman itu adalah adik kandungmu! Akan tetapi, sekali saja janagn kau berkuatir, tuan Adipati. Biarpun hal ini apabila diketahui oleh Sunan akan merupakan hal yang hebat dan bahaya akan mengancam keluargamu, akan tetapi hal ini yang mengetahui hanya saya seorang, dan saya tah betul bahwa tuan Adipati tidak sama dengan adik kandung yang menjadi pemberontak itu! “ Kembali Dollemon menghisap cerutunya dan menyadarkan tubuhnya pada kursinya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Tuan letnan Dolleman, terima kasih atas kepercayaanmu. Dan ... dan apakah kiranya yang dapat saya lakukan untuk membalas kebaikan budimu ini? “</div><div style="text-align: justify;">Melihat sikap dan mendengar ucapan Adipati Wiguna yang langsung itu, Dolleman tertawa bergelak, memperlihatkan giginya yang besar dan putih.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Ha, ha, tuan Adipati. Saya suka melihat tuan yang bersikap terus terang dan langsung ini! Memang harus begini laki-laki menyelesaikan sesuatu persoalan. Terus terang pula saya menyatakan kepadamu bahwa setelah bertemu dengan puterimu Roro Santi pada keramaian di pantai kemarin dulu, saya merasa suka kepadanya. Dengan setulus hati aya, saya mengajukan pinangan untuk puteri tuan adipati itu! “ Sambil berkata demikian, kembali sepasang mata Dolleman memandang tajam.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bukan main terkejutnya hati Adipati Wiguna mendengar pinangan yang pernah diduga-duganya itu. Dia adalah seorang Islam demikianpun semua keluarganya, dan sungguhpun ia berselisih faham dengan Wiratman yang membela Trunajaya sedangkan ia tetap bersetia kepada sunan Amangkurat II, namun ia tetap seorang umat islam yang beribadat dan teguh iman. Bagaimana ia dapat menikahkan puterinya kepada seorang Belanda, seorang kafir? lagipula, puterinya itu telah dipertunangkan dengan Raden Suseno, putera bupati di Rembang.</div><div style="text-align: justify;">“ Tuan letnan, hal ini tak mungkin dapat kuterima! Puteriku telah bertunangan dengan putera Bupati Randupati di Rembang dan pula, sebagai seorang Islam, kami tak mungkin menikahkan puteri kami kepada seorang yan bukan umat Islam! Harap kaumengerti akan hal ini dan mintalah saja yang lain. “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dolleman tertawa lagi dan sikapnya masih tenang. “ Kalau begitu tiada jalan lain bagi saya selain membuka rahasiamu kepada Sunan, biarkan Sunan sendiri yang menetapkan akibatnya! “</div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba Dolleman tertawa terbahak-bahak, sama sekali tidak memperlihatkan sikap melawan atau meraba senjata apinya.</div><div style="text-align: justify;">“ Adipati Wiguna, simpan kembali kerismu itu. Aku hanya main-main saja. Ketahuilah, di negeri Belanda akupun telah mempunyai seorang isteri yang manis dan seorang anak, apa kaukira aku benar-benar hendak menikah lagi! Ha, ha, ha,!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Adipati Wiguna memanang heran, menyimpan kembali kerisnya dan duduk sambil berkata. “ Tuan letnan Dolleman, jangan kau main-main. Apakah maksudmu yang sesungguhnya? aku sudah tua, jangan kau mempermainkan perasaanku. “</div><div style="text-align: justify;">Dolleman membuang putung cerutunyake alam tempolong yang berada di bawah meja, lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Tuan Adipati Wiguna, pinaganku ini hanya merupakan siasat untuk memancing bajak laut Kertapati, agar aku mendapat jaln untuk menangkapnya! “</div><div style="text-align: justify;">“ Saya tidak mengerti mksudmu, bentangkanlah yang jelas. “</div><div style="text-align: justify;">“ Begini tuan Adipati. Pada waktu bajak laut itu muncul di panggung dan berhadapan dengan puterimu, saya dapat melihat dengan jelas bahwa bajak itu jatuh cinta kepada puterimu! Hal ini kuketahui baik-baik dan sungguhpun saya berani menyatakan bahwa puterimu juga tertarik kepadanya, akan tetapi aku yakin betul bahwa penjahat itu suka kepada Roro Santi! Oleh karena itu saya mendapat akal. Kalau dia mendengar bahwa Roro Santi akan menjadi isteri saya, tentu ia akan marah dan akan menghalanginya dan demikian, kita mendapat kesempatan untuk menawan atau membunuhnya! “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Jadi ... tuan hendak menggunakan puteri saya sebagai umpan untuk memancing dia keluar ... ?? “ tanya Adipati Wiguna dengan muka pucat.</div><div style="text-align: justify;">“ Benar! Akan tetapi jangan kuatir, kami akan menjaga keras agar puterimu itu tidak mengalami sesuatu. Juga dengan pengurbanan ini, berarti Adipati dan puterinya telah emnunjukkan jasa besar terhadap Mataram. Bukankah bajak laut itu selain musuh Kompeni, juga merupakan musuh Mataram yang selalu mengacau dan menggangu lalu lintas di laut? “</div><div style="text-align: justify;">Adipati wiguna mengerutkan kening dan berpikir, kemudian berkata ragu-ragu. “ Akan tetapi ... bagaimana dengan Bupati Randupati dan puterinya? Saya rasa mereka akan keberatan! “</div><div style="text-align: justify;">Dolleman tersenyum. “ Kalau kita jelaskan bahwa pinangan dan penyerahan puterimu kepada saya ini hanya sandiwara belaka, mengapa mereka berkeberatan? Saya akan memberitahukan hal ini kepadaatasan saya, juga kepada Sunan, tidak mau membantu, bukankah berarti bahwa dia membela dan melindungi bajak laut? kertapati? Apakah dia berani menolak? “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Akhirnya, karena berada di dalam kekuasaan Dolleman yang cerdik itu. Adipati Wiguna! Sekali-kali jangan kau ceritakan kepada Roro Santi, karena hal ini amat berbahaya. Kalau sampai rahasia ini bocor, maka tentu bajak laut Kertapati akan mendengar dan taidak mau membiarkan dirinya masuk perangkap! “</div><div style="text-align: justify;">Adipati Wiguna mengangguk-angguk mklum dan mereka berdua lalu pergi ke Rembang guna berunding denga Bupati Randupati di Rembang. Juga Bupati ini terpaksa menurut, sedangkan Raden Suseno yang tadinya merasa keberatan, ketika mendengar bahwa hal ini dilakukan untuk memancing keluar bajak laut Kertapati yang amat dibencinya, lalu menyatakan persetujuannya!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ sekarang harap tuan Adipati Wiguna suka menyiarkan berita bahwa pertunaga antara puterimu dan Raden Suseno dibatalkan dan kemudian menyiarkan berita bahwa puterimu telah ditunangkan dengan seorang letnan Kompeni. Kita sama-sama lihat apakah hal ini belum cukup kuat untuk memancing keluar Kertapati. Kalau belum cukup kuat, barulah kita bertindak lebih jauh, yakni mengirimkan puterimu dengan perahu Kompeni ke Semarang! Sementara itu, aku akan berusaha menyelidiki di mana sebenarnya sarang Kertapati itu! “</div><div style="text-align: justify;">Demikian Letnan Dolleman membari pesan terakhir kepada Adpipati wiguna.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dua hari kemudian, seorang laki-laki berkumis panjang melarikan kudanya menuju ke barat. Laki-laki ini datang dari Jepara dan ketika ia tiba di batas kota, ia ditahan oleh beberapa orang penjaga. Akan tetapi laki-laki itu mengeluarkan sehelai kartu yang ada tanda cap dua singa. Membaca kartu keterangan itu, para penjaga membiarkan ia pergi tanpa berani menganggu, oleh karena kartu ini adalah tanda bahwa orang ini adalah seorang mata-mata kaki tanagn Kompeni! Memang benar, orang ini bernama Jiman, seorang kaki tangan dari Letnan Dolleman. Akan ettapi, sebenarnya Jiman adalah seorang anak buah bajak laut Kertapati yang dengan cerdiknya telah mendapat kepercayaan dari Letnan Dolleman, bahkan telah dijadikan mata-mata dari letnan itu!</div><div style="text-align: justify;">Setelah melalui pos penjagaan dengan selamat, Jiman terus membalapkan kudanya menuju ke barat an akhirnya ia memasuki sebuah dusun di pantai laut, kurang lebih empat puluh kilometer dari Jepara. Di luar dusun nampak beberapa orang pemuda nelayan yang menjaga an melihat kedatangan Jiman, mereka lalu mengantarkan mata-mata itu ke sebuah rumah bambu besar. Di dalam rumah itu nampak kurang lebih dua puluh orang laki-laki sedang duduk di atas tikar, agaknya sedang mengadakan rapat. Inilah tempat berkumpulnya kawanan bajak laut yang dikepalai oleh Kertapati memang mempunyai banyak tempat-tempat pertemuan di sepanjang pantai, dan ia mendapat dukungan sepenuhnya ari penduduk dusun yang tahu akan perjuangan!</div><div style="text-align: justify;">Perlu diketahui bahwa sebenarnya, Kertapati adalah seorang lejuang yang aktip dari pemberontakan Trunajaya! Sungguhpun ia bukan langsung menjadi anak buah Trunajaya, akan tetapi sebagai seorang yang bersempati kepada pemberontakan Tunajaya, ia merupakan pembantu sukarela yang telah banyak berjasa. Semenjak Trunajaya masih bertahan di Surabaya, Kertapati telah banyak membantunya dengan pengiriman-pengiriman senjata yang dapat dirampasnya dari perahu-perahu Belanda, atau harta benda yang dapat dirampoknya dari perahu-perahu yang menjadi kurbannya.</div><div style="text-align: justify;">Melihat kedatangan Jiman, Kertapati berdiri menyambutnya dan mempersilakan orang itu duduk.</div><div style="text-align: justify;">“ Jiman, kau membawa berita apakah? “ tanyanya dan semua mata dari mereka yang duduk disitu ditujukan kepada pendatang itu.</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati, “ kata jiman yang telah kenal baik kepada bajak itu, “ tidak ada berita yang penting. Dolleman agaknya telah berputus asa dan tidak mengirim orang-orangnya untuk mencari jejakmu lagi. Akan tetapi ada sebuah berita aneh yang membuat aku masih binggung memikirkannya. “</div><div style="text-align: justify;">“ Apakah itu? “</div><div style="text-align: justify;">“ Aku mendengar berita bahwa Adipati Wiguna telah membatalkan pertunangan puterinya dengan putera Bupati Randupati! Hal ini memang tak ada gunanya kuberitahukan kepadamu, karena mungkin sekali ini terjadi karena peristiwa dengan kau dulu itu. Akan tetapi ada berita yang amat aneh mengejutkan, yaitu Adipati Wiguna setelah membatalkan pertunangan puterinya itu, lalu mempertunangkan anaknya dengan Dolleman! “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Apa ... ?? “ Kertapati terkejut sekali sehingga ia bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi, ketika melihat betapa semua kawannya memandangnya dengan heran, ia lalu menekan perasaannya dengan muka merah.</div><div style="text-align: justify;">“ Ah, biarlah, Hal itu apakah sangkut pautnya dengan kita? “</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, sambil berkata demikian, di luar tahunya semua orang, diam-diam ia meraba saku bajunya di mana tersimpan tusuk konde emas yang pada malam hari sering dikeluarkan dan dikaguminya itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Semenjak pertunangan itu diumumkan, Dolleman nampak tenang-tenang saja dan seakan-akan lupa kepada perkerjaannya. Jarang ia keluar pintu dan berdiam saja di rumah tempat ia menginap “, Jiman melanjutkan ceritanya. “ Oleh karena itu, kami yang menjadi pembantunya, tidak mempunyai pekerjaan sesuatu dan aku berkesempatan datang kemari. Selain itu, ada sebuah berita lagi. Rombongan Tumenggung Basirudin akan datang besok pagi dengan perahu dari Semarang. Kabarnya selain membawa isteri dan anaknya, tumenggung ini membawa banyak barang-barang berharga. “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Berita ini disambut dengan girang oleh kawan-kawan Kertapati, sungguhpun kepala bajak itu sendiri nampak tidak begitu gembira, karena hatinya masih penuh dengan berita tentang pertunagan Roro Santi dengan Dolleman tadi.</div><div style="text-align: justify;">“Aku tak dapat lama berdiam di sini, kuatir kalau-kalau menimbulkan kecurigaan.”</div><div style="text-align: justify;">“Baik, kau kembalilah ke Jepara, Jiman, dan perhatikan kalau-kalau ada perubahan dari fihak Dolleman, “ kata Kertapati. Jiman lalu keluar dan menunggang kudanya kembali, lalu melarikan kudanya pulang ke Jepara.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Saudara-saudara, “ kata Kertapati kemudian kepada kawan-kawannya, “ seperti telah kuceritakan tadi, sungguhpun Raden Trunajaya dan semua pegikutnya yang gagah berani telah dikalahkan oleh Kompeni, akan tetapi, berkat bantuan para saudara yang bersatu hati, kini Raden Trunajaya berhasil menduduki Mataram. Betapapun juga, hal ini belum berarti bahwa bencana telah lenyap sama sekali. Saudara semua tahu bahwa kedatangan Kompeni yang mengaakan perundingan dengan Sunan bukanlah hal yang tidak ada artinya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tentu mereka bersepakat untuk sama-sama menggempur Mataram dan merampasnya kembali dari Raden Trunajaya. Oleh karena itu, kita harus mengumpulkan sebanyak senjata api dari Belanda, dan juga mengumpulkan harta benda untuk membiayai pertahanan Raden Trunajaya. “</div><div style="text-align: justify;">“ Hasil-hsil kita di laut tidak berapa besar, apakah artinya bagi Raden Trunajaya? “ kata seorang anggota.</div><div style="text-align: justify;">“Karena inilah maka kita harus bekerja keras, dan kalau perlu kita akan serang Jepara dan merampas harta benda dari para hartawan an bagsawan di sana! “</div><div style="text-align: justify;">“ Itu berbahaya sekali! “ seru seorang anak buahnya.</div><div style="text-align: justify;">Kertapati tersenyum. “ Apakah artinya bahaya? “</div><div style="text-align: justify;">Orang yang berseru tadi tertawa geli. “ Bahaya artinya gembira! “ katanya karena memang ucapan ini merupakan semboyan mereka sejak dulu!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Kalau kita atur sebaliknya, apakah susahnya menyerbu kota seperti Jepara? “</div><div style="text-align: justify;">Demikianlah, dibawah pimpinan Kertapati yang cerdik itu, mereka mengatur siasat untuk menyerbu Jepara, kemudian ditetapkan bahwa sebelum penyerbuan itu, mereka lebih dulu akan merampok perahu yang adatang dari Semarang, yakni perahu yang membawa keluarga Tumenggung Basirudin.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Menjelang senjakala, sebuah perahu yang cukup besar berlayar maju menuju ke timur. Perahu ini datang dari Semarang, membawa penumapang-penumpang untuk Jepara, yakni keluarga Tumenggung Basirudin berserta anak isteri, para pelayan, dan beberapa orang saudagar. Karena mklum akan bahaya yang mengancam pada waktu itu, yakni bajak laut Kertapati, Basirudin dikawal oleh sepasukan penjaga yang membawa tombak, bahkan tiga orang pemimpin pasukan membawa senapan.</div><div style="text-align: justify;">Mereka merasa lega bahwa selama pelayaran itu tidak terdapat gangguan sesuatu dan kini pelabuhan Jepara telah nampak dari jauh. Ingin mereka lekas-lekas tiba di kota itu karena sebelum melangkahkan kaki di ambang pintu rumah masing-masing, mereka belum merasa aman.</div><div style="text-align: justify;">Perahu maju perlahan karena angin tak berapa besar. Tiba-tiba seorang penjaga berseru, “ Ada dua perahu di depan! “</div><div style="text-align: justify;">Semua orang menjadi pucat mendengar seruan ini dan memandang ke arah yang ditnjuk. Benar saja, di depan mereka nampak dua buah perahu melintang dan terapung-apung di atas air. Akan tetapi perahu-perahu yang berbentuk kecil akan tetapi panjang itu tidak ada penumpangnya. Dua perahu itu kosong!</div><div style="text-align: justify;">Tadinya pengemudi hendak membelokkan perahu, siap untuk menjauhi perahu-perahu itu, akan tetapi setelah memandang dengan jelas dan mendapat kenyataan bahwa perahu-perahu itu memang kosong, mereka menjadi lega dan melanjutkan perjalanan, makin mendekati perahu-perahu tadi.</div><div style="text-align: justify;">“ Mungkin terlepas dari ikatan! “ kata seorang.</div><div style="text-align: justify;">“ Nelayan-nelayan menakah yang demikian lalai sehingga perahu-perahu mereka terlepas dan terapung-apung di sini? “ tanya orang kedua.</div><div style="text-align: justify;">“ Perahu-perahu itu bercat hitam! “ terdengar seruan orang lain dengan kaget dan ngeri karena warna hitam adalah warna yang selalu dipergunakan oleh bajak-bajak laut Kertapati!</div><div style="text-align: justify;">“ Perahu-perahu macam itu bukanlah perahu nelayan! “ kata pula orang lain dengan kaget dan gelisah.</div><div style="text-align: justify;">Dan ketika perahu yang mereka tumpangi telah datang dekat dengan perahu-perahu yang kosong itu, tiba-tiba mereka melihat banyak kepala orang bersembunyi di balik perahu-perahu itu!</div><div style="text-align: justify;">“ Bajak ...! Bajak laut Kertapati ... ! “ seru seorang penjaga yang segera menyiapkan tombaknya. Gegerlah dalam perahu besar itu dan tiga orang pemimpin pasukan yang membawa senapan segera berlari ke depan.</div><div style="text-align: justify;">Kini para anak buah bajak yang tadi bersembunyi di belakang perahu, muncul dan berenang dengan cepat bagaikan serombongan ikan cucut menuju ke perahu yang hendak dirampok. Tiga orang pemimpin bersenapan lalu menembak ke arah mereka, akan tetapi tiba-tiba dari balik perahu kecil itu melayang anak panah yang dengan cepat dan jitu sekali menancap di leher seorang diantara para pemegang senapan itu.</div><div style="text-align: justify;">Orang itu menjerit dan senapannya terlepas dari tangannya, jatuh keluar perahu, ke dalam air! Dua orang kawanya menjadi terkejut sekali melihat orang ini roboh denga leher tertancap sebatang anak panah hitam, sehingga mereka menjadi gugup dan tembakan-tembakan mereka ngawur. Kembali meluncur anak panah dari pasukan pelindung yang terdiri dari lima orang dan yang bersembunyi di balik perahu sambil mementang busur dan ributlah orang-orang di atas perahu. Mereka segera mencari perlindungan dan menjauhi pinggiran perahu.</div><div style="text-align: justify;">Hal ini memudahkan rombongan bajak yang dipimpin oleh Kertapati untuk melemparkan besi-besi pengait ke atas. Besi-nesi itu diikat dengan tambang sehingga kini banyak tambang tergantung di pinggir perahu. Bagaikan kera-kera yang gesit para bajak itu naik ke tas melalui tambang dikepalai oleh Kertapati.</div><div style="text-align: justify;">Maka terjdilah perang tanding yang hebat di tas perahu itu diantara ponggawa dan anak buah bajak. Para ponggawa menggunakan tombak dan tameng, sedangkan para bajak menggunakan parang atau keris. Teriakan-teriakan bercampur denagn suara senjata gaduh. Anak buah bajak laut itu terdiri dari dua belas orang, sedangkan para pengawal berjumlah dua puluh orang lebih, akan tetapi para bajak itu berkelahi dengan hebat sekali.</div><div style="text-align: justify;">Terutama Kertapati, pemuda yang sigap ini sama sekali tidak memegang senjata, kaan tetapi di mana saja ia berada dan tiap kali kaki tangannya bergerak, bergelimpanglah tubuh para ponggawa kena tendang atau pukul. Dua orang pemimpin penjaga dengan senapannya tidak berani menembak karena dalam pertempuran kacau balau itu, sukarlah untuk melepaskan tembakan tanpa membahayakan kawan sendiri, maka mereka lalu berlari mendekati Kertapati dengan senapan ditodongkan!</div><div style="text-align: justify;">Kertapati dapat melihat kedatangan dua orang itu yang menanti sat baik untuk melepaskan tembakan kepadanya. Dengan cepat, pemuda itu lalu menangkap tanagn seorang penyerang yang memegang tombak, meninju perutnya sehingga orang itu mengeluh dan pingsan, kemudian dengan memutar tubuh orang ini di depannya, Kertapati melangkah maju menyambut kedatangan dua orang pemegang senapan.</div><div style="text-align: justify;">Dua orang pemimpin pengawal itu terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak berani menembak karena tembakan mereka tentu akan bersarang ke dalam tubuh kawan sendiri yang diputar-putar di depan kepala bajak itu, dan selagi mereka masih ragu-ragu tiba-tiba tubuh ponggawa itu dilontarkan oleh Kertapati ke arah seorang pemegang senapan! Dan berbareng dengan melayangnya tubuh itu, ia sendiri lalu melompat mengikuti dan menubruk pemegang senapan yang satu lagi! Senapan ditembakkan, akan tetapi karena Kertapati telah memperhitungkan hal ini dan menubruk dengan gerakan dari samping, maka tembakan itu tidak mengenainya dan sebelum orang itu dapat menembak lagi, tangan kiri Kertapati telah menangkap pergelangan tangannya dan tangan kanan pemuda ini melayang ke arah dagu lawan.!</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, ternyata bahwa pemimpin pasukan itu pandai pula bersilat. Dengan cepat ia dapat mengelak ke samping, akan tetapi terpaksa ia harus melepaskan senapannya yang oleh Kertapati lalu dirampas dan dipegang larasnya. Pada saat itu, pemegang senapan tang tadi tertimpa tubuh kawannya yang dilemparkan sehingga ia jatuh tunggang langgang di atas papan geladak, telah berdiri lagi. Secepat kilat senapan di tangan Kertapati diayun dan “ brak “, senapan lawannya itu kena dihantam oleh gagang senapan Kertapati sehingga pecah berantakan! Kertapati tertawa dan melemparkan senapan rampasannya tadi ke laut!</div><div style="text-align: justify;">Kini kedua orang pemimpin pasukan itu telah berdiri dan mencabut klewang mereka! Dengan muka beringas dan kumis berdiri saking marahnya, mereka lalu melangkah maju dengan tangan kanan yang memegang klewang diangkat tinggi-tinggi sedangkan tangan kiri dikepal dan dirapatkan di atas pinggang. Inilah sikap atau kuda-kuda seorang ahli pencak yang pandai!</div><div style="text-align: justify;">Kertapati yang bertangan kosong menanti dengan tenang, tubuhnya berdiri dengan kaki kiri di depan kaki kanan di belakang, agak membungkuk dan sepasang matanya dengan tajam menatap dua orang lawannya. Seluruh urat-urat dalam tubuhnya menegang, siap menghadapi serbuan lawan-lawan itu!</div><div style="text-align: justify;">Pemimpin pasukan yang berkumis tebal tiba-tiba berseru keras an klewang di tangannya diayun an dibacokkan ke arah kepala Kertapati dengan kecepatan luar biasa sehingga bacokan itu mengeluarkan suara bersiutan! Kertapati tidak tergesa-gesa mengelak. Dengan tubuh tak bergerak dan mata waspada ia menanti datangnya klewang yang menyambar kepalanya dan setelah klewang it hampir mengenai kepala, barulah ia mengelak dengan sedikit gerakan saja.</div><div style="text-align: justify;">Ia miringkan tubuh dengan tiba-tiba dan mengerakkan kepalanya, maka senjata lawan itu menyambar di samping kepalanya mengenai angin. Pada detik berikutnya, tangan kiri Kertapati yang dibuka dan dimiringkan telaha menyambar ke arah siku lengan lawan yang memagang klewang!</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi ternyata si kumis tebal itu benar-benar pandai silat karena ketika membacok tadi, tangan kirinya sudah siap sedia melindungi tangan kanan maka begitu melihat tangan kiri Kertapati menyambar siku kanannya, ia telah dapat menangkis dengan tangan kiri melalui bawah siku itu! “ Duk ... ! “ ketika dua lengan beradu dengan keras, si kumis tebal berseru kesakitan dan tubuhnya terdorong oleh tenaga pukulan Kertapati sehingga terhuyung-huyung ke belakang!</div><div style="text-align: justify;">Ia menjadi terkejut sekali karena merasa betapa lengannya seakan-akan beradu dengan kayu asam yang keras sehingga lengan kirinya terasa sakit sekali. Gerakan mengelak dari pemuda itu tadi membuat ia mklum bahwa lawannya adalah seorang ahli silat yang tinggi ilmunya, karena menurut gurunya dulu, makin tinggi ilmu silat seseorang makin tenang dan cepat gerakannya dan hanya mengelak apabila serangan lawan telah datang dekat untuk kemudian dibarengi dengan pukulan balasan yang tiba-tiba dan mematikan!</div><div style="text-align: justify;">Kalau saja tadi ia tak berlaku cepat dengan tangkisannya, tentu siku kanannya telah terpukul dan kalau sikunya tidak terlepas sambungannya, sedikitnya klewangnya tentu akan terlepas dari pegangan!</div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, orang kedua yang bermuka bopeng bekas dimakan penyakit cacar, ketika melihat gagalnya serangan kawannya, lalu menerjang maju dan kali ini menyerang dengan menusukkan klewangnya yang tajam dan runcing itu ke arah lambung Kertapati! Maksudnya hendak menyate tubuh pemuda itu dengan sekali tusukan. Kembali Kertapati memperlihatkan kesigapannya. Ia melihat berkelebatan ujung klewang mengarah lambungnya, maka dengan gerakan kakinya, hanya tubuh atasnya saja yang mendoyong ke kanan sehingga klewang lawan menusuk pinggangnya sebelah kiri. Saat itu, si kumis tebal telah melompat pula dan menggunakan kesempatan itu untuk membacok pula dengan klewangnya pada leher Kertapati yang tubuhnya masih miring! Agaknya ia ingin memengal leher pemuda itu bagaikan memenggal leher ayam saja.</div><div style="text-align: justify;">Namun Kertapati tidak menjadi gugup. Oleh karena ketika mengelak diri ke kanan tadi, ia tidak merobah kedudukan kakinya yang masih berada dalam pasangan kuda-kuda cawang, yaitu kedua kaki terpentang ke kanan kiri dengan betis tegak lurus, maka ketika klewang si kumis tebal membacok lehernya, ia dapat menggerakkan kembali tubuhnya kepada kedudukan semula sebelum dibuang ke kanan dan secepat kilat tangan kirinya yang tadi diangkat ke atas mengelak dari tusukan klewang si muka bopeng, kini diturunkan dan dengan gerakan yang luar biasa dan berani sekali ia mengempit klewang si bopeng di bawah ketiaknya! Si muka bopeng melihat betapa lawan muda itu berani mengempit klewang yang tajam dan runcing, cepat membetot senjatanya.</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, kalau tadi ia telah merasa girang dan hendak membuat kulit iga an lengan yang menegmpit klewangnya menjadi robek dengan betotan klwangnya yang tajam, kini ia merasa terheran-heran sekali karena klewangnya itu seakan-akan tercapit oleh catut besi yang kuat. Jangankan dengan satu tangan, bahkan ketika ia membetot dengan kedua tangannyapun, klewangnya ama sekali tak bergerak!</div><div style="text-align: justify;">Kertapati tertawa bergelak dan kaki kirinya menyabar ke arah dua tangan si muka bopeng yang terpaksa melepaskan kedua tangannya dan melompat mundur! Si kumis tebal yang tadi tak berhasil membacok leher, ketika melihat betapa klewang lawannya telah dapat dirampas, segera menyerang lagi dengan mambabi-buta. Klewangnya diobat-abitkan bagaikan kitiran angin cepatnya, menyerang bagian atas dan bawah tubuh Kertapati denagn tubuh jongkok berdiri. Dengan gerakan ini ia hendak membuat lawanya tiada berkesempatan mengelak lagi. Akan tetapi kini Kertapati telah mengambil klewang yang tadi dikempitnya.</div><div style="text-align: justify;">Ia menanti sampai berkelebat klewang si kumis tebal mendekati tubuhnya, kemudian ia menggerakkan klewang rampasan tadi sambil berseru keras,</div><div style="text-align: justify;">“ Lepas senjata!! “</div><div style="text-align: justify;">Dua batang senjata tajam bertemu.</div><div style="text-align: justify;">“ Traang! “ dan meluncurkan klewang dari tangan si kumis tebal bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Kebetulan sekali klewang itu meluncur ke arah Tumenggung Basirudin yang berdiri denagn penuh kegelisahan di depan pintu kamar perahu itu. Agaknya klewang yang terbang itu sebentar lagi akan menancap di dadanya tanpa dapat dicegah pula.</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, tiba-tiba Kertapati yang melihat hal ini segera melontarkan klewang di tangannya yang secepat kilat menyambar menyusul klewang si kumis tebal tadi dan sebelum klewang itu mengenai tubuh Tumenggung Basirudin, telah tersusul dan terpukul kesamping oleh klewang yang dilontarkan oleh Kertapati! Tumenggung Basirudin menjadi pucat sekali dan segera menyerukan kepada semua ponggawanya yang telah terdesak hebat,</div><div style="text-align: justify;">“ Berhenti ... ! Tahan semua senjata ... ! Kami menyerah!! “</div><div style="text-align: justify;">Mendengar seruan ini, Kertapati juga berseru kepada anak buahnya. “ Tahan serbuan! “</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, kedua orang pemimpin ponggawa yang telah kena dirampas klewangnya itu, ternyata masih merasa penasaran. Mereka adalh ahli-ahli pencak silat yang terkenal di Semarang dan mereka bertubuh tinggi besar dan bertenaga kerbau, masa mereka harus menyerah terhadap seorang pemuda yang tak berapa besar tubuhnya dan nampak lemah lembut ini?</div><div style="text-align: justify;">Di semarang nama Kertapati telah amat terkenal pula dan tadinya kedua orang inipun merasa gentar mendengar nama itu, akan tetapi kini setelah melihat orangnya, mereka merasa penasaran kalau sampai dikalahkan. Maka mereka lalu mempergunakan kesempatan pada waktu Kertapati sedang menengok ke arah anak buahnya untuk memberi perintah itu, dengan cepat keduanya lalu menubruk maju dan sepasang lengan mereka yang berurat bagaikan tambang dan panjang serta besar itu mmeluk tubuh Kertapati! Si kumis tebal dari kiri memeluk leher dan dada, sedangkan si muka bopeng dari kanan memeluk pinggang Kertapati.</div><div style="text-align: justify;">Jepitan dua pasang lengan ini kuat sekali, melebihi kuatnya belenggu besi, karena keduanya telah menggunakan pitingan yang mereka sebut “ talipati “ yakni yang maksudnya bahwa siapa yang telah terjepit kedua lengan ini pasti takkan terlepas lagi!</div><div style="text-align: justify;">“ Kami telah dapat menangkapnya! “ si kumis tebal berseru girang.</div><div style="text-align: justify;">“ Nah, berontaklah kau kalau mampu! “ teriak si muka bopeng dengan sombong.</div><div style="text-align: justify;">Sisa para pengawal menjadi girang melihat hal ini, sebaliknya diantara para anak buah bajak ada yang memanang dengan kuatir. Mereka ini belum mengenal betul pemimpin mereka, akan tetapi sebagain besar anggota bajak hanya memandang sambil tersenyum dan menggunakan tangan untuk mencegah mereka yang agaknya henak membantu Kertapati. Mereka memandang seakan-akan sedang menyaksikan pertandingan gumul yang menarik!</div><div style="text-align: justify;">Nampaknya Kertapati memang tak berdaya, Pemuda ini meronta ke kanan kiri mencoba untuk meloloskan diri, akan tetapi ia hanya merupakan seekor lalat kecil yang coba meloloskan diri dari sarang laba-laba yang menangkapnya! Terdengar suara gelak tertawa dari beberapa orang ponggawa yang melihat hal ini. Tak seorangpun menyangka, juga kedua orang kepala ponggawa yang memiting Kertapati itu, bahwa gerakan Kertapati tadi hanyalah untuk mengacaukan pengerahan tenaga kedua lawannya saja. Dengan meronta-ronta itu tenaga lawannya terbagi dan kacau balau tak dapat di dipusatkan, kemudian terdengar pemuda itu menarik nyaring sekali dan ia bergerak ambil mengerahkan Aji Belut Putih. Aji Belut Putih inilah yang membuat Dursasana tokoh pewayangan dari para senopati Kurawa, terkenal sekali karena kelincahannya.</div><div style="text-align: justify;">Kedua orang pemimpin ponggawa yang menangkap tubuh kertapati itu tiba-tiba merasa betapa tubuh pemuda itu menjadi licin bagaikan belut dan sebelum mereka tahu bagaimana pemuda itu bergerak, orang yang mereka piting itu telah merosot ke bawah dan terlepas dari pegangan dan kempitan mereka! Kertapati taidak mau berhenti sampai di situ saja, kedua tangannya bergerak dan “ plal! plak! “ telapak kedua tangannya telah menampar muka kedua orang itu sehingga membuat mereka merasa pedas mkanya dan mata mereka menjadi gelap yang membuat mereka terpaksa menutup kedua mata! Mereka lalu mengulur tangan ke depan dan menangkap sekenanya sehingga tanpa disadari mereka saling terkam dan saling piting!</div><div style="text-align: justify;">“ Aduh, aduh! Kau mencekik leherku! “ teriak si muka bopeng sambil terengah-engah dan sepuluh kuku jarinya mencengkeram ke depan.</div><div style="text-align: justify;">“ Aduh ... ! Kumisku ... ! Jangan tarik-tarik kumisku ... ! “ Teriak si kumis tebal karena si muka bopeng dalam kebingunannya dicekik lehernya itu telah mencengkeram ke depan dan membetot apa saja yang kena ditangkapnya!</div><div style="text-align: justify;">Terdengar gelak tertawa dan kali ini yang tertawa adalah kawan-kawan Kertapati. Sebelum kedua orang kepala ponggawa itu insaf bahwa mereka telah saling jambak, tiba-tiba tangan Kertapati memegang dan mencengkeram rambut kepala yang berdekatan dan kedua kepala itu lalu dibenturkan satu kepala yang lain dengan kerasnya!</div><div style="text-align: justify;">Biarpun hidung merupakan anggota muka yang lunak, akan tetapi kalau saling dibenturkan dengan kuat-kuat, akan terasa sekali sakitnya. Apalagi kalau yang membenturkannya Kertapati, maka setelah terdengar suara “ blek! “ yang bagi telinga kedua orang itu terdengar bagaikan letusan gunung Merapi, kedua orang itu setelah dilepas lalu roboh pingsan dengan hidung mengeluarkan darah!</div><div style="text-align: justify;">Kini semua sisa ponggawa baru melihat dengan mata kepala sendiri kehebatan Kertapati, maka mereka berdiri dengan kaki mengigil, sedangkan Tumenggung Basirudin lalu berlari masuk ke dalam bilik perahu itu!</div><div style="text-align: justify;">“ Rampas semua senjata. Jangan menggangu mereka yang tak menyerang! “</div><div style="text-align: justify;">Dia sendiri dengan sigapnya lalu melompat ke dalam bilik, menyusul Tumenggung tadi. Di dalam kamar itu nampak Tumenggung Basirudin, isterinya, dan anaknya, yakni seorang gadis cantik yang ebrdiri denagn tegak dan membelalak kedua matanya tanpa memperlihatkan rsa takut sama sekali.</div><div style="text-align: justify;">Inilah Dyah Winarti puteri Tumenggung Basirudin. Ia telah mendengar ribut-ribut tadi dan mendengar pula bahwa bajak laut Kertapati datang menyerbu, maka gadis yang tabah ini menghibur ibunya yang menangis ketakutan.</div><div style="text-align: justify;">Kini, melihat datangnya seorang pemuda baju hitam, gadis ini dengan heran berseru, “ Ah, dia ini yang mendapat tusuk konde Roro Santi dulu! “</div><div style="text-align: justify;">“ Sst, dialah Kertapati ... “ bisik ayahnya yang berdiri menghadang di depan isterinya untuk melindungi mereka. Kemudian berkata kepada pemuda itu.</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati, kau boleh ambil semua barang-barang kami, akan tetapi janganlah kau mengganggu anak isterilu! “</div><div style="text-align: justify;">“ Siapa yang hendak mengganggu? “ kata Kertapati sambil tersenyum mengejek, akan tetapi tiba-tiba ia mendapatkan sebuah akal yang amat baik yang timbul dari seruan gadis itu. Gadis ini telah kenal kepada Roro Santi, dan selain itu, iapun memerlukan seorang yang dapat membawanya masuk ke Jepara pada saat penyerbuan kota itu. Maka ia lalu berkata, “ Tumenggung Basirudin, aku tidak mau mengganggu anakmu, akan tetapi aku hendak meminjam sebentar. “</div><div style="text-align: justify;">“ Apa maksudmu? “</div><div style="text-align: justify;">Kertapati tertawa. Tentu saja ia tidak dapat memberitahu apa maksudnya dengan gadis itu.</div><div style="text-align: justify;">“ Tumenggung Basirudin, kami datang untuk mengambil barang-barang berharga di perahu ini, dan anakmu akan kami jadikan tawanan agar kami dapat pergi dengan aman. Jangan kuatir, aku yang tanggung bahwa puterimu takkan terganggu oleh siapapun juga! “</div><div style="text-align: justify;">“ Keparat, jangan ganggu anakku! “ Tumenggung Basirudin berseru dan melangkah maju hendak menerjang. Akan tetapi sebuah dorongan tangan Kertapati membuat Tumenggung yang lemah itu jatuh tersungkur! Kemudian Kertapati hendak menendang tubuh itu, akan tetapi terdengar teriakan Winarti, “ Jangan pukul! Aku akan ikut padamu! “</div><div style="text-align: justify;">Kertapati tersenyum lega ketika Tumenggung Basirudin hendak mencegah anaknya, Winarti berkata.</div><div style="text-align: justify;">“ Rama, Kertapati bukanlah bajak laut sembarangan yang mau mengganggu wanita. Aku percaya kepadanya! “</div><div style="text-align: justify;">Demikianlah setelah perahu iti dirampok habis, para bajak laut lalu turun dan kembali ke dalam perahu. Mereka tak perlu takut untuk diserang dari atas perahu besar, oleh karena kini mereka mempunyai seorang tawanan yang menjadi tanggungan atau penjaga keamanan! Perahu-perahu kcil cat hitam itu lalu meluncur cepat, menghilang di dalam kegelapan malam mulai mendatang, membawa semua barang berharga dan juga Winarti yang duduk di dekat Kertapati tanpa takut-takut, bahkan menggunaka matanya untuk memandang kepada bajak laut muda itu dengan penuh kekaguman!</div><div style="text-align: justify;">“ Siapakah namamu, manis? “ tanya Kertapati kepada gadis itu tanpa memandang wajahnya.</div><div style="text-align: justify;">“ Diah Winarti, “ jawab gadis itu singkat.</div><div style="text-align: justify;">“ Tadi kau menyebut nama Roro Santi, kenalkah kau kepada gadis itu? “ Kini mata Kertapati menatapnya dengan tajam, dan heranlah pemuda itu melihat betapa sinar mata gadis itu memandangnya dengan halus dan mesra!</div><div style="text-align: justify;">“ Tentu saja kukenal dia, akan tetapi kalau boleh kunasihatkan, tiada gunanya kau memikirkan dia! “</div><div style="text-align: justify;">“ Apa maksudmu? “ Kertapati bertanya sambil mengerutkan kening.</div><div style="text-align: justify;">“ Maksudku ... sia-sia saja kau jatuh cinta kepadanya dan ... “</div><div style="text-align: justify;">“ Hai mengapa kau berani berkata selancang itu? “ Kertapati membentaknya. “ Siapa bilang bahwa aku ... mencinta ... “</div><div style="text-align: justify;">Winarti tersenyum memperlihatkan sebaris gigi yang kecil dan putih bersih.</div><div style="text-align: justify;">“ Kaukira aku tidak melihatmu ketika kau hendak mengembalikan tusuk konde dulu itu? Aku duduk di dekat Roro Santi! Kau cinta kepadanya, hal ini mudah diterka, akan tetapi apakah kehendakmu itu akan tercapai, inlah soal yang sukar sekali! Pertama, Roro Santi adalah puteri Adipati Wiguna yang berpangkat tinggi, kedua gadis itu sekarang telah dipertunangkan denagn seorang Letnan Kompeni, ketiga, kau adalah seorang bajak laut yang dibenci. Maka kunasehatkan kau tadi bahwa tiada gunanya kau memikirkan dia! “</div><div style="text-align: justify;">Ucapan ini benar-benar menikam ulu hati Kertapati, sungguhpun ia merasa heran mengapa ia merasa hatinya sakit mendengar ucapan seperti itu. Winarti adalah seorang gadis yang berpemandangan tajam dan berperasaan halus, maka melihat kerut di kening Kertapati serta kemuraman yang menyelimuti sinar matanya, ia lalu berkata sengan suara menghibur, “ Seorang tampan dan gagah seperti aku, masih muda pula, tak perlu merasa putus asa dan patah hati. Di dunia masih banyak puteri-puteri bangsawan yang cantik jelita! “</div><div style="text-align: justify;">Kertapati mau-tak-mau tersenyum juga mendengar ucapan ini. Alangkah tabahnya gadis ini. Sebagai seorang tawanan yang ebrada di tangan bajak-bajak laut, baukannya merasa takut, bahkan kini menjadi penasihat dan pengiburnya dalam hal asmara. Keberanian gadis itu membuat Kertapati menjadi agak gembira, maka sengaja ia melayani percakapan itu dan berkata,</div><div style="text-align: justify;">“ Bukankah tadi aku bilang bahwa aku adalah seorang bajak laut yang dibenci? Puteri bangsawan mana yang sudi kepadaku? “</div><div style="text-align: justify;">Kini jawaban Winarti yang disertai pandang mata lembut dan penuh perasaan, benar-benar membuat Kertapati terkejut. Gadis itu berkata. “ Banyak terdapat puteri-puteri bangsawan cantik jelita yang lebih menyinta seorang bajak laut yang muda, rupawan dan gagah perkasa, daripada seorang teruna bagsawan atau pangeran yang bertubuh lemah, berpenyakitan, dan biasanya hanya mengumpulkan selir, sebanyaknya aja! Aku sendiri ... akupun tidak suka dan benci sekali melihat pemuda bangsawan macam itu! Dan ... bajak laut hanyalah merupakan nama saja, merupakan sebutan seperti halnya pakaian yang dipakai. Kalau pakaian itu ditinggalkan dibuang jauh-jauh di laut dan kemudian diganti dengan pakaian lain yang bersih, siapa yang akan tahu kalau Kertapati adalah bekas seorang bajak laut yang ditakuti? Dan aku ... kiranya aku akan dapat menolongmu dalam hal ini , yakni ….. kalau kau kehendaki ... “</div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba Kertapati tertawa bergelak.</div><div style="text-align: justify;">“ Minggirkan perahu! “ katanya kepada anak buahnya yang mendayung perahunya.</div><div style="text-align: justify;">Para anak buahnya merasa heran mendengar perintah ini karena mereka msih jauh dari perkampungan yang makam hari ini akan dijadikan tempat persembunyian. Tapi mereka merasa girang melihat betapa Kertapati yang biasanya “ alim “ terhadap wanita itu, kini bahkan dengan tangan sendiri menculik seorang gadis. Dan melihat kecantikan puteri ini, diam-diam mereka mengharapkan agak kali ini Kertapati benar-benar akan memilih jodohnya!</div><div style="text-align: justify;">Maka, bukan main kecewa dan keheranan mereka ketika melihat bahwa setelah perahu menempel di tepi pantai, Kertapati lalu menarik tangan gadis itu turun dari perahu dan berkata, “ Nah, sampai di sini saja. Winarti! Dan tetang nasihatmu tadi ... akan kupikir-pikirkan baik-baik. Terima kasih! “</div><div style="text-align: justify;">Sambil tertawa Kertapati lalu melompat ke atas perahunya lagi dan menyuruh anak buahnya mendayung pergi.</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati! Jangan tinggalkan aku seorang diri di sini ... aku takut! “ Winarti berteriak-teriak sambil memandang ke sekelilingnya yang sunyi dan gelap,</div><div style="text-align: justify;">“ Ha, ha, ha,! Kau tidak takut kepada bajak laut Kertapati, masa sekarang kau takut kepada malam gelap? Ha, ha, ha! “</div><div style="text-align: justify;">Terdengar suara ketawa Kertapati dan kawannya makin menjauh dan melenyap berbareng dengan lenyapnya bayangan perahu mereka.</div><div style="text-align: justify;">Winarti menjadi binggung. Kembali ia memandang ke sekelilingnya yang gelap. Sinar bulan yang suram muram mebuat pohon-pohon besar nampak bagaikan raksasa hitam tinggi besar dan angin laut yang tertiup membuat raksasa-raksasa itu bergerak-gerak seakan-akan handak menerkamnya. Winarti berlutut di atas pasir pantai dan menutupi kedua matanya dengan tangan, lalu menangis!</div><div style="text-align: justify;">“ Dengar, kawan-kawan. Kalian harap lekas membawa barang-barang ini ke tempat kawan-kawan kita yang lain. Adakah persiapan untuk penyerbuan kota Jepara yang akan kulalukkan pada besok malam! Kerahkan semua kawan-kawan, bahkan tambahan balabantuan dari kampung-kampung yang berdekatan. Kita harus memberi pukulan keras dan mendatangkan hasil yang besar kali ini agar cepat dapat kita kirimkan ke Mataram! Kalian boleh berkumpul di gerbang berat, menanti tiada yang akan kuberi dengan panah api. “</div><div style="text-align: justify;">“ Kau sendiri bagaimana akan dapat masuk ke Jepara? Wajahmu telah dikenal dan setelah perahu Tumenggung Basirudin itu tiba di Jepara, tentu penjagaan akan diperkuat! “ kata seorang kawannya.</div><div style="text-align: justify;">“ Mudah saja, aku sudah mempunyai “ kunci masuk “ yang merupakan seorang gadis cantik. “</div><div style="text-align: justify;">Kawan-kawannya memandang heran, akan tetapi kemudian mereka dapat menduga, maka terdengar suara ketawa disana-sini. Kertapati lalu mengatur siasat penyerbuan itu dan memberi pesan kepada semua kawannya bagaimana harus menyerbu Jepara pada besok malam. Kemudian ia berkata.</div><div style="text-align: justify;">“ Jangan lupa, kawan-kawan, karena mungkin aku tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengulang pesanan ini. Kelima ahli panah kita, Harjo, Wiro Mangun, Dibyo dan Kartiko, harus menyerang rumah penginapan Dolleman untuk menarik pertahanan kota di tempat itu. Serang sambil berpencar, tipu mereka dengan panah-panah kembar, dan jangan lupa bawa karung-karung pasir untuk tempat berlindung mereka. “</div><div style="text-align: justify;">Setelah memberi pesan dengan teliti sekali, ia lalu berpaling kepaad seorang anggota bajak yang sudah agak tua, bertanya, “ Dirun, kau bawa perabot-perabotmu? “</div><div style="text-align: justify;">“ Ada, ada dalam saku bajuku, “ jawab orang itu.</div><div style="text-align: justify;">“ Nah, mari kaurobah mukaku, jangan terlalu muda, juga jangan terlalu tua, cukup saja untuk menarik kepercayaan seorang gadis tanpa menimbulkan jijik. “</div><div style="text-align: justify;">Ia duduk di atas pasir dan Dirun mulai “ merobah “ muka kepala bajak muda itu dengan jari-jari yang amat cekatan. Pekerjaan ini dilakukan hanya dibawah penerangan beberapa batang obor yang mereka nyalakan.</div><div style="text-align: justify;">Winarti masih duduk ditepi laut seorang diri, kadang-kadang menangis, kadang-kadang mengibur diri sambil menarik napas panjang. Tak lama lagi, hari akan terang kembali dan aku bisa mencari jalan pulang atau minta tolong kepada orang kampung yang kujumpai di jalan, demikian ia menghibur diri sendiri dan menekan rasa takutnya. Akan tetapi kalau ia teringat kepada Kertapati, tak terasa air matanya mengalir turun kembali. Ia merasa amat kecewa, karena pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah perkasa itu agaknya sama sekali tidak tertarik kepadanya. Yang menyakitkan perasaannya ialah bahwa pemuda itu tidak menaruh kasian kepadanya! Alangkah kejamnya, meninggalkan aku seorang diri di tempat seperti ini.</div><div style="text-align: justify;">Ah, dia tidak berjantung, tidak berperasaan, tak kenal perikemanusiaan! Winarti mengomel panjang-pendek di dalam hatinya dan mencoba untuk menanam rasa benci di dalam hatinya. Akan tetapi, diam-diam ia harus akui bahwa tak mungkin baginya untuk membenci pemuda itu. Ia kagumi kegagahannya, dan wajah itu ….. terutama matanya yang tajam tak mau hilang saja dari bayang-bayang lamunannya!</div><div style="text-align: justify;">Ah, pikirnya sambil mengigit bibir, kalau dia berganti pakaian, berganti nama, dan menjadi ... mantu ayahku, siapa yang akan menyangka bahwa ayahku, siapa yang akan meyangka bahwa dia adalah bajak laut Kertapati? Alangkah bahagianya bersuamikan seorang gagah perkasa ….. ah, akan tetapi ia sombong, sombong dan kejam! Aku benci padanya ….. benci! Ia menangis lagi.</div><div style="text-align: justify;">Tengah malam telah lewat dan keadaan makin sunyi membuat hati Winarti makin gelisah dan takut. Sebetulnya bukan tak ada orang sama sekali di sekitar tempat itu, karena semenjak tadi, di luar tahunya Winarti, ada sepasang mata yang tajam dan bersembunyi di balik bulu mata yang sudah keputih-putihan dan pelupuk mata yang agak sipit dan berkeriput.</div><div style="text-align: justify;">Ini adalah mata seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang petani, baju biru panjang penuh tambalan, celana panjang samapi bawah lutut, jga penuh tambalan, rambutnya yang telah banyak uban itu tertutup oleh sehelai ikat hitam dan sarungnya diselempangkan pada pundak kirinya.</div><div style="text-align: justify;">Kakek ini berdehem perlahan dan muncul dari tempat persembunyiannya. Winarti yang sedang menangis terkejut sekali hingga serentak ia bangun berdiri. Akan tetapi, ketika ia melihat seorang setengah tua berdiri tak jauh dari situ, ia menjadi setengah tua berdiri bertindak menghampiri ia berkata.</div><div style="text-align: justify;">“ Pak tua ….. kau tolonglah aku ….. “</div><div style="text-align: justify;">Kakek itu melihat di bawah sinar bulan yang suram betapa seorang gadis cantik berlari kepadanya, maka ia segera membelalakkan matanya dan nampak terkejut sekali.</div><div style="text-align: justify;">“ Ya Jagat Dewa Patara …..! “ ia memuji. “ Bagaimana di tempat seperti ini muncul seorang kuntilanak? Hai iblis! Pergilah dan jangan ganggu Pak Sumpil! Aku sudah tua dan takkan tertarik oleh kecantikanmu! “ Sambil berkata demikian, kakek itu mengangkat kedua tangannya seakan-akan ia berdoa!</div><div style="text-align: justify;">Sungguhpun ia tadi baru saja menangis, akan tetapi melihat kelakuan kakek itu, Winarti tertawa terkekeh-kekeh sehingga kakek itu makin ketakutan dan mundur dua langkah.</div><div style="text-align: justify;">“ Pak tua ... atau Pak Sumpil kalau memang itu namamu. Aku bukan kuntilanak! Lihatlah, apakah punggungku bolong? “ Sambil berkata demikian, Winarti lalu memutar tubuhnya memperlihatkan punggungnya yang halus, bersih dan sama sekali tidak bolong.</div><div style="text-align: justify;">“ Bukan kuntilanak ... ? Maaf ... kalau begitu, siapakah den ajeng ini? Mengapa seorang wanita muda seperti den ajeng berada di tempat ini pada saat seperti ini? “ Kakek itu menghampiri dengan membungkuk-nungkuk memberi hormat.</div><div style="text-align: justify;">“ Saya adalah puteri Tumenggung Basirudin di Jepara. Siapakah kau , pak? Apakah namamu Pak Sumpil? “</div><div style="text-align: justify;">Kakek itu nampak tertegun mendengar bahwa puteri ini adalah anak seorang tumenggung, maka ia segera memberi hormat dan berkata. “ Memang benar nama hamba Pak Sumpil, karena selain menjadi petani, hamba suka mencari dan mengumpulkan sumpil ( keong kecil ), maka hamba disebut Pak Sumpil. Mengapa den ajeng berada di tempat ini seorang diri? “</div><div style="text-align: justify;">Dengan girang karena telah bertemu dengan seorang dusun, Winarti lalu menceritakan bahwa ia telah diculik oleh bajak laut Kertapati dan diturunkan di situ.</div><div style="text-align: justify;">“ Maka, harap kau suka tolong aku, Pak Sumpil. Antarkan aku ke Jepara, ayah tentu akan memberi hadiah besar kepadamu! “</div><div style="text-align: justify;">Pak Sumpil segera menyanggupi dan berkata, “ Karena malam gelap. Lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi, den ajeng, lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi, den ajeng. Kalau den ajeng suka, dan den ajeng boleh mengaso atau tidur, hamba yang menjaga. “</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi Winarti tak dapat tidur, dan setelah Pak Sumpil membuat api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk, ia malah mengajak kakek itu bercakap-cakap.</div><div style="text-align: justify;">“ Telah lama hamba dan sekalian saudara-saudara di kampung mendengar nama bajak laut Kertapati. Bahkan belakangan ini orang-orang mengabarkan bahwa bajak laut itu hendak menikah dengan seorang puteri Jepara yang bernama Roro Santi! Betulkah berita ini, den ajeng? “</div><div style="text-align: justify;">“ Bohong! Bagaimana seorang bajak laut yang jahat bisa menikah denagn seorang puteri Adipati? Menggelikan! Andaikata Roro Santi sendiri setuju, tak mungkin ayahnya memberi ijin. Pula, Adipati Wiguna telah memberikan puterinya itu kepada letnan Kompeni, mereka sudah bertunangan! “</div><div style="text-align: justify;">Kakek itu nampak kaget. “Apa?? Menikahkan puterinya dengan seorang Kompeni? Aneh benar!! Belum pernah hamba mendengar berita seaneh ini selama hamba hidup.”</div><div style="text-align: justify;">“ Ini kehendak Adipati Wiguna, siapa bisa menghalanginya? “</div><div style="text-align: justify;">“ Apakah den ajeng Roro Santi juga sudah setuju dinikahkan dengan seorang Belanda yang bermata biru dan berambut kuning? “</div><div style="text-align: justify;">Winarti menggeleng kepalanya. “ Jangankan kepada seorang letnan Kompeni, bahkan pada tunangannya yang dulupun, Roro Santi tidak pernah merasa suka. Padahal tunangannya yang dulu, Raden Suseno, adalah seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah! “</div><div style="text-align: justify;">“ Seorang gadis yang keras hati dan tak mudah jatuh cinta ... “ kakek itu berkata perlahan, “ diwaktu hamba masih muda dulu, pernah hamba bertemu dengan seorang gadis seperti itu. “</div><div style="text-align: justify;">“ Benarkah, Pak Sumpil? Tentu pengalamanmu banyak sekali tentang watak-watak wanita, bukan? Kau agaknya bukan seorang alim di waktu mudamu, pak! “</div><div style="text-align: justify;">Kakek itu tertawa bergelak. “ Ah, hamba hanyalah seorang dusun, dan wanita-wanita yang hamba kenalpun hanya perempuan-perempuan tani dan nelayan. “</div><div style="text-align: justify;">“ Menurut pendapatku, pak, seorang gadus seperti Roro Santi itu kalau sudah menjatuhkan hatinya kepada seseorang, akan dibelanya sapai mati! “</div><div style="text-align: justify;">Setelah mendengar ucapan Winarti yang terakhir ini, kakek itu nampak tak ingin banyak bicara lagi dan Winarti yang kini tidak merasa takut lagi lalu menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan tertidur.</div><div style="text-align: justify;">Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Winarti diantar oleh Pak Sumpil menuju ke Jepara. Akan tetapi, oleh karena perjalanan melalui hutan dan jalan yang amat sukar, sedangkan sebagai puteri bangsawan Winarti tak biasa berjalan jauh, maka perjalanan itu makan waktu sampai sehari! Gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa kalau sekiranya mereka mengambil jalan langsung dan tidak berputar-putar dulu, tak sampai setengah hari mereka akan sampai di Jepara.</div><div style="text-align: justify;">Menjelang senja mereka memasuki gerbang pintu Jepara dan para penjaga ketika melihat Winarti diantar pulang oleh seorang petani itu, menjadi girang sekali. Segera mereka memberitahukan hal ini kepada Tumenggung Basirudin yang segera datang menjemput puterinya Winarti bertangis-tangisan dengan ayah-ibunya dan ketika kedua orang tuanya itu mendengar bahwa puteri mereka selamat dan tidak terganggu oleh bajak laut kertapati, mereka merasa bersukur sekali.</div><div style="text-align: justify;">Winarti menuturkan jasa Pak Sumpit yang mengantarkan sampai ke kota Jepara, maka dengan berterima kasih sekali Tumenggung Basirudin lalu memberi hadiah uang dan pakaian.</div><div style="text-align: justify;">Pak Sumpit mengucapkan banyak terima kasih, kemudian ia diperkenankan untuk bermalam di situ, mendapat tempat di bagian para nelayan. Akan tetapi Pak Sumpit menyembah dan mengajukan permohonan.</div><div style="text-align: justify;">“ Gusti Tumenggung, banyak terima kasih hamba haturkan atas segala kurnia paduka kepada hamba yang sesungguhnya tidak melakukan sesuatu yang patut diberi jasa. Hamba adalah seorang dusun yang baru pertama kali semenjak puluhan tahun yang lalu melihat kota Jepara yang demikian indah. Oleh karena itu, karena besok pagi-pagi hamba harus kembali ke pondok hamba karena kuatir kalau-kalau anak cucu hamba mencari-cari, apabila diperkenankan, malam hari ini hamba tak hendak tidur. Hamba ingin menikmati keindahan kota Jepara dan berjalan-jalan di kota. “</div><div style="text-align: justify;">Semua orang tertawa mendengar ini. “ Tentu saja boleh, Pak Sumpil. Bahkan pintu samping akan kusuruh buka saja sehingga sewaktu-waktu kau datang, kau dapat terus masuk ke belakang, “ jawab Tumenggung Basirudin ramah.</div><div style="text-align: justify;">Pak Sumpil lalu minta diri dan keluar dari gedung tumenggung.</div><div style="text-align: justify;">Dengan langkah perlahan dan memandang ke kanan kiri dengan penuh kekaguman, berjalan-jalan seorang diri di kota Jepara.</div><div style="text-align: justify;">Seorang penunggang kuda lewat cepat di dekatnya. Pak Sumpil menengok memberi isarat dengan tangan kirinya. Penunggang kuda itu lewat terus seakan-akan tidak melihatnya, akan tetapi tak lama kemudian ia datang kembali dan melemparkan segulung kertas yang jatuh dekat kaki Pak Sumpil. Kakek ini berhenti berjalan, mengeluarkan slepai tembakaunya. Ketika ia menyalakan sebatang rokok klobot, tiba-tiba slepainya terlepas dari tangan. Ia mengambilnya dan kertas gulungan itupun terbawa oleh jarinya. Lalu ia melanjutkan perjalanannya sambil tunduk membaca tulisan di kertas gulungan itu, yang hanya sebaris.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kawan-kawan siap, gerbang selatan lemah. Kita serbu di sana.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Bagus, Jiman! “ Kertapati tersenyum, karena kakek atau Pak Sumpil itu sebenarnya memang Kertapati sendiri yang menyamar dan mempergunakan Winarti sebagai “ perisai “ atau “ kunci masuk “ sehingga ia dapat memasuki Jepara tanpa banyak menimbulkan kecurigaan.</div><div style="text-align: justify;">Jiman sendiri tadi tidak mengenalnya, demikian sempurna samaran yang dilakukan oleh Kertapati itu, akan tetapi ketika melihat tanda isarat yang diberikan oleh Kertapati, barulah Jiman mengenalnya. Pembantu ini memang semenjak tadi telah merasa gelisah karena tidak melihat Kertapati yang menurut kata kawan-kawan berada di dalam kota.</div><div style="text-align: justify;">Setelah membaca surat itu yang lalu disobek-sobek dan dimasukkan ke saku bajunya untuk disebar di sepanjang jalan sedikit demi sedikit. Kertapati lalu melanjutkan perjalanannya dengan langkah perlahan dan lemah menuju ke selatan. Memang benar sebagaimana laporan Jiman, yang menjaga di gerbang ini hanya tiga orang penjaga. Pada saat Kertapati tiba di situ, Jiman telah mendahuluinya dan kini pembantunya itu nampak sedang bercakap-cakap dengan mereka. Jiman adalah seorang pembantu Letnan Dolleman yang banyak dikenal oleh para penjaga.</div><div style="text-align: justify;">“ He, pak tua! “ Jiman menegur ketika Kertapati berjalan dekat pintu gerbang. “ Kau hendak pergi ke mana? “</div><div style="text-align: justify;">Sambil terbatuk-batuk seperti seorang kakek yang menderita penyakit mengguk, Kertapati berjalan terseok-seok menghampiri mereka, kemudian berkata.</div><div style="text-align: justify;">“ Aku .... adalah Pak Sumpil yang tadi mengantarkan pulang puteri Gusti Tumenggung. Waah, aku mendapat hadiah banyak sekali, coba lihat hadiah ini, alagkah indahnya ... “ sambil berkata demikian ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menggenggam dengan kedua tangan.</div><div style="text-align: justify;">Tiga orang penjaga menjadi tertarik hatinya dan karena hadiah yang dikeluarkan dari saku itu agaknya kecil sekali sehingga tidak nampak dari tempat mereka, mereka bertiga lalu melangkah maju untuk melihat benda di dalam kedua tangan kakek itu. Akan tetapi, alagkah kaget mereka ketika melihat bahwa kedua tanagn itu kosong tak terisi apa-apa! Selagi mereka hendak menegur, secepat kilat kedua lengan Pak Sumpil bergerak dan tahu-tahu leher dua orang penjaga telah dijepit dengan lengannya sedemikian kerasnya sehingga tak dapat mengeluarkan teriakan sama sekali.</div><div style="text-align: justify;">Pada saat itu juga, Jiman telah memukul kepala penjaga ketiga dengan gagang kerisnya sehingga penjaga itu roboh pingsan. Setelah membuat ketiga orang penjaga itu tak berdaya dan menyeret tubuh mereka ke dalam semak-semak di dekat gardu, Kertapati dan Jiman lalu membuka pintu gerbang. Jiman lari ke kudanya dan mengambil busur dan anak panah. Tak lama kemudian, dari gerbang itu meluncurlah anak panah yang dipasangi api keluar dari pintu gerbang.</div><div style="text-align: justify;">Mereka menanti sebentar dan tak lama kemudian berserabutanlah kawan-kawan mereka berlari datang dari balik-balik pohon. Tanpa banyak ribut karena memang telah diatur terlebih dahulu, mereka memecah rombongan menjadi beberapa bagian, mendatangi gedung-gedung besar yang telah menjadi bagian masing-masing!</div><div style="text-align: justify;">Suasana sunyi senyap, akan tetapi tak lama kemudian, ributlah seluruh Jepara oleh bunyi kentungan yang dipukul bertalu-talu dan bersaut-sautan. Titir! Tanda ada perampok menyerang kota. Akan tetapi rumah manakah yang dirampok? Demikian banyaknya kentungan berbunyi pada saat yang sama! Para penjaga menjadi panik dan tiba-tiba terdengar tembakan-tembakan senjata api di gedung tempat para Kompeni bermalam! Berlari-larilah para penjaga ke tempat itu dan hanya beberapa orang penjaga saja yang mendatangi rumah-rumah yang didatangi perampok, karena sebagaian besar berlari menuju ke arah datangnya suara senjata api. Mereka merasa lebih aman berlindung di belakang Kompeni yang bersenjata api!</div><div style="text-align: justify;">Para penjaga dan Kompeni menjadi panik ketika rumah itu diserang dengan anak-anak panah yang meluncur itu, dapat diguga bahwa fihak penyerang sedikitnya tentu ada dua puluh orang. Kompeni yang berada di dalam rumah itu hanya ada dua belas orang, termasuk Dolleman yang memaki kalang kabut. Letnan ini lalu memimpin kawan-kawannya untuk menembak ke arah penyerbu, akan tetapi para penyerbu itu selain berlindung di balik batang-batang pohon, juga ternyata membawa karung-karung pasir yang ditumpuk-tumpuk di dekat pohon itu!</div><div style="text-align: justify;">“ Setan jahanam! “ seru Dolleman marah sekali. “ Bagaimana mereka dapat masuk ke kota? “</div><div style="text-align: justify;">Ketika mendengar bahwa mereka datang dari pintu selatan, Dolleman makin marah. Telah lama ia mencurigai Jiman dan malam hari ini adalah giliran Jiman untuk melakukan pengawasan terhadap para penjaga!</div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, para anak buah bajak laut dengan mudah telah dapat memasuki gedung-gedung bagian mereka dan mengambil harta benda yang dapat mereka bawa.</div><div style="text-align: justify;">Kertapati sendiri dengan dikawani oleh empat orang kawannya, menyerbu ke gedung Wiguna dan beberapa orang penjaga yang masih berada di situ dengan mudah saja dapat mereka bikin tak berdaya. Adipati Wiguna sekeluarga bersembunyi di dalam kamar mereka karena ketika Adipati Wiguna hendak ikut menghadapi perampok, ia dipegang oleh isterinya yang mencegahnya.</div><div style="text-align: justify;">“ Biarlah mereka membawa semua harta benda, apakah artinya itu bagi kita? Kalau kau sampai terkena bencana, bagaimanakah dengan kami? “ isterinya mencegah, juga Roro Santi mencegah ayahnya.</div><div style="text-align: justify;">Kertapati setelah berhasil mengabil barang-barang berharga yang terbuat daripada emas, lalu memimpin kawan-kawannya untuk meninggalkan gedung itu, akan tetapi ia bertemu dengan seorang kawannya yang terluka pada pundaknya.</div><div style="text-align: justify;">“ Wiji! Kau terluka? Bagaimana kawan-kawan? “</div><div style="text-align: justify;">“ Celaka, Kertapati! Lima orang kawan kita yang menyerbu rumah Kompeni telah tertawan! “ Kagetlah Kertapati mendengar ini. Lima orang ahli panahnya tertawan?</div><div style="text-align: justify;">Dengan depat Wiji menuturkan bahwa kelima orang itu telah kena tipu oleh Dolleman. Ketika Jiman datang ke tempat itu, tiba-tiba ia ditodong oleh Dolleman dan dipaksa untuk mengambil jalan memutar, menghampiri lima orang ahli panah itu. Mereka tidak mau memanah melihat Jiman, tidak tahunya di belakang Jiman ini terdapat Dolleman dan seorang lain yang memegang senjata api! Untuk menyerang Kompeni itu, tentu tubuh Jiman yang dijadikan perisai akan terkena, maka terpaksa di bawah todongan Dolleman dan kawannya, kelima orang ahli panah itu mengangkat tangan dan tertawan!</div><div style="text-align: justify;">“ Keparat! “ seru Kertapati. “ Beri tanda agar semua segera berlari keluar! “</div><div style="text-align: justify;">Setelah Wiji berlari pergi untuk menjalankan perintah ini. Kertapati sendiri lalu berlari masuk kembali ke gedung Adipati Wiguna!</div><div style="text-align: justify;">Alangkah kagetnya hati Adipati Wiguna sekeluarga ketika tiba-tiba pintu kamar itu tertendang dari luar dan masuklah seorang pemuda baju hitam dengan keris di tangan!</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati! “ terdengar Adipati Wiguna dan Roro Santi berseru hampir berbareng.</div><div style="text-align: justify;">“ Diam dan jangan bergerak! “ Kertapati mengancam. “ Kawan-kawanku tertawan, dan Roro Santi kujadikan tawananku untuk kelak ditukar! “</div><div style="text-align: justify;">Sebelum semua orang sadar, ia telah menubruk maju dan cepat sekali tubuh gadis itu telah berada dalan penodongannya. Adipati Wiguna hendak menyerang, akan tetapi Kertapati membentak.</div><div style="text-align: justify;">“ Kau tidak sayangi jiwa anakmu sendiri? “ Kerisnya diangkat dan ditempelkan ke arah dada Roro Santi, sehingga Adipati Wiguna melangkah mundur lagi denagn pucat. Kertapati lalu melompat dan menghilang ke dalam gelap, gadis itu meronta-ronta dalam pondongannya!</div><div style="text-align: justify;">Geger dan ributlah kota Jepara dengan adanya serangan itu. Setelah para penyerang itu melarikan diri jauh barulah para penjaga itu mencari-cari dan memburu ke sana ke mari!</div><div style="text-align: justify;">Ketika Kertapati berkumpul dengan anak buahnya, ternyata bahwa dua orang kawan mereka tewas, tiga dengan Jiman yang ditembak mati oleh Dolleman, empat orang luka-luka dan lima orang ahli panah tertawan! Akan tetapi hasil rampasan mereka amat banyak dan mereka membayangkan betapa akan gembiranya Trunajaya menerima bantuan ini!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“ Kau ... pemuda yang berahlak rendah! Kau ksatria yang sesat dan membikin malu nama keluargamu sendiri! “</div><div style="text-align: justify;">Di dalam gubuk tempat ia ditahan, Roro Santi berdiri dan menudingkan, jari telunjuknya ke arah muka Kertapati yang telah meninggalkan samarannya, Wajah gadis itu merah dan matanya bersinar-sinar, memandang dengan penuh kemarahan.</div><div style="text-align: justify;">Kertapati duduk di atas sebuah bangku, menatap wajah Roro Santi dengan penuh kekaguman, Alangkah indahnya mata itu kalau sedang marah, memancarkan cahaya berapi-api. Alis yang kecil panjang menghitam itu lebih manis lagi ketika dikerutkan. Bagaikan terpesona Kertapati menatap bibir yang bergerak-gerak, mencela dan memakinya itu.</div><div style="text-align: justify;">“ Sudah cukupkah? Atau masih ada lagi? Kalau masih ada, teruskan, nanti datang giliranku! “ jawabnya sambil tersenyum dan Roro Santi merasa agak binggung melihat senyum itu. Senyum itu nampak demikian manis dan manarik hatinya sehingga diam-diam ia merasa kemarahannya memuncak.</div><div style="text-align: justify;">“ Kau pemuda tidak tahu malu! Orang gagah perkasa yang rendah budi membikin malu bangsa sendiri! Kau menbajak, merampok, bahkan berani menculik puteri-puteri bangsawan! Pekerjaan apakah yang lebih rendah daripada semua kejahatan yang kaulakukan itu? “</div><div style="text-align: justify;">Kertapati mendengarkan sambil tersenyum dan mengangguk-angguk.</div><div style="text-align: justify;">Kau menculik Winarti dan menghinanya! Sekarang kau tidak hanya merampok penduduk Jepara termasuk atahku, akan tetapi juga berani menculik aku! Kau mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kami, sekarang aku sudah kau tawan, mau bunuh lekas bunuhlah! “ Sambil mengangkat dadanya Roro Santi memandang dengan menantang, akan tetapi dari dua matanya melompat keluar dua titik air mata!</div><div style="text-align: justify;">“ Sudah cukupkah? “ kata Kertapati dengan suara halus dan tenang. Sekarang giliranku. Kau tadi bertanya apakah ada kejahatan yang lebih rendah daripada perbuatanku? Banyak! Perbuatan orang tuamu, perbuatan para bangsawan di Jepara, bahkan perbuatanmu sendiri jauh lebih rendah! “</div><div style="text-align: justify;">“ Apa katamu?? Perbuatanku yang mana yang kau anggap rendah? “</div><div style="text-align: justify;">“ Sebagai seorang puteri bangsawan, seorang umat Islam pula, kau telah menyediakan dirimu untuk menjadi jodoh seorang kafir, seorang Belanda yang banyak mendatangkan malapetaka bagi bangsa kita sendiri! “</div><div style="text-align: justify;">“ Keparat! Jangan sembarangan membuka mulut! Siapa sudi menjadi jodohnya? Aku ... aku tidak sudi! “</div><div style="text-align: justify;">“ Akan tetepai kau tidak melawan kehendak ayahmu. Pertunanganmu dengan Dolleman bukan rahasia lagi! “</div><div style="text-align: justify;">“ Aku ... aku terpaksa, harus tunduk kepada ayahku, dan ... dan hal ini sama sekali bukan urusanmu, kau perduli apa? “ kembali dara itu memandang marah dengan mata menantang.</div><div style="text-align: justify;">“ Tentu saja aku perduli! Orang lain yang manapun kalau hendak dijodohkan dengan mata-mata Kompeni musuh kita itu, tentu membuat hatiku tak seneng. Apalagi ... kau! “</div><div style="text-align: justify;">“ Kalau aku mengapa! “</div><div style="text-align: justify;">“ Kau ... kau ... aku harus melarang hal ini terjadi, biarpun akan kuhalangi dengan nyawaku. Aku rela kau menjadi jodoh keparat Kompeni itu atau ... jodoh siapa saja!! “</div><div style="text-align: justify;">“ Kau gila! Ada hak apakah kau atas diriku maka kau berani berkata demikian? “</div><div style="text-align: justify;">“ Hal yang timbul karena perasaan kita, perasaanku dan perasaanmu. Santi, ikatan hati kita tak akan putus sedemikian mudahnya! “</div><div style="text-align: justify;">Roro Santi memandang denagn mata terbelalak. “ Apa maksudmu ... ?”</div><div style="text-align: justify;">Kini wajah Kertapati nampak bersungguh-sungguh. Lenyaplah senyum mengejek tadi dari bibirnya dan matanya yang tadi berseri jenaka kini berubah sayu dan pandang matanya mesra ditujukan ke arah wajah gadis itu. “ Santi, semenjak kau memberi tusuk konde itu ... kita saling mencintai. Kau tahu akan hal ini sama baiknya dengan aku, dan jangan kau menipu hatimu sendiri! “</div><div style="text-align: justify;">“ Tidak ...! Bohong ... Tak mungkin aku menyita seorang bajak, seorang perampok, lebih-lebih ... seorang penghianat yang mencelakakan bangsa sendiri! “</div><div style="text-align: justify;">“ Diam! “ Kertapati membentak marah dan melompat lalu memegang kedua pundak Roro Santi. “ Dengarlah, gadis ... ! Kau boleh menyebut aku apa saja akan tetapi jangan sekali-kali menyebutku penghianat. Aku tidak mau! Apalagi kalau keluar dari mulutmu dan mulut orang-orang yang bersekutu dengan Belanda! Kau mau dipertunangkan dengan Kompeni, ayahmu bersetia kepada Sunan yang untuk mempertahankan gelar dan singgasana, rela membuat kita diperbudak oleh orang-orang kafir! Apakah orang-orang macam kalian itu patut menyebutku seorang penghianat? “</div><div style="text-align: justify;">Sambil berkata demikian, dalam kemarahannya Kertapati mengguncang-ngguncang kedua pundak Roro Santi yang tak berdaya dalam pegangan sepasang tangan yang kuat itu sehingga gadis ini mulai menangis!</div><div style="text-align: justify;">Melihat air amata yang membanjir keluar dari kedua mata Roro Santi, lemaslah tubuh Kertapati dan kekerasan hatinya hancur luluh sama sekali. Tanpa disadarinya, tangannya masih memegang pundak gadis itu, menarik tubuh itu ke dadanya dan sesaat kemudian ia mendekap kepala dan dada orang yang dikasihinya itu ke dada! Bagaikan terkena pesona dan hilang ingatan, untuk beberapa lamanya Roro Santi menangis sambil menyandar keningnya pada dada yang bidang dan kuat itu. Hal ini mendatangkan rasa damai dan tentram kepadanya.</div><div style="text-align: justify;">“ Kalau saja ... kau bukan bajak laut Kertapati ... dan aku ... Aku bukan Roro Santi puteri seorang Adipati ... “ bisiknya perlahan.</div><div style="text-align: justify;">Kertapati tidak menjawab, hanya mempererat dekapannya.</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi, tiba-tiba Roro Santi merenggutkan tubuhnya dari pelukan itu dan berkata dengan wajah pucat, “ Tidak ... tidak!! Ini tidak mungkin! Kertapati kaudengarlah baik-baik karena kurasa kau mesih mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menimbang dengan adil. Jangan kaukira bahwa aku demikian gila dan suka kepada Kompeni juga mendengar percakapan-percakapan antara ayah dan ibu, mereka juga tidak suka kepada Kompeni! Akan tetapi, ayah adalah seorang ponggawa kerajaan yang harus setia kepada junjungan. Dan aku ... aku adalah puteri tunggal dari orang tuaku, maka aku betapapun juga harus berbakti dan tunduk. Aku tahu bahwa ayah dan ibu tidak begitu gila untuk mempertunangkan aku dengan Kompeni itu apabila tidak ada hal yang amat memaksa mereka. Dan kalau menolak ... pasti ayah akan mendapat bencana! Sebagai seorang anak yang berbakti, tentu saja aku harus membela orang tuaku, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa! “</div><div style="text-align: justify;">Lebih baik berkorban nyawa daripada mengurbankan kesucianmu sebagai gadis bangsawan yang beribadat kepada seorang Kompeni! “ kata Kertapati gemas.</div><div style="text-align: justify;">“ Apa kaukira aku akan tunduk begitu saja, Kertapati? Aku tunduk hanya untuk membela orang tuaku, akan tetapi, Dolleman hanya akan dapat menjamah mayatku! “ Sambil berkata demikian Roro Santi berdiri tegak dengan kepala dikedikan. Wajahnya yang masih basah air mata itu nampak pucat, akan tetapi membayangkan kegagahan dan ketabahan hati</div><div style="text-align: justify;">“ Santi, alangkah gagahnya kau! Hatiku tidak rela melepasmu untuk menjadi korban keganasan Kompeni dan ketamakan ayahmu! Jangan kau pergi meninggalkan aku, Santi! “</div><div style="text-align: justify;">“ Akan tetapi ayahku ... “</div><div style="text-align: justify;">“ Ayahmu membela fihak yang sesat, jangan dipikirkan lagi! “</div><div style="text-align: justify;">Roro Santi memandang marah.</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati! Tentu saja kau tidak mengerti tentang cintakasih antara orang tua dna anak, tidak kenal akan rasa bakti terhadap orang tua di dalam hati anak! Agaknya kau ... kau tak pernah berbakti kepada orang tuamu! Oleh karen aitu agaknya maka kau tersesat dan menjadi seorang bajak, seorang perampok! “</div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba pucatlah wajah Kertapati. Bibirnya gemetar, ternyata bahwa ia sedang menderita pukulan batin dan menahan keperihan hati yang hebat mendengar ucapan itu. Kemudian katanya perlahan, “ Santi, ayah, ibu, semua saudaraku telah tewas karena peluru senapan Kompeni di banten. Kebaktian apalagi yang dapat kulakukan selain memusuhi Kompeni dan kaki tangan serta sekutunya? “</div><div style="text-align: justify;">“ Oh ... maafkan aku, Kertapati, “ kata Roro Santi dengan suara perlahan dan terharu, dan kini pandangannya terhadap pemuda itu sama sekali berobah.</div><div style="text-align: justify;">“ Jangan kaukira bahwa semua hasil rampokan dan rampasan yang kulakukan bersama anak buahku itu kami pakai untuk kepentingan sendiri. Tidak! Semua harta benda yang kami dapatkan, kami kirim untuk membantu pemberontakkan-pemberontakan para pemimpin rakyat terhadap Kompeni. Maka, janganlah kau memandang terlampau rendah dan hina kepadaku, Santi ... “ Suara Kertapati bukan bersifat menyombong, bahkan terdengar sebagai seorang terdakwa yang membela diri dan minta dikasihani.</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati ... Kertapati ... “ kata Roro Santi perlahan sambil memandang dengan air mata berlinang. “ Sekarang aku merasa menyesal mengapa aku dilahirkan sebagai seorang puteri bangsawan, ... Aku ingin menjadi seorang gadis dusun agar dapat ... membantumu ... ! “</div><div style="text-align: justify;">“ Santi ... ! “</div><div style="text-align: justify;">Kertapati melangkah maju dan kembali memeluk dara itu yang kini telah menyerahkan hatiku bulat-bulat terhadap pemuda yang memang semenjak pertemuan pertama kali telah menarik hatinya itu.</div><div style="text-align: justify;">Pada saat itu, dari luar pintu rumah terdengar panggilan, “ Kertapati! “</div><div style="text-align: justify;">Sepasang teruna remaja itu cepat-cepat memisahkan diri dan melepaskan pelukan.</div><div style="text-align: justify;">“ Masuklah, Karim! “ kata Kertapati yang mengenali suara kawannya itu.</div><div style="text-align: justify;">Seorang pemuda bertubuh kecil masuk dan matanya mengerling ke arah Roro Santi yang memandangnya dengan tenang. Kalau Karim memiliki mata tajam, tentu ia akan melihat betapa mata gadis itu berbeda sekali dengan kemarin nampak sedih dan marah, kini nampak berseri-seri dan seakan-akan cahaya baru timbul dari manik matanya!</div><div style="text-align: justify;">“ Kompeni mengumumkan bahwa kelima orang kawan kita yang tertawan, akan dibebaskan apabila kita mengembalikan puteri Adipati ini. Kompeni mengajak bertukar tawanan, satu lawan lima! “</div><div style="text-align: justify;">“ Baik. “ Kertapati mengangguk. “ Siapkan kudaku! “</div><div style="text-align: justify;">Karim keluar lagi dengan muka girang karena kawan-kawannya yang tertawan akan dibebaskan kembali. Setelah Karim pergi Kertapati duduk dengan muka muram dan kening dikerutkan, sikap yang belum pernah nampak pada diri anak muda ini sebelum Roro Santi masuk ke lubuk hatinya! Pemuda ini biasanya berani, tabah, gembira dan tak pernah menyusahkan sesuatu, akan tetapi sekarang, baru saja ia bertukar kasih dengan Roro Santi, ia sudah menderita kekawatiran, kesedihan dan kebingungan karena perpisahan dari kekasihnya ini!</div><div style="text-align: justify;">Dalam hal ini, ada betulnya juga kata setengah orang bahwa penderitaan laki-laki datang dari wanita! Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa segala kebahagiaan laki-laki timbul dari wanita pula!</div><div style="text-align: justify;">Roro Santi maklum akan jalan pikiran Kertapati, maka ia lalu mendekat dan menaruhkan tangannya ke atas pundak kepala bajak yang duduk di atas bangku itu.</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati, kedudukan dan kebaktian kira merupakan jurang yang lebar dan dalam yang memisahkan kita. Akan tetapi, jangan kau gelisah. Sebagaimana yang telah kau katakan tadi, orang macam Dolleman atau laki-laki yang manapun juga, hanya akan dapat menjamah tubuhku yang sudah menjadi mayat! “</div><div style="text-align: justify;">Kertapati berdiri dan memegang tangan gadis itu. Sepuluh jari tangan mereka saling genggam erat-erat merupakan sumpah atau janji bisu yang tak terdengar oleh telinga akan tetapi telah mengukir di dalam hati masing-masing.</div><div style="text-align: justify;">“ Santi, kau memberi kekuatan kepadaku untuk melanjutkan tugasku, bahkau kau menjadi penambah semangat bagiku! Karena aku tahu bahwa sungguhpun kau berdiri di seberang sana, akan tetapi hatimu berada di dekatku selalu. Jangan kuatir, kekasihku, siapapun orangnya yang berani mengganggumu, akan berhadapan dengan Kertapati, dan akan merasakan pembalasan tangan Kertapati! Kita pasti akan, bertemu kembali Santi! “</div><div style="text-align: justify;">Sambil menekan tangan pemuda itu Roro Santi berkata dengan air mata berlinang. “ Pasti Kertapati, akupun yakin akan hal ini! “</div><div style="text-align: justify;">Kuda telah dipersiapkan dan Kertapati berkata kepada kawan-kawannya yang berada di depan rumah itu.</div><div style="text-align: justify;">“ Kawan-kawan, aku sendiri akan mengantarkan puteri ini kembali ke Jepara, untuk ditukar dengan lima orang kawan-kawan kita! “</div><div style="text-align: justify;">“ Akan tetapi, baagaimana kalau ini merupakan suatu perangkap untukmu, Kertapati? “ kata seorang kawannya.</div><div style="text-align: justify;">Pemuda itu tersenyum. “ Mereka takkan mencelakakan puteri ini, dan kalian tahu bahwa aku tak begitu bodoh untuk mudah saja masuk dalam perangkap seperti seekor tikus! “ Dengan sigapnya, ia lalu membantu Roro Santi naik ke atas kudanya yang berbulu dawuk ( kelabu ) kemudian ia melompat di belakang gadis itu dan membalapkan kudanya yang berlari congklang.</div><div style="text-align: justify;">“ Alangkah senengnya hidupku apabila setiap hari aku dapat bersama kau menunggang kuda seperti sekarang ini! “ kata Kertapati sambil menghela napas. Mendengar ucapan ini, Roro Santi juga menarik napas panjang.</div><div style="text-align: justify;">Setelah tiba di luar pintu gerbang, Kertapati menahan kudanya.</div><div style="text-align: justify;">“ Hati-hati Kertapati, aku kuatir kalau-kalau Kompeni akan menipumu, “ berkata Roro Santi engan tubuh gemetar.</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi pada saat itu, dari pintu gerbang muncul sepasukan penjaga dan beberapa orang serdadu yang dikepalai oleh Dolleman sendiri. Mereka mengiringkan lima orang kawan-kawan Kertapati yang dibelenggu dengan rantai panjang pada lengan mereka.</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati! “ Dolleman berseru dari jauh. “ Kau lepaskan tunanganku dan aku akan membebaskan lima orang kawan-kawanmu! “</div><div style="text-align: justify;">Bukan main mendongkolnya hati Kertapati mendengar Dolleman menyebut Roro Santi sebagai tunangannya. Akan tetapi ia menahan marahnya dan tertawa menghina.</div><div style="text-align: justify;">“ Siapakah yang sudi mempercayai omongan palsu yang keluar dari mulut Kompeni? Kaukira aku tidak tahu bahwa begitu puteri ini tiba ditempatmu, kau dan kaki tanganmu akan menembak kami berenam? Ha, mukamu menjadi makin merah! Tak perlu kau merasa malu karena rahasia hatimu telah kuketahui. Lebih baik kau lekas pergi, aku tak sudi berurusan dengan Kompeni. Puteri ini adalah anak dari Adipati Wiguna, maka biarlah Adipati Wiguna sendiri yang berurusan dengan aku dan mengadakan pertukaran tawanan ini! “</div><div style="text-align: justify;">Marahlah Dolleman mendengar ini.</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati, kau menghina Kompeni! Akan tiba masanya kau dan seluruh gerombolanmu mampus ditangan Kompeni! “ kata Dolleman.</div><div style="text-align: justify;">“ Ha, ha, Dolleman, bagi kami, ancaman-ancaman dan bujukan-bujukan Kompeni tak berharga sedikitpun juga. Lekas kau pergi dan biar Adipati Wiguna sendiri menjemput puetrinya! “ Kertapati mengusir pula.</div><div style="text-align: justify;">Setelah menyumpah-nyumpah karena merasa terhina sekali, akhirnya Dolleman mengalah dan menarik mundur pasukannya. Tak lama kemudian, Wiguna sendiri datang dan mengiringkan lima orang anggota bajak laut itu. Adipati Wiguna merasa terharu sekali melihat puterinya, maka ia lalu berlari-lari menghampiri Kertapati dan puterinya.</div><div style="text-align: justify;">“ Santi ... ! “ ayah yang merasa bahagia ini lalu memeluk puterinya dan menatap wajahnya seperti orang menyelidik. “ Bagaimana, Santi? Kau tak apa-apa, nak? “</div><div style="text-align: justify;">Roro Santi tersenyum dan menggelengkan kepalanya.</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati bukanlah penjahat yang suka mengganggu wanita seperti para pangeran muda ayah. Saya diperlakukan baik sekali ... “</div><div style="text-align: justify;">“ Syukur ….. dan terima kasih, Kertapati. “</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi kertapati tak memperhatikan mereka, karena sedang sibuk untuk melepaskan belenggu yang mengikat tangan kelima kawannya setelah menerima kuncinya dari tangan Wiguna.</div><div style="text-align: justify;">“ Kertapati, kau hati-hatilah, “ kemudian terdengar Adipati Wiguna berbisik, “ mungkin sekali perjalananmu pulang akan dicegat oleh Dolleman! “</div><div style="text-align: justify;">Mendengar ini, pucatlah wajah Roro Santi, dan Kertapati memandang dengan tajam kepada Adipati Wiguna seakan-akan hendak menjenguk isi hati orang tua itu.</div><div style="text-align: justify;">“ Pernah kau mendengar nama Wirataman yang membantu Trunajaya? Dia adalah adik kandungku! Kau berlaku baik terhadap anakku! “</div><div style="text-align: justify;">Setelah mengeluarkan ucapan singkat ini kepada Kertapati yang mendengar dengan muka terheran, Adipati Wiguna lalu menarik tangan anaknya, diajak kembali ke dalam kota. Beberapa kali Roro Santi menengok, akan tetapi Kertapati yang merasa kuatir kalau-kalau terdahului oleh Dolleman, telah memberi perintah kilat kepada lima orang kawannya. Mereka berunding sebentar, lalu enam orang itu berlari cepat memasuki hutan dengan terpencar! Oleh karena ini, biarpun Dolleman dan pasukannya telah mencegat perjalanan kertapati, mereka tidak menjumpai enam orang itu, hanya melihat seekor kuda tanpa penunggang yang berlari cepat bagaikan setan! sekali lagi Dolleman menympah-nyumpah karena merasa telah dipermainkan oleh Kertapati.</div><div style="text-align: justify;">Semenjak pertemuannya dengan Roro Santi, kawanan bajak laut Kertapati makin mengganas, dan kini sasaran penyerbuan mereka semata-mata hanyalah perahu-perahu Kompeni. Perahu-perahu kecil panjang yang berwarna hitam dan berlayar hitam pula itu, muncul di mana-mana bagaikan setan-setan laut. Memang, Kertapati mendapat benyak pengikut yang setia dan kini ia melakukan operasi dengan berpencar menjadi tiga kelompok. Dan tiga kelompok inilah yang selalu mengganggu di sepanjang pantai, dan kini daerah mereka diperpanjang sampai Tuban.</div><div style="text-align: justify;">Pada waktu itu, semenjak mengadakan janjian dengan Sunan Amangkurat II untuk membantu usaha Sunan itu merampas kembali Mataram dari tangan Trunajaya, Kompeni lalu mengumpulkan kekuatan balatentaranya. Sudah menjadi siasat dan kelicikan Kompeni untuk mempergunakan tenaga orang lain, mengadu domba penduduk pribumi sendiri, mengadakan pengaruh “ uang sogokan “ yangebrasal dari perasan bumi Indonesia sendiri! Demikianlah, maka mereka mendatangkan pasukan-pasukan yang besar jumlahnya yang terdiri dari bermacam-macam bangsa yakni diantaranya orang-orang Mardika, Melayu, Makasar, Ambon, dan sebagainya. Orang-orang Belanda sendiri yang ikut dalam pasukan itu tentu saja menjadi opsir-opsirnya! Pasukan-pasukan ini didatangkan dari luar Pulau Jawa untuk disatukan dengan pasukan-pasukan dari Amangkurat II sendiri dan kemudian untuk dipimpin melakukan penyerbuan besar-besaran ke Mataram!</div><div style="text-align: justify;">Pada waktu itulah maka Kertapati menjalankan perjuangan yang hebat. Perahu-perahu Kompeni yang membawa pasyukan-pasukan ini, seringkali mendapat gangguan hebat. Penyerangan para bajak laut itu memang dahsyat dan mengerikan. Pada waktu malam gelap, perahu Kompeni itu tiba-tiba waktu malam gelap, perahu Kompeni itu tiba-tiba diserang oleh panah-panah api yang meluncur dari sekelilingnya. Mereka sukar sekali membalas oleh karena perahu-perahu bajak itu hitam dan tidak memakai api penerangan.</div><div style="text-align: justify;">Pada saat tembakan ditujukan ke arah tempat dari mana meluncur panah api, perahu itu dengan cepatnya telah pergi ke lain bagian. Tiap kali panah api dilepas, perahu bajak yang ringan, runcing dan panjang itu bergerak maju cepat-cepat sehingga peluru-peluru Kompeni hanya mengenai air kosong apabila perahu Kompeni itu telah mulai terbakar layar-layarnya dan semua anak perahu terpaksa melompat ke dalam air!</div><div style="text-align: justify;">Dengan cara demikian, tidak kurang dari enam buah perahu kena dihancurkan oleh anak buah bajak laut. Kertapati, dan entah berapa banyak pasukan yang mampus karena terbakar atau tenggelam!</div><div style="text-align: justify;">Dalam penyerangan-penyerangan ini. Kertapati selalu berada di depan dan serngkali pemuda ini melakukan perbuatan-perbuatan berani luar biasa yang amat menggumkan. Pernah ia menyamar sebagai seorang nelayan tua yang menjala ikan dan ketika perahu Kompeni lewat, ia memberi tanda bahwa ia melihat adanya bajak laut! Tentu saja ia lalu dinaikkan ke perahu untuk ditanya lebih jelas.</div><div style="text-align: justify;">“ Tadi hamba melihat lima buah perahu berlayar ke barat, “ demikian katanya dengan tubuh gemetar dan bibirnya yang keriputan menggigil. “ perahu-perahu kecil panjang berwarna hitam ... “</div><div style="text-align: justify;">Dan ketika kapten Belanda datang mendekatinya secepat kilat Kertapati menangkapnya, mengancam dengan keris di lambung kapten itu dan menyeretnya ke kamar mesin! Tak seorangpun diantara penumpang perahu berani menyerang atau menembak, kuatir kalau-kalau akan mencelakai kapen Belanda itu. Kemudian, sambil mempergunakan kapten itu sebagai perisai, kertapati membakar kamar mesin lalu menyeret kapten itu ke geladak dan bersama-sama melempar diri ke dalam air!</div><div style="text-align: justify;">Ketika anak buah kapten itu sibuk hendak menolong kaptennya, tiba-tiba api yang dilepas oleh Kertapati telah menjalar menyabar bahan bakar sehingga perahu itu meledak dan terbakar hebat! Kertapati sendiri telah selamat dan di angkat oleh kawan-kawannya yang telah menanti-nanti dengan hati berdebar menyaksikan perbuatan pemimpin mereka itu dari jauh!</div><div style="text-align: justify;">Masih banyak hal-hal yang luar biasa dan penuh keberanian dilakukan oleh Kertapati dan anak buahnya. Bahkan mereka pernah mencoba untuk membakar sebuah kapal Kompeni yang amat besar dan diperlengkapi dengan meriam-meriam. Kapal itu sedang berlabuh di pelabuhan Semarang yang besar dan terdapat banyak penjaga, nemun bajak laut Kertapati tak kenal takut dan berani mencobanya!</div><div style="text-align: justify;">Biarpun mereka hanya berhasil membakar layarnya saja dengan api karen akeburu datang serbuan dari para penjaga sehingga seorang anak buah Kertapati tewas kena tembak, namun perbuatan ini membuat nama bajak laut itu makin ditakuti.</div><div style="text-align: justify;">Dolleman makin merasa benci dan marah kepada Kertapai oleh karena kegagalannya untuk menangkap atau membunuh bajak laut itu membuat ia mendapat teguran hebat dari atasannya di Semarang.</div><div style="text-align: justify;">“ Percuma saja kau menyebut dirimu sebagai mata-mata dan penyelidik yang terpandai dan tercakap di seluruh Hindia, “ atasannya itu menegurnya, “ Baru menghadapi seorang bajak laut kecil seperti Kertapati saja kau tidak berdaya! Tahu-tahu kau bahwa Dewan Hindia telah menegurku karena gangguan-gangguan Kertapati itu? Mulai sekarang kau harus kembali ke Semarang, tiada gunanya kau tinggal berbulan-bulan di Jepara kalau tidak mampu membekuk Kertapati. Biar aku menugaskan kepada lain orang! “</div><div style="text-align: justify;">Marah, malu, dan mendongkol mengaduk-aduk pikiran dan hati Doleman ketika ia mendengar teguran ini.</div><div style="text-align: justify;">“ Berilah aku ketika barang sebulan lagi, “ katanya memohon, “ kalau dalam sebulan aku tidak dapat menangkapnya, lebih baik aku dikirim kembali ke Negeri Belanda! “ Akhirnya atasannya memberi waktu sebulan kepadanya dan dengan hati mendongkol lalu kembali ke Jepara. Ia maklum bahwa biarpun pada waktu itu Kertapati tidak berada disekitar Jepara karena seringkali bajak laut itu muncul di daerah Semarang, akan tetapi ia tahu bahwa di daerah Jepara banyak terdapat mata-mata dan anak buah bajak laut sendiri bukan kawan-kawan atau anak buahnya? Buktinya Jiman yang ditembaknya dulu, yang menjadi orang kepercayaannya, ternyata juga menjadi anak buah bajak laut Kertapati!</div><div style="text-align: justify;">Sehari semalam Dolleman tidak keluar dari kamarnya, memeras otak dan mencari siasat. Ia teringat kepada Adipati Wiguna. Dapatkah adipati itu dipercaya? Ia mulai merasa curiga kepada Adipati Wiguna semenjak Roro Santi dikirim kembali oleh Kertapati. Siapa lagi kalau bukan Adipati Wiguna yang membuat Kertapati dan kawan-kawannay tahu bahwa ia dan pasukannya mencegat jalan pulangnya? akan tetapi masih ada kemungkinan –kemungkinan lain, misalnya memang mungkin bajak laut yang cerdik itu sengaja berpencar karena merasa curiga dan berlaku hati-hati, atau boleh jadi yang emmbocorkannya adalah orang lain, seorang diantaranya para penjaga sendiri misalnya! Ah, ia menjadi binggung dan mulai merasa curiga kepada semua orang! Bahkan kepada Roro Santi ia menaruh curiga! Setidak-tidaknya gadis itu pernah berdua dengan kepala bajak itu dan ia tahu pula betapa gagah dan tampannya Kertapati sehingga melihat pandang mata mereka ketika duduk diatas kuda berdua, ah ... siapa tahu?</div><div style="text-align: justify;">Akhirnya ia mengambil keputusan.</div><div style="text-align: justify;">“ Tidak ada jalan lain yang cukup menguntungkan aku! “ Katanya kepada diri sendiri. “ Dengan akal ini, seandainya aku tak berhasil menangkap Kertapati sebagai gantinya aku akan mendapatkan Roro Santi ... “ ia meramkan matanya dan membayangkan bentuk tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu, “ cukup menarik untuk menghibur kedukaanku apabila aku gagal dalam pekerjaan ini! “</div><div style="text-align: justify;">Setelah mengambil keputusan yang agaknya memuaskan, hatinya ini, Dolleman lalu melempar tubuhnya di atas tempat tidur dan mendengkurlah dia seperti babi disembelih.</div><div style="text-align: justify;">“ Dia terlalu jahat! Sukar sekali untuk menangkapnya, maka tidak ada jalan lain, tuan Adipati, akal ini harus dijalankan! “ Dolleman mendesak.</div><div style="text-align: justify;">Adipati Wiguna mengerutkan kening dan sebetulnya ia tidak setuju sekali. “ Akan tetapi, tuan Letnan, kalau mereka menyerbu perahumu, anakku akan berada dalam bahaya. Pula, bukankah pertunangan itu hanya sekadar memancing kertapati belaka? Bagaimana dengan pertunagan anakku dengan putera Bupati Randupati? Juga, anakku tentu akan merasa keberatan, karena namanya akan cemar, menjadi ejekan orang ... “</div><div style="text-align: justify;">“ Mengapa, tuan Adipati? Aku tidak bermaksud buruk. Hanya pura-pura saja puterimu ikut aku ke Semarang untuk menjalankan upacara pernikahan. Kau dan yang lain-lain boleh mendahului ke Semarang dengan jalan darat dan menjemput puterimu di pelabuhan Semarang. Aku hanya membutuhkan puterimu di atas perahu saja, sepanjang pelayaran dari Jepara ke Semarang. Muncul atau tidaknya ertapati, pasti puterimu akan tiba di Semarang dengan selamat. Aku menjamin! “</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetap saja Adipati Wiguna ragu-ragu. Perjalanan perahu dari Jepara ke Semarang makan waktu sehari, apalagi kalau angin kecil. Dan ia tidak percaya kepada Letnan yang bermata biru tajam ini. Telah beberapa kali letnan Belanda ini memperlihatkan tingkah laku yang kurang sopan, yakni ia menanyakan keadaan Roro Santi, seringkali minta supaya gadis itu keluar ikut bercakap-cakap dan membawa hadiah-hadiah untuk Roro Santi. Pendeknya, sikap seorang laki-laki yang suka kepada seorang gadis. Bahkan, ketika Roro Santi pernah menegur sikapnya yang gak terlalu berani itu, ia menjawab sambil tertawa. “ Bukankah kita sudah bertunangan? “</div><div style="text-align: justify;">Sikap-sikap yang diperlihatkan oleh Dolleman itulah yang membuat Adipati Wiguna merasa kuwatir dan tidak percaya akan keselamatan anaknya apabila ikut dengan perahu Dolleman.</div><div style="text-align: justify;">“ Namun, betapa juga aku masih tidak rela apabila anakku ikut dengan perahumu, tuan letnan. Kalau bajak laut itu muncul dan menyerang, bagimana nasib Roro Santi anakku? “</div><div style="text-align: justify;">“ Jangan kuatir, kalau mereka muncul, Kertapati dan kawan-kawannay pasti akan kutangkap atau kubinasakan di laut! “</div><div style="text-align: justify;">Adipati Wiguna mempertawakannya di dalam hati, akan tetapi ia menarik napas panjang dan berkata. “ Sudah banyak kali ucapan seperti ini dikeluarkan, akan tetapi kenyatannya sehingga kini Kertapati masih belum tertangkap! “</div><div style="text-align: justify;">“ Sekarang ini lain lagi, tuan Adipati! “ kata Dolleman penasaran. “ Saya sengaja memperlengkapi kapal ini dengan meriam-meriam baik dan juga sepasukan Kompeni bersenjata api. Kalau pancingan ini berhasil dan Kertapai berani mennampakkan diri, pasti dia dan kaki tangannya akan hancur lebur! “</div><div style="text-align: justify;">“ Akan tetapi ….. “</div><div style="text-align: justify;">Dolleman menjadi habis sabar. Ia berdiri dari kursinya dan berkata. “ Tuan Adipati, apakah kau tidak percaya kepada aku, Letnan Dolleman dari Kompeni? Tak perlu kita berpanjang cerita, tuan Adipati tinggal pilihan satu antara dua. Setuju dan mengijinkan Roro Santi ikut dengan kapalku ke Semarang atau, kau sekeluarga kutangkap dengan tuduhan membantu dan melindungi bajak laut Kertapati! “</div><div style="text-align: justify;">Adipati Wiguna juga berdiri dengan muka pucat.</div><div style="text-align: justify;">“ Kompeni takkan percaya kepadamu, apa buktinya? “</div><div style="text-align: justify;">Dolleman menyeringai.</div><div style="text-align: justify;">“ Buktinya? Ha, ha, ha! Masih ingatkah kau kepada adik kandungmu Wiratman? Aku bisa mendakwa kau sebagai pelindung Kertapati dan pembantu pemberontak Trunajaya! “</div><div style="text-align: justify;">Lemaslah tubuh Adipati Wiguna. Semenjak dulu memang ia merasa berada di dalam cengkaraman kekuasaan Belanda ini dan ia tahu bahwa kalau hal itu dilakukan oleh Dolleman, berarti dai sekeluarga tidak saja akan menderita bencana hebat, akan tetapi juga nama keluarganya akan rusak!</div><div style="text-align: justify;">“ Dolleman, “ katanya perlahan, “ biarkan aku berpikir dan mempertimbangkan soal ini sebaik-baiknya dulu. “</div><div style="text-align: justify;">Senyum kemenangan membayang di bibir letnan itu, dan ia bergerak hendak meninggalkan tuan rumah sambil berkata. “ Kapalku akan berangkat sore-sore untuk memberi kesempatan kepada bajak-bajak laut itu melakukan serangannya di malam hari. Ingat, tuan Adipati, anakmu kau perbantukan untuk memancing keluar Kertapati, atau sekeluarga akan kutangkap dan dibawa ke Semarang sebagai orang-orang tangkapan, atau ditahan di penjara sini! “</div><div style="text-align: justify;">Lalu ia pergi meninggalkan Adipati Wiguna yang duduk dengan muka pucat di tas kursinya.</div><div style="text-align: justify;">Ketika Adipati Wiguna menceritakan hal ini kepada istrinya dan kepada Roro Santi, kedua orang wanita itu menangis tersedu-sedu. Akan tetapi Roro Santi lalu menghapus air matanya dan menghibur ibunya dengan kata-kata penuh kepercayaan.</div><div style="text-align: justify;">“Ibu, sudahlah jangan ibu bersedih. Aku percaya bahwa Kertapati tentu akan muncul dan takkan membiarkan kita diperhina oleh Kompeni!”</div><div style="text-align: justify;">Kepada Adipati Wiguna dan istrinya telah diceritakan oleh gadis itu tentang keadaan bajak laut Kertapati yang sebenarnya adalah seorang pembantu Trunajaya dan seorang yang benci kepada Kompeni, karena selain Kompeni telah membunuh keluarga pemuda itu, juga dianggapnya bahwa Kompeni menimbulkan malapetaka di tanah air. Maka mereka kini tidak benci lagi kepada Kertapati, bahkan atas bujukan dan pandangan-pandangan Roro Santi, kini Adipati Wiguna seakan-akan terbuka matanya dan diam-diam ia membenarkan perjuangan adik kandungnya yang membantu Trunajaya!</div><div style="text-align: justify;">Kemudian, antara anak, ibu, dan ayah ini terjadi perundingan rahasia untuk mengatur siasat, dan kalau mungkin bahkan membantu Kertapati untuk menghancurkan Kompeni yang sekarang telah terasa oleh mereka akan kejahatan dan penindasannya.</div><div style="text-align: justify;">Adipati Wiguna lalu mengumumkan bahwa puterinya hendak diboyong, oleh tunangannya, yakni Letnan Dolleman, ke Semarang dan akan merayakan upacara pernikahan di Semarang!</div><div style="text-align: justify;">Biarpun berita ini diterima dengan hati mendongkol oleh semua penduduk, akan tetapi mereka merasa tidak heran, oleh karena mereka telah tahu bahwa puteri Adipati itu telah bertunangan dengan seorang Kompeni, dan keheranan mereka telah dihabiskan ketika mendengar berita pertunangan itu. Betapapun juga, banyak orang yang segera mengirim “sumbangan” kepada keluarga pengantin. Tidak ketinggalan para lurah-lurah dusun mengirimkan sumbangan-sumbangan berupa barang-barang berharga besar kecil, dari perhiasan rambut dari emas yang kecil sampai sumbangan-sumbangan berupa lemari-lemari pakaian berkaca, peti pakaian berukir, dan lain-lain. Orang-orang yang datang mengantarkan barang-barang sumbangan ini keluar masuk tiada habisnya!</div><div style="text-align: justify;">Diam-diam Dolleman yang amat cerdik itu lalu menyebar puluhan orang mata-matanya untuk menyelidiki kalau-kalau diantara orang-orang yang mengantarkan barang-barang sumbangan itu terdapat bajak laut Kertapati yang pandai menyamar, atau orang-orang yang mencurigakan. Pintu gerbang juga dijaga keras dan setiap penyumbang yang datang dari luar kota diamat-amati.</div><div style="text-align: justify;">Bupati Randupati dari Rembang ketika mendengar berita ini menjadi marah sekali.</div><div style="text-align: justify;">“Adipati Wiguna sungguh kurang ajar! Apakah dia hendak mempermainkan aku?”</div><div style="text-align: justify;">Raden Suseno dengan muka merah berkata, “Ayah, biar anak pergi ke Jepara sekarang juga dan bicara dengan hati terbuka dengan paman Adipati!”</div><div style="text-align: justify;">Pemuda itu lalu menunggang kudanya dan membalap ke Jepara dengan hati yang amat panas. Ketika ia tiba di Jepara, orang-orang yang melihat pemuda ini memasuki kota dengan muka merah dan membalapkan kudanya, diam-diam memperhatikan dan maklum akan kemarahan bekas tunangan Roro Santi ini. Akan hebat sekarang, mereka berkata dan sebagaimana sudah menjadi kebiasaan orang-orang yang suka sekali melihat terjadinya hal-hal yang menghebohkan, maka sebentar saja, setelah Raden Suseno turun dari kudanya dan berlari memasuki pendopo gedung Adipati Wiguna, di depan pendopo banyak berkumpul orang-orang yang ingin melihat kelanjutan peristiwa itu.</div><div style="text-align: justify;">Para penjaga yang telah mengenal pemuda itu, tidak berani menghalangi ketika Raden Suseno mengeluarkan kata-kata tegurnya.</div><div style="text-align: justify;">“Paman Adipati! Apakah artinya semua ini? Benarkah berita yang sampai di Rembang bahwa Roro Santi hendak diboyong ke Semarang oleh Letnan Dolleman?”</div><div style="text-align: justify;">Oleh karena di situ terdapat banyak pelayan, maka Adipati Wiguna lalu berkata sabar,</div><div style="text-align: justify;">“Raden Suseno, marilah kita masuk ke dalam dan bicara dengan baik-baik dan jelas.</div><div style="text-align: justify;">Mereka masuk ke dalam dan bicara dengan baik-baik dan jelas.</div><div style="text-align: justify;">Mereka masuk ke perdalaman dan di situ Raden Suseno disambut oleh isteri Adipati Wiguna dan juga Roro Santi terdapat pula di situ. Setelah berada di tempat yang tidak ada orang luar ini, Raden Suseno berkata lagi.</div><div style="text-align: justify;">“Saya diutus oleh Rama untuk menanyakan hal ini kepada paman. Kami menghendaki penjelasan dan keterangan yang adil! Paman tentu maklum bahwa dengan membiarkan Roro Santi pura-pura bertunangan dengan Letnan Dolleman, fihak kami telah memberi pengertian dan kesabaran luar biasa, akan tetapi mengapa agaknya orang tidak menaruh perindahan kepada kami? Apakah sengaja keluarga Bupati Randupati hendak dipermaikan orang semau-maunya? ”</div><div style="text-align: justify;">“Tenang, tenang, Raden Suseno!” berkata Adipati Wiguna sambil menarik napas panjang.</div><div style="text-align: justify;">“Tenang dan sabarlah. Kami sama sekali tidak hendak mempermainkan kau atau ramamu, karena sesungguhnya kami melakukan hal ini dengan terpaksa benar?” Kemudian ia lalu menceritakan tentang maksud Dolleman hendak mempergunakan Roro Santi sebagai umpan untuk yang penghabisan kali, dengan ancaman-ancaman hendak menangkap atas tuduhan membantu pemberontakan dan bajak apabila ia menolak.</div><div style="text-align: justify;">Apakah yang dapat kami lakukan, Raden? Menolak berarti kami sekeluarga akan mengalami bencana yang lebih hebat lagi. Oleh karena itu, terpaksa kami menurut, bukankah hal ini hanya sebagai pura-pura saja!”</div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, Roro Santi yang mendengarkan percakapan itu, melihat sikap-sikap kasar dan keras dari Raden Suseno terhadap ayahnya, merasa marah dan mendongkol dan marah sekali Keluarganya sedang mengalami bencana, pemuda yang dipertunangkan kepadanya ini bukannya datang menghibur atau memberi pertolongan, malahan datang-datang marah dan menuntut!</div><div style="text-align: justify;">“ Raden Suseno, ”tiba-tiba Roro Santi berkata sambil memandang tajam, ”kalau kau memang laki-laki, bangsawan dan ksatria utama, mengapa kau tidak segera pergi mencari Dolleman itu dan membunuhnya atau menantangnya berkelahi? Apa artinya kau datang mendesak-desak kami yang sudah terdesak dan terjepit? Untuk berlaku marah-marah kepada orang yang sudah tidak berdaya, bukankah laku seorang ksatria, tiap orangpun bisa!”</div><div style="text-align: justify;">Muka Raden Suseno yang tadinya merah karena marah itu, kini menjadi pucat.</div><div style="text-align: justify;">“Tapi ... tapi ... “ ia tak dapat melanjutkan katanya, dan Adipati Wiguna yang merasa kasihan kepadanya dan menganggap ucapan Roro Santi tadi keterlaluan berkata menghibur.</div><div style="text-align: justify;">“Sudahlah, Raden Suseno, apakah yang dapat kami lakukan terhadap mereka? Kekuasaan Kompeni amat besar, terutama semenjak mereka mengadakan pertemuan dengan Gusti Sunan dulu. Kita menentang berarti bencana. Kita harus bersabar, karena kau sendiri tahu betapa besarnya kekuasaan Letnan Dolleman.”</div><div style="text-align: justify;">Raden Suseno menarik napas dan menggertakan giginya. “Sudah bosan saya terhadap kekuasaan asing ini! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Roro Santi, aku takkan tinggal diam! Dolleman harus bertanggung jawab!” Setelah mengucapkan kata keras ini, dengan muka marah Raden Suseno lalu pergi meninggalkan gedung itu tanpa pamit.</div><div style="text-align: justify;">Dengan disaksikan oleh banyak orang-orang bangsawan dan penduduk Jepara, juga Raden Suseno yang berdiri di tempat agak jauh sambil menggigit bibirnya, Roro Santi naik ke atas kapal, dijemput oleh Letnan Dolleman yang mengenakan pakaian prajurit yang mewah dan indah.</div><div style="text-align: justify;">Sesuai dengan kehendak Dolleman, tak seorangpun pelayan dan pengiring boleh ikut, dan Roro Santi hanya dikawani oleh barang-barangnya yang sebagian besar didapat dari sumbangan orang. Sebuah tandu, sebuah peti pakaian berukir indah, dan beberapa kopor kayu ikut diangkut naik ke atas perahu besar itu dan diletakkan di dalam kamar Roro Santi yang telah disediakan di situ, sebuah kamar yang cukup mewah, indah, dan besar. Roro Santi merasa dirinya asing ketika masuk ke dalam kamar ini akan tetapi hatinya tenang dan sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut gelisah.</div><div style="text-align: justify;">Kapal itu mulai bergerak menengah, diikuti oleh sorak-sorai para pengantar di pantai. Dianatara sorak-sorai ini terdengar isak tangis isteri Adipati dan suaminya berdiri diam dengan muka pucat dan bibir bergerak-gerak. Adipati Wiguna sedang berdoa untuk keselamatan puteri tunggalnya.</div><div style="text-align: justify;">“Semoga segala usaha yang direncanakan takkan gagal dan Tuhan akan membantu Kertapati ... “ demikian berkali-kali Adipati Wiguna berdoa.</div><div style="text-align: justify;">Tanpa diketahui oleh siapapun juga, bahkan isterinya sendiripun tidak diberitahu, Adipati Wiguna dalam keadaan terdesak itu telah mengadakan hubungan dengan Kertapati. Ia mengirim sepucuk surat kepada bajak laut itu dengan perantaran seorang pembantu bajak laut yang banyak terdapat di Jepara dan yang telah dikenalnya. Hari itu juga, yakni hari kemarin ia menerima surat balasan dari Kertapati yang menyatakan bahwa ia boleh membiarkan Roro Santi ikut naik ke kapal Dolleman, dan menyerahkan keselamatan gadis itu dalam tangan Kertapati. Surat selengkapnya berbunyi seperti berikut:</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Paman Adipati Wiguna,</div><div style="text-align: justify;">Biarkan Roro Santi ikut dengan Dolleman, jangan khawatir, hamba akan menjaga keselamatannya. Lebih baik jangan suruh anak paman membawa seorang pelayan pun, kecuali peti pakaian yang akan paman Adipati terima sebagai sumbangan. Peti itu jangan dibuka-buka dan taruhkan di kamar Roro Santi, berikut barang-barang lain, Hamba sendiri akan menjaganya dan kawan-kawan hamba akan menyusul. Selanjutnya marilah kita mohon doa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membantu kita!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kertapati</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan bunyi surat Kertapati ini selalu bergema di dalam hatinya Adipati Wiguna tiada hentinya berdoa untuk keselamatan puterinya. Ia menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Kertapati, karena ia maklum bahwa pemuda itu benar-benar luar biasa. Bahkan dari penuturan dan sikap Roro Santi setelah dibebaskan dari tawanan bajak laut itu, ia dapat menduga bahwa antara puterinya dan Kertapati terdapat ikatan cinta kasih yang mendalam! Belum pernah ada nama laki-laki yang dapat membuat wajah puterinya berseri apabila nama itu disebutnya. Bahkan nama Raden Susenopun hanya mendatangkan kerut sebal pada wajahnya.</div><div style="text-align: justify;">Hal inipun diketahui oleh isterinya karena isterinya pernah menyatakan kekawatirannya. Namun Adipati Wiguna tidak sependapat dengan isterinya dan ia bukannya khawatir, bahkan diam-diam merasa girang. Setelah mendengar penuturan Roro Santi tentang keadaan dan perjuangan Kertapati, barulah pendirian dan pandangannya terhadap bajak laut itu. Apalagi setelah kemudian mendengar betapa bajak laut Kertapati berkali-kali menyerang dan menghancurkan perahu-perahu Kompeni di Laut Jawa, kekagumannya makin meningkat.</div><div style="text-align: justify;">Kita ikuti perahu yang membawa Roro Santi menuju ke Semarang itu. Perahu besar atau kapal layar itu diperlengkapi dengan empat buah meriam di kanan kiri dan mulut meriam yang menonjol keluar dari lubang-lubang di kanan kiri kapal itu merupakan ancaman bagi bajak-bajak laut yang berani datang menggangu. Selain ini, kapal itu membawa sepasukan Kompeni yang terdiri dari penembak-penembak ulung yang sengaja didatangkan oleh Dolleman dari Semarang. Jumlah pasukan ini empat puluh orang, semuanya ahli tembak dan bersenjata senapan.</div><div style="text-align: justify;">Dolleman sengaja menyuruh juru mudi untuk melayarkan kapal itu agak ke tengah laut. Ia sendiri dengan sebuah teropong (kiyker) di tangan, berdiri di geladak dan mengintai ke sana ke mari. Sebentar lagi, hari menjadi gelap dan matahari yang tadi masih nampak terapung di titik pertemuan antara air dan langit, kini telah lenyap sehingga terpaksa lampu-lampu di kapal itu di nyalakan sehingga keadaan menjadi terang. Dolleman lalu menyerahkan teropongnya kepada seorang penjaga dan ia sendiri pergi ke kamar minum untuk membasahi kerongkongannya dengan bir. Ia perlu minum bir untuk menghentikan goncangan-goncangan hatinya yang berdebar-debar. Siapa yang takkan merasa gelisah? Malam ini adalah malam penentuan baginya, yakni gagal atau berhasil! Soalnya sekarang hanyalah: munculnya bajak laut Kertapati atau tidak. Kalau muncul, ia pasti akan berhasil. Untuk ini ia telah mengatur penjagaan sebaik-baiknya. Ia sengaja tidak membawa terlalu banyak pengawal agar tidak menakutkan Kertapati, akan tetapi ia maklum bahwa tak jauh dari situ, sepaukan yang amat kuat berada di lain kapal, mengintai dan mengawal kapalnya dengan diam-diam dan siap menyerbu apabila ada bajak laut meyerang kapalnya! Yang ia khawatirkan hanyalah kalau-kalau pancingannya takkan berhasil dan Kertapati tidak muncul! Ia teringat kepada Roro Santi. Pantas saja Kertapati menyintainya! Laki-laki manakah yang tidak akan kagum melihatnya dan jatuh cinta kepadanya?</div><div style="text-align: justify;">Dolleman meninggalkan kamar minum dan melangkah menuju ke kamar Roro Santi. Kasihan gadis manis itu seorang diri saja di kamarnya, demikian ia berpikir sambil tersenyum menyeringai. Gadis cantik seperti itu tidak seharusnya berdiam seorang diri di dalam kamar. Daripada menjadi kurban serangan angin di atas geladak yang amat dingin, lebih baik duduk bercakap-cakap dengan dara jelita itu di dalam kamar yang hangat!</div><div style="text-align: justify;">Ketika ia mendorong daun pintu, ia melihat Roro Santi sedang duduk di atas dipan sambil bertopang dagu, Dolleman tertegun dan berdiri di ambang pintu, memandang kagum. Alangkah manisnya dagu itu, berlekuk indah di bagian bawahnya. Kalah dagu patung Venus yang pernah dilihatnya di museum di negerinya! Dan rambut itu! Hitam panjang berikal mayang, terurai di atas pundak dan punggung! Alangkah hebatnya kulit tubuh itu, luar biasa! Gadis-gadis dinegerinya tidak ada yang berkulit demikian halusnya, berwarna campuran putih kuning gelap, halus dan bersih!</div><div style="text-align: justify;">Dolleman melangkah maju, menatap wajah manis itu dengan pandang mata kagum.</div><div style="text-align: justify;">“Letnan Doleman, apakah keperluanmu maka kau masuk ke dalam kamarku tanpa ijin?” tanya Roro Santi. Sikapnya agung seakan-akan seorang permaisuri raja menegur hamba sahayanya.</div><div style="text-align: justify;">Dolleman tersenyum menyeringai lalu duduk di atas sebuah bangku di depan gadis itu.</div><div style="text-align: justify;">“Roro Santi, perlukah bagi seorang pria untuk minta ijin lebih dahulu apabila ia memasuki kamar tunangannya, bahkan yang boleh disebut sudah menjadi isterinya? ”</div><div style="text-align: justify;">Merah wajah Roro Santi mendengar ini. Ia marah sekali, akan tetapi dalam pandangan Dolleman, ia menjadi makin cantik saja.</div><div style="text-align: justify;">“Dolleman, kau mabok dan jangan kau berani berlaku kurang sopan!” tegurnya.</div><div style="text-align: justify;">Akan tetapi Dolleman tertwa bergelak lalu berdiri dan melangkah maju, duduk di atas dipan di dekat Roro Santi.</div><div style="text-align: justify;">“Ha, ha, manis, memang aku mabok! Mabok melihat kau sedemikian cantik jelita. Seperti kau ini agaknya dewi-dewi kahyangan yang diceritakan dalam dongeng-dongeng bangsamu!” Ia mengulur tangan hendak memegang pundak Roro Santi, akan tetapi gadis itu mengelak dan berdiri dari tempat duduknya.</div><div style="text-align: justify;">“Dolleman, jangan kau kurang ajar! Lupakah kau akan janjimu kepada ayah?”</div><div style="text-align: justify;">“Ha, ha, ha! Manisnya kalau marah! Santi ... aku ... aku hampir menahan rinduku kepadamu. Marilah, manis beri ciuman kepadaku, kepada tunanganmu!”</div><div style="text-align: justify;">“Keparat!” Roro Santi memaki sambil mencabut kerisnya yang kecil. “Kau majulah kalau sudah bosan hidup! Awas, kalau kau berlaku tidak sopan, keris inilah yang akan menamatkan riwayatmu atau akan melenyapkan nyawaku! Kulit tubuhku yang tersentuh tanganmu akan kubeset, aku tak sudi tersentuh oleh tanganmu yang kotor! Pergi!!”</div><div style="text-align: justify;">Untuk sejenak Dolleman tertegun, akan tetapi pengaruh bir telah naik di kepalanya dan sikap Roro Santi yang gagah itu dalam pandangan matanya menambah kecantikan gadis itu. Ia melangkah maju. Akan tetapi pada saat itu, dari luar pintu kamar terdengar seruan dalam bahasa Belanda yang berarti, “Perahu-perahu bajak sudah tampak!”</div><div style="text-align: justify;">Dolleman menoleh ke pintu lalu menjawab, “Jangan turun tangan dulu, biarkan mereka datang dekat!” Setelah berkata demikian, kembali dia menghadapi Roro Santi dan berkata, “Berlakulah manis kepadaku, Santi! Mari kita merayakan saat kemenangan kita!” Wajah Dolleman menjadi berkilat karena peluh mulai membasahi mukanya. “Kertapati telah muncul dan sebentar lagi ia dan kawan-kawannya akan dihancurkan! Mari, mari kau datang dekat ... !”</div><div style="text-align: justify;">“Keparat jahanam! Jangan datang dekat!” seru Roro Santi dengan marah, akan tetapi tiba-tiba Dolleman melompat cepat.</div><div style="text-align: justify;">Gerakan ini sama sekali tak disangka oleh Roro Santi. Gadis itu mengangkat kerisnya, akan tetapi sekali menyampok dengan tangannya, keris itu terlepas dari pegangan Roro Santi dan menimpa peti kayu besar yang berada di sudut kamar.</div><div style="text-align: justify;">Keris kecil yang menimpa peti besar itu bagaikan pembuka sumbat botol wasiat dalam cerita kuno tentang jin, karena pada saat itu juga tiba-tiba tutup peti besar itu terbuka dari dalam dan dari dalam peti itu melompat keluar dua tubuh orang yang dengan sigapnya lalu berlompatan menerkam Dolleman!</div><div style="text-align: justify;">Dolleman yang telah memegang tangan Roro Santi yang meronta-ronta, menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa tiba-tiba saja dua orang laki-laki berdiri di hadapannya. Ketika ia memandang, matanya terbelalak dan mulutnya celangap karena seorang diantara dua laki-laki itu bukan lain ialah ... Kertapati sendiri!</div><div style="text-align: justify;">Ketika masuk ke dalam kamar itu, Dolleman tidak membawa senapannya, maka kini ia mencabut pedangnya dan membuka mulut hendak berteriak memanggil penjaga. Akan tetapi, secepat kilat Kertapati menubruknya dengan seruan geram.</div><div style="text-align: justify;">“Dolleman bangsat rendah! Bersiaplah untuk binasa!”</div><div style="text-align: justify;">Dolleman mengangkat pedangnya, akan tetapi dengan kecepatan dan kesigapan luar biasa tangan Kertapati menangkap pergelangan tangan kanannya dan tangan kanan mengirim pukulan ke arah ulu hati Dolleman! Tubuh yang tinggi besar itu terlempar dan pedangnya terlepas dari pegangan, sedangkan kerongkongannya yang tadinya hendak mengeluarkan teriakan memanggil kawan, hanya dapat mengeluarkan keluhan karena sakit saja. Sebelum ia dapat berdiri lagi, keris di tangan Kertapati telah menembus jantungnya dan matilah Letnan Dolleman pada saat itu juga!</div><div style="text-align: justify;">Roro Santi juga merasa amat terkejut. Sementara ia melihat Kertapati dan seorang laki-laki lain keluar dari peti itu, ia hanya berdiri mepet dinding dengan mata terbelalak, seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri.</div><div style="text-align: justify;">Ia hanya diberitahu oleh ayahnya bahwa Kertapati telah diberitahu dan ia diminta supaya percaya akan pertolongan Kertapati. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Kertapati bersama seorang kawannya telah bersembunyi di dalam peti besar itu! Sebelum Dolleman datang ia telah memikir dengan heran apa gerangan isi peti yang besar itu, dan ketika ia mencoba untuk mencoba untuk membuka tutupnya, ternyata bahwa peti itu tertutup dari dalam dan tak dapat dibuka! Tidak tahunya bahwa di dalamnya adalah Kertapati dengan seorang anak buahnya.</div><div style="text-align: justify;">Pada saat Kertapati menancapkan kerisnya di dada Dolleman, dari luar terdengar suara mendatangi. Kawan Kertapati segera memadamkan lampu kamar itu dan ketika dari luar terdengar suara orang bertanya. “Letnan, mereka kini telah datang dekat!” maka kawan Kertapati yang bertubuh tinggi besar itu mengeluarkan jawaban yang membuat Roro Santi tertegun dan terheran-heran. Jawaban itu dikeluarkan dalam bahasa Belanda yang lancar dan suaranya benar-benar tiada bedanya dengan suara Dolleman tadi!</div><div style="text-align: justify;">Orang tinggi besar ini memang sengaja dibawa oleh Kertapati, karena ia adalah seorang bekas anggota Kompeni Belanda yang telah menjadi anak buahnya dan pandai bicara bahasa Belanda. Memang hal ini telah direncanakan semula oleh Kertapati yang cerdik. Orang itu yang bernama Bandi, menjawab suara di luar itu dengan sebuah perintah.</div><div style="text-align: justify;">“Jangan tembak dulu. Padamkan semua lampu di bawah, biarkan lampu di puncak tiang saja yang menyala agar mereka tidak melihat berapa banyak adanya pasukan kita!”</div><div style="text-align: justify;">Di dalam gelap, Roro Santi dan Kertapati saling bertemu dan ketika Roro Santi merasa betapa ia dipeluk oleh kekasihnya itu, barulah ia maklum bahwa peristiwa yang dilihatnya tadi bukanlah impian semata. Mereka lalu keluar dari kamar itu dan karena penerangan di bawah dipadamkan sesuai dengan dengan perintah Dolleman palsu itu, maka mudahlah bagi Kertapati untuk menyelinap ke bagian belakang kapal itu.</div><div style="text-align: justify;">Di atas kapal itu, yakni di pinggir sebelah belakang, memang disediakan beberapa buah perahu kecil yang disediakan untuk pertolongan-pertolongan darurat sewaktu-waktu terjadi bahaya.</div><div style="text-align: justify;">Kertapati meraba-raba dan di dalam gelap ia melepaskan ikatan sebuah perahu kecil itu.</div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul dari dalam gelap dan membentak, “Siapa??”</div><div style="text-align: justify;">Kertapati menjawab dengan sebuah tusukan kerisnya ke arah dada orang itu, akan tetapi ternyata orang itu cukup gesit karena dapat mengelak sambil membalas dengan serangan pedangnya dan berteriak. “Ada penjahat ...!” Akan tetapi teriakannya kandas dan tubuhnya terlempar keluar ke dalam laut ketika Kertapati cepat menyerbu dan melemparkannya!</div><div style="text-align: justify;">“Cepat, mari ikut, Santi! Pegang tangan kiriku erat-erat!” bisik Kertapati yang berhasil melepaskan ikatan perahu kecil tadi. Perahu itu jatuh ke air dan Kertapati sambil memegang tangan Roro Santi, lalu melompat ke dalam air pula!</div><div style="text-align: justify;">Orang-orang yang mendengar seruan tadi, segera memburu ke tempat itu seorang diantaranya membawa sebuah lentera, akan tetapi ketika tiba di situ, mereka tidak berhasil melihat sesuatu. Seorang diantaranya melihat bahwa sebuah perahu kecil lenyap, maka ia memberitahukan hal ini kepada kawan-kawannya. Semua orang terkejut dan segera berlari mencari Dolleman. Akan tetapi yang dicarinya tidak nampak, maka tak kemudian terdengarlah ribut-ribut di atas kapal itu.</div><div style="text-align: justify;">“Mana Letnan Dolleman??” terdengar pertanyaan.</div><div style="text-align: justify;">“Aduh, ini ada seorang kawan kita rebah mandi darah!” seru seorang.</div><div style="text-align: justify;">“Di sini juga! Seorang kawan kita sudah mati!”</div><div style="text-align: justify;">“Mana Letnan Dolleman?” seru yang lain.</div><div style="text-align: justify;">Ribut dan paniklah semua orang dalam kegelapan itu. Tiba-tiba terdengar perintah yang keluar dengan kerasnya dari atas.</div><div style="text-align: justify;">Suara Dolleman memerintah, “Lekas putar kapal ke kiri dan maju perlahan! Jangan menembak dulu, tunggu perintahku!”</div><div style="text-align: justify;">Semua orang memandang ke atas dan melihat bayangan Dolleman yang tinggi besar itu telah berdiri di tempat penjaga dekat puncak tiang menara. Jurumudi menurut perintah ini dengan hati terheran-heran karena dengan memutar kapal seperti ini, mereka kini berada di depan para perahu-perahu bajak laut yang kian berada di belakang mereka!</div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba, dari arah perahu-perahu bajak yang hitam itu, mulai meluncur panah-panah api yang beterbangan bagaikan bintang berpindah tempat! Semua anak panah dapat mengenai kapal dengan tepat berkat cahaya penerangan yang masih dipasang di puncak tiang!</div><div style="text-align: justify;">“Celaka, mereka menyerang! Padamkan lampu di atas!”</div><div style="text-align: justify;">Terdengar seorang di geladak berseru dan cepat-cepat ia menggunakan sepatunya untuk memadamkan yang membakar ketika sebatang anak panah menancap di atas geladak dekat tempat ia berdiri.</div><div style="text-align: justify;">“Mana Letnan? Mengapa tidak memberi aba-aba balas menembak?” tanya seorang dengan bingung.</div><div style="text-align: justify;">“Kapal seharusnya diputar lagi ke kanan agar kita bisa mempergunakan meriam!” seru pula seorang. Akan tetapi Letnan Dolleman yang berada di atas itu ternyata bungkam saja.</div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba seorang berlari-lari dari bawah melalui anak tangga. Orang ini membawa sebuah lentera dan napasnya terengah-engah ketika ia berseru, “Celaka …! Letnan Dolleman telah tewas ... ! Puteri telah lenyap ... !”</div><div style="text-align: justify;">Semua orang terkejut.</div><div style="text-align: justify;">“Kau gila?” seru seorang sambil menuding ke atas. “Itu Letnan Dolleman! Siapa bilang dia tewas?”</div><div style="text-align: justify;">Beberapa orang berlari ke dalam kantor ke dalam kamar Roro Santi dan segera mereka keluar sambil berteriak-teriak. “Benar, Dolleman telah mati! Yang di atas itu Dolleman palsu! Tembak dia! Seret dia turun!”</div><div style="text-align: justify;">Memang yang di atas tempat penjaga itu adalah Bandi. Tadi di dalam gelap, ia telah membunuh dua orang penjaga dengan kerisnya dan ia sendiri lalu memanjat naik untuk melihat gerakan kawan-kawannya. Maka ia lalu memberi perintah untuk memutar kapal ke kiri agar kedudukan kawannya itu tidak terancam oleh meriam-meriam di kanan kiri kapal!</div><div style="text-align: justify;">Kini mendengar bahwa rahasianya telah terbuka, ia tertawa bergelak-gelak dan segera ia memegang sebuah tali dan mengayun tubuhnya ke bawah! Beberapa orang serdadu menembakkan tetapi meleset dan setelah Bandi berada di bawah, mereka tidak berani menembak, takut kalau-kalau pelurunya akan mengenai kawan sendiri.</div><div style="text-align: justify;">“Tangkap! Bunuh!” mereka berseru dan menyerbu Bandi yang telah mencabut kelewangnya. Bajak laut yang tinggi besar ini dikurung dan dikeroyok. Ia mengamuk dan setelah merobohkan tiga orang lawan dengan kelewangnya, akhirnya ia kena tertusuk juga pada pundaknya. Ia melompat dan menerjang keluar dari kepungan, lalu berlari ke pinggir kapal. Akan tetapi malang, sebelum bajak yang gagah berani dan cerdik ini dapat melompat ke air, terdengar tembakan dan peluru menembus dadanya dan tubuhnya lalu terjungkal ke dalam air dalam keadaan tak bernyawa pula!</div><div style="text-align: justify;">Pada saat itu, panah-panah api makin hebat dan deras datangnya sehingga sebagian kapal itu telah mulai terkena api. Para serdadu yang kehilangan pemimpin iti menjadi panik. Sebagian orang memadamkan api dan sebagian pula menembakkan senapan mereka ke arah perahu-perahu kecil. Beberapa orang telah terkena anak panah dengan tepat sehingga di sana-sini sudah nampak mayat-mayat bergelimpangan. Akan tetapi mereka dapat mengusai keadaan dan setelah kapal diputar ke kanan, maka mulai berdentumlah meriam-meriam kapal itu.</div><div style="text-align: justify;">Para bajak laut menjadi kewalahan. Beberapa buah mereka hancur atau terbalik. Terpaksa yang masih ada lalu melarikan perahu merek menjahui kapal itu dengan terpencar.</div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, setelah melompat ke dalam air, pertama-tama Kertapati menolong Roro Santi yang dipeluknya dan dibawa berenang mengejar perahu yang dijatuhkan tadi. Setelah membalikkan perahu itu, ia lalu membantu Roro Santi naik ke dalam perahu dan segera mendayung perahu itu menghilang di dalam gelap menuju ke tempat perahu-perahu anak buahnya yang berada di belakang kapal. Di atas geladak kapal Kompeni itu sedang terjadi keributan, maka tak seorangpun memperhatikan gerakan Kertapati ini.</div><div style="text-align: justify;">Biarpun Kertapati berada di tengah-tengah mereka, akan tetapi para bajak laut itu tak berdaya menghadapi semburan peluru meriam yang hebat dari kapal musuh itu. Kertapati lalu memberi perintah untuk mundur dan melarikan diri. Akan tetapi, tak pernah disangkanya bahwa Dolleman benar-benar hebat dan cerdik. Baru saja mereka berhasil menjauhkan diri dari kapal Kompeni itu, tiba-tiba sebuah kapal lain yang lebih besar dan lebih lengkap menghadang perjalanan mereka!</div><div style="text-align: justify;">Suara senapan memberondong dari atas kapal itu dan hampir seluruh anak buah bajak laut Kertapati yang melakukan perlawanan mati-matian dengan anak-anak panah mereka, habis disapu oleh peluru senapan para sedadu. Musuh terlalu banyak, dan senjata mereka lebih baik, ditambah pula kedudukan mereka yang terlindung di atas kapal yang besar itu.</div><div style="text-align: justify;">Setelah Kertapati kena tembak pundaknya dan pingsan di atas pangkuan Roro Santi, maka pertempuran berhenti. Hanya beberapa orang anak buah Kertapati yang berhasil menyelamatkan diri dengan jalan terjun ke air dan menyelam lalu menjatuhkan diri mempergunakan kepandaian renang mereka.</div><div style="text-align: justify;">Kertapati sendiri tertawan. Orang-orang di atas kapal ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang yang berada di perahu kecil itu adalah Kertapati sendiri yang sedang pingsan dan Roro Santi yang duduk menangis di dalam perahu, lalu menolong dan mengangkat mereka ke dalam kapal. Setelah berada di kapal dan melihat betapa kedua tangan Kertapati yang sudah pingsan dan penuh darah dadanya itu dibelenggu, Roro Santi menjerit dan roboh pingsan pula!</div><div style="text-align: justify;">Bajak laut Kertapati dibawa ka Jepara, oleh karena Kompeni berpendapat bahwa lebih baik bajak laut yang terkenal itu menjalankan hukum tembak di kota Jepara agar umum dapat menyaksikannya dan menjadi takut untuk mencontoh perbuatannya yang merugikan Kompeni.</div><div style="text-align: justify;">Roro Santi telah dijemput oleh ayahnya dan kembali ke gedungnya. Setiap hari gadis ini hanya menangis dan sedih.</div><div style="text-align: justify;">Kompeni mengumumkan bahwa bajak laut Kertapati akan ditembak mati pada hari Jumat Kliwon di pinggir laut, di bagian yang dalam. Di situ telah dibuat sebuah jembatan sampai ke bagian air yang dalam, di mana bajak laut itu akan menjalankan hukumannya. Semua penduduk dipersilahkan menyaksikan hukuman bajak laut ini.</div><div style="text-align: justify;">Hari Jumat Kliwon.</div><div style="text-align: justify;">Di tepi pantai telah penuh orang. Para bangsawan keluar dari gedung masing-masing dan ikut pula menyaksikan penyelenggaraan hukuman besar itu, bahkan orang-orang dari dusun-dusun yang jauh pada datang berbondong-bondong untuk menyaksikan hukuman yang hendak dijatuhkan kepada bajak laut yang ternama itu, bajak laut muda yang mempunyai banyak pengikut dan pencinta, akan tetapi juga mempunyai banyak pembenci itu!</div><div style="text-align: justify;">Adipati Wiguna juga hadir, bersama Roro Santi yang berwajah pucat. Mereka mendapatkan tempat yang terdepan, oleh karena Kompeni menganggap bahwa keluarga inilah yang mendapat gangguan paling besar dari Kertapati sehingga tentu ingin menyaksikan dari dekat betapa musuh besarnya tewas! Juga para Kompeni menganggap bahwa Roro Santi adalah tunangan Letnan Dolleman yang dibunuh oleh Kertapati, maka tentu saja gadis ini merasa sakit hati terhadap bajak laut itu!</div><div style="text-align: justify;">Di dekat gadis itu nampak Raden Suseno, tunangan yang menjaga gadis itu dengan penuh perhatian dan ia merasa amat kasihan melihat gadis tunangannya ini yang telah mengalami banyak penderitaan.</div><div style="text-align: justify;">Jam sembilan tepat, serombongan Kompeni datang berbaris mengiringkan Kertapati. Bajak laut ini nampak pucat sekali oleh karena luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah dan ia tidak dirawat sama sekali, bahkan menerima banyak pukulan siksaan dalam penahanannya itu. Akan tetapi ia berjalan menuju ke tepi pantai, ia tersenyum-senyum dan sepasang matanya bercahaya, sama sekali tidak kelihatan takut.</div><div style="text-align: justify;">Air mata banyak mengucur keluar ketika orang-orang menyaksikan pemuda teruna yang tampan ini berjalan dengan gagah dan bersemangat, seakan-akan maut yang menantinya merupakan jantung hatinya yang berdiri tersenyum melambaikan tangan kepadanya.</div><div style="text-align: justify;">Kertapati lalu diikat di ujung jembatan itu pada sebatang tiang yang sudah disediakan, dan para serdadu lalu mengundurkan diri untuk memberi ketika kepada seorang pembesar Kompeni dari Semarang yang akan mengucapkan pidato! Pembesar itu adalah seorang Belanda yang berkepala botak, yang maju dan berdiri menghadapi semua penonton, membelakangi Kertapati dan berkata dalam bahasa daerah yang kaku.</div><div style="text-align: justify;">“Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian. Hari ini akan dilangsungkan hukum tembak kepada Kertapati, seorang penjahat besar, seorang bajak laut, perampok yang amat jahat dan berbahaya. Dengan dihukumnya penjahat ini, maka sekali lagi Kompeni telah menolong tuan-tanah dan nyonya-nyonya dari gangguan seorang penjahat yang berbahaya!”</div><div style="text-align: justify;">“Bohong ... !” tiba-tiba terdengar teriakan dari tengah-tengah penonton yang berdesak-desakan. “Kompenilah perampok dan bajak yang sejahat-jahatnya!”</div><div style="text-align: justify;">Para penjaga lalu mengejar ke arah suara itu, akan tetapi mereka menjadi bingung karena siapakah yang harus ditangkap? Di situ terdapat banyak sekali orang, laki-laki dan wanita, tua dan muda, bahkan ada pula anak-anak. Maka pemimpinnya mengangkat pundak, dan tertawa suara menyeramkan.</div><div style="text-align: justify;">Yang tertawa adalah Kertapati!</div><div style="text-align: justify;">“Ha, ha, ha! Kompeni Belanda!! Baru saja kamu mendengar teriakan rakyat! Kau boleh membunuh aku, akan tetapi kamu takkan kuasa membunuh teriakan itu! Pekik dan teriak perlawanan terhadap kamu akan berkumandang sepanjang masa. Seorang Kertapati boleh ditembak, akan tetapi ribuan, laksaan, ya bahkan seluruh rakyat akan bangkit dan berontak mengusirmu dari tanah air kami!</div><div style="text-align: justify;">“ Ya sekarang kamu boleh berlaku sewenang-wenang, boleh memaksa rakyat datang menyaksikan pembunuhan yang kamu lakukan seorang keluarga mereka, akan tetapi tunggulah saja ... tunggulah datangnya pembalasan rakyat!”</div><div style="text-align: justify;">Belanda botak itu menjadi pucat dan gugup, lalu memberi dengan tangannya. “Penembakan segera dilakukan!” teriaknya.</div><div style="text-align: justify;">Pada saat itu, tiba-tiba Roro Santi melompat turun dari kursinya dan berlari-lari di sepanjang jembatan kecil itu menghampiri Kertapati. Sambil menangis tersedu-sedu ia memeluk tubuh Kertapati.</div><div style="text-align: justify;">“Kertapati .... “ bisiknya dan ia tak dapat menahan membanjirnya air mata.</div><div style="text-align: justify;">“Santi ... Santi ... kekasihku! Jangan kau memberatkan pengurbananku dengan air matamu, jiwa hatiku ... Tenanglah dan berlakulah tabah ... Kematian bukan apa-apa bagi Kertapati!”</div><div style="text-align: justify;">Roro Santi mendekap kepala pemuda itu, dipeluknya, diciuminya diantara hujan air mata, kemudian ia mencabut kerisnya dan dibukanya ikatan tangan dan kaki Kertapati. Ketika beberapa orang serdadu memburu ke arahnya, ia lalu membalikkan tubuh dengan keris di tangan, memandang bagaikan seekor harimau betina melindungi anaknya.</div><div style="text-align: justify;">“Majulah! Kerisku akan membedah perutmu! Keparat kejam! Bajingan hinadina! Kertapati bukan pengecut, ia takkan lari! Tak usah dibelenggu, ia tidak takut mati! ”</div><div style="text-align: justify;">Para penjaga itu mundur kembali dengan ragu-ragu dan Roro Santi kembali menghampiri Kertapati yang segera memeluk dan mencium keningnya.</div><div style="text-align: justify;">“Roro Santi, kekasihku. Pergilah kau kembali ke tempatmu dan relakanlah aku mati. Hanya pesanku, kau dan keluargamu, kau dan putera-puteramua kelak, jangan sekali-kali kena bujuk Kompeni yang bermulut manis! Kompeni hanya akan mendatangkan malapetaka dan sengsara bagi keturunanmu .... ingatlah hal ini baik-baik, Santi ... …. .”</div><div style="text-align: justify;">Dengan air mata mengalir Roro Santi hanya memandang dan menggangguk-angguk. Pada saat itu, Raden Suseno yang memburu ke situ telah tiba dengan sambil menarik-narik tangan Roro Santi, ia membujuk gadis itu untuk kembali ke tempatnya. Pemandangan yang amat mengharukan tadi telah membuat para penonton menangis tersedu-sedu. Bahkan Raden Suseno sendiri, ketika melihat betapa Roro Santi berpeluk-pelukan dengan Kertapati, tidak merasa cemburu, bahkan seakan-akan ada sesuatu yang naik ke kerongkongannya yang membuat ia menggigit bibir menahan runtuhnya air mata dari kedua pelupuk matanya! Adipati Wiguna menutup muka dengan kedua tangannya dan air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya!</div><div style="text-align: justify;">Setengah memaksa, Raden Suseno menarik Roro Santi mundur dari jembatan itu. Pemimpin Kompeni memberi tanda dengan tangan dan tiba-tiba.</div><div style="text-align: justify;">“Dar! Dar ...!! Dar!!!”</div><div style="text-align: justify;">Lebih dari tujuh pucuk senapan memuntahkan cahaya api dan peluru yang semua menyambar ke tubuh Kertapati. Tubuh itu terkulai, terhuyung-huyung di atas jembatan, kedua tangan memegang dada ...</div><div style="text-align: justify;">“Kertapati …..!”</div><div style="text-align: justify;">Roro Santi menjerit dan Raden Suseno tak kuasa menahannya ketika ia memberontak dan berlari cepat sekali memburu kepada Kertapati.</div><div style="text-align: justify;">“San .... ti ... “ Kertapati berbisik dan memandang dengan senyum dan matanya mulai kabur.</div><div style="text-align: justify;">“Kertapati ... ”</div><div style="text-align: justify;">Santi menubruk tubuh yang hendak roboh itu dan memeluknya erat-erat hingga darah yang keluar dari lubang-lubang di tubuh pemuda itu membasahi tubuhnya pula. Raden Suseno diikuti oleh para penjaga mengejar, akan tetapi tiba-tiba Roro Santi menghardik.</div><div style="text-align: justify;">“Jangan dekat!” Ia menarik kerisnya dan mengancam, akan tetapi karena amat kuatir, Raden Suseno tetap melangkah maju. Melihat ini, Roro Santi lalu memeluk tubuh Kertapati lebih erat lagi lalu melempar dirinya ke bawah jembatan bersama-sama Kertapati! Yang nampak di atas papan jembatan kini hanyalah ceceran darah yang tadi mengucur keluar dari dada dan lambung Kertapati.</div><div style="text-align: justify;">“Santi ...!”</div><div style="text-align: justify;">Raden Suseno memekik dan ikut pula melompat ke dalam air, akan tetapi terlambat! Ia hanya mendapatkan dua tubuh yang sudah tak bernyawa lagi dalam keadaan berpelukan mulai tenggelam di dalam laut. Tubuh Kertapati penuh luka peluru, sedangkan keris yang tadi dipegang oleh Roro Santi menancap di dada kiri gadis itu!</div><div style="text-align: justify;">Semua orang menangis ketika kedua jenazah itu dikeluarkan. Dan para anggota Kompeni yang berada di situ hanya dapat memandang marah ketika melihat betapa semua orang menghormati kedua jenazah itu seakan-akan yang mati adalah orang-orang agung! Akan tetapi mereka tidak berani menentang rakyat yang demikian banyaknya dan yang mulai memandang kepada mereka dengan mata merah! Terpaksa mereka lalu meninggalkan tempat itu dengan kepala tunduk.</div><div style="text-align: justify;">Beberapa hari kemudian, setelah jenazah Kertapati dan Roro Santi dimakamkan, Jepara kehilangan beberapa orang lagi, yakni Adipati Wiguna, Bupati Randupati, Raden Suseno dan Tumenggung Basirudin yang kesemuanya melarikan diri menyeberang ke Mataram untuk membantu pemberontakan Trunajaya! Mereka semua ini diilhami oleh perjuangan dan kegagahan Kertapati, maka diam-diam Kompeni mencatat bahwa pembunuhan yang dilakukan atas diri bajak laut Kertapati itu sama sekali tak dapat disebut sebuah kemenangan, karena selain anak buah bajak Kertapati masih banyak yang mendatangkan gangguan bagi mereka, juga banyak para bangsawan dan rakyat Jepara menyeberang kepada Trunajaya!</div><div style="text-align: justify;">Demikianlah, kisah ini ditutup dengan catatan bahwa ucapan-ucapan terakhir yang keluar dari mulut pahlawan teruna Kertapati itu ternyata terbukti karena sungguhpun tak lama kemudian Trunajaya gagal dan tewas, selanjutnya tiada hentinya rakyat berusaha untuk mengusir musuh besarnya, yaitu Kompeni Belanda!</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tamat</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-1673532885042229302011-08-14T05:13:00.000-07:002011-08-14T05:16:22.469-07:00TANAH WARISAN_041-050<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKcDK4qfUtykLECC7KGPy3s_ZViBIGXVjnW46R6n8oPogLv_wgyxkmV3PhsBEURoCE6q-CkPLBHyoNCL4dmd-7jsaWvxJsSRwKu8F1YpV79xroLLE7wzakzwpHCl3JksCMMGwdffV0kg/s1600/Tanah+Warisan+5+-+8.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 227px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKcDK4qfUtykLECC7KGPy3s_ZViBIGXVjnW46R6n8oPogLv_wgyxkmV3PhsBEURoCE6q-CkPLBHyoNCL4dmd-7jsaWvxJsSRwKu8F1YpV79xroLLE7wzakzwpHCl3JksCMMGwdffV0kg/s320/Tanah+Warisan+5+-+8.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640684244711246418" /></a><div style="text-align: justify;">No. 041</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“KENAPA?” bertanya Bramanti. </div><div style="text-align: justify;">“Hari ini Suwela dan Panjang terbaring di pringgitan Kademangan dengan jalur-jalur merah di dada, punggung dan lengannya seperti jalur merah ditubuhmu itu. Tetapi jauh lebih banyak dan dalam."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Pertanyaanmu itu menyatakan kebohonganmu. Bukankah menjadi kepuasan, bahwa keduanya harus menangkap seekor harimau? Nah, harimau itulah yang telah membuat jalur-jalur merah ditubuh mereka. Nanti apabila jalur-jalur itu telah sembuh dan membekas di kulitnya, mereka akan berkata dengan bangga, bahwa jalur-jalur itu adalah bekas luka yang ditimbulkan oleh kuku-kuku harimau. Sedang kaupun agaknya akan berbangga mengatakan, bahwa jalur-jalur di dadamu itu adalah bekas geseran batang kelapa.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menjawab, tetapi ia menundukkan kepalanya sambil menggigit bibirnya. </div><div style="text-align: justify;">“Kalau kau tidak pingsan melihat darah, tengoklah mereka di Kademangan.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menarik nafas, jawabnya, “Sebenarnya aku ingin menengoknya. Tetapi ia masih takut, kalau-kalau kehadiranku akan menimbulkan persoalan lagi seperti pada saat pendadaran itu.” </div><div style="text-align: justify;">“Huh,” Temunggul mencibirkan bibirnya. “Kau memang tidak pantas untuk menjadi anggota keluarga kami, laki-laki Kademangan ini.” </div><div style="text-align: justify;">Sebelum Bramanti menjawab, Temunggul telah meneruskan langkahnya turun ke bendungan. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dirabanya jalur-jalur merah di dadanya. Perlahan-lahan ia berdesis. “Ibu pun pasti akan bertanya, kenapa jalur-jalur ini telah tergores di dadaku. Dan ibu pasti akan berkata, “Lain kali jangan memanjat terlampau pagi.” </div><div style="text-align: justify;">Sekali lagi Bramanti berpaling memandangi Temunggul yang telah turun ke air. Kemudian diayunkannya kakinya berjalan pulang ke rumahnya. </div><div style="text-align: justify;">Ternyata dugaan tidak salah. Ibunya menjadi cemas melihat jalur-jalur di dadanya itu. </div><div style="text-align: justify;">“Tidak apa-apa,” berkata Bramanti. “Dengan getah mlandingan di campur dengan kunyahan daunnya, segera luka-luka kecil ini akan sembuh.” </div><div style="text-align: justify;">Dan nasehat yang dinanti-nantikannya itu di ucapkan oleh ibunya pula. “Lain kali jangan memanjat terlampau pagi. Tunggulah sampai embun mulai menguap.” </div><div style="text-align: justify;">Dan Bramanti pun telah menyediakan jawabannya pula. “Baik bu.” </div><div style="text-align: justify;">“Nah,” berkata ibunya. “Minumlah selagi masih panas.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti pun kemudian berjalan dengan kepala tunduk, masuk ke dapur. Perlahan-lahan ia duduk di sebuah bale-bale bambu. Sejenak di pandanginya semangkuk air panas, dan seonggok gula kelapa. Kemudian tangannya pun terjulur meraih mangkuk itu. Ketika ia mengangkatnya, tangan itu tertegun. Dipandanginya air hangat itu sejenak. Keningnya berkerut ketika tiba-tiba saja kenangannya meloncat kepada seorang gadis yang ditemuinya pertama-tama ketika ia datang kembali ke padukuhannya. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Wajah gadis itu seakan-akan membayang di dalam mangkuknya. </div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Diteguknya air hangat itu sambil berdesis di dalam hatinya, “Temunggul telah mendorong aku untuk selalu mengenang wajah itu. Sebenarnya aku tidak menaruh perhatian sama sekali.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menggigit bibirnya. Dicobanya untuk mengusir bayangan yang telah mulai mengganggunya itu. </div><div style="text-align: justify;">“Aku sudah mulai mencari perkara,” ia berkata di dalam hatinya. “Aku telah banyak sekali berkorban. Aku telah merendahkan diriku dengan menahan hati sekuat-kuat tenagaku. Penghinaan di arena pendadaran itu adalah pengorbanan yang tiada taranya dari seorang laki-laki. “Kalau kemudian aku terlibat dalam persoalan seorang gadis dan langsung berhadapan dengan Temunggul, maka pengorbanan itu akan sia-sia.” </div><div style="text-align: justify;">Karena itu, maka Bramanti pun berusaha untuk tetap dapat mempergunakan nalarnya tanpa membiarkan perasaannya mengembara menyusuri langit. </div><div style="text-align: justify;">Tanpa sesadarnya Bramanti meraba jalur-jalur merah di dadanya. Ia merasa sesuatu bergetar didadanya ketika terasa jalur-jalur itu menjadi pedih. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 042</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">JALUR-JALUR di tengkuk dan punggungnya masih belum sembuh, dan kini ditambah lagi jalur-jalur baru di dadanya meskipun jalur-jalur di dada itu tidak ditimbulkan oleh pukulan cambuk pada tengkuk dan punggungnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Hem,” Bramanti berdesah. “Aku tidak dapat membiarkan mereka di sayat-sayat oleh harimau itu. Mereka baru sekadar menjalani pendadaran.” </div><div style="text-align: justify;">Namun kemudian ia menggeram, “Persetan dengan anak-anak Candi Sari yang gila dan sombong. Mereka merasa diri mereka terlampau kuat dan tangguh. Suatu sikap yang berbahaya. Tetapi mereka sama sekali tidak berani berbuat apa-apa menghadapi orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat.” </div><div style="text-align: justify;">Sementara itu anak-anak muda Kademangan Candi Sari berdatangan seorang demi seorang ke halaman rumah Ki Demang setelah mereka mendengar berita tentang kedua kawan mereka Suwela dan Panjang. Sebagian dari mereka menjadi cemas, dan bahkan ada yang merasa, bahwa cara yang dipergunakan oleh Temunggul itu terlampau berbahaya. Apalagi di hari-hari mendatang, cara itu tidak di rubah, maka korban-korban yang tidak berarti masih akan berjatuhan. </div><div style="text-align: justify;">Setelah beberapa orang mengalami cedera dalam pendadaran, dan bahkan ada yang menjadi cacat untuk seumur hidupnya karena terjatuh dari punggung kuda yang binal, maka kini Suwela dan Panjang hampir saja mati terbunuh. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi mereka hanya berani menyatakannya di dalam hati masing-masing. Ada satu dua orang yang memperkatakan soal itu tetapi tidak seorang pun yang berani mengatakannya langsung kepada Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">“Temunggul sendiri merasa menyesal,” berkata salah seorang dari anak-anak muda itu. </div><div style="text-align: justify;">Kawannya berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sudut matanya di pandangnya beberapa anak muda yang telah diterima menjadi anggota pengawal. </div><div style="text-align: justify;">“Mereka lebih senang, apabila pendadaran dilakukan dengan cara yang lebih berat.” </div><div style="text-align: justify;">“Tentu. Semakin banyak yang jatuh, mereka menjadi semakin bangga akan kedudukannya.” </div><div style="text-align: justify;">Keduanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi mereka menjadi terdiam ketika seorang anggota pengawal lewat di depan mereka. Keduanya hanya dapat memandangi ciri dari anggota pengawal itu. Sedang pengawal itu sendiri mengusap-usap dagu mereka. Seleret baris merah pada ujung lengan baju mereka. </div><div style="text-align: justify;">Ketika pendapa Kademangan itu menjadi penuh, maka beberapa orang terpenting di antara mereka diperkenankan masuk. Tujuh orang di antara mereka segera memasuki pringgitan dan duduk di atas sehelai tikar, dekat disamping Suwela dan Panjang berbaring. </div><div style="text-align: justify;">“Di mana Temunggul? bertanya salah seorang dari mereka. </div><div style="text-align: justify;">“Baru saja pergi,” jawab yang lain. </div><div style="text-align: justify;">“Baru saja?” </div><div style="text-align: justify;">“Beberapa saat yang lalu. Ia menunggui keduanya yang luka-luka itu. Baru ketika mereka sudah sadar Temunggul keluar ruangan ini. Entah, ia pergi kemana.” </div><div style="text-align: justify;">Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi mereka sudah tidak terlampau cemas lagi, karena Suwela dan Panjang telah menjadi bertambah segar setelah mereka menelan masing-masing sebutir telur mentah. </div><div style="text-align: justify;">“Bagaimana keadannmu?” bertanya salah seorang dari mereka yang duduk di samping Suwela dan Panjang.</div><div style="text-align: justify;">Suwela menarik nafas dalam-dalam. Katanya perlahan, “Sudah baik. Aku sudah menjadi bertambah baik.” </div><div style="text-align: justify;">“Syukur. Tetapi bagaimanakah yang terjadi sebenarnya?” </div><div style="text-align: justify;">“Jangan terlampau banyak berbicara lebih dahulu,” potong Ki Demang yang masih saja duduk di samping Ki Jagabaya dan beberapa bahu Kademangan yang lain.</div><div style="text-align: justify;">“Oh,” anak muda yang bertanya itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Suwela dan Panjang yang masih sangat pucat, meskipun sudah agak tampak segar. Tetapi ia tidak bertanya-tanya lagi.</div><div style="text-align: justify;">Pringgitan itupun kemudian menjadi sepi. Hanya desah nafas sajalah yang terdengar bersahut-sahutan. Sekali-kali satu dua orang dari mereka yang berusaha mengobati kedua anak-anak muda yang terluka itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dari wajah mereka dapat dibayangkan, bahwa mereka berpengharapan sepenuhnya, untuk dapat mengatasi kesulitan dari kedua anak-anak muda ini. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 043 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">SERENTAK mereka berpaling ketika pintu pringgitan itu terbuka. Mereka melihat Temunggul melangkah masuk dengan wajah yang suram. Ia tertegun sejenak di muka pintu, namun kemudian ia melangkah terus dan duduk pula di samping Suwela. </div><div style="text-align: justify;">“Kau sudah menjadi semakin baik,” desisnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Suwela mengangguk kecil. </div><div style="text-align: justify;">Kemudian kepada Ki Demang Temunggul berkata, “Ki Demang, apakah Suwela sudah mengatakan tentang dirinya?” </div><div style="text-align: justify;">Ki Demang menggelengkan kepalanya, “Belum. Aku melarang ia berbicara terlampau banyak.” </div><div style="text-align: justify;">“Tidak terlampau banyak. Aku hanya ingin mendengar tentang harimau itu.” </div><div style="text-align: justify;">“Bertanyalah.” </div><div style="text-align: justify;">“Apakah kau sudah dapat berceritera tentang harimau itu,” bertanya Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">Suwela menarik nafas dalam-dalam, kemudian dengan kata-kata yang patah-patah ia menceriterakan apa yang telah terjadi atas mereka berdua. </div><div style="text-align: justify;">Setiap kepala mereka yang berbeda di dalam pringgitan itu terangguk. Dan kemudian terdengar Temunggul bertanya, “Apakah kau tidak dapat menduga, siapakah yang telah menolongmu.” </div><div style="text-align: justify;">“Semula aku menyangka, bahwa kaulah yang telah melakukannya.” </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia terpaksa mengakui bahwa ia sama sekali tidak melakukannya. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Bukan aku.” </div><div style="text-align: justify;">“Kalau bukan kau, maka kami tidak dapat mengatakan, siapakah orang itu.” </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun peristiwa itu merupakan peristiwa yang besar bagi dirinya dan bagi Kademangan Candi Sari. Ia sendiri dan bahkan mungkin di seluruh Kademangan ini, tidak ada yang dapat membunuh seekor harimau belang yang sebesar itu seorang diri hanya dengan pisau belati seperti yang dilihat oleh Panjang dan Suwela. </div><div style="text-align: justify;">“Siapakah orang itu?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. “Apakah mungkin orang yang menamakan diri Panembahan Sekar Jagat? Tetapi apakah kepentingannya ia menolong Suwela dan Panjang. Menilik sikap orang-orangnya, maka Panembahan Sekar Jagat pasti akan membiarkan Suwela dan Panjang mati dicabik-cabik harimau lapar itu. Namun, kemungkinan itu masih ada. Mungkin Panembahan Sekar Jagat sendiri tidak sejahat orang-orangnya. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Panjang yang berbaring disamping Suwela itu berdesis lambat, “Seakan-akan aku pernah mendengar suara orang itu.” </div><div style="text-align: justify;">“Siapa?” bertanya Temunggul dengan serta merta. </div><div style="text-align: justify;">“Sayang. Aku lupa. Apabila pada suatu ketika aku bertemu dengan seseorang yang suaranya serupa, aku akan dapat menyebutkannya.” </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tetap tidak dapat menduga. Siapakah orang itu. Siapakah yang telah menolong Suwela dan Panjang dari kuku-kuku harimau yang ganas itu. </div><div style="text-align: justify;">Namun, meskipun seseorang telah menolongnya, tetapi keduanya telah dianggap telah memenuhi syarat, karena mereka berdua telah berhasil membunuh salah seekor dari sepasang harimau itu, sehingga dengan demikian Suwela dan Panjang akan dapat diterima menjadi anggota pengawal Kademangan. </div><div style="text-align: justify;">“Kalian akan segera di wisuda apabila kalian telah sembuh,” berkata Temunggul untuk membesarkan hati kedua anak-anak muda itu. “Kalian akan segera menjadi anggota pengawal. Kali ini penerimaan atas kalian pasti harus agak berbeda dengan di saat-saat lampau. Karena kalian telah melampaui suatu saat yang paling menegangkan. Sayang, bahwa kami tidak dapat mengerti, siapakah yang telah menolong kalian. Seandainya demikian, maka orang itupun harus di undang pula. Ia akan dapat menjadi anggota kehormatan, karena orang itu pasti berada setidak-tidaknya sejajar dengan para anggota pengawal. Bahkan melampauinya.” </div><div style="text-align: justify;">“Pada suatu saat kau akan menemukannya,” desis Panjang. “Suara itu tidak akan aku lupakan pada saat ia meloncati punggung harimau itu.” </div><div style="text-align: justify;">“Mudah-mudahan,” jawab Temunggul. “Mudah-mudahan kau dapat menemukannya. Dengan demikian akan terungkatlah suatu kekuatan yang terpendam di Kademangan ini.” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 044 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">PANJANG tidak menjawab lagi. Kepalanya masih terasa pening, sehingga ia tidak sempat mengingat-ingat lebih lanjut. Hanya kadang-kadang saja timbul suatu persoalan di dalam hatinya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Betapapun ia mencoba mengingkari. Suara itu benar-benar pernah didengarnya. Suara seseorang yang tidak mungkin mampu melakukannya. Tetapi seolah-olah ia yakin bahwa suara itu adalah suaranya. </div><div style="text-align: justify;">“Mungkin telingakulah yang sudah tidak wajar lagi, atau dalam kekalutan pikiran waktu itu, aku tidak dapat mendengarnya dengan baik, sehingga timbullah kesalahan dugaan itu,” berkata Panjang di dalam hatinya. Namun kemudian, </div><div style="text-align: justify;">“Tetapi seandainya orang itu, kenapa? Apakah keberatanku?” </div><div style="text-align: justify;">Tetapi Panjang tidak mengatakan perasaan dan dugaan-dugaan itu kepada siapapun. Ia yakin, bahwa anak-anak itu akan mentertawakannya. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian, maka anak-anak muda yang menengok mereka yang terluka itupun meninggalkan ruang pringgitan yang menjadi terlampau panas. Dari mulut ke mulut ceritera itu berkembang. </div><div style="text-align: justify;">Dan pertanyaan tentang bayangan kehitam-hitaman yang menerkam harimau dan membunuhnya itupun berkembang pula. </div><div style="text-align: justify;">Suwela dan Panjang, yang merasa keadaannya telah menjadi semakin baik, minta kepada Ki Demang untuk pulang saja ke rumah masing-masing. Di rumah mereka akan menjadi lebih tentram dan mudah-mudahan dengan demikian menjadi lebih cepat sembuh. </div><div style="text-align: justify;">Ki Demang, para pemimpin Kademangan yang lain dan Temunggul tidak merasa keberatan atas permintaan itu. Karena itu, maka mereka pun segera menyiapkan sebuah pedati untuk membawa keduanya pulang ke rumah masing-masing. </div><div style="text-align: justify;">Yang mula-mula di antar pulang adalah Suwela, kemudian baru Panjang. Perlahan-lahan pedati itu berjalan dengan tenangnya di atas tanah berbatu-batu, sehingga gemeretak rodanya telah membangunkan anak-anak yang sedang tidur di pangkuan ibunya, di bawah pepohonan rindang di halaman. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti yang sedang duduk di bawah sebatang pohon sawopun mengangkat wajahnya. Jarang sekali sebuah pedati lewat di jalan di muka halaman rumahnya. Karena itu, tanpa sesadarnya ia berdiri dan berjalan ke regol untuk melihat apakah yang telah diangkut di dalam pedati itu. </div><div style="text-align: justify;">Anak muda itu terkejut ketika ia melihat beberapa anak-anak muda berjalan di sisi pedati itu. Dengan hati yang berdebar-debar ia kemudian masuk kembali ke dalam regol rumahnya, supaya tidak menimbulkan persoalan yang tidak dikehendakinya. </div><div style="text-align: justify;">Meskipun demikian ia tetap berdiri di balik pintu kalau-kalau ia dapat mengintip, apakah yang ada di dalam pedati itu. </div><div style="text-align: justify;">Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba Panjang yang terluka berdesis. “Berhenti. Berhenti sebentar.” </div><div style="text-align: justify;">Pedati itupun segera berhenti. Anak-anak muda yang mengikuti pedati itupun segera mendekat dan berkerumun di sekeliling Panjang yang berbaring di dalam pedati. </div><div style="text-align: justify;">“Kenapa kau berhenti disini Panjang,” bertanya salah seorang anak muda.</div><div style="text-align: justify;">Panjang berdesis. Kemudian katanya, “Tolong, panggil Bramanti.” </div><div style="text-align: justify;">“Untuk apa kau panggil anak itu.” </div><div style="text-align: justify;">“Tolonglah, panggil Bramanti.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti yang berdiri di balik pintu, mendengar pula percakapan itu, sehingga dadanya pun menjadi berdebar-debar. </div><div style="text-align: justify;">“Apakah kau memerlukannya?” bertanya anak muda yang lain. </div><div style="text-align: justify;">“Ya, aku memerlukannya.” </div><div style="text-align: justify;">“Kau ingin mencambuknya seperti Suwela di arena?” </div><div style="text-align: justify;">“Tolong, panggilkan anak itu.” </div><div style="text-align: justify;">Dua orang anak-anak muda kemudian melangkah masuk regol. Mereka terkejut ketika mereka menjumpai Bramanti sudah berada di balik pintu. </div><div style="text-align: justify;">“He, kau mengintip kami ya?” bertanya salah seorang dari kedua anak-anak muda itu. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menggelengkan kepalanya. “Bukan maksudku. Aku memang tertarik kepada sebuah pedati yang lewat di jalan ini.” </div><div style="text-align: justify;">Kedua anak-anak muda itu saling berpandangan. Kemudian yang seorang bertanya, “Apakah anehnya pedati lewat di jalan ini, dan apakah yang menarik?” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menjawab. Ketika matanya membentur tatapan mata anak muda itu cepat-cepat digesernya pandangannya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 045</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“KENAPA?” anak muda itu mendesak.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Biasanya pedati-pedati lewat di jalan sebelah desa.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Apa salahnya mengambil jalan ini untuk pergi ke rumah Panjang?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah Panjang ada di dalam pedati itu?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ya. Ia terluka semalam dalam pendadaran. Nah, sekarang kau dipanggilnya.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Aku,” bertanya Bramanti.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ya, kau.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Kenapa aku?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Jangan ribut. Datanglah kepadanya, kau akan tahu kenapa Panjang memanggilmu.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti ragu-ragu sejenak. Dan karena ia tidak beranjak dari tempatnya maka hampir bersamaan kedua anak-anak muda itu berkata, “Cepat.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak dapat menolak lagi. Dengan ragu-ragu ia melangkah keluar regol.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ketika ia memandang berkeliling maka dilihatnya beberapa anak-anak muda menatapnya dengan pandangan aneh.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Panjang ada di dalam pedati itu,” desis salah seorang dari anak-anak muda itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti melangkah mendekat. Dengan ragu-ragu pula ia menjengukkan kepalanya dari arah belakang pedati itu. Dilihatnya Panjang berbaring di dalamnya, bersandar setumpuk jerami kering.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“He, kaukah itu Bramanti,” bertanya Panjang dengan suara yang masih lemah. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Apakah kau heran karena aku memanggil kau?” bertanya Panjang pula. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dan sekali lagi Bramanti menganggukkan kepalanya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Apakah kau tidak datang ke Kademangan pagi tadi?” Panjang bertanya pula, dan kali ini Bramanti menggelengkan kepalanya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Panjang menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia terdiam, namun tiba-tiba ia bertanya, “Dimanakah kau semalam Bramanti?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramantilah yang kemudian termenung. Ia mengangkat wajah ketika Panjang bertanya sekali lagi, “Dimana?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak dapat berbuat lain. Ia harus menjawab pertanyaan itu betapapun singkatnya. Maka jawabnya pendek. “Di rumah.” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi jawaban itu belum cukup meyakinkannya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena itu ia bertanya lagi, “Bramanti, kenapa kau tidak datang ke Kademangan pagi tadi, ketika hampir setiap anak-anak muda datang ke sana menjenguk aku dan Suwela? Apakah kau masih mendendam? Maksudku, bukan karena kematian ayahmu, tetapi karena perlakuan Suwela di arena?” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetapi ia terpaksa menjawab pula dengan kata-kata, “Tidak Panjang. Sama sekali tidak. Aku tidak mendendam. Tetapi justru aku takut kalau kehadiranku akan dapat menumbuhkan persoalan baru lagi bagiku.” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Panjang mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk meyakinkan dirinya, bahwa suara itu adalah suara yang didengarnya semalam.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Namun demikian Panjang masih tetap ragu-ragu. Tekanan kata-katanya agak berbeda meskipun Panjang dapat menduga, bahwa semalam kata-kata itu diucapkan dalam keadaan tergesa-gesa.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Namun tiba-tiba Panjang itu mengangkat kepalanya. Betapapun lemahnya, namun ia mencoba untuk bangkit dan bersandar pada kedua tangannya. Dengan dada yang berdebar-debar ia memandang dada Bramanti yang digarisi oleh jalur-jalur merah.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan serta merta Panjang bertanya, “Kenapa dadamu itu Bramanti?” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak segera menjawab. Di amat-amatinya kemudian ia berkata, “Aku tergelincir pagi tadi, ketika aku mengambil bumbung legen dari batang kelapa itu.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Apakah kau tidak berbohong Bramanti?” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Kenapa aku mesti berbohong? Apakah keuntunganku.” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Dan jalur-jalur di lengan dan tengukmu itu?” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Desahnya, “Karena kebodohanku. Inilah akibat cambuk Suwela kemarin.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dugaannya masih juga terpancang di dalam hatinya. Bahwa suara bayangan hitam semalam pernah didengarnya. Apalagi ketika ia melihat jalur-jalur di dada Bramanti itu. Namun Panjang masih tetap ragu-ragu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Baik Bramanti,” berkata Panjang kemudian, “Aku hanya ingin berbicara denganmu. </div><div style="text-align: justify;">Mungkin kau tahu maksudku, tetapi mungkin pula sama sekali tidak. Aku kira sebaiknya kau berterus terang apabila kau mengerti maksud pembicaraan ini.” </div><div style="text-align: justify;">Tetapi Panjang menjadi kecewa ketika Bramanti menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku tidak tahu maksudmu Panjang.” (Bersambung)-m </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 046 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">PANJANG menggigit bibirnya. Kemudian diletakkannya kepalanya di atas jemari kering itu kembali sambil berkata, “Baiklah. Terima kasih Bramanti,” kemudian kepada kawannya yang mengemudikan pedati itu ia berkata, “Marilah, kita berjalan lagi. Temunggul akan mengunjungi aku di rumah setelah ia datang ke rumah Suwela. Bahkan mungkin sekarang Temunggul sudah berada di rumahku.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Pedati itu kemudian berjalan lagi dengan suaranya yang berderak-derak di atas jalan yang berbatu-batu. Semakin lama semakin jauh. Sekali-kali anak-anak muda yang berjalan di sisi pedati itu masih juga berpaling memandangi wajah Bramanti yang tegang, yang masih saja berdiri di tengah jalan. </div><div style="text-align: justify;">“Hem,” Bramanti menarik nafas dalam sekali. Namun sejenak kemudian ia melangkah masuk ke dalam regol halamannya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Cerdik juga Panjang itu.” </div><div style="text-align: justify;">“Ah,” desahnya kemudian, “Aku tidak peduli apa yang terjadi atasnya. Lebih baik aku tidak mengetahui apa-apa daripada melibatkan diri dalam kesulitan yang mungkin sulit terkendali untuk seterusnya. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi Bramanti tidak dapat berbuat demikian. Setiap kali ia masih juga memperhatikan perkembangan yang terjadi di Kademangan Candi Sari. Bahkan kadang-kadang terlalu sulit baginya untuk tidak ikut memikirkan persoalan-persoalan yang menyangkut Kademangannya. Namun bagaimanapun juga Bramanti tetap berusaha untuk tidak mencampurinya secara langsung. </div><div style="text-align: justify;">Sementara itu Suwela dan Panjang berangsur-angsur menjadi baik kembali. Keduanya sudah dapat berada di lingkungan anak-anak muda lagi, meskipun masih harus tetap berhati-hati dengan luka-lukanya. Geseran-geseran kecil saja akan dapat membuat luka-luka itu berdarah lagi. Namun untuk tetap tinggal di rumah, agaknya terlalu menjemukan bagi kedua anak-anak muda itu. </div><div style="text-align: justify;">Yang mengherankan bagi Bramanti setelah peristiwa sepasang harimau itu, Panjang kadang-kadang ke rumahnya tanpa maksud tertentu. Berbeda dengan anak-anak muda yang lain. Panjang bersikap jauh lebih baik kepadanya. Meskipun kemudian Panjang tidak pernah memperkatakan harimau itu lagi, tetapi ia masih tetap berkunjung ke rumah Bramanti apabila lewat jalan di depan regol halaman rumah itu. </div><div style="text-align: justify;">“Kau terlampau menyendiri Bramanti,” berkata Panjang. </div><div style="text-align: justify;">“Bukan maksudku,” jawab Bramanti. “Tetapi kau tahu, akibat yang harus terjadi apabila aku datang di antara mereka. Aku selalu mengalami gangguan-gangguan yang dapat membuat aku hampir kehilangan akal. Kadang-kadang timbul niatku untuk pergi lagi dari Kademangan ini. Tetapi aku tidak dapat meninggalkan ibu yang semakin tua, dan juga aku harus menunggui tanah ini, tanah warisan.” </div><div style="text-align: justify;">Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kami anak-anak muda Candi Sari, masih dibayangi oleh ceritera tentang kematian ayahmu, sehingga mula-mula kami bercuriga, kalau-kalau kau ingin melepaskan dendam.” </div><div style="text-align: justify;">“Sudah aku katakan. Aku tidak akan melakukannya.” </div><div style="text-align: justify;">“Karena itu, kau harus telaten. Setiap kali kau datang ke Kademangan dan berkumpul dengan kawan-kawan yang lain. Pada suatu saat mereka akan melupakannya dan kau akan menjadi keluarga kami kembali seperti pada masa kanak-kanak.” (Bersambung)-c </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 047 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku akan mencoba. Mudah-mudahan aku berhasil. Tetapi apabila setiap kali aku mengalami perlakuan yang kasar, mungkin aku terpaksa meninggalkan Kademangan ini lagi.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Panjang memandangi wajah Bramanti dengan penuh keragu-raguan. Tetapi ia tidak segera dapat mengambil kesimpulan. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Bramanti, dua hari lagi, aku dan Suwela akan diterima dengan resmi menjadi anggota pengawal Kademangan ini. Dengan demikian aku sudah berhak memakai baris merah pada kedua ujung lengan bajuku.” </div><div style="text-align: justify;">“Aku mengucapkan selamat Panjang,” jawab Bramanti yang kemudian bertanya. “Apakah kekhususan dari anggota pengawal itu dari anak-anak muda yang lain?” </div><div style="text-align: justify;">“Sebenarnya justru kewajiban kamilah yang menjadi lebih banyak. Kami harus berdiri di depan apabila terjadi sesuatu dengan Kademangan ini.”</div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia dicengkam oleh keragu-raguan untuk mengatakan isi hatinya. Namun kemudian terucapkan juga, “Panjang, bagaimana pendapatmu tentang Panembahan Sekar Jagat sebagai seorang anggota pengawal.” </div><div style="text-align: justify;">Seleret warna merah memercik di wajah Panjang. Namun kemudian wajah itu menjadi tenang kembali. </div><div style="text-align: justify;">“Kenapa kau bertanya tentang Panembahan Sekar Jagat?” bertanya Panjang. </div><div style="text-align: justify;">“Bukankah setiap kali ia datang ke Kademangan ini untuk merampas hak milik rakyat di Kademangan ini? Semakin lama menjadi semakin berani. Apakah itu bukan termasuk kewajiban dari anggota Pengawal dan bahkan setiap laki-laki di Kademangan ini?” </div><div style="text-align: justify;">Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kau benar. Tetapi siapa yang dapat menjamin bahwa dengan demikian Kademangan ini justru tidak akan dihancurkannya? Apakah kita yakin bahwa kita akan dapat melawan seluruh kekuatan Panembahan Sekar Jagat yang menurut pendengaran kami memiliki kekuatan sepasukan orang-orang yang sukar dicari tandingannya.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menyahut lagi. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. </div><div style="text-align: justify;">“Untuk sementara kita tidak dapat berbuat apa-apa atas anak-anak Panembahan Sekar Jagat itu,” berkata Panjang kemudian. “Dan aku kira kita tidak usah memikirkannya. Ki Jagabaya pasti akan membuat perhitungan-perhitungan yang baik, apabila saatnya tiba.” </div><div style="text-align: justify;">“Ya,” Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. </div><div style="text-align: justify;">“Datang sajalah dua hari lagi di Kademangan.” </div><div style="text-align: justify;">“Aku takut, Panjang. Aku takut kalau peristiwa di arena pendadaran itu terulang lagi.” </div><div style="text-align: justify;">Panjang mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Penerimaan secara resmi itu dilakukan pada malam hari. Kau akan mendapat kesempatan cukup untuk melindungi dirimu di antara para penonton yang lain. Menurut rencana penerimaan kami berdua kali ini akan menjadi lebih meriah dari waktu-waktu lampau karena peristiwa sepasang harimau yang hampir mengambil nyawaku itu, seandainya tidak ada seseorang yang menolong kami. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk. </div><div style="text-align: justify;">“Kau akan dapat melihat kemeriahan Kademangan ini, meskipun kami selalu merasa dibayangi oleh Panembahan Sekar Jagat.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan aku mempunyai keberanian untuk melihat.” </div><div style="text-align: justify;">“Kau akan melihat gadis-gadis Kademangan ini menari dan berdendang,” Panjang berhenti sejenak, lalu. “Apakah kau sudah mengenal sekuntum bunga di antara gadis-gadis di Kademangan ini? Seorang penari yang tidak ada bandingnya?” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menggelengkan kepalanya. “Belum,” jawabnya. </div><div style="text-align: justify;">“Tentu sudah kau kenal di masa kanak-kanak.” </div><div style="text-align: justify;">“Siapa?” </div><div style="text-align: justify;">“Namanya Ratri,”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 048 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“O,” tiba-tiba saja Bramanti berdesir. Namun ia berusaha untuk melenyapkan segala macam kesan di wajahnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya, aku memang sudah menenalnya. Bukankah Ratri balak isteri Temunggul itu yang kau maksud?” </div><div style="text-align: justify;">“He?” Panjang mengerutkan keningnya, “Siapa yang mengatakan bahwa Ratri bakal istri Temunggul?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Oh,” Bramanti tergagap. “Maksudku, bukankah mereka telah berjanji untuk kemudian hidup bersama-sama.” </div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba Panjang tertawa. Katanya, “Kau salah. Mungkin kau pernah melihat Temunggul berjalan mengikuti Ratri. Tetapi mereka sama sekali belum membuat hubungan apapun.” </div><div style="text-align: justify;">“Temunggul sendiri berkata kepadaku,” akhirnya Bramanti berkata terus terang. </div><div style="text-align: justify;">Suara tertawa Panjang menjadi semakin keras, sehingga perutnya berguncang-guncang. “Temunggul hanya bergurau,” katanya. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi dengan sungguh-sungguh Bramanti menjawab. “Temunggul tidak pernah bergurau dengan aku. Ia mengatakannya dengan wajah yang tegang.” </div><div style="text-align: justify;">“Kenapa tiba-tiba saja hal itu dikatakan kepadamu,” bertanya Panjang.</div><div style="text-align: justify;">Bramanti terdiam. Ia menjadi bingung untuk menjawab. Sehingga katanya demikian, “Aku kurang menyadari waktu itu, apakah sebabnya tiba-tiba saja Temunggul mengatakannya.” </div><div style="text-align: justify;">“Itu suatu lelucon yang baik bagi kami.”</div><div style="text-align: justify;">Bramanti tiba-tiba memotong. “Jangan. Jangan kau tanyakan kepada Temunggul. “Baiklah. Aku tidak akan mengatakannya. Tetapi barangkali kau perlu mendengar juga, bahwa Temunggullah yang tergila-gila kepada gadis itu. Gadis itu sendiri sama sekali tidak tahu menahu. Seandainya ia tahu, ia sama sekali tidak menaruh perhatian atasnya, meskipun di antara anak-anak muda di Kademangan ini Temunggul adalah seorang yang paling unggul. Unggul dalam segala hal.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Lalu anak muda yang manakah yang akan dicarinya?” </div><div style="text-align: justify;">“Entahlah,” jawab Panjang, “Kalau ia tahu, mungkin anak muda yang menolongku itulahyang dicarinya. </div><div style="text-align: justify;">“Ah,” Bramanti berdesah. Tetapi kemudian ia tersenyum. “Apakah Ratri mengenal orang yang menolongmu? Dan apakah kau yakin bahwa yang menolongmu itu seorang anak muda, dan bukan seorang yang telah melampaui setengah abad?” </div><div style="text-align: justify;">Panjang tertawa. Namun kemudian ia berdiri sambil berkata, “Ah, aku akan lupa waktu bila aku berbicara tentang Ratri. Pergi sajalah dua hari lagi ke Kademangan. Gadis itu pasti akan menari. Mungkin tari Kirana dan Panji, tetapi mungkin juga yang lain, yang dipetik dari Kisah Mahabarata atau kisah-kisah yang lain.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Akan aku coba kalau aku cukup mempunyai keberanian.” </div><div style="text-align: justify;">Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya, “Baiklah. Sekarang aku minta diri.” </div><div style="text-align: justify;">Panjang pun kemudian meninggalkan halaman rumah Bramanti, sementara Bramanti kembali meletakkan dirinya duduk di bawah sebatang pohon sawo yang rindang. Anak muda itu tidak menyadari, bahwa ibunya mengintip dari celah-celah pintu rumahnya. Sambil mengelus dada perempuan tua itu berkata kepada dirinya sendiri. “Syukurlah. Agaknya Bramanti telah mendapat seorang teman.” </div><div style="text-align: justify;">Dua hari kemudian Kademangan Candi Sari menjadi sibuk. Setiap orang telah memperkatakan masa-masa penerimaan Suwela dan Panjang yang lebih meriah dari masa-masa sebelumnya, karena masa-masa yang menegangkan yang telah dialami oleh kedua anak-anak muda itu. </div><div style="text-align: justify;">Ketika matahari merendah di ujung langit, maka Kademangan menjadi semakin ramai. Anak-anak sudah mulai berdatangan. Mereka berlari-lari di halaman sambil berteriak-teriak. Seolah-olah dunia bagi mereka adalah ajang kegembiraan, tanpa kesulitan dan tanpa keprihatinan. </div><div style="text-align: justify;">Angin senja yang silir telah menggerakkan daun-daun nyiur yang hijau kemerah-merahan oleh sinar matahari yang masih tersangkut. Seakan-akan ikut menari-nari dalam kegembiraan yang menyeluruh di Kademangan Candi Sari.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 049 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">SEMAKIN rendah matahari, halaman Kademangan menjadi semakin meriah. Ketika warna-warna hitam telah mulai menyaput halaman itu, maka lampu-lampu dan obor-obor pun mulai dinyalakan orang. Anak-anak menjadi semakin ramai berlari-lari sembunyi-sembunyian. </div><div style="text-align: justify;">Satu-satu anak-anak muda telah mulai berdatangan pula. Bahkan orang-orang tua dan perempuan-perempuan yang ingin melihat kemeriahan yang jarang-jarang diselenggarakan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Temunggul dan beberapa orang yang berkewajiban menyelenggarakan malam keramaian itu telah menjadi sibuk mengatur segala sesuatunya. Mereka harus menempatkan dan mengatur tempat-tempat duduk dan tempat-tempat upacara penerimaan. Sedang seperangkat gamelan telah di atur pula di bagian depan. </div><div style="text-align: justify;">Sementara itu di gandok sebelah Timur, para penari telah sibuk memilih pakaian yang akan mereka pakai. Sejenak kemudian merekapun telah mulai berhias. Di antara mereka terdapat seseorang penari yang paling dikagumi di Kademangan itu, Ratri.</div><div style="text-align: justify;">Ratri sendiri, meskipun ia menyadari kelebihannya dari kawan-kawannya, namun sebenarnya ia tidak ingin sama sekali mendapat sanjungan yang berlebih-lebihan. </div><div style="text-align: justify;">Sebagai seorang gadis ia memang berbangga di dalam hati. Tetapi ia justru cemas akan kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Kelebihan-kelebihan itu akan sangat menarik perhatian orang. Apalagi anak-anak muda. Dengan demikian maka kelebihan-kelebihan yang ada padanya itu akan dapat menyeretnya ke dalam kesulitan. </div><div style="text-align: justify;">Ketika gelap malam telah menyelubungi Kademangan Candi Sari, maka upacara penerimaan kedua anak-anak muda itupun segera dimulai. Temunggul bersama Ki Demang dan Ki Jagabaya telah siap untuk mengucapkan kata-kata penerimaan dan memberikan baju yang berjeleret merah di kedua ujung lengannya. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi upacara itu sendiri sama sekali tidak menarik bagi anak kecil. Mereka bersungut-sungut ketika anak-anak muda, kakak-kakak mereka bertepuk tangan menanggapi upacara itu. Yang ditunggu oleh anak kecil adalah berbagai macam pertunjukkan. Dan bahkan sebagian anak-anak muda pun mengharap agar upacara itu pun segera selesai, agar mereka segera dapat menyaksikan berbagai macam tari-tarian. Terutama tarian yang akan dibawakan oleh Ratri. </div><div style="text-align: justify;">Tepuk tangan seolah-olah meruntuhkan langit ketika upacara penerimaan itu sudah selesai. Suwela dan Panjang kini telah berhak memakai baju-baju yang berciri anggota Pengawal Kademangan. </div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian maka yang berikutnya adalah acara keramaian dengan berbagai macam pertunjukan. </div><div style="text-align: justify;">Mata para penonton seolah-olah terpaku ketika dipendapa itu mulai muncul seorang penari. Dan penari itu adalah Ratri. Dengan indahnya ia membawakan tarian tunggal. Tarian yang menggambarkan seorang gadis yang meningkat remaja sedang bersolek. Kemudian berdendang sambil mendukung sebuah golek, yang seolah-olah seorang bayi yang sedang dibuai oleh ibunya agar segera tidur. </div><div style="text-align: justify;">Ingatan penonton segera dilarikan kepada sebuah golek yang besumber pada cerita Panji, Timun Emas. Timun Emas yang sedang bermain-main dengan golek kencana ketika tiba-tiba seorang raksasa datang hendak menangkapnya. </div><div style="text-align: justify;">Hampir tidak ada mata yang sempat berkedip menyaksikan tarian itu. Bukan sekadar tariannya, tetapi penarinya. Seorang gadis remaja yang cantik. </div><div style="text-align: justify;">Dalam keadaan yang demikian, tidak seorang pun yang sempat memperhatikan, bahwa di antara para penonton terdapat empat orang yang tidak begitu di kenal di Kademangan Candi Sari. Empat orang yang bertubuh kekar dan kasar. Seorang di antara mereka sama sekali tidak melepaskan sekejap pun wajah Ratri yang seolah-olah bulan bulat yang cemerlang di langit. </div><div style="text-align: justify;">Orang itu menggapit kawannya yang berdiri di sampingnya sambil berbisik, “He, siapakah gadis itu?” </div><div style="text-align: justify;">“Aku dengar orang menyebut namanya Ratri.” </div><div style="text-align: justify;">“Aku belum pernah melihat gadis secantik itu.” </div><div style="text-align: justify;">Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. </div><div style="text-align: justify;">“Bagaimana kalau sekali-kali kita tidak mengambil harta di Kademangan ini?” </div><div style="text-align: justify;">“Maksudmu?” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 050 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">ORANG itu tidak menyahut, tetapi ia tersenyum. Senyumnya membayangkan suatu maksud yang sama sekali tidak semanis senyum itu sendiri. Sedang kumisnya yang lebat bergerak-gerak di atas bibirnya yang tebal. </div><div style="text-align: justify;">“Kalau itu yang kau maksudkan,” berkata kawannya yang agaknya dapat dimengerti maksud orang yang berkumis itu, “Terserahlah kepadamu. Itu tidak termasuk tugas kita.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Apa salahnya kadang-kadang kita memikirkan diri kita sendiri.” </div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba kawannya yang lain menyahut, “Aku sependapat. Apa salahnya? Kita tidak mengingkari kewajiban kita.” </div><div style="text-align: justify;">“Aku tidak berkeberatan. Gadis itu memang cantik sekali.” </div><div style="text-align: justify;">“Jadi bagaimana? Apakah kita ambil saja gadis itu sekarang juga? Tidak akan ada seorang pun yang berani merintangi. Seandainya ada, maka orang itu harus kita selesaikan, sebagai contoh bahwa niat kita tidak akan dapat dihalangi lagi oleh siapapun.” </div><div style="text-align: justify;">Tetapi kawannya menggelengkan kepalanya. “Kau tidak pernah dapat bersabar. Kalau kau keberatan berbuat demikian, halaman ini akan menjadi kacau. Kemarahan yang tidak tertahankan akan membuat anak-anak muda itu menjadi gila. Mungkin mereka tidak sabar lagi dapat menahan hati. Seandainya kita harus berkelahi melawan mereka dalam keadaan serupa itu, kita masih harus berpikir lagi. Apalagi yang kita ambil kali ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas kita.”</div><div style="text-align: justify;">“Jadi bagaimana sebaiknya?” </div><div style="text-align: justify;">“Nanti sesudah semua ini selesai. Kita ikuti ke mana gadis itu pergi.” </div><div style="text-align: justify;">“Aku sudah pernah melihat rumahnya,” tiba-tiba yang seorang, yang sejak semula tidak ikut berbicara memotong. </div><div style="text-align: justify;">“Dimana, dan kenapa kau tahu rumahnya?” </div><div style="text-align: justify;">“Aku pernah mengambil sesuatu dari rumahnya. Gadis itu memang bernama Ratri.” </div><div style="text-align: justify;">“Lalu?” </div><div style="text-align: justify;">“Kita ambil saja gadis itu di rumahnya.” </div><div style="text-align: justify;">“Aku tidak sabar. Kita tunggu saja ia di jalan ke rumahnya itu.” </div><div style="text-align: justify;">“Baiklah.” </div><div style="text-align: justify;">Keempatnya kemudian telah sepakat untuk mengambil gadis itu di jalan pulang. Mereka sama sekali tidak perlu mencemaskan apapun di Kademangan yang seolah-olah telah mereka kuasai itu. Apalagi keempat orang itu terlampau yakin, bahwa tidak seorangpun dari penghuni Kademangan ini yang pantas diperhitungkan. Keempat orang itu tahu betul bahwa orang-orang Kademangan ini selalu diselubungi ketakutan apabila mereka mendengar nama Panembahan Sekar Jagat. Dan sekali-kali mereka sempat juga melihat tanpa diketahui oleh orang-orang Kademangan itu, latihan-latihan yang diadakan oleh para anggota pengawal yang kadang-kadang dipimpin oleh Ki Jagabaya sendiri. </div><div style="text-align: justify;">Pertunjukan seterusnya sama sekali tidak menarik lagi bagi keempatnya. Mereka bahkan menjadi gelisah dan darah mereka seakan-akan telah merayap sampai ke kepala. Setiap kali Ratri naik ke pendapa, wajah-wajah mereka menjadi merah padam. </div><div style="text-align: justify;">“Aku hampir menjadi gila,” desis yang berkumis. </div><div style="text-align: justify;">Yang lain tidak menyahut. Mereka hanya berdesis sambil menggigit bibir mereka. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">BERSAMBUNG...</div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-49604189429729390862011-08-14T05:11:00.000-07:002011-08-14T05:13:18.945-07:00TANAH WARISAN_031-040<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7F7eC9mOHKDga-tD1OTKAAsLTtO3V4Ok59EWobbTk1Q0Ef1w2JYJBfHViDnz9cTeYTc3nF8vW-FCVfOEvzm6Uk8rNGujO98IVrWZoSKiHJMgNh5UGQ6c6XC9EfsQHKA5iJVtV_Q9B7g/s1600/TANAH+WARISAN.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 193px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7F7eC9mOHKDga-tD1OTKAAsLTtO3V4Ok59EWobbTk1Q0Ef1w2JYJBfHViDnz9cTeYTc3nF8vW-FCVfOEvzm6Uk8rNGujO98IVrWZoSKiHJMgNh5UGQ6c6XC9EfsQHKA5iJVtV_Q9B7g/s320/TANAH+WARISAN.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640683423660823042" /></a><div style="text-align: justify;">No. 031</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">BRAMANTI menarik nafas dalam-dalam, kemudian diambilnya cangkulnya dan mulailah ia menyiangi tanaman di halaman rumahnya. </div><div style="text-align: justify;">Ayunan tangannya berhenti ketika ia melihat melalui pintu regol halamannya, beberapa anak-anak muda lewat di jalanan di depan rumahnya. Di antaranya mereka adalah Panjang, anak muda yang baru saja menyelesaikan pendadaran tingkat pertama.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi Bramanti tidak menegur mereka. Ketika anak-anak muda itu telah lalu, maka kembali ia mengayunkan cangkulnya, sehingga keringatnya membasahi seluruh bagian tubuhnya. </div><div style="text-align: justify;">Namun demikian, angan-angannya masih saja tersangkut kepada sifat-sifat anak-anak muda di Kademangan ini. Mereka ternyata bukan pengecut. Tetapi kenapa mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu pada saat serupa ini?</div><div style="text-align: justify;">"Menangkap harimau bukan pekerjaan yang mudah," desisnya sambil menggeliat. Kedua tangannya bertelekan ke pinggang. "Tetapi aku kira mereka berdua akan dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Aku akan bergembira sekali apabila aku mendapat kesempatan untuk menyaksikan pergulatan itu." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berdesis, "Aku akan mencoba melihatnya." </div><div style="text-align: justify;">Agaknya Bramanti benar-benar ingin melihat, bagaimana tandang kedua anak-anak muda itu menghadapi seekor harimau. Karena itu, maka Bramantipun harus tahu benar, apakah benar-benar ada seekor harimau yang sering mendekati dan bahkan memasuki Kademangan mereka.</div><div style="text-align: justify;">"Harimau itu akan keluar dari sarangnya di malam hari," desisnya. "Dengan demikian, akupun harus keluar di malam hari." </div><div style="text-align: justify;">Keinginan Bramanti itu benar-benar tidak dapat ditahannya lagi, sehingga ketika malam turun, ia berkata kepada ibunya, "Nanti malam aku akan tidur di luar saja bu." </div><div style="text-align: justify;">Ibunya mengerutkan keningnya, "Kenapa?" ia bertanya. </div><div style="text-align: justify;">"Terlalu panas. Aku kira, di luar, dibekas kandang itu, udara tidak sepanas di dalam rumah." </div><div style="text-align: justify;">"Tetapi......," suara ibunya terputus. </div><div style="text-align: justify;">"Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin tidur nyenyak dalam udara yang sejuk." </div><div style="text-align: justify;">Ibunya mengangguk-angguk meskipun ia masih menyimpan beberapa pertanyaan di dalam hatinya. Namun kemudian ia berkata, "Terserahlah kepadamu Bramanti." </div><div style="text-align: justify;">Sebenarnyalah, kemudian Bramanti membawa sehelai tikar dan dibentangkannya di atas setumpuk jerami di bekas kandangnya yang telah diperbaikinya pula. Ternyata udara di dalam kandang itu cukup hangat. Bahkan lebih hangat daripada di dalam rumah yang dikatakannya terlampau panas itu. Tetapi Bramanti sama sekali tidak dapat berbaring dengan tenang. Tidak saja kakinya, tetapi tangannya, dan bahkan telinganya selalu dikerumuni oleh nyamuk yang berdesing-desing. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi Bramanti memang tidak ingin tidur. Ia ingin pergi dengan diam-diam. </div><div style="text-align: justify;">Ketika malam menjadi semakin larut, Bramanti segera berkemas. Perlahan-lahan ia mendekat bilik ibunya, dan perlahan-lahan ia mengetuk sambil memanggil, "Bu, ibu?" </div><div style="text-align: justify;">Tetapi tidak ada jawaban. </div><div style="text-align: justify;">"Ibu sudah tidur," desisnya. Dengan demikian maka ia telah mendapat kesempatan untuk meninggalkan kandang itu dengan diam-diam. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian, maka Bramantipun telah berada di jalan yang menunju ke bulak ke sebelah Kademangannya. Bulak itu langsung menghadap kehutan yang meskipun tidak terlampau lebat, namun masih dihuni oleh berbagai macam binatang buas. </div><div style="text-align: justify;">"Kalau benar ada harimau tua yang berkeliaran di desa ini," berkata Bramanti di dalam hatinya. "Pasti berasal dari hutan itu." Karena itu, maka Bramanti ingin melihatnya, apakah Suwela dan Panjang juga mencari harimau di daerah itu. </div><div style="text-align: justify;">Dugaan Bramanti ternyata benar. Ketika ia keluar dari Kademgannya, ia melihat sosok tubuh yang duduk berselimut kain panjang. Dengan demikian, maka Bramantipun segera menyelinap ke dalam rimbunnya dedaunan. Untunglah bahwa ia masih belum terlanjur melangkah keluar pedesaan, sehingga kedua orang yang berselimut kain panjang itu belum melihatnya. </div><div style="text-align: justify;">Dengan hati-hati sekali, Bramanti menyusur dinding desanya, kemudian meloncat keluar. Sambil merangkak ia menyusup di sela-sela tanaman jagung yang masih muda mendekati kedua sosok tubuh yang sedang duduk itu. </div><div style="text-align: justify;">Lamat-lamat Bramanti mendengar salah seorang dari mereka berkata, "Sebentar lagi kita berangkat," Ternyata suara itu adalah suara Suwela. (Bersambung)-c</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 032</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"YA," sahut yang lain, "Apakah Temunggul akan datang kemari juga?" </div><div style="text-align: justify;">"Ya, ia akan ikut bersama kami, meskipun ia hanya sekadar akan melihat." </div><div style="text-align: justify;">"Agaknya ia tidak percaya, bahwa kami berdua akan sanggup menundukkan harimau itu." </div><div style="text-align: justify;">"Mungkin, tetapi mungkin juga ia tidak yakin, bahwa kami akan melakukannya. Agar kami tidak curang dengan membawa beberapa orang kawan lagi, maka ia akan mengawasinya."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kemudian mereka pun diam untuk sejenak. Agaknya Panjang tidak cukup sabar menunggu, sehingga sambil berdiri ia berkata, "Kalau ia tidak segera datang, kita akan meninggalkannya. Seharusnya ia mempunyai keberanian cukup untuk menyusul kami." </div><div style="text-align: justify;">Suwela tidak menjawab, bahkan ia menguap sambil berdesis, "Aku sudah ngantuk. Waktu yang diberikannya hanya sepekan. Apakah sebagian terbesar waktu kita akan habis untuk menunggu, kemudian kami dinyatakan tidak memenuhi syarat." </div><div style="text-align: justify;">"Itu dia," tiba-tiba Panjang memotong. </div><div style="text-align: justify;">Suwela mengangkat wajahnya. Di pandanginya sesosok tubuh yang berjalan tergesa-gesa ke arah kedua anak-anak muda yang kedinginan itu. </div><div style="text-align: justify;">"Apakah kalian telah siap?" bertanya orang yang baru datang itu, yang ternyata adalah Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">"Tentu," jawab Suwela. </div><div style="text-align: justify;">"Apakah senjata kalian?" </div><div style="text-align: justify;">Suwela menunjukkan tangkai pisau belati panjangnya, "Aku membawa dua bilah pisau panjang." </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Panjang ia bertanya, "Dan kau?" </div><div style="text-align: justify;">"Panjang, silakan kalian pergi. Daerah ini adalah daerah jelajah harimau itu sebelum ia memasuki Kademangan untuk mencuri ternak. Bahkan mungkin lambat laun akan menangkap salah seorang dari antara kita." </div><div style="text-align: justify;">"Apakah kau akan ikut?" bertanya Panjang. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul tidak segera menjawab. Ditatapnya bulak yang panjang di hadapannya. Kemudian sebuah padang ilalang. Di belakang padang yang tidak terlampau luas itu terdapat sebuah hutan yang masih dihuni beberapa jenis binatang buas. </div><div style="text-align: justify;">Akhirnya perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya, "Aku tidak ikut. Adalah kuwajiban kalian berdua untuk menangkap harimau itu, supaya kalian dapat diterima menjadi pengawal Kademangan." </div><div style="text-align: justify;">"Lalu, apakah gunanya kami berdua harus menunggumu disini?" </div><div style="text-align: justify;">"Semula aku agak ragu-ragu melepaskan kalian berdua. Tetapi setelah aku sekarang melihat kelengkapan dari tekadmu, aku tidak ragu-ragu lagi. Aku yakin kalau kalian akan dapat menangkap harimau itu. Sehingga dengan demikian kalian akan dapat menjadi anggota pengawal Kademangan." </div><div style="text-align: justify;">Suwela menarik nafas dalam-dalam, "Agaknya kau masih tidak mempercayai kami. Mudah-mudahan sebelum waktunya kami akan dapat membuktikan, bahwa kami benar-benar mempunyai kemampuan yang cukup untuk menjadi seorang anggota pengawal. Bahkan tidak akan kalah bernilai dari kawan-kawan kami yang telah lebih dahulu memasukinya." </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, "Baiklah. Kalau begitu, berangkatlah. Malam ini adalah malam yang pertama. Kalian masih mempunyai kesempatan empat malam setelah malam ini." </div><div style="text-align: justify;">"Ya," jawab Panjang. "Tetapi kami jangan kau siksa dengan caramu seperti malam ini. Waktu kami terbatas akan habis disini, menunggumu tanpa berbuat apa-apa." </div><div style="text-align: justify;">"Sudah aku katakan, bahwa mula-mula aku ragu-ragu. Tetapi sekarang aku sudah yakin." </div><div style="text-align: justify;">"Baiklah," berkata Suwela, "Kami akan pergi." </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian, Temunggul melepaskan kedua kawannya itu pergi berburu harimau. Namun pada keduanya sama sekali tidak membayang kecemasan dan keragu-raguan sama sekali, sehingga karena itu maka Temunggulpun tidak ragu-ragu pula untuk melepaskan mereka. </div><div style="text-align: justify;">Suwela berjalan di depan sambil meraba-raba tangkai sepasang pisau belati panjangnya, sedang Panjang berjalan menjinjing tombaknya di belakang. Agaknya dingin malam telah membuatnya agak terlampau sejuk, sehingga Panjang masih juga berselimut kain panjangnya. (Bersambung</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 033</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">KETIKA kedua anak-anak muda itu telah menjadi semakin jauh memasuki gelapnya malam, maka Temunggul pun segera meninggalkan tempat itu pula, kembali ke Kademangan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tempat itu kembali menjadi sunyi. Sekali-kali terdengar derik jengkerik di rerumputan. </div><div style="text-align: justify;">Kemudian hilang seakan-akan tertelan oleh gelapnya malam. </div><div style="text-align: justify;">Bramantipun kemudian bangkit berdiri sambil mengibaskan pakaiannya. Dengan nada datar ia bergumam perlahan-lahan kepada diri sendiri, "Ternyata Temunggul adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Ia melepaskan kedua anak-anak itu setelah ia yakin, bahwa keduanya akan dapat mengatasi tugasnya, betapapun sulitnya." Bramanti berhenti sejenak, kemudian, "Aku akan melihat, apakah mereka akan berhasil." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti kemudian melangkah, meninggalkan tempatnya. Dari jarak yang cukup, di antara batang-batang jagung, Bramanti berusaha mengikuti kedua anak-anak muda yang sekarang berburu harimau itu. Ternyata keduanya memang cukup berani, sehingga mereka tidak saja menunggu di bulak yang luas itu, tetapi menyongsong harimau itu, begitu ia ke luar dari hutan. </div><div style="text-align: justify;">Malam yang pertama, ternyata telah mereka lampaui tanpa terjadi sesuatu. Keduanya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Sambil menggaruk-garuk punggungnya Suwela bertanya, "Aku tidak tahu, pada hari-hari apa harimau itu keluar dari persembunyiannya untuk makan di luar hutan." </div><div style="text-align: justify;">"Setiap malam kita harus menungguinya di sini," sahut Panjang. </div><div style="text-align: justify;">"Kalau harimau itu tidak juga keluar?" </div><div style="text-align: justify;">Panjang menggelengkan kepalanya, "Entahlah. Mungkin kita harus masuk ke dalam hutan itu. Kitalah yang akan memburunya di kandang sendiri." </div><div style="text-align: justify;">"Ya. Kita harus menangkap seekor harimau. Di manapun juga." </div><div style="text-align: justify;">Pada hari yang kedua, mereka berangkat lebih cepat. Mereka tidak perlu lagi menunggu Temunggul. Ketika mereka menganggap bahwa waktunya sudah tiba, mereka pun segera berangkat. </div><div style="text-align: justify;">Seperti hari yang pertama, Bramanti berhasil mengikuti mereka. Iapun datang lebih awal, supaya ia tidak tertinggal, dan terpaksa mencari keduanya di padang yang luas itu. </div><div style="text-align: justify;">Juga pada hari yang kedua mereka tidak menemui apa pun juga. Sekali lagi mereka berdua terpaksa mengumpat-umpat. Semalam suntukmereka tidak tidur sambil menahan diri dari gigitan nyamuk hutan. Namun ternyata mereka harus pulang tanpa membawa apapun juga. </div><div style="text-align: justify;">Demikianlah di hari ketiga, keduanya pergi lagi bersama-sama. Mereka menjadi semakin lesu. Bukan karena mereka tidak mempunyai kekuatan jasmaniah yang cukup untuk bekerja terus-menerus tanpa tidur sekejappun. Namun oleh kekecewaan masing-masing, maka gairah mereka pun telah menjadi susut. </div><div style="text-align: justify;">Dengan segan mereka berjalan menyusur jalan di tengah-tengah bulak langsung ke padang ilalang. Seandainya harimau itu tidak juga ke luar dari hutan, maka mereka berdualah yang akan masuk, dan mencarinya di dalam hutan itu. Mereka tidak peduli, apakah harimau yang dijumpai kemudian adalah harimau yang sering mencuri ternak atau bukan. Mereka tidak mau kehabisan waktu dengan menunggu-nunggu tanpa berbuat sesuatu. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti yang di hari ketiga itupun berhasil pula mengikuti kedua anak-anak muda itu, telah mencoba untuk tidak kehilangan mereka. Dengan hati-hati ia merunduk-runduk di antara batang ilalang beberapa langkah dari keduanya. </div><div style="text-align: justify;">Ditengah-tengah padang itu keduanya berhenti sejenak. Terdengar Panjang berkata, "Marilah kita tunggu sebentar. Mungkin harimau itu akan ke luar hari ini."</div><div style="text-align: justify;">"Pendadaran ini tidak terlampau berat untuk menangkap seekor harimau berdua dengan kau, tetapi kesempatan untuk melakukannya hampir tidak ada. Kalau kita berdiri saja di sini, dan harimau itu lewat beberapa puluh langkah di depan kita, kita sudah tidak melihatnya." </div><div style="text-align: justify;">Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Biarlah kita coba. Tetapi kita tidak duduk memeluku lutut. Kita berjalan mondar-mandir. Kemungkinan untuk menjumpai harimau itu akan menjadi lebih banyak. Mungkin kita yang akan mendekatinya, tetapi mungkin juga harimau itu." </div><div style="text-align: justify;">"Baiklah, marilah kita coba. Tetapi sebelum kita bertemu dengan harimau itu, kita sudah kehabisan nafas." </div><div style="text-align: justify;">Panjang tidak menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan di antara batang-batang ilalang. Sekali-kali ia berhenti, kemudian kakinya terayun kembali selangkah demi selangkah maju. Beberapa langkah di belakangnya, Suwela berjalan dengan segannya menjinjing sebilah dari sepasang pisau panjangnya. Ditimang-timangnya pisau belati itu seolah-olah hendak mengetahui, apakah pisau belati itupun telah siap pula menghadapi setiap kemungkinan. </div><div style="text-align: justify;">Beberapa kali mereka berjalan mondar-mandir, sehingga Suwela menjadi jemu, dan berkata, "Aku akan duduk saja di sini." </div><div style="text-align: justify;">Panjang menarik nafas dalam-dalam. "Duduklah," jawabnya. Namun meskipun ia masih berdiri, tetapi ia sudah tidak berjalan mondar-mandir lagi. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 034</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">BRAMANTI yang bersembunyi di balik batang-batang ilalang memperhatikan keduanya dengan hati berdebar-debar. Meksipun keduanya cukup berani, namun mereka sama sekali belum berpengalaman. Mereka hanya mempercayakan diri kepada kemampuan mereka berkelahi, kepada tenaga mereka dan kelincahan mereka. Tetapi mereka belum matang untuk menghadapi bahaya yang sebenarnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Pendadaran untuk menjadi anggota pengawal Kademangan ini cukup berat," berkata Bramanti di dalam hatinya, sementara ia masih duduk sambil menghalau nyamuk yang mengerumuninya. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak Suwela dan Panjang membeku di tempatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Panjang masih saja berdiri menggenggam tombak pendeknya, sedang Suwela kemudian duduk di atas sebongkah batu padas. </div><div style="text-align: justify;">Malam pun menjadi bertambah malam. Angin yang sejuk mengalir perlahan-lahan mengusap tubuh-tubuh yang sudah mulai basah oleh keringat. Betapa tegangnya mereka menunggu tanpa batas waktu. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti duduk sambil memeluk lututnya. Lambat laun dadanya pun mulai dirayapi oleh kejenuhan. Malam yang sepi, nyamuk dan kantuk telah mengganggunya. Tetapi ia tidak ingin meninggalkan kedua anak-anak muda itu. Keinginannya untuk melihat apa yang terjadi telah memukaunya untuk tetap tinggal di tempatnya. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian Bramanti mengangkat kepalanya. Ia merasakan bahwa malam ini agak terlampau sepi. Ia sama sekali tidak mendengar bunyi binatang-binatang hutan. Tidak terdengar salak anjing liar dan pekik kera di pepohonan. Terlampau sepi, bahkan jengkerik dan belalangpun sama sekali tidak berdesik. </div><div style="text-align: justify;">"Terlampau sunyi," ia bergumam kepada diri sendiri. Namun dalam pada itu, secerah harapan melonjak dihatinya. Harapan bahwa apa yang ditunggu-tunggunya akan segera datang. Keinginannya untuk melihat batapa kedua anak-anak muda itu berusaha menangkap seekor harimau, hidup atau mati, akan segera terjadi. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menjadi berdebar-debar ketika hidungnya yang tajam menjentuh bau yang lain dari bau rerumputan. Semakin lama semakin nyata. </div><div style="text-align: justify;">"Agaknya harimau itu telah datang," desisnya. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menjadi semakin berdebar-debar ketika ia masih melihat kedua anak-anak muda itu seolah-olah tidak beranjak dari tempatnya. Panjang masih berdiri sambil mengedarkan pandangan berkeliling, sedang Suwela duduk dengan segannya, memandang kekejauhan. </div><div style="text-align: justify;">"Hem," desah Bramanti di dalam hatinya. "Agaknya mereka tidak mengenal buruan yang akan mereka tangkap." </div><div style="text-align: justify;">Ketika bau itu menjadi semakin tajam, maka Bramanti menjadi gelisah. Apakah kedua anak-anak muda itu menunggu harimau itu menerkamnya. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi ia menarik nafas ketika melihat Panjang terperanjat. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Suwela sambil berdesis, "Aku melihat batang ilalang bergerak-gerak." </div><div style="text-align: justify;">"Dimana," bertanya Suwela sambil meloncat berdiri. </div><div style="text-align: justify;">Panjang menunjuk ke arah ujung ilalang yang bergerak-gerak. </div><div style="text-align: justify;">"Ya, pasti itulah. Marilah, kita jangan membuang banyak waktu. Kita bunuh saja harimau itu, supaya kita dapat membawanya dengan mudah." </div><div style="text-align: justify;">"Memang lebih mudah menangkap mati daripada menangkap hidup," sahut Panjang. </div><div style="text-align: justify;">"Kita memencar," berkata Suwela kemudian. </div><div style="text-align: justify;">Panjang menganggukkan kepalanya. Tombaknya pun kemudian merunduk seperti ia sendiri membungkukkan ilalang yang bergerak-gerak. Katika gerak ujung ilalang itu berhenti, maka Panjang pun berhenti pula. </div><div style="text-align: justify;">Meskipun ia telah membulatkan tekadnya untuk menangkap harimau itu, namun ketika tiba-tiba dari sela-sela dedaunan, matanya membentur benda yang bercahaya kebiru-biruan, hatinya berdesir. Darahnya serasa berhenti mengalir. Sorot mata harimau itu telah membuatnya gemetar. </div><div style="text-align: justify;">Namun sejenak kemudian ia menyadari, bahwa ia tidak boleh membantu. Harimau itu akan dapat menerkamnya dan merobek-robek dagingnya. Karena itu maka ia harus menghadapi setiap kemungkinan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 035</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">KETIKA Panjang itu menggeser pandangan matanya, maka dilihatnya Suwelapun telah menggenggam sepasang pisau belati panjangnya. Sambil berjingkat ia maju setapak demi setapak. Namun Panjang menjadi heran. Suwela memandang ke arah lain. Ia tidak mengawasi harimau yang berdiri di hadapannya dengan sorot mata yang mengerikan. Tetapi Suwela memandang beberapa langkah di belakang harimau itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Apakah Suwela masih belum melihat harimau itu?" bertanya Panjang di dalam hatinya. Dan pertanyaan itu menjadi semakin tajam tergores didinding hatinya ketika ia melihat justru Suwela melangkah surut. </div><div style="text-align: justify;">"Pajang," ia berdesis. "Kau lihat harimau itu?" </div><div style="text-align: justify;">Panjang mengangguk. Tetapi kini ia tidak berani lagi berpaling ke arah Suwela yang berdiri beberapa langkah daripadanya, "Aku telah melihatnya." </div><div style="text-align: justify;">"Tetapi kenapa kau masih saja berdiri di situ." </div><div style="text-align: justify;">"Ia memandang kemari," sahut Panjang dengan suara bergetar, sedang tombaknya telah siap untuk mematuk harimau yang masih saja memandanginya dengan heran. </div><div style="text-align: justify;">"Harimau itu ada disini," berkata Suwela tergagap. </div><div style="text-align: justify;">"Kau keliru. Aku sudah melihatnya. Harimau itu ada disini." </div><div style="text-align: justify;">"He," Suwela terperanjat. Sejenak ia berpaling, hanya sekejap, kemudian matanya kembali melekat ketubuh harimau yang belang itu. "Apakah bukan kau yang keliru. Ia menghadap kemari." </div><div style="text-align: justify;">"Tidak. Ia menghadap kemari." </div><div style="text-align: justify;">"Kalau begitu," suara Suwela terputus. Yang terdengar adalah suara harimau itu menggeram. Ketika kemudian terdengar suara harimau yang lain pula, maka barulah mereka sadar, bahwa yang dihadapinya bukan hanya seekor harimau. Tetapi sepasang harimau jantan dan betina. </div><div style="text-align: justify;">Jantung kedua anak-anak muda itu serba berhenti berdenyut. Adalah diluar perhitungan mereka, bahwa mereka malam itu akan bertemu dengan sepasang harimau di padang ilalang. Betapa besar hati mereka, dan betapa besar hasrat mereka untuk menjadi anggota pengawal, namun ketika mereka berdua harus berhadapan dengan sepasang harimau, ternyata telah membuat hati mereka kecut. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi semuanya telah terlanjur. Harimau itu telah berada di hadapan mereka. Dengan demikian, mereka sudah tidak mempunyai pilihan lain daripada berkelahi. Mereka seorang-seorang harus melawan harimau itu masing-masing seekor. </div><div style="text-align: justify;">Ternyata bukan hanya kedua anak-anak muda itulah yang menjadi cemas dan berdebar-debar. Dibalik batang-batang ilalang, Bramantipun menjadi cemas pula. Telinganya telah menangkap suara harimau itu menggeram. Dan iapun segera tahu, bahwa harimau itu tidak hanya seekor, tetapi sepasang. </div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, Panjang dan Suwela sudah tidak dapat menghindar lagi. Seperti berjanji sepasang harimau itu masing-masing memilih lawannya. Dengan mata yang bersinar-sinar dan geram yang menyeramkan kedua ekor harimau itu perlahan-lahan maju mendekati lawan yang mereka pilih. </div><div style="text-align: justify;">Kedua anak-anak muda itu surut beberapa langkah. Mereka segera menyiapkan diri untuk menghadapi setiap kemungkinan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 036</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">MEREKA kemudian melihat dua ekor harimau itu merunduk. Mengibaskan ekornya. Dan sambil meraung panjang, hampir bersamaan waktunya keduanya meloncat menerkam lawan masing-masing. Panjang yang bersenjata tombak, mencoba meloncat menghindari. Kemudian dengan lincahnya ia memutar tubuhnya. Dengan sekuat tenaganya ia mengayunkan tombaknya mematuk punggung harimau yang tidak berhasil menjangkau lawannya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi ternyata jarak Panjang terlampau jauh dari harimau itu, sehingga ujung tombaknya hanya sekadar menyentuh kulit harimau itu tanpa melukainya. Bahkan harimau itu kemudian meloncat menyerangnya dengan kuku-kukunya yang tajam. </div><div style="text-align: justify;">Sejauh dapat dilakukan Panjang melawan dengan tombaknya. Sekali ia berhasil mengenai dada harimau itu. Namun kulit harimau itu ternyata begitu liatnya, sehingga tombaknya hanya berhasil merobek kulit harimau itu. Namun justru karena lukanya itulah harimau itu menjadi semakin tegang. Sekali lagi harimau itu meraung keras-keras. Kemudian dengan garangnya menyerang kembali. Giginya yang runcing tajam menyeringai mengerikan. </div><div style="text-align: justify;">Panjang pun kemudian melawan sekuat-kuat tenaganya. Meskipun ia ngeri juga, namun ia sadar, bahwa ia harus melawan. Kalau tidak, maka ia akan menjadi makanan harimau itu seperti anak-anak kambing yang hilang dari kandangnya. Dan Panjang sama sekali bukan seekor kambing yang lemah dan menyerah tanpa melakukan perlawanan. </div><div style="text-align: justify;">Dalam pergulatan yang terjadi kemudian, sekali-kali kuku harimau itu pun menyentuh tubuhnya. Jalur-jalur yang merah membekas di kulitnya, sedang pakaiannya telah hancur direnggut oleh kuku-kuku harimau yang ganas itu. </div><div style="text-align: justify;">Di lain pihak, Suwela pun ternyata mengalami kesulitan. Apalagi ia bersenjata sepasang pisau belati panjang. Ia tidak dapat mengambil jarak yang cukup, meskipun senjatanya lebih lincah dari sebatang tombak. Namun meskipun ia telah berjuang sekuat tenaganya, ia sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari kulit kuku-kuku harimau yang setajam ujung belatinya. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian, maka kedua anak-anak muda itu telah mandi dengan keringat dan darahnya sendiri. Semakin lama keduanya semakin tidak akan dapat melawan kegarangan dua ekor harimau belang yang sedang lapar itu. </div><div style="text-align: justify;">Meskipun demikian, namun Suwela dan Panjang sama sekali tidak berputus asa. Apa yang dapat mereka lakukan untuk menyelamatkan diri, telah mereka lakukan. Bahkan senjata-senjata mereka seolah-olah telah melekat pada tangan-tangan mereka, sehingga bagaimanapun juga, senjata-senjata itu sama sekali tidak akan dapat terlepas. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi harimau itu adalah harimau yang besar. Bagaimanapun juga tangkas, lincah dan kuatnya tangan kedua anak-anak muda itu, namun untuk melawan harimau-harimau itu adalah pekerjaan yang terlampau berat. </div><div style="text-align: justify;">Ternyata kemudian, ketika darah mereka telah semakin banyak mengalir, maka perlawanan mereka pun menjadi semakin surut. Kuku-kuku harimau itu semakin sering menyentuh kulit mereka. Apalagi setelah harimau-harimau itu mencium bau darah. Maka suaranya pun menjadi semakin keras, menggeram dengan marahnya. </div><div style="text-align: justify;">Dalam keadaan yang semakin sulit, ketika mereka mencoba melawan dengan kekuatan mereka yang terakhir, sekali lagi kedua anak-anak muda itu terkejut. </div><div style="text-align: justify;">Sebuah bayangan hitam meluncur dengan cepatnya menerkam salah seekor harimau belang itu, kebetulan yang sedang berkelahi melawan Panjang, sehingga anak muda yang bersenjata tombak itu untuk sejenak berdiri termanggu-manggu. Tetapi segera ia menyadari keadaannya ketika ia mendengar bayangan itu berteriak, "He, jangan termenung. Bantulah Suwela mengalahkan lawannya. Serahkan yang seekor ini kepadaku." </div><div style="text-align: justify;">Panjang tidak sempat berpikir lagi. Segera ia meloncat mendekati Suwela yang sedang terdorong jatuh oleh sentuhan kaki harimau itu. Tepat pada waktunya Panjang datang membantunya. Ujung tombaknya mematuk dengan derasnya ke lambung harimau itu, sehingga harimau itu terkejut dan mengurungkan niatnya untuk menerkam Suwela yang jatuh terlentang. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 037 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">KESEMPATAN itu ternyata dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh Suwela. Segera ia meloncat bangun. Ternyata sepasang pisau belatinya masih melekat di tangannya. Sekilas ia melihat harimau yang seekor, yang sesaat sebelumnya berkelahi melawan Panjang, kini sedang sibuk melayani lawannya yang baru, yang tidak segera dapat mereka ketahui.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Namun Suwela dapat melihat dengan jelas, bahwa bayangan itu seolah-olah melekat dipunggung harimau belang itu, sambil mengayun-ayunkan pisau belatinya. Bertubi-tubi tanpa henti-hentinya menghujam ke punggung dan lambung harimau itu. </div><div style="text-align: justify;">Kesempatan itu tidak mereka lewatkan. Mereka masih belum yakin. Apakah orang yang baru datang menolong mereka itu mampu melawan harimau yang kini sedang dicengkamnya. Apalagi pada suatu ketika tangannya yang sebelah itu terlepas, maka ia pasti akan terpelanting, karena harimau itu dengan sekuat-kuat tenaganya menggeliat dan melonjak-lonjak. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian maka Suwela dan Panjang yang telah mandi darah itu, menggeretakkan gigi mereka. Serentak mereka menyerbu dan menghujamkan senjata masing-masing. Beruntun seperti orang yang sedang kerasukan. </div><div style="text-align: justify;">Kemarahan yang bergelora di dalam dada kedua anak-anak muda itu agaknya telah menambah ketahanan tubuh mereka. Bahkan kehadiran seseorang yang tidak mereka kenal itu telah menambah nafsu mereka pula, sehingga tenaga mereka yang telah susut itu, serasa menjadi pulih kembali. </div><div style="text-align: justify;">Dengan sekuat-kuat tenaga mereka berusaha untuk mengalahkan harimau yang seekor itu dengan secepat-cepatnya. Berdua mereka lambat laun berhasil menguasainya, sehingga pada suatu saat senjata Panjang berhasil menembus di celah-celah rusuk harimau itu. </div><div style="text-align: justify;">Dengan sekuat tenaga harimau itu menghentakkan tubuhnya. Demikian kuatnya sehingga tangkai tombak itu terlepas dari tangan Panjang. Tetapi tombak itu masih menghujam di lambung harimau itu. Dan sebelum harimau itu berhasil mengibaskan tombak itu, maka sepasang pisau belati Suwela telah menyobek kulitnya pula. Bertubi-tubi sehingga harimau itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan lagi. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak terdengar harimau itu mengaung dahsyat sekali. Namun sejenak kemudian suaranya lenyap seakan-akan ditelan oleh sepinya malam. </div><div style="text-align: justify;">Kedua anak muda itu berdiri dengan nafas terengah-engah. Setelah mereka yakin bahwa lawannya telah mati, maka justru tubuh mereka menjadi terlampau lemah. Mereka hampir tidak kuat berdiri menahan tubuh masing-masing. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi tiba-tiba Suwela tersentak sambil mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Ia sama sekali tidak melihat lagi harimau yang seekor, sehingga tiba-tiba ia menjadi cemas. Terbata-bata ia berkata di sela-sela engah nafasnya, “He, dimana orang yang datang menolong kita tadi?” </div><div style="text-align: justify;">Panjang tidak menyahut. Ia menjadi cemas, bahwa justru orang yang menolongnya itu telah dibinasakan dan digonggong oleh harimau yang seekor lagi. Karena itu, betapapun lemahnya mereka menyeret kaki-kaki mereka, pergi ke bekas tempat yang tidak mereka kenal ia berkelahi. </div><div style="text-align: justify;">Keduanya tertegun ketika mereka melihat tubuh harimau yang telah menjadi bangkai terbaring di antara batang-batang ilalang yang telah menjadi porak poranda. Tetapi mereka tidak menjumpai seorangpun lagi. Seperti pada saat datang, bayangan itupun pergi tanpa diketahui arahnya. </div><div style="text-align: justify;">“Aneh,” desis Panjang. “Siapakah yang telah menolong kita itu?” </div><div style="text-align: justify;">Suwela menarik nafas dalam-dalam. Dengan sisa-sisa kainnya ia menyeka darah dan keringat di seluruh badannya. Sakit dan pedih terasa menyengat di seluruh permukaan kulitnya. </div><div style="text-align: justify;">“Aneh,” ia berdesis. </div><div style="text-align: justify;">“Siapakah kira-kira orang itu,” bertanya Panjang. “Apakah kau mempunyai dugaan tentang orang yang aneh itu?” </div><div style="text-align: justify;">“Temunggul,” desis Suwela, namun ia sendiri meragukan jawabannya.</div><div style="text-align: justify;">“Memang mungkin. Tetapi apabila orang itu Temunggul, maka ia pasti tidak akan menghilang sebelum kami menyapanya.” </div><div style="text-align: justify;">Suwela mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mendapat suatu teka-teki yang tidak mudah ditebaknya, “Sulit untuk menebak,” ia berdesis. “Tidak ada ciri apapun yang dapat kita kenal.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 038 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">PANJANG mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika angin yang silir mengusap tubuhnya, mulailah terasa seolah-olah tulang-tulangnya telah terlepas sama sekali. Tubuhnya menjadi terlampau lemah sehingga terdengar suaranya lamat-lamat. "Aku tidak kuat lagi untuk berdiri,".</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Suwela mengangguk-anggukkan kepalanya. Tubuhnya sendiri menjadi demikian lemahnya, sehingga seakan-akan tidak mampu lagi menguasai anggota badannya. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi ketika Panjang merobohkan dirinya duduk di atas rerumputan, terdengar Suwela berkata agak keras, "Obor. Aku melihat beberapa buah obor datang kemari." </div><div style="text-align: justify;">Dengan serta merta Panjangpun berdiri. Seakan-akan ia mendapat kekuatan baru untuk tegak di atas kedua kakinya. </div><div style="text-align: justify;">"Ya obor. Siapakah mereka?" </div><div style="text-align: justify;">Suwela menggeleng. "Aku tidak tahu." </div><div style="text-align: justify;">Betapapun lemahnya namun kedua anak-anak muda itu berusaha untuk tetap berdiri. Mereka ingin mendapat bantuan untuk kembali ke Kademangan. Mungkin seorang dapat membantunya berjalan, atau mungkin memapahnya. Mereka juga ingin membawa bukti bangkai-bangkai macam itu kembali ke Kademangan. Tetapi mereka sama sekali sudah kehabisan kekuatan. Karena itu, kehadiran orang-orang dari Kademangan akan dapat membantu mereka. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian obor-obor itupun menjadi semakin dekat. Suwela yang tidak sabar lagi tiba-tiba berteriak, "He. Siapa kau?" </div><div style="text-align: justify;">Tidak terdengar jawaban. Tetapi obor-obor itu merambat lagi mendekati mereka berdua. </div><div style="text-align: justify;">Ternyata mereka adalah para peronda. Ketika mereka mendengar aum harimau yang dahsyat, meskipun masih agak jauh dari pedesaan, maka mereka pun menjadi gelisah. Mereka tahu, bahwa Suwela dan Panjang sedang menjalankan masa pendadaran dengan menangkap harimau. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa mereka bersama-sama tujuh orang dengan senjata masing-masing berusaha mencari arah suara aum harimau itu. Seandainya harimau itu telah bertemu dengan Suwela dan Panjang, bagaimanakah akhir dari pertemuan itu. </div><div style="text-align: justify;">"He," teriak Suwela. "Kami disini." </div><div style="text-align: justify;">Obor-obor itupun kemudian semakin dekat. Seorang yang berdiri di paling depan segera bertanya ketika mereka telah dekat. "Bagaimana dengan kau berdua?" </div><div style="text-align: justify;">"Kemarilah, lihatlah tubuhku yang luka arang kranjang, meskipun tidak begitu dalam." </div><div style="text-align: justify;">"Bagaimana dengan harimau itu." </div><div style="text-align: justify;">"Kemarilah," sahut Suwela. </div><div style="text-align: justify;">Obor-obor itupun menjadi semakin dekat. Ketika orang yang terdepan telah berada di hadapan Suwela, dengan serta-merta ia bergumam. "Bukan main. Bukan main. Lukamu benar-benar arang kranjang Suwela." </div><div style="text-align: justify;">Suwela tidak menjawab. Tetapi nafasnya menjadi semakin terengah-engah. Dari luka-lukanya itu masih mengalir darah dan lubang-lubang kulitnya mengembun keringat. </div><div style="text-align: justify;">Para peronda itupun kemudian mengerumuni Suwela dan Panjang yang hampir kehabisan tenaga. Dibawah sinar obor mereka melihat, luka-luka berjalur-jalur membujur lintang di tubuh kedua anak-anak muda itu. </div><div style="text-align: justify;">"Pendadaran itu terlampau berat. Masih lebih baik menundukkan kuda liar itu daripada harus berkelahi melawan harimau. Kuda liar itu tidak akan dengan sengaja membunuh. Tetapi harimau ini." </div><div style="text-align: justify;">Para peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja bertanya, "Lalu bagaimana dengan harimau-harimau itu sekarang?" </div><div style="text-align: justify;">Suwela tidak menjawab. Tetapi dengan jarinya ditunjuknya ke arah dua ekor harimau-harimau yang sudah mati itu. </div><div style="text-align: justify;">Ketika para peronda itu melihat, mereka terlonjak. Hampir berbareng mereka berdesis. "Dua. Dua ekor harimau." </div><div style="text-align: justify;">Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Kami berdualah yang hampir mati." </div><div style="text-align: justify;">"Luar biasa. Kalian selamat, dan bahkan kalian mampu membunuh keduanya." </div><div style="text-align: justify;">Panjang menggelengkan kepalanya yang lemah. Dengan suara yang seakan-akan menyangkut kerongkongannya ia berkata. "Bukan kami." </div><div style="text-align: justify;">"He?" para peronda itu terbelalak. Tanpa sesadar mereka memandangi Suwela yang lesu. Dan Suwela pun membenarkannya. "Bukan kami." </div><div style="text-align: justify;">"Lalu siapa?" </div><div style="text-align: justify;">"Nantilah aku akan bercerita kalau aku tidak mati kehabisan darah." </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 039 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“O,” para peronda itu baru sadar, bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang yang luka arang kranjang. Karena itu, maka orang yang tertua di antara mereka segera berkata, “Marilah kita cepat-cepat pulang. Papahlah keduanya. Keduanya agaknya sudah terlampau lemah.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Maka dengan dibantu oleh dua orang masing-masing Suwela dan Panjang berjalan pulang ke Kademangan. Kedua tangannya melingkar di bahu dua orang sebelah menyebelah, agar mereka tidak terjatuh di perjalanan. Sedang orang-orang yang lain berusaha menarik bangkai harimau itu untuk di bawa ke Kademangan pula, meskipun agak terlampau berat. </div><div style="text-align: justify;">Suwela dan Panjang hampir tidak sadar lagi ketika mereka berpapasan dengan beberapa orang lain, yang dengan cemas mencarinya pula. Mulut-mulut mereka menjadi serasa terlampau berat sehingga mereka sama sekali tidak menjawab sepatah katapun atas segala macam pertanyaan. </div><div style="text-align: justify;">“Luka agak berat,” salah seorang dari mereka yang memapahnya yang menjawab. “Nanti saja, kalau ia sudah beristirahat. Sekarang kalian lebih baik membantu menyeret bangkai-bangkai harimau itu?” </div><div style="text-align: justify;">“He, ada berapakah harimau itu? Apakah lebih dari satu?” </div><div style="text-align: justify;">“Ada dua.” </div><div style="text-align: justify;">“Dua,” dada mereka pun terguncang, “Dua orang harus berkelahi melawan dua ekor harimau belang?” </div><div style="text-align: justify;">Tidak ada jawaban. Mereka yang memapah Suwela dan Panjang berjalan semakin cepat. Mereka berusaha secepat-cepatnya sampai di Kademangan, agar keduanya dapat segera diobatinya luka-lukanya. Namun sebelum mereka memasuki regol Kademangannya, kedua anak-anak muda itu telah menjadi pingsan. </div><div style="text-align: justify;">Di Kademangan, beberapa orang yang dianggap mengerti tentang ilmu obat-obatan duduk dengan wajah yang tegang mengerumuni Suwela dan Panjang. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul duduk dengan gelisah. Kecemasan membayang di wajahnya. Setiap kali ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. </div><div style="text-align: justify;">“Bagaimana?” ia berbisik kepada salah seorang dari orang-orang yang sedang berusaha mengobati Suwela dan Panjang itu. </div><div style="text-align: justify;">“Mudah-mudahan. Mudah-mudahan mereka segera sadar.” </div><div style="text-align: justify;">Temunggul menggigit bibirnya. Di pandanginya kedua tubuh yang berbaring diam itu. Terasa tubuhnya sendiri seakan-akan menjadi pedih oleh jalur-jalur bekas kuku harimau yang mengerikan itu. </div><div style="text-align: justify;">“Aku tidak menyangka, bahwa ada sepasang harimau jantan dan betina,” ia berkata kepada dirinya sendiri. “Kalau terjadi sesuatu atas keduanya, maka akulah yang harus bertanggungjawab. </div><div style="text-align: justify;">Hatinya melonjak ketika tiba-tiba ia melihat Panjang mulai bergerak-gerak. Perlahan-lahan anak muda itu membuka matanya. Nafasnya mulai berjalan agak teratur. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mendesak maju dan duduk disisi Panjang. Tetapi ia masih belum bertanya sesuatu. Agaknya Panjang masih terlampau lemah. </div><div style="text-align: justify;">“Ia akan segera baik,” berkata salah seorang dari mereka yang ikut berusaha mengobatinya. </div><div style="text-align: justify;">“Terima kasih,” desis Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">Ki Demang dan Ki Jagabaya serta beberapa orang pemimpin Kademangan itu, yang duduk beberapa langkah dari kedua tubuh yang terbaring itupun menarik nafas, ketika mereka melihat Panjang membuka matanya, dan sesaat kemudian Suwela pun menjadi sadar pula. </div><div style="text-align: justify;">Mereka menjadi bertambah segar ketika pada bibir mereka diteteskan beberapa titik air. Sehingga wajah mereka yang sudah menjadi seputih kapas itupun agak dijalari oleh warna darahnya yang mulai mengalir dengan teratur. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengangkat kepalanya ketika ia mendengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Ketika ia memandang ke halaman, maka dilihatnya warna yang kemerah-merahan telah membayang pada dedaunan dan pepohonan. </div><div style="text-align: justify;">“Hampir pagi,” desisnya. “Kedua anak-anak itu telah berjuang melampaui kekuatan mereka yang wajar. Untunglah mereka selamat. Bahkan mereka berhasil membunuh kedua ekor harimau itu.” </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengerutkan keningnya ketika ia mendengar seseorang yang duduk dibelakangnya berdesis. “Bukan mereka yang telah membunuh harimau itu.” </div><div style="text-align: justify;">“He,” ia bertanya. “Lalu siapa? Dan darimana kau tahu?” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 040 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“SUWELA dan Panjang sendirilah yang mengatakan ketika kami datang menengoknya. Sebelum mereka menjadi pingsan.” </div><div style="text-align: justify;">“Ya, tetapi siapa yang membunuh harimau itu? Apakah ada orang lain di antara mereka ketika kau datang?” </div><div style="text-align: justify;">Orang itu menggeleng. “Tidak. Tidak ada orang lain.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Temunggul menjadi semakin tidak mengerti. Tetapi orang itu berkata, “Nanti, bertanyalah kepadanya sendiri. Aku pun tidak sempat bertanya lagi, karena keduanya menjadi terlampau lemah.” </div><div style="text-align: justify;">Temunggul menganggukkan kepalanya. “Baiklah, nanti aku akan bertanya kepada mereka.” </div><div style="text-align: justify;">Temunggul kemudian meninggalkan pringgitan, langsung melintasi pendapa dan turun ke halaman. Udara yang sejuk telah membuatnya agak tenang. Namun apa yang dibayangkannya perkelahian antara kedua anak-anak muda itu ngeri sekali.</div><div style="text-align: justify;">“Tetapi,” ia bergumam. “Siapakah orang yang disebut-sebut telah membunuh harimau itu?” </div><div style="text-align: justify;">Tanpa sesadarnya Temunggul itupun kemudian berjalan menyelusuri jalan di muka Kademangan itu tanpa arah. Sekali-kali ditengadahkannya wajahnya, memandangi jalur-jalur awan yang kemerah-merahan di langit yang biru. </div><div style="text-align: justify;">Ketika Temunggul itu menuruni tebing bendungan, langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia melihat sesosok bayangan berjalan perlahan-lahan menaiki tebing. Namun sejenak kemudian ia menarik nafas. Orang itu adalah Bramanti. </div><div style="text-align: justify;">“Darimana kau Bramanti?” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Temunggul yang masih membekas ketegangan yang mencekam jantungnya. </div><div style="text-align: justify;">“He, darimana kau?” bentaknya ketika Bramanti tidak segera menyahut. </div><div style="text-align: justify;">“Oh, aku baru saja dari bendungan.” </div><div style="text-align: justify;">“Sepagi ini?” </div><div style="text-align: justify;">“Ya, perutku sakit. Tetapi bukankah matahari telah naik?” </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Bramanti dengan sorot mata yang aneh. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa kau mandi terlampau pagi?” </div><div style="text-align: justify;">“Aku biasa mandi sepagi ini. Kalau tidak ke sungai, akupun mandi di rumah.” </div><div style="text-align: justify;">Sorot mata Temunggul menjadi semakin aneh. Dan dengan suara gemetar ia bertanya, “Kenapa dadamu itu Bramanti. Dan lenganmu? Meskipun kau berusaha membersihkannya, tetapi aku masih dapat melihat bekas-bekas darah itu.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Oh, aku tergelincir dari pohon kelapa pagi tadi.” </div><div style="text-align: justify;">“Kau memanjat pohon kelapa pagi-pagi buta?” </div><div style="text-align: justify;">Kini Bramantilah yang memandangi Temunggul dengan sorot mata yang aneh. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Kenapa kau heran Temunggul? Bukankah sudah menjadi kebiasaan setiap orang yang menderas kelapanya, mengambil bambu di pagi-pagi buta.” </div><div style="text-align: justify;">Temunggul menarik nafas dalam-dalam. “Kau nderes juga?” </div><div style="text-align: justify;">“Ya, sekadar meringankan beban ibu. Kelapa kami terlampau cukup, sehingga aku menyisihkan tiga batang untuk aku ambil gulanya.” </div><div style="text-align: justify;">Temunggul tidak menjawab lagi. Dipandanginya jalur-jalur merah di dada dan lengan Bramanti. Namun kemudian ia berkata, “Seharusnya kau malu kepada dirimu sendiri sebagai seorang laki-laki.” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">BERSAMBUNG...</div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-18745245045473268442011-08-14T05:09:00.000-07:002011-08-14T05:10:42.588-07:00TANAH WARISAN_021-030<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7FKi7Geghimseu4yIzCz9H0wPMt2KFWgSe0eZvNDQjeBDesfP3AEkIAP_S0QZNt3OnF0TrZSC79Ohd77nYY5cBLkFr94HyBPwCGKSZDzh_sCwAagjn8ngh2bhtRVnXVfSnJxv9TM71Q/s1600/TANAH+WARISAN.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 193px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7FKi7Geghimseu4yIzCz9H0wPMt2KFWgSe0eZvNDQjeBDesfP3AEkIAP_S0QZNt3OnF0TrZSC79Ohd77nYY5cBLkFr94HyBPwCGKSZDzh_sCwAagjn8ngh2bhtRVnXVfSnJxv9TM71Q/s320/TANAH+WARISAN.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640682851703023170" /></a><div style="text-align: justify;">No. 021</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Aku berharap demikian Temunggul." </div><div style="text-align: justify;">"Siapkan dirimu sejak sekarang. Kau harus dapat mempergunakan salah satu jenis senjata. Kau harus mempunyai ketahanan tubuh dan tekad. Kemampuan membela diri dan mengatasi segala macam kesulitan." </div><div style="text-align: justify;">"Aku akan mencoba."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Mudah-mudahan kau mendapat kesempatan." Temunggul tersenyum aneh. Melihat senyum itu, dada Bramanti menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak bertanya apapun. </div><div style="text-align: justify;">"Hati-hatilah dengan segala macam kegilaannmu itu," berkata Temunggul kemudian. Lalu, "Tetapi kau perlu tahu, ada kalanya seseorang gagal dalam pendadaran, dan bahkan mendapat cidera. Pernah seorang anak muda menjadi cacad ketika ia mendapat cara pendadaran yang menarik. Menangkap kuda binal dan menundukkannya. Ia terlempar dan jatuh di atas tanah berbatu-batu. Tangannya patah sebelah, dan wajahnya menjadi cacad pula." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. </div><div style="text-align: justify;">"Mungkin disaat mendatang aku akan mendapat cara yang lebih menarik. Kau pernah mendengar bahwa banyak ternak yang hilang akhir-akhir ini? Ternyata seekor harimau tua telah kehilangan kesempatan mencari makan di hutan sebelah. Nah, itu juga merupakan cara yang baik untuk melihat, siapakah di antara mereka yang menyatakan keinginannya menjadi anggota pengawal, yang paling baik."</div><div style="text-align: justify;">Bramanti masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir saja ia berkata tentang orang-orang berkuda yang menyebut dirinya utusan Panembahan Sekar Jagat. Kenapa bukan itu yang dipergunakan sebagai suatu cara pendadaran? Tetapi ia menyadari keadaannya. Orang-orang Kademangan ini masih diliputi oleh kecurigaan terhadapnya. Karena itu ia tidak berkata apapun tentang Panembahan Sekar Jagat. </div><div style="text-align: justify;">Sepeninggalan Temunggul, Bramanti berjalan perlahan-lahan dengan kepala tunduk, masuk ke dapur. Ibunya telah menyediakan makan untuknya sejak lama, sehingga nasi telah menjadi dingin. </div><div style="text-align: justify;">"Hati-hatilah dengan anak muda itu Bramanti," berkata ibunya. "Dia mempunyai pengaruh yang kuat di Kademangan ini." </div><div style="text-align: justify;">"Ya bu. Ia adalah pemimpin anak-anak muda anggota pengawal Kademangan." </div><div style="text-align: justify;">"Temunggul adalah seorang anak muda yang sakti." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangkat wajahnya. Kemudian ia bertanya seolah-olah kepada dirinya sendiri. "Kenapa mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu untuk melindungi Kademangan ini dari tangan Panembahan Sekar Jagat. Kenapa? Itu adalah suatu sikap pengecut." </div><div style="text-align: justify;">Ibunya yang mendengar gumam itu menyahut, "Terlampau parah akibatnya Bramanti. Di Kademangan yang lain pun, mereka dapat berbuat sekehendak hati. Satu dua orang yang mencoba melawannya, dibinasakannya." </div><div style="text-align: justify;">"Ya bu," jawab Bramanti. "Kalau satu dua orang saja yang melawan mereka, pasti akan dengan mudah dapat mereka binasakan. Tetapi apabila Kademangan bangkit bersama-sama, maka mereka tidak akan mungkin dapat melawan." </div><div style="text-align: justify;">Tetapi ibunya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak ada yang berani mencoba berbuat demikian. Taruhannya terlampau mahal Bramanti. Kalau usaha ini gagal, maka seluruh Kademangan akan mereka binasakan." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menyahut lagi. Ia tidak mau berbantah dengan ibunya, karena ia mengerti, betapa orang-orang Kademangan ini telah dicengkam oleh ketakutan yang tidak terkendali. </div><div style="text-align: justify;">"Aku ingin melihat, siapakah yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat itu," berkata Bramanti di dalam hatinya. Tetapi ia tidak mengucapkannya di depan ibunya. Hal itu pasti akan membuatnya terlampau cemas. </div><div style="text-align: justify;">"Aku harus menunda sampai suatu saat aku mendapat kesempatan," katanya kepada dirinya sendiri. </div><div style="text-align: justify;">"Sementara itu, Bramanti masih saja mengisi waktunya sehari-hari dengan kerja di halaman rumahnya. Ada-ada saja yang dilakukan. Namun ibunya pun berbangga melihat hasil kerja anaknya, sehingga kini rumahnya telah menjadi rapat kembali, bersih dan tidak berbahaya. Perempuan tua itu tidak perlu lagi selalu menengadahkan kepalanya, melihat kalau-kalau ada bagian atap rumahnya yang akan runtuh. </div><div style="text-align: justify;">Selagi Bramanti sibuk dengan rumah dan halamannya, maka Kademangannyapun sibuk mempersiapkan sebuah pendadaran bagi dua anak-anak muda yang ingin menyatakan dirinya menjadi anggota pengawal Kademangan. </div><div style="text-align: justify;">Beberapa hari lagi mereka harus menunjukkan kemampuan mereka di arena. Mereka harus dapat melakukan beberapa macam permainan yang meyakinkan. Kemudian mereka harus bersedia melawan siapa saja yang ingin mengetahui kemampuan mereka, selain yang telah diterima dengan resmi, sebagai anggota pengawal. Kalau dalam perlawanannya itu ia dapat dikalahkan oleh seseorang, maka apabila dikehendaki, orang yang dapat mengalahkannya itulah yang akan menjadi calon seterusnya, sedang yang dikalahkannya dengan sendirinya harus menarik diri. </div><div style="text-align: justify;">Pendadaran itu sangat menarik perhatian Bramanti. Ia ingin melihat, sampai dimana jauh kemajuan yang dicapai oleh anak-anak muda sebayanya di Kademangan ini. Tetapi apabila ia menyadari dirinya, ia menjadi ragu-ragu. Apakah kehadirannya di tempat pendadaran tidak akan menumbuhkan persoalan? </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 022</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"TEMUNGGUL telah memberitahukan hal ini kepadaku, dan ia mengajak aku untuk melihatnya," katanya di dalam hati. Namun kemudian timbul pertanyaan, "Apakah ia bersungguh-sungguh."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Selagi Bramanti masih belum menemukan jawaban, tiba-tiba tangannya yang sedang meraut sepotong bambu terhenti. Ia mendengar seseorang memanggil namanya. Dan ketika ia berpaling, maka dilihatnya sebuah kepala menjenguk dari balik pintu regol halamannya, Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti meletakkan parang dan sepotong bambu di tangannya. Kemudian iapun berdiri dan melangkah ke regol. </div><div style="text-align: justify;">"Tidak sepantasnya seorang anak muda tidak berani melangkahi tlundak pintu regol halaman," tegur Temunggul yang masih menjengukkan kepalanya. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Hanya langkahnya sajalah yang masih tetap membawanya mendekati Temunggul. Bahkan matanya pun lurus-lurus memandang wajah anak muda yang kini telah berdiri tepat di pintu. </div><div style="text-align: justify;">"Kenapa kau berubah menjadi terlampau jinak sekarang Bramanti," berkata Temunggul kemudian, "O, pada masa kecilmu kau termasuk anak yang paling liar di desa kita." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti masih belum menjawab. Ketika ia kemudian berhenti beberapa langkah di depan Temunggul, ia menarik nafas dalam-dalam. </div><div style="text-align: justify;">"Nah, Bramanti," berkata Temunggul kemudian, "Apakah kau tidak tertarik untuk melihat pendadaran besok?" </div><div style="text-align: justify;">Hati Bramanti terlonjak melihat kesempatan itu, sehingga dengan serta-merta ia menjawab, "Tentu, Temunggul, aku ingin melihat." </div><div style="text-align: justify;">"Pergilah ke halaman banjar. Kau akan melihat betapa kawan-kawanmu semasa kanak-kanak telah mendapat kesempatan untuk maju. Jauh lebih baik dari anak-anak muda di Kademangan ini semasa kita kecil. Kau akan dapat mengukur dirimu sendiri, apakah kau akan dapat menempatkan dirimu di antara kami. Seandainya kau mempunyai niat apapun, kau akan dapat melihat kemungkinan apakah yang dapat kau lakukan." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menjawab, "Baiklah Temunggul. Aku akan melihat besok. Mudah-mudahan aku dapat melihat betapa kecilnya aku berada di antara kalian." </div><div style="text-align: justify;">"Kau memang terlampau cengeng, tidak menyangka, bahwa hatimu, anak yang liar di masa kecil itu, kini menjadi sekecil biji kemangi."</div><div style="text-align: justify;">Bramanti menggigit bibirnya. Namun ia tidak menjawab. Dicobanya menekan gelora yang mengguncang dadanya. Di dalam hati ia berkata, "Terlampau berat. Terlampau berat untuk menahan hati di antara anak-anak gila ini." </div><div style="text-align: justify;">"Sudahlah," berkata Temunggul. "Aku baru saja pergi ke bendungan. Aku sengaja singgah kemari untuk memberitahukan kepadamu, bahwa kami seluruh Kademangan selalu bergerak maju. Karena itu kau jangan tidur saja di dalam bilikmu." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab supaya Temunggul tidak mendengar bahwa suaranya menjadi gemetar. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian maka Temunggul itupun meninggalkan regol halamannya. Sedangkan Bramanti masih saja berdiri membatu di tempatnya. Ia merasakan hubungan yang aneh antara dirinya dengan Temunggul, hanya karena kebetulan pada saat ia datang kembali di kampung halamannya, ia bertemu dengan Ratri. </div><div style="text-align: justify;">"Tidak hanya sekadar itu," katanya kemudian perlahan-lahan sekali. "Riwayat keluarganya ikut juga menentukan sikapnya dan sikap anak-anak muda di Kademangan ini," sejenak ia terdiam, lalu "Tetapi besok aku akan datang. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu." </div><div style="text-align: justify;">Sebenarnyalah, di hari berikutnya Bramanti berkemas-kemas untuk pergi ke halaman Banjar Kademangan, meskipun ia menjadi ragu-ragu ketika ia minta diri kepada ibunya. </div><div style="text-align: justify;">"Kau lebih baik tinggal di rumah hari ini Bramanti," berkata ibunya. </div><div style="text-align: justify;">"Temunggul mengundang aku untuk melihat ibu," jawab Bramanti. </div><div style="text-align: justify;">"Banyak kemungkinan dapat terjadi. Kau masih belum diterima sepenuhnya oleh keluarga Kademangan ini." </div><div style="text-align: justify;">"Karena itu aku harus banyak menerjunkan diri ke dalam pertemuan-pertemuan seperti dalam kesempatan ini. Aku akan mendapat kesempatan untuk memperlihatkan, bahwa aku benar-benar ingin terjun kembali dalam pergaulanku di masa lalu sepuluh tahun yang lampau. Sudah tentu dengan segala perkembangan yang telah terjadi." </div><div style="text-align: justify;">Ibunya tidak menjawab. Tetapi di wajahnya yang telah berkerut merut, membayangkan kecemasan. </div><div style="text-align: justify;">"Ibu jangan cemas. Aku tidak akan berbuat apa-apa." </div><div style="text-align: justify;">Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Hati-hatilah Bramanti. Kau akan bertemu dengan berbagai macam tabiat. Kau harus berusaha menempatkan dirimu." </div><div style="text-align: justify;">"Baik ibu." </div><div style="text-align: justify;">Dan Bramanti itu pun pergi ke halaman banjar Kademangan dengan keragu-raguan yang masih saja mengganggunya. Namun kemudian ia mencoba memutuskan, "Aku akan berbuat sebaik-baiknya. Aku tidak akan menjerumuskan diriku sendiri ke dalam kesulitan dan keharusan untuk berbuat sesuatu yang akan mendorong aku semakin jauh dari pergaulan di Kademangan ini." </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 023</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">KETIKA Bramanti kemudian sampai di lorong induk Kademangan, ia mulai bertemu dengan anak-anak muda dan bahkan orang-orang tua yang akan pergi ke halaman banjar untuk melihat pendadaran tingkat anggota pengawal Kademangan. Mereka datang berbondong-bondong dalam kelompok-kelompok. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menjadi berdebar-debar melihat anak-anak muda itu. Satu dua dari mereka memandangnya dengan penuh curiga. Tetapi satu dua yang lain berdesis, “Bramanti.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti berjalan perlahan-lahan. Setiap kali ia mencoba menganggukkan kepalanya, meskipun anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu untuk membalas anggukan kepalanya itu. Tetapi satu dua ada pula yang bertanya, “Apakah kau akan pergi ke banjar juga Bramanti?” </div><div style="text-align: justify;">“Ya,” sahut Bramanti sambil menganggukkan kepalanya. Untuk memperkuat alasan kehadirannya itu, ia berkata, “Temunggullah yang memberitahukan kepadaku, bahwa hari ini ada pendadaran di halaman banjar itu.” </div><div style="text-align: justify;">“Ya. Kami pun akan melihat, apa saja yang dapat dilakukan oleh kedua anak-anak itu.” </div><div style="text-align: justify;">Sebelum Bramanti menyahut, anak-anak muda itu telah meninggalkannya. Namun meskipun demikian Bramanti merasa, bahwa tidak semua orang menganggap bahwa dirinya adalah hantu jadi-jadian yang bangkit dari kubur ayahnya, yang harus diasing-asingkan, dan dibenci. </div><div style="text-align: justify;">Dengan langkah yang pasti, Bramanti kemudian menyelusur lorong itu di antara orang-orang lain yang pergi ke halaman banjar. Ketika ia memasuki halaman yang luas, ternyata di halaman itu telah banyak sekali orang-orang yang telah lebih dahulu datang, laki-laki, perempuan, tua, muda dan bahkan anak-anak. </div><div style="text-align: justify;">“Dahulu pendadaran itu tidak pernah dengan cara terbuka seperti ini,” desis Bramanti didalam hatinya. “Pada masa kanak-kanak, belum pernah melihat satu kalipun pendadaran serupa ini.” </div><div style="text-align: justify;">Tetapi Bramanti tidak bertanya kepada siapapun. Ia mengambil tempat yang tidak terlampau banyak pencampuran dengan anak-anak muda sebayanya, apalagi yang sudah dikenalnya dengan baik. Ia lebih senang memilih tempat di antara orang-orang tua yang kurang mengenalnya, sehingga dengan demikian, ia telah berusaha mengurangi persoalan yang dapat timbul atas dirinya. </div><div style="text-align: justify;">Ketika matahari sudah naik setinggi bumbungan, maka pendadaran itupun akan segera dimulai. Yang mula-mula tampil ke arena adalah Ki Demang, Ki Jagabaya, seorang pengawal dari golongan orang-orang tua dan kemudian pemimpin anggota pengawal Kademangan dari anak-anak muda, Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">Beberapa saat Ki Demang berbicara di depan rakyatnya, kemudian mulailah Temunggul memanggil kedua pemuda yang akan mengalami pendadaran. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia melihat kedua anak-anak muda itu. Tanpa sesadarnya ia berdesis. “Suwela dan Panjang.” Tetapi Bramanti tidak mengucapkan apapun lagi. Apalagi ketika ia melihat satu dua orang berpaling ke arahnya setelah mereka mendengar ia menyebut kedua nama itu. </div><div style="text-align: justify;">Namun di dalam hatinya ia berkata terus. “Agaknya kedua anak-anak itu terlambat. Temunggul telah lebih dahulu masuk menjadi anggota, bahkan kini ia memegang pimpinan.” </div><div style="text-align: justify;">Perhatian Bramanti itupun kemudian terpusat kepada kedua anak-anak yang kini telah berada di tengah-tengah arena itu pula. Sedang Ki Demang dan Ki Jagabaya, serta para pemimpin Kademangan yang lain telah bergeser menepi. </div><div style="text-align: justify;">“Kesempatan pertama akan diberikan kepada anak-anak muda,” berkata Temunggul sambil memandang berkeliling. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti bergeser setapak. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya di belakang seoorang laki-laki tua di depannya. </div><div style="text-align: justify;">“Kalau seseorang mampu mengalahkannya, maka pencalonan ini akan gugur.” Temunggul berhenti sejenak, kemudian, “Untuk menilai kemampuannya sebelum ada di antara kalian yang ingin mencobanya, maka akan diberikan kesempatan kepada keduanya untuk menunjukkan sampai tingkat manakah kemampuan mereka.” </div><div style="text-align: justify;">Suasana menjadi hening. Sementara itu Temunggul menganggukkan kepalanya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya sambil bertanya, “Bukan begitu?” </div><div style="text-align: justify;">Ki demang dan Ki Jagabaya menganggukkan kepala mereka. </div><div style="text-align: justify;">“Ya, begitulah,” jawab Ki Jagabaya dengan suaranya yang bernada rendah. </div><div style="text-align: justify;">“Nah, marilah kita mulai.” </div><div style="text-align: justify;">Kesempatan pertama diberikan kepada Panjang. Dan agak ragu-ragu ia melangkah ke pusat arena sambil menjinjing sepucuk tombak pendek. Dengan tombak itulah ia akan memamerkan keprigelannya bermain senjata. </div><div style="text-align: justify;">“Mulailah,” berkata Temunggul yang berdiri tidak begitu jauh dari padanya. </div><div style="text-align: justify;">Panjang mengangguk. Kemudian mulailah ia mempersiapkan dirinya. Kakinya kini merenggang, kemudian kedua tangannya menggenggam tangkai tombaknya. Sejenak kemudian ia telah mulai berloncatan sambil memutar tombaknya. </div><div style="text-align: justify;">Sekali-kali ia memantukkan ujung tombak itu, kemudian mengayunkannya mendatar. Kakinya meloncat dengan lincahnya. Sekali-kali ke depan. Kemudian mundur setengah langkah, namun tiba-tiba tubuhnya seakan-akan meluncur maju dengan cepatnya sambil menusukkan ujung tombak pendeknya. </div><div style="text-align: justify;">Tepuk tangan dan berteriak-teriak tidak menentu sambil melontar-lontarkan baju mereka ke udara.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 024</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"BAGUS," berkata Temunggul. "Kalian dapat menilai, apakah ada di antaranya yang masih merasa perlu meyakinkan keprigelannya. Tetapi sebelumnya marilah kita memberikan kesempatan kepada Suwela."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Suwela kemudian melangkah maju. Berbeda dengan Panjang yang masih dibayangi oleh keragu-raguan, maka Suwela melangkah ke tengah-tengah arena dengan kepala tengadah. Sambil tersenyum-senyum di gerak-gerakkannya sepasang pedang di tangannya. </div><div style="text-align: justify;">"Kau mendapat kesempatan itu," berkata Temunggul, "Nah, mulailah." </div><div style="text-align: justify;">Suwela segera mulai dengan permainannya. Mula-mula ia melenting tinggi sambil menyilangkan pedangnya. Kemudian demikian kakinya menyentuh tanah, maka sepasang pedangnya telah berputar seperti sepasang sayap yang menggelepar sebelah menyebelah. Dengan tangkasnya Suwela meloncat ke berbagai arah. Kemudian melenting beberapa kali. Pada saat terakhir dijatuhkannya dirinya, berguling beberapa kali, dan dengan gerak yang manis sekali ia meloncat berdiri di atas kedua kakinya. </div><div style="text-align: justify;">Tepuk tangan dan sorak-sorai kecil bagaikan meruntuhkan langit. Sehingga untuk sejenak Suwela masih tetap berada di tengah-tengah arena sambil mengangguk-angguk ke segala arah. </div><div style="text-align: justify;">"Kesempatan itu telah datang," berkata Temunggul. "Ayo, siapa yang merasa bahwa kedua calon ini masih belum pada saatnya menjadi anggota pengawal." </div><div style="text-align: justify;">Untuk sesaat arena itu menjadi sepi. Beberapa anak-anak muda saling berpandangan. Tetapi belum seorangpun yang melangkah kakinya masuk ke dalam arena. </div><div style="text-align: justify;">"Ayo," berkata Temunggul pula. "Siapa? Setidak-tidaknya kita akan tahu, sampai di mana kemampuan kedua calon ini, sebelum mereka ditetapkan menjadi anggota pengawal." </div><div style="text-align: justify;">Sejenak anak-anak muda Kademangan Candi Sari saling berpandangan. Namun masih belum ada seorang pun yang maju ke arena. </div><div style="text-align: justify;">"Tidak hanya anak-anak muda." Temunggul berteriak lagi, "Siapapun boleh selain mereka yang telah menjadi anggota pengawal." </div><div style="text-align: justify;">Sejenak arena itu menjadi hening. Baru sejenak kemudian semua mata memandang seseorang yang dengan langkah ragu-ragu memasuki arena. </div><div style="text-align: justify;">"Nah," berkata Temunggul. "Kau agaknya yang ingin melihat, apakah kedua anak-anak muda ini cukup bernilai untuk menjadi anggota pengawal." </div><div style="text-align: justify;">Orang itu menganggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menjawab. "Aku tidak akan berusaha mengalahkan mereka atau salah seorang daripadanya. Aku tidak akan mampu. Tetapi seperti yang kau katakan Temunggul, setidak-tidaknya kita akan dapat gambaran betapa kekuatan yang tersimpan di Kademangan ini." </div><div style="text-align: justify;">"Bagus," sahut Temunggul. "Senjata apakah yang akan kau pilih? Rotan, cambuk atau jenis yang lain." </div><div style="text-align: justify;">"Aku akan memakai rotan." </div><div style="text-align: justify;">"Baik," berkata Temunggul kemudian. "Siapakah yang akan kau pilih menjadi lawanmu? Suwela atau Panjang?" </div><div style="text-align: justify;">"Salah seorang daripadanya. Yang manapun juga," jawab orang itu. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapnya Suwela yang masih berdiri ditengah-tengah arena. "Kaulah yang masih berdiri disini. Lawanmu akan mempergunakan rotan. Apakah yang akan kau pilih sebagai senjata?" </div><div style="text-align: justify;">"Akupun akan mempergunakan rotan," sahut Suwela. </div><div style="text-align: justify;">"Bagus. Bersiaplah kalian." </div><div style="text-align: justify;">Suwela segera meletakkan pedangnya dan menerima dua potong rotan. Yang sepotong agak panjang, sedang yang lain lebih pendek. Demikian juga orang yang menyatakan dirinya menjajagi kemampuan Suwela itu. </div><div style="text-align: justify;">Suwela yang segera telah bersiap, tersenyum sambil berkata, "Hem, agaknya kau menaruh minat juga pada permainan ini Jene. Aku memang sudah menyangka." </div><div style="text-align: justify;">Orang yang bernama Jene itupun tersenyum pula. "Aku hanya ingin bermain-main." </div><div style="text-align: justify;">Sementara itu Temunggul yang juga memegang sepotong rotan berkata, "Marilah, permainan segera akan dimulai."</div><div style="text-align: justify;">Suwela dan Jene pun segera bersiap. Mereka berdiri berhadapan dengan sepasang rotan di kedua tangan masing-masing. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengangkat rotan di tangannya. Kemudian berkata, "Kalau aku mengayunkan rotan ini, maka permainan akan segera dimulai. Aku percaya bahwa kalian telah memahami segala macam peraturan dan pantangan di permainan ini." </div><div style="text-align: justify;">Keduanya mengangguk sambil mempersiapkan diri. Kaki mereka merenggang sedang sepasang rotan masing-masing bersilang di muka dada. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian rotan di tangan Temunggul mulai bergerak. Dan dalam sekejap rotan itu telah terayun dengan derasnya. </div><div style="text-align: justify;">Orang-orang yang mengelilingi arena itu mulai menjadi tegang. Mereka melihat Suwela dan Jene mulai berputar-putar sambil menggerakkan tongkat-tongkat rotan mereka. Sekali-kali rotan-rotan itu berputar, kemudian menyilang rendah. Sedang tongkat rotan yang pendek mereka pergunakan sebagai perisai apabila serangan benar-benar datang menyambar. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti yang berdiri di antara penonton menarik nafas dalam-dalam. Suwela menjadi kecewa ketika tidak seorang pun yang bersedia memasuki arena. Dengan demikian ia tidak akan mendapat gambaran sampai berapa jauh kemajuan yang telah dicapai oleh kawan-kawan yang hampir sebayanya. Namun agaknya harapannya itu dapat terpenuhi.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 025</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">DENGAN penuh perhatian ia melihat, betapa kaki Suwela meloncat-loncat dengan lincahnya, sedang Jene bergerak lamban, namun mantap. Seolah-olah kakinya melekat kuat-kuat di atas tanah tanpa tergoyahkan, apabila ia sedang berdiri tegak dengan kaki merenggang.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Rotan-rotan itu telah mulai bergerak-gerak. Kadang-kadang berputar di atas kepala, namun kadang-kadang terayun-ayun disisi tubuh.</div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian Jenelah yang mulai melancarkan serangan-serangannya yang mantap. Ayunan rotannya menyambar dengan dahsyatnya. Ternyata bahwa anak muda itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Namun lawannya cukup lincah untuk mengimbangi kekuatan itu. Dengan sigapnya Suwela menghindar sambil menyentuh rotan lawannya, sehingga rotan itu menjadi berubah arah. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi Jene segera memperbaiki kesalahannya. Ia bergerak setapak, dan sekali lagi memutar rotannya dan langsung terayun kelambung lawannya. Ia meloncat selangkah surut sambil membungkukkan badannya, sehingga ujung rotan lawannya meluncur beberapa nyari saja dari perutnya. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti yang menyaksikan permainan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya ia berkata, "Mereka mempunyai kemampuan yang cukup. Kalau Jene dan Suwela dapat bermain demikian baik, apalagi Temunggul, Ki Jagabaya dan Ki Demang. Tetapi kenapa tidak seorangpun yang berani berdiri di paling depan untuk melawan Panembahan Sekar Jagat? Apakah rata-rata kemampuan anak-anak Sekar Jagat itu nggegirisi?" </div><div style="text-align: justify;">Bramanti terkejut ketika ia melihat Suwela terpaksa melontarkan dirinya beberapa langkah surut. Sedang Jene tidak membiarkan kesempatan itu lewat. Dengan loncatan panjang ia memburu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Bahkan ia terdorong surut selangkah ketika tiba-tiba saja, tanpa disadarinya ujung rotan Suwela telah mendorong ikat pinggang kulitnya. </div><div style="text-align: justify;">"Uh," ia mengeluh pendek. Namun segera ia memperbaiki keadaannya, sehingga ketika Suwela berganti menyerang, Jene berhasil menangkisnya. </div><div style="text-align: justify;">"Cukup baik," Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam di dalam hatinya. "Jene mempunyai kekuatan yang cukup, sedang Suwela adalah seorang anak muda yang lincah. Perkelahian ini pasti memerlukan waktu yang lama sebelum salah seorang dari mereka melemparkan sepasang rotannya." </div><div style="text-align: justify;">Tetapi sejenak kemudian Bramanti melihat, bahwa betapapun kuatnya Jene, namun kelincahan Suwela setiap kali berhasil mendahului gerak lamban Jene. Meskipun kadang-kadang dalam benturan senjata Suwela harus mempertahankan rotannya agar tidak terlepas, namun setiap kali rotannya menjadi silang menyilang di wajah kulitnya yang kekuning-kuningan itu. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul yang menunggui permainan itu, mengikutinya dengan tegang. Setiap kali ia menarik nafas, dan bahkan setiap kali ia menyeringai seolah-olah ialah yang dikenai oleh salah satu dari dua pasang rotan yang bergerak berputar-putar itu. </div><div style="text-align: justify;">Akhirnya Bramanti melihat bahwa Jene pasti tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Saat-saat berikutnya rotan Suwela menjadi lebih sering mengenai tubuh lawannya, sehingga pada suatu saat Jene meloncat jauh-jauh ke belakang sambil melepaskan kedua rotan dari tangannya, "Aku menyerah," katanya. </div><div style="text-align: justify;">Kata-kata itu disambut oleh ledakan gemuruh dari penonton yang selama ini menahan ketegangan di dalam hatinya. Anak-anak telah melontarkan apa saja yang ada di tangan mereka. Caping, bahkan ikat pinggang. </div><div style="text-align: justify;">"Suwela menang. Suwela menang," terdengar teriakan gemuruh. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia kini telah melihat betapa sebenarnya anak-anak Candi Sari memiliki kemampuan untuk menyelamatkan Kademangan ini dari tangan pemeras yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat, justru keadaan sedang kisruh. Justru pada saat Pajang harus bertempur melawan Mataram. </div><div style="text-align: justify;">Saat-saat berikutnya, orang-orang di sekitar arena itu melihat seorang anak muda yang lain masuk pula ke dalam arena. Kini anak muda itu harus berhadapan dengan Panjang. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 026</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">SEPERTI Jene maka anak muda itu tidak dapat melampaui kelincahan Panjang, meskipun ilmu mereka sebenarnya tidak terpaut banyak. </div><div style="text-align: justify;">Kemenangan Panjang pun disambut dengan gemuruhnya tepuk tangan dan sorak surai. Anak-anak kecil berloncat-loncatan sambil mengacung-acungkan tangan mereka. Dan dengan suara yang melengking-lengking, mereka berteriak-teriak. "Panjang menang, Panjang menang."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Selanjutnya ternyata masih ada beberapa orang lain yang ingin melihat, apakah Suwela dan Panjang benar merupakan calon yang paling tepat, dan tidak ada yang menjadi anggota pengawal Kademangan. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi ternyata Suwela dan Panjang mampu mempertahankan pencalonan mereka, sehingga orang yang terakhirpun tidak dapat mengalahkannya. </div><div style="text-align: justify;">"Kalau masih ada yang ingin mengajukan dirinya untuk melakukan pendadaran, pasti masih akan diterima, tetapi karena Suwela dan Panjang telah lelah, maka untuk adilnya, permainan akan ditunda sampai besok. Nah, apakah masih ada yang ingin mencoba lagi?" </div><div style="text-align: justify;">Tidak seorangpun yang menyatakan dirinya. Beberapa kali Temenggul mengulanginya, namun agaknya memang sudah tidak ada seorang pun yang akan melakukannya. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengedarkan pandangan matanya berkeliling untuk melihat apabila ada satu dua orang yang ingin menyatakan dirinya. Tetapi ia tidak melihatnya. </div><div style="text-align: justify;">Namun tiba-tiba tatapan matanya itu berhenti pada seseorang yang justru mencoba menyembunyikan dirinya di antara para penonton. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak Temunggul berdiam diri. Namun kemudian ia tersenyum. Perlahan-lahan ia melangkah maju mendekat. </div><div style="text-align: justify;">Semua mata mengikutinya dengan pertanyaan di dalam hati. Bahkan Ki Jagabaya yang duduk di antara para pemimpin Kademangan yang lain, bergeser sambil bergumam, "Apa yang akan dilakukan anak itu?" </div><div style="text-align: justify;">Tidak seorang pun yang menyahut, karena memang tidak ada seorang pun yang mengerti, apa yang akan dilakukan oleh Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">"Kemarilah," tiba-tiba Temunggul berkata lantang, "Ayo, kemarilah." </div><div style="text-align: justify;">Sejenak tidak ada jawaban. Karena itu, sekali lagi Temunggul berkata, "Bramanti, kemarilah." </div><div style="text-align: justify;">Dada Bramanti menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. </div><div style="text-align: justify;">"Suwela," berkata Temunggul. "Kau masih mempunyai seorang lawan." Kemudian kepada Bramanti ia berkata, "Nah, Bramanti. Untuk menjadi seorang laki-laki. Nah, cobalah turun ke arena. Apakah kau juga seorang laki-laki yang pantas berada di dalam lingkungan permainan kami seperti semasa kanak-kanak."</div><div style="text-align: justify;">Bramanti masih belum beranjak dari tempatnya. </div><div style="text-align: justify;">"He, kenapa kau diam saja? Kemarilah." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti masih diam. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya, "Kau harus jadi seorang laki-laki. Kalau kau tidak mau datang kemari, maka kau akan aku tarik. </div><div style="text-align: justify;">Ternyata Temunggul tidak hanya menakut-nakuti. Selangkah demi selangkah ia mendekatinya. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak mempunyai pilihan lain, kecuali memenuhi permintaan itu. Dengan dada yang berdebar-debar ia melangkah memasuki arena. </div><div style="text-align: justify;">"Nah, begitulah anak laki-laki," teriak Temunggul yang kemudian kepada segenap penonton ia berteriak. "He, tataplah anak muda yang perkasa ini. Inilah putera paman Pruwita. Ia pasti mempunyai kemampuan seperti ayahnya. Karena itu, marilah, kau harus melakukan penjajagan juga atas kedua calon ini." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak akan melakukannya Temunggul. Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Aku sudah yakin bahwa Suwela dan Panjang mempunyai kemampuan yang cukup untuk menjadi anggota pengawal Kademangan." </div><div style="text-align: justify;">Temunggul tertawa. Katanya, "Ayolah. Bersikaplah sebagai seorang anak laki-laki. Apalagi putera paman Pruwita yang hampir-hampir tidak terkendali itu. Kau pun, harus menunjukkan bahwa kau adalah seorang laki-laki. </div><div style="text-align: justify;">"Tetapi aku tidak akan melakukannya." </div><div style="text-align: justify;">"Karena kau tidak ingin?" ulang Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">"Bukan, bukan. Maksudku, karena aku tidak berani."</div><div style="text-align: justify;">Sekali lagi Temunggul tertawa. Kemudian ditariknya tangan Bramanti, dan dibawanya anak itu ke tengah-tengah arena. Sambil mengangkat tangan Bramanti Temunggul berkata, "Untuk mendapatkan tempatmu kembali diantara kami, kau harus berani berkelahi dengan cara ini. Menang atau kalah bukan soal. Tetapi sebagai seorang laki-laki kau tidak boleh menjadi gemetar ketakutan." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak segera menjawab. Dadanya sedang diamuk oleh kebimbangan dan keragu-raguan. </div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, Temunggul terkejut ketika ia mendengar suara yang bernada berat. "He, siapakah anak itu?" </div><div style="text-align: justify;">Temunggul berpaling. Dilihatnya Ki Jagabaya berdiri mendekatinya, "Apakah anak itu Bramanti yang pernah kau bawa ke Kademangan?" </div><div style="text-align: justify;">"Ya Ki Jagabaya," jawab Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">"Akan kau apakan anak itu?" </div><div style="text-align: justify;">"Aku harap ia berkelahi melawan Suwela atau Panjang." </div><div style="text-align: justify;">"Apakah itu memang kau kehendaki Bramanti?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 027</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">BRAMANTI menggelengkan kepalanya, sehingga Ki Jagabaya itupun kemudian membentak. "Kalau begitu, pergi kau. Mau apa kau berada di tengah arena?" Kemudian kepada Temunggul ia berkata, "Tidak ada peraturan yang dapat memaksa seseorang harus bertanding. Lepaskan anak itu." </div><div style="text-align: justify;">"Tetapi," Temunggul tergagap. "Maksudku, biarlah ia menjadi seorang laki-laki."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Kenapa kau ribut-ribut tentang anak itu. Biar sajalah ia menjadi perempuan atau menjadi banci. Itu bukan persoalanmu." </div><div style="text-align: justify;">Namun kata-katanya terputus oleh kata-kata Ki Demang, "Biarlah Ki Jagabaya. Anak laki-laki Candi Sari tidak boleh cengeng. Karena itu, biarlah ia merasakan serba sedikit, bahwa anak-anak muda Candi Sari harus berwatak laki-laki."</div><div style="text-align: justify;">Ki Jagabaya menggeram, tetapi ia tida dapat berbuat apa-apa. Sambil mengumpat-umpat ia kembali duduk di tempatnya. </div><div style="text-align: justify;">Kini kembali Temunggul menengadahkan wajahnya. Di panggilnya Suwela sambil berkata, "Nah, lihatlah, dan ajarilah Bramanti menjadi seorang laki-laki." </div><div style="text-align: justify;">Suwelapun menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah Temunggul, kemudian wajah Ki Demang yang duduk di tepi arena disamping Ki Jagabaya. </div><div style="text-align: justify;">Barulah ketika Ki Demang mengangguk kepadanya hatinya menjadi mantap. </div><div style="text-align: justify;">"Nah Bramanti," berkata Temunggul. "Senjata apakah yang akan kau pergunakan?" </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak segera dapat menjawab. Sejenak ditatapnya wajah Temunggul, Suwela, kemudian Ki Demang dan Ki Jagabaya. </div><div style="text-align: justify;">Menanggapi sikap orang-orang Candi Sari, dada Bramanti serasa sudah tidak dapat menampung lagi. Tetapi setiap kali teringat akan ibunya, maka ia selalu berjuang untuk tetap menguasai perasaannya. </div><div style="text-align: justify;">Ternyata nama ayahnya yang kurang menguntungkan baginya itu benar-benar telah membawanya ke dalam berbagai kesulitan. Namun ia masih bertahan pada pendiriannya. "Ini adalah salah satu ujud kebaktianku kepada orang tua. Aku harus mencuci nama keluargaku dengan tingkah laku dan perbuatan baik." Kemudian terngiang kembali kata-kata ibunya, "Kenapa kau pelajari ilmu semacam itu?" </div><div style="text-align: justify;">Ayahmu juga mempelajari ilmu semacam itu dahulu.</div><div style="text-align: justify;">Bramanti itu terkejut ketika ia mendengar Temunggul membentaknya, "He, kenapa kau tidur? Ayo, sebut, senjata apakah yang kau kehendaki." </div><div style="text-align: justify;">Tetapi Bramanti menggelengkan kepalanya, "Aku tidak ingin berkelahi, karena aku memang tidak mampu melakukannya. </div><div style="text-align: justify;">"Persetan," Temunggul menjadi jengkel. "Melawan atau tidak melawan Suwela akan menyerang kau dengan caranya dan bersungguh-sungguh. Aku akan menghitung sampai bilangan kesepuluh. Ayo cepat sebut senjata yang kau kehendaki. Jangan membuat nama ayahmu tercemar. Ayahmu adalah seekor serigala yang disegani di Kademangan ini lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Aku masih ingat, betapa ia seorang yang gagah perkasa. Kenapa kau kini menjadi pengecut dan bahkan banci?" </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak dapat menjawab. Karena itu ia terdiam. </div><div style="text-align: justify;">"Cepat," teriak Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">Ki Jagabaya yang telah beringsut mengurungkan niatnya untuk berdiri, karena Ki Demang mengamiatnya, "Biarlah saja," berkata Ki Demang. </div><div style="text-align: justify;">Ki Jagabaya menggeram. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti akhirnya tidak dapat mengelak lagi. Ketika Temunggul membentaknya sekali lagi ia menjawab, "Kalau aku terpaksa melakukannya, terserahlah kepada Suwela, senjata apakah yang dikehendakinya." </div><div style="text-align: justify;">"Bagus," sahut Temunggul yang kemudian bertanya kepada Suwela. "Senjata apa yang kau kehendaki?" </div><div style="text-align: justify;">"Cambuk," sahut Suwela sambil tersenyum. </div><div style="text-align: justify;">Temunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum pula. "Bagus. Kalian akan memakai cambuk." </div><div style="text-align: justify;">"Tidak," tiba-tiba Ki Jagabaya berteriak. "Terlampau berbahaya bagi Bramanti." </div><div style="text-align: justify;">"Sudahlah Ki Jagabaya," cegah Ki Demang, "Jangan campuri persoalan anak-anak." </div><div style="text-align: justify;">Ki Jagabaya terdiam. Namun ia masih berkumat-kamit. </div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, Temunggul telah memberikan sebuah cambuk kepada Suwela dan sebuah kepada Bramanti sambil berkata, "Nah, kalian akan segera bertanding sebagai anak laki-laki. Bukan anak-anak cengeng. Karena itu tidak boleh menangis dan berlindung kepada ibu masing-masing." </div><div style="text-align: justify;">Terdengar suara tertawa tertahan di antara para penonton. Namun karena mereka melihat Temunggul tertawa, akhirnya suara tertawa itu pun meledak. </div><div style="text-align: justify;">Suara tertawa di seputar arena terasa seperti percikan bara api di telinga Bramanti. Tetapi sekali lagi mencoba menahan hatinya. </div><div style="text-align: justify;">"Kalau aku membuat kesalahan, aku akan di usir dari Kademangan ini. Aku akan kehilangan tanah kelahiran yang tercinta ini, dan ibupun akan semakin menderita," katanya di dalam hati. Karena itu maka ia telah berjuang untuk mengambil suatu keputusan, bahwa ia tidak akan melawan. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian maka Temunggul telah melangkah surut sambil berkata, "Aku akan menghitung sampai tiga. Kemudian kalian akan mulai dengan pertandingan itu. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian terdengar Temunggul mulai menyebut urutan bilangan itu. "Satu, dua, tiga." </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 028</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">BERBARENG dengan terkatubnya mulut Temunggul, terdengarlah cambuk Suwela meledak sehingga Bramanti terkejut karenanya dan meloncat selangkah surut. </div><div style="text-align: justify;">Sikap Bramanti itu telah meledakkan tawa sekali lagi di seputar arena. Namun kali ini hati Bramanti tidak lagi menjadi panas, karena justru ia telah menemukan keputusan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"He, jangan lari," desis Suwela sambil melangkah maju, sedang Bramanti terus-menerus bergeser mundur, melingkar dan kemudian meloncat. </div><div style="text-align: justify;">Suwela tertawa, dibarengi oleh suara tertawa orang-orang yang melihat pertunjukan itu. </div><div style="text-align: justify;">""Aku akan mulai Bramanti," berkata Suwela. "Terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menyahut. Tetapi tangannya menjadi gemetar dan ujung cambuknya diseretnya di atas tanah yang berdebu. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi agaknya Suwela benar-benar akan mulai. Di angkatnya tangkai cambuknya, kemudian sekali lagi menggelepar di udara sambil melontarkan bunyi yang memekakkan telinga. Meskipun ujung cambuk itu belum menyentuh tubuhnya, namun Bramanti telah mengerutkan keningnya. </div><div style="text-align: justify;">Dan tiba-tiba saja cambuk itu menggelepar sekali lagi di susul oleh suara keluhan terdengar. Bramanti meloncat beberapa langkah mundur sambil menyeringai kesakitan. Seleret jalur merah telah membekas ditengkuknya. </div><div style="text-align: justify;">"He anak Pruwita, kenapa kau menangis he?" </div><div style="text-align: justify;">"Ayo, lawanlah Suwela," teriak yang lain. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menggigit bibirnya sambil meraba jalur merah ditubuhnya itu. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi Suwela seolah-olah tidak tahu, bahwa Bramanti sedang menyeringai kesakitan. Perlahan-lahan ia melangkah mendekat sambil menggerak-gerakkan tangkai cambuknya. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menjadi semakin terdesak mundur. Tetapi pada suatu saat ia tidak dapat mundur lagi. Bahkan beberapa anak-anak muda yang berdiri di seputar arena itulah mendorongnya maju. </div><div style="text-align: justify;">Pada saat Bramanti sedang terhuyung-huyung karena dorongan anak-anak muda di belakangnya sambil menyorakinya, sekali lagi cambuk Suwela meledak. Kini punggung Bramantilah yang merasa disengat oleh ribuan lebah. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi agaknya Suwela masih belum puas. Sesaat kemudian terdengar cambuk itu terdengar Bramanti berteriak kesakitan. </div><div style="text-align: justify;">Sekali lagi Suwela tertawa terbahak-bahak dibarengi oleh orang-orang yang menonton diseputar arena. </div><div style="text-align: justify;">"Ayo anak Pruwita. Kalau kau ingin membalas dendam, sekarang adalah saat yang paling baik. Ayah-ayah kami ingin melihat, apakah anak Pruwita mampu berbuat seperti ayahnya." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengerutkan tubuhnya sambil merintih kesakitan. Tiba-tiba dilemparkannya cambuknya sambil berkata, "Aku minta ampun." </div><div style="text-align: justify;">Sekali lagi suara tertawa meledak seolah-olah memanggil bunyi puluhan guruh yang meledak bersama-sama. Anak-anak berteriak-teriak memanggil nama Bramanti, sedang orang-orang tua memalingkan wajahnya sambil meludah ditanah. Inilah anak Pruwita itu. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi agaknya Suwela masih belum puas. Ia meloncat sekali lagi mendekat. Tetapi ketika tangannya terangkat, maka terdengar Ki Jagabaya berteriak, "He, kau gila Suwela. Anak itu sudah melepas senjata." </div><div style="text-align: justify;">"Ia menjadi takut," desis Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">Namun Ki Jagabaya berteriak lagi, "Menurut ketentuan, apabila salah satu pihak telah melepaskan senjata, itu berarti ia telah mengakui kekalahan. Pertandingan tidak perlu diteruskan. </div><div style="text-align: justify;">"Tetapi ini bukan penjajakan dalam rangka pendadaran. Kali ini kami ingin mengajari Bramanti untuk menjadi seorang laki-laki. Anak laki-laki Candi Sari. Itu saja." </div><div style="text-align: justify;">"Tetapi itu sudah keterlaluan. Itu sama sekali bukan mengajari. Yang dilakukan oleh Suwela adala penyiksaan tanpa perikemanusiaan." </div><div style="text-align: justify;">"Bukan maksud kami Ki Jagabaya," sahut Suwela.</div><div style="text-align: justify;">"Apa, apa kau bilang? Kau berani membantah he anak manis?" </div><div style="text-align: justify;">Suwela mengerutkan keningnya. Di pandanginya wajah Ki Demang yang justru tersenyum. Kemudian katanya, "Sudahlah Ki Jagabaya. Jangan marah. Tetapi kau benar, bahwa perkelahian harus dihentikan." Lalu katanya kepada Tumenggung, "Sudahlah. Aku berharap bahwa Bramanti akan dapat menjadi seorang anak laki-laki dari Kademangan Candi Sari." </div><div style="text-align: justify;">"Nah," berkata Temunggul kemudian, "Apakah kau masih bermaksud untuk menjadi anggota pengawal Kademangan ini?" </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. </div><div style="text-align: justify;">"Renungkan apa yang kau lihat hari ini," berkata Temunggul. "Mungkin suatu ketika kau ingin menjadi pengawal seperti Suwela dan Panjang." </div><div style="text-align: justify;">Kata-kata Temunggul itu disambut oleh suatu tertawa gemuruh. Beberapa anak-anak muda yang lain berteriak-teriak tidak menentu. Sedangkan Bramanti masih saja menundukkan kepalanya. </div><div style="text-align: justify;">"Pergilah," berkata Temunggul kemudian. Bramanti tidak menunggu Temunggul mengucapkannya untuk kedua kalinya. Dengan tergesa-gesa ia menyeret kakinya tertatih-tatih keluar arena.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 029</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">KETIKA ia telah berada di antara para penonton, ia menarik nafas dalam-dalam. Ia terkejut ketika seorang laki-laki agak kekurus-kurusan menggamitnya. Ketika ia memandanginya wajah laki-laki itu, ia mendengar orang itu bergumam, "Sakit." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk, jawabnya, "Ya paman." </div><div style="text-align: justify;">"Kau masih ingat aku?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sekali lagi Bramanti mengangguk, "Masih paman." </div><div style="text-align: justify;">"Aku dulu tidak sekurus sekarang ketika aku menjadi pembantu ayahmu." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. </div><div style="text-align: justify;">"Sebaiknya kau pulang saja. Anak-anak memang dapat berbuat aneh-aneh terhadapmu." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk, "Ya paman. Tetapi aku akan mendengarkan hasil pendadaran kedua anak-anak muda itu." </div><div style="text-align: justify;">Laki-laki yang tinggi kekurus-kurusan itu mengangguk. Katanya, "Mereka belum akan diterima hari ini. Biasanya masih ada yang harus mereka lakukan." </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menyahut. Kini dilihatnya Temunggul berdiri di tengah arena sambil menengadahkan dadanya. Sejenak kemudian ia berkata, "Pendadaran tingkat pertama telah selesai. Keduanya telah dapat mengatasinya. Untuk seterusnya kami selalu menunggu kawan-kawan yang sedang tumbuh." Temunggul berhenti sejenak, "Dan kamipun akan selalu menunggu kawan kami yang telah lama sekali meninggalkan kampung halaman, Bramanti yang telah menyatakan keinginannya, bahwa pada suatu ketika ia akan dapat diterima menjadi pengawal Kademangan." </div><div style="text-align: justify;">Ketika Temunggul berhenti sejenak dan tersenyum aneh, maka anak-anak muda yang lain pun bersorak pula. Sedangkan Bramanti berdiri menyudut, dibelakang orang-orang lain. Namun orang-orang itupun berpaling kepadanya sambil tersenyum pahit. </div><div style="text-align: justify;">"Kita akan sampai pada pendadaran tingkat kedua," berkata Temunggul seterusnya, "Tetapi kita tidak akan mempergunakan kuda liar lagi. Kita akan mengambil cara yang bermanfaat bagi kita sekarang ini." </div><div style="text-align: justify;">Temunggul itu berhenti pula sesaat. Dipandanginya wajah-wajah Suwela dan Panjang yang menegang. </div><div style="text-align: justify;">"Kalian berdua," berkata Temunggul kemudian, “Diberi kesempatan sepekan lamanya untuk menangkap harimau yang sering mengganggu Kademangan ini. Harimau itu pasti harimau tua yang sudah tidak mampu lagi mencari makanan di hutan-hutan sebelah. Nah, apabila kalian berhasil, maka kalian dengan resmi akan diterima menjadi pengawal Kademangan ini. Kalian boleh membawa senjata apa saja yang kallian kehendaki untuk memburu harimau itu." Temunggul berhenti pula sejenak, lalu, "Tetapi seandainya harimau itu tidak muncul lagi, maka kalian boleh menukarnya dengan harimau yang mana saja. Asal dalam waktu sepekan ini." </div><div style="text-align: justify;">Suwela dan Panjang saling berpandangan sejenak. Wajah mereka menjadi tegang. Namun kemudian mereka berdua mengangguk-anggukkan kepala mereka. </div><div style="text-align: justify;">"Apa kalian sangup melakukannya?" bertanya Temunggul. </div><div style="text-align: justify;">"Tentu," jawab Suwela. "Aku akan menangkap harimau itu bersama Panjang. Harimau yang manapun juga." </div><div style="text-align: justify;">"Bagus," berkata Temunggul. "Sekarang kita sudah selesai." </div><div style="text-align: justify;">Maka bubarlah mereka yang mengerumuni arena. Bramantipun dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu,supaya tidak timbul persoalan-persoalan yang lain lagi, yang dapat membuatnya bertambah pening. </div><div style="text-align: justify;">Ketika ia memasuki regol halaman rumahnya, ibunya telah berdiri di ambang pintu pringgitan. Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan serta merta ia bertanya, "Bukankah tidak terjadi sesuatu atasmu Bramanti?" </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tersenyum. Jawabnya, "Tidak ibu. Aku hanya menonton saja." </div><div style="text-align: justify;">"Oh," ibunya mendesah. "Syukurlah. Aku selalu dibayangi oleh kecemasan tentang kau. Aku melihat sikap anak-anak yang tidak begitu baik terhadapmu."</div><div style="text-align: justify;">"Aku berusaha menyesuaikan diri ibu. Aku tidak mendekati mereka. Aku melihatnya dari kejauhan, di antara orang-orang tua, perempuan dan kanak-kanak." </div><div style="text-align: justify;">Ibunya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, "Bagaimana dengan kedua anak-anak muda yang ikut dalam pendadaran itu?" </div><div style="text-align: justify;">"Suwela dan Panjang, yang kedua-duanya cukup baik untuk menjadi anggota pengawal. "Bramanti berhenti sejenak, kemudian, "Tetapi justru itulah yang mengherankan. Ternyata disini ada beberapa orang yang memiliki kemampuan yang cukup. Namun tidak seorangpun yang berani melawan Panembahan Sekar Jagat. Apalagi ikut serta dalam pergolakan yang terjadi antara Pajang dan Mataram. </div><div style="text-align: justify;">"O, jangan berbicara tentang itu lagi Bramanti," potong ibunya, "Berbicaralah tentang halaman ini, tentang rumah ini dan tentang Kademangan ini." </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">No. 030</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Aku juga sedang berbicara tentang Kademangan ini ibu. Bukankah masalah Panembahan Sekar Jagat itu juga masalah Kademangan ini, dan masalah Pajang dan Mataram itu juga akan menyangkut langsung Kademangan ini? Apakah kita akan berpangku tangan selagi Mas Ngabehi Loring Pasar berusaha membangun suatu pemerintahan yang akan dapat memperbaharui wajah kerajaan Pajang yang sudah mulai suram karena solah Hadiwijaya yang agak sisip saat terakhir.” </div><div style="text-align: justify;">“Oh,” ibunya berdesah. “Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu. Tidak seorang pun dari Kademangan ini yang melibatkan diri dalam persoalan yang tidak dimengertinya".</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ya, itulah yang membuat kita semua disini menjadi kerdil.” </div><div style="text-align: justify;">“Bramanti,” desis ibunya kemudian. “Sebaiknya kaupun tidak perlu ikut melibatkan diri dalam persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan kita disini.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menjawab, tetapi sorot matanya membayangkan gejolak hatinya sehingga ibunya berkata, “Kau pasti akan pergi lagi dari rumah ini.” </div><div style="text-align: justify;">Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa tidak ada gunanya lagi berbantah dengan ibunya. Ibunya adalah salah seorang yang pendiriannya dapat lepas dari pendirian kebanyakan orang di Kademangan ini, meskipun ibunya seakan-akan terpencil. </div><div style="text-align: justify;">“Apakah kau mengerti maksudku Bramanti,” bertanya ibunya. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya bu. Aku mengerti.” </div><div style="text-align: justify;">“Bagus. Dengan demikian kau tidak akan pergi lagi dari rumah ini.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti terdiam. </div><div style="text-align: justify;">“Apapun yang terjadi di dunia di luar dunia kita biarlah itu terjadi. Kita tidak perlu ikut mencampurinya. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menjawab. Kepalanya masih saja mengangguk-angguk meskipun dadanya bergolak. Ia merasa bahwa masalah yang di-katakannya itu adalah masalah yang asing bagi ibunya. </div><div style="text-align: justify;">Ketika ibunya kemudian pergi ke dapur, maka Bramanti itupun turun pula ke halaman. Pengamatannya yang pendek atas kampung halamannya telah menumbuhkan banyak persoalan di dalam dirinya. Sekali-kali dirabanya jalur-jalur merah di tubuhnya. Untunglah bahwa ibunya tidak melihatnya, sehingga perempuan tua itu tidak mempersoalkannya. “Sampai kapan aku dapat menahan diri menghadapi semua persoalan semacam ini,” desisnya. “Pada suatu saat aku tidak akan dapat menahan hati lagi.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menjadi cemas sendiri. Apa yang dialaminya benar-benar membuat hatinya terlampau pedih. “Mungkin tidak ada seorang pun yang akan bersedia menerima hinaan serupa ini,” katanya kepada diri sendiri, sehingga Bramanti sendiri kadang-kadang menjadi ragu-ragu, apakah yang dilakukan itu sudah tepat. “Setiap orang pasti akan mentertawakan aku. Dan apakah memang demikian yang dimaksud oleh guru?” Pertanyaan serupa itu selalu saja mengganggunya. Namun akhirnya diletakkannya alasan yang selalu memperkuat sikapnya. </div><div style="text-align: justify;">“Tidak setiap orang berada dalam keadaan yang pahit seperti aku. Tidak semua orang mempunyai seorang ayah seperti ayahku. Agaknya itulah yang membuat aku lain dari orang-orang lain.” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">BERSAMBUNG...</div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-3772298579252536622011-08-14T05:05:00.001-07:002011-08-14T05:08:41.162-07:00TANAH WARISAN_011-020<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiK1bOBsi1SNhIG2GDT9Qynv4gDVyNmPttHQFn-1BG5XPLi0FTXr8_IwjEYWjyfsHdgSV2SBmQWLo743h60-_Xj7sQ5SyWb3lfkWxEHr_j1G20a7JPyUr6R0IG2P3KZ6MfjO2LtKNqvQ/s1600/TANAH+WARISAN.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 193px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiK1bOBsi1SNhIG2GDT9Qynv4gDVyNmPttHQFn-1BG5XPLi0FTXr8_IwjEYWjyfsHdgSV2SBmQWLo743h60-_Xj7sQ5SyWb3lfkWxEHr_j1G20a7JPyUr6R0IG2P3KZ6MfjO2LtKNqvQ/s320/TANAH+WARISAN.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640682228099003778" /></a><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >No. 011</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belum lagi Bramanti selesai bicara, seorang anak muda yang berkulit kekuning-kuningan, bermata tajam dan berwajah tampan menarik tangannya kemudian mendorongnya, "Ayo, kita pergi ke Ki Demang." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti terdorong beberapa langkah ke depan. Ketika ia berpaling, maka terdengar ia berdesis. "Kau Temunggul." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hem," anak muda itu menggeram, "kau masih ingat kepadaku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tentu. Aku dapat ingat hampir setiap anak disini." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau ingat peristiwa yang telah terjadi?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Nah, karena itulah, maka kami akan menangkapmu. Jangan mencoba melawan. Ayo, berjalanlah sendiri tanpa kami dorong-dorong. Bukankah kau masih ingat jalan ke Kademangan?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti memandang sekeliling. Disambarnya setiap wajah dengan sorot matanya. Kemudian dipandanginya wajah ibunya yang kecemasan. "Tenanglah ibu," berkata Bramanti. "Aku percaya bahwa orang-orang Kademangan Candi Sari adala orang yang baik, yang dapat membedakan antara yang jahat dan yang lurus. Karena itu, ibu jangan cemas tentang diriku. Aku akan segera kembali." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan wajah yang suram ibunya mengangguk. Namun tampaklah betapa ia menyandang kecemasan di dalam hatinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ayo pergi," sentak anak muda yang bernama Temunggul. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti tidak menjawab. Dengan kepala tunduk ia pun kemudian berjalan diiringi oleh beberapa orang dan anak-anak muda yang di antaranya membawa senjata di tangan mereka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di Kademangan, ternyata beberapa orang telah bersedia menerimanya. Selain Ki Demang sendiri, beberapa orang perabot yang lain telah hadir pula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika mereka melihat Bramanti memasuki halaman, maka sejenak mereka saling berpandangan. Kemudian, Ki Jagabaya yang bertubuh tinggi besar dan bermata tajam, berdiri dan melangkah perlahan-lahan menuruni tangga pendapa. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hem," ia menggeram dalam nada yang berat, "Kau Bramanti." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menundukkan kepalanya, "Ya Ki Jagabaya". "Naiklah. Ki Demang menunggumu." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti pun kemudian naik ke pendapa dan duduk di atas sehelai tikar pandan yang kasar, menghadap Ki Demang yang duduk sambil memilin kumisnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tidak ingin Kademangan ini menjadi kisruh," tiba-tiba terdengar suara Ki Demang berat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti tidak segera menjawab. Kepalanya masih menunduk dalam. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tahu, ayahmu mati terbunuh di Kademangan ini," berkata Ki Demang kemudian. "Setelah kau hilang beberapa tahun, maka tiba-tiba kau datang lagi. Seorang telah melihatmu dan melaporkannya kepadaku." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan serupa telah didengarnya lagi. Dendam. Orang-orang Kademangan ini pasti akan bertanya dan bahkan menuduhnya, bahwa ia menyimpan dendam di dalam hatinya. Bahwa kedatangannya itu telah didorong oleh perasaan dendamnya atas kematian ayahnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untuk kesekian kalinya ia terpaksa menjawab. Jawaban serupa pula. Seperti yang dikatakannya kepada ibunya, kepada orang-orang yang datang ke rumahnya. Dan kini kepada mereka yang berada di Kademangan itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata di antara sekian banyak orang, hanya ibunyalah yang dapat mempercayainya dengan tulus. Hampir setiap orang memandangnya dengan penuh curiga, seolah-olah ia adalah orang yang paling jahat yang pernah ditangkap oleh orang-orang Kademangan itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bahkan Ki Demang pun menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Kau bercerita tentang sesuatu yang tidak kau mengerti sendiri. Karena itu, maka ceriteramu seperti ceritera mimpi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti pun tidak menjawab. Apalagi yang dapat dikatakan, apabila orang-orang itu bersikap mutlak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Atau," tiba-tiba Ki Jagabaya menyambung. "Kau termasuk salah seorang dari murid-murid orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti terkejut mendengar pertanyaan itu sehingga kepalanya menengadah, memandang wajah Ki Jagabaya yang tegang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jawablah," desak Ki Jagabaya. "Sekar Jagat baru saja mengirimkan orang-orangnya kemari untuk memeras. Mereka seakan-akan tahu pasti, siapa-siapa yang memiliki benda-benda berharga disini. Apakah kau termasuk petugas sandinya yang harus menyelidiki Kademangan ini, dan kau mempergunakannya sebagai suatu cara untuk membalas sakit hatimu." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dahi Bramanti berkerut ketika diingatnya orang berkuda yang dijumpainya di pinggir Kademangan ini, pada saat ia datang. Namun ia tidak segera bertanya. Dan didengarnya Ki Jagabaya berkata terus, "Karena kau tidak mampu melakukan balas dendam itu sendiri, maka kau telah memperguakan cara yang kotor itu." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti tidak segera menjawab. Kini kembali kepalanya menunduk. Di cobanya untuk mengingat-ingat, berapa orang dan siapa sajakah mereka yang telah menyebut dirinya murid-murid Panembahan Sekar Jagat itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi Bramanti terkejut ketika tiba-tiba sebuah tangan yang kasar telah merenggut bajunya, "Ayo, katakan tentang dirimu." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika sekali lagi Bramanti mengangkat wajahnya, maka dilihatnya wajah Ki Jagabaya yang menyeramkan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bukankah kau angota dari perampok itu?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tergagap Bramanti menjadwab, "Tidak Ki Jagabaya. Sama sekali tidak." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >No. 012</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Lebih baik kau mengaku,” Ki Jagabaya mengguncang baju Bramanti, sehingga anak muda itu ikut terguncang pula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tidak Ki Jagabaya. Aku tidak mengenal Panembahan Sekar Jagat.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Jangan bohong,” ternyata Ki Demang pun membentaknya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tidak Ki Demang. Aku berkata sebenarnya. Aku baru saja datang dari jauh. Kalau yang Ki Demang maksudkan orang-orang berkuda, maka aku memang menjumpai mereka itu di pinggir Kademangan ini.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Aku tidak bertanya tentang orang-orang berkuda itu. Kami di sini melihat sampai jemu. Bahkan di antara kami dipaksa untuk menyerahkan harta benda kami. Yang ingin kami ketahui, apakah kau termasuk dalam lingkungan mereka?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tidak. Aku bersumpah,” jawab Bramanti. “Tetapi katanya kemudian, “Apakah Ki Demang tidak berhasil menangkap mereka.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Apa kau bilang? Menangkap?” Ki Jagabaya berteriak, “Apa kau kira kami terlampau bodoh untuk menyerahkan leher kami karena sepotong benda yang kami anggap berharga.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tetapi mereka hanya beberapa orang saja. Sedang aku lihat beberapa kuatnya kemampuan setiap laki-laki di Kademangan ini. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Apakah kau ingin menjebak kami he?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Sama sekali tidak Ki Jagabaya.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Apa kau kira, aku tidak ada kekuatan lain kecuali mereka yang datang kemari itu? Kau kira kami akan dapat melawan seandainya Panembahan Sekar Jagat itu marah dan turun ke Kademangan ini untuk menghukum kami?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Siapa Panembahan Sekar Jagat itu?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Pertanyaan yang bodoh. Tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Kenapa kita tidak berani melawannya? Kita belum pernah mengenalnya. Dari siapa kita tahu, bahwa kita tidak akan dapat melawan kekuatan mereka. Apalagi kita mempertahankan hak kita sendiri.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ki Jagabaya tidak segera menyahut. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah Ki Demang yang tegang. Namun sejenak kemudian Ki Demang itu berkata, “Kau mengigau. Yang ingin kami ketahui, apakah kau salah seorang dari mereka?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tidak Ki Demang.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Dan kau datang benar-benar tidak akan membuat onar Kademangan yang sedang dicengkam ketakutan ini?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tidak Ki Demang. Aku tidak akan berani melakukan.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Setelah memandangi setiap wajah yang ada di pendapa Kademangan itu, maka kemudian ia berkata, “Aku akan memberi kau kesempatan. Tetapi apabila kau membuat onar, maka kami tidak akan mengampuninya. Supaya kau tidak akan dapat mengganggu kami lagi untuk seterusnya, maka hukuman yang akan kami berikan adalah hukuman yang seberat-beratnya.” Ki Demang berhenti sejenak, lalu, “Nah kau boleh pulang. Tetapi ingat, jangan berbuat sesuatu yang dapat mengantarmu ke lubang kubur. Kami tidak segan-segan bertindak terhadap siapapun yang melanggar tata tertib kehidupan di Kademangan ini. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk dalam-dalam ia berkata, “Terima kasih Ki Demang. Aku akan mencoba mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Aku akan membuktikan, bahwa aku tidak mempunyai maksud sama sekali untuk mempersoalkan lagi apa yang telah terjadi. Apalagi menuntut balas. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Aku tidak perlu mendengar igauan itu. Aku hanya ingin melihat apa yang akan kau lakukan di sini. Sekarang pergilah.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Terima kasih Ki Demang. Aku minta diri.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ki Demang menganggukkan kepalanya dengan acuh tak acuh. Ia sama sekali tidak memperhatikan lagi ketika Bramanti melangkah surut, kemudian berdiri meninggalkan pertemuan yang mendebarkan itu. Setelah memandang berkeliling, menembus kesuraman malam, maka ia pun segera turun ke halaman. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan-lahan ia berjalan menyeberangi halaman yang luas. Sekali-kali ia berpaling. Dilihatnya, di pendapa para pemimpin kademangan masih duduk melingkari lampu minyak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa sadar tiba-tiba dadanya berdesir ketika dilihatnya beberapa anak-anak muda berdiri di regol halaman Kademangan. Setiap mata mereka memandanginya dengan tajamnya. Seolah-olah ingin melihat langsung ke pusat jantungnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di bawah cahaya lampu di regol yang kemerah-merahan Bramanti melihat Tumenggul berdiri bertolak pinggang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu kenapa sikap Temunggul itu kini sangat menyinggung perasaannya. Temenggul adalah kawan bermain yang baik di masa kanak-kanak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Langkah Bramanti pun menjadi semakin lambat. Tetapi ia tidak berhenti. Dengan dada berdebar-debar ia maju semakin dekat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Mungkin aku terlampau berprasangka.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >No. 013</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu, maka Bramanti pun melangkah terus. Berjalan di antara anak-anak muda yang berdiri tanpa beranjak sejengkal dari tempatnya. Sedang Bramanti pun sama sekali tidak berpaling pula. Bahkan kepalanya semakin menunduk ketika ia melangkah di depan Temunggul yang bertolak pinggang itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti tidak sempat berbuat apapun juga, ketika hal itu terjadi dengan tiba-tiba. Ia merasa tangan Temunggul mendorong punggungnya. Sedang kakinya disilangkannya di hadapannya. Dengan demikian, maka Bramanti itu pun terdorong ke depan, namun karena kakinya terkait, maka ia pun terbanting jatuh tertelungkup. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti masih mendengar anak-anak muda di regol itu serentak tertawa berkepanjangan. Beberapa di antara mereka tidak dapat menahan air matanya yang membasahi pelupuk. Yang lain lagi terpaksa memegangi perutnya yang berguncang-guncang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ayo cepat, cepat bangun anak manis,” terdengar Temunggul berdesis. “Ayo bangunlah, meskipun belum pagi.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Sebagai seorang anak muda maka darahnya segera mendidih. Namun kemudian dikenangnya kata-kata gurunya dan bahkan ibunya. “Jangan mendendam ngger.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tetapi ini bukan soal dendam,” katanya di dalam hati. “Aku telah dihinanya. Apakah aku akan tetap menundukkan kepala saja.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Yang kemudian diingatnya adalah kata-kata Ki Demang. “Tetapi apabila kau berbuat sesuatu yang menyakitkan hati kami, apalagi membuat onar, maka kami tidak akan mengampunimu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menggigit bibirnya untuk menahan hatinya yang bergolak. Suara tertawa anak-anak muda di sekitarnya masih terdengar. Dan Temunggul masih juga berkata, “Ayo bangun anak manis.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti bangkit perlahan-lahan bertelekan pada kedua tangannya. Kemudian ia berdiri pula pada lututnya. Sekilas dipandanginya anak-anak muda yang berdiri di sekitarnya. Mereka bergembira karena mereka merasa mendapat permainan yang mengasyikkan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika terpandang wajah-wajah anak-anak muda itu, maka ia berkata di dalam hatinya. “Anak-anak itu juga. Anak-anak yang kini seolah-olah menjadi liar? Kalau ayahku terbunuh karena ayahku dianggap oleh orang-orang Kademangan ini sebagai seorang yang liar, seharusnya akulah yang menjadi liar melampaui ayah dan melampaui keliaran anak-anak muda itu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi sekali lagi ia seolah-olah mendengar kata-kata gurunya. “Ayahmu memang bersalah. Karena itu jangan kau selusuri jalan hidupnya. Kau harus mencari jalan sendiri. Jalan yang baik. Kau harus membuktikan, bahwa tidak selalu tabiat orang tua yang kurang baik itu dapat menurun kepada anaknya. Dengan jalan itulah kau berbakti kepada orang tuamu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun sekali lagi dadanya bergolak. “Tetapi ini adalah soal yang lain. Aku dihinanya tanpa sebab.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belum lagi ia menemukan jalan yang akan ditempuhnya, terasa punggungnya terdorong oleh telapak kaki sambil didengarnya lagi suara Temunggul, “He, apakah kau masih terlampau lelah.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Sekali lagi Bramanti terdorong jatuh tertelungkup. Wajahnya yang basah oleh keringat, menyentuh tanah berdebu, sehingga menjadi keputih-putihan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Oleh cahaya pelita, wajahnya menjadi tampak terlampau acuh, sehingga anak-anak muda disekitarnya tertawa semakin keras lagi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti tidak dapat lagi menahan hatinya. Betapa pun ia mengingat segala macam nasehat, tetapi darah mudanya telah mendidih sampai ke ubun-ubun. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun sebelum ia berbuat sesuatu, didengarnyalah suara keras di antara anak-anak muda itu. “He, siapa yang berbuat ini?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak-anak muda itu saling berpandangan. Suara tertawa mereka telah lenyap ditelan kecemasannya melihat wajah yang berdiri di antara mereka dengan marahnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Kalian selalu membuat kisruh saja.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti kemudian mengangat wajahnya. Ditatapnya orang yang sedang marah-marah itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ki Jagabaya,” desisnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan-lahan ia pun segera bangkit. Sambil membenahi pakaiannya ia berdiri termangu-mangu melihat sikap Ki Jagabaya itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Kenapa kalian lakukan hal itu? Ki Jagabaya membentak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak-anak muda itu menundukkan kepalanya. Tidak seorang pun yang berani memandang wajah yang seram dan kemerah-merahan karena merah dan karena cahaya pelita yang jatuh di atas garis-garis yang keras di wajah itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi anak-anak muda itu mengangkat wajah-wajah mereka ketika mereka mendengar suara yang lain, “Biar sajalah Ki Jagabaya. Begitulah adat anak-anak muda. Bukankah kita berbuat seperti itu pula ketika masih seumur dengan mereka.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata suara itu adalah suara Ki Demang Candi Sari. Dan Ki Demang berkata seterusnya, “Suatu cara perkenalan yang bai bagi Bramanti. Ia harus berusaha menyesuaikan dirinya di sini.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Aku mengenalnya sejak kanak-kanak,” sahut Temunggul. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“O. Kalau begitu kau bertemu dengan sahabat lama? Pantaslah kalau kau dapat bergurau begitu meriah.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak-anak muda itu kini mulai tertawa. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tetapi perbuatan itu sudah keterlaluan,” geram Ki Jagabaya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ki Demang tertawa. Katanya kemudian, “Pulanglah Bramanti. Jangan kamu pikirkan lagi apa yang terjadi. Setelah lama kalian tidak saling bertemu, maka anak-anak itu merasa kangen bergurau dengan kau lagi.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >No. 014</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >BRAMANTI tidak segera beranjak dari tempatnya. Ditatapnya saja wajah Ki Demang dan Ki Jagabaya berganti-ganti. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi dadanya berdesir ketika ia mendengar Ki Demang berkata, “Tidak ada tempat bagi anak-anak cengeng di Kademangan Candi Sari. Jangan menangis. Pulanglah dan lainkali, bersikaplah seperti seorang laki-laki.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekali lagi jantung Bramanti serasa tergores oleh sembilu. Tetapi dihadapan Ki Demang dan Ki Jagabaya ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab kalau ia menuruti perasaannya, maka akibatnya pasti akan berkepanjangan. Melawan Ki Demang dan Ki Jagabaya berarti melawan seluruh Kademangan Candi Sari. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“He, kenapa kau berdiri saja membatu,” terdengar Ki Jagabaya membentak, sehingga Bramanti terperanjat karenanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ayo pergi, cepat, pergi,” Ki Jagabaya berteriak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menganggukkan kepalanya sambil berkata. “Aku minta diri.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Baik Ki Jagabaya maupun Ki demang tidak menjawab. Anak-anak muda yang berdiri di regol itu pun tidak mentertawakannya lagi meskipun ia terkejut mendengar bentakan Ki Jagabaya sehingga ia hampir terlonjak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti itu pun kemudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan regol Kademangan. Sekali-kali ia berpaling. Dilihatnya di bawah cahaya pelita di regol halaman, anak-anak muda itu masih saja berada ditempatnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Aneh,” Bramanti berdesis. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebenarnya bagi Bramanti sikap Ki Jagabaya dan Ki Demang merupakan sikap yang aneh. Ki Jagabaya meskipun bersikap kasar, namun terasa kelurusannya. Ia bersikap kasar dan keras terhadap siapapun. Terhadap dirinya, tetapi juga terhadap siapapun. Terhadap dirinya, tetapi juga terhadap anak-anak muda itu. Berbeda dengan Ki Demang. Meskipun Ki Demang tidak sekasar Ki Jagabaya, namun terasa dalam sikapnya, bahwa ia kurang jujur menghadapi persoalan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Sebuah bahan yang harus aku ingat-ingat,” gumamnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sementara itu kaki Bramanti melangkah terus menyusuri jalan-jalan desa. Jalan-jalan yang pernah dikenalnya dengan baik beberapa waktu yang lampau semasa ia masih kanak-kanak. Di jalan-jalan inilah ia dahulu berlari-lari berkejaran. Bermain sembunyi-sembunyian. Bermain hantu-hantuan dan di halaman rumahnya yang luas itulah anak-anak bermain nini Towok. Terutama anak-anak perempuan, sementara anak-anak laki-laki bermain kejar-kejaran. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi semuanya telah berubah sama sekali. Tidak seperti jalan yang dilampauinya itu. Jalan ini seolah-olah masih jalan yang dahulu, tanpa perubahan sama sekali. Pohon nyamplung di pinggir sungai, pohon cangkring dan pohon gayam yang berdiri berjajar, pohon randu alas di samping kuburan dan pohon pucang berjajar empat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia berkata, “Aku ternyata harus berusaha menyesuaikan diriku. Sikap anak-anak Candi Sari sekarang adalah sikap yang tidak menyenangkan.” Namun kemudian tumbuh pertanyaan di dalam hatinya, “Tetapi kenapa tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu atas orang-orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi Bramanti tidak dapat menemukan jawabannya. Untuk sementara ia menganggap bahwa sikap orang-orang berkuda yang menjadi kepercayaan Panembahan Sekar Jagat itu terlampau menakutkan bagi orang-orang Candi Sari, sehingga kesannya terhadap Panembahan Sekar Jagat menjadi terlampau berlebih-lebihan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sambil merenung Bramanti melangkah terus. Dilaluinya regol demi regol. Semakin lama semakin jauh dari halaman Kademangan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang berdesir di balik dinding batu di tepi jalan. Telinganya yang tajam segera mengenal, agaknya seorang telah mengikutinya dengan diam-diam. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Siapa orang itu,” ia bertanya di dalam hatinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun Bramanti tidak berhenti. Ia pura-pura tidak mengetahuinya. Bahkan langkahnya semakin dipercepatnya. Dengan demikian, maka ia akan segera memancing orang itu untuk segera melakukan maksudnya apabila memang itulah yang dimaksudkannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata usahanya itu berhasil. Ketika Bramanti lewat ditikungan, disebelah halaman yang kosong dan gelap, maka meloncatlah sesosok tubuh langsung berdiri dihadapannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti terkejut, bukan karena kehadiran itu dengan tiba-tiba, tetapi ia terkejut setelah ia mengenal orang itu. Temunggul. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Hem,” ia berdesah di dalam hatinya. “Apakah anak itu masih saja akan membuat persoalan.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti terpaksa menghentikan langkahnya karena Temunggul berdiri bertolak pinggang di tengah jalan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Hem, kau beruntung hari ini Bramanti,” terdengar Temunggul berdesis. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti tidak segera mengerti maksud kata-kata itu. Karena itu, maka untuk sejenak ia berdiam diri. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena Bramanti tidak menjawab, maka Temunggul berkata lebih lanjut, “Seandainya Ki Jagabaya tidak ikut campur, maka kau akan tahu, bahwa kedatanganmu sama sekali tidak kami sukai. Dan kau akan tahu, seandainya kau ingin melepaskan dendammu, maka kau tidak akan mendapat kesempatan sama sekali.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti masih tetap membatu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Sayang,” berkata Temunggul selanjutnya, “Ki Jagabaya yang kasar itu telah menyelamatkanmu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti masih belum menyahut. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Nah,” berkata Temunggul pula, “Seperti kau berjanji kepada Ki Demang, maka kau pun harus berjanji kepadaku.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >--------------------------------------------------------------------------------</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >percayaan Panembahan Sekar Jagat itu terlampau menakutkan bagi orang-orang Candi Sari, sehingga kesannya terhadap Panembahan Sekar Jagat menjadi terlampau berlebih-lebihan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sambil merenung Bramanti melangkah terus. Dilaluinya regol demi regol. Semakin lama semakin jauh dari halaman Kademangan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang berdesir di balik dinding batu di tepi jalan. Telinganya yang tajam segera mengenal, agaknya seorang telah mengikutinya dengan diam-diam. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >--------------------------------------------------------------------------------</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >No. 015</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >BRAMANTI mengerutkan keningnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ayo, berjanjilah. Kalau tidak, maka kau kini tidak akan dapat mengharapkan bantuan siapapun juga.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Apakah yang harus aku janjikan?” bertanya Bramanti. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Berjanjilah, bahwa kau tidak akan berhubungan dengan Ratri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti terperanjat mendengar permintaan itu. Sejenak ia terbungkam. Namun dalam pada itu, segera ia mengetahui, bahwa inilah sumber persoalannya, kenapa Temunggul bersikap demikian kasar terhadapnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Berjanjilah,” geram Temunggul. Terasa bahwa di dalam nada kata-katanya itu tersimpan sebuah ancaman. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Aku tidak mempunyai sangkut paut apapun dengan Ratri,” jawab Bramanti. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Bohong,” potong Temunggul. “Pada saat kau menginjakkan kakimu kembali di Kademangan ini, yang pertama-tama kau temui adalah Ratri. Jangan bohong. Aku melihat sendiri apa yang telah terjadi itu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Itu hanya suatu kebetulan saja. Aku melihat Ratri berjalan beberapa langkah daripadaku. Bahkan Ratri sendiri sudah tidak dapat mengenal aku lagi.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Memang. Mungkin Ratri sudah tidak mengenalmu dan sama sekali tidak mengharapkan pertemuan ini. Tetapi agaknya kaulah yang dengan sengaja menemuinya.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menggeleng. “Tidak, Aku sama sekali tidak sengaja.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Aku melihat sorot matamu, ketika kau menatap wajah Ratri.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Sudah kira-kira sepuluh tahun aku tidak bertemu dengan anak itu. Perpisahan itu terjadi ketika kami masih kanak-kanak. Di dalam diri kami sama sekali tidak tersangkut perasaan apapun di dalam usia kami saat itu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tetapi sekarang kau adalah seorang anak muda yang gagah. Tanggapanmu terhadap anak-anak perempuan yang masih kanak-kanak pada saat kau tinggalkan pasti mengalami perubahan pula.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tetapi aku belum siap untuk menilai seseorang karena aku baru saja melihatnya saat itu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Mungkin kau benar. Tetapi aku minta kau berjanji, bahwa untuk seterusnya kau tidak akan mengganggu Ratri.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti termenung sejenak. Sebenarnya ia sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap anak perempuan itu. Namun justru karena permintaan Temunggul itu, ia mulai membayangkan, wajah gadis yang bernama Ratri itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ia memang cantik,” katanya di dalam hati. “Mungkin ia bakal istri Temunggul. Tetapi sikap Temunggul itu memang agak keterlaluan.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Barjanjilah,” Temunggul mendesaknya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti kemudian menganggukkan kepalanya. Ia tidak melihat kemungkinan lain daripada memenuhi permintaan itu supaya tidak terjadi keributan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Baik,” katanya, “Aku tidak akan mengganggunya sama sekali.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ingat-ingatlah janjimu itu,” suara Temunggul menjadi berat. “Jangan mencoba mengelabuhi aku. Sikapmu akan selalu ku awasi. Bukan saja soal Ratri, tetapi juga soal-soal lain yang menyangkut ketentraman Kademangan ini.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Aku sama sekali tidak berkeberatan,” sahut Bramanti. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Berkeberatan atau tidak, kau tidak wenang memilih. Kau harus menerima keadaan ini. Kau akan diawasi. Aku memberitahukan hal itu kepadamu. Aku sama sekali tidak minta pertimbanganmu, apalagi minta ijinmu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, begitulah,” katanya. “Bukan maksudku untuk menyatakan hal itu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Nah, untuk sementara aku percaya kepadamu. Tatapi apabila kau ingkar akan janji itu, maka kau akan menyesal untuk sepanjang umurmu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekali lagi Bramanti mengangguk. “Baiklah.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Sekarang pergilah. Pulanglah ke rumahmu yang hampir roboh itu. Lebih baik bagimu untuk mengurusi rumah itu. Kau dapat menenggelamkan waktumu dengan memperbaikinya.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ya aku akan berbuat demikian.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Baik. Kita akan melihat perkembangan keadaan. Keadaan Kademangan ini dan keadaanmu sendiri. Sekarang pergilah.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti itu mengangguk. Kemudian dilanjutkannya langkahnya, menyusuri jalan-jalan pedesaan pulang kerumahnya. Namun pertemuannya dengan Temunggul itu telah memberikan jawaban, meskipun baru sebagian kenapa Temunggul bersikap terlampau kasar kepadanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >No. 016</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >BRAMANTI itu mengangguk. Kemudian dilanjutkannya langkahnya, menyusuri jalan-jalan pedesaan pulang kerumahnya. Namun pertemuannya dengan Temunggul itu telah memberikan jawaban, meskipun baru sebagian kenapa Temunggul bersikap terlampau kasar kepadanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau saja tidak terjadi sesuatu dengan ayahku,” katanya di dalam hati. “Maka aku tidak akan tersudut dalam kesulitan serupa ini. Segala langkahku pasti akan diseret kepada persoalan ayah. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Persoalan dendam dan segala macam. Meskipun soal yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan soal dendam dan kematian ayah, misalnya soal Ratri, namun bagiku, seolah-olah lubang itu telah disediakan. Dendam, menuntut balas, dengki, bikin onar dan bahkan akan ditarik garis lurus menuju ke gerombolan Panembahan Sekar Jagat.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti mengeluh di dalam hati. Tetapi terngiang lagi kata-kata gurunya. “Kaulah yang akan dapat menebus segala cacat orang tuamu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Itu adalah caraku untuk berbakti kepada orang tuaku,” desisnya. Dan Bramanti pun bersyukur, bahwa ia masih mampu mengendalikan dirinya meskipun ia mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika ia kemudian mengetuk pintu rumahnya, terdengar suaranya ibunya, “Siapa?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Aku ibu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Oh,” kemudian terdengar langkah kecil tersuruk-suruk menuju ke pintu. Sejenak kemudian terdengar gerik selarak terbuka dan pintu pun segera menganga. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Kau baik-baik saja bukan?” pertanyaan itulah yang pertama-tama diucapkan oleh ibunya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti melangkah masuk. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Baik bu. Tidak ada apa-apa yang terjadi.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tetapi,” ibunya mengerutkan keningnya sambil mengamat-amati wajah Bramanti yang kotor. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Oh,” Bramanti segera mengerti, bahwa ibunya melihat debu yang melekat diwajahnya ketika ia jatuh terjerembab, karena kakinya menyentuh kaki Temunggul. “Aku terperosok di tempat sampah itu. Aku tidak melihatnya.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi ibunya menjadi heran, “Dimana ada tempat sampah itu?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Oh, maksudku pawuhan itu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ya, dimana pawuhan itu?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Di Kademangan,” jawab Bramanti sekenanya. “Tetapi sudahlah. Aku tidak apa-apa. Aku hanya menjadi kotor sedikit.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ibunya menganggukkan kepalanya. Meskipun ia belum puas terhadap jawaban anaknya itu, tetapi ia tidak bertanya lagi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Aku merebus air lagi Bramanti. Minumlah.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Oh, terima kasih. Ibu menjadi lelah.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tidak. Aku tidak menjadi lelah. Aku sudah terlampau biasa bekerja apapun. Bahkan membelah kayu dan mengambil air untuk mengisi genthong di dapur.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayanglah betapa berat hidup ibunya seorang diri. Seorang perempuan tua yang harus mengambil air sendiri, membelah kayu, mengisi lampu-lampu minyak dan kadang-kadang mengambil dedaunan dan buah-buahan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Hem,” Bramanti menarik nafas dalam-dalam. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Tidurlah bu,” berkata anak muda itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Apakah kau belum akan tidur?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti mengangguk, “Ya, aku pun akan tidur. Besok aku akan mulai memperbaiki rumah ini.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perempuan tua itu pun kemudian pergi ke pembaringannya dan memberikan sehelai tikar pandan yang sudah kekuning-kuningan kepada anaknya. “Disitulah kau nanti tidur.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Baik bu. Aku dapat tidur dimana saja. Aku dapat tidur di atas tikar, dilantai tanpa alas, bahkan aku dapat tidur di pepohonan.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ah,” ibunya tidak menyahut selain berdesah perlahan-lahan, kemudian ditinggalkannya Bramanti yang sedang membentangkan tikar dan kemudian berbaring di atasnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun, karena pikirannya yang ngelambrang, maka Bramanti tidak dapat segera tidur. Berbagai angan-angan hilir mudik di kepalanya, diselingi oleh segala macam kenangan dalam warna yang berbeda-beda. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu mengerinyitkan alisnya ketika ia mendengar ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya. Tanpa sesadarnya ia berdesis. “Fajar.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi Bramanti pura-pura memejamkan matanya ketika kemudian ibunya terbangun. Perempuan tua itu berjalan tertatih-tatih menuju ke dapur dengan lampu ditangannya. Sejenak kemudian perapian pun telah menyala. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Hem, kasihan,” setiap kali Bramanti itu berdesis. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti bangkit dari pembaringannya ketika matahari mulai mewarnai langit dengan sinarnya yang kemerah-merahan. Perlahan-lahan ia pergi keluar, menuruni pendapa rumahnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat lebih jelas lagi, betapa halamannya telah menjadi seperti hutan yang liar. Rumpun-rumpun bambu yang lebat, pohon perdu yang tersebar di segala sudut. Pepohonan yang menjalar dan sejenis ubi-ubian yang rimbun. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Semua itu telah mendorong Bramanti untuk melepaskan bajunya. Dicarinya cangkul dan parang yang masih tersisa di rumahnya itu. Dengan langkah yang pasti, maka mulailah ia membersihkan halaman rumahnya. Mula-mula dibersihkannya rerumputan liar di muka tangga pendapanya. Kemudian sebelah menyebelah sebelum ia mulai menjamah perdu yang tersebar di mana-mana. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika ibunya menjengukkan kepalanya dari pintu dapur, maka perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat anaknya bekerja dengan sepenuh hati. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Minumlah dahulu Bramanti,” berkata ibunya dari ambang pintu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >No. 017</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >BRAMANTI berhenti sejenak sambil berpaling memandangi ibunya, “Terima kasih,” jawabnya, “Sebentar lagi. Nanti aku akan masuk dan minum. Sekarang aku ingin membersihkan halaman ini dulu sebelum aku memanjat ke atas atap nanti setelah embun menjadi kering.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Jangan terlampau memeras tenagamu Bramanti. Waktu masih cukup panjang. Kau dapat mulai dengan bagian-bagian yang kecil selagi kau belum sembuh dari kelelahanmu setelah berjalan sekian lamanya.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ya ibu. Tetapi aku tidak lelah.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ibunya tidak menyahut lagi. Diawasinya sejenak Bramanti yang sudah mulai bekerja lagi. Namun kemudian ditinggalkannya anak muda itu masuk ke dalam. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Demikianlah Bramanti telah mulai berbuat sesuatu untuk halaman dan rumahnya. Tidak hanya halamannya, tetapi kemudian dijamahnya juga rumahnya. Bagian demi bagian dilihatnya, apa saja yang harus digantinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di hari berikutnya Bramanti telah menebang berpuluh batang bambu. Kemudian dibersihkannya ranting-rantingnya dan diikatnya menjadi beberapa ikat. Dipanggulnya bambu-bambu itu ke sungai disebelah desanya dan dibenamkannya ke dalam air. Bambu yang demikian akan menjadi bahan perumahan yang sangat baik. Sementara ia menunggu sampai setahun, maka diperbaikinya rumahnya untuk sementara dengan bambu-bambu yang baru saja ditebangnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan rajinnya Bramanti bekerja dari pagi sampai petang dihari-hari berikutnya. Dicarinya ijuk dilereng-lereng pegunungan. Kamudian dibersihkannya tepasnya dan dijemurnya sebelum dipasang sebagai penyulam atas rumahnya yang berlubang-lubang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada pekan ketiga setelah Bramanti ada di rumahnya, halaman rumah itu telah mulai tampak bersih. Pagar-pagar petamanan telah mulai dianyam, sedang pagar-pagar batu halamannya pun telah dibersihkannya dari lumut-lumut yang hijau. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Regol halamannya kini sudah tidak miring lagi, meskipun beberapa bagian hanya disulamnya dengan bambu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Kau membuat rumah ini hidup kembali Bramanti,” desis ibunya disuatu petang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Kuwajibanku ibu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dan kuwajiban itu dilakukannya setiap hari. Sedikit demi sedikit bagian-bagian rumahnya telah menjadi baik kembali, meskipun belum pulih seperti ketika ayahnya masih seorang yang kaya raya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun karena itu, karena ia tenggelam dalam kesibukannya, ia tidak banyak keluar dari halaman rumahnya kecuali membawa bambu ke sungai, mencari ijuk dan sekali-kali mencari ikan untuk melepaskan ketegangan kerjanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Barangkali hal ini lebih baik bagiku untuk sementara,” katanya di dalam hatinya. “Dengan demikian aku akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dapat mendorong aku ke dalam kesulitan.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kadang-kadang, apabila kawan-kawannya bermain semasa kanak-kanak lewat di lorong di depan rumahnya, ia mencoba menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Tetapi hanya satu dua saja dari mereka yang membalas anggukan kepala itu. Bahkan ada di antara mereka yang pura-pura tidak melihatnya meskipun ia berdiri di depan regol halamannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Meskipun demikian Bramanti tidak jemu-jemunya. Tidak saja menganggukkan kepala, pada saat berikutnya, diberanikannya dirinya menegor satu dua di antara mereka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata ada juga yang menjawab tegoran itu meskipun hanya sepatah dua patah kata. Tetapi bagi Bramanti, semuanya itu merupakan harapan baik baginya dimasa mendatang. Ia merasa bahwa pada saatnya ia akan menemukan tempatnya kembali di dalam pergaulan anak-anak muda di Kademangan ini. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun ketika pada suatu pagi ia berdiri di regol halaman, dadanya tiba-tiba berdesir. ia tidak mendapat kesempatan lagi untuk menghindar, ketika tanpa disadarinya, di antara beberapa orang gadis yang membawa cucian ke sungai, terdapat seorang yang harus dijauhinya, Ratri. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Hem,” katanya di dalam hati. “Pertemuan ini kurang menguntungkan bagiku.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi ia tidak dapat menghindar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika gadis-gadis itu lewat dimuka regol rumahnya, dan ia mencoba menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, agaknya tidak seorang pun yang memperhatikannya, kecuali Ratri. Agaknya gadis-gadis itu telah mendengar dari kawan-kawan mereka, bahwa anak-anak muda Candi Sari tidak menyenangi kehadiran Bramanti. Sehingga dengan demikian, mereka pun tidak mau berhubungan dengan anak muda yang telah sekian lamanya hilang dari pergaulan mereka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ratri yang berjalan di paling belakang menganggukkan kepalanya pula. Meskipun hanya itu, hanya mengangguk, namun dada Bramanti telah menjadi berdebar-debar karenanya. Anggukan kepala itu telah cukup menjadi alasan bagi Temunggul untuk membuat persoalan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Temunggul terlampau cemburu,” katanya di dalam hati. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa sesadarnya tiba-tiba Bramanti mengangkat wajahnya mengikuti langkah Ratri. Sekali ia berdesis. “Hem, gadis ittu memang cantik. Pantaslah kalau Temunggul takut kehilangan.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramantipun kemudian melangkah masuk halaman, sambil berkata kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan tidak seorang pun yang melihatnya. Dan dengan demikian tidak akan ada persoalan yang dapat mengungkat kebencian Temunggul kepadaku.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Meskipun demikian pertemuan yang tidak disengajanya itu telah membuatnya gelisah. Bukan ia tidak dapat menjawab ketika ia bertanya kepada diri sendiri. “Kenapa gadis itu mengambil jalan ini? Bukan kebiasaan mereka melalui jalan ini menuju ke bendungan.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >No. 018</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >PERTANYAAN itu ternyata telah mengganggunya. Ia menganggap hal itu tidak wajar. Karena itu, maka Bramanti tidak dapat menahan hati lagi untuk mencari jawab atas pertanyaan itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pinggir desa menyusuri jalan yang memanjang di pinggir parit induk pedesaannya. Jalan itulah yang biasanya dilalui oleh gadis-gadis itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Oh,” Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata beberapa bagian dari jalan itu menjadi longsor.” Inilah agaknya sebabnya. Sukurlah, kalau tidak ada sebab yang lain.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menjadi berlega hati. Tidak ada alasan untuk menjadi heran, kenapa gadis-gadis itu lewat jalan di depan rumahnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi, ternyata sesuatu masih juga menyangkut dihatinya. Pertemuannya yang tidak disengaja dengan Ratri itu telah menumbuhkan persoalan di dalam dirinya. Sebenarnya ia tidak akan banyak menaruh perhatian atas gadis itu seperti atas gadis-gadis yang lain. Namun karena ancaman Temunggul, justru ia selalu berusaha mengenang wajah itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ratri,” ia berdesis. “Mungkin Ratri itu akan menjadi isteri Temunggul kelak. Mungkin mereka berdua telah berjanji dan mungkin orang tua mereka telah sepakat pula.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dan tanpa sesadarnya itu bergumam, “Beruntunglah Temunggul itu. Ia akan mendapat seorang isteri yang cantik, ramah dan agaknya mempunyai kelainan dari kawan-kawannya yang angkuh.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia sudah berada di rumahnya kembali, maka tanpa disadarinya ia selalu mengharap agar gadis-gadis itu lewat jalan itu juga, apabila mereka nanti kembali setelah mencuci. Karena itu, ketika ibunya memanggilnya untuk makan, Bramanti menjawab, “Nanti sebentar ibu. Kerja ini hampir selesai.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi Bramanti tidak melakukan apa-apa. Ia hanya sekadar meraut bambu yang telah dibelahnya untuk gapit dinding bambu di bagian dapur rumahnya. Tetapi bambu itu sebenarnya telah cukup halus. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba Bramanti menjadi gelisah. Setiap kali ia mengangkat wajahnya, memandang ke jalan di depan rumah itu. Tetapi ia tidak seorang pun yang lewat. Kalau sekali-kali ia mendengar desir langkah seseorang, kemudian diamatinya lewar regolnya yang terbuka, maka yang lewat adalah satu dua orang yang dengan tergesa-gesa pergi ke sawah mengantar makan dan minum. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Apakah mereka tidak pulang,” Bramanti itu bergumam sambil menengadahkan wajahnya memandang matahari yang semakin hampir sampai ke puncak langit. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya Bramanti itu pun menggeliat sambil berdiri. Agaknya harapannya untuk melihat sekali lagi wajah Ratri hari ini, tidak akan terpenuhi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi baru saja ia melangkah meninggalkan kerjanya, tiba-tiba ia mendengar suara tertawa. Suara gadis-gadis yang sedang bergurau. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Itukah mereka,” desis Bramanti. Tiba-tiba saja ia menjadi gelisah. Ia tidak dapat menghindarkan diri dari suatu keinginan untuk melihat gadis-gadis itu lewat. Tetapi ia tidak dapat dengan sengaja keluar regol untuk menunggu mereka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Karena itu, maka Bramanti itu pun menjadi gelisah. Ia berjalan saja hilir mudik tanpa tujuan. Sekali-kali ia berdiri di muka regol masih di dalam halaman, namun kemudian ia melangkah pergi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam kebingungan itu tiba-tiba Bramanti meraih parangnya. Dengan cekatan ia memanjat sebatang pohon kelapa. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Aku dapat pura-pura memetik buah kepala,” desisnya. Namun Bramanti itu kemudian terse-nyum sendiri. “Siapakah yang akan bertanya kepadaku, kenapa aku memanjat pohon kelapa?” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untunglah, bahwa ketika ia mencapai pertengahan pohon kelapa itu, dan melihat gadis yang berjalan sambil bergurau, mereka sama sekali tidak memperhatikannya. Tidak seorang pun dari mereka yang melihat, bahwa ia tengah memanjat semakin tinggi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika Bramanti itu sudah sampai ke puncaknya, dan kemudian duduk di atas pelepah, hatinya menjadi agak tenang. Dari tempatnya ia dapat melihat gadis yang sedang berjalan semakin dekat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dari tempatnya Bramanti melihat dengan jelas gadis-gadis baru pulang dari bendungan sambil menjinjing bakul cucian. Mereka bergurau sambil berdesa-desakan, dorong-mendorong dan ganggu-mengganggu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Agaknya yang menjadi pusat perhatian gadis-gadis itu adalah Ratri. Kawan-kawannya menggelinginginya. Ketika salah seorang berpaling tertawa, maka tanpa disengaja, mata Ratripun mengikuti arah pandangnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Hem,” Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata beberapa langkah di belakangnya, Temunggul berjalan bersama tiga orang kawan-kawannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekali lagi dada Bramanti berdesir. Ia tidak tahu, kenapa ia menjadi tidak senang melihatnya. Melihat gadis-gadis dan kawan Ratri mengganggunya, dan sekali-kali mereka berpaling ke arah Temunggul. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Ah,” Bramanti berdesah, “Mereka benar-benar telah mengikat diri. Kawannya pun telah mengetahuinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menarik nafas. Tanpa disadarinya, ditatapnya wajah Ratri yang sedang tersipu-sipu. Semburat warna merah di wajah itu, membuat Ratri menjadi semakin cantik. Sekali-kali gadis itu terpekik apabila salah seorang kawannya mencubitnya. Kemudian ia berlari-lari kecil mendahului. Tetapi beberapa orang kawannya mengejarnya dan menarik kain panjangnya sambil berkata, “Tunggu aku Ratri. Tunggu.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Bukan kami yang ditungguinya,” salah seorang dari gadis-gadis itu menyahut. “Tetapi itulah. Burung bangau tonthong yang telah menolong mencuci periuk sampai mengkilat seperti emas.” </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >No. 019</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"AH," Ratri berdesah. Ia mencoba berjalan semakin cepat. Tetapi langkahnya selalu tertahan-tahan. Kawan-kawannya masih saja memegangi kainnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika pada suatu ketika Ratri dapat melepaskan diri, maka segera ia berlari menghambur mendahului kawan-kawannya sambil berkata, "Jangan ganggu. Aku tidak mau."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Yang terdengar adalah gelak tawa gadis-gadis itu, sehingga beberapa orang yang tinggal disebelah menyebelah jalan itu, menjengukkan kepala mereka dari pintu-pintu rumahnya, termasuk ibu Bramanti. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ada apa he?", bertanya seorang perempuan setengah tua yang berpapasan dengan gadis-gadis itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bertanyalah kepada Ratri bibi," jawab salah seorang dari mereka sambil tertawa. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ah kau," perempuan itu pun tersenyum ketika ia melihat Temunggul bersama kawan-kawannya tersembul dari tikungan. "Itulah sebabnya." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"He, darimana bibi tahu?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perempuan tua itu mengerutkan keningnya. "Bukankah anakku kawan bermain Ratri dan kawan bermain kalian? Baru kali ini ia tidak keluar rumah karena sakit perut." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"O," gadis-gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, pasti ia bercerita kepada bibi." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya. Kepadaku, kepada ayahnya, kepada adik-adiknya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dan mereka masing-masing pun bercerita pula bukan bibi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tentu, tentu." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Gadis-gadis itu tertawa. Perempuan tua itu pun tertawa pula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sst," desis salah seorang gadis itu. "Itu dia. Nanti ia marah." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mana mungkin ia marah. Ia mengharap kita mengganggunya terus. Semakin sering, semakin menyenangkan hatinya." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tetapi Ratri telah lari mendahului kita." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Anak itu malu mengakuinya." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekali lagi terdengar mereka tertawa bergelak-gelak. Sehingga perempuan setengah tua itu berdesis. "Sst, tidak pantas gadis-gadis tertawa sampai memperlihatkan giginya. Apalagi di jalan seperti kalian sekarang. Ayo. Cepat pulang. Tertawalah di dalam bilik masing-masing. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah bibi tidak pernah tertawa selagi masih gadis?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tentu pernah, tetapi tanpa memperlihatkan gigi." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sst, itu. Ia akan melampaui kita." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba gadis itu berhenti tertawa. Mereka tidak beranjak dari tempat mereka. Meskipun mereka berpura-pura tidak melihat Temunggul dan kawan-kawannya, tetapi mereka menahan tertawa mereka di dalam mulut. Sedang perempuan setengah tua itu telah meneruskan perjalanannya pergi ke sawah mengantar makan dan minum bagi suaminya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa kalian berhenti?" bertanya Temunggul. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jangan kau cari disini," sahut salah seorang gadis-gadis itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Uh, kau masih pura-pura bertanya?" sahut yang lain. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tidak tahu. Siapakah yang kalian maksud itu?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Keleting Kuning. Kenapa Ande-Ande Lumut masih juga bertanya?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ah," desis Temunggul. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi sebelum ia sempat berkata lebih lanjut, tiba-tiba mereka terkejut ketika beberapa butir kelapa berjatuhan hampir bersamaan. Dengan serta merta Temunggul, kawan-kawannya dan gadis-gadis itu menengadahkan kepalanya. Merekapun kemudian melihat Bramanti masih berada di puncak pohon kelapa di halaman rumahnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Agaknya Temunggul merasa terganggu. Wajahnya yang cerah tiba-tiba berkerut. Dengan nada datar ia bergumam, "Anak itu agaknya sudah gila." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa berpaling lagi ia melangkah memasuki regol halaman Bramanti. Dengan wajah yang buram ia berteriak, "He, Bramanti. Apakah kau sudah menjadi gila?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti tidak menyahut. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Turun," teriak Temunggul. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Gadis-gadis menjadi ketakutan melihat sikap Temunggul. Maka merekapun segera meninggalkan tempat itu, pulang ke rumah masing-masing. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Turun," sekali lagi Temunggul berteriak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti kini menyadari. Ketika ia melihat gadis-gadis itu mengganggu Temunggul, tanpa diketahui sebab-sebabnya ia merasa terganggu pula. Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia memotong sejanjang buah kelapa yang masih belum tua benar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena Bramanti belum juga turun, dan tidak menjawab sepatah katapun, maka sekali lagi Temunggul berteriak lebih keras, "Turun, kau dengar. Atau aku akan merobohkan pohon kelapa ini." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hampir saja Bramanti menjawab tantangan itu. Tetapi untunglah, bahwa ia segera berhasil menahan dirinya. Karena itu, maka perlahan-lahan ia merayap turun. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >No. 020 </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >BELUM lagi Bramanti sampai di tanah, terdengar ibunya bertanya, "Angger Temunggul, kenapa dengan Bramanti?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Temunggul berpaling. Dilihatnya seorang perempuan tua dalam kecemasan. Namun ia sama sekali tidak mengacuhkannya lagi. Perhatiannya telah tercurah kepada Bramanti, yang menjadi semakin marah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"He, Bramanti. Apakah maksudmu dengan memanjat pohon kelapa itu he? Apakah kau sengaja mengejutkan aku?" </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menggeleng sareh. "Tidak Temunggul. Aku tidak mempunyai kesengajaan apapun untuk tujuan apapun."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kini Bramanti telah berdiri ditanah, berhadapan dengan Temunggul. Keduanya adalah anak-anak muda yang sedang mekar. Keduanya dahulu adalah kawan sepermainan yang akrab. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah kau berbuat demikian bukan sekadar untuk mengganggu gadis-gadis itu." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tidak begitu memperhatikannya," jawab Bramanti. "Dan aku tidak tahu, katakanlah tidak memperhatikan, bahwa ada beberapa orang gadis di jalan itu." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Gila kau," Temunggul berteriak, "Sekarang hati-hatilah apabila kau ingin berbuat sesuatu. Mungkin kelapamu itu dapat jatuh di atas kepala seseorang, kalau caramu demikian. Dimanapun juga tidak lazim memetik buah kelapa sejanjang sekaligus seperti yang kau lakukan itu." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tetapi aku tahu benar, bahwa pohon kelapa itu tidak berada di pinggir jalan Temunggul, sehingga dengan demikian buahnya tidak akan mungkin jatuh ke jalan itu." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Diam," bentak Temunggul. "Sekarang memang demikian. Kebetulan pohon kelapa itu tidak ada di pinggir jalan. Tetapi lain kali, dalam kegilaanmu, kau akan berbuat lain." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimana juga Bramanti adalah seorang anak muda. Karena itu, sebenarnya terlampau sulit baginya untuk menahan diri. Apalagi ketika ia melihat anak-anak muda kawan Temunggul berdiri berjajar di depan regol sambil bertolak pinggang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun sebelum ia menjawab terdengar suara ibunya. "Bramanti, mintalah maaf. Kau telah membuat suatu kesalahan." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dada Bramanti berdebar. Tetapi ketika dilihatnya wajah ibunya yang kecemasan, maka kemudian wajahnyapun tunduk. Dengan nada yang berat ia berkata, "Aku minta maaf Temunggul." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kali ini aku maafkan kau. Tetapi lain kali, aku akan berbuat sesuatu untuk menghajarmu." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Terima kasih ngger," terdengar suara perempuan tua yang ketakutan itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ditatapnya tubuh Bramanti dari ujung ubun-ubun sampai ke ujung dari kakinya. Sejenak kemudian terdengar Temunggul berdesis. "Tubuhmu sempurna Bramanti. Kalau kau tidak gila, kau dapat menjadi anggota anak-anak muda pengawal Kademangan ini." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau saja diperkenankan, aku akan senang sekali," jawab Bramanti. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tetapi anggota pengawal Kademangan seharusnya bukan laki-laki cengeng." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menarik nafas dalam-dalam, "Aku, akan mencoba." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tetapi penerimaan itu harus melalui pendadaran. Tidak setiap orang dapat diterima." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti tidak segera menyahut. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Nah, di dalam pendadaran itulah kita akan melihat, apakah seorang pantas untuk diterima menjadi anggota pengawal kademangan." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah aku juga diperkenankan Temunggul?" bertanya Bramanti kemudian. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau masih dalam pengawasan. Kalau kau ternyata tidak melanggar segala janji yang pernah kau ucapkan di muka Ki Demang dan kepadaku, maka kau akan mendapat kesempatan. Tetapi sebelum kau ikut dalam pendadaran, kau dapat melihatnya. Berapa hari lagi akan ada pendadaran serupa itu. Dua orang telah menyatakan keinginannya untuk menjadi anggota pengawal. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya bertanya, "Siapakah pemimpin anak-anak muda anggota pengawal di Kademangan ini." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku," jawab Temunggul sambil mengangkat dadanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bramanti menarik nafas dalam-dalam. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Nah, cobalah melihat pendadaran itu. Kalau kau merasa sanggup juga, dan ternyata bahwa kau tidak akan melenggar segala janjimu, maka kau akan diterima kembali dalam pergaulanmu di masa kanak-kanak. </span></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">BERSAMBUNG...</div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-50357548763061258392011-08-14T04:53:00.000-07:002011-08-14T05:05:07.426-07:00TANAH WARISAN_001 - 010<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwqrlhek4nTivITTcVkoilGQWTBH5ahNXi-a-PZ3RZclqFfenp_KODk4qHmlYhvnH7i1sQoDXR57OZRJUFC3jk38Q3VnH-PQ2GTGrkrT1GybRUIchUdI5UxUY5v9rRNeyNJr7mzf9OvA/s1600/TANAH+WARISAN.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 193px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwqrlhek4nTivITTcVkoilGQWTBH5ahNXi-a-PZ3RZclqFfenp_KODk4qHmlYhvnH7i1sQoDXR57OZRJUFC3jk38Q3VnH-PQ2GTGrkrT1GybRUIchUdI5UxUY5v9rRNeyNJr7mzf9OvA/s320/TANAH+WARISAN.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640681338695113298" /></a><div style="text-align: justify;"><b>TANAH WARISAN </b></div><div style="text-align: justify;"><b>Oleh SH Mintarja</b></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 001</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">AWAN yang kelabu mengalir dihanyutkan oleh angin yang kencang ke Utara. Segumpal bayangan yang kabur melintas di atas sebuah halaman rumah yang besar. Kemudian kembali sinar matahari memancar seolah-olah menghanguskan tanaman yang liar di atas halaman yang luas itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Seorang perempuan tua berjalan tertatih menuruni tangga pendapa rumahnya. Kemudian memungut beberapa batang kayu yang dijemurnya di halaman. Sekali-kali ia menggeliat sambil menekan punggungnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan telapak tangannya yang kisut dihapusnya keringat yang menitik di keningnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Hem," perempuan itu berdesah.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Kalau saja mereka masih ada di rumah ini." perempuan itu kini berdiri tegak. Ditengadahkan wajahnya kelangit, dan dilihatnya matahari yang telah melampaui di atas kepalanya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Keningnya berkerut ketika dilihatnya halaman rumahnya yang menjadi liar karena tidak terpelihara. Rumah besar yang kotor dan rusak. Kandang yang kosong dan lumbung yang hampir roboh.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kembali ia membungkukkan punggungnya, memungut beberapa batang kayu bakar yang dijemurnya di halaman. Ketika perempuan itu melihat seseorang berjalan di lorong depan regol halamannya, maka ia mencoba menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi orang itu memalingkan wajahnya, dan berjalan semakin cepat.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Hem," sekali lagi perempuan tua itu berdesah. Di pandanginya orang itu sampai hilang dibalik dinding halaman rumah sebelah. Sejenak kemudian dengan langkah yang berat perempuan itu melangkah masuk ke rumahnya yang kotor dan rusak, langsung pergi ke dapur.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perlahan-lahan ia berjongkok di depan perapian. Sebuah belanga berisi air terpanggang di atas api. Satu-satu dimasukannya batang-batang kayu bakar yang kering ke dalam lidah api yang menjilat-jilat. "Kalau anak-anak itu ada di rumah," sekali lagi ia berdesah. Seleret kenangan meloncat ke masa lampaunya. Kepada anak-anaknya. Dua orang anak laki-laki. Tetapi keduanya tidak ada disampingnya. Tetapi perempuan tua itu mencoba menerima nasibnya dengan tabah. Kesulitan demi kesulitan, penderitaan demi penderitaan lahir dan batin telah dilampauinya. Namun seolah-olah seperti sumber air yang tidak kering-keringnya. Terus menerus datang silih berganti.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Hukuman yang tidak ada habisnya," desahnya. Namun kemudian ia mencoba menempatkan dirinya untuk menerima segalanya dengan ikhlas.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Semua adalah akibat dari kesalahanku sendiri."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perempuan itu tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar langkah beberapa orang berlari-lari. Semakin lama semakin dekat. Perlahan-lahan ia berdesis. "Apakah mereka datang lagi?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ia bangkit berdiri ketika langkah-langkah itu semakin banyak berderap di jalan dimuka regol halaman bahkan ada di antaranya yang meloncat memotong melintasi halaman rumahnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Tidak ada gunanya mereka berlari-lari," gumam perempuan tua itu sambil melangkah ke pintu. Ketika kepalanya menjenguk keluar, dilihatnya beberapa orang yang terakhir melintas di bawah pohon-pohon liar dihalaman rumahnya. Sejenak kemudian perempuan tua itu mendengar derap beberapa ekor kuda mendatang. Semakin lama semakin dekat.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Mereka benar-benar datang," desisnya. Dan perempuan itu benar-benar melihat orang berkuda melintas cepat di jalan di muka rumahnya. Cepat-cepat perempuan tua itu menutup pintu rumahnya. Sambil menahan nafasnya ia bergumam.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Apalagi yang akan mereka lakukan di kademangan ini?" Dan ia tidak berani membayangkan, apa saja yang telah dilakukan oleh orang-orang berkuda itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, orang-orang berkuda itupun telah memasuki beberapa buah rumah sambil berteriak-teriak kasar. Seorang yang berkumis lebat dengan sebuah parang di tangan berteriak-teriak.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Ayo serahkan permintaanku sebulan yang lalu."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 002</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang berkumis lebat itu turun di sebuah halaman yang bersih dari sebuah rumah yang bagus. Beberapa orang kawannya pun turun pula sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Jangan sembunyi,” teriaknya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi pintu rumah itu masih tertutup rapat.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Buka pintunya,” ia berteriak lagi. “Kalau tidak, aku bakar rumah ini. Cepat.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perlahan-lahan pintu rumah itu terbuka. Seorang laki-laki tua menjengukkan kepalanya dengan tangan gemetar. “Ha, kau ada di rumah. Jangan mencoba bersembunyi ya?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Tidak,” jawabnya dengan suara yang bergetar aku tidak bersembunyi.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Tetapi kau tidak mau membuka pintu rumah ini.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Aku berada dibelakang.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Jangan banyak bicara. Sekarang serahkan permintaanku sebulan yang lalu.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Laki-laki tua itu terdiam sejenak. Tetapi tubuhnya yang gemetar menjadi semakin gemetar.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ayo jangan banyak tingkah.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Tetapi, tetapi,” suaranya tergagap. “Aku sudah menyerahkan pajak itu kepada Ki Demang yang akan membawanya ke Pajang bersama upeti yang lain.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Aku tidak bertanya tentang upeti. Kau jangan mengigau lagi tentang Pajang, Demak atau kerajaan iblis sekalipun. Dengar. Sekarang sengketa antara Pajang dan Mataram menjadi semakin tajam. Kedua pasukan berhadapan di daerah Prambanan. Mereka tidak akan sempat mengurus pajak dan upeti. Karena itu, maka tugas mereka itu pun telah kami ambil alih. Kalian tidak usah menyerahkan apapun lagi kepada Ki Demang, sebab ia tidak akan menyerahkannya kepada Sultan Hadiwijaya yang sedang sibuk berkelahi melawan puteranya sendiri itu. Yang berperang biarlah berperang. Aku ingin melakukan tugas-tugas yang lain. Misalnya memungut pajak.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang tua itu menjadi semakin gemetar. Kini orang berkumis itu telah berdiri didepannya. Ketika sekali tangannya disentakkan kemuka, orang tua itu terpelanting keluar.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Berlakulah agak sopan sedikit menerima tamu,” berkata orang berkumis itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tertatih-tatih orang tua itu mencoba berdiri. Kemudian katanya, “Tetapi, tetapi, semuanya telah terlanjur aku serahkan kepada Ki Demang.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Namun belum selesai ia berkata, tangan orang berkumis itu telah menarik leher bajunya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Apa kau bilang? Bukankah sebulan yang lalu aku telah berkata kepadamu, bahwa kau harus menyerahkannya kepadaku, kepada kami? Kepada Panembahan Sekar Jagat?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Tetapi, tetapi....... suaranya terputus ketika sebuah pukulan menyentuh pipinya yang telah berkerut. “Ampun, ampun,” teriaknya sambil tertatih-tatih. Sejenak kemudian laki-laki tua itu terbanting jatuh terlentang.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Berikan kepadaku seperti permintaanku. Kalau tidak, maka aku mengambilnya sendiri ke dalam rumahmu. Ingat, aku adalah Wanda Geni, utusan terpercaya Panembahan Sekar Jagat mengerti?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang tua itu kini telah mengigil. Matanya dibayangi oleh perasaan takut tiada terhingga.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Cepat,” teriak orang yang menamakan dirinya Wanda Geni.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Tetapi..........,” sekali lagi suaranya terpotong. Kini bukan saja ujung parang orang berkumis itu telah menyentuh dadanya. “Apakah kau masih akan berkeberatan.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang tua itu tidak dapat ingkar lagi. Kepalanya kemudian tertunduk lesu. Dengan suara gemetar ia menjawab. “Baiklah, aku akan menyerahkan apa yang masih ada padaku.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Bagus. Cepat. Aku masih banyak pekerjaan. Hari ini aku harus memasuki sepuluh pintu rumah.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang tua yang malang itu kemudian menyeret kakinya yang lemah masuk kedalam rumahnya diikuti oleh Wanda Geni. Beberapa orang kawannya tersebar dihalaman dengan senjata masing-masing siap ditangan mereka. Betapa pun beratnya, orang tua itu terpaksa menyerahkan sebuah pendok emas yang selama ini disimpannya baik-baik. Tetapi ia masih lebih sayang kepada umurnya yang tinggal sedikit daripada kepada pendok emas itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ini adalah satu-satunya miliknya yang paling berharga,” berkata orang tua itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Wanda Geni tertawa. Suaranya berkepanjangan seolah-olah menelusur atas. Katanya, “Kau sangka aku dapat mempercayaimu? Kau sangka aku tidak tahu bahwa kau menyimpan pula pendok emas yang lain, yang justru kau tretes dengan intan dan berlian. Kemudian sebuah timang emas bermata berlian pula? Kau sangka aku tidak tahu, bahwa kau telah berhasil memeras orang-orang melarat disekitar ini dengan segala macam cara? Huh, jangan mencoba membohongi aku. Kau tahu, bahwa orang-orangku sebagian adalah orang-orang Kademangan ini. Orang-orang yang mengerti betul, apa yang tersimpan disetiap rumah disini.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Laki-laki itu tidak menjawab. Ia merasa, bahwa lebih baik diam daripada membuat Wanda Geni itu marah.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Baiklah,” berkata Wanda Geni kemudian. “Aku akan minta diri. Kali ini aku sudah cukup dengan pendok emas ini.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No.003</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Laki-laki tua itu tidak menyahut. Kedipan matanya sajalah yang seolah-olah berteriak menyuruh orang-orang itu pergi segera dari rumahnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Jangan terlampau kikir." kata Wanda Geni kemudian.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Semua harta bendamu itu tidak akan dapat kau bawa mati. Bukankah umurmu sudah menjelang enampuluh lima tahun."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Laki-laki tua itu mengangguk.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Nah, seharusnya kau sudah tidak memikirkan harta benda lagi. Kau buang sajalah semua kekayaanmu, supaya tidak membuat jalanmu menjadi gelap."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sekali lagi Wanda Geni tertawa. Kemudian direbutnya pendok yang masih dipegang oleh laki-laki tua itu. Dengan suara menggelegar Wanda Geni kemudian berkata. "Baik-baiklah di rumah. Aku minta diri." Tanpa menunggu jawaban, orang berkumis itu segera melangkah keluar, turun kehalaman dan langsung meloncat ke punggung kudanya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian terdengarlah ledakan cambuk disusul dengan derap kuda menjauh. Tetapi kuda-kuda itu akan segera berhenti lagi, memasuki halaman rumah yang lain dan memeras penghuni-penghuninya sambil menakut-nakutinya dengan ujung parangnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sepeninggal orang-orang berkuda itu, barulah istri laki-laki tua yang kehilangan pendoknya bersama anak gadisnya berani keluar dari persembunyiannya. Dengan tubuh gemetar mereka bertanya, apa saja yang telah dibawa oleh orang- orang berkuda itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Syukurlah," berkata isterinya. "Kalau hanya sebuah pendok, kita akan merelakannya. Seribu kali rela." "Huh," potong laki-laki tua itu. "Aku menabung sejak aku masih muda."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Tetapi masih ada yang lain yang tinggal di rumah ini," berkata isterinya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Lihat, kelak mereka akan kembali dan kembali lagi. Semua kekayaan kita akan dikurasnya sampai habis."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Tetapi itu lebih baik daripada nyawa kita yang diambilnya."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Laki-laki tua itu menarik nafas dalam. "Tetapi ini tidak dapat berlangsung terus menerus," geramnya. "Lalu, apakah yang dapat kita lakukan? Apakah kita akan mengungsi saja?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Tidak ada tempat lagi di kolong langit ini. Orang-orang besar saling berebut kekuasaan, maka kita kehilangan perlindungan. Orang-orang yang merasa dirinya kuat, berbuat sewenang-wenang untuk kepentingan diri mereka sendiri. Seperti apa yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Laki-laki itu berhenti sejenak, lalu, "Sepanjang umurku baru sejak Pajang menjadi kisruh itulah aku mendengar nama Panembahan Sekar Jagat. Kalau keadaan tidak segera menjadi baik, maka akan timbul pula ditempat lain orang-orang serupa itu, yang dapat saja menyebut dirinya Ajang Sekar Langit, atau Kiai Ageng Sekar Langit atau apa saja."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Istri dan anak gadisnya tidak menyahut. Namun ketakutan yang sangat telah membayang di wajah mereka. Dengan suara tertahan-tahan isterinya berkata sekali lagi, "Kita mengungsi dari tempat ini. Kita mencari tempat yang paling aman. Kita akan dapat hidup tentram meskipun tidak sebaik ditempat ini."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Sudah aku katakan, tidak ada tempat yang baik saat di Bumi Pajang telah menjadi panas. Sebentar lagi Pajang akan meledak, dan Mataram akan menjadi bara yang terlampau panas. Semua tempat akan mengalami gangguan serupa. Tidak ada seorang prajuritpun yang sempat melindungi rakyatnya dari gangguan orang-orang gila macam Panembahan Sekar Jagat itu."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Isterinya tidak segera menyahut. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimanakah bentuk harapan suaminya itu. Karena itu, maka ia hanya dapat menundukkan kepalanya sambil memeluk anaknya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Sudahlah nyai," berkata laki-laki tua itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Sementara ini kita tidak akan diganggu lagi, sampai saatnya iblis itu datang dibulan depan. Aku kira mereka akan memerlukan sesuatu lagi dari padaku dan orang-orang lain yang dianggapnya cukup di Kademangan ini. Sekarang beristirahatlah. Berlakulah seperti biasa. Tidak ada apa-apa. Setidak-tidaknya untuk sebulan mendatang."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bersama anaknya mereka pergi ke ruang belakang.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Di serambi belakang beberapa orang pembantu dan pelayan, menggigil ketakutan tanpa dapat berbuat sesuatu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Demikianlah maka sepanjang hari itu, Wanda Geni memasuki beberapa rumah untuk mengambil apa saja yang dianggapnya berharga. Setelah kerja itu dianggapnya selesai, maka kuda-kuda mereka pun segera berderap pergi meninggalkan desa itu di dalam ketakutan dan kecemasan. Sepeninggal orang-orang berkuda itu, beberapa orang laki-laki yang bersembunyi bertebaran di gerumbul-gerumbul liar, saling bermunculan. Dengan tergesa-gesa mereka pulang ke rumah-rumah masing-masing. Mereka ingin segera tahu, apakah rumah-rumah mereka pun telah didatangi pula oleh Wanda Geni. Terutama yang merasa mempunyai simpanan sesuatu di dalam rumahnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No.04</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ketika orang-orang berkuda itu berpacu lewat dimuka regol rumah tua, tempat perempuan tua itu tinggal, terdengar salah seorang dari mereka sempat berteriak. "He Nyai Pruwita, kenapa kau tidak menyambut kedatangan kami?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perempuan tua, penghuni rumah yang kotor dan rusak, yang dipanggil Nyai Pruwita, menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak berani keluar dari rumahnya, meskipun ia tahu bahwa orang-orang berkuda itu tidak akan memasuki rumahnya karena tidak ada sesuatu yang akan dapat mereka ambil. Meskipun demikian, berita yang didengarnya sedikit-sedikit tentang orang-orang berkuda itu telah membuatnya menjadi ngeri.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Sebenarnya lebih baik bagiku untuk tidak melihat apa saja yang terjadi di Kademangan ini," desisnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi perempuan tua itu tidak dapat pergi dari rumahnya. Apapun yang terjadi di desa itu, apapun yang dialaminya, baik yang ditimbulkan oleh ketakutannya tentang orang-orang berkuda, maupun sikap orang-orang Kademangan itu sendiri tidak terlampau baik kepadanya, juga betapapun rumahnya telah menjadi onggokan kayu bakar yang tidak berarti, ia akan tetap tinggal di rumah itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Di halaman yang luas itu. Karena rumah itu adalah rumah peninggalan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tanah yang didiaminya itu adalah Tanah Warisan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Aku ingin mati di dalam rumah ini," desisnya setiap kali.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Meskipun seandainya aku akan tertimbun oleh atapnya yang roboh karena hujan atau angin."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Panggilan orang-orang berkuda itu ternyata telah menumbuhkan kebanggaannya kepada orang yang bernama Pruwita. Seorang laki-laki tampan, tegap dan berani. Tetapi laki-laki itu telah mati. Laki-laki itu di masa hidupnya adalah suaminya. Kemudian dikenangnya kedua anaknya laki-laki. Kedua anaknya telah pergi meninggalkannya ketika mereka masih terlampau muda. Bahkan masih kanak-kanak. Tanpa diketahuinya kemana mereka itu pergi.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kini, ia hidup sendiri menunggui sebuah halaman yang luas di rumah yang besar. Namun keadannya tidak lagi seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Rumah itu sudah tidak lagi memancarkan sesuatu, selain wajah perempuan tua yang cekung dan dalam. Tetapi meskipun perempuan yang bernama Nyai Pruwita itu, seakan-akan hidup terpisah dari orang-orang disekitarnya, namun ia dapat merasakan kegelisahan yang sangat telah membakar Kademangannya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang-orang yang paling penting, yang dianggapnya paling kuat diseluruh Kademangan, tidak berdaya untuk melindungi rakyatnya dari sentuhan jari-jari orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Demikianlah perempuan tua yang bernama Nyai Pruwita itu hidup terasing di dalam masyarakat yang sedang dibayangi oleh ketakutan, kengerian dan kecemasan. Sehingga dengan demikian, maka terasa hidupnya menjadi semakin sepi. Rumahnya yang besar dan halamannya yang luas menjadi semakin lama semakin suram. Tetapi tanah itu tidak akan ditinggalkannya, sampai maut merabanya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tanah warisan itu akan ditungguinya sampai akhir hayatnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Kalau saja, anak-anak itu ingat kembali kepada Tanah ini," katanya setiap kali di dalam hatinya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Mereka pasti akan datang. Mudah-mudahan umurku masih sempat melihat salah seorang atau bahkan kedua-duanya kembali ke rumah ini."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dan setiap kali perempuan itu berdoa sambil menyesali segala kesalahan yang pernah dilakukannya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dalam pada itu, orang-orang berkuda yang dipimpin oleh Wanda Geni telah menjadi semakin jauh dari Kademangan yang telah dijadikan korbannya. Kademangan Candi Sari.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan gembira mereka kembali kepada pimpinan tertinggi mereka yang menyebut dirinya Panembahan Sekar langit, karena mereka merasa bahwa perjalanan mereka kali ini cukup memberi harapan untuk mendapatkan kepercayaan yang lebih besar lagi dari Panembahan Sekar Jagat.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian, maka mereka tidak menaruh perhatian sama sekali ketika mereka melihat seseorang berdiri tegak di atas pematang sawah di pinggir jalan yang mereka lalui.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Hanya sekali Wanda Geni melihat seorang anak muda dengan pakaian yang kusut, memandang orang-orang berkuda itu dengan penuh keheranan. Selebihnya, anak muda itu tidak menarik sama sekali. Namun sebaliknya, orang-orang berkuda itulah yang telah menarik perhatian anak muda itu. Berbagai macam pertanyaan telah menyentuh dinding hatinya. Tetapi ia sama sekali tidak berbuat sesuatu selain memandanginya sampai hilang di belakang debu putih yang mengepul dari bawah kaki-kaki kuda mereka.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dipandanginya langit yang telah menjadi kemerah-merahan. Matahari telah menjadi semakin rendah di arah barat.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Kademangan itu hampir tidak berubah," desisnya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">005</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">TANPA sesadarnya anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam lagi. "Pohon preh itu adalah pohon kira-kira sepuluh tahun yang lampau."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk.Kemudian kakinya yang kotor oleh debu, mulai bergerak-gerak terayun selangkah mendekati padukuhan induk Kademangan Candi Sari. Tetapi anak muda itu tidak segera masuk ke dalam pedukuhan itu. Sejenak ia masih dibayangi oleh keragu-raguan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena itu, maka kemudian, sambil beristirahat ia ingin melihat, apakah ia masih berhak untuk memasuki desa itu kembali. Perlahan-lahan diletakkannya dirinya, duduk di bawah pohon preh disimpang tiga, beberapa patok dari desa yang terbentang dihadapannya. Diikutinya setiap gerak yang tertangkap oleh matanya. Anak-anak yang berlari sambil membawa binatang yang baru saja digembalakannya. Orang-orang tua yang pulang dari sawah, dan anak-anak muda yang kembali, setelah mereka bersembunyi digubug-gubug dipategalan mereka.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba dadanya berdesir ketika ia melihat seorang gadis lewat beberapa langkah didepannya sambil menjinjing sebuah wakul. Agaknya ia baru pulang dari sawahnya, memetik lembayung. Sekilas anak muda itu merasa bahwa ia pernah mengenal gadis itu. Tentu saja semasa kanak-kanak. Hampir sepuluh tahun yang lampau. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia berdiri dan melangkah mengikutinya. Dan hampir tanpa sesadarnya pula ia memanggil. "Ratri."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Gadis itu terkejut, sehingga langkahnya pun terhenti. Ketika ia berpaling dilihatnya seorang anak muda berdiri tegak dibelakangnya. Sejenak gadis yang bernama Ratri itu berdiri dengan tegangnya. Ia tidak segera dapat mengenal, siapakah yang telah memanggilnya itu. "Kau tentu saja tidak mengenal aku lagi bukan Ratri?," bertanya anak muda itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ratri mencoba mengingat-ingat. Namun akhirnya bibirnya yang tipis itu bergerak menyebut sebuah nama, "Panggiring."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi sekali lagi Ratri terkejut ketika ia melihat wajah itu benar-benar berkerut-kerut. Bahkan tampaklah bahwa anak muda itu menjadi kecewa. Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab, "Bukan Ratri. Aku bukan Panggiring anak setan itu."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Oh," Ratri menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, "Jadi kau, adiknya. Bramanti."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kepala anak muda itu terangguk lemah. Terdengar suaranya parau. "Ya, aku Bramanti."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Aku hampir tidak dapat mengenalmu lagi Bramanti," berkata Ratri sambil melangkah mendekat.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Kau sudah sedemikian besar dan gagah. Kemanakah kau selama ini? Kau dan kakakmu Panggiring telah hilang dari Pedukuhan kami lebih dari sepuluh tahun yang lampau. Wajahmu benar-benar mirip dengan wajah kakakmu. Dimana kita masih kanak-kanak, tidak terlampau sulit membedakan, yang manakah Panggiring dan yang manakah Bramanti, karena umurmu terpaut agak banyak dari kakakmu. Tetapi wajah itu sukar dibedakan kini."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Apakah kau pernah melihat Panggiring akhir-akhir ini?" bertanya Bramanti.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ratri menggeleng, "Tidak. Tetapi menurut bayangan angan-anganku, wajahnya tidak terpaut banyak dengan wajahmu. Apalagi kau tampak jauh lebih tua dari umurmu".</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya. Aku bekerja berat selama ini. Tetapi bukankah Panggiring pergi jauh lebih dahulu dari kepergianku."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ratri mengingat-ingat sebentar. Jawabannya kemudian. "Ya. Aku ingat sekarang. Panggiring memang pergi lebih dahulu dari padamu. Waktu itu aku masih terlampau kecil. Karena itulah maka aku tidak begitu ingat lagi akan wajah itu. Tetapi wajah itu benar-benar seperti wajahmu sekarang. Bahkan semasa kecil wajahmu itu tidak seperti wajahmu kini."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 006</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti menjadi semakin tunduk. Terbayang sekilas di rongga matanya wajah kakaknya, Panggiring yang kini sama sekali tidak diharapkannya untuk bertemu lagi.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Dan sekarang,” terdengar suara Ratri, “Apakah kau akan pulang ke rumah yang sudah kira-kira sepuluh tahun kau tinggalkan itu?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk lemah. Jawabnya, “Ya, aku akan pulang ke rumah itu. Ibuku masih ada di dalam rumah itu.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Namun tiba-tiba Bramanti mengangkat wajahnya, “Bukankah ibuku masih ada di rumah itu?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ratri mengangguk. Jawabnya, “Ya, ibumu masih tinggal di rumah itu.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ibu pasti sudah menjadi tua.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Seperti kau Bramanti. Ibumu tampak jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Aku dapat membayangkan. Betapa berat beban hidupnya. Sementara sumber penghasilannya sudah habis sama sekali.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kedatanganmu pasti akan menjadi obat keprihatinannya selama ini.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ya, aku mengharap demikian.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Tentu, sudah tentu,” potong Ratri.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi yang Ratri masih akan berbicara terus itu tertegun. Didengarnya seorang memanggilnya, “Ratri, he apa yang sedang kau lakukan?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Barulah gadis itu sadar, bahwa ia bukan Ratri yang dahulu. Yang masih pantas bermain berkejaran dengan Bramanti. Dan Bramanti itu pun bukan Bramanti yang dahulu pula. Ia kini seorang anak muda yang sudah dewasa. Karena itu, maka tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Sambil menundukkan kepalanya ia berkata, “Maaf Bramanti. Aku dipanggil ayah.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ayahmu datang ke mari Ratri.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Oh,” Ratri mengangkat wajahnya memandang ke ayahnya yang dengan tergesa-gesa mendekatinya. “Dengan siapa kau berbicara he?,” bertanya ayahnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Anak yang sudah lama hilang dari permainan dipadukuhan kami ayah. Kini ia kembali.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Siapa,” orang tua itu mencobanya mengamat-amati wajah Bramanti, tetapi ia tidak segera dapat mengenalnya. “Aku tidak mengenal anak ini.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Tentu ayah mengenalnya. Tetapi agaknya ayah tidak punya waktu untuk mengenal wajah anak-anak waktu itu. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Oh, sepuluh tahan yang lalu.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ya ayah. Inilah Bramanti putera paman Pruwita".</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“He?” orang tua itu mundur selangkah. “Jadi kau anak Pruwita?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ya paman,” sahut anak muda yang bernama Bramanti itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Oh, anak Pruwita sudah sebesar kau ini?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ya paman,” anak muda itu mengangguk pula.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti menjadi heran ketika wajah orang tua itu semakin tegang. Tiba-tiba ia meraih tangan anak perempuannya dan menariknya sambil berkata. “Marilah. Jangan berhubungan lagi dengan anak muda itu,” Lalu kepada Bramanti ia berkata, “Aku tidak mempunyai sangkut paut dengan Pruwita.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ayah,” potong Ratri, “Kenapa dengan ayah?”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi orang tua itu menarik tangan Ratri, “Marilah. Marilah.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ratri tidak dapat membantah lagi. Sambil berlari-lari ia mengikuti langkah ayahnya, karena tangannya masih juga ditarik oleh ayahnya itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti berdiri kebingungan. Kenapa ayah Ratri itu bersikap demikian terhadapnya? Anak muda itu kemudian menundukkan kepalanya. Ia mencoba mengerti akan sikap itu. Dicobanya untuk mengenang, apa saja yang pernah dilakukan oleh ayahnya di masa kecilnya. “Ayah memang bukan seorang yang terlampau baik,” katanya di dalam hati.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Tetapi ia dahulu seorang yang kaya, seorang yang disegani, diluluti oleh tetangga. Namun ketika ayah menjadi miskin, serentak mereka menjauhkan dirinya. Dan bahkan ayah harus mati dalam keadaan yang paling menyedihkan.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti menggeram. Diangkatnya wajahnya. Dengan sorot mata yang berapi-api ia memandang padukuhan yang terbentang dihadapannya. Semakin lama menjadi semakin kabur, karena cahaya matahari menjadi semakin suram dan bahkan kemudian menjadi merah kehitam-hitaman. “Aku akan pulang. Apapun yang akan terjadi,” geramnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba langkahnya justru menjadi tegap. Dadanya tengadah dan matanya memandang lurus ke depan. Dengan tidak menghiraukan apapun lagi ia berjalan kemulut lorong desanya. Satu dua ia masih bertemu dengan orang-orang yang terlambat pulang dari sawah. Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak memperhatikannya. Orang-orang itu pada umumnya sudah tidak dapat mengenalnya lagi. Tetapi langkahnya kemudian tertegun pula ketika ia sudah berdiri diregol halaman rumahnya yang rusak.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Terasa sesuatu menyangkut dikerongkongannya. Rumah ini seolah-olah telah menjadi rumah hantu. Gelap dan mengerikan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Halamannya pun sudah tidak ubahnya lagi dengan sebuah hutan kecil yang pekat dengan berbagai macam pepohonan liar. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 007</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti menarik nafas dalam-dalam.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kemudian dipaksanya kakinya melangkah memasuki halaman yang kotor ini.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Yang pertama-tama disentuhnya, adalah sarang labah-labah yang menyangut diwajahnya. Perlahan-lahan Bramanti melangkah menunju ke tangga pendapa. Pendapa itu masih juga berdiri, diatas tiang yang kokoh kuat. Saka guru yang hampir sepemeluk besarnya, kemudian tiang-tiang yang lain masih juga tampak kuat. Tetapi ketika ia menengadah, maka atap rumah itu sudah dipenuhi oleh lubang-lubang sebesar kelapa.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Selama ini ibu tinggal seorang diri di rumah ini," desisnya. Apabila ketika diingatnya sikap ayah Ratri terhadapnya. Maka desisnya, "Apakah demikian pula sikapnya terhadap ibu?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Pertanyaan itu telah mendorongnya semakin cepat menaiki tangga pendapanya dan langsung menunju pintu pringgitan. Dari lubang-lubang dinding gebyog yang retak ia melihat seleret sinar yang kemerah-merahan menerangi ruangan dalam rumah itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan tangan gemetar ia mengetuk pintu rumahnya. Perlahan-lahan, kemudian semakin lama semakin keras.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Siapa di luar?" terdengar suara parau seorang perempuan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti akan menyahut. Tetapi sesuatu terasa menyumbat kerongkongan, sehingga ia harus mendehem beberapa kali.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Siapa di luar?" terdengar suara itu sekali lagi.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Aku, aku," suara Bramanti pun gemetar pula.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Aku siapa?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Aku ibu, Bramanti."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"He," perempuan tua yang sudah berbaring dipembaringannya itu terloncat berdiri. Tetapi ia tidak segera percaya kepada pendengarannya. Sekali lagi ia bertanya, "Siapa di luar?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Bramanti ibu."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Bramanti, Bramanti," perempuan itu kemudian berlari sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab ketika kakinya menyentuh sudut pembaringannya. Dengan tergesa-gesa dibukanya selarak pintu rumahnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ketika pintu rumah itu terbuka, sepercik cahaya lampu minyak meloncat keluar, mengusap wajah anak muda yang berdiri dengan kaki gemetar di muka pintu yang sudah sepuluh tahun ditinggalkannya. "Bramanti," suara perempuan itu seolah-olah menyangkut dikerongkongannya pula.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Anak muda itu tidak sempat menjawab, ketika tiba-tiba saja perempuan tua itu memeluknya. Menciumnya seperti masa kanak-kanaknya dahulu. Terasa setitik air mata hingga dipundaknya yang bidang. "Kau akhirnya pulang ngger."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Ya ibu. Aku harus pulang. Tidak ada tempat lain yang paling baik buatku daripada tanah ini. Daripada rumah ini dan halaman ini."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Ya, ya ngger. Aku memang sudah menyangka bahwa kau akan pulang. Karena itu, betapa hatiku pedih, aku tetap tinggal di rumah ini sambil menunggumu".</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Sekarang aku sudah pulang. Ibu tidak akan sendiri lagi. Aku akan membantu ibu dalam kerja sehari-hari. Aku akan membersihkan halaman. Memperbaiki rumah kita yang rusak".</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Tentu. Tentu Bramanti. Kau tidak boleh pergi lagi. Kau harus tinggal dirumah ini apapun yang terjadi. Karena rumah ini, halaman ini, adalah rumah kita. Tanah ini adalah Tanah Warisan yang tidak akan dapat dimiliki oleh orang lain. Meskipun aku hampir mati kelaparan, tetapi tanah ini tidak akan aku serahkan kepada siapapun dengan ganti apapun lagi."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak menjawab. Yang terdengar kemudian adalah isak tangis ibunya sambil menariknya masuk. Dengan suara yang patah-patah perempuan tua itu berkata. "Marilah Bramanti. Masuklah. Jangan kau tinggalkan lagi rumah kita ini".</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti pun kemudian masuk ke dalam ruang yang sudah lama ditinggalkannya itu. Setelah menutup pintu dan memasang selaraknya kembali, Bramanti mengamat-amati setiap sudut ruangan. Tiang-tiang itu masih juga berdiri dengan kokohnya. Kayu-kayu nangka yang kekuning-kuningan. Gebyog yang masih kuat meskipun kotor. Seperti pendapa rumah itu, yang paling parah adalah atapnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Tetapi tidak sulit untuk memperbaikinya," desisnya di dalam hati. Aku akan mencari ijuk, kemudian untuk sementara, sebelum sempat membuat atap kayu, biarlah aku sulami saja dengan ijuk."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti terkejut ketika ia mendengar suara ibunya. "Duduklah ngger. Inilah rumahmu sekarang." "Biarlah bu," jawab Bramanti, "Besok aku akan memperbaikinya. Aku akan membuat rumah ini seperti rumah kita beberapa puluh tahun yang lampau."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Oh," perempuan itu mengangkat wajahnya, namun kesan yang dengan tiba-tiba membayang, segera lenyap. Bahkan ia pun kemudian tersenyum, "Ya ngger. Kau harus memperbaiki rumah ini. Betapapun kesan orang-orang disekitar kita."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 008</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sekali lagi lewat sekilas ingatannya tentang sikap ayah Ratri kepadanya. Tetapi tidak bijaksana baginya apalagi ia segera bertanya. Ia tidak akan merusak suasana pertemuan yang membuat dadanya serasa menjadi retak.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ketika ibunya kemudian pergi ke dapur menjerang air, maka Bramanti berjalan berputaran di dalam setiap ruang rumahnya. Tidak ada yang berubah, selain menjadi kotor dan rusak. Tetapi sesuatu telah mengembang di dalam hatinya. Aku akan menjadikan rumah ini seperti beberapa puluh tahun yang lampau. Semasa ayah masih seorang yang kaya raya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Setelah minum beberapa teguk dan mandi di sumur di belakang rumah, maka Bramanti kemudian berceritera tentang dirinya. Pengalamannya selama ia meninggalkan rumah ini. "Orang tua itu sangat baik bu," katanya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Aku tinggal di rumahnya seperti aku tinggal di rumah sendiri. Aku dianggapnya sebagai anaknya. Apalagi orang tua itu memang tidak mempunyai seorang anakpun".</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Tuhan menuntun jalanmu sampai ke rumah yang baik itu ngger."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Ya ibu," jawab Bramanti.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Aku diketemukannya di pinggir sungai ketika aku beristirahat. Hampir-hampir aku mati kelaparan. Tetapi Tuhan masih melindungi aku."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Bersyukurlah ngger," sahut ibunya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Lalu apakah katamu ketika kau bermaksud pulang ke rumah ini?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Aku berkata terus terang. Aku rindu kepada ibu, kepada rumah ini dan kepada tanah ini."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Apa ia tidak berkeberatan?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Tidak ibu. Sama sekali tidak. Ia tidak menganggapku hilang, sebab setiap saat aku dapat pergi kepadanya atau ia pergi kepadaku, ke rumah ini."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Oh, apakah kau masih akan pergi kepadanya?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Maksudku, aku dapat menengoknya untuk sehari dua hari. Lebih baik aku pergi bersama ibu pada suatu ketika."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Senang sekali Bramanti."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Tetapi lebih daripada itu ibu, aku telah dipercaya olehnya untuk mewarisi ilmunya."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Ya, ilmu kanuragan. Aku telah mendapat pelajaran tata bela diri sebaik-baiknya. Aku sangat berterima kasih kepadanya. Kepada kepercayaan itu."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Oh," tiba-tiba wajah perempuan tua itu menjadi cemas.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Kenapa kau pelajari ilmu semacam itu ngger?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">"Apa salahnya?"</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perempuan itu tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi suram, dilemparkannya pandangan matanya yang sayu ke sudut yang gelap. Kemudian terdengar suaranya parau. "Ayahmu juga mempelajari ilmu semacam itu dahulu."</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti tidak segera menjawab. Ia melihat ibunya justru menjadi kecewa.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian maka sejenak mereka dicekam dalam kesenyapan. Masing-masing membiarkan angan-angannya meloncat ke saat-saat yang lampau. Bramanti yang masih kecil saat itu tidak dapat mengerti lebih banyak lagi, kenapa ayahnya mati terbunuh dalam perkelahian yang tidak adil. Beberapa orang telah mengeroyoknya beramai-ramai. Betapapun tinggi ilmu ayahnya itu, namun untuk menghadapi beberapa orang yang berilmu pula, agaknya ia tidak mampu. Kekuatan lawan-lawannya berada di luar kemungkinan perlawanannya. Sehingga akhirnya ia harus terkapar mati berlumuran darah.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dan Bramanti yang kecil itu sudah tidak tahu bahwa di antara mereka yang membunuh ayahnya adalah orang-orang padukuhan ini sendiri. Tetapi ibunya sudah dapat menangkap lebih banyak persoalan daripada Bramanti yang kecil. Perempuan itu tahu benar, bahwa perselisihan itu timbul di lingkaran judi. Dalam perselisihan yang demikian, maka tidak ada seorang pun yang mampu menahan hatinya lagi. Dan terjadilah akibat yang mengerikan itu. Suaminya terbunuh.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Masih terbayang di rongga matanya, apa yang terjadi saat itu, seperti baru kemarin malam. Darah yang merah mengalir dari kening dan pelipis suaminya. Tiga buah tusukan melubangi dada dan lambungnya. Yang paling pedih adalah, geremang orang-orang yang melihat peristiwa itu. "Ti</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">dak ada yang dapat disalahkan. Setelah Pruwita menjadi miskin, maka sifatnya tidak lebih baik dari seekor serigala".</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dan ternyata kemudian, bahwa akibat yang timbul tidak hanya terhenti sampai sekian. Meskipun Nyai Pruwita itu telah merasakan, bahwa orang-orang di sekitarnya, para tetangganya, telah mulai menjauhi keluarganya, namun sejak meninggalnya suaminya sikap itu menjadi semakin nyata. Hanya dalam soal-soal yang sangat penting, orang-orang disekitarnya bersedia menghubunginya. Mereka berbicara kadang-kadang sekali, sekadar satu dua patah kata.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian maka hidupnya kemudian menjadi terasing. Justru setelah ia menjadi miskin. Setelah semua kekayaannya satu-satu mengalir kelingkaran judi.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ditatapnya wajah anaknya yang masih tunduk. "Ilmu itu akan selalu membawa malapetaka ngger," desisnya kemudian. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 009 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti menggeleng. "Tidak selalu ibu. Aku tahu, bahwa orang-orang yang memiliki ilmu tata bela diri, sering menyalahgunakan ilmunya. Orang-orang yang demikian itulah yang akan tersesat dalam kegelapan dan bahkan malapetaka.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perempuan itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berdiri dan melangkah mendekati anaknya yang duduk terpekur. "Bramanti, apakah kau menyimpan dendam dihatimu atas kematian ayahmu?"</div><div style="text-align: justify;">Bramanti terperanjat. Diangkatnya wajahnya dan ditatapnya mata ibunya yang sayu. Kemudian dengan suara yang mantap ia berkata, "Tidak ibu. Aku tidak menyimpan dendam didalam hati. Apapun yang telah terjadi atas ayah, biarlah itu terjadi. Aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Ini bukan berarti aku tidak berbakti kepada orang tuaku. Tetapi tidak dengan cara itu aku akan menjunjung nama ayah dan keluargaku. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Seleret cahaya memancar dari sepasang mata yang tua itu. Tiba-tiba perempuan tua itu sekali lagi memeluk anaknya dan mencium keningnya. "Kau anak baik ngger. Kau benar. Bukan begitu cara yang sebaik-baiknya untuk berbakti kepada orang tua. Dendam tidak akan menumbuhkan ketentraman didalam hati dan di dalam keseluruhan hidup ini. </div><div style="text-align: justify;">"Ya ibu, begitu jugalah pesan orang yang memungutku menjadi anaknya dan sekaligus muridnya." </div><div style="text-align: justify;">"Apa pesannya?" </div><div style="text-align: justify;">"Aku harus berbuat sebaik-baiknya. Aku harus mengembalikan kewibawaan ayah dengan cara yang baik. Aku harus bekerja keras, memberikan suasana yang demikian, akan terhapuslah nama yang kurang baik dari ayah dan keluargaku. Seandainya ayah memang pernah berbuat salah, maka aku harus menebus kesalahan itu."</div><div style="text-align: justify;">"Oh," ibu yang tua itu membelai rambut anaknya yang panjang. "Kau akan memenuhi idamanku ngger. Kau adalah anak yang terlampau baik. Dengan demikian akan hilanglah coreng moreng dikening kita. </div><div style="text-align: justify;">"Mudah-mudahan aku berhasil ibu." </div><div style="text-align: justify;">"Mudah-mudahan," dan ibu yang tua itu kemudian melepaskan anaknya, sambil menghapus air matanya yang meleleh di pipinya yang sudah mulai berkeriput. Katanya sejenak kemudian, "Baristirahatlah nak. Kau tentu lelah setelah menempuh perjalanan sehari ini." </div><div style="text-align: justify;">"Ya, aku memang lelah. Tetapi aku belum ingin tidur." </div><div style="text-align: justify;">"O," ibunya menyahut. "Kalau begitu, aku harus merebus air lagi. Kita duduk-duduk sambil berbicara apapun. Namun kita harus menyediakan minum." </div><div style="text-align: justify;">"Ibulah yang nanti menjadi lelah. Bukan aku. Karena itu, biarlah. Aku tidak terlalu haus." </div><div style="text-align: justify;">"Ah," desis ibunya. "Biarlah aku merebuskannya untukmu. Untuk kedatanganmu." </div><div style="text-align: justify;">Tetapi ketika perempuan tua itu berdiri, maka langkahnya menjadi urung. Bahkan dadanya menjadi berdebar-debar karena ia mendengar langkah kaki memasuki halaman dan naik ke pendapa rumahnya. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang. </div><div style="text-align: justify;">Bramanti pun telah mendengarnya pula. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Hanya sorot matanya sajalah yang seolah-olah bertanya kepada ibunya, "Siapa mereka?" </div><div style="text-align: justify;">Tetapi ibunya masih berdiri diam mematung. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian terdengarlah pintu rumah itu diketuk orang. Sekali, dua kali, kemudian berkali-kali dan semakin lama semakin keras. </div><div style="text-align: justify;">Nyai Pruwita, bukalah pintu rumahmu," terdengar seseorang berteriak di luar pintu. </div><div style="text-align: justify;">"Siapakah kalian?" bertanya Nyai Pruwita. </div><div style="text-align: justify;">"Bukalah pintu, kau akan mengenal siapa kami." </div><div style="text-align: justify;">Nyai Pruwita menjadi ragu-ragu. Baru siang tadi orang-orang berkuda memasuki Kademangan ini. </div><div style="text-align: justify;">"Cepat Nyai, supaya kami tidak usah merusak pintu rumahmu yang hampir roboh ini." </div><div style="text-align: justify;">Dalam keragu-raguan Nyai Pruwita memandangi wajah anaknya. Seolah-olah ia minta pertimbangannya, apakah yang sebaiknya dilakukannya. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak Bramanti menjadi ragu-ragu. Namun kemudian dianggukkannya kepalanya. </div><div style="text-align: justify;">Tetapi ibunya tidak melangkah menuju ke pintu rumahnya, tetapi ia meraih kepala anaknya sekali lagi sambil berbisik, "Jangan Bramanti. Jangan berbuat apa-apa atas mereka. Aku kira mereka bukan orang-orang jahat yang siang tadi memasuki Kademangan ini. Tetapi mereka adalah tetangga-tetangga kita yang baik, apapun yang akan dilakukannya." </div><div style="text-align: justify;">"Aku tidak akan berbuat apa-apa ibu. Sudah aku katakan, aku tidak menyimpan dendam di dalam hatiku. </div><div style="text-align: justify;">Nyai Pruwita melepaskan kepala anaknya. Kemudian melangkah perlahan-lahan menunju ke pintu pringgitan. Perlahan-lahan pula tangannya yang lemah meraih selarak pintu dan membukanya kembali. </div><div style="text-align: justify;">Begitu pintu rumah itu terbuka, maka beberapa orang laki-laki yang tegap dan beberapa orang anak-anak muda berloncatan masuk. Bahkan beberapa orang di antara mereka membawa senjata ditangannya. </div><div style="text-align: justify;">"Nyai," berkata salah seorang dari mereka, "Aku dengar, anakmu pulang kembali ke rumah ini." </div><div style="text-align: justify;">Nyai Pruwita mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling ke arah Bramanti yang masih duduk ditempatnya. </div><div style="text-align: justify;">"O," orang itu menyambungnya. "Itukah anakmu yang bernama Bramanti? Ia sudah cukup dewasa. Tubuhnya kekar dan utuh. Ia sudah pantas mewakili ayahnya untuk melepaskan dendamnya kepada kami." </div><div style="text-align: justify;">Nyai Pruwita terperanjat mendengar kata-kata itu. Bramanti pun tidak kalah terperanjat pula. Tetapi segera ia menekan perasaan itu. Sehingga ia sama sekali tidak beringsut dari tempat duduknya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">No. 010</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Kalian salah,” Nyai Pruwita hampir berteriak. “Anakku sama sekali tidak membawa dendam. Ia pulang oleh kerinduannya kepada ibunya, kepada rumah dan halamannya dan kepada tanah kelahiran. Ia pulang karena ia mencintai semuanya itu. Sama sekali bukan diseret oleh perasaan dendam.”. Seorang anak muda melangkah maju sambil tertawa. Dipandanginya wajah Bramanti yang kemerah-merahan oleh sinar lampu minyak yang redup. Kau banyak berubah Bramanti. Tetapi aku masih tetap mengenalimu. Tetapi bukan saja kau yang tumbuh menjadi besar, tetapi anak-anak yang sebaya dengan kau, kawan-kawanmu bermain di Kademangan ini pun telah tumbuh pula sebesar kau.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti berpaling. Dilihatnya wajah anak muda itu sekilas. Kemudian perlahan-lahan ia berdiri sambil menjawab, “Ya, kalian telah menjadi besar pula. Bahkan lebih besar dari aku.” </div><div style="text-align: justify;">“Dan orang-orang tua kami disini sudah menjadi bertambah tua. Tetapi jangan kau sangka bahwa kau akan dapat membalas dendam kepada mereka. Sebab pada umumnya mereka pun mempunyai anak laki-laki seperti ayahmu mempunyai anak laki-laki.”</div><div style="text-align: justify;">“Maksudmu, kalau aku ingin membalas dendam, maka aku akan berhadapan dengan anak-anak muda kawanku bermain dahulu?” </div><div style="text-align: justify;">“Ya.” </div><div style="text-align: justify;">“Kau keliru. Ibuku sudah mengatakan, bahwa aku sama sekali tidak pulang karena didorong oleh perasaan dendam. Apa yang dapat aku lakukan atas kalian disini. Aku hanya seorang diri. Bahkan seperti katamu, bahwa anak-anak muda disinipun telah tumbuh pula menjadi dewasa. </div><div style="text-align: justify;">Apakah yang dapat aku lakukan? Pembalasan dendam bukan suatu penyelesaian bagiku. Aku tidak ingin hidup dalam kegelisahan seperti ayah. Aku ingin hidup tenteram bersama ibuku yang telah tua. Aku ingin berbuat sesuatu yang baik bagiku, bagi keluargaku dan apabila mungkin bagi Kademangan ini. </div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba anak muda itu tertawa. Katanya, “Setiap anak yang menyadari dirinya, ingin berbakti kepada orang tuanya. Apakah kau tidak akan berbuat demikian? Apakah kau tidak ingin membuat ayahmu tenteram di alam baka dengan melepaskan sakit hatinya?” </div><div style="text-align: justify;">“Aku tidak berpendirian demikian. Aku berpendapat bahwa arwah ayahku tidak akan dapat disucikan dengan darah. Tidak. Darah hanya akan menambah bebannya di alam baka. Karena itu, aku tidak akan berbuat bakti dengan cara demikian. </div><div style="text-align: justify;">“Ada dua kemungkinan,” tiba-tiba seorang setengah umur berkata, “Bramanti seorang anak durhaka, yang tidak merasa perlu berbakti kepada orang tuanya, tahu ia mencoba menipu kami. Ia akan mencari kesempatan supaya kami menjadi lengah. Dalam kelengahan itulah ia akan dapat berbuat menurut kehendaknya.” </div><div style="text-align: justify;">“Yang kedualah yang paling mungkin,” sahut suara yang lain. “Kalau ia benar-benar anak durhaka, yang tidak merasa perlu berbakti kepada ayahnya, ia tidak akan datang kembali ke Kademangan ini. Ia akan tetap tinggal di rantau, apapun yang akan terjadi atasnya.” </div><div style="text-align: justify;">Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia mencoba menjelaskan, “Aku mencintai ibuku. Aku mencintai kampung halaman. Karena itu aku kembali.” </div><div style="text-align: justify;">“Ah,” seorang yang tinggi berkumis melintang berkata, “Kita tidak perlu mendengarkan kicauannya. Kita mendapat tugas menangkapnya. Melawan atau tidak melawan. Kita bawa saja anak ini menghadap Ki Demang. Terserah, apa yang akan dilakukannya atas anak ini.” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Ya, itulah yang baik,” kata yang lain. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">“Marilah, kita tangkap anak ini.” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang yang berkumis itu maju mendekati Bramanti sambil berkata. “Kita harus menangkapmu nak. Apakah kau akan melawan?” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti memandang orang yang tinggi dan berkumis itu dengan sorot mata yang aneh. Bagi Bramanti orang yang tinggi dan berkumis ini memang aneh. Sikapnya agak lain dengan kawan-kawannya, meskipun pada dasarnya, ia akan menangkapnya pula. </div><div style="text-align: justify;">Sejenak Bramanti tidak dapat menjawab. Namun kemudian terasa tangan ibunya meraba pundaknya, “Bukankah kau tidak mendendam?” </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bramanti mengangguk, “Ya, aku memang tidak mendendam,” Kemudian kepada orang yang tinggi berkumis itu ia berkata, “Aku tidak akan melawan. Aku sama sekali tidak akan mampu melawan kalian.”</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">BERSAMBUNG....</div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-78098649124446451842011-08-14T04:44:00.000-07:002011-08-14T04:48:08.680-07:00NAGA SASRA SABUK INTEN_seri 201 -210<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidmapyX2u4qmFKXMHNHC6kCFKjlW_ZioXlN7c0cSqQXN-uzvg5lWPUXxCLYzL0pU25vOU8iCSAlxj5nGG80S-GPJtg0mKqqcDuDn8qMvmlYH9uorSTOO1k2gLvgI9y_uXQ6QFjlrE37Q/s1600/image-1712.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidmapyX2u4qmFKXMHNHC6kCFKjlW_ZioXlN7c0cSqQXN-uzvg5lWPUXxCLYzL0pU25vOU8iCSAlxj5nGG80S-GPJtg0mKqqcDuDn8qMvmlYH9uorSTOO1k2gLvgI9y_uXQ6QFjlrE37Q/s320/image-1712.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640676537589111394" /></a><div style="text-align: justify;">NAGASASRA dan SABUK INTEN </div><div style="text-align: justify;">Karya SH Mintarja </div><div style="text-align: justify;">201</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">TAK seorang pun dari orang-orang Lembu Sora atau Jaka Soka yang berani memulai sebelum mereka mendapat perintah dari pemimpin-pemimin mereka. Sedang Lembu Sora maupun Jaka Soka agaknya ingin menyelesaikan masalah itu seorang diri, tanpa bantuan orang lain. Sebab dengan demikian akan puaslah hati mereka masing-masing yang berhasil membinasakan lawannya karena tangan sendiri. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perkelahian antara Jaka Soka dan Lembu Sora semakin lama makin bertambah dahsyat. Masing-masing mengeluarkan segala kepandaiannya untuk membinasakan lawannya. Mereka sama sekali sudah tidak ragu-ragu lagi, seandainya lawan masing-masing terpenggal lehernya atau tersobek dadanya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Lembu Sora yang kuat dan garang seperti singa itu menyerang semakin dahsyat dengan pedang yang terayun kian-kemari, sedang Jaka Soka berkelahi benar-benar seperti seekor ular yang membelit, menjalur dan mematuk-matuk berbahaya sekali. </div><div style="text-align: justify;">Semua yang menyaksikan pertempuran itu terpaksa menahan nafas. Mau tidak mau mereka harus mengagumi keperkasaan kedua orang yang sedang bertanding. Lembu Sora percaya akan kekuatan tubuhnya melawan Jaka Soka yang mempunyai cara bertempur yang lemas sekali. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sesaat kemudian pertempuran itu sampai ke taraf yang menentukan. Baik Jaka Soka maupun Lembu Sora telah mengerahkan segenap tenaganya secara berlebih-lebihan, sehingga dalam waktu yang singkat mereka telah merasa bahwa tenaga mereka seakan-akan telah terperas habis. Karena itu sebelum mereka jatuh dan tidak bertenaga lagi, mereka telah sedemikian bernafsu untuk membinasakan lawannya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Maka pada saat yang demikian, pada saat semua yang hadir lagi menahan nafas, tiba-tiba muncullah orang yang selama ini mereka nanti-nantikan, ialah Pasingsingan dan Sima Rodra. Melihat Lembu Sora dan Jaka Soka sedang dengan dahsyatnya mempertaruhkan nyawanya, Pasingsingan dan Sima Rodra mengernyitkan alisnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba hampir tak diketahui apa yang sudah dilakukan oleh Pasingsingan, Jaka Soka dan Lembu Sora terpental bersama-sama beberapa langkah, dan kemudian mereka jatuh bergulingan. Ketika mereka bangun, mata mereka menunjukkan kemarahan yang luar biasa. Tetapi ketika mereka melihat Pasingsingan telah berdiri diantara mereka, wajah mereka yang merah itu segera menjadi pucat dan ketakutan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Apa yang telah kalian lakukan? bentak Pasingsingan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Lembu Sora dan Jaka Soka sama sekali tidak menjawab. Dan karena mereka tidak menjawab, Pasingsingan segera memanggil Lawa Ijo, dan bertanya kepadanya,</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kenapa mereka berkelahi?</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan singkat Lawa Ijo menceriterakan apa yang telah terjadi, pertentangan antara Jaka Soka dan Lembu Sora pada saat mereka sedang mencegat pasukan-pasukan dari Demak beberapa waktu berselang. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mendengar ceritera Lawa Ijo, sekali lagi Pasingsingan menyernyitkan alisnya, kemudian katanya, Kenapa kalian diam saja melihat perkelahian itu?</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Lawa Ijo, Sepasang Uling Rawa Pening, dan Sima Rodra terkejut mendengar pertanyaan itu, sehingga tak seorang pun yang dapat menjawabnya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kalian tak usah berbohong, sebab kalian akan bersyukur kalau salah seorang sekutu kalian atau kedua-duanya binasa, lanjut Pasingsingan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu semakin diam, sebab Pasingsingan langsung dapat menebak isi hati mereka. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kemudian Pasingsingan menoleh kepada Jaka Soka dan Lembu Sora.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kalian telah merusak suasana malam purnama ini, katanya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Lembu Sora dan Jaka Soka tidak berkata sepatah pun. Mereka menundukkan kepala mereka dalam-dalam. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kembalilah ke tempat kalian masing-masing, perintah Pasingsingan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mendengar perintah itu segera Lembu Sora berjalan menuju ke tempatnya semula. Sedang para pengiringnya kemudian juga pergi ke tempat masing-masing. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sementara itu Lawa Ijo, Sima Rodra muda telah mengambil tempatnya pula, sedang sepadang Uling Rawa Pening sibuk mempersilahkan Jaka Soka untuk menempatkan diri beserta para pengirinya di sisi utara. Adapun Pasingsingan kemudian dipersilahkan duduk bersama-sama dengan Sima Rodra tua di sisi sebelah barat, di samping tempat duduk Uling Rawa Pening. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Setelah suasana menjadi tenang kembali, serta para peserta pertemuan itu telah duduk di tikar pandan di sisi-sisi yang telah ditentukan, berkatalah Pasingsingan dengan nyaringnya, Kalian, orang yang disebut golongan hitam, tetapi yang sebenarnya bercita-cita luhur seperti lazimnya manusia yang selalu ingin mencapai tingkatan tertinggi dalam kehidupan, bersyukurlah di dalam hati kalian bahwa pada malam hari ini kalian dapat berkumpul bersama-sama. Tetapi kalian pasti tak akan dapat berbuat sesuatu, sebab tidak ada diantara kalian yang pantas menjadi pemimpin diantara kita. Terbukti bahwa tidak seorang pun diantara kalian yang berhasil membawa keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu kemari.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Pasingsingan diam sebentar. Pandangannya beredar dari setiap wajah yang berada di sekitar lapangan kecil itu. Sejenak kemudian ia melanjutkan, Kalau kalian ingin mendapatkan tingkatan itu dengan mengadu kepandaian, maka cara itu pun tidak akan menyelesaikan masalahnya. Sebab suatu pertarungan diantara kalian dalam saat ini pasti hanya akan memakan waktu berlarut-larut. Coba lihat apa yang dilakukan oleh Jaka Soka dengan Ki Ageng Lembu Sora. Andaikata mereka dibiarkan bertempur terus pasti mereka akan mati kelelahan kedua-duanya, bersama-sama, atau kalau mereka menghemat tenaga mereka, pertempuran semacam itu akan dapat berlangsung berhari-hari.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kembali Pasingsingan diam sejenak, lalu ia melanjutkan, Yang penting sekarang kesatuan diantara kita masih kita perlukan. Marilah kita ubah persetujuan kita, dengan mengadakan persetujuan baru. Barang siapa yang terdahulu menemukan Keris Nagasasra dan Sabuk Inten, dialah yang segera diumumkan dan kita angkat menjadi pemimpin kita, dan kita dukung perjuangannya melawan pemerintah Demak.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">NAGASASRA dan SABUK INTEN </div><div style="text-align: justify;">Karya SH Mintarja </div><div style="text-align: justify;">202</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">SUASANA kemudian menjadi hening sepi. Tetapi dalam pada itu degup jantung Mahesa Jenar serta kawan-kawannya bertambah cepat. Apalagi Mahesa Jenar, Gajah Alit dan Paningron yang datang sebagai prajurit-prajurit Demak. Tetapi bagaimanapun mereka harus menahan diri, sebab di hadapan mereka berkumpul tokoh-tokoh hitam yang kuat, ditambah lagi dengan Pasingsingan dan Sima Rodra yang pernah mereka dengar namanya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi lebih terkejut lagi mereka berlima ketika Pasingsingan kemudian melanjutkan, Sedangkan sekarang kalian mempunyai pekerjaan yang lebih penting. Pertemuan ini dapat kalian lanjutkan nanti setelah pekerjaan kita selesai. Nanti kita dapat mengatur siasat, menentukan sikap dan sebagainya, setelah orang-orang lain yang tidak kita undang tidak turut serta mendengarkan pembicaraan kita. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu menjadi sibuk berpikir serta menduga-duga. Demikian pula Mahesa Jenar dan kawan-kawannya yang dengan lamat-lamat dapat mendengarkan setiap pembicaraan mereka, menjadi sibuk berpikir pula, sampai Pasingsingan berkata lebih lanjut, Kalian ternyata terlalu sibuk memikirkan bagaimana cara kalian untuk membinasakan kawan sendiri daripada berhati-hati menghadapi lawan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang-orang golongan hitam itu menjadi bertambah bingung, sedang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, jantungnya bertambah cepat bergetar. Apakah kehadiran mereka telah diketahui oleh Pasingsingan?</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat kebingungan orang-orang yang berkumpul di sisi-sisi lapangan itu, terdengar Sima Rodra tua tertawa pendek. Apakah yang akan kalian banggakan untuk dapat menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang tidak tentu di mana sekarang berada. Apakah benar-benar telah hilang dari Banyubiru atau hanya disembunyikan saja oleh si Gajah Sora atau si tua bangka Sora Dipayana, ayah Lembu Sora itu. Sedangkan apa yang ada di hadapan hidung kalian saja tidak kalian ketahui, katanya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Perasaan mereka yang mendengarkan kata-kata itu menjadi semakin kisruh. Melihat keadaan itu agaknya Pasingsingan tidak sabar lagi. Berdirilah kalian dan berjalanlah kalian ke arah tenggara. Lihatlah setiap pohon yang tumbuh di sana, kalian akan menemukan orang yang telah kalian sangka mati terguling ke dalam jurang beserta empat orang kawannya, katanya keras-keras. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tampaklah betapa terkejutnya tokoh-tokoh hitam yang sedang berkumpul itu. Tetapi tidak kurang pula terkejutnya Mahesa Jenar dengan kawan-kawannya. Ternyata kehadiran mereka telah diketahui oleh Pasingsingan dan Sima Rodra. Bagaimanapun mereka terpaksa mengakui betapa tinggi ilmu kedua orang dari angkatan tua itu. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Di samping itu, kata-kata Pasingsingan merupakan suatu peringatan bagi Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya, untuk tidak mempunyai pilihan selain berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidup masing-masing, meskipun mereka sadar bahwa seandainya Pasingsingan dan Sima Rodra ikut campur maka tak ada jalan untuk melepaskan diri dari maut. Meskipun demikian, kemungkinan-kemungkinan itu memang sudah terpikirkan sejak mereka berangkat. Karena itu, satu-satunya jalan adalah mencari korban sebanyak-banyaknya sebelum dirinya binasa. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena itu sebelum mereka terkunci di atas pohon, maka segera dengan cepat Mahesa Jenar turun diikuti oleh kawan-kawannya. Demikian mereka sampai di atas tanah, segera mereka menyiapkan senjata masing-masing. Gajah Alit segera menimbang-nimbang bola besinya yang bertangkai rantai, Paningron bersenjata sebuah tombak yang berkait kecil, sedang Mantingan dan Wiraraga tampak menggosok-gosok trisula masing-masing, seolah-olah sedang membesarkan hati senjata-senjata itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Hanya Mahesa Jenar sendirilah yang tidak bersenjata, tetapi di sisi telapak tangannya tersimpan senjata yang dahsyat, yaitu Aji Sasra Birawa. </div><div style="text-align: justify;">Sementara itu, tokoh-tokoh hitam yang terdiri dari tujuh orang, Sima Rodra muda suami-istri, kakak-beradik Uling, Lawa Ijo, Jaka Soka dan Lembu Sora segera berloncatan berlari-lari ke arah yang ditunjukkan oleh Pasingsingan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ketika tokoh-tokoh hitam itu sedang mendekati Mahesa Jenar dengan kawan-kawannya, terdengarlah Sima Rodra berteriak dengan suaranya yang gemetar, He, kalian laskar yang mengikuti pemimpin-pemimpin kalian kemarin. Janganlah kalian menjadi penonton saja. Kepunglah orang-orang yang telah memberanikan diri bertindak sombong dan merendahkan kita sekalian. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mendengar perintah Sima Rodra tua, segera laskar-laskar golongan hitam itu bubar berlari-larian memencar ke segenap arah untuk mengepung Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Gajah Alit yang merasa bahwa senjatanya kurang menguntungkan bila dipergunakan di tempat yang berpohon-pohon, segera berkata, Kakang Mahesa Jenar, aku kira lebih baik aku menyongsong mereka di tempat terbuka supaya rantaiku tidak melilit-lilit pepohonan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, Gajah Alit telah menghambur lari seperti sebuah batu yang menggelinding cepat sekali. Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya yang lain, agaknya tidak tega melepaskan Gajah Alit menyongsong seorang diri. Karena itu, ia segera menyusulnya, menyongsong lawan-lawan mereka di tempat yang terbuka.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Yang mula-mula sekali sampai adalah Lawa Ijo. Hatinya yang panas melebihi bara itu tidak dapat dikendalikan lagi. Dendamnya kepada Mahesa Jenar bertimbun-timbun sampai menyentuh langit. Tetapi di antara gerumbul di tepi lapangan itu yang muncul pertama-tama adalah Gajah Alit. Tanpa menanyakan apa-apa lagi, Gajah Alit langsung menyerangnya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Lawa Ijo terpaksa membatalkan maksudnya untuk mencari Mahesa Jenar, karena ia harus melayani Gajah Alit yang menilik geraknya, ternyata sangat berbahaya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">NAGASASRA dan SABUK INTEN </div><div style="text-align: justify;">Karya SH Mintarja </div><div style="text-align: justify;">203</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">LAWA IJO tidak berani menganggap enteng kepada lawannya yang gemuk pendek hampir bulat itu. Apalagi ketika Lawa Ijo mendengar desing bola besi yang berputar-putar mengerikan melibat tubuhnya. Cepat-cepat ia meloncat mundur dan cepat ia berdiri di atas tanah, kedua tangannya telah memegang pisau belati panjangnya. Dengan senjata-senjata itulah ia bertempur melawan Gajah Alit. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Yang menyusul dibelakang Lawa Ijo adalah Sepasang Uling dari Rawa Pening. Sambil memutar-mutar cemetinya, mereka menyerang dengan ganas sekali. Tetapi segera mereka terhenti ketika Mantingan dan Wiraraga menghadangnya. Agaknya sepasang Uling itu sudah menjadi sedemikian marahnya sehingga langsung mereka menghantam Wiraraga dan Mantingan, dua orang yang kini tidak dapat direndahkan. Mereka telah dibekali dengan sebuah ilmu yang sukar tandingannya, yaitu Pacar Wutah. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat sepasang Uling itu menyerang berpasangan, segera Wiraraga dan Mantinganpun melawan nya dengan berpasangan pula. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Paningron agaknya lebih suka melawan seorang yang bertubuh besar dan tinggi serta berkumis dan berjanggut lebat. Ialah Sima Rodra Muda dari Gunung Tidar. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Yang datang terakhir adalah Lembu Sora dan Jaka Soka, yang sudah hampir kehabisan tenaga setelah mereka bertempur sendiri, beserta isteri Sima Rodra.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena semuanya telah mempunyai lawannya masing-masing, maka Mahesa Jenar mau tidak mau harus bertempur melawan ketiga orang itu untuk mencegah bantuan mereka kepada tokoh-tokoh yang sedang mengadu tenaga. Adalah suatu keuntungan besar bahwa Lembu Sora dan Jaka Soka baru saja bertempur mati-matian sehingga hampir tiga perempat bagian tenaganya telah terperas habis. Juga karena pertentangan diantara mereka itu pula, maka pasangan mereka tidak begitu tertib sehingga Mahesa Jenar tidak begitu banyak mengalami kesulitan untuk melawan mereka bertiga. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian terjadilah lingkaran-lingkaran pertempuran yang hebat di tepi lapangan itu. Lawa Ijo dengan kedua pisau di tangannya menyerang bertubi-tubi dengan marahnya. Ia bermaksud untuk membinasakan Gajah Alit secepat-cepatnya supaya segera ia dapat melawan Mahesa Jenar. Di hadapan gurunya, Lawa Ijo menjadi bertambah garang, sebab ia tidak perlu lagi takut terhadap aji Sasra Birawa.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena itu gerakannya menjadi bertambah sengit. Tetapi Gajah Alit adalah perwira dari pasukan Nara Manggala, pasukan pengawal raja. Karena itu kepandaiannya hampir mumpuni, dan sama sekali tidak berada di bawah Lawa Ijo. Apalagi tangan yang pendek-pendek itu diperpanjang dengan rantainya yang berkepala bola besi, yang seakan-akan bola besi itu mempunyai mata, sehingga seolah-olah selalu mengejar kepala Lawa Ijo ke mana kepala itu disingkirkan. Dengan demikian untuk sementara Lawa Ijo harus melupakan Mahesa Jenar, sebab orang yang dihadapi itu pun merupakan seorang yang perkasa. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Di bagian lain, Uling Putih dan Uling Kuning bertempur berpasangan melawan Wiraraga dan Mantingan yang bertempur berpasangan pula. Di bawah cahaya purnama penuh, perkelahian itu tampak betapa berbahayanya apabila salah seorang menjadi lengah sedikit saja. Mereka berloncatan, sambar-menyambar dengan hebatnya. Sepasang cemeti di tangan kedua Uling itu berputar-putar dan terayun-ayun ke segenap penjuru, seolah-olah menjadi gumpalan-gumpalan asap yang melibat isi-mengisi satu sama lain. Tetapi sementara itu dua Trisula di tangan Wiraraga dan Mantinganpun bergerak berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan. Ujungnya yang bermata masing-masing 3 buah itu seakan-akan berubah menjadi ratusan bahkan ribuan, yang oleh kedahsyatan ilmu Pacar Wutah menjadi benar-benar seperti genggaman demi genggaman bulan pacar yang ditebarkan, sehingga sangat sulit untuk menghindarinya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Paningron mempunyai cara sendiri dalam pertempurannya melawan Sima Rodra muda yang bersenjatakan pusakanya, sebuah tombak pendek yang dinamainya Kala Tadah. Ia tidak begitu banyak bergerak. Di atas kedua kakinya, ia berdiri teguh, sedang tombak berkaitnya tergenggam di tangannya. Ia hanya berkisar setapak demi setapak menghadapi lawannya yang bertubuh tinggi besar itu. Dan apabila serangan datang, tangannyalah yang bergerak tangkas sekali. Tetapi meskipun demikian, apabila tampak padanya kesempatan, seperti kilat ia meloncat dan menyerang dengan garangnya. Tetapi Sima Rodra pun adalah seorang yang cukup berpengalaman, sehingga segera ia menyesuaikan diri dengan lawannya. Ia tidak berani banyak membuang tenaga yang tidak perlu, sebab dengan demikian, lawannya akan dapat membinasakan apabila tenaganya sudah separoh habis. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Mahesa Jenar yang menghadapi tiga orang sekaligus, bertempur seperti banteng terluka. Ia masih mencoba mengalahkan lawannya tanpa Aji Sasra Birawa yang mengerikan itu. Sebab gurunya selalu berpesan kepadanya bahwa apabila nyawanya tidak terancam benar-benar, sebaiknya ia tidak mempergunakan Sasra Birawa itu. Tetapi kemudian ternyata bahwa ketiga lawannya meskipun sudah tidak mempunyai tenaga penuh, namun akhirnya, karena mereka bersama-sama harus mempertahankan jiwa mereka, gerak mereka pun menjadi garang. Agaknya Lembu Sora dan Jaka Soka untuk sesaat dapat melupakan pertentangan mereka, ditambah dengan istri Sima Rodra yang bertempur dengan jari-jarinya yang mengembang dan di ujung-ujung jari itu tampak kuku-kukunya yang panjang dan bersalutkan logam yang pasti beracun. Itulah senjatanya yang ditakuti lawan-lawannya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Lembu Sora dengan pedang panjangnya dan Jaka Soka dengan pedang lenturnya merupakan bahaya-bahaya yang setiap saat dapat mencabut jiwa Mahesa Jenar. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sementara itu laskar golongan hitam dari tingkat yang paling bawah sampai pada orang-orang seperti Wadas Gunung, Sri Gunting, Sakayon, Carang Lampit dan sebagainya menyaksikan pertempuran itu dengan mata tanpa berkedip. 12 Orang yang perkasa sedang bergulat mati-matian antara hidup dan mati. Diantara kilatan senjata serta sambaran-sambaran angin yang ditimbulkan oleh pertempuran itu, berkali kali terdengar dentangan senjata serta teriakan-teriakan nyaring, yang bahkan kadang menimbulkan percikan bunga api memancar-mancar.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">NAGASASRA dan SABUK INTEN </div><div style="text-align: justify;">Karya SH Mintarja </div><div style="text-align: justify;">204</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">PASINGSINGAN dan Sima Rodra pun mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Tetapi sampai sekian jauh ia masih belum memerintahkan kepada laskar-laskar golongan hitam itu untuk turut serta dalam pertempuran itu, sebab hal itu belum pasti akan menguntungkan, malahan mungkin akan merepotkan saja. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dalam ketegangan yang semakin lama semakin memuncak itu, seolah-olah waktu berjalan lambat sekali. Agaknya bulan pun ingin menyaksikan pertempuran yang hebat itu sehingga perjalanannya agak terganggu. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi sesaat kemudian Sima Rodra dan Pasingsingan menjadi agak cemas melihat jalannya pertempuran. Sudah sampai sekian lama, namun orang-orangnya masih belum ada tanda-tanda dapat menguasai lawannya. Apalagi ketika tiba-tiba mereka menyaksikan Mahesa Jenar, yang ternyata akhirnya merasa terdesak, telah mengambil sikap. Kakinya diangkat dan ditekuk kedepan, satu tangannya menyilang dada sedang tangannya yang lain diangkat tinggi-tinggi. Segera pula ia mengatur pernafasannya dan memusatkan tenaganya pada sisi telapak tangannya. Itu adalah pertanda bahwa Mahesa Jenar telah memutuskan untuk mempergunakan senjatanya yang tersimpan di dalam sisi telapak tangannya, Sasra Birawa. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Lembu Sora, Jaka Soka dan Istri Sima Rodra, yang menyaksikan sikap Mahesa Jenar itu segera berloncatan mundur dan berpencaran. Mereka sadar bahwa apabila salah seorang dari mereka sampai tersentuh tubuhnya maka mereka tidak dapat mengharapkan untuk dapat menyaksikan terbitnya matahari fajar besok. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena itu mereka menjadi semakin hati-hati, dan tidak berani menyerang sekenanya, meskipun mereka masing-masing bersenjata. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat keadaan itu, Sima Rodra ternyata tidak mau membiarkan tokoh-tokoh hitam itu kehilangan hati. Maka segera terdengar ia mengaum hebat. Akibatnyapun hebat sekali. Suara itu rasanya seperti mengguncang isi dada. Pasingsingan yang melihat Sima Rodra tua itu sudah akan bertindak, ia pun tidak tinggal diam. Meskipun bukanlah sewajarnya kalau orang-orang angkatan tua itu harus melawan Mahesa Jenar, namun bagi mereka tidak akan ada banyak bedanya, apakah Lawa Ijo dan kawan-kawannya, apakah Pasingsingan dan Sima Rodra yang membinasakan, meskipun mula-mula ia mengharap bahwa anak muridnya beserta kawan-kawannya dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri untuk tidak membawa-bawa namanya. Tetapi sekarang, terpaksa ia terjun ke dalam pertempuran itu. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi baru saja ia meloncat, terdengarlah Sima Rodra berkata, Pasingsingan, kau jangan memperkecil perananku dalam pembunuhan yang akan aku lakukan. Kau tinggal pilih, aku atau kau yang membunuh kelima ekor kelinci yang sombong itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mendengar teriakan Sima Rodra itu Pasingsingan tertawa. Apakah bedanya? Kau yang membunuh kelima-limanya, atau aku, atau kita berdua? jawabnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Terdengarlah Sima Rodra menggeram. Kemudian katanya, Baiklah.... Marilah kita berlomba. Siapakah diantara kita orang tua-tua ini yang masih cukup kuat bergerak. Kau atau aku yang terbanyak dapat membunuh kelima orang yang sudah jemu memandang purnama malam ini. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kembali terdengar Pasingsingan tertawa. Suara tertawanya seolah-olah menyusup ke dalam tulang dan daging, sehingga menimbulkan perasaan nyeri dan pedih. Ketika suara tertawanya itu lenyap, terdengarlah suara suitan nyaring diikuti oleh suatu auman dahsyat. Dan seperti kilat berloncatanlah Pasingsingan dan Sima Rodra memasuki arena.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mahesa Jenar yang masih menunggu kesempatan beserta keempat kawannya mendengar seluruh percakapan itu. Mau tidak mau hati mereka tergetar hebat.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ternyata sekarang Pasingsingan dan Sima Rodra akan ikut serta dalam pertempuran itu. Mereka sama sekali bukanlah orang-orang yang takut mati, tetapi sebentar lagi mereka harus binasa sebelum dapat berbuat sesuatu atas tokoh-tokoh hitam itu. Itulah yang menggelisahkan hati mereka. Tetapi kenyataan itu sama sekali tak dapat diingkari lagi. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Segera darah mereka bergolak ketika mereka mendengar suitan Pasingsingan yang disusul dengan auman dahsyat Sima Rodra. Apalagi ketika dengan aba-aba itu, tokoh-tokoh hitam yang sedang bertempur itu segera berloncatan menjauhkan diri dari lawan masing-masing, agar tidak mengganggu kedua tokoh angkatan tua yang akan terjun dalam pertempuran. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya sadar bahwa saat terakhir telah hampir tiba. Ketika lawan-lawan mereka berloncatan pergi, untuk sesaat mereka tertegun, tetapi sesaat kemudian tanpa sesuatu tanda apapun, agaknya mereka mempunyai persamaan perhitungan, sehingga seolah-olah digerakkan oleh satu tenaga, mereka berloncatan saling mendekat, untuk dapat bersama-sama melawan kedua orang tokoh dari angkatan tua itu. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat mereka berkumpul dalam satu lingkaran, terdengarlah Pasingsingan dan Sima Rodra tertawa hampir berbareng.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Suatu kesetiakawanan yang mengagumkan. Meskipun kalian berdatangan dari perguruan yang berbeda-beda, tetapi karena nasib kalian telah akan kami tentukan, maka kalian dapat bekerja sama dengan rapi sekali. Nah sekarang, lawanlah kami berdua yang tak bersenjata ini dengan segenap kemampuan kalian, sebelum kalian tak sempat menikmati lezatnya madu, kata Pasingsingan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">NAGASASRA dan SABUK INTEN </div><div style="text-align: justify;">Karya SH Mintarja </div><div style="text-align: justify;">205</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kata-kata itu hebat akibatnya. Bunyinya terdengar lebih dahsyat dari seribu guruh yang meledak bersama-sama. Tetapi justru karena itu maka setiap hati dari kelima orang itu menjadi pasrah pada garis hidupnya masing-masing. Dengan demikian maka lenyaplah segala perasaan gentar dan cemas. Yang ada dalam dada mereka hanyalah satu kepercayaan bahwa pintu sorga akan terbuka bagi mereka yang gugur dalam menunaikan tugas mereka untuk membela kebenaran dan kebajikan. Karena itu mereka menjadi lebih mantap menggenggam senjata masing-masing yang siap diayunkan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sesaat kemudian tampillah Pasingsingan dan Sima Rodra bersama-sama, berbareng dengan bergeraknya setiap senjata kawan-kawan Mahesa Jenar. Segera berkobarlah suatu pertempuran yang dahsyat. Kedua orang dari angkatan tua itu memang ternyata memiliki ketinggian ilmu yang luar biasa, sehingga dengan tertawa-tawa saja Pasingsingan dan Sima Rodra dengan senangnya mempermainkan korbannya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dalam pada itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya telah bertempur mati-matian untuk mempertahankan diri. Mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menyerang. Pasingsingan dan Sima Rodra yang hanya dua orang itu seolah-olah seperti angin ribut yang melanda dari segenap penjuru, sedang suara tertawa mereka mengumandang dari segala arah. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Semakin lama Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi semakin bingung. Mereka sudah tidak tahu lagi di mana lawan-lawan mereka berada. Tetapi tahu-tahu tubuh mereka telah tersentuh oleh tangan-tangan yang panasnya melampaui panas api.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mereka sadar bahwa Pasingsingan dan Sima Rodra sampai saat itu baru sampai pada taraf menggoda saja, serta menimbulkan kebingungan dan kesakitan yang semakin lama semakin merata di segenap tubuh Mahesa Jenar dan kawan-kawannya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sehingga akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-kawannya itu bertempur seperti orang gila yang mengayun-ayunkan senjata tanpa tujuan, bahkan hampir-hampir saja mereka telah mengenai satu sama lain. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sementara itu suara tertawa Pasingsingan dan Sima Rodra semakin lama menjadi semakin mengerikan dan menggoncang-goncang dada. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya semakin lama menjadi semakin tak terkendalikan. Mereka bergerak berputaran tanpa tujuan dan hampir diluar kesadaran mereka masing-masing. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sesaat kemudian agaknya Pasingsingan dan Sima Rodra telah jemu dengan permainan mereka. Karena itu segera terdengar Pasingsingan berkata, Sima Rodra, agaknya kelinci-kelinci itu sudah hampir gila. Apakah kita perlu membunuhnya ataukah kita buat saja mereka benar-benar gila? Buat apa kita menonton orang-orang gila berkeliaran di daerah ini?</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Baiklah, kita bunuh saja mereka dengan senjata mereka sendiri, jawab Sima Rodra.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mendengar percakapan Pasingsingan dengan Sima Rodra itu, Mahesa Jenar dengan keempat kawannya meremang seluruh tubuhnya. Tetapi juga karena itu darah mereka meluap-luap karena marah. Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih ada, mereka pasrahkan jiwa dan raga kepada kekuasaan yang Tinggi. Dan sesudah itu mereka bersiap untuk menghadapi saat-saat terakhir. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mahesa Jenar serta keempat kawannya itu masih sempat menyaksikan di bawah remang-remang cahaya purnama yang disaput mega, bayangan Pasingsingan dan Sima Rodra menyambar ke arah mereka, dan sejenak kemudian mereka melihat kedua orang itu berdiri sambil tertawa nyaring beberapa langkah di hadapan mereka dengan sebuah tombak berkait di tangan Pasingsingan serta sebuah trisula di tangan Sima Rodra. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Nah... kata Pasingsingan, Jangan salahkan aku kalau kalian mati karena senjata kawan sendiri. Yang mula-mula harus membuat perhitungan adalah Mahesa Jenar. Kau telah membunuh Watu Gunung, melukai Lawa Ijo, dan dengan Gajah Sora kalian menyerang aku di Banyubiru. Kaulah orang yang pertama-tama harus binasa. Setelah itu sebenarnya bagiku sudah tidak ada soal lagi, apakah aku atau Sima Rodra yang akan membelah perut kalian.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mahesa Jenar mendengarkan kata-kata itu dengan dada yang bergetar. Bukan oleh ketakutan bahwa maut akan melibatnya, tetapi karena ia harus meninggalkan tugas-tugas sucinya sebelum seujung kuku dapat diselesaikan. Namun bagaimanapun ia adalah seorang jantan, karena itu ia tidak akan ada artinya. Maka segera ia pun mempersiapkan dirinya dengan apa yang ada padanya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, agaknya keempat kawan Mahesa Jenar tidak akan membiarkan Mahesa Jenar menjadi korban yang pertama-tama. Karena itu seperti orang yang berebutan, mereka tiba-tiba berloncatan mengelilinginya. Mahesa Jenar menjadi terharu melihat kesetiakawanan yang sedemikian tinggi. Meskipun Paningron dan Wiraraga kini sudah tidak bersenjata lagi, tetapi mereka sama sekali tidak gentar menghadapi kemungkinan yang akan datang. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat kejadian itu Pasingsingan menjadi marah.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ke tepilah kalian yang tidak berkepentingan. Atau kalian semuanya akan bersama-sama binasa, katanya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tak seorangpun menjawab, tetapi tak seorangpun beranjak dari tempatnya. Hal itu menjadikan Pasingsingan semakin marah. Tetapi belum lagi ia berkata sesuatu, Sima Rodra yang agaknya tidak sabar lagi, menggeram. Mereka ternyata benar-benar telah gila dan tidak mampu berkata-kata. Karena itu buat apa kita memilih korban. Marilah bersama-sama kita binasakan mereka sekaligus.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Pasingsingan tidak menjawab. Tetapi segera mereka berdua bergerak dan seperti petir mereka menyambar bersama-sama. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi sementara itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya tidak berdiam diri saja sambil menunggu dada mereka tertembus senjata. Mereka pun segera berusaha untuk melawan sekuat-kuat tenaga mereka. Maka segera terjadilah sekali lagi pertempuran yang maha dahsyat. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi adalah di luar dugaan mereka semuanya, bahwa tiba-tiba saja Mahesa Jenar dapat memberikan perlawanan yang mengerikan. Dengan sebatang dahan kayu ia menyambar, melompat, menangkis dan menyerang dengan dahsyatnya hampir di luar kemampuan manusia.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">NAGASASRA dan SABUK INTEN </div><div style="text-align: justify;">Karya SH Mintarja </div><div style="text-align: justify;">206</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">MAHESA JENAR seolah-olah berada di segala tempat dan dapat menggagalkan segala serangan Pasingsingan dan Sima Rodra, walaupun tidak diarahkan kepadanya. Sehingga baik kawan-kawan Mahesa Jenar sendiri maupun Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi terheran-heran. Mantingan, Gajah Alit, Wiraraga dan Paningron sampai-sampai terpaksa berhenti bertempur karena Mahesa Jenar selalu bergerak dan seolah-olah melayang-layang di hadapan mereka, pada setiap waktu nyawa mereka terancam, sehingga di dalam lingkaran pertempuran itu seakan-akan ada beribu-ribu Mahesa Jenar yang bertempur bersama-sama. Karena itu dada mereka sekarang tergoncang hebat, tidak karena Pasingsingan dan Sima Rodra, tetapi justru karena Mahesa Jenar yang berubah menjadi ribuan Mahesa Jenar dengan kesaktiannya yang dapat menandingi Pasingsingan dan Sima Rodra. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sebaliknya Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi terheran-heran tak keruan. Menghadapi lima orang yang sebenarnya bagi mereka sama sekali tak berarti itu, tiba-tiba saja menjadi agak kerepotan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Serangan-serangan mereka yang seharusnya sudah tidak mungkin dielakkan oleh orang-orang yang setingkat dengan Mahesa Jenar dan kawan-kawannya itu, tiba-tiba dapat dimusnahkan hanya oleh sepotong dahan kayu. Karena itu mereka menjadi semakin marah. Apalagi ketika mereka melihat kelima orang yang melawannya itu bergerak berputaran melingkar dan melibat satu sama lain dengan gerak yang tak terduga-duga dan membingungkan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sebenarnya kawan-kawan Mahesa Jenar itu sama sekali tidak mampu mengadakan gerakan-gerakan yang sedemikian rumitnya, tetapi Mahesa Jenar lah yang mendorong mendesak dan kadang-kadang menarik mereka untuk membuat gerakan-gerakan yang aneh-aneh. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Akhirnya Pasingsingan menjadi tidak sabar lagi, demikian juga Sima Rodra. Segera mereka melemparkan senjata-senjata rampasan itu, dan tiba-tiba di tangan Pasingsingan telah tergenggam sebilah pisau belati panjang yang berwarna kuning gemerlapan, sedang di jari-jari Sima Rodra seolah-olah tumbuhlah kuku-kukunya yang panjang dan bersalut logam. Agaknya kedua orang itu telah sedemikian marahnya sehingga mereka merasa perlu mempergunakan senjata-senjata simpanan mereka. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dalam pada itu, segenap tokoh-tokoh hitam yang menyaksikan pertempuran itu menjadi cemas dan kebingungan. Berkali-kali mereka menggosok-gosok mata mereka, sebab di dalam keremangan cahaya bulan yang tidak seterang siang hari, mereka telah menyaksikan suatu pertempuran yang tak dapat diikuti oleh pikiran-pikiran mereka. Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua tokoh yang berada dalam tingkatan guru Mahesa Jenar, bahkan mungkin berada diatas guru-guru orang-orang lain kawan-kawan Mahesa Jenar.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi ternyata untuk melawan mereka berlima, kedua orang sakti itu telah terpaksa mempergunakan senjata-senjata mereka yang hampir sama sekali tak pernah mereka perlihatkan. Apalagi di dalam lingkaran pertempuran itu, mereka melihat bayangan Mahesa Jenar berubah, seakan-akan lebih dari satu Mahesa Jenar yang berdiri di sana sambil bergerak menyambar-nyambar tak terikuti oleh pandangan mereka. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sementara itu pisau belati panjang Pasingsingan telah mulai bergerak menyambar-nyambar, sedang jari-jari Sima Rodra yang berkuku panjang-panjang mengembang mengerikan. Namun Mahesa Jenar dapat dengan tangkasnya melawan setiap serangan kedua tokoh itu. Malahan sekali-sekali potongan dahan kayu di tangannya berhasil mengenai tubuh Pasingsingan dan Sima Rodra. Dengan demikian sekarang bergantilah bahwa Pasingsingan dan Sima Rodra yang menjadi kebingungan dan bertempur dengan gelisah. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Barulah teka-teki itu terpecahkan ketika Pasingsingan dan Sima Rodra yang sudah kebingungan meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak dengan kelima lawannya yang aneh itu. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua orang yang sudah kenyang makan asin pahit kehidupan, maka mereka segera menaruh curiga bahwa pasti ada sesuatu yang tidak wajar. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ketika mereka telah berdiri dengan jarak dua tiga langkah, tahulah mereka bahwa mata mereka telah terkelabui. Karena itu segera Pasingsingan berteriak nyaring dibarengi oleh suara auman dahsyat dari Sima Rodra untuk menyatakan kemarahan hati mereka. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ternyata yang berdiri di hadapan mereka itu, yang semula adalah lima orang, tiba-tiba tanpa setahu orang setingkat Pasingsingan dan Sima Rodra telah berubah menjadi tujuh orang. Sedang kedua orang yang melibatkan diri kedalam pertempuran itu berpakaian kumal dan berwarna gelap mirip sekali dengan pakaian Mahesa Jenar.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Apalagi gerak mereka pun sedemikian dekat dengan gerak anak perguruan Pengging itu. Mereka berdualah yang memegang tongkat potongan dahan kayu. Sedang Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa diketahuinya sendiri telah memegang sepotong dahan kayu yang mirip dengan kedua dahan yang lain. Itulah sebabnya bahwa dalam keributan pertempuran itu Mahesa Jenar seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu Mahesa Jenar yang berada di segala tempat. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mengalami peristiwa itu Pasingsingan dan Sima Rodra untuk sejenak tertegun heran. Ini adalah suatu kejadian yang luar biasa. Meskipun Pasingsingan dan Sima Rodra sadar bahwa mereka adalah manusia-manusia biasa, namun peristiwa itu adalah peristiwa yang hampir tak mungkin dapat dimengerti. Hal ini adalah suatu pertanda bahwa kedua orang yang memasuki arena itu adalah orang yang mumpuni. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Apalagi Mahesa Jenar sendiri beserta keempat kawannya. Mereka jadi ragu-ragu sendiri apakah otak mereka telah benar-benar tidak bekerja dengan baik. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Baru kemudian sadarlah mereka bahwa ada orang lain yang sengaja akan menolong jiwa mereka. Karena ternyata ketika mereka sempat memperhatikan setiap wajah diantara mereka, dapatlah mereka ketahui bahwa kedua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar, kumal dan gelap itu, sama sekali bukan Mahesa Jenar. Wajah-wajah mereka tampak merah kehitam-hitaman.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">NAGASASRA dan SABUK INTEN </div><div style="text-align: justify;">Karya SH Mintarja </div><div style="text-align: justify;">207</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Di bawah cahaya bulan yang remang-remang, memang sangat sulit untuk mengenali siapakah mereka itu. Apalagi agaknya kedua orang itu dengan sengaja telah mewarnai wajah-wajah mereka dengan warna-warna hitam dan merah. Sedemikian hebatnya peristiwa itu mempengaruhi perasaan mereka sehingga kelima orang itu tubuhnya menjadi gemetar. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sementara itu darah Pasingsingan dan Sima Rodra serasa mendidih, membakar rongga dada mereka. Mereka merasa bahwa perbuatan kedua orang itu telah dilakukan dengan sengaja untuk menghinanya. Karena itu mereka menjadi marah sekali. Maka terdengarlah suara Pasingsingan yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam perut. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Hai orang-orang yang telah berbuat seolah-olah jantan tanpa tandingan, kalian telah menghinakan kami. Apakah kalian tidak sadar bahwa perbuatan kalian itu dapat mengancam keselamatan jiwa kalian? </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Maka terdengarlah salah seorang menjawab dengan nada yang tajam tinggi dibuat-buat, sehingga semua orang yang mendengarnya mengetahui bahwa suara itu bukanlah suara aslinya untuk menyembunyikan diri,</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Aku hanya ingin bermain-main saja Pasingsingan, seperti kau ingin bermain-main dengan kelima kelinci-kelinci ini. Bukankah permainanku tidak kalah baiknya dengan permainanmu? </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mendengar jawaban itu Sima Rodra menyahut dengan suaranya yang menggeletar,</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Apa hubungan kalian dengan orang-orang yang akan aku binasakan itu? </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kembali terdengar jawaban, Hubungannya adalah, aku tidak senang melihat kau membinasakan orang-orang yang tak bersalah.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Oleh jawaban itu, darah Sima Rodra dan Pasingsingan semakin menggelegak.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Aku beri kesempatan kau minta ampun kepadaku, kata Sima Rodra. Atau, aku akan membinasakan kalian juga?</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Terdengarlah suara tertawa tinggi nyaring. Kemudian orang itu menjawab pula, Aku tidak senang melihat kau membinasakan kelima orang yang tak bersalah itu, apalagi kau akan membinasakan kami berdua. Pastilah, bahwa kami menjadi semakin tidak senang lagi. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Janganlah kalian berbicara seenaknya, bentak Pasingsingan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Kau anggap bahwa orang-orang itu tak bersalah? Aku mempunyai sebuah ceritera yang tak akan habis aku ceriterakan semalam suntuk untuk membuktikan kesalahan mereka. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Aku sudah tahu apa yang akan kau ceriterakan. Terdengar kembali sebuah jawaban,</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dan aku mengerti pula apa yang kau anggap kesalahan orang-orang itu, bahwa mereka telah berusaha mencegah kejahatan-kejahatan yang kalian atau murid-murid kalian lakukan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena jawaban itu Pasingsingan hampir tak dapat menguasai dirinya, namun ia masih bertanya pula, Siapakah sebenarnya kalian?</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang yang selalu menyembunyikan wajahnya di belakang topeng yang jelek itu, tak perlu berusaha mengetahui siapakah orang-orang yang berdiri di hadapannya, jawab orang itu. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sekarang Pasingsingan benar-benar tak dapat menguasai dirinya. Dengan satu gerakan yang hampir tak dapat ditangkap oleh kecepatan pandangan mata, Pasingsingan meloncat maju. Belati panjangnya berkilau gemerlapan oleh sinar bulan yang remang-remang. Sedang Sima Rodra yang melihat kawannya mulai bertindak, segera pula mengaum menggetarkan sambil menerkam, tak ubahnya seekor harimau lapar.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Yang menyaksikan kedua serangan tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua itu, dadanya berdesir. Seakan-akan tak ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari serangan yang demikian dahsyatnya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi ternyata dugaan mereka meleset. Dua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu, yang masing-masing menerima serangan dari Pasingsingan dan Sima Rodra, masih sempat berteriak nyaring, Mahesa Jenar, undurlah beserta kawan-kawanmu. Biarlah mereka selesaikan urusan ini dengan orang-orang yang sebaya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Setelah itu mereka segera berloncatan menghindari serangan-serangan lawannya yang hampir saja telah mengenainya. Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, setelah mendengar kata-kata orang yang tak dikenalnya itu, segera berlari menjauhi sampai lebih dari 10 langkah. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Setelah itu maka terjadi suatu pertarungan yang maha dahsyat. Pertarungan yang jarang terjadi. Pasingsingan yang telah terkenal sebagai seorang yang paling ditakuti itu bertempur mati-matian dengan seorang yang tak dikenal, yang memiliki ilmu sempurna. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Demikian pula Sima Rodra. Ternyata lawannya memiliki ilmu yang tinggi pula sehingga pertempuran diantara mereka tidak kalah hebatnya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sejenak kemudian pertempuran itu sudah tidak dapat disaksikan dengan jelas. Yang tampak hanyalah asap yang bergulung-gulung libat melibat, serta kilatan cahaya yang menyambar-nyambar, disertai dengan angin yang melingkar-lingkar diantara mereka yang sedang bertempur itu. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Selain suara derap mereka yang sedang berjuang itu tak ada lagi yang bergerak, bahkan tak seorangpun yang sempat mengedipkan mata. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Suasana di lapangan kecil di tepi hutan itu benar-benar dicekam oleh suasana tegang yang mengerikan. Angin yang bertiup semilir seakan-akan menyebarkan udara maut ke segenap penjuru, sedang bunga-bunga liar menaburkan bebauan yang menjadikan udara bersuasana mati namun harum. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Orang-orang yang tak dikenal itu ternyata benar-benar dapat menandingi Pasingsingan dan Sima Rodra. Bahkan semakin lama semakin nampak bahwa Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi agak terdesak. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Hal ini adalah suatu kejadian yang sangat menggoncangkan dada mereka yang menyaksikan. Mereka jadi sibuk menduga-duga siapakah kedua orang itu. Wajahnya yang sengaja disaput dengan warna-warna hitam dan merah itu menjadi sangat susah untuk dikenali di dalam keremangan cahaya bulan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">NAGASASRA dan SABUK INTEN </div><div style="text-align: justify;">Karya SH Mintarja </div><div style="text-align: justify;">208 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">KETIKA Pasingsingan dan Sima Rodra seamkin terdesak, maka tak ada pilihan lain dari mereka kecuali mempergunakan ilmu-ilmu terakhir yang menjadi andalan mereka. Segera Sima Rodra meloncat beberapa langkah mundur. Dengan sebuah auman yang hebat ia menggetarkan tubuhnya. Itulah suatu pertanda bahwa Harimau Liar dari Rojaya itu telah mempergunakan ajinya yang dahsyat, Macan Liwung. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sedang di lain pihak, Pasingsingan segera mengenakan cincinnya yang bermata merah menyala, Kelabang Sayuta, dibarengi dengan ilmunya Alas Kobar. Akik Klabang Sayuta adalah semacam batu akik beracun yang sangat tajam dan pernah dipergunakan oleh Lawa Ijo untuk menghantam Mahesa Jenar. Untunglah Mahesa Jenar memiliki daya penawarnya. Sedang aji Alas Kobar sebenarnya adalah suatu ilmu yang maha dahsyat, yang apabila dipergunakan untuk menyerang lawan, akibatnya seperti api yang maha besar, yang seolah-olah sanggup memusnakan hutan yang lebat. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat kedua lawannya telah mempergunakan ilmu-ilmu yang paling akhir dimiliki, serta mempunyai daya hancur yang luar biasa, maka kedua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu segera berloncatan mundur. Tampaklah mereka mengerutkan kening dan menarik nafas panjang. Tetapi mereka sudah tidak memiliki waktu banyak untuk berfikir, sebab sesaat kemudian Pasingsingan dan Sima Rodra telah siap untuk menghancurlumatkan lawan-lawan mereka. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mahesa Jenar beserta keempat kawannya yang menyaksikan gerak Pasingsingan dan Sima Rodra yang berubah menjadi buas dan mengerikan itu, menahan nafas. Dada mereka berdegupan. Apakah kira-kira yang akan terjadi apabila kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu sampai terjamah oleh tangan-tangan yang siap menyebar maut itu? </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sebaliknya adalah Lawa Ijo, Sima Rodra beserta kawan-kawannya. Seolah-olah mereka sudah melihat bahwa perkelahian itu sudah sampai pada akhir. Kedua orang itu pasti segera akan lebur menjadi tepung, dan sesudah itu mereka akan menyaksikan lawan-lawannya yang paling dibencinya, yaitu Mahesa Jenar akan lumat pula beserta keempat kawan-kawannya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi apa yang mereka saksikan adalah sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu kemudian tampak berdiri tegak di atas kedua kaki yang renggang, sedang kedua tangan mereka bersilang dengan telapak tangan masing-masing di atas pundak seperti orang yang sedang bersemedi. Tetapi apa yang mereka lakukan itu hanya sesaat, tidak lebih dari sekeredipan mata. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Setelah itu, segera mereka berloncatan dan bergerak, mirip dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya, bahwa kedua orang itu telah mempergunakan ilmu yang mereka namakan Naga Angkasa. Ilmu yang telah mereka ciptakan bersama setelah mereka bertahun-tahun menekuni dan mempelajari gerak dari binatang-binatang di udara. Sehingga akhirnya mereka menemukan suatu kedahsyatan dari gerak burung rajawali yang mereka gabungkan dengan kelembutan gerak seekor ular yang sanggup membelit, melingkar dengan lemasnya. Dilambari dengan kekuatan batin yang sempurna dari kedua orang yang tak dikenal itu, maka Naga Angkasa merupakan suatu ilmu yang sukar untuk diperbandingkan.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena itu, beradunya ilmu-ilmu yang dahsyat itu kemudian menimbulkan suasana yang hampir tak dapat digambarkan. Macan Liwung, Alas Kobar dan Naga Angkasa. Di dalam lingkaran pertempuran itu terjadilah benturan-benturan yang mengerikan. Meskipun mereka tidak bersenjata, sentuhan tubuh-tubuh mereka dengan ilmu mereka masing-masing telah melebihi berdentangnya senjata. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ketika pertempuran itu kemudian bergeser semakin mendekati hutan, maka tampaklah pepohonan menjadi bergoyang-goyang oleh angin yang timbul karena gerakan-gerakan mereka yang sedang bertempur. Daun-daun kering berterbangan melebihi tiupan angin kemarau. Kemudian disusul dengan kengerian yang memuncak. </div><div style="text-align: justify;">Tangan-tangan mereka yang tak dapat menyentuh lawan-lawan mereka, yang dengan gerak yang tak dapat dicapai oleh mata biasa berhasil menghindar, dan kemudian mengenai pepohonan, menjadi roboh berantakan. Suaranya berderak-derak menggetarkan seluruh hutan di tepi Rawa Pening itu, disela oleh teriakan nyaring dan auman dahsyat Sima Rodra tua. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Baik Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, maupun Lawa Idjo beserta seluruh golongan hitam, ketika menyaksikan kedahsyatan pertempuran itu, kemudian seperti orang-orang yang melihat pertunjukan yang menakutkan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Pertempuran itu sendiri semakin lama menjadi semakin dahsyat. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sementara itu bulan yang berjalan menyusur garis edarnya, semakin lama menjadi semakin tinggi tergantung di langit yang bersih. Hanya sekali-kali mega putih seperti kapas berterbangan di muka wajahnya yang kuning pucat, seperti wajah gadis yang ketakutan melihat pahlawannya sedang berjuang diantara hidup dan mati.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">NAGASASRA dan SABUK INTEN </div><div style="text-align: justify;">Karya SH Mintarja </div><div style="text-align: justify;">209</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">KETIKA bulan itu sudah melampaui titik puncak langit, terjadilah perubahan dalam keseimbangan pertempuran di hutan Rawa Pening. Kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar serta wajahnya disaput dengan warna merah dan hitam itu kemudian berpendapat bahwa apabila keringatnya semakin banyak mengalir, akan hanyutlah warna-warna hitam dan merah di wajahnya. Maka dengan demikian pasti mereka akan dikenal oleh lawan-lawannya. Apalagi kalau pertempuran itu sampai menjelang fajar. Karena itu, segera mereka mengeluarkan segenap ilmunya, kekuatan lahir dan batinnya. Naga Angkasa itu semakin lama menjadi semakin garang setelah mendapatkan saluran yang lapang. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Pasingsingan yang percaya kepada ilmunya Alas Kobar menjadi keheran-heranan dan gelisah. Ilmu yang dapat menghindarkan diri dari panasnya ilmu Alas Kobar yang melebihi bara api. Bahkan kadang-kadang ia terlibat dalam satu keadaan yang sangat berbahaya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Udara yang dingin seolah-olah meniup-niup dari segala arah dan melilit-lilit tubuhnya seperti ular. Sementara ia sedang berusaha menguraikan lilitan hawa dingin itu, tiba-tiba melayanglah lawannya dari udara dengan tangan yang mengembang siap menerkam lehernya. Untuk melawan serangan yang demikian, terpaksa ia mempergunakan pisaunya di tangan kiri dan akik Klabang Sejuta di tangan kanan dilambari dengan ilmunya Alas Kobar. Beruntunglah Pasingsingan bahwa agaknya lawannya mengenal betapa saktinya kedua senjatanya itu sehingga beberapa kali ia berhasil membebaskan diri dari serangan-serangan maut yang mengerikan itu. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sima Rodrapun diam-diam mengumpat dalam hati. Lawannya benar-benar seperti hantu yang menakutkan. Gerakan-gerakannya cepat tak terduga, sedang aji Macan Liwung ternyata sampai sekian lama tak dapat menjatuhkannya. Karena itu ia menjadi semakin ganas dan beberapa kali mengaum keras.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Namun bagaimanapun juga lawannya benar-benar seorang yang luar biasa, yang menyerangnya seolah terbang di udara, tetapi sekali-kali berguling dan tangannya mematuk seperti kepala ular mengarah ke bagian-bagian tubuhnya yang lemah.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Benturan-benturan yang terjadi di dalam pertempuran itu, meyakinkan Sima Rodra bahwa lawannyapun memiliki kekuatan yang dapat menandingi kekuatan Macan Liwung. Karena itu ia menjadi gelisah sebab sesudah Macan Liwung tidak ada lagi yang dapat dibanggakan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Sesaat lagi semakin jelaslah bahwa kedua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu mempunyai beberapa kelebihan dari lawannya. Lawan Pasingsingan hampir dalam setiap geraknya dapat memotong gerakan-gerakan Pasingsingan, bahkan mendahuluinya. Karena itu Pasingsingan menjadi semakin heran dan kebingungan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi sama sekali ia tak dapat meraba-raba, dari perguruan manakah ilmu yang diwarisi oleh lawan-lawannya yang aneh itu. Sebab menilik beberapa geraknya, ia mengenal sumber-sumber yang bermacam-macam. Bahkan ada beberapa kemiripan dengan gerakan-gerakan dari perguruannya sendiri, tetapi ia juga melihat beberapa gerakan yang sesuai dengan dasar-dasar gerak peninggalan dari almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh yang bersumber dari Ranggalawe yang dahsyat itu. Malahan ia melihat juga gerakan-gerakan hebat yang berasal dari almarhum Raden Gadjah yang pernah dengan susah payah dipelajarinya namun sama sekali belum sempurna. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena kegelisahan serta kebingungan itulah maka Pasingsingan bertempur semakin lama semakin kehilangan keseimbangan. Meskipun kemarahannya menggelegak sampai kepala, namun tenaganya tidak dapat mengimbangi perasaannya. Sehingga semakin bernafsu ia mengalahkan lawannya semakin hilanglah keseimbangan gerakannya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Agaknya sedemikian pula dengan Sima Rodra. Bagaimanapun ia berusaha dengan sekuat tenaganya yang diandalkan itu, namun ilmunya Macan Liwung memang berada di bawah kedahsyatan Naga Angkasa. Karena itu semakin lama Sima Rodra tua itu menjadi semakin terdesak mundur. Beberapa kali ia mencoba untuk mengadakan serangan-serangan yang membahayakan, tetapi usahanya selalu tidak berhasil. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Ia menganggap bahwa selama ini tak seorang pun yang mampu mengatasi ilmunya yang mengerikan itu. Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Anganten yang mewarisi sebagian ilmunya Menak Jingga dari Blambangan dan sahabatnya sendiri Bugel Kaliki yang terkenal itupun setinggi-tingginya baru dapat menyamainya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Namun tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan seorang yang tak dikenal yang dapat melebihi ketinggian ilmunya. Meskipun wajah orang-orang itu tak jelas baginya namun pasti bahwa mereka bukan orang dari Pandan Alas beserta sahabat-sahabatnya.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena itu hatinya lambat laun menjadi kecil pula. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Apabila ia sampai dilibat oleh lawannya sehingga ia benar-benar dibinasakan maka segala rencananya akan pudar. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Bagaimanapun, seperti juga Pasingsingan, ia berkeinginan melihat muridnya, bahkan anaknya sendiri menjadi orang yang berkekuasaan besar. Itulah sebabnya ia bekerja mati-matian untuk mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dengan sekutunya Pasingsingan, meskipun ia sadar bahwa kemudian Pasingsingan pasti akan mengusahakan agar keris itu dapat dimiliki oleh murid kesayangannya, Lawa Ijo. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Karena itu, baik Sima Rodra maupun Pasingsingan merasa bahwa bagaimanapun mereka tak akan mampu untuk mengalahkan lawannya. Ia tidak berani memerintahkan kepada Lawa Ijo dan kawan-kawannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu, sebab bahayanya akan besar sekali apabila mereka sampai tersentuh kesaktian ilmu lawannya. Apalagi dengan demikian Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu jalan yang sebaik-baiknya selagi masih berkesempatan adalah menarik diri. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mendapat keputusan itu, maka segera terdengarlah suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan. Suara itu bergetar di antara gerak-geraknya yang semakin terdesak itu.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">NAGASASRA dan SABUK INTEN </div><div style="text-align: justify;">Karya SH Mintarja </div><div style="text-align: justify;">210 </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">MAHESA Jenar dan kawan-kawannya terkejut mendengar suara Pasingsingan, yang seolah-olah mendapat suatu kemenangan yang gemilang. Tetapi sebenarnya suara itu adalah suatu pertanda kepada Lawa Ijo dan anak buahnya untuk segera menghindarkan diri. Karena itu, betapa kecut hati Lawa Ijo beserta anak buahnya melihat suatu kenyataan bahwa Pasingsingan yang diagung-agungkan itu tidak dapat mengatasi lawan-lawannya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Maka, tidak perlu diulangi lagi, Lawa Ijo segera meloncat dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi lawan-lawan Pasingsingan, disusul oleh Wadas Gunung, Carang Lampit, Cemara Aking dan kawan-kawannya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat Lawa Ijo dan para pengiringnya melarikan diri, tokoh-tokoh golongan hitam itu terkejut. Segera mereka sadar bahwa keadaan menjadi sangat genting. Apalagi ketika kemudian terdengar geram Sima Rodra seperti merintih-rintih, dan kemudian disusul dengan lenyapnya Suami Isteri Sima Rodra muda menyusup kedalam hutan, maka pemimpin-pemimpin gerombolan hitam itu tidak menunggu lebih lama lagi, segera mereka dengan pengiring-pengiring mereka berlari-lari menyelamatkan diri mereka masing-masing. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Melihat peristiwa itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi keheran-heranan. Mereka sama sekali tidak dapat mengetahui apakah yang terjadi. Sesaat kemudian terdengarlah orang-orang yang berpakaian seperti Mahesa Jenar itu tertawa nyaring. Sedang solah mereka menjadi semakin lincah dan berbahaya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Akhirnya Sima Rodra merasa bahwa tidak ada gunanya ia bertahan lebih lama lagi. Mungkin ia masih dapat bertempur sampai sehari, namun kesudahannya akan sudah pasti, yaitu lawannya akan dapat membinasakannya. Karena itu, dengan mengaum hebat, ia meloncat undur dan setelah itu dengan kecepatan yang mungkin dicapainya, ia berusaha untuk menyelamatkan diri. Melihat Sima Rodra Rodra itu berlari seperti terbang meninggalkannya, lawan Sima Rodra itu tertawa kembali. Tetapi sama sekali ia tidak berusaha untuk mengejarnya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Berbeda dengan lawan Pasingsingan. Ketika Pasingsingan tinggal seorang diri, iapun segera berusaha untuk melepaskan diri dari pertempuran itu, namun lawannya sama sekali tidak memberi kesempatan. Bahkan akhirnya dengan mengerahkan segenap tenaganya lahir dan batin, dilambari dengan ilmu Naga Angkasa, lawan Pasingsingan itu berhasil melibat tubuh Pasingsingan dengan gerak-geraknya yang mirip dengan gerak Ular, tetapi yang kadang-kadang seperti seekor burung Rajawali yang meniup menyambar-nyambar. Mengalami peristiwa itu Pasingsingan menjadi bingung.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Keringat dinginnya mengalir membasahi jubah abu-abunya. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan segenap kekuatannya ia mencoba bertahan, dan melindungi dirinya dengan Belati Panjangnya yang bernama Kiai Suluh, serta akik Kelabang Sayuta dibarengi dengan ilmunya Alas Kobar dan Gelap Ngampar. Namun Naga Angkasa itu seperti hantu saja yang berada disegala tempat dan menyerang dari segala penjuru. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Pasingsingan mengeluh didalam hati. Karena itulah maka pemusatan pikirannya sedikit demi sedikit menjadi terurai, sehingga dengan demikian daya kekuatan Alas Kobar serta Gelap Ngampar pun menjadi berkurang. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba terasalah udara dingin sedingin air embun, membelit diseluruh bagian tubuhnya, dibarengi dengan suatu teriakan dahsyat seperti teriakan burung rajawali yang sedang marah, terasalah pundaknya dicengkam oleh tangan yang kuat seperti baja. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan cepat ia menggerakkan pisau panjangnya, tetapi sama sekali tak mengenai sesuatu. Cepat ia mengulangi berkali-kali, tetapi yang ada dihadapannya bagaikan hantu yang dapat berkisar-kisar dengan cepatnya tanpa mengadakan gerakan sesuatu. Bahkan akhirnya tangan yang sekuat baja itu berhasil menangkap tangannya dan dipilinnya kebelakang. Pasingsingan merasakan suatu keanehan membersit didalam dadanya. Bahwa didunia ini ada kekuatan seperti itu, yang sama sekali tak diduganya semula. Sebenarnya ia sendiri merasakan bahwa ilmunya tidak usah terlalu jauh kalah dari ilmu lawannya. Hanya kekuatan orang itu agaknya yang luar biasa. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan mengerahkan segenap kekuatannya yang terakhir Pasingsingan mencoba untuk melepaskan diri, namun orang itu agaknya mengerahkan segenap kesaktiannya pula untuk dapat tetap menguasai Pasingsingan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Mahesa Jenar dan kawan-kawannya melihat kejadian itu dengan jantung yang berdegupan hebat. Meskipun mereka agak terguncang perasaan, namun timbul pula kebanggaan serta ketenteraman diri. Mereka menyaksikan bahwa akhirnya Pasingsingan dapat dikalahkan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba dalam keremangan cahaya bulan mereka melihat tangan orang yang menangkap Pasingsingan itu bergerak cepat sekali sehingga dalam sekejap ditangan itu telah berkilat-kilat cahaya sebuah keris yang agaknya tidak kalah hebatnya dari pisau belati panjang Pasingsingan. Dengan penuh bernafsu orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu mengayunkan kerisnya untuk menembus dada Pasingsingan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Tetapi kembali Mahesa Jenar dan kawan-kawannya dikejutkan oleh bayangan yang melontar kearah mereka yang sedang bertempur itu. Ia adalah orang yang satu lagi, yang berpakaian mirip Mahesa Jenar, yang tadi bertempur dengan Sima Rodra.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Dengan cekatan ia menangkap tangan kawannya yang memegang keris yang hampir saja memusnahkan orang yang memakai kedok jelek berjubah abu-abu dan menamakan diri Pasingsingan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang itu agaknya terkejut, sehingga pegangannya mengendor. Kesempatan ini agaknya dapat dipergunakan Pasingsingan dengan baik. Cepat ia berusaha membebaskan diri, dan dalam sekejap tampaklah ia seperti terbang berlari menyusup kedalam hutan. Jubahnya yang abu-abu melambai-lambai ditiup angin malam, namun hanya sesaat, karena sesaat kemudian ia telah lenyap ditelan lebatnya hutan. </div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Orang yang memegang keris, yang hampir saja menyobek dada Pasingsingan itu memandang kawannya dengan mata yang bertanya-tanya. Rupa-rupanya ia menjadi sangat kecewa.</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">Katanya Kakang, kenapa kakang menahan aku pada saat Pasingsingan sudah diambang maut?</div><div style="text-align: justify;">
<br /></div><div style="text-align: justify;">BERSAMBUNG...</div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-29975950832197430302011-08-14T04:40:00.000-07:002011-08-14T04:43:00.914-07:00NAGA SASRA SABUK INTEN_seri 191 -200<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYNmJERKmqNka7xQ-7vle3-t2_h4oXhZJa5p3OoBe0_8S8GQ9CMAHrPw5ZFwJzLqx6iHooD_o29w5H27deBOhlzu9tzjYTZvegHcAUYxP_Q5NRw2iXEeAc-_eocmFZ4VgPCndJL1i6EA/s1600/mahesa_jenar1.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 251px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYNmJERKmqNka7xQ-7vle3-t2_h4oXhZJa5p3OoBe0_8S8GQ9CMAHrPw5ZFwJzLqx6iHooD_o29w5H27deBOhlzu9tzjYTZvegHcAUYxP_Q5NRw2iXEeAc-_eocmFZ4VgPCndJL1i6EA/s320/mahesa_jenar1.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640675671321751698" /></a><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >191</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >MEREKA berjalan dengan agak tergesa-gesa. Mahesa Jenar mengharap untuk dapat segera sampai ke Pudak Pungkuran dan menitipkan Arya di sana. Setelah itu ia akan berusaha dengan bersembunyi menemui Wanamerta dan ibu Arya, untuk membeberkan peranan Lembu Sora yang sebenarnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata Arya pun adalah anak yang betah berjalan. Meskipun tampaknya ia agak lelah, ketika Mahesa Jenar mengajaknya beristirahat anak itu menolak. Maka mereka pun berjalan terus di dalam gelapnya malam. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar memang pernah pergi ke Pudak Pungkuran. Dan ia telah pula mengenal jalan dari tempat itu ke Banyubiru. Tetapi sekarang untuk menghindari bahaya, ia menempuh jalan lain. Jalan yang belum pernah dilewatinya. Karena itu ia menjadi agak bingung dan kesulitan untuk menemukan arah yang tepat di dalam gelap serta di dalam hutan yang belum pernah dijamahnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka kemudian ketika fajar menyingsing, serta melemparkan warna kemerahan ke segenap penjuru, insyaflah Mahesa Jenar bahwa jalan yang ditempuh adalah jalan yang sama sekali tidak mengarah ke Pudak Pungkuran. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu dengan hati berdebar-debar ia berkata, Arya.., agaknya aku telah kehilangan jurusan untuk mencapai Pudak Pungkuran. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang tidak mengerti. Lalu ke mana kita pergi, Paman? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menarik nafas. Dengan hilangnya arah Pudak Pungkuran, ia tidak lagi mempunyai suatu tujuan tertentu lagi. Karena itu ia menjawab, Arya, tujuan bukanlah hal yang penting bagi kita. Kemanapun kita akan pergi, adalah sama saja. Sebab akhirnya kita akan kembali lagi ke Banyubiru. Karena itu, jangan dirisaukan tujuan kita. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi badannya sudah bertambah letih. Meskipun demikian Arya masih belum mau untuk beristirahat. Karena itu kembali mereka berjalan menyusur hutan yang tidak begitu lebat. Meskipun perlahan-lahan, namun mereka setapak demi setapak tetap maju. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika matahari sudah mencapai ujung pepohonan, hutan yang ditempuh itu sudah semakin menipis. Sejenak kemudian tuntaslah hutan itu. Mahesa Jenar dan Arya Salaka segera menempuh padang rumput yang tidak begitu luas untuk segera sampai ke daerah yang didiami orang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di sinilah mereka beristirahat. Orang-orang yang membangun daerah itu menjadi pedesaan, ternyata adalah orang-orang yang ramah dan baik hati. Yang menerima Mahesa Jenar dan Arya Salaka sebagai seorang perantau beserta anaknya, dengan senang hati. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak dapat untuk seterusnya menetap di tempat itu, sebab menurut pertimbangannya, tempat itu masih terlalu dekat dengan Banyubiru. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu ketika ia beserta Arya telah beristirahat satu malam, mereka minta izin kepada penduduk desa itu untuk segera meneruskan perjalanan. Terpaksa Mahesa Jenar membohongi orang-orang desa itu, dengan mengatakan arah yang bertentangan dengan arah yang sebenarnya hendak ditempuh, untuk menghindari orang-orang yang mencari mereka, kalau-kalau menanyakan kepada penduduk, apabila mereka sampai di tempat itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada hari berikutnya Mahesa Jenar sampai pula pada sebuah desa yang lain. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Penduduk desa ini terdiri dari orang-orang yang baik hati dan ramah pula. Mereka menerima Mahesa Jenar dengan senang hati, serta dengan gembira mereka menerima Mahesa Jenar sebagai warga baru di desa itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di daerah ini Mahesa Jenar merasa, bahwa keamanan Arya telah dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu ia pun menyatakan diri sebagai keluarga baru serta dengan bekerja keras ia pun segera membangun perumahan serta menebas hutan untuk tanah pertanian, sebagaimana dilakukan oleh setiap pendatang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di tempat kediamannya yang baru itu Mahesa Jenar dianggap tidak lebih dari seorang petani biasa. Seorang yang seperti kebanyakan penduduk di desa itu, yang datang untuk sekadar dapat memperbaiki nasibnya dengan mengolah tanah yang sedikit lebih subur dibanding daerah mereka semula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Demikianlah Mahesa Jenar dan Arya Salaka telah memulai dengan suatu penghidupan baru, sebagai seorang petani yang bekerja untuk mempertahankan hidupnya. Setiap pagi mereka pergi ke ladang, menggarap tanah seperti yang dikerjakan oleh orang lain pula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi disamping itu, yang tak seorang pun mengetahuinya adalah, di dalam setiap kesempatan, terutama apabila matahari telah terbenam, Mahesa Jenar dengan tekunnya menuntun Arya dalam berbagai ilmu. Tidak saja olah kanuragan, tetapi juga tata pergaulan, kesusasteraan dan sebagainya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lebih dari itu, Mahesa Jenar juga selalu memberi petunjuk-petunjuk tentang keluhuran budi dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, juga sedikit mengenai ilmu keprajuritan dan siasat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sedikit demi sedikit, namun pasti, Arya setiap saat tumbuh menjadi seorang pemuda yang perkasa serta memiliki berbagai macam pengetahuan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sementara itu terjadilah berbagai perubahan di Banyubiru. Pada malam Arya dilarikan oleh Mahesa Jenar, Wanamerta telah mengutus beberapa orang untuk minta perlindungan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Ketika utusan Wanamerta sampai di Pamingit, Lembu Sora justru baru berada di Banyubiru, sehingga utusan itu terpaksa menunggu untuk beberapa lama. Baru beberapa saat kemudian Ki Ageng Lembu Sora dengan tergesa-gesa datang kembali. Tentu saja ia sama sekali tidak mengatakan bahwa ia baru datang dari Banyubiru. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar permintaan utusan Wanamerta itu, hati Lembu Sora menjadi gembira sekali. Tanpa berpikir lagi segera ia menyanggupinya. Pada saat itu pula Ki Ageng Lembu Sora segera mengumpulkan pasukannya, pasukan murni dari Pamingit, yang dianggapnya pilihan serta dapat dipercaya. Ia sendiri kemudian berangkat memimpin orang-orangnya untuk melindungi perdikan Banyubiru. Tetapi ketika pasukan itu sampai, keadaan telah reda. Para penyerang telah menarik diri. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >192</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >DALAM pertemuan yang diadakan oleh Lembu Sora dengan para pemimpin Banyubiru, karena kelincahan Lembu Sora, maka dicapai suatu persetujuan bahwa selama Gajah Sora belum kembali, serta Arya Salaka belum diketemukan, Banyubiru langsung berada di bawah pemerintahan Lembu Sora di Pamingit. Tetapi untuk kelancaran tata pemerintahan, Lembu Sora diberi wewenang untuk menempatkan beberapa orangnya di Banyubiru. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Inilah titik permulaan dari kemunduran secara menyeluruh bagi Banyubiru. Sebenarnya perjanjian perlindungan itu tidak menyenangkan hati beberapa orang diantara para pemimpin Banyubiru. Wanamerta sendiri akhirnya menyesal pula. Apalagi pemuda-pemuda yang mempunyai cita-cita buat masa depannya, yaitu Bantaran dan Panjawi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untuk sementara mereka tidak berbuat apa-apa. Sebab mereka tahu bahwa bagaimanapun Lembu Sora adalah seorang yang perkasa. Yang memiliki ilmu seperti yang dimiliki oleh kakaknya, meskipun dalam tingkatan yang lebih rendah. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam pada itu, diam-diam Lembu Sora selalu berusaha untuk menemukan Arya. Kepada orang-orang Banyubiru, ia memerintahkan mencari anak itu sebagai pewaris tanah perdikan, sedang kepada orang-orangnya yang dipercaya, diperintahkannya untuk menemukan Arya dan membunuhnya. Sebab selama anak itu masih hidup, rasa-rasanya masih saja ada duri di dalam dagingnya. Karena apabila tiba-tiba Arya muncul, maka akan terjadilah suatu perjuangan yang lebih berat lagi. Apalagi Arya membawa tanda kebesaran Banyubiru, yaitu tombak pendek yang bernama Kyai Bancak, sebuah pusaka yang menjadi kebanggaan Gajah Sora. Itulah sebabnya ia bekerja mati-matian untuk membinasakannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Disamping Arya Salaka, masih ada pula hal-hal yang sangat merisaukan Ki Ageng Lembu Sora, yaitu pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Ia sadar sepenuhnya, apabila pada suatu saat ada kemungkinan ia berhadapan dengan sekutu-sekutunya, tokoh-tokoh golongan hitam, sebagai lawan yang akan saling membinasakan. Pertolongan ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana, belum tentu dapat diharapkan. Apalagi kalau ayahnya itu mengetahui bagaimana ia telah menyingkirkan kakaknya, Ki Ageng Gajah Sora. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu, usahanya yang pertama adalah memperkuat diri. Ia selalu berusaha memperbesar pasukannya dengan biaya yang besar, tanpa mempedulikan tata penghidupan rakyat yang menjadi semakin sempit. Cita-citanya tidak hanya menguasai seluruh daerah perdikan yang dulu berada di bawah pemerintahan ayahnya, tetapi kelak bila ia berhasil mendapat Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, maka kekuatan itu sangat diperlukan. Dengan kedua pusaka itu ia akan mempunyai kemungkinan terbesar menerima wahyu kraton. Dengan demikian ia akan dengan mudahnya dapat menghancurkan kekuatan Demak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi meskipun demikian ia masih selalu berusaha bahwa tokoh-tokoh golongan hitam akan dapat dijadikan landasan kekuatan pula, sesuai dengan kepercayaan mereka, bahwa barang siapa yang telah memiliki kedua keris pusaka itu akan dianggap sebagai pemimpin mereka. Itulah sebabnya maka Lembu Sora selalu banyak memberi keleluasaan bergerak kepada sekutu-sekutunya, di daerahnya sendiri serta daerah perlindungannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Disamping itu, Lembu Sora juga selalu berusaha mencari Arya Salaka, sekaligus memerintahkan untuk mendapatkan keterangan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sementara itu waktu berjalan terus tanpa henti-hentinya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Maka semakin dekatlah waktu yang akan diselenggarakan tokoh-tokoh hitam untuk mendapatkan seseorang yang dapat menjadi pemimpin mereka. Tetapi rasanya nafsu mereka sudah jauh berkurang sejak mereka mengetahui dengan pasti bahwa keris-keris pusaka yang mereka harapkan telah lenyap serta jatuh ke tangan seseorang yang tak dikenal. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Demikianlah akhirnya bulan terakhir itu datang juga. Pada saat itu Mahesa Jenar kemudian bersedia pula untuk menyaksikan pertemuan itu, meskipun ia sadar bahwa untuk melihatnya pasti akan sangat sulit. Karena itu ia harus berangkat beberapa hari sebelum purnama naik, untuk mendapatkan keterangan di mana pertemuan itu berlangsung. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Menurut keterangan yang pernah didengar Mahesa Jenar, dalam pertemuan itu Uling Putih serta Uling Kuning akan bertindak sebagai tuan rumah. Karena itu menurut perkiraan Mahesa Jenar, pertemuan itu akan dilangsungkan di sekitar daerah Rawa Pening. Mahesa Jenar juga pernah mendapat petunjuk tentang sarang Uling itu, yaitu di dalam rimba di ujung rawa yang menjorok ke utara. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar semula mengharap bahwa menyaksikan pertemuan itu ia akan dapat mengukur kekuatan tokoh-tokoh golongan hitam. Tetapi sebenarnya sekarang tanpa menyaksikan pun ia sudah mendapat gambaran jelas tentang kekuatan mereka, bahkan tentang orang-orang angkatan tua yang berdiri di belakang mereka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi bagaimanapun, Mahesa Jenar tetap berkeinginan menyaksikan pertemuan itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >193</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >SETELAH mendekati waktu yang ditentukan, Mahesa Jenar pun segera mempersiapkan diri. Sebenarnya yang agak memusingkan kepalanya, adalah Arya Salaka. Ia sebenarnya agak keberatan untuk meninggalkan anak itu. Tetapi sebaliknya, membawa Arya adalah sangat berbahaya pula. Tetapi akhirnya Mahesa Jenar menganggap bahwa lebih aman bagi Arya, serta lebih ringan pula tanggungjawabnya apabila Arya ditinggal saja di rumah, dengan pesan agar anak itu tidak membahayakan dirinya sendiri. Sebaiknya selama Mahesa Jenar pergi, ia tidak usah pergi keluar rumah untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Demikianlah maka pada suatu hari, sepekan sebelum purnama naik, Mahesa Jenar berangkat untuk melakukan suatu pekerjaan yang berbahaya, setelah ia menitipkan Arya kepada penduduk, serta pamit kepada mereka itu, bahwa ia akan mengunjungi orang tuanya di daerahnya yang lama. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan memakai pakaiannya yang kumal, Mahesa Jenar mengharap bahwa dirinya tidak segera dapat dikenali. Karena itu pula ia selalu menghindari setiap pertemuan dengan orang-orang Banyubiru. Apabila kehadirannya sampai diketahui orang, maka usahanya akan menjadi terhalang. Apalagi kalau hal itu sampai terdengar Ki Ageng Lembu Sora, yang pasti menduganya telah lenyap, ketika ia tergelincir ke dalam jurang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi sebelum itu Mahesa Jenar masih harus berusaha untuk bertemu dengan seseorang yang telah berjanji kepadanya untuk bersama-sama ke Rawa Pening, yaitu Ki Dalang Mantingan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Usahanya mula-mula adalah mencari tempat yang kira-kira akan dipergunakan untuk mengadakan pertemuan itu. Hampir setiap saat ia bersembunyi di semak-semak di sekitar daerah Rawa Pening yang menjorok ke utara. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Meskipun di daerah itu nampaknya tidak ada jalan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengenal bahwa ada sebuah lorong rahasia yang sengaja dikaburkan dengan semak-semak dan pepohonan kecil lainnya. Tetapi ia sama sekali belum berani untuk memasuki lorong itu, sebelum mendapat beberapa kenyataan yang tidak terlalu membahayakan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada hari kedua, Mahesa Jenar melihat seseorang berkuda memasuki lorong itu. Orang itu bertubuh tegap kekar. Matanya bersinar-sinar. Hidungnya melengkung, serta dagunya jauh menggantung di bawah mulutnya. Menilik wajahnya, Mahesa Jenar menduga bahwa orang yang demikian itu, dapat berbuat sesuatu tanpa tanggung-tanggung. Ia dapat menjadi kejam seperti iblis. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Melihat orang itu lewat, Mahesa Jenar menahan nafas. Ia masih belum pernah mengenalnya. Di pinggang orang itu tergantung sebuah pedang. Meskipun demikian, Mahesa Jenar dapat mengenal bahwa orang itu pasti anggota gerombolan Uling Rawa Pening, karena orang itu mengenakan ikat pinggang kulit lebar, bergambar sepasang Uling yang saling membelit. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hal itu bagi Mahesa Jenar adalah sangat menguntungkan. Ketika suara derap kudanya sudah tak terdengar lagi, dengan hati-hati sekali Mahesa Jenar keluar dari persembunyiannya, untuk kemudian menyusuri lorong itu, mengikuti bekas telapak kaki kuda yang baru saja lewat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia mengharap dengan demikian akan dapat mendekati, setidaknya mendekati sarang gerombolan Uling Rawa Pening. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata bahwa lorong itu sengaja dibuat berkelok-kelok. Beberapa kali Mahesa Jenar menganggap bahwa seterusnya daerah itu sangat sulit dilewati, namun dengan menerobos semak yang tipis saja, ia sampai pada tempat yang tidak lagi ada kesukaran-kesukaran untuk dilaluinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan selalu mengikuti jejak kuda yang dinaiki oleh orang yang belum dikenalnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar tidak jauh di hadapannya lamat-lamat suara orang tertawa. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan segera menyelinap ke semak-semak. Sesaat kemudian suara tertawa itu berhenti, tetapi kemudian terdengar orang bercakap-cakap perlahan-lahan. Karena itu Mahesa Jenar tidak dapat menangkap isi percakapan mereka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan sangat hati-hati, Mahesa Jenar berusaha untuk mendekati orang yang sedang bercakap-cakap itu. Tetapi ketika ia telah menjadi bertambah dekat, suara percakapan itu telah berhenti. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih mendengar salah seorang berkata, Silahkan Kakang Sri Gunting..., kudamu telah lelah sekali. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan demikian tahulah Mahesa Jenar, bahwa orang yang berkuda itu adalah Sri Gunting. Orang pertama di dalam gerombolan Uling Rawa Pening sesudah sepasang Uling itu sendiri. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sejenak kemudian, terdengar kembali suara langkah kuda Sri Gunting disusul dengan langkah kuda lain ke arah yang berlawanan. Sesaat kemudian Mahesa Jenar melihat orang lain lewat di depannya. Orang itu pernah dikenalnya beberapa waktu yang lalu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia adalah Yuyu Rumpung, yang bersama-sama dengan Gemak Paron berusaha untuk mencuri kedua pusaka kraton di Bukit Tidar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar sama sekali tidak mempedulikan orang itu lewat. Tetapi dengan demikian ia harus semakin hati-hati. Ternyata lorong itu memang merupakan pintu masuk ke sarang Uling Rawa Pening. Pantaslah kalau jalan itu selalu dirondai dengan cermat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beberapa langkah kemudian, kembali Mahesa Jenar mendengar suara orang bercakap-cakap. Juga perlahan-lahan. Tetapi agaknya lebih dari dua orang. Ketika Mahesa Jenar berhasil mengintip dari jarak yang agak jauh, dilihatnya Sri Gunting sedang bercakap-cakap dengan dua-tiga orang yang bersenjatakan tombak. Tetapi juga kali ini ia tidak mendengar isi percakapan mereka, sampai akhirnya Sri Gunting meneruskan perjalanannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >194</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >SAMPAI di situ, Mahesa Jenar tidak berani lagi menuruti jejak kuda itu secara langsung. Sebab kemungkinan untuk bertemu orang-orang gerombolan Uling akan bertambah besar. Meskipun andaikata ia dapat memenangkan perkelahian melawan tiga-empat orang, namun dengan demikian kedatangannya sudah diketahui lebih dahulu. Karena itu Mahesa Jenar berusaha untuk mengikuti kuda Sri Gunting dari semak-semak di sekitar lorong itu, meskipun kadang-kadang ia harus merangkak-rangkak menerobos pohon-pohon liar serta sulur-sulur dan tumbuh-tumbuhan merambat lainnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dugaan Mahesa Jenar bahwa penjagaan semakin lama semakin rapat ternyata benar. Beberapa langkah kemudian kembali terdapat beberapa orang penjaga. Dengan demikian, Mahesa Jenar mengharap bahwa tidak lama lagi ia akan sampai ke sarang sepasang Uling Rawa Pening. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika Mahesa Jenar maju lagi, tiba-tiba sampailah ia pada daerah tumbuh-tumbuhan yang rapat sekali. Pohon-pohon berduri tumbuh rapat diseling dengan tanaman-tanaman menjalar dan beberapa tanaman yang sangat gatal apabila menyinggung tubuh, misalnya pohon rawe, serta pohon-pohon yang mengandung lugut dari jenis bambu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Melihat kerapatan pepohonan itu, Mahesa Jenar tertegun sebentar. Ketika ia memandang ke arah Sri Gunting, yang juga maju dengan perlahan-lahan di atas kudanya, dilihatnya ia membelok menyusur tanaman-tanaman berduri itu ke arah timur. Perlahan-lahan dan sangat hati-hati Mahesa Jenar berusaha untuk mengikutinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beberapa langkah kemudian tampaklah sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi, tetapi daunnya sangat lebat. Dibalik pohon itulah Mahesa Jenar melihat Sri Gunting menghilang. Tahulah kini Mahesa Jenar bahwa pohon-pohon yang tumbuh rapat sekali itu, memang sengaja diatur demikian, sehingga merupakan benteng hidup yang mengelilingi pusat sarang Uling Rawa Pening. Gerombolan yang mempunyai nama tidak kalah menggetarkan daripada nama Lawa Ijo, yang ditakuti di daerah pantai utara. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sampai di situ, Mahesa Jenar terpaksa tidak dapat mengikuti Sri Gunting untuk seterusnya. Ia tidak mau tergesa-gesa menyusup pohon yang rimbun itu, sebab ia masih belum mengetahui apakah kira-kira yang berada di belakangnya. Mungkin setelah menyusup pohon itu, langsung akan memasuki sebuah gardu perondan, atau malah sampai ke barak Uling sendiri. Karena itu, Mahesa Jenar terpaksa berhenti di semak-semak sambil beristirahat. Ia mencoba memutar otak, bagaimana dapat memasuki, setidak-tidaknya mengetahui keadaan di dalam sarang itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya Mahesa Jenar menemukan cara juga. Meskipun ia tidak pasti akan dapat masuk, tetapi ia akan mendapat gambaran tentang keadaan dibalik benteng tanaman itu. Sebagai seorang prajurit, ia pernah mendapat latihan panjat-memanjat, menggantung, dan berayun dengan tali yang cukup tinggi. Dengan hati-hati, Mahesa Jenar pun segera memanjat. Dari pohon yang tidak terlalu besar, menjalar ke pohon lain, sehingga akhirnya Mahesa Jenar berada di atas dahan sebuah pohon yang memungkinkan ia dapat melihat keadaan di dalam, keadaan pusat sarang sepasang Uling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata di dalam benteng itu ada sebuah lapangan yang tidak begitu luas. Di pinggir-pinggir lapangan tampaklah beberapa rumah. Menurut dugaan Mahesa Jenar, rumah-rumah itu terlalu sedikit untuk dapat didiami oleh anak buah Uling yang banyak jumlahnya. Karena itu, di tempat lain pasti masih ada tempat-tempat tinggal serupa itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di lapangan itu Mahesa Jenar melihat Sri Gunting berkuda melintas. Kemudian ia berhenti di depan salah satu dari rumah-rumah yang berjajar di pinggir lapangan. Seorang telah menerima kudanya, lalu mengikatnya pada sebuah pohon, sedang Sri Gunting sendiri langsung memasuki rumah itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beberapa saat kemudian dilihatnya Sri Gunting keluar lagi. Dipanggilnya dua orang laskarnya, kemudian berjalan melintas lapangan dan menyusup ke balik sebuah pohon. Pohon itulah rupanya pintu keluar-masuk benteng yang tadi juga dilewati Sri Gunting. Ternyata dibalik pohon itu sama sekali tidak terdapat sebuah gardu. Memang beberapa orang tampak mengawalnya, sebagai pengawal pintu gerbang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika Mahesa Jenar sedang sibuk menduga-duga, di manakah pertemuan akan dilangsungkan, tiba-tiba dilihatnya keluar dari salah satu diantara rumah-rumah itu, dua orang yang bertubuh tinggi, tetapi tidak begitu besar. Berwajah runcing dan berhidung tajam. Itulah sepasang Uling Rawa Pening, yang di tangan mereka selalu tergenggam sebuah cemeti besar. Di belakang mereka berjalan Sri Gunting dan dua orang lainnya. Melihat mereka, mau tidak mau Mahesa Jenar terpaksa menahan nafas. Bagaimanapun kedua orang itu termasuk dalam tingkatan yang cukup tinggi, sehingga pancaindera mereka pun. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beberapa saat kemudian Mahesa Jenar melihat orang-orang mereka menyediakan kuda, lalu dengan kuda-kuda itu Uling Rawa Pening beserta tiga orang yang mengiringinya, pergi melintasi lapangan dan menyusup pohon yang merupakan pintu gerbang benteng itu, untuk kemudian muncul di luar benteng. Mahesa Jenar jadi menduga-duga. Kemanakah mereka pergi? Cepat ia turun dengan sangat hati-hati. Tetapi ketika sepasang Uling itu menyusur benteng ke arahnya, ia jadi diam, dan bersembunyi dibalik daun-daun yang agak rimbun, apalagi ketika mereka lewat dekat di bawahnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Adalah suatu keuntungan, ketika Mahesa Jenar mendengar mereka bercakap-cakap. Terdengar Uling Putih berkata, Jadi kau yakin bahwa tempat itu telah disiapkan dengan baik? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terdengar Sri Gunting menjawab, Sudah, Ki Lurah. Cuma satu-dua barak yang belum siap benar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagus! Uling Putih meneruskan, Pasingsingan dan Sima Rodra dari Lodaya akan hadir dalam pertemuan itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidakkah mereka akan berpihak? sela Uling Kuning. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidak, mereka pasti akan menghargai nama mereka masing-masing, jawab Uling Putih. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah itu mereka tidak berkata-kata lagi. Baru kemudian terdengar Sri Gunting mengatakan sesuatu, tetapi Mahesa Jenar sudah tidak dapat mendengar lagi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >195</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >DENGAN mendengar percakapan mereka, Mahesa Jenar dapat mengambil kesimpulan bahwa pertemuan tokoh-tokoh hitam itu nanti, tidak akan dilakukan di dalam benteng itu, tetapi di tempat lain. Hal ini mungkin atas pertimbangan pertimbangan keselamatan benteng itu atau untuk tetap merahasiakan sarang gerombolan Uling Rawa Pening. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu segera Mahesa Jenar turun dan bergantungan pada sebuah sulur. Demikian ia sampai di tanah, cepat-cepat ia berusaha untuk dapat mengikuti kuda sepasang Uling itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untuk itu Mahesa Jenar tidak banyak menemui kesulitan. Kecuali ia sudah mengenal jalan sempit yang menuju keluar dari benteng, juga kuda-kuda itu tidak dapat berjalan cepat di jalan yang banyak rintangan itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beberapa ratus langkah kemudian, rombongan Uling membelok meninggalkan lorong semula dan menempuh jalan lain yang lebih sulit. Namun bagaimanapun juga Mahesa Jenar tetap dapat mengikutinya, meskipun kadang-kadang ia harus berlari-lari kecil, merangkak, meloncat dan merunduk, sehingga akhirnya Mahesa Jenar melihat di depannya terbentang sebuah padang rumput yang luas. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di pinggir padang itu sedang dibangun beberapa barak yang sebagian masih dikerjakan. Itulah tempat yang akan dipergunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan suatu pertemuan dari tokoh-tokoh golongan hitam. Mengingat apa yang akan terjadi di lapangan itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar juga. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian teringatlah ia kepada Ki Dalang Mantingan. Apakah orang itu sudah datang di daerah Rawa Pening ataukah belum. Dan mungkinkah Ki Dalang Mantingan dapat menemukan tempat pertemuan itu. Mengingat hal itu, Mahesa Jenar merasa perlu untuk berusaha menemui Ki Dalang Mantingan sebelum mereka menyaksikan pertemuan tokoh-tokoh hitam itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beberapa lama kemudian, setelah sepasang Uling itu berkeliling dan memeriksa barak-barak yang sedang diselesaikan itu, mereka pun pergi meninggalkan padang rumput itu kembali ke dalam benteng mereka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar pun menganggap bahwa ia tidak perlu terlalu lama lagi tinggal di situ. Ia masih mempunyai beberapa waktu menjelang hari yang ditentukan, untuk dapat melihat-lihat keadaan di sekeliling tempat itu, serta untuk menemui Ki Dalang Mantingan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sementara itu, langit telah bertambah samar-samar. Matahari telah menghilang di bawah garis pertemuan bumi dan langit. Perlahan-lahan malam yang kelam turun menyeluruh, sedang di langit bintang-bintang timbul berebutan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi tidak lama kemudian, cahaya kuning memulai perjalanannya. Seolah-olah memberi peringatan kepada Mahesa Jenar bahwa dua hari menjelang, purnama penuh akan menyinari padang terbuka yang akan menjadi ajang pertemuan tokoh-tokoh dari golongan hitam. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan-lahan dan hati-hati Mahesa Jenar menyusup menjauhi padang rumput itu. Dengan mengenal daerah di sekitarnya, maka ia akan menjadi lebih aman. Gajah Sora pernah memperingatkan kecerobohannya pada saat ia memasuki sarang Harimau Gunung Tidar. Karena itu ia tidak mau mengulangi kesalahannya lagi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah puas, Mahesa Jenar berputar-putar, dan segera menyusur tepi Rawa Pening, untuk mencapai daerah Banyubiru. Mungkin Mantingan masih berada di sekitar daerah itu, atau ia juga sedang berusaha untuk menemukan tempat yang akan dipergunakan untuk mengadakan pertemuan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terhadap Mantingan, sebenarnya Mahesa Jenar masih agak was-was. Ia memang cukup berilmu. Tetapi berhadapan dengan Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya, Mantingan masih kalah setingkat. Ia pernah berkelahi dengan Mantingan, juga pernah berkelahi dengan tokoh-tokoh hitam, sehingga ia mempunyai ukuran dalam memperbandingkan kemampuan mereka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi yang belum pernah dilihatnya, bagaimana Mantingan menggerakkan trisulanya yang terkenal itu. Mudah-mudahan keahliannya menggunakan trisula akan dapat menandingi Lawa Ijo dengan pisau belatinya, atau Jaka Soka dengan tongkat hitamnya. Namun Mahesa Jenar yakin, bahwa waktu yang sedikit menjelang kepergiannya ke Rawa Pening, Mantingan pasti telah mendapatkan sesuatu dari gurunya, Kiai Ageng Supit. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kiai Ageng Supit adalah tokoh sakti yang tidak begitu dikenal, karena orang itu tidak banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang menonjol di luar padepokannya. Tetapi muridnya, Mantingan, dalam setiap kesempatan selalu berusaha untuk menunjukkan jasanya kepada masyarakat di sekitarnya. Mungkin gurunya sengaja memerintahkannya berbuat demikian untuk mewakilinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar yang sedang berangan-angan, terkejut. Di tepi rawa itu ia melihat bayangan dua orang yang sedang berkelahi dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar menjadi menduga-duga, siapakah mereka itu. Karena itu segera dengan hati-hati ia pun mendekatinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Semakin dekat Mahesa Jenar dengan orang yang sedang bertempur itu, debar hatinya menjadi semakin keras pula. Di dalam sinar bulan yang hampir purnama itu Mahesa Jenar dapat melihat dengan jelas, bahwa kedua-duanya adalah pasti orang-orang yang berilmu tinggi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba debar jantung Mahesa Jenar berubah menjadi degupan yang menghentak-hentak dadanya. Di dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan itu tampaklah berkilat-kilat sinar yang memantul dari senjata orang yang sedang bertempur itu. Senjata yang cukup dikenalnya, yaitu trisula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu cepat Mahesa Jenar mengetahui bahwa salah seorang dari mereka adalah Mantingan. Maka, Mahesa Jenar segera berusaha untuk semakin mendekat lagi. Tetapi sekali lagi detak jantungnya menyentak dan berdegupan dengan riuhnya, ketika ia melihat lawan Mantingan itu bersenjata bola besi yang diikat di ujung rantai. Juga senjata itu pernah dikenalnya. Yaitu senjata andalan dari kawan seangkatannya, seorang perwira dalam pasukan pengawal raja, yang bertubuh gemuk pendek, yakni Gajah Alit.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >BERSAMBUNG...</span></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-49535828844597097972011-08-14T04:38:00.000-07:002011-08-14T04:39:59.363-07:00NAGA SASRA SABUK INTEN_seri 186 -190<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidpMH2iDWcdpi99_hLXT9Ad2EyM7p0RvT6aiP0cF4lhbhqFgjvp5wOPYoCSTfE9wqkXFLqEis-ZEI4LamW2_PKLtIJMACpW5VZw5SkrUlMG-yvoVT8srqFjbQb_RIgMrwsfyBNk30uJg/s1600/NAGASASRA-DAN-SABUK-INTEN.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 224px; height: 249px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidpMH2iDWcdpi99_hLXT9Ad2EyM7p0RvT6aiP0cF4lhbhqFgjvp5wOPYoCSTfE9wqkXFLqEis-ZEI4LamW2_PKLtIJMACpW5VZw5SkrUlMG-yvoVT8srqFjbQb_RIgMrwsfyBNk30uJg/s320/NAGASASRA-DAN-SABUK-INTEN.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640674929982441074" /></a><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >186</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >RASANYA Mahesa Jenar sudah tidak sabar lagi terhadap kakinya yang sudah mulai lelah. Tetapi ketika ia sudah semakin dekat, tiba-tiba dadanya berdentam keras sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Dari kota Banyubiru Mahesa Jenar melihat nyala api yang semakin lama semakin besar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang Mahesa Jenar menjadi benar-benar tidak sabar lagi. Seperti seekor kijang yang sedang diburu, Mahesa Jenar meloncat dan kemudian berlari sekencang kencang ke arah api yang menyala-nyala. Apalagi sebentar kemudian didengarnya suara tanda bahaya menggema memenuhi seluruh daerah pegunungan Telamaya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan nafas yang terengah-engah akhirnya Mahesa Jenar berhasil memasuki kota. Ia berjalan hati-hati sekali. Beberapa kali ia melihat orang-orang berkuda berlari hilir-mudik. Beberapa orang sudah dikenalnya sebagai laskar Banyubiru. Tetapi beberapa yang lain sama sekali belum pernah dilihatnya. Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diingini, Mahesa Jenar selalu berusaha menyembunyikan dirinya di balik bayang-bayang pepohonan atau di samping rumah-rumah. Sekali-sekali ia berlari dari satu tempat kelain tempat sambil mendekati tempat kebakaran. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika Mahesa Jenar berhasil mendekati tempat itu, dilihatnya laskar Banyubiru terlibat dalam satu pertempuran dengan laskar yang sama sekali belum dikenalnya. Pertempuran itu berlangsung dengan serunya, sehingga kedua belah pihak telah kehilangan ikatan kesatuannya. Mereka seolah-olah bertempur tanpa pimpinan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dari jarak yang agak dekat akhirnya Mahesa Jenar dapat melihat bahwa pasukan Banyubiru berada di bawah pimpinan Bantaran, yang agaknya merasa terdesak. Bantaran sendiri bertempur seperti harimau luka, tetapi musuhnya terlampau banyak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebentar kemudian terdengar derap pasukan yang berlari dari arah barat. Dan muncullah laskar bantuan yang dipimpin oleh Sawungrana. Pasukan ini pun segera melibatkan diri dalam pertempuran yang sengit itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan datangnya bantuan yang dipimpin oleh Sawungrana, tampak laskar Banyubiru dapat mencapai keseimbangan kembali. Bahkan agaknya sebentar kemudian mereka akan segera dapat menguasai keadaan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat pikiran lain. Sehilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, apakah kira-kira yang masih mereka cari di Banyubiru? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Teringatlah Mahesa Jenar kepada kedudukan Arya Salaka. Ayahnya yang dibawa ke Demak untuk waktu yang tak ditentukan, bahkan karena serangan laskar Lembu Sora atas pasukan Demak, mempunyai kemungkinan yang lebih tak menyenangkan bagi Gajah Sora. Ia menyerahkan kekuasaan Banyubiru kepada Arya. Ini berarti suatu rintangan langsung bagi Lembu Sora untuk dapat menguasai Banyubiru. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu, Mahesa Jenar segera memperhitungkan setiap kemungkinan. Ia memang agak heran bahwa daerah yang tak berarti di pinggiran kota ini menjadi tujuan serangan lawan. Rumah yang sama sekali tidak penting kedudukannya, kecuali banjar-banjar desa, juga bangunan-bangunan lain yang juga tidak begitu berarti. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengingat hal itu, maka segera Mahesa Jenar mengambil kesimpulan, bahwa serangan ini hanyalah suatu usaha untuk menarik perhatian semata-mata. Sedang tujuan yang sebenarnya adalah tempat lain. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendapat pikiran yang demikian, Mahesa Jenar menjadi bertambah gemetar. Ia menjadi cemas atas keselamatan Arya. Karena itu segera ia meloncat dan berlari dari satu tempat yang terlindung ke tempat yang lain menuju ke rumah Gajah Sora, sehingga beberapa saat kemudian ia telah dapat mendekati rumah itu. Sebenarnyalah bahwa apa yang dicemaskan itu benar-benar terjadi. Mahesa Jenar mendengar keributan di halaman rumah itu. Agaknya telah terjadi suatu pertempuran pula. Perlahan-lahan ia menyusur regol samping, dan dilihatnya Wanamerta dan Pandankuning serta beberapa orang sedang bertempur menghadapi lawan yang jumlahnya berlipat dua. Apalagi diantara para penyerang itu terdapat pula beberapa orang yang termasuk berilmu cukup tinggi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Melihat pertempuran itu, Mahesa Jenar menjadi agak bimbang. Apakah ia harus melibatkan diri, ataukah masih harus ditunggunya perkembangan seterusnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi segera Mahesa Jenar dikejutkan oleh sebuah bayangan yang melontar keluar lewat pintu belakang. Bayangan dari seorang anak yang masih belum dewasa. Cepat Mahesa Jenar mengenal, itulah Arya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, dilihatnya Arya merapatkan dirinya pada dinding di sebalah pintu. Sesaat kemudian muncullah bayangan lain meloncat keluar dari pintu itu pula. Tetapi demikian bayangan itu melangkahkan kakinya keluar ambang, demikian Arya dengan tangkasnya menusuk lambungnya, sehingga dengan tidak dapat berbuat sesuatu orang itu terlempar dan roboh mati. Sedang tangan Arya dengan eratnya menggenggam tombak Kyai Bancak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi kemudian dari pintu itu muncullah beberapa orang bersama-sama. Agaknya mereka melihat seorang kawan mereka yang dapat dibunuh oleh Arya, sehingga mereka meloncat keluar dengan kesiagaan penuh. Karena itu, ketika Arya menusuk orang yang pertama, segera tampaklah orang itu menangkis serangan Arya dengan sebuah pedang pendek, sehingga Arya terputar setengah lingkaran. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi agaknya Arya bukan anak yang bodoh. Maka demikian serangannya gagal, segera ia meloncat untuk melarikan diri. Sayang bahwa orang yang mengejarnya cukup banyak segera mengepungnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tampaklah Arya Salaka yang sama sekali belum cukup dewasa itu menjadi bingung. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi belum lagi orang-orang yang mengepungnya sempat bertindak, melayanglah sebuah bayangan lain, yang langsung menyerang orang-orang itu. Tubuhnya tampak ringan tetapi kuat dan tangkas. Orang itu adalah Panjawi, seorang yang masih muda, tetapi telah memiliki ketangkasan yang cukup. Dengan pedang di tangan, Panjawi bergerak menyambar-nyambar seperti burung layang. Dalam waktu yang singkat, beberapa orang telah menjadi korbannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >187</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >ORANG-ORANG yang mengepung Arya itu segera mengalihkan perhatiannya. Mereka bersama-sama segera menyerang Panjawi. Tetapi Panjawi adalah orang yang cukup tangkas, sehingga beberapa orang itu sama sekali tak berhasil mendesaknya. Apalagi beberapa saat kemudian berdatanganlah beberapa orang laskar Banyubiru yang segera membantu Panjawi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Melihat pertempuran itu, Mahesa Jenar menarik nafas lega. Ia juga merasa kagum kepada Panjawi. Meskipun anak itu masih harus banyak berlatih, namun ia memiliki dasar-dasar yang baik dan kuat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi sejenak kemudian, Mahesa Jenar terkejut mendengar sebuah siulan nyaring. Ia pernah mendengar bunyi yang demikian itu. Bunyi siulan dari gerombolan Lawa Ijo. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dan apa yang sedang dipikirkan itu adalah benar. Sebab sesaat kemudian ia melihat bayangan yang melayang dari sebuah pohon langsung menyerang Panjawi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untunglah bahwa Panjawi cukup tangkas untuk menghindari serangan itu, sehingga bayangan itu tidak berhasil mengenainya. Bahkan demikian Panjawi meloncat menghindar, demikian kembali ia meloncat menyerang bayangan itu dengan pedangnya. Serangan Panjawi ternyata cukup cepat, sehingga bayangan itu tidak sempat menghindar. Dengan sebuah pisau belati panjang, ia menangkis pedang yang mengarah ke dadanya. Terdengarlah suatu dentangan nyaring. Dan ternyata kekuatan mereka seimbang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam pada itu, Mahesa Jenar segera mengenal bahwa bayangan yang meloncat dari atas pohon itu adalah Wadas Gunung. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Segera terjadilah pertempuran yang sengit antara Wadas Gunung dan Panjawi, sedang di lain pihak terjadi pula pertempuran yang hiruk-pikuk antara laskar Banyubiru melawan laskar-laskar penyerang. Pada saat itu, pada saat mereka sedang sibuk mempertahankan hidup masing-masing, tiba-tiba mata Mahesa Jenar yang tajam dapat melihat bayangan lain yang datang mengendap-endap ke arah Arya Salaka yang masih saja mengawasi pertempuran itu dengan mata yang menyala-nyala. Ia sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri, sebab ia yakin bahwa Panjawi serta laskarnya akan dapat memenangkan pertempuran itu. Bahkan dengan girangnya ia melihat pertempuran itu seperti melihat tontonan yang sangat menarik. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan berdebar-debar Mahesa Jenar mengikuti gerak gerik orang itu. Melihat caranya bergerak, Mahesa Jenar dapat meyakini bahwa ia pasti memiliki ilmu yang cukup tinggi. Karena itu Mahesa Jenar tidak mau menonton saja. Ia pun kemudian dengan mengendap-endap pula mendekati Arya Salaka dari arah lain. Untunglah bahwa ia lebih dahulu dapat melihat bayangan itu sehingga dengan demikian ia dapat lebih berhati-hati. Ternyata sampai sedemikian jauh bayangan itu belum mengetahui bahwa dari arah lain pula seseorang yang sedang mendekati Arya Salaka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah jarak mereka tidak lagi begitu jauh, terasa di dalam dada Mahesa Jenar jantungnya berdesir keras. Ia mengenal dengan pasti siapakah orang itu. Dan ia tahu pasti pula apakah yang akan dilakukannya terhadap Arya. Pedang yang terlalu besar dan panjang di tangan orang itu telah menambah pula keyakinan Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang itu tidak lain adalah Ki Ageng Lembu Sora. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada kesempatan yang pendek itu, berputarlah otak Mahesa Jenar. Sebenarnya, pada saat itu ia mendapat kesempatan untuk membuat perhitungan dengan Lembu Sora, dengan alasan yang tepat. Tetapi mengingat pesan Paniling, apakah pada saat itu, orang-orang lain, seperti Uling Rawa pening, Sima Rodra, Lawa Ijo dan sebagainya tidak berada pula di tempat itu? Karena itu seharusnya ia tidak melawan mereka bersama-sama. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengingat hadirnya Wadas Gunung, maka kemungkinan hadirnya Lawa Ijo adalah besar sekali. Karena itu terjadi suatu pertentangan di dalam diri Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perasaannya ingin membawanya ke dalam suatu perhitungan jasmaniah yang menentukan. Tetapi pikirannya yang telah dipengaruhi oleh pertimbangan dan nasehat Paniling mengajaknya untuk berbuat lain. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untunglah bahwa Mahesa Jenar dapat berpikir secara wajar, sehingga ditemukannya suatu pemecahan yang tidak terlalu berbahaya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada saat itu, Lembu Sora telah dekat benar dengan Arya Salaka yang dengan tombak di tangan masih saja perhatiannya terikat pada pertempuran yang sengit antara Panjawi dan Wadas Gunung, serta laskar Banyubiru melawan laskar-laskar yang menyerangnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata Lembu Sora sudah tidak mau membuang waktu lagi. Meskipun mula-mula ia tampak ragu-ragu, tetapi akhirnya dengan suatu gerakan yang dahsyat ia meloncat sambil mengayunkan pedangnya. Meskipun demikian, karena anak yang berdiri di hadapannya itu, bagaimanapun juga adalah kemenakannya, maka pada saat pedangnya terayun deras, Lembu Sora memejamkan matanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi ia menjadi terkejut sekali ketika pedangnya sama sekali tak menyentuh apapun. Bahkan ia sendiri telah tertarik oleh kekuatannya serta ayunan pedangnya sehingga hampir saja ia tertelungkup. Pada saat Lembu Sora berusaha untuk menguasai dirinya, dilihatnya sebuah bayangan yang melayang menyusup regol samping dan hilang di dalam gelap malam. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cepat Lembu Sora meloncat menyusulnya, tetapi ia sama sekali tidak dapat lagi melihat bayangan yang telah hilang bersama-sama dengan hilangnya Arya Salaka, beserta tombak tanda kebesaran Banyubiru, Kyai Bancak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada saat yang tepat, ternyata Mahesa Jenar telah berhasil menarik Arya dan langsung dibawanya lari. Ia masih mempunyai kelebihan waktu beberapa saat dari Lembu Sora yang sedang memperbaiki keseimbangannya pada saat ia terbawa oleh pedangnya yang terayun deras. Karena itu Lembu Sora sudah tidak berhasil untuk dapat mengejarnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada saat itu, dada Lembu Sora terguncang luar biasa. Kegagalannya pada saat yang menentukan itu sangat menyakitkan hatinya. Hampir saja ia menjadi mata gelap dan menghancurkan Banyubiru serta seluruh isinya. Tetapi otaknya yang licin telah menyelamatkannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >188</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >CEPAT Lembu Sora menyelinap, dan dengan kudanya yang tangkas ia berlari kencang-kencang kembali ke Pamingit. Setelah dengan rahasia ia memberikan aba-aba kepada laskar gabungan itu untuk segera meninggalkan Banyubiru, diikuti pula oleh sekutu-sekutunya, tokoh-tokoh golongan hitam, untuk kemudian dengan laskar murni dari Pamingit. Lembu Sora akan datang kembali, dengan dalih untuk memberi perlindungan kepada daerah perdikan, yang dikuasai oleh kakaknya, yang terpaksa tidak dapat menjalankan kewajibannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya Salaka yang merasa dirinya ditangkap oleh seseorang tanpa diketahui dari mana arahnya, menjadi terkejut sekali. Dengan gerak diluar kesadarannya ia menusuk orang yang menangkapnya dengan tombaknya, tetapi orang itu sangat tangkasnya, sehingga tombaknya malahan telah dirampasnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan demikian Arya menjadi marah dan cemas. Segera ia meronta untuk melepaskan diri. Tetapi ketika ia hampir saja berteriak-teriak, didengarnya orang itu berkata, Jangan ribut Arya, kita bersembunyi untuk beberapa saat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya terperanjat mendengar suara itu, suara yang telah dikenalnya. Paman Mahesa Jenar? desisnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ya, jawab Mahesa Jenar singkat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar jawaban itu, hati Arya Salaka segera menjadi sejuk seperti disiram embun. Ketakutan, kecemasan dan kebingungan yang menusuk-nusuk dadanya seketika itu lenyap seperti asap ditiup angin. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beberapa saat kemudian, setelah Mahesa Jenar merasa aman dari kemungkinan dapat diketemukan oleh Lembu Sora dan laskarnya, segera memberhentikan langkahnya. Nafasnya berjalan cepat, serta jantungnya berdetakan karena perasaan-perasaan yang bercampur-baur di dalam kepalanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah mereka berdua agak tenang, berkatalah Mahesa Jenar, Arya, tahukan kau siapakah yang telah menyerang Banyubiru? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidak Paman, jawab Arya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kapankah serangan itu mulai? tanya Mahesa Jenar pula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sejak matahari terbenam. Tiba-tiba saja terjadi kerusuhan-kerusuhan di dalam kota. Untunglah bahwa Kakek Wanamerta segera bertindak untuk mengatasi keributan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Meskipun demikian ternyata para penyerang itu berkekuatan besar sekali, sehingga untuk keselamatan selanjutnya, Kakek Wanamerta merasa perlu atas persetujuan beberapa pemimpin yang lain serta atas persetujuan Ibu untuk mengirimkan permintaan bantuan ke Pamingit, kepada Paman Lembu Sora, sebab kalau kerusuhan itu berlarut-larut tidak dapat teratasi, maka Banyubiru akan semakin rusak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar keterangan Arya Salaka itu, bergolaklah hati Mahesa Jenar. Ternyata para pemimpin Banyubiru sama sekali masih belum mengetahui bahwa sumber dari segala bencana itu justru Lembu Sora sendiri. Puncak dari kejahatannya adalah suatu usaha untuk membinasakan Arya Salaka. Padahal saat itu, para pemimpin Banyubiru datang minta perlindungan kepadanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya..., kata Mahesa Jenar kemudian, Ketahuilah bahwa jiwamu terancam. Karena itu sebaiknya kau bersembunyi untuk sementara waktu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar tidak meneruskan kata-katanya. Ia menjadi ragu, apakah sebaiknya ia harus mengatakan terus terang tentang apa yang terjadi sebenarnya, ataukah ia harus berkata lain. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya Salaka menjadi keheran-heranan mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Apakah kepentingan orang-orang kita itu membunuhnya? Tetapi baru saja, apa yang telah terjadi, agaknya memang benar. Beberapa orang telah mengejar-ngejar Arya Salaka, dengan senjata terhunus. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya menarik nafas panjang. Otaknya yang masih belum cukup masak itu belum dapat menangkap masalah-masalah yang terlalu sulit. Karena itu ia tidak berpikir lebih lanjut. Apalagi sekarang ia sudah merasa bahwa dirinya telah mendapat perlindungan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika melihat wajah Arya yang seolah-olah masih bersih dari segala macam prasangka, Mahesa Jenar tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya, oleh karena kekhianatan pamannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan melihat kenyataan itu, ada kemungkinan timbul suatu luka yang berbahaya pada jiwa kanak-kanaknya. Mungkin ia akan kehilangan seluruh kepercayaan pada seseorang. Apalagi orang lain, sedang pamannya sendiri telah melakukan kejahatan terhadap dirinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu, Mahesa Jenar harus berkata lain kepada Arya Salaka, meskipun maksudnya adalah sama. Mengajak Arya Salaka untuk sementara bersembunyi. Arya..., mungkin orang-orang jahat sedang berusaha untuk menangkapmu. Sebab kau sekarang adalah penjabat kepala daerah perdikan Banyubiru. Dengan menangkap kau, orang-orang itu akan mengharapkan keuntungan. Mungkin kau akan dijadikan tanggungan atas suatu pemerasan terhadap Banyubiru. Tetapi juga ada kemungkinan yang lebih berbahaya lagi bagi dirimu, yaitu menghendaki jiwamu, kata Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >189</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >ARYA SALAKA mengangguk-angguk, tetapi jawabannya sangat memusingkan Mahesa Jenar. Aku tidak perlu takut, Paman, sebab sebentar lagi Paman Lembu Sora pasti akan datang. Dengan adanya Paman Lembu Sora beserta laskarnya serta hadirnya Paman Mahesa Jenar di Banyubiru, maka aku kira tak akan ada seorangpun lagi yang berani mengganggu tanah kami. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia mendapat kesulitan untuk memberi penjelasan lebih lanjut. Justru adanya Lembu Sora di Banyubiru itulah maka bahaya dapat datang setiap saat bagi Arya Salaka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah berpikir beberapa saat berkatalah Mahesa Jenar, Arya, kalau mereka menyerang dengan terang-terangan maka laskar Banyubiru dan Pamingit pasti akan dapat menghalaunya, tetapi untuk menangkap atau berbuat hal-hal jahat lainnya terhadapmu, adalah seribu satu cara yang dapat ditempuh. Karena itu menurut pertimbanganku, sebaiknya kau bersembunyi untuk sementara. Selama itu, selama keadaan belum memungkinkan, kau tidak perlu menampakkan diri terhadap siapapun. Aku akan berusaha untuk menghubungi pemimpin-pemimpin Banyubiru, selama kau di dalam persembunyian. Selama itu, kau sempat belajar beberapa hal yang perlu bagi keselamatanmu. Bukankah ayahmu minta kepadaku untuk melatihmu dalam olah kanuragan? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar kata-kata- Mahesa Jenar itu, serta kesempatan baginya untuk memperdalam pengetahuannya dalam berbagai ilmu, Arya menjadi gembira. Maka jawabnya, Baiklah Paman..., kalau Paman mempertimbangkan demikian. Tetapi Ibu pasti akan selalu mencari aku dan mencemaskan keselamatanku. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagus Arya, pada suatu saat kau akan kembali ke tanah ini, dan kau akan memelihara tanah ini sebagai tanah pusaka. Kau harus menjadikan tanah ini tanah harapan bagi masa depan. Bukankah ayahmu selalu mengharap kau menjadi seorang pahlawan? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya menjadi cerah seperti bintang pagi yang berkilau-kilau, karena kebesaran hatinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kepada ibumu, aku akan selalu berusaha menyampaikan setiap berita tentang dirimu, lanjut Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekali lagi Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sesaat kemudian keadaan menjadi sepi. Dengan pancainderanya yang tajam, Mahesa Jenar sedang mengamati keadaan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka setelah menurut pertimbangan Mahesa Jenar, sudah tidak ada lagi bahaya yang mengancam, serta hiruk-pikuk pertempuran sudah tidak terdengar lagi, berkatalah ia kepada Arya, Arya..., agaknya keadaan telah bertambah baik. Meskipun demikian, kau harus berusaha untuk tidak menampakkan diri. Baik kepada para pemimpin Banyubiru maupun kepada ibu serta rakyatmu. Siapa tahu bahwa masih ada musuh-musuh yang bersembunyi, yang akan dapat menjebak atau menyerang kau dari jarak jauh. Karena itu marilah untuk sementara kita tinggalkan tanah ini dengan suatu keyakinan bahwa kau pasti akan kembali dalam keadaan aman dan sentosa. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya Salaka tidak menjawab kata-kata Mahesa Jenar. Wajahnya jadi tampak suram. Bagaimanapun juga, untuk meninggalkan tanah kelahiran, kampung halaman, dimana setiap hari ia bermain-main, dimana setiap hari ia meneguk airnya, serta segala-galanya yang ia cintai, adalah berat sekali bagi seorang anak seumur Arya Salaka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Agaknya Mahesa Jenar dapat menebak perasaan Arya, maka sambungnya, Lupakanlah semuanya, Arya. Kau hanya pergi untuk sementara, dengan suatu kepastian bahwa kau akan kembali. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali Arya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun wajahnya menjadi bertambah suram. Mudah-mudahan Ibu selamat. Serta mudah-mudahan Ibu segera mengetahui bahwa akupun selamat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Aku akan segera berusaha untuk memberitahukan itu, Arya, potong Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi pohon jeruk yang aku pelihara dan aku siram setiap hari itu kini sudah mulai berbunga, jawab Arya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menjadi terharu mendengar kata-kata Arya yang memancar dari hatinya yang tulus. Tetapi yang lebih merisaukan hati Mahesa Jenar adalah, bahwa besok Lembu Sora akan datang untuk melindungi Banyubiru serta berusaha menelan tanah serta segala isinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi bagaimanapun, menyelamatkan Arya adalah tugas yang pertama-tama harus dilakukan. Sebab Arya adalah satu-satunya pewaris tanah perdikan Banyubiru, yang justru karena itulah maka jiwanya selalu terancam. Karena itu, Mahesa Jenar menganggap perlu untuk segera meninggalkan daerah ini sebelum Lembu Sora datang dan memerintahkan untuk mengaduk seluruh sudut Banyubiru. Pasti Lembu Sora akan berbuat demikian, dengan alasan untuk keselamatan Arya Salaka. Tetapi tidak mustahil bahwa kepada laskar Pamingit ia memerintahkan untuk menemukan Arya dalam keadaan mati. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukankah dengan demikian Ki Ageng Lembu Sora bebas dari segala prasangka? Sedang apabila yang menemukan laskar Banyubiru serta membawa Arya kembali, umurnya pasti tidak akan panjang pula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendapat pertimbangan itu maka segera Mahesa Jenar mengajak Arya untuk berangkat. Arya, kita jangan menunggu terlampau lama. Marilah kita berangkat selagi kesempatan ada. Siapa tahu bahwa keadaan akan berkembang ke arah yang tidak kita harapkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Marilah Paman, jawab Arya dengan wajah sayu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menjadi tambah terharu ketika didengarnya Arya mengatupkan giginya rapat-rapat. Ternyata anak itu sedang berusaha untuk membendung perasaan harunya meninggalkan kampung halaman. Namun bagaimanapun juga tampaklah bahwa matanya menjadi basah oleh air mata. Mata seorang anak yang masih seharusnya mendapat kasih sayang ayah-ibunya. Tetapi karena keadaan, ia harus berpisah dengan ayah-ibu yang ia cintai. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >190</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >PADA saat itu bulan yang tinggal seperempat bagian telah muncul di langit sebelah timur. Cahayanya yang merah tembaga tersebar meremangi seluruh pegunungan Telamaya yang sepi, namun mengerikan. Sebab setiap hati dari penduduk Banyubiru diselubungi oleh kecemasan dan ketakutan. Hilangnya Gajah Sora dari daerah ini, ternyata sangat mempengaruhi semangat mereka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam keremangan bulan yang samar-samar itu, Mahesa Jenar menggandeng Arya berjalan dengan sangat hati-hati menyusup semak-semak untuk menjauhi kota. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kita pergi ke mana Paman? tanya Arya tiba-tiba.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar pertanyaan itu, Mahesa Jenar menjadi agak bingung. Ia sendiri belum pernah berpikir ke mana Arya akan diajak pergi. Tiba-tiba ia teringat kepada suatu daerah terpencil yang dicikal-bakali oleh Ki Paniling dan Darba. Yaitu daerah di hutan Pudak Pungkuran. Ia mengharapkan Ki Paniling akan mengizinkan ia tinggal untuk sementara bersama Arya di sana. Maka kemudian jawabnya, Kita pergi ke Pudak Pungkuran, Arya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pudak Pungkuran? ulang Arya. Ia belum pernah mendengar sama sekali daerah itu. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebenarnya Mahesa Jenar ingin membawa Arya untuk pergi sejauh-jauhnya. Sebab menurut perhitungan Arya, semakin jauh dari Banyubiru, jiwa Arya pasti akan semakin aman. Tetapi untuk sementara ia tetap terikat kepada Banyubiru, kepada Rawa Pening. Sebab meskipun agaknya sudah semakin hambar, namun pertemuan akhir tahun dari golongan hitam akan tetap dilaksanakan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian setelah itu Mahesa Jenar dan Arya Salaka tidak bercakap-cakap lagi. Mereka sedang disibukkan oleh pikiran masing-masing. Pikiran tentang keadaan kini serta masa datang. Sedangkan pikiran Mahesa Jenar diganggu oleh Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Bagaimanakah kira-kira yang akan terjadi andaikata kedua keris itu untuk seterusnya tidak dapat diketemukan? Tidakkah ada seseorang yang kelak dapat melangsungkan kejayaan Demak? Sebab menurut kepercayaan, siapa yang kuat memiliki kedua keris itulah, yang kuat pula menerima wahyu kraton. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pikiran-pikiran Mahesa Jenar dirisaukan pula oleh kenyataan adanya dua garis keturunan yang sama-sama berhak atas tahta. Yaitu putra-putra Sultan Demak sekarang, sedangkan yang lain adalah putra almarhum Sekar Seda Lepen yang dalam keadaan belum dewasa telah mewarisi Kadipaten Jipang, bernama Penangsang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Penangsang sebenarnya memiliki kesempatan yang besar untuk menduduki tahta, seandainya ayahnya tak terbunuh. Meskipun demikian tidak mustahil kalau pada suatu saat ia akan menuntut pula haknya serta mengadakan perhitungan dengan pembunuh ayahnya. Pada saat yang demikianlah akan terjadi suatu perjuangan yang hebat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau mereka sama-sama percaya bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten adalah sumber kekuatan untuk menerima wahyu kraton, maka perjuangan untuk mendapatkan kedua pusaka itu pun akan menjadi bertambah ramai. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba Mahesa Jenar tersadar dari angan- angannya oleh suara derap kuda yang mendatanginya. Segera ia menghentikan langkahnya dan dengan saksama memperhatikan suara itu. Ternyata suara itu semakin lama semakin dekat tepat ke arahnya, sepanjang jalan hutan yang sempit. Karena itu, segera ia menarik Arya untuk segera bersembunyi, sebab ia masih belum tahu siapakah para penunggangnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beberapa saat kemudian terdengar derap itu menjadi tidak secepat tadi. Agaknya jalan kuda itu diperlambat ketika menyusup jalan sempit serta banyak rintangan salur-salur pepohonan liar. Ternyata penunggang kuda itu lebih dari 3 atau 4 orang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang bersembunyi di dalam semak, segera menahan nafas ketika kuda-kuda itu hampir lewat di depannya. Tiba-tiba terdengar salah seorang berkata, Kakang, ke mana kita akan mencari? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Entahlah, jawab yang lain. Mencari seseorang di daerah yang seluas ini adalah sulit sekali. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidak mungkinkah anak itu dilarikan ke Demak untuk melaporkan segala sesuatu yang terjadi kepada Sultan? kata yang lain pula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Telah diperlihatkan untuk memotong jalan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dan itu tak mungkin dilakukan, sahut yang lain lagi. Kalau orang yang melarikan anak itu bukan orang yang bodoh, ia pasti tidak akan pergi ke Demak. Sebab tidak akan ada gunanya. Kecuali kalau dapat ditunjukkan bukti-buktinya, atau yang berkepentingan tertangkap pada saat itu. Apalagi Sultan sedang murka kepada Gajah Sora. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah itu, tak terdengar lagi suara mereka. Sedang derap kuda itu semakin lama terdengar semakin jauh dan kemudian menghilang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika sudah tidak ada tanda-tanda yang membahayakan lagi, segera Mahesa Jenar bangkit dan menggandeng Arya untuk berjalan kembali. Mahesa Jenar agak terkejut ketika dirasanya tangan Arya gemetar. Segera ia dapat menduga perasaan anak itu. Meskipun ada juga perasaan takut, tetapi pasti Arya menjadi marah sekali mendengar percakapan orang-orang itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika baru tiga-empat langkah mereka berjalan, mendadak Mahesa Jenar menghentikan langkahnya. Ia mendapat suatu pikiran bahwa jalan ini pasti merupakan jalan yang berbahaya. Orang-orang tadi dapat dengan segera kembali dan mungkin ada orang lain yang mencari lewat jalan ini pula. Karena itu segera ia mempertimbangkan untuk mengambil jalan lain. Ia tidak mau menanggung akibat tertangkapnya Arya, apabila ia tidak dapat melawan orang-orang yang mencarinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya... kata Mahesa Jenar kemudian, Ternyata jalan ini adalah jalan yang berbahaya. Karena itu marilah kita ambil jalan lain.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arya tidak menjawab, tetapi ia hanya menganggukkan kepalanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena pertimbangan itu, segera Mahesa Jenar dan Arya Salaka membelok menyusup hutan untuk mengambil jalan lain.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >BERSAMBUNG....</span></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-32838794063228775442011-08-14T04:35:00.000-07:002011-08-14T04:37:36.036-07:00NAGA SASRA SABUK INTEN_seri 181 -186<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLlJrUDXZojgm1nBq_2k9T6X9DCOHiEDgpXK5UvTeSrEruy5VBmAdBITSo-UnAdxRZL_hPsm0z4Plj-O0Tzf0Uxi4hxj9iJ-shv6Fu5QPO1rc0oqF-yvg4XHA-XIwZ-OpSbEhwxgpWeA/s1600/image-1712.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLlJrUDXZojgm1nBq_2k9T6X9DCOHiEDgpXK5UvTeSrEruy5VBmAdBITSo-UnAdxRZL_hPsm0z4Plj-O0Tzf0Uxi4hxj9iJ-shv6Fu5QPO1rc0oqF-yvg4XHA-XIwZ-OpSbEhwxgpWeA/s320/image-1712.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640674200179178754" /></a><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >181</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >SETELAH matahari sampai pada titik puncaknya, segera mereka mohon diri, pulang ke rumah masing-masing. Yang terakhir meninggalkan ruangan itu adalah Darba. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan tertawa pendek ia berkata, Mahesa Jenar, datanglah sekali-sekali ke pondokku meskipun tidak lebih baik dari pondok ini. Aku juga hidup seperti pamanmu, Paniling. Berbeda dengan orang lain di sini yang hidup berkeluarga, dengan anak-istri. Tetapi kami, aku dan pamanmu, hidup sebatang kara. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Baiklah, Paman, jawab Mahesa Jenar mengangguk. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mata Mahesa Jenar yang tajam menangkap sinar yang gemerlapan dalam mata petani yang kekurus-kurusan itu. Sinar itu bukanlah sinar mata seorang petani miskin. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rupanya dua orang ini harus mendapat perhatian sepenuhnya. Tetapi Mahesa Jenar pun adalah orang yang berotak cemerlang. Karena itu segala sesuatu diperhitungkannya dengan cermat. Juga terhadap kedua orang ini, ia bersikap sangat hati-hati. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tidak mempunyai prasangka yang jelek terhadap Paniling maupun Darba. Sebab cahaya mata mereka serta pancaran wajah mereka sama sekali tidak menunjukkan sesuatu kepalsuan. Tetapi meskipun demikian ia memperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan yang sebaliknya. Malahan kadang-kadang timbul dugaannya, apakah salah seorang diantaranya itu adalah Pasingsingan? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah semua orang, juga Darba telah meninggalkan rumah itu, segera Paniling menyodorkan beberapa jagung rebus beserta gula kelapa yang masih baru kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar yang memang merasa lapar segera menerimanya dan dengan lahapnya ia menghabiskan bagiannya. Setelah itu tidak banyak yang mereka percakapkan. Apalagi Paniling segera pergi ke kebun untuk menyiangi tanaman-tanamannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Baru ketika matahari telah hilang di balik batas antara siang dan malam, serta Paniling telah menyalakan oncor jarak, mereka duduk di atas satu-satunya tempat pembaringan yang ada di dalam ruang itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba tanpa ditanya Paniling berkata tentang kitabnya, Angger, ternyata kedua jilid dari kitab itu belum aku ketemukan. Aku tanyakan kesana-kemari, agaknya belum aku jumpai siapakah yang telah meminjamnya. Apakah Anakmas tertarik sekali dengan ceritera itu? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan menjawab pertanyaan itu. Namun demikian katanya, Aku sangat tertarik kepada ceriteranya, Bapak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paniling mengangguk-anggukkan kepalanya. Ceriteranya memang menarik. Tetapi ceritera itu adalah ceritera biasa saja sebenarnya, sambung Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ya, jawab Mahesa Jenar tiba-tiba. Ia sedang mencoba untuk memancing pikiran orang tua itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Aku juga pernah mendengar ceritera yang hampir sama, katanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang itu tampak agak terkejut, tetapi sebentar kemudian kesan itu telah hilang kembali. Malahan ia tersenyum sambil menjawab, Angger juga pernah mendengar? Di mana...? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di Banyubiru, sahut Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Banyubiru...? Dekat Rawa Pening? tanya Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ya, kenapa? tanya Mahesa Jenar pula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akh, ceritera itu sampai tersiar demikian jauhnya, jawab Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Demikian jauhnya? Mahesa Jenar yang sekarang keheranan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ki Paniling kembali mengernyitkan alisnya. Dan kembali pula ia tersenyum lebar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukan jauh sekali, katanya kemudian, Tetapi buat ceritera yang tak berharga itu, adalah suatu kehormatan besar apabila sampai tersiar ke daerah-daerah yang agak jauh. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terasa bagi Mahesa Jenar ada sesuatu yang dapat ditangkapnya dari kata-kata Paniling, karena itu segera ia menyahut, Kalau ceritera itu sampai di sini, bukankah telah tersebar ke tempat yang lebih jauh lagi? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paniling terkejut mendengar jawaban Mahesa Jenar. Tetapi hanya sekejap, karena hanya sesaat kemudian ia telah tertawa sambil berkata, Mungkin, mungkin Angger benar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar tidak mau melepaskan kesempatan itu lagi, karena itu ia ingin mendesak lebih lanjut. Ki Paniling, aku juga pernah mendengar ceritera tentang Pasingsingan itu di Banyubiru. Cobalah Ki Paniling sudi mendengarkan ceritera yang aku dengar itu untuk diperbandingkan dengan kelanjutan dari ceritera Ki Paniling yang tercecer, dari kitab jilid 2 dan 3. Adakah persamaannya ataukah hanya persamaan nama melulu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar melihat orang tua itu menjadi agak gelisah, tetapi ia tidak mau kehilangan kemungkinan untuk menyentuh-nyentuh perasaan Ki Paniling yang paling dalam. Dengan demikian ia akan segera tahu dengan siapa ia berhadapan. Dengan kawan atau lawan. Maka segera Mahesa Jenar melanjutkan, Menurut ceritera yang tersebar luas di Banyubiru, tidak saja yang tertulis di lontar-lontar, tetapi bahkan telah menjadi ceritera rakyat yang tersebar dari mulut kemulut, mengatakan bahwa Pasingsingan sama sekali bukanlah seorang yang baik hati, bukan seorang yang pasrah diri kepada Yang Maha Agung, ia sama sekali tidak mengagungkan kebajikan, apalagi mempunyai dua orang murid yang bernama Radite dan Anggara. Tetapi Pasingsingan adalah orang yang sama sekali berlawanan dengan sifat-sifat itu. Ia mempunyai murid-murid yang sama jahatnya dengan dirinya sendiri, yang menamakan dirinya sebagai nama pahlawan, yaitu Lawa Ijo, Wadas Gunung dan Watu Gunung. Yang sama dengan ceritera Bapak adalah bahwa Pasingsingan itu memang sakti, namun ia telah mempergunakan kesaktiannya untuk kejahatan, merampok, membunuh, merampas isteri orang, me.... </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bohong! tiba-tiba Paniling berteriak keras. Wajahnya jadi tegang dan merah. Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Cepat ia hendak bangkit ketika dilihatnya wajah Paniling menyala. Mahesa Jenar sadar bahwa hal yang tak dikehendaki bisa terjadi. Karena itu ia cukup waspada. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >182</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >TIBA-TIBA tangan Ki Paniling terjulur untuk menangkap baju Mahesa Jenar. Cepat ia mengelak, dan dengan gerakan kuat ia menerkam Paniling. Mahesa Jenar tidak mau didahului oleh orangtua yang masih belum diketahui siapakah dia dan sampai dimanakah kekuatannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan menangkap orangtua itu, Mahesa Jenar bermaksud memaksanya untuk menjelaskan siapakah sebenarnya dirinya itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang ketika ia sama sekali tak berhasil menyentuh Ki Paniling dalam tempat yang demikian sempitnya. Bahkan tiba-tiba terasa tangannya terpilin dan lenyaplah segenap kekuatannya yang memang belum pulih seluruhnya. Tetapi bagaimanapun ia merasa bahwa Paniling mempunyai kekuatan yang jauh di atas kemampuannya. Bahkan andaikata kekuatannya samasekali tak terganggu sekalipun. Namun orangtua itu akan dapat dengan mudah menangkapnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengalami peristiwa itu, Mahesa Jenar segera teringat kepada pertemuan-pertemuannya dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana yang juga sama sekali tak diduganya. Dengan demikian ia dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa orang ini pun pasti tergolong angkatan itu pula. Kalau saja orang ini Pasingsingan, entahlah apa yang akan terjadi atas dirinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi tiba-tiba terasa tangkapan pada tangannya itu semakin kendor, semakin kendor, bahkan akhirnya dilepaskan. Dan dengan keheran-keheranan Mahesa Jenar melihat Ki Paniling itu membanting diri diatas bale-bale, yang kemudian dengan kedua telapak tangannya menutupi mukanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar jadi ragu dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Tetapi suatu kelegaan telah membersit di hatinya. Sebab jelas orangtua itu sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah beberapa saat suasana ruangan sempit itu dicengkam oleh kesepian yang tegang, maka perlahan-lahan Ki Paniling mengangkat mukanya. Muka yang tadi tampak merah membara, kini menjadi pucat keputih-putihan. Bahkan dari matanya memancar sinar duka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar jadi merasa bahwa ia telah berbuat sesuatu yang menyebabkan orangtua itu susah. Maka katanya, "Maafkan aku, Bapak, barangkali aku telah berbuat suatu kesalahan." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba Ki Paniling tersenyum lebar, namun senyumnya adalah senyum yang pahit. "Tidak, Angger..., Angger tidak berbuat suatu kesalahan. Tetapi akulah yang bodoh. Sebagai orangtua aku telah berbuat sesuatu yang memalukan. Tetapi itu ada sebabnya." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mata orangtua itu semakin membayangkan kedukaan yang dalam. Hanya kadang kadang saja ia memandang kepada Mahesa Jenar, tetapi kemudian kembali matanya menatap ke titik-titik, jauh tak terhingga. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lewat pintu rumah kecil yang belum ditutup itu, terasa angin malam menghembus halus, menggoyang-goyang nyala pelita jarak yang melemparkan cahaya suram ke segenap arah. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untuk beberapa lama mereka berdua masih berdiam diri. Perlahan-lahan Mahesa Jenar pun kemudian duduk kembali di samping Ki Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Angger..." kata Ki Paniling kemudian memecah sepi, "Maksudku hanya ingin mengatakan bahwa ceritera yang Angger dengar itu sama sekali tidak benar. Atau barangkali lebih baik aku katakan bahwa ceritera itu tidak sama dengan ceritera di dalam kitab-kitabku. Mungkin benar kata Angger bahwa kedua ceritera itu ditulis oleh orang yang tidak sama, hanya kebetulan nama tokoh-tokohnya sajalah yang bersamaan." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Demikianlah Bapak, ceritera itu bukanlah tidak mungkin bersamaan nama, " jawab Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ceritera yang aku baca, Angger..." kata Paniling, "Pasingsingan adalah orang yang baik hati. Menjunjung tinggi keluhuran budi, serta pasrah diri kepada Yang Maha Agung." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dapatkah aku mendengar ceritera itu, Bapak? " tanya Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ki Paniling menarik nafas dalam-dalam. "Otakmu cemerlang seperti matahari musim kemarau," sahut Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar kurang mengerti kepada kata-kata Paniling itu. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu, sampai akhirnya Paniling berkata kembali, "Baiklah Angger..., aku tidak tahu apakah ada gunanya kalau aku berceritera. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab kau bukanlah anak-anak yang mudah tertidur karena dongeng-dongeng yang menyenangkan serta mengasyikkan." </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menundukkan kepala mendengar kata-kata Ki Paniling yang rupa-rupanya sudah mengetahui maksudnya, memancing-mancing keterangan tentang dirinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Angger Mahesa Jenar...,"kata Ki Paniling lebih lanjut, "Bagian kedua dari ceritera itu mengatakan bahwa setelah kedua murid Pasingsingan itu menjadi dua orang yang hampir mumpuni, maka Pasingsingan ingin menyerahkan jabatannya, meskipun jabatan itu disandangnya atas kemauan sendiri, kepada muridnya yang tua. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi pada saat itu datanglah seorang yang mengaku murid Pasingsingan yang tertua, yang merasa berhak untuk mengenakan tanda-tanda kebesaran gurunya, yaitu jubah abu-abu, topeng yang kasar dan yang terutama adalah sebuah belati panjang berwarna kuning emas berkilau-kilauan, yang disebut Kyai Suluh, serta cincin bermata batu akik merah menyala yang dinamai Akik Klabang Sayuta. Hampir tak ada orang yang dapat melawan kesaktian belati panjang serta akik Klabang Sayuta itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sampai sekian terasa punggung Mahesa Jenar meremang. Ia kenal semua benda-benda yang disebutkan itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia pernah melihat Pasingsingan memegang sebuah pisau belati yang berwarna kuning gemerlapan pada saat orang itu hendak bertempur melawan Ki Ageng Pandan Alas, yang juga terpaksa menarik pusakanya Sigar Penjalin.Sedang akik Klabang Sayuta yang beracun itu, tidak saja ia pernah melihat, tetapi ia pernah merasakan betapa dahsyatnya. Kalau saja di dalam darahnya tidak mengalir bisa Ular Candrasa, entahlah apa yang terjadi atasnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >183</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >KI PANILING kemudian melanjutkan ceritanya, Tetapi agaknya Pasingsingan tidak begitu terkena hatinya kepada bekas muridnya yang telah lama meninggalkannya. Karena itu ia tetap pada pendiriannya, menyerahkan semua tanda-tanda jabatannya kepada Radite. Maka pada suatu hari, dengan tidak diketahui oleh siapapun, Pasingsingan telah lenyap. Tetapi jubah abu-abu serta semua miliknya itu ditinggalkannya di dalam ruang tidur Radite. Dan sejak itulah Radite kemudian mengembara dengan nama Pasingsingan untuk mengamalkan kebajikan demi kesejahteraan hidup umat manusia. Dalam pengembaraan itu pula ia berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti yang lain, yang juga berusaha untuk menegakkan kebajikan bagi kesejahteraan umat mahusia. Diantara sahabatnya terdapat seorang yang bernama Kiai Ageng Pengging Sepuh, yang kemudian mempunyai seorang murid yang menjadi Prajurit Pengawal Raja bernama Rangga Tohjaya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali punggung Mahesa Jenar meremang. Bahkan kali ini keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Ia jadi agak bingung. Ternyata Paniling telah hampir mengetahui keseluruhan dari perjalanan hidupnya. Ia akhirnya malu sendiri, ketika ia merasa bahwa pancingan-pancingannya terasa berhasil untuk memaksa Paniling berceritera. Tetapi agaknya orangtua itu telah dapat menebak seluruh isi hatinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Adapun Anggara... Ki Paniling meneruskan, Telah diserahi tugas untuk menunggui tempat pertapaan Pasingsingan. Dan orang itupun dengan setia melakukan kewajibannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi... sambung Ki Paniling dengan nada yang merendah, Peredaran roda tidak selamanya menempuh jalan datar. Radite akhirnya bertemu dengan murid tertua dari Pasingsingan, yang menamakan dirinya Umbaran. Dari segi keperwiraan jasmaniah, maka Umbaran ada di bawah kepandaian Radite. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ki Paniling berhenti sebentar. Terasa bahwa nafasnya berangsur cepat. Wajahnya tampak semakin pucat sedang matanya semakin sayu. Kemudian ia kembali melanjutkan ceritanya, Karena itu Umbaran tidak dapat memaksa Radite untuk menyerahkan tanda-tanda kebesaran gurunya. Namun demikian ada saja jalan yang dapat ditempuhnya. Dan ini termuat pada bagian ketiga dari kitab ini. Bagian yang paling menyedihkan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali Ki Paniling berhenti sejenak, kemudian meneruskan ceritanya lagi, Bagaimanapun juga Radite adalah manusia biasa. Meskipun ia telah mengenakan jubah abu-abu, topeng dan pusaka-pusaka lainnya, namun ia tidak dapat melapisi hatinya dengan baja. Hatinya masih saja hati manusia yang lunak dan lemah. Itulah sebabnya ia pada suatu saat jatuh cinta kepada seorang gadis. Dan inilah sumber dari segala malapetaka. Ketika Umbaran mengetahui, maka segera ia berusaha memikat hati gadis itu. Memang Umbaran memiliki wajah yang tampan, sehingga akhirnya dengan tidak banyak kesulitan ia berhasil menguasai hati gadis itu sepenuhnya. Sedang di lain pihak, hati Radite telah bulat-bulat berada di dalam genggaman gadis itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya... lanjut Ki Paniling, Terjadilah sesuatu yang memalukan sekali. Radite dan Umbaran mengadakan suatu perjanjian tukar-menukar. Inilah yang gila. Dan itu sudah terjadi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menjadi terkejut ketika nada suara Paniling jadi meninggi. Hampir berteriak ia berkata, Itu sudah terjadi, dan tak dapat dicabut kembali. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi kemudian seperti orang yang tersadar, Ki Paniling menarik nafas dalam-dalam. Dan kembali dengan nada yang rendah ia meneruskan, Radite dan Umbaran mengadakan perjanjian. Radite mendapat gadis itu, sedang Umbaran mendapat tanda-tanda kebesaran dari Pasingsingan. Maka berlangsunglah tukar-menukar itu tanpa saksi, selain Anggara yang dengan sedih berusaha mencegahnya. Tetapi tukar-menukar itu tetap berlangsung, dengan hati jantan dan tanggung jawab bagi Radite. Itulah sebabnya maka ia akan mentaati perjanjian itu untuk seterusnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi kemudian... lanjut Ki Paniling, Menyusullah kejadian yang semakin menghimpit hati. Radite sebenarnya sangat menyesal atas perjanjian itu. Namun di hadapan gadis yang kemudian menjadi istrinya, ia selalu menyembunyikan penyesalan itu. Kemudian ia harus mengalami kejadian yang dahsyat, yang barangkali merupakan hukuman alam. Gadis yang memang sebenarnya sama sekali tak mencintainya itu, sebab hatinya telah terampas oleh Umbaran, akhirnya menjadi sakit-sakitan dan meninggal dunia. Kejadian ini merupakan pukulan yang maha dahsyat dalam kehidupan Radite yang telah gagal itu. Gagal dalam pengabdiannya kepada umat manusia dan gagal dalam pemanjaan nafsu pribadi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paniling berhenti berkata. Wajahnya menjadi semakin pucat. Dan tiba-tiba di matanya tampak mengembang sebutir air mata. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar kini telah menjadi jelas. Jelas dengan siapa ia sedang berbicara. Karena itu tiba-tiba ia berdiri dan membungkuk hormat. Jadi tuanlah sebenarnya yang berhak menyebut diri Pasingsingan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paniling mengangkat mukanya. Ia mencoba tersenyum, meskipun betapa pedihnya. Dengan terputus-putus ia menjawab, Tak usah kau sebut itu. Bukankah hal itu yang kau ingin ketahui? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukankah segala sesuatu masih belum terlambat? kata Mahesa Jenar kemudian, Tuan masih dapat menghentikan perbuatan-perbuatan jahat dari Umbaran, yang kemudian bernama Pasingsingan itu? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paniling atau sebenarnya bernama Radite itu menggelengkan kepalanya. Tidak dapat. Sebab pada suatu kali, datanglah Guru kepadaku. Meskipun aku sama sekali tidak dapat melihatnya, tetapi aku kenal suaranya. Ia berkata kepadaku, Radite..., nama Pasingsingan telah kau korbankan. Kau tak perlu bersusah payah untuk memperbaikinya kembali. Sebab sekali nama itu ternoda, buat selamanya tak akan dapat menjadi bersih, sebersih semula. Karena itu biarkanlah nama itu bernoda untuk seterusnya. Sebab setiap kali nama itu disebutkan, setiap kali kau akan teringat kepada kesalahanmu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >184</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >KI PANILING termenung sejenak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian lanjutnya, Itu adalah hukumanku yang paling berat. Hukuman yang hampir tak tertanggungkan. Karena itu kemudian aku menyembunyikan diri. Menjauhkan diri dari setiap kemungkinan untuk dapat mendengar nama Pasingsingan. Tetapi bagaimanapun juga bendungan itu akan tembus pula. Dan aku sedang mencari saluran untuk mengatakan seluruh gelora yang bergulung-gulung di dalam dadaku. Sampai pada suatu kali aku temukan kau. Aku kenal kau karena caramu bertempur melawan 7 orang di bukit sebelah Banyubiru. Aku mendengar salah seorang menyebutmu Rangga Tohjaya. Dan aku pernah pula mendengar nama Rangga Tohjaya sebagai prajurit pengawal raja, kata Ki Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali mereka berdiam diri dalam kesibukan angan-angan masing-masing. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba saja Mahesa Jenar teringat kepada orang yang berjubah abu-abu dan yang telah berhasil mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Karena itu tiba-tiba ia bertanya, Bagaimanakah kalau ada seorang lagi yang menyatakan dirinya sebagai Pasingsingan? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, Ki Paniling terkejut bukan buatan sehingga wajahnya berubah hebat. Dengan pandangan yang mengandung seribu macam pertanyaan, ia berkata, Adakah orang lain yang kau kenal sebagai Pasingsingan pula? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa yang pernah dilihatnya pada saat hilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dan tentang orang yang berjubah abu-abu yang mengambil kedua keris itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paniling mendengarkan ceritera Mahesa Jenar dengan wajah tegang. Alisnya tampak berkerut-kerut. Akhirnya ia bertanya, Kau lihat orang itu bertopeng pula? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Itu yang tidak aku ketahui, jawab Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tampaklah wajah Paniling semakin tegang. Pikirannya bekerja keras namun ia pun agaknya tidak dapat menduga, siapakah yang telah berjubah abu-abu itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba bertanyalah Mahesa Jenar, Tuan, bolehkah aku mengetahui, di manakah murid yang seorang lagi dari Pasingsingan itu? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajah Paniling agak mengendor. Bahkan kemudian ia tersenyum lebar. Adakah kau menduga bahwa murid yang satu itu menamakan diri Pasingsingan pula? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan. Memang mula-mula ia mempunyai dugaan bahwa hal itu mungkin sekali. Tetapi setelah ia menerima pertanyaan itu, ia menjadi ragu. Bukan maksudku untuk berkata demikian, Tuan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar jawaban Paniling, segera Mahesa Jenar teringat kepada sinar mata yang berkilat-kilat dari orang yang menamakan dirinya Darba. Karena itu segera ia menjawab pula, Apakah yang menamakan dirinya Paman Darba itulah orangnya? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belum lagi Paniling menjawab, terdengarlah suara tertawa di luar, di depan pintu, sampai Mahesa Jenar agak terkejut. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kedatangan seseorang sampai jarak yang demikian dekatnya tanpa diketahui adalah suatu hal yang jarang terjadi. Ketika Mahesa Jenar menoleh ke arah pintu, dilihatnya orang yang menamakan dirinya Darba itu telah berdiri di sana dengan wajah bening, sebening air yang memancar dari mataairnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian Darba berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri mengulangi kata-kata Paniling, Otakmu cemerlang seperti matahari musim kemarau. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian terdengar Paniling berkata, Kepadanya tak perlu kita menyembunyikan diri. Aku percaya bahwa orang semacam Mahesa Jenar akan dapat memegang rahasia, seperti ia memegang rahasia kerajaan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kau akan merahasiakannya Mahesa Jenar? tanya Darba. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akan aku coba, Tuan, jawab Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Juga kepada Kakang Pandan Alas dan Kakang Sora Dipayana? Bukankah tadi kau berceritera tentang hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun kedua tokoh itu ikut pula mempertahankannya? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan. Kalau ia bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Ki Ageng Sora Dipayana, apakah ia harus merahasiakan pula tentang Pasingsingan...? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Melihat kebingungan Mahesa Jenar, berkatalah Darba, Kepada kedua orang itu, juga kepada Titis Anganten, Pangeran Gunung Slamet, kau tidak usah merahasiakan. Kalau mereka akan melenyapkan Pasingsingan adalah urusan mereka, bukankah begitu Kakang? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba wajah Paniling kembali menjadi tegang. Ia tidak segera menjawab kata-kata Darba. Pandangannya jauh lewat pintu yang masih menganga itu langsung menembus gelapnya malam. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian kembali suara Darba terdengar diantara tertawanya, Kakang Paniling, masihkah kau ingin mengadakan perhitungan dengan Umbaran? Aku kiranya hanya akan mengotori tanganmu saja dengan darah yang telah digenangi kejahatan. Apalagi kau terikat kepadanya dengan sebuah perjanjian aneh itu, untuk seterusnya tidak saling mengganggu. Kenapa kau tidak memerintahkan aku saja untuk menyelesaikan masalah ini? Bukankah aku tidak terikat oleh suatu apapun? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >185</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >TIBA-TIBA wajah Darba yang bening itu berubah, seolah-olah menjadi batu padas yang maha keras. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sabarlah Darba, jawab Paniling yang wajahnya masih setegang tadi, Aku kira akan datang saatnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajah Darba perlahan-lahan menjadi lunak kembali. Dengan langkah yang perlahan lahan pula ia duduk di samping Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kakang Paniling kagum melihat caramu bertempur melawan 7 orang yang termasuk orang-orang kuat. Memang Kakang Pengging Sepuh telah hampir tercermin seluruhnya di dalam dirimu. Kalau kau kelak dapat mengendap ilmu Sasra Birawa sehingga mendapat bentuk yang lebih masak lagi, aku kira kau akan menjadi tepat seperti bayangan Kakang Pengging Sepuh yang mengagumkan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepalanya mendengar pujian itu, tetapi bersamaan dengan itu pula segera ia teringat kepada nasib Banyubiru yang dalam keadaan lumpuh itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Paniling dan Darba tak berkata-kata pula. Baru beberapa lama kemudian berkatalah Mahesa Jenar, Dan sekarang ke-7 orang yang mengeroyokku itu sedang merencanakan kehancuran Banyubiru. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paniling dan Darba tampak mengerutkan kening nya. Kemudian kata Paniling, Perencana dari peristiwa Banyubiru itu bukanlah orang bodoh. Karena itu kaupun harus sangat berhati-hati untuk melawannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apa yang kau lakukan beberapa hari yang lalu, melawan 7 orang sekaligus, adalah perbuatan yang terlalu berani. Kalau kau tewas dalam pertarungan semacam itu, maka kau sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Sedang agaknya kau tak pernah berfikir untuk menghindar. Untunglah bahwa aku berhasil menggugurkan tanah yang kau injak, ketika kau berdiri terlalu ke tepi, dengan sebuah lemparan. Sehingga kau dengan tak usah merasa melarikan diri dari gelanggang, telah dapat terselamatkan, meskipun kau harus menggelinding ke dalam jurang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dada Mahesa Jenar terasa berdesir mendengar kata-kata Paniling. Agaknya orang tua itulah yang telah berusaha menyelamatkan nyawanya. Dengan demikian maka tanpa disengaja ia berkata dengan gemetar, Terima kasih Tuan, terima kasih atas pertolongan itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam hati Mahesa Jenar memancarlah perasaan kagum yang tak terhingga. Dengan satu lemparan, Radite menggugurkan tanah tempat ia berpijak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paniling tersenyum lebar. Aku juga pernah mengalami masa muda. Masa darah kita menggelora, dimana kita kadang-kadang kehilangan kemampuan untuk mengakui kekurangan diri, jawabnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terasa oleh Mahesa Jenar kebenaran kata-kata Paniling. Memang dalam saat yang demikian terasa alangkah kecilnya apabila seseorang menghindarkan diri dari arena. Tetapi apabila benar-benar ia dapat ditewaskan, maka untuk selanjutnya ia tak akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu, adalah suatu keuntungan bahwa ia masih hidup. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar... kata Paniling kemudian, Memang sebaiknya kau kembali ke Banyubiru. Ketahuilah bahwa kau sekarang ini berada di hutan Pudak Pungkuran. Perjalanan ke Banyubiru dapat kau tempuh kira-kira dalam satu hari. Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa. Kau pulihkan dahulu kekuatanmu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di sini aku mempunyai beberapa jenis akar yang dapat menolong menambah lancar aliran darah serta menambah kesegaran tubuhmu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar segera menyatakan terima kasihnya. Dengan demikian ia dapat beristirahat untuk beberapa saat di rumah Ki Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beberapa hari kemudian setelah tubuhnya terasa pulih kembali, serta keadaan telah memungkinkan, maka Mahesa Jenar mohon diri kepada Paniling untuk kembali ke Banyubiru. Paniling dan Darba yang merasa pentingnya kehadiran Mahesa Jenar di tanah perdikan yang kehilangan pemimpin itu, segera mengizinkannya, diiringi beberapa pesan dari seorang tua yang telah banyak makan garam, kepada seorang pemuda yang darahnya masih cepat mendidih. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Disamping itu, Paniling juga memesannya untuk tidak berkata apa-apa tentang Pasingsingan apabila tidak dianggapnya perlu sekali. Sebab sampai saat itu, belum ada orang lain yang pernah mengenal wajah asli dari Pasingsingan, apalagi Pasingsingan tua, guru Radite, yang pada saat itu, baik Radite maupun Anggara tidak tahu apakah Pasingsingan masih hidup ataukah sudah tidak ada lagi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka pada suatu pagi yang cerah, diiringi oleh kicauan burung-burung liar, Mahesa Jenar melangkah dengan segarnya menuju ke Banyubiru. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimanapun ia merasa bahwa ia ingin segera sampai. Sebenarnya daerah Banyubiru, yang paling menarik bagi Mahesa Jenar adalah Arya Salaka. Kepada anak ini Mahesa Jenar menaruh perhatian sepenuhnya. Apalagi sejak ayahnya Ki Ageng Gajah Sora, menyerahkan Arya kepadanya dalam olah kanuragan. Maka seolah-olah ia telah dibebani suatu tanggungjawab. Apabila kelak pada waktunya Arya dewasa, dengan tidak memiliki sesuatu yang pantas dipakai sebagai pegangan bagi seorang kepala daerah perdikan, maka ialah yang paling dapat disalahkan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengenangkan hal itu, tiba-tiba saja Mahesa Jenar ingin segera sampai ke Banyubiru. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu segera ia mempercepat langkahnya. Tetapi karena ia menempuh suatu perjalanan yang belum pernah dilalui sebelumnya, dan hanya dikenalnya dari ancar-ancar yang diberikan oleh Ki Paniling, maka perjalanannya tidak dapat terlalu cepat. Beberapa kali ia harus berhenti untuk mengenali jalan-jalan dan tempat-tempat seperti yang disebut oleh Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan demikian maka ia tidak dapat mencapai Banyubiru dalam sehari. Meskipun matahari telah tenggelam di langit, Mahesa Jenar dengan perlahan-lahan tetap melanjutkan perjalanannya. Apalagi ketika dari jarak yang agak jauh, remang-remang di hadapannya hanya taburan bintang-bintang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar melihat bayangan hitam yang membujur seperti seorang raksasa yang baru berbaring. Itulah pegunungan Telamaya. Karena itu maka Mahesa Jenar seakan-akan merasa terhisap oleh pegunungan itu, serta rasa rindunya kepada Arya Salaka semakin menjadi-jadi. Segera ia pun mempercepat langkahnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >BERSAMBUNG...</span></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-26273418600193605742011-08-14T04:31:00.000-07:002011-08-14T04:34:45.159-07:00NAGA SASRA SABUK INTEN_seri 176 -180<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheQQg37r8elVDrqGA0z5esdn3yyLJaOEb8UXOoJVH_ug3lv76kYekvrJyYbpTtYcZLVpc1d9E7-ICl-HMM-y2bRqG8c3rqs3o4HAOkH8wS2-UzYaUIbAQTlaLh7SHWm7PqJjO8BdFiEg/s1600/image-1712.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheQQg37r8elVDrqGA0z5esdn3yyLJaOEb8UXOoJVH_ug3lv76kYekvrJyYbpTtYcZLVpc1d9E7-ICl-HMM-y2bRqG8c3rqs3o4HAOkH8wS2-UzYaUIbAQTlaLh7SHWm7PqJjO8BdFiEg/s320/image-1712.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5640673522278092338" /></a><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >176</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >SAMPAI di tempat itu segera beberapa orang berusaha untuk mendapatkan jejak kaki kuda. Dan ketika jejak itu diketemukan maka mereka mencoba untuk mengikuti dengan harapan dapat memecahkan teka-teki hilangnya Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mudah-mudahan kuda itu hanya nakal saja sehingga penunggangnya ditinggalnya lari, desis Wanamerta perlahan-lahan. Tetapi nyata bahwa dibalik kata-katanya itu tersembunyi suatu pergolakan perasaan yang dahsyat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan tekunnya mereka mencoba untuk mengikuti terus jejak seekor kuda yang mereka sangka adalah kuda yang dipakai oleh Mahesa Jenar, sebab arah kuda ini berbeda dengan arah kuda-kuda yang lain dari laskar Banyubiru. Kalau jejak kuda yang lain berjalan ke arah barat, maka jejak yang seekor berjalan kearah timur. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mereka menemukan jejak ini berhenti di sebuah tempat yang agak tinggi, dan yang kemudian melingkar menuju ke sebuah bukit di sebelah lembah. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi mereka akhirnya menemukan jejak itu terputus. Dan tahulah mereka bahwa kuda itu telah ditambatkan di sebatang pohon. Dari tempat itu disebarlah beberapa orang untuk menyelidik beberapa tempat dengan suatu harapan bahwa mereka akan menjumpai Mahesa Jenar sedang mencari kudanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi yang mereka jumpai adalah mengejutkan sekali. Beberapa orang yang tersebar itu ada yang sampai pada bekas daerah pertempuran antara pasukan Demak dengan laskar Lembu Sora. Di situ, mereka menemukan beberapa bekas darah, senjata senjata yang tertinggal dan sebagainya. Sedang orang lain, yang juga mencari Mahesa Jenar telah sampai di atas gundukan tanah, dan mereka pun menjumpai bekas-bekas perkelahian. Seekor kuda ditemukan telah mati. Yaitu kuda Lawa Ijo yang telah dibunuh oleh Mahesa Jenar dengan tangannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wanamerta mendengar semua laporan itu dengan dahi yang berkerut-kerut. Otaknya berputar seperti baling-baling. Ia tidak dapat mengambil kesimpulan apapun dari apa yang telah disaksikan oleh anak buahnya. Tetapi yang pasti adalah keadaan telah menjadi semakin gawat. Dan sesuatu dapat terjadi atas Banyubiru. Maka terlintaslah dalam angan-angannya bahaya dari segala penjuru siap untuk menerkam tanah perdikan yang seolah-olah sedang lumpuh itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah beberapa saat mereka tak mendapatkan suatu hasil apapun, mereka segera kembali dengan hati gelisah. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada malam hari itu juga beberapa pemimpin Banyubiru segera mengadakan pertemuan. Mereka membicarakan segala segi yang mungkin terjadi pada keadaan seperti itu. Akhirnya, setelah mereka membahas beberapa masalah, sampailah mereka pada suatu keputusan, bahwa satu-satunya kemungkinan, apabila keadaan memaksa, mereka akan minta bantuan kepada Ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit. Sebab dalam pertimbangan mereka, Ki Ageng Lembu Sora adalah adik Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi mereka sama sekali tidak tahu bahwa Lembu Sora sendiri ternyata memegang peranan penting dalam kekisruhan-kekisruhan yang terjadi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hilangnya Mahesa Jenar, terutama bagi Arya Salaka, terasa menekan sekali dalam dadanya. Ia telah kehilangan ayahnya, dan kemudian orang yang dipercaya oleh ayahnya untuk mengasuh serta menjadi gurunya dalam olah kanuragan. Disamping itu Mahesa Jenar adalah kawan bermain-main yang menyenangkan. Itulah sebabnya maka kemudian ia menjadi pendiam dan selalu bermenung. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ibunya yang tidak kalah sedihnya, namun yang selalu berusaha untuk menghiburnya, kadang-kadang menjadi sangat cemas melihat perkembangan Arya dari hari ke hari. Ia lebih senang menyendiri dan pergi ke tempat-tempat yang sepi. Kadang-kadang malahan ia sama sekali tidak mau tidur di dalam rumah, tetapi untuk beberapa malam Arya Salaka tidur dihalaman belakang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wanamerta, Panjawi dan lain-lainnya juga telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menggugah kegembiraan Arya, tetapi usaha mereka sama sekali tak berhasil. Sehingga akhirnya mereka hanya dapat menyaksikan dengan hati cemas atas sifat-sifat Arya yang telah berubah itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >--------------------------------------------------------------------------------</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam pada itu, apa yang telah terjadi dengan Mahesa Jenar? Pada saat Mahesa Jenar terpelanting ke dalam jurang, ia menjadi tidak sadarkan diri dan tidak tahu apakah yang telah terjadi. Tetapi pada saat ia membuka matanya, ia telah berada di dalam sebuah pondok yang kecil, beratap daun ilalang. Pada saat itu kepalanya rasanya telah retak, dan perasaan nyeri telah menjalar ke seluruh tubuhnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika Mahesa Jenar mencoba untuk bergerak, sendi-sendi tulangnya terasa sakit bukan main. Akhirnya ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk bergerak dan bangun. Yang dapat dilakukannya pada saat itu hanyalah menggerakkan kepalanya untuk melihat-lihat seluruh isi rumah itu. Tetapi di dalam rumah itu tak dilihatnya barang apapun kecuali bale-bale tempat ia terbaring, paga bambu dengan sebuah kendhi dan jlupak minyak di atasnya, cangkul di sudut, dan parang pemotong kayu terselip di dinding. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beberapa saat kemudian, terdengarlah langkah perlahan-lahan memasuki ruang itu. Dan muncullah dari pintu samping, seorang tua yang rambutnya telah memutih, berdahi lebar dan berhidung besar. Wajahnya tampak kasar dan terbakar oleh panas matahari. Tetapi mata orang itu memancarkan sinar kejujuran dan kebaikan hatinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar telah membuka matanya, tampaklah ia tersenyum lebar. "Nah, Angger..., rupa-rupanya Angger telah sadar," katanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >177</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >SEGERA Mahesa Jenar tahu bahwa orang itulah yang telah menemukan dan menolongnya pada saat ia pingsan. Meskipun dengan masih agak sukar Mahesa Jenar menjawab perlahan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya bapak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang itu mengangguk, lalu duduk dibale, sambungnya, " jangan angger bergerak dahulu. Biarlah kekuatan angger pulih."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi ia mencoba menganggukkan kepalanya. Dan sekali lagi orang tua itu tersenyum lebar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar mencoba mengamati orang itu lebih seksama. Kecuali berdahi lebar dan berhidung lebar, memang orang itu sama sekali tidak tampan. Tetapi tubuhnya adalah tubuh idaman bagi setiap lelaki. Mungkin karena ia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya setiap hari, maka badannya masih tampak segar dan kuat. Ototnya kokoh menjalar hampir keseluruh bagian tubuhnya. Orang tua itu meskipun tidak begitu tinggi, tetapi tidak pula pendek.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rupanya orang itu sadar ia sedang diamati. Kembali senyumnya yang lebar menghiasi bibirnya. "Adakah sesuatu yang aneh pada diriku ?."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar terkejut mendengar pertanyaan orang itu. Karena itu ia segera dengan perlahan-lahan menggelengkan kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Angger..," sambung orang tua itu, "usahakanlah supaya angger dapat tidur. Jangan berfikir hal yang dapat mengganggu ketentraman perasaan angger. Disini angger dapat beristirahat seenaknya, sebab tidak ada orang lain yang tinggal disini kecuali aku seorang diri."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali Mahesa Jenar mencoba mengangguk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bagus," orang tua itu melanjutkan, "tidurlah. Atau barangkali angger mau minum."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, orang itu telah melangkah keluar rumah menyambar kendi diatas pagar, dan sebentar lagi ia telah masuk kembali. Dengan perlahan dan sangat cermat ia menuangkan air kendi kedalam mulut Mahesa Jenar. Sebenarnya memang leher Mahesa Jenar terasa kering sekali. Seakan-akan sisi lehernya telah lekat menjadi satu. Dengan air yang dituangkan kedalam mulutnya, maka lehernya terasa menjadi sejuk. Bahkan seluruh tubuhnya menjadi segar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Meskipun demikian ia masih belum mampu untuk bangun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jangan coba untuk bangun dahulu," orang tua itu melarangnya. "Tidurlah. Aku akan mencari kayu, merebus air, barangkali angger suka air jeruk."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sesudah berkata demikian orangitu segera melangkah pergi. dan tinggallah Mahesa Jenar seorang diri, berbaring didalam ruangan kecil yang kosong itu. Otaknya yang telah dapat bekerja dengan wajar, sedikit demi sedikit dapat mengenal kembali apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia merasa bersyukur bahwa ia tidak lumat terbanting kedalam jurang. Sebab kalau tidak ia pasti sudah binasa. Sebab bagaimanapun dahsyatnya kekuatan Sasra Birawa yang dimilikinya, namun untuk melawan tujuh orang sekaligus, agaknya ada diluar batas kemampuannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian oleh angin yang menghembus lewat pintu disamping tempat berbaring Mahesa Jenar, serta tubuhnya yang terasa sudah agak segar, maka Mahesa Jenar akhirnya jatuh tertidur.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika ia terbangun, dilihatnya orang tua itu telah duduk disampingnya. Tangannya memegang seberkas lontar. Tanpa menoleh kepada Mahesa Jenar orang tua itu mulai membaca naskah yang tertulis didalam lontar itu. Maka segera menggemalah lagu bait demi bait dari kidung yang berisikan sebuah cerita yang agaknya menarik hati.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada saat itu tubuh Mahesa Jenar telah mulai terasa agak kuat. Karena itu ia telah dapat berusaha untuk duduk dibelakang orang tua yang sedang membaca lontar itu, yang seakan-akan tidak memperhatikannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bait pertama dari cerita itu menggambarkan tentang dua orang sahabat yang pergi merantau untuk berguru kepada seorang sakti. Meskipun kedua orang itu hanyalah sahabat saja, namun mereka telah merasa dirinya lebih dari dua orang bersaudara. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu apapun yang terjadi selalu mereka tanggung bersama.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya sampailah mereka kesuatu lembah yang amat sepi. Lembah yang sama sekali tak pernah disentuh oleh kaki manusia. Disana dijumpainya seorang petapa yang telah menjauhkan diri dari kehidupan. Ia hanya tinggal mengabdikan sisa hidupnya untuk menyembah Yang Maha Agung.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kedua orang sahabat itu kemudian menyerahkan hidup matinya kepada sang petapa sakti. Petapa yang telah menjauhkan diri dari kesibukan manusia itu semula ragu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi karena kesadaran akan pembinaan kebajikan, akhirnya kedua orang itu diterima menjadi muridnya. Diajarinya mereka berdua tentang berbagai ilmu lahir dan batin. Jaya Kawijayan dan olah kanuragan sehingga kedua sahabat itu kemudian menjadi dua orang yang gagah perkasa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Petapa sakti itu mengharap agar kedua pemuda itudapat melanjutkan dharma bhaktinya kepada tata pergaulan manusia membina kebajikan dan memusnahkan kejahatan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Adapun petapa sakti itu, tak seorangpun yang pernah mengenal wajahnya, serta nama yang sebenarnya. Sebab ia selalu memakai topeng yang sangat kasar buatannya, berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar nama Pasingsingan disebutkan, Mahesa Jenar terkejut bukan main. Tanpa disengaja ia mengulangi nama itu sampai orang itu terkejut dan berhenti. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >178</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >PERLAHAN-LAHAN ia menoleh kepada Mahesa Jenar, dan ketika ia melihat Mahesa Jenar duduk di belakangnya, lagi-lagi orang itu tersenyum lebar. "Rupanya Angger telah berangsur baik, dan telah dapat duduk pula, " katanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Begitulah, Bapak, jawab Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi agaknya, adakah yang menarik perhatian Angger dalam ceritera ini? tanya orangtua itu kemudian. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi ketika Mahesa Jenar akan menjawab terdengar orang itu melanjutkan, Aku pernah mendengar kata orang bahwa lagu dapat dipergunakan untuk banyak tujuan. Dalam peperangan, lagu dapat membangkitkan semangat bertempur dan berkorban. Seorang prajurit yang telah kehilangan semangat, akan bangkit keberaniannya apabila ia mendengar sangkakala dalam irama yang menggelora. Sebaliknya, lagu akan sangat berguna pula dalam waktu bercinta. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang itu berhenti berbicara. Kemudian terdengarlah ia tertawa berderai. Anakmas pasti pernah bercinta, katanya tiba-tiba. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perkataan itu mengejutkan Mahesa Jenar. Tanpa disengaja ia menggelengkan kepala. Melihat Mahesa Jenar menggeleng, orangtua itu mengerutkan keningnya, dan dengan nada keheranan ia bertanya, Angger belum pernah bercinta? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah oleh pertanyaan itu. Tetapi sekali lagi tanpa disengaja ia menggelengkan kepalanya pula. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orangtua itu kemudian mengangguk-angguk. Lalu katanya, Baiklah aku berkata tentang masalah yang lain. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia berhenti sebentar, lalu sambungnya, Kata orang, lagu dapat pula menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit. Nah, tadi aku mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang sedang Angger derita, meskipun suaraku sama sekali tak merdu dan lagunya pun barangkali banyak yang salah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terima kasih, Bapak, sahut Mahesa Jenar. Mungkin karena lagu itu pula aku jadi berangsur baik. Tetapi isi ceritera yang Bapak lagukan itu pun sangat menarik perhatianku. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Angger juga tertarik pada ceritera-cerita semacam itu? katanya pula. Kalau begitu kita mempunyai persamaan kesenangan. Tetapi, sampai sekarang aku masih belum mengenal siapakah Angger ini sebenarnya? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Oleh pertanyaan orangtua itu, barulah Mahesa Jenar menyadari kekakuan hubungannya dengan orang itu. Sebab masing-masing masih belum saling mengenal namanya. Karena itu, ketika orangtua itu menanyakan namanya, segera dijawabnya. Namaku Mahesa Jenar, Bapak..., dan siapakah Bapak ini pula? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akh, aku adalah orang yang sama sekali tak berarti. Tetapi meskipun demikian, baiklah Angger mengenal namaku. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia berhenti sebentar untuk menarik nafas, kemudian melanjutkan, Namaku adalah Ki Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu. Kemudian ia bertanya pula, Ceritera yang Bapak baca sangat menarik perhatianku. Dari manakah ceritera itu Bapak dapatkan? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kening orangtua itu berkerut kembali. Agaknya ia sedang mengingat-ingat. Tetapi kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia menjawab, Aku tidak ingat lagi Angger, di mana dan kapan aku mendapatkan naskah itu. Tetapi aku kira itu adalah salinan dari naskah-naskah yang ada di mana-mana. Jadi bukanlah berisikan suatu ceritera yang sedemikian menarik perhatian. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimanapun, keinginan Mahesa Jenar untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang isi naskah itu, yang telah menyebut-nyebut nama Pasingsingan, namun ia selalu berusaha untuk menguasai diri. Sebab ia masih belum tahu benar dengan siapakah ia berhadapan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Meskipun menilik sikap, kesederhanaan, cara berpikir serta hal-hal lain, orang itu bukanlah orang jahat, namun ia tidak dapat meninggalkan sikap hati-hati. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Masih panjangkah ceritera itu? tanya Mahesa Jenar kemudian. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidak, jawab Ki Paniling, Angger ingin membaca sendiri?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya. Ki Paniling kemudian menyerahkan lontar yang dibacanya itu kepada Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar kemudian menjadi kecewa ketika kelanjutan dari ceritera itu hanyalah tinggal beberapa bait saja, yang menceriterakan tentang keperkasaan dua orang murid Pasingsingan yang seakan-akan dapat terbang seperti burung rajawali. Adapun nama dari kedua orang itu, yang dianggap lebih tua karena memiliki beberapa kelebihan adalah Radite, sedang yang muda disebut Anggara. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidakkah Bapak mempunyai kelanjutan ceritera ini? tanya Mahesa Jenar dengan penuh keinginan untuk mengetahui. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orangtua itu mengangguk-angguk sejenak, lalu berkata, Menurut ingatanku, aku ada mempunyai tiga jilid dari naskah itu. Tetapi cobalah nanti Bapak cari, barangkali sedang dipinjam orang selagi mereka punya keperluan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian orangtua itu berdiri, sambil melangkahkan kaki ke luar ia berkata, Istirahatlah Angger. Bapak akan mencari jilid kedua dan ketiga dari kitab itu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lalu hilanglah orangtua itu di balik pintu. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar heran mendengar kata-kata Ki Paniling. Kemanakah ia akan mencari kedua jilid yang lain? Adakah di sekitar rumah ini? Atau rumah-rumah orang lain? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekeliling tempat itu. Perlahan-lahan Mahesa Jenar mengingsar tubuhnya ke tepi tempat pembaringannya. Ketika dirasa bahwa tulang-tulangnya telah tidak begitu nyeri lagi, maka dengan sangat hati-hati ia mencoba berdiri. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia merasa gembira sekali, bahwa agaknya kekuatannya telah berangsur-angsur menjadi baik dan ia sudah tidak merasakan kesulitan apa-apa untuk berjalan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena itu perlahan-lahan dan hati-hati Mahesa Jenar melangkah ke luar rumah. Ia menjadi agak bingung ketika sampai di halaman. Ia tidak dapat lagi mengetahui dengan pasti, di manakah utara dan di mana selatan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >179</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >KETIKA memandang ke arah matahari terbit, Mahesa Jenar juga agak keheran-heranan. Ia dapat memastikan bahwa pada saat itu hari masih pagi. Kalau demikian maka ia telah melampaui satu malam berada di dalam pondok Ki Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian dengan tubuh yang masih belum sehat benar, Mahesa Jenar melangkah lebih jauh lagi. Ia semakin bertambah heran ketika di depan halaman Ki Paniling itu terdapat sebuah jalur desa. Maka keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekitarnya menjadi semakin besar. Setapak demi setapak Mahesa Jenar melangkah menuruti jalan kecil itu, sehingga kemudian barulah ia percaya bahwa sebenarnya ia telah dirawat oleh seorang yang sama sekali bukan orang yang terasing, tetapi orang biasa. Mungkin seorang petani miskin yang tinggal di dalam sebuah kampung kecil bersama-sama dengan orang-orang miskin lainnya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi disamping itu, timbullah suatu masalah lain di dalam kepalanya. Mahesa Jenar ingat betul bahwa ia telah terperosok ke dalam jurang yang dalam. Apa yang diketahuinya, daerah itu daerah pegunungan yang berhutan dan bersemak-semak. Jadi tidaklah mungkin bahwa ia telah menggelinding sampai tempat yang didiami oleh manusia. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Memang mungkin pada saat itu Ki Paniling sedang mencari kayu, misalnya, lalu menemukannya. Tetapi membawa seseorang sebesar dirinya di tempat yang bergunung-gunung dan bertebing-tebing curam adalah sangat sulit. Sedang daerah ini adalah suatu dataran yang rata, meskipun masih juga dikitari hutan dan pegunungan. Dengan demikian maka pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar menjadi semakin berbelit-belit di kepalanya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah Mahesa Jenar berjalan beberapa jauh, terasa kakinya amat penat. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kekuatannya baru sebagian kecil saja yang dimilikinya kembali. Karena itu ia berhasrat kembali saja ke rumah Ki Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi baru saja ia memutar tubuhnya, tiba-tiba terdengarlah suara ramah, Adi Darba, itulah kemanakanku yang baru datang kemarin siang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Segera Mahesa Jenar memandang ke arah suara itu. Dilihatnya Ki Paniling sedang bercakap-cakap dengan seorang petani lain, seorang yang bertubuh agak kekurus-kurusan. Dan seperti kebiasaan para petani, wajahnya memancarkan isi dadanya dengan terbuka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang yang dipanggil Darba itu kemudian tertawa. Tertawanya terdengar seperti suara air yang memancar dari mata airnya. Bersih dan tanpa maksud-maksud yang tidak wajar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemenakanmu tampak begitu tampan dan gagah, Kakang Paniling, aku jadi agak heran, katanya dengan jujur. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ki Paniling tersenyum lebar. Aku tidak tahu, bagaimana aku dapat mempunyai kemenakan segagah dia, jawabnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian kedua orang itu sama-sama tertawa. Mau tidak mau Mahesa Jenar berusaha untuk tertawa pula, serta mengangguk hormat kepada mereka. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar..., kata Paniling, yang memanggilnya tanpa sebutan seperti lazimnya orang memanggil kemenakannya. Inilah pamanmu Darba. Ia termasuk salah seorang cikal bakal kampung ini sesudah aku. Sebab akulah yang tertua yang datang di sini, kemudian beberapa orang berturut-turut ikut serta menebas hutan dan membangun perkampungan kita ini. Bukan begitu Darba? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Darba tertawa kembali. Pasti aku harus membenarkan katamu. Sebab tak seorangpun yang akan menyangkal bahwa kaulah yang datang pertama kali di daerah ini. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar jawaban kawannya itu, kembali bibir-bibir tebal di bawah hidung Ki Paniling yang besar itu bergerak-gerak dan tersenyum lebar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang, singgahlah sebentar, Darba, ajak Paniling.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terimakasih. Masih banyak yang akan aku kerjakan pagi ini. Mengairi sawah dan memasak gula, jawab Darba. Aku juga masih nderes tiga pohon lagi. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagus, sahut Paniling. Kalau masak, gulamu nanti antarlah kami buat minum air jahe. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tentu, tentu... potong Darba, yang lalu melangkah pergi setelah mengangguk kepada Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar melihat keakraban pergaulan dalam hidup sederhana itu dengan perhatian yang luar biasa. Alangkah jauh bedanya dengan pergaulan orang-orang kota yang banyak dibumbui oleh sikap berpura-pura. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah petani yang bernama Darba itu hilang di kelokan jalan, segera Ki Paniling melangkah mendekati Mahesa Jenar sambil berkata gembira, Rupanya angger telah banyak mendapat kemajuan. Sukurlah kalau Angger telah dapat berjalan-jalan. Maafkanlah kalau aku terpaksa menyebut Angger sebagai kemenakanku. Hal itu hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu. Sebab di padepokan kecil ini segala sesuatu yang tak berarti dapat saja menjadi peristiwa yang besar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak apalah, Bapak, jawab Mahesa Jenar. Mana saja yang baik untuk Bapak, akan baik pula untukku. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagus, bagus... sahut Ki Paniling, Sekarang marilah kita pulang, Angger masih jangan terlalu banyak bergerak. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi segera ia melangkah mengikuti Ki Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebentar kemudian mereka telah sampai ke pondok Ki Paniling. Mahesa Jenar langsung dipersilakan berbaring untuk memulihkan kekuatannya, sedang Ki Paniling segera menyalakan api serta mengupas jagung. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali terasa angin yang semilir mengusap tubuh Mahesa Jenar. Dan karena kesegaran dan kepenatan yang bercampur-baur, akhirnya sekali lagi Mahesa Jenar jatuh tertidur. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mahesa Jenar terbangun ketika didengarnya hiruk-pikuk di halaman. Meskipun tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tetapi untuk menjaga diri segera ia bangkit, dan memperhatikan keadaan dengan saksama. Di luar, didengarnya beberapa suara orang laki-laki menyebut-nyebut namanya. Tetapi kemudian ia menjadi tersenyum sendiri, namun juga dihinggapi oleh perasaan gelisah. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >NAGASASRA dan SABUK INTEN </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karya SH Mintarja </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >180</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >ORANG-ORANG itu ternyata adalah sahabat-sahabat Ki Paniling yang telah mendengar kabar bahwa kemenakannya datang mengunjungi kampung mereka yang kecil dan terpencil ini. Karena itulah mereka memerlukan datang untuk mengucapkan selamat datang serta menyampaikan salam perkenalan. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ki Paniling sendiri agaknya menjadi kerepotan untuk memberi penjelasan kepada sahabat-sahabatnya, tentang kemenakannya. Tetapi rupanya ia cerdik juga. Supaya tidak ada salah keterangan dengan Mahesa Jenar, sengaja ia berbicara keras-keras dengan harapan bahwa dongengannya itu didengar pula oleh Mahesa Jenar. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Adik-adik sekalian, kemenakanku ini datang dari daerah yang jauh sekali. Ia pada saat-saat yang lampau telah pergi merantau hampir ke seluruh sudut bumi. Yang terakhir ia mengabdikan dirinya di pusat kerajaan. Yaitu pada Sultan Demak. Di sana ia menjadi seorang prajurit yang gemblengan, kata Ki Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian terdengar suara orang-orang itu bergumam. Agaknya mereka menyatakan perasaan kagum terhadap salah seorang prajurit kerajaan yang sudi berkunjung ke kampung kecil itu. Malahan seorang diantaranya berkata, Anehlah kau Bapak Paniling. Kenapa kau mempunyai kemenakan yang menjabat sebagai prajurit Demak, tetapi kau hidup miskin bersama-sama dengan kami di sini? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendengar pertanyaan itu, terdengar Ki Paniling tertawa. Yang menjadi prajurit bukanlah aku, tetapi kemenakanku. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau begitu banyaklah yang sudah dilihatnya, kata yang lain, Dapatkah kiranya kita mendengar ceriteranya? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tentu, tentu..., apabila ia sudah bangun, jawab Ki Paniling. Tetapi jangan tanyakan tentang kedudukannya sebagai prajurit, sebab ia telah mengundurkan diri. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengundurkan diri? tanya mereka hampir berbareng. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ya, jawab Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kenapa? tanya mereka kembali. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paniling diam sejenak. Baru kemudian ia dapat menjawab, Sampai hal yang sekecil-kecilnya kalian ingin tahu? </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Itu bukan kecil soalnya, jawab salah seorang, Tetapi adalah masalah yang besar. Seorang prajurit bagi kami adalah seorang yang luar biasa. Kalau sampai ia mengundurkan diri, pasti ada hal-hal yang luar biasa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali terdengar Paniling tertawa. Otakmu mengkilap seperti batu akik. Bagus, kau takut kalau kemenakanku itu menjadi buruan, atau dipecat karena kejahatan? Bagus, dengarlah, ia mengundurkan diri karena perbedaan pokok mengenai kepercayaan. Ia tidak mau menentang kawan-kawan seperjuangannya dalam satu pertentangan jasmaniah. Karena itu lebih baik ia mengundurkan diri, meskipun dengan demikian bukan berarti masa kebaktiannya terhenti pula. Ia tetap berjuang untuk kesejahteraan kawula Demak, kata Paniling. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian terdengarlah orang-orang di luar rumah itu bergumam puas. Tetapi tidak demikianlah perasaan Mahesa Jenar yang justru menjadi bergolak hebat. Keterangan Ki Paniling itu bagi Mahesa Jenar bukanlah sekadar kebetulan semata-mata. Tetapi adalah suatu ceritera yang tepat seperti apa yang dialaminya. Karena itu dadanya jadi bergoncang. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bersamaan dengan itu muncullah sebuah kepala di ambang pintu. Sedemikian tiba-tiba sehingga Mahesa Jenar menjadi terkejut. Hampir saja ia meloncat menangkapnya, tetapi untunglah dalam sekejap kepala itu telah lenyap kembali disusul dengan suara seseorang, Kakang Paniling, kemenakanmu telah bangun. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >He.... jawab Paniling, Bagus, kalau begitu kalian dapat menemuinya, tetapi jangan lupa kepada pesan-pesanku.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sesaat kemudian beberapa orang telah melangkah masuk. Salah satu diantaranya segera membentangkan sebuah tikar pandan yang kasar, dan di atas tikar itulah segera mereka duduk. Mau tidak mau Mahesa Jenar harus duduk pula di atas tikar pandan itu. Meskipun demikian ia tidak dapat meninggalkan kewaspadaan, meskipun hanya sekejap. Ia tidak tahu jenis sarang apa pula yang sekarang sedang dimasukinya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka mulailah sahabat-sahabat Paniling saling berebutan memperkenalkan diri mereka serta bertanya-tanya. Bertanya tentang hal-hal yang kadang-kadang menggelikan bagi Mahesa Jenar. Dengan memperhatikan pertanyaan-pertanyaan itu, sebenarnya Mahesa Jenar dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka benar-benar petani-petani miskin yang sebagian besar masih sangat rendah pengetahuannya. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Memang ada satu dua diantaranya yang pernah pula merantau, tetapi pengalaman yang didapatnya pun sama sekali tak berarti. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau demikian, akhirnya Mahesa Jenar mengambil kesimpulan, bahwa yang sebenarnya kurang wajar adalah Ki Paniling sendiri. Memang sejak semula ia telah bertanya-tanya dalam hati tentang orang ini. Bagaimana ia dapat sampai ke pondoknya, dan bagaimana ia sengaja menyebut-nyebut Pasingsingan, lagi pula ia dapat menebak dengan tepat tentang dirinya, bahkan tentang kedudukannya sebagai bekas prajurit pun diketahuinya. Karena itu ia menjadi gelisah. Untunglah bahwa pertemuan itu tidak berlangsung terlalu lama. </span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >BERSAMBUNG...</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >
<br /></span></div><div style="text-align: justify;">
<br /></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-7638968503027221672011-07-13T02:31:00.000-07:002011-07-13T02:40:29.990-07:00KECANTIKAN YANG MENYENTUH SANUBARI<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7zPMQ9XX_YSV9DJVubBMbWsHsGDxxsldCtVArEOIwnaYqGd6VLhr71JyfMDsKunFfEe97mlITDH_ZYfuaXcs37SAM37DoESnPITiPY0FMkgMN72RMCsjLNAbJ6utQPWvq1adEwXXC9g/s1600/Perkampungan+Hantu.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 143px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7zPMQ9XX_YSV9DJVubBMbWsHsGDxxsldCtVArEOIwnaYqGd6VLhr71JyfMDsKunFfEe97mlITDH_ZYfuaXcs37SAM37DoESnPITiPY0FMkgMN72RMCsjLNAbJ6utQPWvq1adEwXXC9g/s320/Perkampungan+Hantu.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5628768763221490258" /></a><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; line-height: 15px; "><div><b><span class="Apple-style-span" >Serial Pisau Terbang Li (Xiao Li Fei Dao)</span></b></div><div><b><span class="Apple-style-span" >By Gu Long</span></b></div><div style="font-size: 14px; "><span class="Apple-style-span"><b><br /></b></span></div></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 15px; "><b><div style="display: inline !important; "><div style="display: inline !important; "><span class="Apple-style-span" >Sun Kui menjawab, “Kau tahu apa? Jika aku berhasil membunuh Si Bandit Bunga Plum, tidak saja</span></div></div></b></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; line-height: 15px; "><div style="font-size: 14px; "><span class="Apple-style-span"><b><div><div><span class="Apple-style-span" >akan kudapatkan ketenaran, tapi juga banyak keuntungan yang lain.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Apa?”</span></div></div></b></span></div></span><span class="Apple-style-span" ><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 15px; "><div style="display: inline !important; "><div style="display: inline !important; "><b>Jawab Sun Kui, “Setelah</b> </div></div></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 15px; "><b><div style="display: inline !important; ">Si Bandit Bunga Plum menghilang tiga puluh tahun yang lalu, orang</div></b></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 15px; "><div><span class="Apple-style-span"><b><div>menyangka dia pergi untuk selama-lamanya. Siapa sangka ia akan kembali lagi? Dalam waktu 8</div><div>bulan, ia telah membuat lebih dari 80 kasus, bahkan memperkosa anak</div></b></span></div></span></span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 15px; "><b><div style="display: inline !important; ">perempuan ketua partai</div></b></span><span class="Apple-style-span" ><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 15px; "><div><span class="Apple-style-span"><b><div>Hua San.”</div><div>Li Xun Huan berkata, “Orang ini kan sudah berumur 70 tahunan sekarang. Mana mungkin ia</div><div>masih tertarik pada gadis-gadis?”</div><div>Sun Kui hanya melanjutkan, “Setelah ia muncul kembali, setiap orang yang mempunyai benda</div><div>berharga, atau anak gadis yang cantik, menjadi gelisah. Maka lebih dari 90 keluarga telah</div><div>mengumumkan bahwa siapa yang dapat membunuh Si Bandit Bunga Plum akan mendapatkan</div><div>sebagian kekayaan mereka. Bisa kau bayangkan betapa banyak uang yang terlibat di sini.”</div><div>Tanya Li Xun Huan lagi, “Jadi ini bukan rahasia lagi.”</div><div><br /></div><div>Sun Kui mengangguk. “Dan satu lagi. Wanita tercantik di dunia persilatan sudah berjanji akan</div><div>menikahi siapa pun yang dapat membunuh Si Bandit Bunga Plum.”</div><div>Li Xun Huan mengeluh. “Uang dan wanita memang bisa menggerakkan hati manusia. Tak heran</div><div>kau rela mengorbankan nyawamu demi urusan macam ini. Bahkan membunuh istrimu sendiri.</div><div>Sepertinya, sudah giliranku untuk mati sekarang.”</div><div>Kata Sun Kui, “Sebenarnya di hati kecilku, aku tidak ingin kau mati. Tapi aku harus</div><div>membunuhmu.”</div><div>Tiba-tiba Li Xun Huan tertawa keras, “Sebenarnya di hati kecilmu, benarkah kau yakin kau</div><div>sanggup membunuhku?”</div><div>Sun Kui sudah mulai bergerak, namun segera berhenti waktu mendengar ucapan ini. Ditatapnya</div><div>Li Xun Huan, lalu bibirnya mengembangkan senyum, katanya, “Orang seperti engkau bisa hidup</div><div>sampai hari ini. Sepertinya kau adalah orang yang sukar mati. Namun sekarang….”</div><div>Tiba-tiba terdengar suara dari luar.</div><div>Seseorang tertawa nyaring. “Sebenarnya di hati kecilmu, apakah betul ia tampak keracunan?”</div><div>Sun Kui terperanjat. Ia tidak tahu kapan orang berpakaian hijau ini muncul di pintu depan.</div><div>Wajahnya tampak pucat dan kaku. Mungkin ia memakai topeng, mungkin juga tidak.</div><div>Ia menyembunyikan tangannya di balik punggung, dan berjalan masuk sambil berkata, “Jika</div><div>seseorang menaruh racun dalam anggur seorang peminum, bukankah orang itu sangat tolol?</div><div>Betul tidak?”</div><div>Kalimat terakhir ditujukannya pada Li Xun Huan. Li Xun Huan melihat mata orang ini sangat</div><div>memikat, jauh berbeda dari wajahnya.</div><div>Bagaikan sepasang mutiara di muka seekor babi mati.</div><div>Li Xun Huan menatap sepasang mata itu, lalu tersenyum. “Menipu saat berjudi dengan penjudi.</div><div>Meracuni arak seorang peminum. Memuji kecantikan wanita lain di depan istrimu. Siapa pun</div><div>yang melakukan ini akan hidup dengan penyesalan.”</div><div>Laki-laki berpakaian hijau ini pun berkata dingin, “Waktu orang-orang ini menyesali keputusan</div><div>mereka, itu sudah terlambat.”</div><div>Sun Kui memandang mereka berdua, lalu segera memeriksa botol anggur tadi.</div><div>Li Xun Huan tersenyum, “Jangan kuatir. Racunnya ada di situ.”</div><div>“Jadi kau…..”</div><div>Kata Li Xun Huan, “Mungkin orang lain tak akan tahu bahwa di dalam arak itu ada racunnya. Tapi</div><div>seorang peminum macam aku, dapat mencium perbedaan aromanya.”</div><div>“Tapi aku lihat kau meminumnya!”</div><div>Jawab Li Xun Huan, “Aku memang meminumnya. Tapi kumuntahkan lagi saat aku batuk-batuk.”</div><div><br /></div><div>Tubuh Sun Kui menggigil, botol anggur di tangannya jatuh ke lantai.</div><div>Laki-laki berbaju hijau pun berkata, “Sepertinya ia sudah menyesali perbuatannya, tapi sayang</div><div>sudah terlambat.”</div><div>Sun Kui meraung dan segera menyerang laki-laki itu. Tiga kali dengan kepalannya yang kuat.</div><div>Dalam waktu dua puluh tahun, ilmu silatnya tidak menurun, bahkan bertambah baik. Kepalannya</div><div>sungguh bertenaga dan sangat cepat.</div><div>Bisa dibayangkan, pukulan ini dapat meremukkan kepala orang.</div><div>Kelihatannya laki-laki berbaju hijau ini tak punya waktu untuk mempertahankan diri, bahkan</div><div>untuk menghindari pukulan itu.</div><div>Siapa sangka, ia tidak menangkis dan tidak menghindar. Ia hanya mengibaskan tangannya.</div><div>Ia memang bergerak sesudah Sun Kui, tapi kepalan Sun Kui tidak berhasil menyentuh bajunya,</div><div>malah telapak tangannyalah yang menghantam wajah Sun Kui.</div><div>Tampaknya tangan itu digerakkan dengan ringan, namun Sun Kui langsung menjerit-jerit</div><div>kesakitan, sambil berguling-guling di lantai.</div><div>Waktu ia bangkit berdiri, wajahnya sudah tidak keruan. Sebagian ungu bercampur merah,</div><div>sebagian ungu setengah transparan. Satu mata telah tersodok ke samping.</div><div>Laki-laki itu berkata lagi, “Sebenarnya di hati kecilku, aku tidak ingin kau mati. Aku tidak</div><div>bermaksud membunuhmu, tapi tanganku….”</div><div>Separuh wajah Sun Kui yang tidak terkena pukulan terlihat sangat biasa. Namun setengah lagi</div><div>kelihatan seperti daging busuk. Sangat menjijikkan.</div><div>Mata yang masih dapat melihat penuh rasa kaget melihat tangan orang yang hijau. “Tanganmu…</div><div>tanganmu…”</div><div>Tangan laki-laki berbaju hijau itu terbungkus sepasang sarung tangan besi berwarna hijau.</div><div>Sangat jelek kelihatannya.</div><div>Wajah Sun Kui menggambarkan putus sudah harapannya. Dengan suaranya lirih ia berkata,</div><div>“Mengapa ini terjadi padaku? Mengapa aku harus bertemu Tangan Setan Hijau. Li… Li Tan Hua.</div><div>Kau adalah orang baik. Kumohon kau bunuh aku sekarang.”</div><div>Li Xun Huan tetap duduk tak bergeming, memandangi laki-laki itu dan tangan hijaunya. Lalu</div><div>ditendangnya tombak patah yang tergeletak di lantai ke arah Sun Kui.</div><div>Sun Kui memungut tombak itu, katanya, “Terima kasih. Terima kasih. Aku takkan melupakan</div><div>belas kasihanmu, bahkan dalam kematian.”</div><div>Lalu digunakannya sisa kekuatannya yang terakhir untuk menusukkan tombak itu ke lehernya.</div><div>Darah hitam mengalir ke luar seiring dengan kematiannya.</div><div>Li Xun Huan menengadah ke atas. “Ada 7 racun utama dalam dunia persilatan. Yang paling</div><div>mematikan adalah Tangan Setan Hijau. Sepertinya itu bukan bualan.”</div><div><br /></div><div>Laki-laki berbaju hijau ini pun memandangi tangannya sambil berkata, “Semua orang juga bilang</div><div>bahwa siapa pun yang kena pukulan tangan ini lebih memilih mati daripada merasakan sakitnya.</div><div>Sepertinya mereka tidak melebih-lebihkan.”</div><div>Mata Li Xun Huan bergerak memandang ke wajahnya. “Namun kau bukan Si Setan Hijau, Yi Ku.”</div><div>Laki-laki itu menjawab, “Bagaimana kau tahu? Kenalkah kau padanya?”</div><div>“Ya.”</div><div>Laki-laki ini hampir tertawa. “Aku tidak bermaksud berpura-pura jadi dia. Aku hanyalah….”</div><div>Potong Li Xun Huan, “Yi Ku tidak punya murid.”</div><div>Laki-laki berbaju hijau pun menjawab, “Siapa bilang aku muridnya? Ia bahkan tidak cukup</div><div>berharga menjadi muridKU.”</div><div>“O ya?”</div><div>“Kau pikir aku bercanda?”</div><div>Sahut Li Xun Huan, “Aku tidak tertarik pada asal-usulmu.”</div><div>Mata laki-lakinya tiba-tiba membara, menatap Li Xun Huan. “Lalu apa yang ingin kau ketahui?</div><div>Rompi Benang Emas?”</div><div>Li Xun Huan diam saja. Ia hanya memutar-mutar pisau kecil di tangannya.</div><div>Pandangan laki-laki berbaju hijau itu juga terarah pada pisau. Katanya, “Orang bilang sekali</div><div>sambit pisaumu tak pernah luput. Apakah mereka mengada-ada?”</div><div>Jawab Li Xun Huan, “Dulu banyak orang yang tidak percaya.”</div><div>“Sekarang?”</div><div>Di wajah Li Xun Huan tersirat secercah kebanggaan, dan katanya, “Sekarang mereka sudah</div><div>mati.”</div><div>Laki-laki berbaju hijau itu berpikir sejenak lalu tertawa terbahak-bahak.</div><div>Tawanya sangat aneh, seperti dipaksakan. Walaupun ia tertawa keras, ekspresi wajahnya tidak</div><div>berubah. “Sesungguhnya, aku ingin sekali mecobanya.”</div><div>Kata Li Xun Huan, “Lebih baik jangan.”</div><div>Laki-laki itu berhenti tertawa. Katanya, “Rompi itu dipakai orang mati ini kan?”</div><div>“Ya.”</div><div>Laki-laki itu bertanya lagi, “Kalau aku memindahkan orang mati ini, maka….”</div><div>Li Xun Huan memotong cepat. “Maka kau pun akan jadi orang mati!”</div><div><br /></div><div>Laki-laki itu tertawa lagi. “Aku tidak takut padamu. Tapi aku tidak terbiasa berjudi. Aku pun tidak</div><div>suka menyerempet bahaya.”</div><div>Jawab Li Xun Huan, “Kebiasaan yang sangat baik.”</div><div>Laki-laki itu pun berkata lagi, “Tapi aku punya cara untuk membuatmu menyerahkan rompi itu</div><div>padaku.”</div><div>“Oh?”</div><div>Kata laki-laki itu lagi, “Kau seharusnya tahu bahwa Tangan Setan Hijau ini dibuat dari logam</div><div>langka, dicampur dengan ratusan jenis racun. Diperlukan 7 tahun untuk membuatnya. Bisa</div><div>dikatakan ini adalah senjata terampuh dalam dunia persilatan.”</div><div>Sahut Li Xun Huan, “Dalam daftar senjata Bai Xiao Sheng, Tangan Setan Hijau ada di urutan ke-</div><div>9. Aku yakin itu barang yang sangat berharga.”</div><div>Kata laki-laki berpakaian hijau itu lagi, “Jadi jika kuserahkan sarung tangan ini padamu, kau</div><div>berikan rompi itu padaku?”</div><div>Li Xun Huan berpikir sedetik. Lalu jawabnya, “Pisauku dibuat oleh pandai besi biasa dalam waktu</div><div>6 jam. Namun menurut daftar senjata Bai Xiao Sheng, pisauku menempati urutan ke-3!”</div><div>Laki-laki itu mengeluh. “Maksudmu senjata tidaklah penting. Yang penting adalah manusia</div><div>pemegang senjata. Begitu kan?”</div><div>Sahut Li Xun Huan, “Kau sangat tanggap.”</div><div>Kata laki-laki itu lagi, “Jadi kau tidak mau barter?”</div><div>Jawab Li Xun Huan, “Kalau aku mau, barang itu sudah ada di tanganmu sekarang.”</div><div>Laki-laki berbaju hijau itu berpikir lagi, lalu mengeluarkan sebuah kotak. Dibukanya kotak itu, dan</div><div>dikeluarkannya sebilah pedang pendek yang berkilauan.</div><div>Lalu ia berkata, “Pedang mustika pantas untuk pahlawan. ‘Pedang Usus Ikan’ ini tak ada</div><div>tandingannya di dunia. Ini cukup berharga untukmu, bukan?”</div><div>Li Xun Huan mengernyitkan kening dan bertanya, “Apakah kau ini murid Tetua Naga Rahasia dari</div><div>Istana Pedang Rahasia?</div><div>“Bukan.”</div><div>“Lalu dari mana pedang ini kau dapatkan?”</div><div>Laki-laki itu menjawab, “Tua bangka itu sudah mati. Anaknya, You Long Sheng menghadiahkan</div><div>pedang ini padaku.”</div><div>Kata Li Xun Huan, “Pedang ini sungguh berharga. Istana Pedang Rahasia jadi terkenal karena</div><div>pedang ini. Waktu pedang ini dicuri beberapa tahun silam, mereka mengerahkan segala daya</div><div>upaya untuk mendapatkannya kembali. Mana mungkin You Long Sheng memberikan pedang ini</div><div>dengan cuma-cuma?”</div><div><br /></div><div>Kata laki-laki itu, “Bukan saja pedang itu. Kalau kuminta kepalanya pun, dia akan</div><div>mempersembahkannya padaku di atas nampan perak. Kau tidak percaya?”</div><div>Li Xun Huan berpikir sejenak, lalu menjawab, “Nilai pedang ini jauh di atas rompi itu. Kenapa kau</div><div>ingin barter?”</div><div>Jawab laki-laki itu, “Aku punya tabiat yang aneh. Semakin sulit kudapatkan, semakin ingin aku</div><div>mendapatkannya.”</div><div>Balas Li Xun Huan, “Aku pun punya tabiat yang sama.”</div><div>Laki-laki itu bertanya penuh harap, “Jadi kau mau barter?”</div><div>“Tidak.”</div><div>Laki-laki itu bertanya, “Mengapa kau begitu menginginkan rompi itu?”</div><div>Jawab Li Xun Huan, “Bukan urusanmu.”</div><div>Lalu laki-laki berbaju hijau itu terkekeh, “Yang kudengar, Li Tan Hua tidak peduli akan ketenaran</div><div>dan harta benda. Sepuluh tahun yang lalu dilepaskannya ketenarannya, harta bendanya, dan</div><div>mengasingkan diri. Aku tidak menyangka orang semacam ini tertarik pada sepotong rompi.”</div><div>Jawab Li Xun Huan, “Alasanku mungkin sama dengan alasanmu.”</div><div>Laki-laki itu menatapnya, “Maksudmu kau menginginkan wanita tercantik di dunia itu?”</div><div>Li Xun Huan tersenyum, “Mungkin.”</div><div>Laki-laki itu pun tersenyum, “Sudah lama kudengar, kau tak bisa melewatkan wanita cantik dan</div><div>arak lezat.”</div><div>Sahut Li Xun Huan, “Sayangnya kau bukan wanita cantik.”</div><div>Laki-laki berbaju hijau itu tertawa. “Bagaimana kau tahu?”</div><div>Tawanya tiba-tiba berubah. Berubah menjadi tawa yang mengundang.</div><div>Selagi tertawa, dilepasnya sarung tangannya, memperlihatkan tangannya.</div><div>Li Xun Huan belum pernah melihat tangan yang secantik itu.</div><div>Ia telah mengenal banyak wanita cantik dalam hidupnya. Bahkan sebelum memegang pisau dan</div><div>cawan anggur, telah dipegangnya begitu banyak tangan wanita cantik.</div><div>Akan tetapi, setiap tangan memiliki kekurangannya masing-masing. Bahkan wanita yang</div><div>diimpikannya, wanita yang lekat di hatinya, punya kekurangan pada tangannya.</div><div>Namun tangan yang dipertunjukkan di hadapannya ini sungguh sempurna.</div><div>Orang itu bertanya, “Menurutmu apakah tanganku lebih indah daripada Tangan Setan Hijau?”</div><div>Suaranya menjadi sungguh memikat.</div><div><br /></div><div>Li Xun Huan mengeluh, katanya, “Jika kau menggunakan tangan ini untuk membunuh orang,</div><div>mereka akan merasa bahagia mati di tanganmu. Mengapa harus kau gunakan Tangan Setan</div><div>Hijau?”</div><div>Orang itu tersenyum lembut, “Apakah tawaranku jadi lebih menarik sekarang?”</div><div>Jawab Li Xun Huan, “Masih belum cukup.”</div><div>Orang ini terkikik, katanya, “Laki-laki selalu saja rakus, terutama mereka yang gagah. Semakin</div><div>gagah, semakin rakus jadinya.”</div><div>Tubuhnya meliuk sedikit dan tanggallah baju luarnya.</div><div>Li Xun Huan menuangkan arak yang tidak beracun, lalu berkata, “Perlu anggur untuk menemani</div><div>pertunjukan yang menarik.”</div><div>Orang ini bertanya lagi, “Belum cukupkah?”</div><div>Jawab Li Xun Huan, “Laki-laki memang rakus.”</div><div>Tubuhnya memang sangat menggiurkan, bahkan dapat membuat laki-laki merasa tak pantas</div><div>mendapatkannya.</div><div>Ia tersenyum manis dan membuka sepatunya.</div><div>Kakinya pun luar biasa indah, membuat jantung berdebar-debar. Kalau dikatakan banyak laki-laki</div><div>rela mati diinjak kaki ini, rasanya tidak berlebihan.</div><div>Lalu ditunjukkannya kakinya yang panjang.</div><div>Li Xun Huan hampir berhenti bernafas.</div><div>Tanyanya lagi, “Sudah cukupkah?”</div><div>Sambil meneguk anggurnya ia menjawab, “Kalau aku bilang cukup, aku adalah orang paling</div><div>tolol.”</div><div>Lalu ditanggalkan seluruh pakaiannya.</div><div>Tak terkatakan kemolekan tubuhnya. Dan ia bersedia memperlihatkan segalanya untuk Li Xun</div><div>Huan.</div><div>Yang tertinggal hanya topengnya.</div><div>Ditatapnya Li Xun Huan sambil berkata, “Nah, sekarang sudah cukup, bukan?”</div><div>Jawab Li Xun Huan lagi, “Belum. Sedikit lagi.”</div><div>Katanya, “Kau harus tahu waktunya merasa puas.”</div><div>Sahut Li Xun Huan, “Mereka yang cepat puas, biasanya kehilangan banyak kesempatan.”</div><div><br /></div><div>Ia bertanya, “Mengapa harus kau lihat wajahku? Mengapa tak kau biarkan imajinasimu bekerja</div><div>sedikit? Mungkin itu akan membuat jadi lebih menarik.”</div><div>Li Xun Huan menjawab, “Karena aku tahu banyak wanita yang bertubuh indah, berwajah buruk.”</div><div>“Kau pikir wajahku buruk?”</div><div>“Mungkin.”</div><div>Wanita itu menghela nafas, “Tampaknya kau memang tak mau kalah. Tapi aku tetap</div><div>berpendapat sebaiknya kau tidak melihat wajahku.”</div><div>“Mengapa?”</div><div>Sahutnya, “Setelah kudapatkan Rompi Benang Emas itu, aku akan segera pergi. Kita tidak akan</div><div>pernah bertemu lagi. Telah kuberikan padamu kepuasan yang terbesar dalam hidupmu, jadi</div><div>barter kita adil. Lebih baik kita tidak usah bertemu lagi.”</div><div>“Sangat logis kedengarannya.”</div><div>“Namun jika kau melihat wajahku, kau takkan mungkin melupakan aku. Dan mungkin aku tidak</div><div>bisa bersikap manis lagi padamu. Lalu kau hanya bisa memimpikan aku. Hanya membuatmu</div><div>putus asa.”</div><div>Li Xun Huan tersenyum, “Kau sangat percaya diri.”</div><div>Sahutnya, “Mengapa tidak?”</div><div>Jawab Li Xun Huan, “Mungkin aku tidak ingin barter.”</div><div>“Apa?”</div><div>Akhirnya wanita itu melepaskan topengnya.</div><div>Wajahnya sempurna. Ditambah dengan kemolekan tubuhnya, siapakah laki-laki di dunia yang</div><div>dapat menampiknya.</div><div>Li Xun Huan menghela nafas, “Tak heran Yi Ku memberikan Tangan Setan Hijaunya, dan You</div><div>Long Shen menghadiahkan mustika keluarganya padamu. Sekarang aku percaya.”</div><div>Dewi cantik ini hanya tersenyum.</div><div>Ia tidak perlu berkata-kata.</div><div>Karena matanya bisa bicara, senyumnya bisa bicara, tangannya, dadanya, kakinya, semua bisa</div><div>bicara.</div><div>Ia tahu ini sudah cukup. Kalau seorang laki-laki tidak mengerti perasaannya, ia seorang yang luar</div><div>biasa bodoh.</div><div>Sang dewi hanya menunggu.</div><div><br /></div><div>Namun Li Xun Huan tetap duduk. Ia malah menuang secawan lagi anggur, dan berkata, “Terima</div><div>kasih. Mataku sudah begitu lama tidak dipuaskan begitu rupa.”</div><div>Ia menggigit bibirnya. “Tak kusangka laki-laki seperti engkau masih perlu arak untuk menambah</div><div>keberanian.”</div><div>Sahut Li Xun Huan, “Karena wanita cantik sulit merasa puas.”</div><div>Lalu wanita itu tiba-tiba menghambur ke dalam dekapan Li Xun Huan.</div><div>Cawan anggur pecah pun berkeping-keping.</div><div>Satu tangannya mulai membelai punggung wanita itu. Tangan yang satu masih memegang</div><div>pisau, pisau yang kecil dan tajam.</div><div>Kata wanita itu dengan lembut, “Ketika seorang laki-laki ada dalam situasi seperti ini, tak</div><div>sepantasnya ia memegang pisau.”</div><div>Li Xun Huan pun berbisik dengan lembut, “Ketika seorang laki-laki memegang pisau, tak</div><div>seharusnya kau berada dalam pelukannya.”</div><div>Wanita muda itu tertawa, “Maksudmu, kau tega membunuhku?”</div><div>Li Xun Huan juga tertawa, “Seorang wanita muda tidak seharusnya sombong, dan tidak</div><div>seharusnya menanggalkan pakaiannya untuk merayu laki-laki. Ia seharusnya mengenakan</div><div>pakaiannya baik-baik dan menunggu laki-laki itu merayunya. Kalau tidak, bagaimana laki-laki itu</div><div>bisa merasa puas?”</div><div>Sekarang tangannya mengangkat pisau itu. Ujungnya menyentuh leher wanita itu. Setetes darah</div><div>keluar, mengalir ke dadanya yang putih bersih, bagai bunga plum di tengah padang salju.</div><div>Kini wanita itu sangat terkejut. Tubuhnya pun mengejang.</div><div>Li Xun Huan tertawa, “Apakah kau masih percaya diri sekarang? Masihkah kau sangka aku tak</div><div>tega membunuhmu?”</div><div>Ujung pisau itu masih menyentuh kulit lehernya.</div><div>Bibirnya gemetar, tak sanggup bicara.</div><div>Li Xun Huan menghela nafas lagi, dan berkata, “Kuharap kini kau menyadari dua hal. Satu, lakilaki</div><div>tidak suka jadi pihak yang pasif. Dua, kau tidak secantik yang kau kira.”</div><div>Wanita muda itu menggigit bibirnya erat-erat. Katanya, “Aku mengaku kalah. Kumohon</div><div>simpanlah pisaumu sekarang.”</div><div>Li Xun Huan berkata lagi, “Aku ada satu pertanyaan lagi.”</div><div>“Katakanlah.”</div><div>Kata Li Xun Huan, “Banyak laki-laki akan memberikan apa pun yang kau minta. Oleh sebab itu</div><div>kau pasti tidak tertarik akan harta benda. Mengapa kau begitu menginginkan rompi itu?”</div><div><br /></div><div>Sahutnya, “Sudah kukatakan tadi. Semakin sulit didapat, semakin aku menginginkannya.”</div><div>Li Xun Huan berpikir sejenak, lalu berkata lagi, “Jika aku tidak mengangkat pisau ini dari</div><div>lehermu, kau pikir kau akan dapat menyingkir dari pisauku?”</div><div>Wanita muda itu segera pergi dari pelukannya, seperti seekor kucing yang terluka.</div><div>Setelah beberapa saat, ia tersenyum lagi, “Sudah kukatakan, kau tak akan tega membunuhku.”</div><div>“Benarkah? Kenapa?”</div><div>Pisau itu masih ada di tangannya, dan katanya lagi, “Jika kau masih ada di sini waktu kalimat ini</div><div>selesai, akan kubunuh kau, sehingga kau percaya.”</div><div>Wanita itu seketika berhenti bicara.</div><div>Dikumpulkannya pakaiannya dan melesat keluar.</div><div>Ia menjerit keras-keras dengan rasa benci yang mendalam, “Li Xun Huan, kau bukan laki-laki.</div><div>Kau bahkan bukan manusia! Kau sungguh tak berguna. Tak heran tunanganmu direbut oleh</div><div>sobat karibmu. Kini aku tahu apa sebabnya!”</div><div>Salju menutupi seluruh permukaan tanah. Di bawah cahaya bulan bersalju, pemandangan di luar</div><div>sangat indah. Namun dapur ini terasa bagaikan kuburan, membuat orang segera ingin pergi.</div><div>Tapi Li Xun Huan duduk di sana termenung sendirian.</div><div>Matanya penuh kesesakan dan kesedihan. Kata-kata wanita itu, bagaikan jarum yang menusuk</div><div>relung hatinya yang terdalam.</div><div>Tunanganku….. Sahabatku……</div><div><br /></div><div>BERSAMBUNG.....</div></b></span></div></span></span>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-54344780963678808292011-07-13T02:22:00.000-07:002011-07-13T02:30:21.943-07:00MUSTIKA YANG MENGGOYAHKAN HATI MANUSIA<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8ziqrJEOZX2ZJEv1i36p-gNHLhOk7HLu03tOYdE391__LSGjuhrfRCfnwfMm4QdVTdNoJIhj_6K_P9-sfgUp_l7t3ty_E0ssywP73eAf1FCh4Q_gaLj5X025WKk4BU78RTrcv09B9UA/s1600/Pisau-Terbang-Li.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 274px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8ziqrJEOZX2ZJEv1i36p-gNHLhOk7HLu03tOYdE391__LSGjuhrfRCfnwfMm4QdVTdNoJIhj_6K_P9-sfgUp_l7t3ty_E0ssywP73eAf1FCh4Q_gaLj5X025WKk4BU78RTrcv09B9UA/s320/Pisau-Terbang-Li.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5628766559583266498" /></a><div><div><span class="Apple-style-span" ><b>Serial Pisau Terbang Li (Xiao Li Fei Dao)</b></span></div><div><span class="Apple-style-span" ><b>By Gu Long</b></span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan memandang sekali lagi. Leher ‘Singa Emas’ telah ditusuk!</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Namun badannya masih berdiri tegak! Artinya, siapa pun pembunuhnya, ia memiliki keahlian</span></div><div><span class="Apple-style-span" >pedang yang tinggi. Ketepatannya! Kecepatannya!</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Setelah pedang si pembunuh menembus leher ‘Singa Emas’, ia segera menariknya kembali,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >tanpa sedikit pun tenaga tambahan.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >‘Singa Emas’ terlihat sedang siaga, bahkan sampai setelah pedang itu menembus lehernya, ia</span></div><div><span class="Apple-style-span" >tidak bergerak sama sekali. Tubuhnya terkesan santai.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Bukan main cepatnya pedang itu!</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan sungguh terkejut. Ia tahu, ‘Singa Emas’ sudah terkenal lebih dari 20 tahun, dan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >tidak pernah terlibat persoalan besar. Jasa ekspedisinya pun sangat terkenal. Ini menandakan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >bahwa ia patut dikagumi. Akan tetapi, tanpa bisa memberi perlawanan, seseorang berhasil</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menusukkan pedang ke lehernya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Menusukkan pedang pada boneka kayu, menariknya kembali, dan menjaga boneka kayu itu tetap</span></div><div><span class="Apple-style-span" >berdiri saja adalah sangat sulit.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan berputar dan masuk ke dalam warung. Hanya ada satu meja yang berisi mangkukmangkuk</span></div><div><span class="Apple-style-span" >makanan. Tapi makanan itu belum disentuh sama sekali. Demikian juga anggurnya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Keempat murid Si Anak 5 Racun juga telah menjadi mayat!</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kepala mereka mengarah ke luar, dan kaki ke arah dalam. Wajah mereka penuh keceriaan.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Mereka pun mati dengan tusukan sebilah pedang di tenggorokan!</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Lalu dilihatnya Yu Er di sudut ruangan. Tangannya memegang erat sebuah senjata rahasia.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Namun sebelum ia sempat menyambitkannya, ia pun mati dengan tusukan pedang di lehernya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tidak tahu apakah ia harus merasa kaget atau senang. Ia hanya bisa menggumam,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Pedang yang sangat, sangat cepat.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jika ini terjadi dua hari yang lalu, ia tidak akan tahu siapakah orang yang memilki keahlian</span></div><div><span class="Apple-style-span" >pedang semacam ini. Dulu memang ada ahli pedang dengan julukan Si Elang Salju. Ia dianggap</span></div><div><span class="Apple-style-span" >nomor satu di dunia persilatan. Memang ia memliki ketepatan dan kecepatan, tapi yang jelas ia</span></div><div><span class="Apple-style-span" >tidak telengas seperti ini. Di samping itu, ia sudah lama mengundurkan diri dan tidak mungkin</span></div><div><span class="Apple-style-span" >datang ke tempat ini hari ini.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jago-jago silat masa lalu, seperti Shen Lang, Neng Xiong Er, Wang Ling Hua, mereka semua</span></div><div><span class="Apple-style-span" >dikabarkan sudah mati atau telah mengundurkan diri. Dan lagi, tak ada di antara mereka yang</span></div><div><span class="Apple-style-span" >jago pedang!</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Selain orang-orang ini, Li Xun Huan tidak tahu siapa lagi yang memiliki keahlian semacam ini,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >sampai hari ini. Hari ini ia tahu.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang itu tak lain adalah anak muda yang misterius dan penyendiri, Ah Fei!</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan memejamkan matanya, membayangkan bagaimana Ah Fei masuk ke ruangan ini.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Keempat ‘anak’ itu pasti mengerubunginya. Namun sebelum mereka bisa bergerak, pedang Ah</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Fei – cepat bagai kilat dan mematikan bagai ular – telah menembus leher mereka.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Yu Er masih berdiri di samping, menunggu saat yang tepat untuk menyambitkan senjata</span></div><div><span class="Apple-style-span" >rahasianya. Ia memang terkenal ahli meringankan tubuh dan senjata rahasia.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menghela nafas. “Mainan. Seseorang berkata pedangnya adalah mainan.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba matanya tertuju ke dinding. Ia melihat ada huruf-huruf terukir di sana.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Kau membunuh Zhu Ge Lei untukku. Aku membunuh mereka untukmu. Aku tidak lagi berhutang</span></div><div><span class="Apple-style-span" >padamu. Aku tahu tidak baik untuk berhutang!”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Aku hanya membunuh satu orang untukmu. Namun kau bunuh enam untukku. Kau tahu</span></div><div><span class="Apple-style-span" >seseorang tak boleh berhutang. Lalu mengapa kau buat aku berhutang padamu?” gumam Li Xun</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Huan. Lalu ia terus membaca.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Walaupun kubunuh lebih banyak orang untukmu, situasinya berbeda. Satu orang yang kau</span></div><div><span class="Apple-style-span" >bunuh, sama dengan enam yang kubunuh. Jadi kau tidak berhutang padaku.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Mau tidak mau, Li Xun Huan tergelak. “Caramu menghitung memang tidak pandai. Jangan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >sampai kau punya usaha dagang di kemudian hari.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Di dinding juga ada tanda panah menunjuk ke ruang dalam. Li Xun Huan bergerak ke arah anak</span></div><div><span class="Apple-style-span" >panah itu. Waktu ia masuk ke dalam ruangan itu, tiba-tiba sebilah pedang menyambutnya!</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sebilah pedang yang mengkilat, dengan ujung pedang mengarah ke dadanya!</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang yang memegang pedang adalah seorang tua. Jenggotnya tidak panjang, namun kerutmerut</span></div><div><span class="Apple-style-span" >terlukis di seluruh wajahnya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia menudingkan pedangnya dan berseru, “Siapa kau?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia ingin membentak lebih keras, namun tidak bisa karena ia gemetaran.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan segera mengenalinya. Ia tersenyum. “Tak ingatkah kau padaku?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang tua itu menggelengkan kepalanya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan, “Tapi aku ingat engkau. Kau pemilik warung ini kan? Sepuluh tahun yang lalu</span></div><div><span class="Apple-style-span" >aku datang beberapa kali untuk minum anggur.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Mata orang tua itu tidak lagi menyelidik, tapi pedangnya masih menuding ke dada Li Xun Huan.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Siapa namamu?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Margaku Li.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang tua itu lalu menghembuskan nafas lega. Pedangnya jatuh berdentang ke lantai. “Jadi kau</span></div><div><span class="Apple-style-span" >adalah Li… Li Tan Hua. Aku sedang menunggumu.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Menungguku?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sahut orang tua itu, “Seorang anak muda yang gagah datang ke sini dan membunuhi orangorang</span></div><div><span class="Apple-style-span" >jahat. Ia membiarkan aku hidup. Ia mengatakan kau akan berkunjung. Ia ingin aku</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menyerahkan seseorang kepadamu. Kalau tidak, ia akan membunuhku.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Di mana orang itu?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Di dapur.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Dapur itu cukup luas. Dan sangat bersih. Ada seseorang di sana, terikat pada sebuah kursi.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang itu kecil kurus, dan tampak bulu-bulu keluar dari telinganya.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan sudah tahu bahwa Ah Fei pasti membiarkan orang itu hidup untuk diinterogasi.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Namun orang ini sungguh terkejut melihat Li Xun Huan. Mukanya langsung memucat, tapi tak</span></div><div><span class="Apple-style-span" >bisa bicara. Memang Ah Fei telah mengikatnya kuat-kuat dan menyumpal mulutnya dengan kain.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia takut orang ini berusaha menakut-nakuti atau berusaha menyuap si orang tua. Saat itu Li Xun</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Huan baru menyadari bahwa Ah Fei sangat teliti.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Namun mengapa tak ditotoknya saja orang itu?</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Pisau Li Xun Huan berkilat, dan sekejap saja kain yang menyumpal mulut orang itu telah lepas.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang itu hampir pingsan.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia ingin memohon belas kasihan, namun mulutnya sangat kering, ia tidak bisa bicara.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan pun tidak memaksanya. Ia duduk, dan meminta orang tua itu membawakan araknya</span></div><div><span class="Apple-style-span" >yang terbaik.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Namamu?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Wajah orang itu kini tampak kuning. Ia berusaha membasahi bibirnya dengan lidahnya, dan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menjawab dengan tergagap, “Namaku Hong Han Min.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan, “Aku tahu kau bisa minum. Ini minumlah secawan.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia memutuskan tali belenggu orang itu, dan menyorongkan cawan anggur padanya. Orang itu</span></div><div><span class="Apple-style-span" >sungguh tercengang. Ia takut untuk menerimanya, tapi takut juga untuk menolaknya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tertawa. “Jika ada orang menawariku anggur, takkan pernah kutolak.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min menerima cawan itu. Tangannya masih gemetaran. Akhirnya diminumnya cawan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >itu. Setengahnya tumpah membasahi bajunya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan mengeluh. “Sayang sekali. Jikalau kau meniru aku, berlatih mengukir dengan pisau,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >tanganmu tak akan gemetar. Mengukir kayu membuat seseorang menjadi tenang dan stabil. Ini</span></div><div><span class="Apple-style-span" >rahasia kecilku.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Lalu dituangnya lagi anggur ke dua cawan, dan sambil tertawa berkata, “Ingatlah, jangan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menyia-nyiakan arak yang lezat.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kali ini Hong Han Min menyambut cawan itu dengan kedua tangannya. Takut menumpahkannya</span></div><div><span class="Apple-style-span" >lagi, ia minum seluruhnya sekali teguk.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan, “Bagus sekali. Aku tidak tahu banyak hal dalam hidup ini, tapi aku telah</span></div><div><span class="Apple-style-span" >memberitahukan kepadamu dua pelajaran yang berharga. Bagaimana kau akan berterima kasih</span></div><div><span class="Apple-style-span" >padaku?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jawab Hong Han Min, “A..aku…”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Lalu kata Li Xun Huan, “Kau tak perlu berbuat apa-apa. Berikan saja barang itu padaku dan aku</span></div><div><span class="Apple-style-span" >akan merasa puas.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min menarik nafas, “Barang apa?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sahut Li Xun Huan, “Kau tidak tahu?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min memaksakan untuk tersenyum, “Aku sungguh-sungguh tidak tahu.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kupikir orang menjadi lebih jujur setelah</span></div><div><span class="Apple-style-span" >mereka minum. Kau sungguh-sungguh mengecewakanku.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min hanya bisa tersenyum kecut, “Tuan L…Li, pastilah ada kesalahpahaman. Saya</span></div><div><span class="Apple-style-span" >benar-benar tidak tahu.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Wajah Li Xun Huan menegang. “Kau minum arakku, lalu kau tipu aku? Kembalikan arakku</span></div><div><span class="Apple-style-span" >sekarang juga.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jawab Hong Han Min, “Baiklah. Aku akan pergi membeli arak.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan berkata, “Aku ingin dua cawan yang sudah kau minum, bukan arak yang kau beli.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min berusaha tenang, ia menyeka keringat dengan lengan bajunya, lalu berkata</span></div><div><span class="Apple-style-span" >terputus-putus, “Ta..tapi, arak itu sudah ada dalam perutku. Bagaimana aku</span></div><div><span class="Apple-style-span" >mengembalikannya?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jawab Li Xun Huan, “Gampang saja.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Pisau itu berkilat lagi, dan tiba-tiba ujungnya telah sampai di depan perut Hong Han Min.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Tambahnya dengan dingin, “Karena arak itu sudah ada dalam perutmu, tinggal kubuka saja</span></div><div><span class="Apple-style-span" >untuk mengambilnya kembali.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Wajah Hong Han Min menjadi putih seperti kertas, tapi ia masih memaksakan diri untuk</span></div><div><span class="Apple-style-span" >tersenyum. “Tuan Li, mengapa kau berkelakar?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menjawab tajam, “Apakah aku kelihatan sedang bercanda?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ditekannya pisau itu sedikit ke perut Hong Han Min, dan darah keluar sedikit.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Karena hanya pengecut yang biasa berbohong, dan waktu pengecut melihat darahnya sendiri ia</span></div><div><span class="Apple-style-span" >akan berkata-kata dengan jujur. Wajah Hong Han Min masih tersenyum, seakan-akan ia tidak</span></div><div><span class="Apple-style-span" >merasa sakit sedikitpun.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Mata Li Xun Huan berkedip, dan tangannya berhenti menekan. Pengecut ini ternyata tidak bisa</span></div><div><span class="Apple-style-span" >diancam dengan pisau, namun Li Xun Huan tidak memperlihatkan kekagetannya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sebaliknya ia tersenyum dan berkata, “Kau telah masuk dalam dunia persilatan cukup lama,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >bukan?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min tidak menyangka akan pertanyaan itu. Ia meneguhkan hatinya dan menjawab</span></div><div><span class="Apple-style-span" >dengan senyum, “20 tahun sudah.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Lalu kata Li Xun Huan, “Jadi kau pasti tahu ada beberapa mustika di dunia ini yang diketahui</span></div><div><span class="Apple-style-span" >banyak orang, tapi hanya sedikit yang pernah melihatnya. Salah satunya….”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ditatapnya Hong Han Min lekat-lekat, dan dilanjutkan kalimatnya perlahan-lahan, “ialah Rompi</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Benang Emas. Katanya baju ini tidak tembus senjata, dan tak dapat terbakar. Karena kau sudah</span></div><div><span class="Apple-style-span" >berkecimpung selama 20 tahun, pastilah kau pernah mendengarnya.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Wajah Hong Han Min kini tampak seperti kain pel. Ia segera melompat, hendak melarikan diri.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Gerakannya sangat gesit, dalam sekejap saja ia telah sampai di pintu. Hanya saja, waktu ia</span></div><div><span class="Apple-style-span" >hendak keluar, Li Xun Huan menghadangnya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min mengertakkan giginya, berbalik dan menghunus tombak rantai peraknya. Bagai</span></div><div><span class="Apple-style-span" >ular, tombak itu menyerang ke arah Li Xun Huan.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Mungkin sudah 20-30 tahun ia melatih ilmu tombak ini. Waktu ia memainkan jurus ini, rantai</span></div><div><span class="Apple-style-span" >peraknya menjadi lurus, menggulung angin dan menyambar ke arah tenggorokan Li Xun Huan.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Terdengar bunyi ‘Tang’. Li Xun Huan hanya mengangkat tangannya yang masih memegang</span></div><div><span class="Apple-style-span" >cawan anggur, dan menggunakan cawan itu untuk menangkis ujung tombak.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Tombak itu tidak memecahkan cawan.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tersenyum dan berkata, “Jika ada seseorang yang berusaha membujukku untuk</span></div><div><span class="Apple-style-span" >berhenti minum, akan kutunjukkan padanya keuntungan minum anggur. Dan bahwa cawan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >anggur pernah menyelamatkan jiwaku.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min berdiri mematung. Keringat bertetesan di wajahnya bagai air hujan.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan, “Jika kau tidak ingin bertempur lagi, tanggalkan Rompi Benang Emas itu.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Anggaplah itu pembayaran atas dua cawan anggur.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min bertanya, “Kau sungguh-sungguh menginginkannya?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sahut Li Xun Huan, “Aku bukannya menginginkan barang itu. Kau telah mencurinya di depan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >hidungku. Ini berarti kau memang punya keahlian. Tapi tak seharusnya kau membual dan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >mengatakan pada orang lain bahwa akulah pencurinya. Aku tidak suka difitnah.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Kau benar. Aku memang mengambil barang itu. Dan barang itu memang Rompi Benang Emas.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Tapi, tapi…”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia sangat gelisah, sampai-sampai air matanya pun mengalir.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan berkata, “Rompi Benang Emas adalah mustika yang memberi perlindungan. Apa</span></div><div><span class="Apple-style-span" >kegunaannya bagimu? Aku dapat membunuhmu dengan satu sambitan. Mengapa kau</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menghabiskan tenagamu untuk mempertahankannya?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >Lanjutnya lagi, “Ini bukanlah barang yang seharusnya kau miliki. Jikalau kau berikan barang ini</span></div><div><span class="Apple-style-span" >padaku, mungkin kau dapat hidup beberapa tahun lagi.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jawab Hong Han Min, “Aku pun tahu aku tidak cukup berharga untuk mustika itu. Namun aku</span></div><div><span class="Apple-style-span" >tidak mengambilnya untuk diriku sendiri.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan terkejut, “Jadi kau mencurinya untuk orang lain? Siapakah dia?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min menggigit bibirnya. Saking kerasnya, sampai darah keluar.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan berkata dengan tenang, “Aku punya macam-macam cara untuk memaksa orang</span></div><div><span class="Apple-style-span" >berbicara, namun aku tak suka cara-cara itu. Jadi aku sungguh berharap kau tidak memaksaku</span></div><div><span class="Apple-style-span" >untuk menggunakannya.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Akhirnya Hong Han Min menghembuskan nafas. “Baik. Aku akan bicara.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan, “Lebih baik kau mulai dari awal.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min mulai bicara. “Pernahkah kau dengar Si Pencuri Ulung Dai Wu? Ia bukan siapasiapa,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >jadi mungkin Tuan Li tidak tahu.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tertawa. “Aku tahu dia, bahkan mengenalnya cukup akrab. Ilmu meringankan tubuh</span></div><div><span class="Apple-style-span" >dan jurus-jurus kungfunya cukup hebat. Lagian dia juga suka minum.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Lanjut Hong Han Min, “Rompi Benang Emas ini dicurinya dari suatu tempat.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“O ya? Lalu bagaimana bisa sampai padamu?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jawab Hong Han Min, “Ia dan Zhu Ge Lei adalah sahabat karib. Kami berjumpa dengan dia</span></div><div><span class="Apple-style-span" >beberapa waktu lalu dan minum bersama. Waktu dia mabuk berat, ia keluarkan rompi itu untuk</span></div><div><span class="Apple-style-span" >pamer. Zhu Ge Lei sungguh iri hati, dan….”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Wajah Li Xun Huan mengeras. “Kalian bisa melakukan hal serendah itu, tapi mengapa tak berani </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">mengakuinya?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min menundukkan kepala. “Dai Wu tahu bahwa semua orang di dunia persilatan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menginginkan Rompi Benang Emas ini. Seharusnya ia tidak mabuk.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menyahut dingin, “Bukannya dia tidak seharusnya mabuk. Seharusnya dia tidak</span></div><div><span class="Apple-style-span" >berkawan dengan orang yang salah.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Wajah Hong Han Min yang pucat bersemu merah.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan, “Rompi Benang Emas ini dikabarkan sebagai satu dari ‘Tiga Mustika Dunia</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Persilatan’. Tapi sebenarnya fungsinya tidak banyak. Mungkin hanya berguna sewaktu dua jago</span></div><div><span class="Apple-style-span" >silat bertempur. Orang biasa yang memilikinya, lebih mungkin mati karena barang ini. Jadi, aku </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">tak bisa mengerti mengapa orang sangat menginginkannya. Pasti ada alasan lain, bukan?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jawab Hong Han Min. “Ya, ada satu rahasia. Namun rahasia ini bukan rahasia lagi, karena….”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sampai di situ, pemilik warung membawa masuk dua botol anggur. Katanya sambil tersenyum,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Ini adalah arak yang istimewa. Pembesar Tan Hua sebaiknya minum secawan sebelum</span></div><div><span class="Apple-style-span" >melanjutkan.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tersenyum pahit. “Jika kau ingin aku sering datang ke sini, jangan kau panggil aku</span></div><div><span class="Apple-style-span" >seperti itu. Tiap kali aku mendengarnya, aku kehilangan selera minum.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Cawan anggur masih ada di tangannya. Ia tuang anggur itu secawan penuh. Tercium bau harum</span></div><div><span class="Apple-style-span" >anggur, dan suasana hatinya pun membaik. Pujinya, “Sungguh anggur istimewa.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia minum anggur, dan mulai batuk-batuk.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang tua itu menarik kursi untuk Li Xun Huan duduk. Katanya, “Batuk itu buruk untuk</span></div><div><span class="Apple-style-span" >kesehatan. Hati-hatilah.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang tua itu tersenyum dan melanjutkan bicaranya, “Akan tetapi, arak ini cocok sekali untuk</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menyembuhkan batuk. Jika kau meminumnya, kujamin kau tak akan batuk lagi.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tertawa, “Jika anggur dapat menyembuhkan batuk, itu baik sekali. Mengapa kau tak</span></div><div><span class="Apple-style-span" >minum secawan juga?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata orang tua itu, “Aku tidak minum anggur.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan bertanya, “Kenapa? Penjual pangsit lebih suka makan bakpao. Jadi penjual arak</span></div><div><span class="Apple-style-span" >lebih suka minum air putih?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jawab orang tua itu, “Biasanya aku minum satu dua cawan. Tapi aku tidak bisa minum anggur</span></div><div><span class="Apple-style-span" >ini.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba matanya bersinar licik.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan pura-pura tidak melihat. Ia terus tersenyum dan bertanya, “Mengapa?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Mata orang tua itu terpaku pada pisau di tangannya, dan berkata, “Karena jika aku minum arak</span></div><div><span class="Apple-style-span" >itu dan menggunakan sedikit tenaga, aku akan mati keracunan.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Lidah Li Xun Huan kelu.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Namun Hong Han Min menjadi gembira, “Tak kusangka kau mau menolongku. Akan kuberi kau</span></div><div><span class="Apple-style-span" >hadiah yang besar nanti.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang tua itu menjawabnya dingin, “Tak usah kau berterima kasih padaku.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Perangai Hong Han Min berubah, walaupun senyumannya tidak hilang. “Tetua, kau sungguh</span></div><div><span class="Apple-style-span" >pandai menyembunyikan jati dirimu. Kurasa kau juga menginginkan….”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Saat berbicara, dihunusnya tombak rantai peraknya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Tubuh kecil orang tua itu tiba-tiba bertambah tinggi satu kaki. Diputarnya tangan kirinya dan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >ditangkapnya ujung tombak itu. Bentaknya, “Kau pikir kau cukup hebat untuk bertarung</span></div><div><span class="Apple-style-span" >denganku?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang tua penakut ini dalam sekedipan mata telah berubah menjadi orang lain. Wajahnya pun</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menjadi bercahaya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hong Han Min melihat wajahnya yang aneh, dan teringat pada seseorang. Ia langsung mulai</span></div><div><span class="Apple-style-span" >memelas. “Tetua, jangan ambil nyawaku. Aku tidak mengenali tetua sebagai…”</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >Tapi ia terlambat. Kepalan kanan si orang tua telah tertuju padanya. Setelah terdengar suara</span></div><div><span class="Apple-style-span" >‘Bang’, tubuh Hong Han Min mencelat ke atas, dan rantai di tangannya putus menjadi dua. Darah</span></div><div><span class="Apple-style-span" >langsung mengalir waktu tubuhnya menghantam tembok.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kekuatan pukulan ini sungguh luar biasa.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. “Sudah kukatakan. Dengan memilki</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Rompi Benang Emas ini, kau akan mati lebih cepat.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang tua itu melempar tombak yang tinggal separuh itu ke lantai, lalu memandangi tubuh Hong</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Han Ming. Kerut-merutnya muncul lagi.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan, “Kau sudah tidak membunuh selama 20 tahun, bukan?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang itu memandangnya dan berkata, “Tapi aku belum lupa caranya.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan bertanya, “Apakah harus membunuh untuk hal semacam ini?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jawab orang tua itu, “Dua puluh tahun yang lalu, aku tidak butuh alasan untuk membunuh.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sahut Li Xun Huan, “Namun dua puluh tahun telah lewat. Bersembunyi selama dua puluh tahun</span></div><div><span class="Apple-style-span" >tidaklah mudah. Mengumbar identitasmu hanya untuk ini, sungguh disayangkan.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang tua itu bertanya, “Jadi kau tahu siapa aku?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tertawa. “Kau seharusnya tidak lupa. Dua puluh tahun yang lalu Sun Kui sangatlah</span></div><div><span class="Apple-style-span" >terkenal. Namun ia berani membawa lari istri kepala 72 Pelabuhan Selatan. Keberanian semacam</span></div><div><span class="Apple-style-span" >ini patut dikagumi.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata orang tua itu, “Bahkan dalam keadaanmu seperti ini, kau masih sanggup bicara semacam</span></div><div><span class="Apple-style-span" >itu.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sahut Li Xun Huan lagi, “Jangan berpikir aku sok pintar. Seorang laki-laki yang berani</span></div><div><span class="Apple-style-span" >mempertaruhkan nyawa demi wanita yang dicintainya patut dianggap laki-laki sejati. Selama ini </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">aku sangat menghormati engkau. Tapi sekarang….”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “sekarang aku sangat kecewa, karena kupikir kau bukanlah </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">orang yang licik. Kau hanya berani meracuniku. Tak berani menantangku bertarung.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sun Kui memandang padanya sesaat. Sebelum ia berbicara, terdengar tawa seorang yang lain,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >katanya, “Kau tak boleh menyalahkan dia. Mengenai ilmu racun, ia tidak tahu apa-apa.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Suara ini milik seorang wanita. Merdu sekali.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tertawa. “Kau benar. Aku harusnya sudah tahu bahwa ini adalah buah karya Nyonya</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Qiang Wei. Li Xun Huan sungguh merasa puas dapat mati di tangan seorang ratu kecantikan dari</span></div><div><span class="Apple-style-span" >dua puluh tahun silam.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Suara itu terkikik saat berkata, “Dasar perayu. Jika aku bertemu engkau dua puluh tahun yang</span></div><div><span class="Apple-style-span" >lalu, mungkin aku takkan melarikan diri dengan dia.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sambil tertawa ia keluar.</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >Setelah dua puluh tahun, ia tidak tampak terlalu tua. Matanya masih tetap memikat, giginya</span></div><div><span class="Apple-style-span" >putih bersih, namun pinggangnya….</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sebenarnya, tak bisa dikatakan bahwa ia punya pinggang. Bentuk tubuhnya seperti gentong.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Reaksi Li Xun Huan seperti baru saja menelan sebutir telur bulat-bulat.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jadi inikah Nyonya Qiang Wei? Ia tak bisa mempercayai penglihatannya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Nyonya Qiang Wei mengenakan mantel warna merah. Parfumnya dapat tercium dari jarak satu</span></div><div><span class="Apple-style-span" >kilometer.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia memandang Li Xun Huan sambil tertawa manis dan berkata, “Betapa gagahnya Tuan Tan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hua. Tak heran kau begitu terkenal. Aku belum pernah bertemu dengan orang segagah engkau</span></div><div><span class="Apple-style-span" >dalam dua puluh tahun belakangan. Namun dua puluh tahun yang lalu…”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia menghela nafas sebelum melanjutkan, “dua puluh tahun yang lalu aku hidup bergelimang</span></div><div><span class="Apple-style-span" >harta. Orang-orang muda yang gagah memohon-mohon untuk berkencan denganku. Jika mereka </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">dapat memandangku dan bercakap-cakap semenit saja, mereka merasa bagaikan di awangawang.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kalau kau tidak percaya, tanya saja dia.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Wajah Sun Kui terlihat muram, ia tidak ingin bicara.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan memandang leher Nyonya Qiang Wei dan lemak yang menggelambir, lalu menoleh </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">pada Sun Kui dan merasa sedikit kasihan.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia baru tahu bahwa hidup laki-laki ini dalam dua puluh tahun terakhir tidaklah bahagia.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Nyonya Qiang Wei mengeluh lagi. “Namun dua puluh tahun ini sangat berat bagiku. Aku harus</span></div><div><span class="Apple-style-span" >terus bersembunyi dalam kamar yang sumpek, karena takut keluar. Aku sangat menyesal lari</span></div><div><span class="Apple-style-span" >dengan si tolol ini.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sun Kui juga mengeluh. “Siapa di sini yang tidak menyesal?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Nyonya Qiang Wei membanting kakinya dan berteriak, “Apa katamu? Ulangi lagi kalau berani!</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Wanita terhormat seperti aku merelakan kedudukannya yang nyaman untuk tinggal di gubug</span></div><div><span class="Apple-style-span" >reyot denganmu. Seorang ratu kecantikan, telah kau rusak sampai seperti ini. Dan kau masih</span></div><div><span class="Apple-style-span" >berani bilang kau menyesal?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Hidung Sun Kui seakan-akan keluar asap, namun ia diam saja.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Nyonya Qiang Wei kemudian berkata lagi, “Tuan Tan Hua, katakan padaku apakah laki-laki ini</span></div><div><span class="Apple-style-span" >punya hati? Kalau aku tahu akan jadi begini, aku lebih baik sudah bunuh diri.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia mengejap-ngejapkan matanya, tapi sayang air mata tak bisa keluar.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tersenyum, “Tapi untungnya nyonya tidak mati. Kalau tidak, aku pasti menyesal</span></div><div><span class="Apple-style-span" >telah hidup.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Nyonya Qiang Wei tersenyum bangga, “Kau begitu ingin bertemu denganku?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sahut Li Xun Huan, “Tentu saja. Di mana dapat kutemukan kecantikan yang begini gemuk?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >Wajah Nyonya Qiang Wei memucat, namun Sun Kui tak bisa menahan gelak tawanya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan lagi, “Sesungguhnya nyonya pun tak memerlukan Rompi Benang Emas. Karena </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">sekali pun kau dipotong menjadi dua, rompi itu tak akan muat.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Nyonya Qian Wei menggertakkan giginya dan berkata, “Aku sebaiknya tidak membuatmu mati</span></div><div><span class="Apple-style-span" >perlahan-lahan.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Ia mencabut sebatang jarum yang amat tipis dari sela-sela rambutnya dan berjalan ke arah Li</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Xun Huan. Li Xun Huan tetap duduk, tidak bergerak.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sun Kui lalu berkata, “Kita kan sudah mendapatkan rompi itu, mari kita pergi saja. Kenapa kita</span></div><div><span class="Apple-style-span" >harus mengurusi dia?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Nyonya Qiang Wei membentak, “Kau tidak usah mencampuri urusanku!”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan benar-benar tak sanggup bergerak, ia hanya bisa menatap si nyonya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Siapa sangka, pada saat jarum itu hendak menembus mata Li Xun Huan, tiba-tiba Sun Kui</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menendang dari belakang. Begitu keras, sampai si nyonya terpental ke langit-langit.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Waktu ia jatuh lagi ke tanah, ia sudah hampir mati.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan sungguh terperanjat. Ia tak bisa tidak bertanya, “Kau membunuhnya demi aku?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Dengan marah Sun Kui menjawab, “Dua puluh tahun sudah aku harus menahan diri mendengar</span></div><div><span class="Apple-style-span" >ocehannya. Aku hampir gila. Kalau aku tidak membunuhnya sekarang, mungkin setengah tahun</span></div><div><span class="Apple-style-span" >lagi, akulah yang akan mati.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan, “Bukankah ini yang kau inginkan? Tak ingatkah kau dua puluh tahun silam….”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sun Kui memotongnya, “Kau kira akulah yang merayunya?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Jadi bukan kau?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Waktu aku bertemu dengannya, aku sungguh tidak tahu bahwa ia adalah istri Yang Da Hu.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Makanya aku mau….”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Dua kali ia menghela nafas panjang, lalu melanjutkan, “Siapa yang menyangka bahwa</span></div><div><span class="Apple-style-span" >sebetulnya dialah yang memaksa aku membawanya pergi. Saat itu, Yang Da Hu telah mengutus</span></div><div><span class="Apple-style-span" >20 jago-jago silat ke tempatku. Aku harus pergi.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sahut Li Xun Huan, “Setidaknya ia mencintaimu. Kalau tidak mengapa ia melakukannya?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Cinta padaku? Hei, hei.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Dikertakkan giginya sambil tertawa sumbang. “Sesudah itu, baru aku tahu bahwa ia</span></div><div><span class="Apple-style-span" >memanfaatkan aku. Ternyata, waktu suaminya pergi untuk urusan bisnis, ia mempunyai kekasih</span></div><div><span class="Apple-style-span" >gelap, dan melahirkan anaknya. Ia tidak tahu bagaimana harus mengaku pada suaminya, jadi ia </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">mengambil uang dan melarikan diri dengan kekasihnya.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan terkejut, “Masa iya? Sepertinya masih ada lagi lanjutannya.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sambung Sun Kui, “Lalu siapa sangka kekasihnya itu mencuri perhiasan yang dibawa si nyonya,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >lalu kabur begitu saja? Ia tidak mendapatkan lelaki itu, tidak juga mendapatkan uangnya. Tapi</span></div><div><span class="Apple-style-span" >untunglah ia bertemu denganku.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Jika kau sudah tahu, mengapa kau tidak membeberkannya?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sun Kui tertawa getir, “Waktu aku tahu, semua sudah terlambat. Diucapkannya waktu ia mabuk</span></div><div><span class="Apple-style-span" >berat. Aku tak bisa lagi mengatakan apa-apa, sekalipun aku mau.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Bagaimana dengan anak itu?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sun Kui terdiam.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan bertanya lagi, “Setelah kau tahu, kau seharusnya langsung membunuhnya. Apa</span></div><div><span class="Apple-style-span" >yang kau tunggu?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sun Kui tetap diam.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan, “Aku kan hampir mati. Mengapa tak kau beritahu padaku?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sun Kui berpikir agak lama, lalu menjawab, “Ada untungnya membuka warung arak. Aku bisa</span></div><div><span class="Apple-style-span" >mendengar macam-macam berita. Tahukah kau apa berita yang sedang hangat saat ini?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sahut Li Xun Huan, “Aku tidak punya warung.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sun Kui menengok ke kiri kanan, seakan-akan takut ada orang yang ikut mendengarkan. Lalu ia</span></div><div><span class="Apple-style-span" >berbicara dengan suara kecil, “Tidakkah kau dengar? Dari tiga puluh tahun yang lalu, yang tiada </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">tandingannya Si Bandit Bunga Plum beraksi kembali!”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Rasa tertarik Li Xun Huan langsung muncul ketika nama Si Bandit Bunga Plum diucapkan.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Sun Kui lagi, “Waktu Si Bandit Bunga Plum merajai dunia persilatan dulu, kau masih sangat </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">kecil. Mungkin kau tidak tahu kehebatannya. Tapi kuberitahu kau sekarang, tidak seorang pun </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">tahu siapa sebenarnya orang ini. Bahkan ketua partai Cang De, si jago pedang nomor wahid saat </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">itu, Wu Wen Tian, mati di tangannya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Orang ini berpindah sangat cepat secara misterius. Wu Wen Tian baru saja menurunkan titah</span></div><div><span class="Apple-style-span" >untuk membunuhnya, keesokan harinya Wu Wen Tian sudah mati. Hanya saja….”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kembali ia menengok kanan kiri. Seakan takut jika Si Bandit Bunga Plum muncul dari balik</span></div><div><span class="Apple-style-span" >punggungnya.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Tapi tak ada seorang pun yang muncul. Bahkan suara salju yang turun ke atas atap dapat</span></div><div><span class="Apple-style-span" >terdengar. Barulah Sun Kui lega dan melanjutkan lagi, “di dadanya ada 50 lubang dengan bentuk</span></div><div><span class="Apple-style-span" >bunga plum. Tiap lubang sangat kecil, seperti lubang jarum. Semua orang tahu ini adalah</span></div><div><span class="Apple-style-span" >lambang Si Bandit Bunga Plum. Tapi tak seorang pun tahu senjata rahasia macam apakah ini,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >karena tidak seorang pun yang bertempur dengannya masih hidup. Satu hal yang pasti, ia adalah </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">seorang laki-laki.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“O ya?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Jawab Sun Kui, “Karena selain menyukai harta benda, ia juga suka memperkosa gadis-gadis.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Semua orang dalam dunia persilatan, golongan putih dan hitam, semua benci padanya, tapi tidak </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">ada seorang pun sanggup mengalahkannya. Setiap kali seseorang berkata ia akan turun tangan,</span></div><div><span class="Apple-style-span" >orang itu pasti mati dalam tiga hari. Semuanya dengan tanda itu di dadanya.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menegaskan, “Jadi semua orang yang mati di tangannya mendapat tanda itu di</span></div><div><span class="Apple-style-span" >dadanya?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >“Ya. Dada adalah perlindungan utama tubuh manusia, namun Si Bandit Bunga Plum selalu</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menyerang ke sana, tanpa kecuali. Seolah-olah jika tidak dilakukannya, orang takkan tahu</span></div><div><span class="Apple-style-span" >betapa hebatnya dia.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Maka tertawalah Li Xun Huan. “Itulah sebabnya kau pikir dengan memakai rompi itu kau dapat</span></div><div><span class="Apple-style-span" >menghadapi Si Bandit Bunga Plum. Dan dengan menangkapnya, kau bisa kembali terkenal.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Semua orang akan berterima kasih padamu. Dan tidak ada seorang pun yang akan mengungkit</span></div><div><span class="Apple-style-span" >masa lalumu.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Mata Sun Kui bercahaya dan ia berkata, “Katanya, kalau kau dapat menghindar dari serangan</span></div><div><span class="Apple-style-span" >pertamanya, kau akan menang.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Wajahnya penuh kegembiraan dan ia pun melanjutkan, “Karena serangan pertamanya TIDAK</span></div><div><span class="Apple-style-span" >PERNAH gagal, ia tidak pernah memikirkan serangan berikutnya. Ia menjadi terbuka untuk</span></div><div><span class="Apple-style-span" >diserang balik.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sahut Li Xun Huan, “Sangat masuk akal.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Sun Kui tertawa senang, “Kalau tidak masuk akal, buat apa orang berlomba-lomba mendapatkan </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(255, 0, 0); ">rompi ini.”</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan lagi, “Tapi kau sudah menjalani kehidupan yang tenang dua puluh tahun ini.</span></div><div><span class="Apple-style-span" >Buat apa terjun lagi ke dunia persilatan?”</span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" >BERSAMBUNG....</span></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-37008532072438685842011-07-13T02:08:00.000-07:002011-07-13T02:15:59.832-07:00TEMAN AKRAB TERSIMPAN DALAM LAUTAN<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpzrLz0wxUvKBs2bxq86isM1DU-8254eQTr_ajxtbz3qHrJPhiuMVF4iDhWW9H5wYf8soa4gvvppxcrln2-NymovoxeHUgQO5t5uJJ5UBnaoLZtLTfYXsm5PmbheB77baWPwSWVsW7NA/s1600/Pisau-Terbang-Li.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 274px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpzrLz0wxUvKBs2bxq86isM1DU-8254eQTr_ajxtbz3qHrJPhiuMVF4iDhWW9H5wYf8soa4gvvppxcrln2-NymovoxeHUgQO5t5uJJ5UBnaoLZtLTfYXsm5PmbheB77baWPwSWVsW7NA/s320/Pisau-Terbang-Li.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5628762833508672226" /></a><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; line-height: 15px; "><span class="Apple-style-span" ><div><b><span class="Apple-style-span" >SERIAL PISAU TERBANG LI (Xiao Li Fei Dao)</span></b></div><div><b><span class="Apple-style-span" >By Gu Long</span></b></div><div style="font-size: 14px; "><b><span class="Apple-style-span"><br /></span></b></div><div style="font-size: 14px; "><b><span class="Apple-style-span"><div><br /></div><div>Kereta kuda kini penuh dengan botol-botol anggur. Anggur ini dibeli oleh si anak muda, jadi ia</div><div>minum sebotol demi sebotol, menikmati kelezatannya.</div><div>Li Xun Huan memandangnya dengan gembira. Jarang sekali ia bertemu seseorang yang menarik</div><div>perhatiannya, tapi anak muda ini sungguh-sungguh menarik.</div><div>Tiba-tiba si anak muda meletakkan botol anggurnya dan menatap Li Xun Huan. „Mengapa kau</div><div>mengundangku ke dalam keretamu untuk minum?“</div><div>Li Xun Huan tertawa. „Karena penginapan itu bukan tempat yang baik untuk kita duduk lamalama.“</div><div>“Kenapa?”</div><div>Jawab Li Xun Huan, “Siapa pun juga yang membunuh orang, ia akan terlibat dalam persoalan.</div><div>Aku tidak takut membunuh, tapi aku benci persoalan.”</div><div><br /></div><div>Anak muda ini berpikir sejenak, lalu mulai minum lagi. Li Xun Huan tersenyum sambil memadang</div><div>si anak muda, mengagumi wajahnya saat ia minum.</div><div>Tak selang berapa lama, anak muda ini pun mengeluh. “Membunuh memang bukan pekerjaan</div><div>yang menyenangkan. Tapi ada beberapa orang di dunia ini yang harus dibunug. Jadi aku harus</div><div>membunuh mereka!”</div><div>Li Xun Huan tertawa. “Benarkah kau membunuhnya untuk 50 tail perak?”</div><div>Anak muda itu menjawab, “Walaupun tanpa uang, aku pasti membunuhnya. Tapi mendapatkan</div><div>50 tail kan lebih baik lagi.”</div><div>Li Xun Huan bertanya, “Mengapa 50 tail?”</div><div>Jawabnya, “Karena harganya memang sebegitu.”</div><div>Li Xun Huan tersenyum. ”Banyak orang di kalangan persilatan yang sepantasnya mati. Dan</div><div>beberapa berharga lebih dari 50 tail perak. Kau mungkin bisa jadi kaya raya nantinya.”</div><div>Kata anak muda itu, ”Sayangnya aku sangat miskin. Kalau tidak, seharusnya kuberikan</div><div>kepadamu 50 tail itu.”</div><div>”Kenapa?”</div><div>”Karena kau bantu aku membunuh orang itu.”</div><div>Li Xun Huan tertawa senang ”Kau salah. Orang itu tidak berharga 50 tail. Sebenarnya ia tidak</div><div>berharga sepeserpun.”</div><div>Tiba-tiba ia bertanya, ”Taukah kau mengapa ia ingin membunuhmu?”</div><div>”Tidak.”</div><div>”Karena walaupun Si Ular Putih tidak membunuhnya, ia telah membuat Zhu Ge Lei kehilangan</div><div>muka di dunia persilatan. Kau membunuh Si Ular Putih. Hanya dengan membunuhmu, ia bisa</div><div>mendapatkan kembali kehormatannya. Itulah mengapa ia harus membunuhmu. Orang-orang</div><div>kalangan persilatan sangat licik, jauh di luar bayanganmu.”</div><div>Anak muda itu tenggelam dalam pikirannya. Lalu berkata, ”Kadang-kadang hati manusia lebih</div><div>kejam daripada hati harimau. Setidaknya, jika harimau itu ingin memakanmu, ia akan</div><div>memberitahukan kepadamu lebih dulu.”</div><div>Ia meneguk anggurnya, lalu melanjutkan. ”Tapi yang kudengar hanyalah manusia mengatakan</div><div>harimau itu kejam. Tidak pernah harimau berkata bahwa manusia kejam. Kenyataannya, harimau</div><div>membunuh untuk bertahan hidup. Tapi manusia membunuh untuk alasan-alasan lain. Dan sejauh</div><div>pengetahuanku, jauh lebih sering manusia mati dibunuh sesamanya, daripada dibunuh harimau.”</div><div>Li Xun Huan menatapnya. ”Itukah sebabnya kau lebih suka bergaul dengan harimau?”</div><div>Anak muda itu berpikir lagi, dan tiba-tiba tertawa. ”Masalahnya cuma satu, mereka tidak minum</div><div>anggur.”</div><div><br /></div><div>Inilah kali pertama Li Xun Huan melihat senyumannya. Sebelumnya ia tidak sadar bahwa senyum</div><div>dapat mengubah seseorang begitu rupa.</div><div>Wajah anak muda itu selalu kesepian, selalu keras, membuat Li Xun Huan berpikir ia seperti</div><div>serigala di tengah salju.</div><div>Namun waktu ia tersenyum, kepribadiannya berubah total. Ia menjadi sangat hangat, sangat</div><div>akrab, sangat manis.</div><div>Li Xun Huan belum pernah melihat seorang pun yang dapat tersenyum begitu memikat.</div><div>Tiba-tiba anak muda ini bertanya, ”Apakah kau sungguh-sungguh orang terkenal?”</div><div>Li Xun Huan tersenyum. ”Kadang-kadang jadi orang terkenal tidak menguntungkan.”</div><div>”Tapi aku ingin sekali jadi orang terkenal. Aku ingin jadi orang yang paling terkenal di seluruh</div><div>dunia.”</div><div>Dia mengucapkannya dengan sangat lugu.</div><div>Li Xun Huan tertawa lagi. ”Setiap orang ingin terkenal. Hanya saja kau lebih jujur dari</div><div>kebanyakan orang.”</div><div>Kata anak muda itu, ”Aku berbeda dari kebanyakan orang. Aku HARUS terkenal. Jika aku tidak</div><div>terkenal, aku harus mati.”</div><div>Li Xun Huan terbelalak mendengar kata-katanya. ”Mengapa?”</div><div>Anak muda itu diam saja. Tapi dapat terlihat kepedihan yang dalam di matanya.</div><div>Li Xun Huan baru menyadari bocah lugu ini ternyata menyimpan banyak rahasia. Masa kecilnya</div><div>pastilah penuh dengan kesedihan dan kesengsaraan.</div><div>Maka Li Xun Huan berkata dengan hangat, ”Jika kau ingin terkenal, paling tidak beri tahu aku</div><div>namamu.”</div><div>Anak muda itu terdiam cukup lama, lalu menjawab, ”Orang-orang biasa memanggilku Ah Fei.”</div><div>”Ah Fei?”</div><div>Li Xun Huan tertawa. ”Jadi margamu adalah ‘Ah’? Tidak ada orang di dunia ini yang bermarga</div><div>itu.”</div><div>Anak muda itu menjawab keras, ”Aku TIDAK punya marga!” Kobaran api muncul di matanya. Li</div><div>Xun Huan menyadari bahwa air mata pun takkan sanggup memadamkan api ini. Tapi ia tidak</div><div>sanggup untuk bertanya lagi. Tidak disangkanya bahwa anak muda itulah yang melanjutkan,</div><div>”Waktu aku benar-benar terkenal, mungkin akan kuberitahukan margaku. Tapi sekarang...”</div><div>Li Xun Huan berkata dengan suara lembut. ”Sekarang aku panggil kau Ah Fei.” Anak muda itu</div><div>girang, ”Baiklah, sekarang kau panggil aku Ah Fei. Sejujurnya, kau boleh memanggilku apa saja.”</div><div>Kata Li Xun Huan, ”Ah Fei, mari bersulang.”</div><div><br /></div><div>Baru habis setengah cawan, Li Xun Huan mulai batuk-batuk lagi. Wajahnya yang pucat</div><div>menandakan ia punya penyakit berat. Namun tetap dihabiskannya cawan itu.</div><div>Ah Fe menatapnya bingung, bagaimana orang seterkenal itu sangat buruk kesehatannya. Tapi ia</div><div>tidak berkata sepatah kata pun. Dihabiskannya cawannya sendiri.</div><div>Li Xun Huan tersenyum. ”Tahukah kau mengapa aku suka kau menjadi sahabatku.”</div><div>Ah Fei diam saja, maka Li Xun Huan melanjutkan. ”Karena dari semua teman-temanku, hanya</div><div>engkaulah yang melihatku terbatuk-batuk tapi tidak menyuruhku berhenti minum.”</div><div>Kata Ah Fei, ”Apakah tidak boleh minum kalau sedang batuk?”</div><div>”Sebenarnya menyentuh alkohol pun tak boleh.”</div><div>Maka tanya Ah Fei, ”Lalu mengapa kau minum terus? Apakah kau punya masa lalu yang</div><div>menyedihkan?”</div><div>Mata Li Xun Huan langsung meredup, dan memandang Ah Fei. ”Apakah aku bertanya sesuatu</div><div>yang tidak ingin kau jawab? Apakah aku bertanya di mana orang tuamu? Siapa gurumu? Dari</div><div>mana asalmu? Hendak pergi ke mana?”</div><div>”Tidak.”</div><div>”Lalu mengapa kau tanyakan itu padaku?”</div><div>Ah Fei duduk terdiam. Lalu tersenyum. ”Takkan kutanyakan lagi.”</div><div>Li Xun Huan juga tersenyum. Tampaknya ia ingin bersulang lagi, namun waktu diangkatnya</div><div>cawannya, ia mulai batuk-batuk lagi.</div><div>Ah Fei membuka jendela kereta, tapi tiba-tiba kereta berhenti.</div><div>”Apa yang terjadi?” tanya Li Xun Huan.</div><div>Sang kusir menjawab, ”Seseorang menghalangi jalan.”</div><div>”Siapa?”</div><div>”Orang-orangan salju.”</div><div>Mereka turun dari kereta. Li Xun Huan bernafas pelan, tapi Ah Fei menatap orang-orangan salju</div><div>seperti baru pertama kali melihat dalam hidupnya.</div><div>Li Xun Huan berpaling padanya dan bertanya, ”Kau belum pernah melihat orang-orangan salju?”</div><div>Jawab Ah Fei, ”Aku hanya tahu bahwa salju sangat menjengkelkan.Ia tidak hanya membawa</div><div>hawa dingin, tapi juga membuat tanaman mati, binatang bersembunyi, orang-orang kesepian</div><div>dan kelaparan.”</div><div>Ia membuat bola salju dan melemparkannya. Bola salju itu jatuh di tempat yang cukup jauh,</div><div>pecah, dan kemudian hancur. Matanya pun menerawang jauh. ”Bagi mereka yang cuku makan</div><div>dan cukup pakaian, mungkin salju adalah hal yang indah. Bukan hanya mereka dapat membuat</div><div><br /></div><div>orang-orangan salju, mereka pun dapat menikmati pemandangan indah padang salju seperti ini.</div><div>Tapi bagi orang seperti aku.....”</div><div>Tiba-tiba ditatapnya Li Xun Huan. ”Apakah kau tahu bahwa bagi seseorang yang tumbuh di alam</div><div>bebas seperti aku, angin, salju, es, dan hujan adalah musuh terbesar?”</div><div>Li Xun Huan juga membuat sebuah bola salju dan berkata, ”Aku tidak benci salju, tapi aku benci</div><div>orang yang menghalangi jalanku.”</div><div>Dilemparnya bola salju itu ke arah orang-orangan salju. Anehnya, orang-orangan itu tidak jatuh.</div><div>Hanya saljunya menjadi retak, sehingga terlihat sesuatu di dalamnya.</div><div>Ada manusia asli dalam salju!</div><div>Tapi sudah mati.</div><div>Wajah orang mati tidak pernah rupawan, tapi wajah ini sungguh mengerikan.</div><div>”Si Ular Hitam!” jerit Ah Fei.</div><div>Mengapa Si Ular Hitam mati di sini?</div><div>Mengapa pembunuhnya membuatnya sebagai orang-orangan salju?</div><div>Sang kusir menarik mayat itu dari salju dan memeriksanya dengan teliti. Mencoba menemukan</div><div>penyebab kematiannya.</div><div>Li Xun Huan bertanya, ”Kau tahu siapa pembunuhnya?”</div><div>Jawab Ah Fei, ”Aku tidak tahu.”</div><div>Kata Li Xun Huan, ”Barang itu.”</div><div>”Barang apa?”</div><div>Li Xun Huan melanjutkan, ”Barang itu berada di atas meja, sehingga aku tidak</div><div>memperhatikannya. Tapi sewaktu Si Ular Hitam pergi, barang itupun lenyap. Oleh sebab itu</div><div>kupikir ia berlagak gila untuk mengalihkan perhatian orang banyak, dan kabur dengan barang</div><div>itu.”</div><div>”Oh, begitu.” sahut Ah Fei.</div><div>”Namun takkan pernah disangkanya bahwa barang itu akan mengakibatkan kematiannya.</div><div>Pembunuhnya juga menginginkan barang itu.”</div><div>Tidak ada seorang pun yang tahu kapan pisau itu kembali ada di tangannya. ”Benda apakah itu?</div><div>Mengapa begitu banyak orang menginginkannya? Mungkin seharusnya aku mencuri lihat.”</div><div>Ah Fei mendengarkan dengan seksama, tapi tiba-tiba ia memotong, ”Jikalau pembunuh itu</div><div>menginginkan barang itu, mengapa harus membuat dia sebagai orang-orangan salju dan</div><div>menghalangi jalan kita?” Li Xun Huan terkejut. Walaupun anak muda ini tidak berpengalaman</div><div>dalam hidup, sangat lugu, namun pikirannya sangat pandai. Tak bisa dibandingkan bahkan</div><div>dengan orang-ornag berpengalaman di dunia persilatan.</div><div><br /></div><div>Ah Fei melanjutkan, ”Orang itu pasti telah memperhitungkan bahwa tidak ada orang lain yang</div><div>melewati jalan ini. Hanya engkau. Maka orang-orangan salju itu ditaruhnya untuk menghalangi</div><div>jalanmu.”</div><div>Li Xun Huan tidak menjawab, hanya bertanya, ”Apakah kau temukan lukanya yang mematikan?”</div><div>Namun sebelum sang kusir sempat menjawab, Li Xun Huan menyambung, ”Tak usahlah.”</div><div>Ah Fei menambahkan, ”Betul sekali. Orang-orang itu sudah ada di sini, kenapa harus dicari lagi.”</div><div>Ketajaman pendengaran dan penglihatan Li Xun Huan dianggap paling hebat di dunia. Dia tidak</div><div>percaya, anak muda pendengaran anak muda ini pun sama baiknya.</div><div>Anak muda ini memiliki kemampuan alami binatang buas, dapat menangkap hal-hal yang tidak</div><div>bisa ditangkap orang biasa. Li Xun Huan memberinya tawa puas, ”Karena kalian semua sudah</div><div>tiba, mengapa tidak keluar dan minum bersama?”</div><div>Salju di atas pohon di tepi jalan tiba-tiba luruh.</div><div>Seseorang tertawa senang, ”Sudah sepuluh tahun tidak berjumpa. Tak disangka pisau</div><div>berhargamu masih tetap muda. Harus diberi selamat.”</div><div>Saat itu seseorang berlengan satu dengan pandangan bagai elang muncul dari dalam hutan.</div><div>Seseorang yang lain muncul juga dari sisi lain jalan. Orang ini kurus kecil. Tubuhnya seperti</div><div>tulang belulang dengan sedikit gumpalah daging di sana-sini. Mungkin angin sepoi-sepoi pun</div><div>dapat meniupnya pergi.</div><div>Ah Fei langsung menyadari bahwa orang ini tidak meninggalkan jejak secuil pun di atas salju.</div><div>Untuk seseorang dapat tidak meninggalkan jejak, walaupun ia beruntung memiliki badan yang</div><div>ringan, ia tetap harus memiliki tenaga dalam yang hebat.</div><div>Li Xun Huan tersenyum. ”Aku baru saja kembali dari perbatasan setengah bulan. Namun kepala</div><div>jasa ekspedisi Singa Emas dan Si Pengelana Tanpa Bayangan Tuan Yu Er, berdua datang</div><div>menemui aku. Reputasiku pasti cukup baik.”</div><div>Orang tua yang kecil itu tersenyum licik. ”Tampaknya ketenaran Li Tan Hua Kecil bukan bualan</div><div>saja. Ingatanmu baik sekali. Kita bertemu hanya satu kali tiga belas tahun yang lalu, namun kau</div><div>masih ingat aku, orang tua yang tidak berguna ini.”</div><div>['Tan Hua' adalah gelar dalam kerajaan Cina kuno, yang diberikan kepada orang yang menempati</div><div>urutan ke-3 dalam ujian kerajaan. Ujian ini adalah untuk menyaring pejabat negara.]</div><div>Baru sekarang Ah Fei menyadari bahwa kaki orang tua itu pincang. Ia tidak dapat</div><div>membayangkan bagaimana seorang pincang dapat menjadi ahli kungfu meringankan tubuh.</div><div>Ia tidak tahu bahwa karena cacad sejak lahir, ia melatih kungfunya lebih giat untuk menutupi</div><div>kekurangannya.</div><div>Ah Fei tidak bisa tidak menghormati orang ini.</div><div><br /></div><div>Li Xun Huan terkekeh. ”Kau sudah susah-payah mengundang teman-teman lain. Apakah tidak</div><div>akan kau perkenalkan mereka pada kami?”</div><div>Tuan Yu Er menjawab dingin. ”Benar. Mereka juga mendengar ketenaranmu dan ingin bertemu.”</div><div>Saat ia berbicara, muncullah empat orang dari dalam hutan. Walaupun hari masih siang, Li Xun</div><div>Huan bergidik melihat keempat orang ini.</div><div>Empat orang ini tampak dewasa, tapi berpakaian seperti anak-anak. Mengenakan pakaian warna</div><div>cerah dengan motif bunga-bunga. Sepatu mereka pun sepatu anak-anak dengan gambar</div><div>harimau di depan. Tatakan liur pun terikat di pinggang. Sorot mata mereka menggambarkan</div><div>kedewasaan, namun tingkah laku mereka seperti bocah. Orang yang melihat pasti merasa muak,</div><div>ingin muntah.</div><div>Yang paling menarik adalah gelang yang mereka kenakan di tangan dan kaki ada kerincingannya,</div><div>sehingga ribut sekali waktu mereka berjalan.</div><div>Waktu sang kusir melihat empat orang ini, ia langsung berkata, ”Si Ular Hitam tidak dibunuh oleh</div><div>seseorang.”</div><div>Li Xun Huan mendengus, ”Heh?”</div><div>Kata sang kusir, ”Ia terbunuh oleh racun kalajengking.”</div><div>Roman wajah Li Xun Huan berubah. ”Kalau begitu, empat orang ini pastilah murid Si Anak 5</div><div>Racun.”</div><div>‘Anak’ berbaju kuning tertawa. ”Kau menghancurkan orang-orangan salju yang kami buat susahpayah.</div><div>Kau harus membayarnya.” Sambil mengatakan ‘membayarnya’, ia meloncat ke arah Li</div><div>Xun Huan, namun kerincingannya tidak berbunyi.</div><div>Li Xun Huan hanya tersenyum padanya, tidak bergerak sama sekali.</div><div>Tapi Yu Er juga meloncat, menghalangi ‘anak’ berpakaian kuning itu. Menariknya ke samping.</div><div>’Singa Emas’ berdiri tiba-tiba dan tertawa keras. ”Tuan Tan Hua ini kaya raya. Jangankan orangorangan</div><div>salju, orang-orangan emas pun sanggup dibayarnya. Kalian berempat jangan gegabah.</div><div>Aku akan memperkenalkannya pada kalian.”</div><div>‘Anak’ berpakaian merah menambahkan. ”Aku tahu ia juga ahli makan, minum, wanita, dan judi.</div><div>Maka aku selalu berharap ia dapat membantu kami mencari kesenangan.”</div><div>‘Anak’ berpakaian hijau berkata, ”Aku juga tahu dia cukup berpendidikan, bahkan mendapat</div><div>gelar Tan Hua dalam ujian kerajaan. Kudengar ayahnya dan kakeknya pun semua bergelar Tan</div><div>Hua.”</div><div>‘Anak’ berpakaian merah itu terkikik, ”Sayangnya Li kecil yang satu ini tidak ingin jadi pejabat</div><div>pemerintah, malah lebih senang jadi maling.”</div><div>Walaupun yang lain tampak tidak peduli akan apa yang sedang dibicarakan, Ah Fei melongo</div><div>mendengar informasi ini. Tidak disangkanya bahwa sahabat barunya memiliki hidup yang sangat</div><div>menakjubkan.</div><div><br /></div><div>Ia tidak tahu bahwa orang-orang ini hanya memilih cerita yang spektakuler dari kehidupan Li Xun</div><div>Huan. Kisah hidup Li Xun Huan yang lengkap, tak akan selesai dalam waktu tiga hari tiga malam.</div><div>Ah Fei juga tidak melihat bahwa walaupun tersenyum, mata Li Xun Huan menggambarkan</div><div>kepedihan yang mendalam. Seakan-akan hatinya akan terkoyak mendengar orang membicarakan</div><div>masa lalunya.</div><div>Tiba-tiba Yu Er berkata dengan wajah serius, ”Kalian memang tahu banyak tentang Li Tan Hua.</div><div>Tapi pernahkah kalian dengar Pisau Legendaris Si Li Kecil, Tak ada bandingannya di kolong</div><div>langit, sekali lempar, TIDAK PERNAH luput!”</div><div>‘Anak’ berpakaian kuning pun tertawa. ”Sekali pisau itu dilempar, tidak pernah luput. Pantas saja</div><div>kau takut aku mati oleh pisaunya, dan kau tak bisa menjelaskannya pada Tuanku. Itu sebabnya</div><div>kau menghalangiku.”</div><div>Li Xun Huan berkata sambil tersenyum, ”Tapi semua orang boleh tenang. Pisauku yang kedua</div><div>tidak sehebat itu. Dan pisauku yang pertama tak akan mampu membunuh enam orang</div><div>sekaligus.”</div><div>”Jika semua mau menuntut balas untuk Zhu Ge Lei, silakan maju.”</div><div>‘Singa Emas’ tertawa dua kali. ”Zhu Ge Lei tidak pantas hidup. Mengapa harus merepotkan</div><div>saudara Li?”</div><div>Jawab Li Xun Huan, ”Jika tidak ada yang mau menuntut balas, apakah kalian memang datang</div><div>untuk menemaniku minum?”</div><div>Yu Er menjawab dingin, ”Kami hanya ingin barang itu.”</div><div>Li Xun Huan mengernyitkan keningnya. ”Barang?”</div><div>”Ya, barang itu harus dikirim oleh jasa ekspedisi. Kalau tidak, reputasi jasa ekspedisi Singa Emas</div><div>akan hancur.”</div><div>Li Xun Huan menoleh pada mayat Si Ular Hitam. ”Maksudmu barang itu tidak ada padanya?”</div><div>Jawab ‘Singa Emas’, ”Saudara Li memang pandai berkelakar. Dengan adanya Saudara Li di</div><div>tempat itu, bagaiman Si Ular Hitam dapat mengambil barang itu?”</div><div>Li Xun Huan menghela nafas. ”Aku paling benci persoalan dalam hidup. Mengapa persoalan</div><div>selalu berhasil menemukanku?”</div><div>‘Singa Emas’ seolah-olah tidak mendengarnya. Ia terus bicara, ”Saudara Li hanya perlu</div><div>menyerahkan barang itu dan aku akan segera pergi dan akan kuberikan anggur juga pada</div><div>Saudara Li.”</div><div>Li Xun Huan memainkan pisau di tangannya. Tiba-tiba ia tersenyum. ”Kau benar. Barang itu ada</div><div>padaku. Tapi aku tidak tahu apakah aku harus menyerahkannya padamu atau tidak. Beri aku</div><div>waktu untuk berpikir.”</div><div>Yu Er bertanya, ”Berapa lama?”</div><div>Sahut Li Xun Huan, ”Dua jam saja. Setelah dua jam, kita bertemu lagi di sini.”</div><div><br /></div><div>Yu Er tidak ragu-ragu menjawab, ”Jadi!”</div><div>Ia tidak berkata apa-apa lagi sebelum pergi.</div><div>‘Anak’ berbaju kuning itu terkikik. ”Dalam waktu satu jam saja kau sudah bisa menghilang.</div><div>Mengapa perlu dua jam?”</div><div>Kata Yu Er, ”Sejak Li Tan Hua masuk dunia persilatan dan sebelum ia mundur, ia telah</div><div>bertanding lebih dari 300 kali. Tidak pernah sekali pun ia menghindar.”</div><div>Mereka datang dengan cepat dan pergi dengan lebih cepat. Sekejap saja, mereka telah</div><div>menghilang ke dalam hutan.</div><div>Ah Fei memecahkan keheningan, ”Kau tidak mempunyai barang itu.”</div><div>”Betul.”</div><div>”Lalu mengapa kau berbohong?”</div><div>Li Xun Huan tersenyum. ”Walaupun aku tidak mengambilnya, mereka tidak akan percaya.</div><div>Pertarungan tak bisa dielakkan lagi. Lebih baik mengaku saja, daripada berdebat panjang.”</div><div>”Jika pertarungan pasti terjadi, mengapa harus menunda?”</div><div>Jawab Li Xun Huan, ”Kita harus menemukan seseorang dalam dua jam ini.”</div><div>”Siapa?”</div><div>”Orang yang mencuri barang itu.”</div><div>Lalu sambung Li Xun Huan, ”Malam itu, ada tiga orang di meja itu. Dua sudah mati. Kita harus</div><div>menemukan orang yang ketiga.”</div><div>Ah Fei berpikir dalam-dalam. ”Kau maksud orang yang mengenakan mantel warna ungu, dengan</div><div>pecut di pinggangnya, dan bulu di telinganya?”</div><div>Li Xun Huan tersenyum. ”Kau hanya melihatnya sekejap saja, tapi kau bisa mengingat begitu</div><div>detil!”</div><div>”Aku memang melihatnya untuk sekejap. Sekejap saja sudah cukup.”</div><div>”Kau benar. Dialah orangnya. Dari semua orang di rumah makan malam itu, hanya dia seorang</div><div>yang tahu betapa berharganya barang itu. Ia berdiri di samping agar tidak ada orang yang</div><div>memperhatikan. Maka ia punya kesempatan untuk membawanya pergi. Dan karena barang itu</div><div>sangat berharga, ia ingin memilikinya. Tapi ia takut ketahuan, maka dilaporkannya bahwa akulah</div><div>pencurinya.”</div><div>Sambil tersenyum simpul ia lanjutkan. ”Untung bukan baru kali ini aku difitnah.”</div><div>Kata Ah Fei, ”Itulah sebabnya mereka bisa tahu di mana engkau berada.”</div><div>”Betul sekali.”</div><div><br /></div><div>”Tapi supaya ‘Singa Emas’ tidak mencurigainya, ia pasti masih ada di sekitar sini.”</div><div>”Betul lagi.”</div><div>”Oleh sebab itu, pastilah ia bersama-sama dengan orang-orang ‘Singa Emas’. Jadi kita hanya</div><div>perlu menemukan mereka, untuk menemukan pencuri itu!”</div><div>Li Xun Huan menepuk bahunya. ”Kau hanya perlu berkelana di dunia persilatan 3-5 tahun, dan</div><div>semua orang jahat pasti akan sulit hidup. Kuharap waktu kita bertemu lagi, kita masih</div><div>bersahabat.”</div><div>Ia tertawa keras sambil melanjutkan, ”Karena aku sungguh tidak ingin menjadi musuhmu.”</div><div>Ah Fei terdiam memandangnya. Lalu katanya, ”Kau ingin aku pergi sekarang?”</div><div>Kata Li Xun Huan, ”Ini urusanku sendiri. Tak ada sangkut-pautnya dengan kau. Mereka tidak</div><div>mencari engkau? Jadi buat apa kau terus di sini?”</div><div>Ah Fei bertanya lagi, ”Kau tidak ingin aku terlibat persoalan yang ruwet ini? Atau kau hanya tidak</div><div>ingin bepergian denganku?”</div><div>Li Xun Huan memandangnya sedih, walaupun senyum tetap tersungging di bibirnya. ”Di dunia</div><div>ini, tidak ada pesta yang tidak selesai. Akhirnya kita tetap harus berpisah. Mengapa harus kita</div><div>permasalahkan sekarang atau nanti.”</div><div>Wajah Ah Fei menjadi suram. Lalu diambilnya dua cawan anggur dari dalam kereta. ”Mari kita</div><div>bersulang sekali lagi.”</div><div>Li Xun Huan minum cawan itu sekali teguk. Ia ingin tersenyum, tapi malah jadi terbatuk-batuk.</div><div>Ah Fei memandangnya tanpa berkata-kata, lalu dengan cepat berbalik dan pergi.</div><div>Saat itulah, mulai lagi turun salju. Suasana begitu sunyi, sampai terdengar bunyi butiran salju</div><div>menyentuh tanah.</div><div>Li Xun Huan menatap punggung Ah Fei yang menghilang di antara salju dan angin.</div><div>Pandangannya beralih ke tanah yang mulai tertutup salju, pada sepasang jejak yang kesepian.</div><div>Segera dituangnya lagi secawan anggur. Katanya, ”Anak muda. Aku bersulang untukmu sekali</div><div>lagi.”</div><div>”Aku yakin kau tahu, sebenarnya aku tak ingin kau pergi. Hanya saja masa depanmu sangat</div><div>cerah. Bersamaku, hanya kesulitan yang akan kau dapatkan. Aku adalah seseorang yang sudah</div><div>berkawan erat dengan persoalan, kesialan, mara bahaya, dan kesedihan. Aku tak mampu....</div><div>punya kawan lagi.”</div><div>Namun Ah Fei tidak dapat mendengar perkataan ini.</div><div>Sang kusir masih berdiri mematung di situ. Ia tidak berkata-kata, dan walaupun tubuhnya penuh</div><div>salju, ia tidak bergerak.</div><div>Li Xun Huan minum lagi. Lalu berpaling padanya. ”Tunggu aku di sini. Lebih baik kau kuburkan</div><div>tubuh Si Ular. Aku akan kembali dua jam lagi.”</div><div><br /></div><div>Sang kusir menundukkan kepalanya. ”Aku tahu telapak Singa Emas sangat terkenal, tapi itu</div><div>dilebih-lebihkan saja. Kau hanya perlu 40 jurus untuk mengalahkannya.”</div><div>Sahut Li Xun Huan, ”Mungkin tak lebih dari 10 langkah.”</div><div>”Bagaimana dengan Yu Er?”</div><div>”Ilmu meringankan tubuhnya cukup baik, dan ia pun ahli senjata rahasia. Tapi aku rasa, tak akan</div><div>ada kesulitan menghadapinya.”</div><div>Kata sang kusir, ”Kudengar murid-murid Si Anak 5 Racun memiliki kungfu yang sangat aneh. Dari</div><div>yang aku lihat, kungfu mereka memang berbeda dari kebanyakan orang.”</div><div>Li Xun Huan memotong ucapannya dengan tawa. ”Jangan kuatir. Aku tidak takut pada orangorang</div><div>ini. Mereka sama sekali bukan masalah.”</div><div>Sang kusir masih tegang. ”Kau tak perlu berbohong. Aku tahu perjalanan kita kali ini sangat</div><div>berbahaya. Tuan Muda, tak seharusnya engkau membiarkan Tuan Fei pergi.”</div><div>Li Xun Huan menjadi sedikit berang. ”Sejak kapan kau mulai omong kosong?” semburnya.</div><div>Mulut sang kusir langsung terkatup, dan menunduk semakin dalam. Selang beberapa saat,</div><div>diangkatnya wajahnya. Li Xun Huan telah pergi, suara batuknya sayup-sayup terdengar.</div><div>Siapa pun yang mendengar suara batuk yang terus-menerus di tengah padang salju, tak bisa</div><div>tidak merasa iba. Sampai akhirnya, deru angin menutupi suara batuk itu.</div><div>Setetes air mata jatuh di pipi sang kusir. Ia berkata pada dirinya sendiri, ”Tuan Muda, kita hidup</div><div>dengan tentram di perbatasan. Mengapa kau ingin pulang ke tempat yang penuh kesedihan dan</div><div>duka ini? Tak dapatkah kau melupakannya setelah 10 tahun? Masihkah kau ingin berjumpa</div><div>dengannya? Namun setelah kau berjumpa dengannya pun, kau tak ingin berbicara padanya.</div><div>Mengapa kau timpakan penderitaan ini pada dirimu sendiri?”</div><div>Ketika masuk ke dalam hutan, wajah Li Xun Huan yang riang dan cakap tiba-tiba berubah,</div><div>berubah menjadi seorang pemangsa. Telinganya, hidungnya, tiap lajur otot dalam tubuhnya</div><div>menyisir setiap inci hutan, tak meluputkan apa pun juga. Selama 20 tahun ini, belum pernah ada</div><div>seorang pun yang lolos dari kejarannya.</div><div>Walaupun gerakannya gesit seperti seekor kelinci, ia tidak terburu-buru. Seperti penari yang</div><div>hebat, dalam situasi apa pun ia tetap dapat mempertahankan keanggunan dan kemantapannya.</div><div>Sepuluh tahun yang lalu, waktu ia menyerahkan segala miliknya dan pergi ke perbatasan, ia pun</div><div>lewat jalan ini. Waktu itu, bunga musim semi mulai bermekaran.</div><div>Ia ingat, ada warung arak kecil di sekitar sini. Ia selalu mampir ke situ untuk minum. Walaupun</div><div>anggurnya mungkin bukan yang terbaik, pemandangannya tak disangkal lagi. Gunung di sebelah</div><div>sananya, dan air terjun. Waktu itu banyak pelancong. Ia mengawasi pasangan-pasangan</div><div>pelancong itu sambil minum anggurnya yang terasa pahit, secawan demi secawan. Berpikir ia</div><div>akan pergi untuk selamanya. Kenangan ini tak akan pernah dilupakannya.</div><div>Tapi kini, tak disangkanya ia datang kembali. Sepuluh tahun. Pastilah semuanya orang-orang</div><div>baru. Pelayan kecil itu telah menikah. Pasangan yang saling mencintai itu telah tiada. Bahkan</div><div>pohon persik itu, kini terbenam dalam salju.</div><div><br /></div><div>Oh, betapa dirindukannya, bahwa warung kecil itu masih ada.</div><div>Ia berpikir demikian bukan karena kenangan lama, tapi karena ia rasa orang yang dicarinya ada</div><div>di sana.</div><div>Walaupun dunia dalam salju sungguh berbeda dengan dunia angin musim semi, pemandangan</div><div>itu masih menusuk hatinya.</div><div>Uang, kekuasaan, ketenaran, status sosial, itu semua mudah dilepaskan. Namun kenangan</div><div>indah, kenangan yang manis itu. Bagai jerat yang membelenggunya, sehingga ia tidak bisa lepas.</div><div>Tak pernah merasa bebas.</div><div>Li Xun Huan mengambil sebotol anggur dan minum seluruhnya. Ia baru mulai berjalan lagi</div><div>setelah selesai batuk-batuk yang panjang.</div><div>Ia benar-benar menemukan warung kecil itu.</div><div>Ia teringat, di musim semi bunga-bunga liar tak bernama mekar di mana-mana. Ia biasa minum</div><div>anggur di situ sambil menikmati indahnya bunga-bunga liar.</div><div>Kini semua telah berubah.</div><div>Ia melihat sebuah kereta kuda, dan mendengar suara kuda di belakang.</div><div>Li Xun Huan tahu tebakannya benar. Mereka memang ada di sini! Karena dalam cuaca seperti ini,</div><div>di daerah seperti ini, tak mungkin ada tamu lain.</div><div>Ia mempercepat langkahnya, menjadi lebih waspada, dan memicingkan telinga sejenak. Tak ada</div><div>suara apa pun dari dalam warung. Segera ia melesat ke arah warung itu.</div><div>Waktu ia sudah sangat dekat, ia tak dapat percaya. Selain suara kuda dari belakang, tak ada</div><div>suara lain.</div><div>Li Xun Huan menuju ke arah pintu dan lantai kayu menderik. Ia terkejut dan mundur selangkah.</div><div>Tetap sunyi senyap.</div><div>Li Xun Huan mengindap-indap ke belakang, berpikir, ”Mungkin mereka tidak di sini.”</div><div>Namun kemudian terlihat olehnya ‘Singa Emas’, yang sedang menatapnya lekat-lekat. Tidak</div><div>bergerak, seperti patung.</div><div>Li Xun Huan menghela nafas. ”Sungguh tak kusangka.”</div><div>Hanya tiga kata itu yang terucap.</div><div>Karena kemudian ia menyadari bahwa ‘Singa Emas’ tak akan pernah lagi mendengar suara apa</div><div>pun.</div><div><br /></div><div>BERSAMBUNG...</div></span></b></div></span></span>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-59300185584948403212011-07-13T01:48:00.000-07:002011-07-13T02:05:30.716-07:00PISAU TERBANG LI VS PEDANG KILAT<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-slMS0-a5KFDO9dTaeEtDrGKfbf0z2eJZ3qFzluA4f2DDMzBSv_JzHGAnmS3rqQBeBcUP5SYuGJWPT1hda2cV7wepLtS4WPD6D1Ry4jeSGmty6JGyBul9lhwPd6ntMMeyepAlWMqiTA/s1600/pisau-terbang-li1.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 90px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-slMS0-a5KFDO9dTaeEtDrGKfbf0z2eJZ3qFzluA4f2DDMzBSv_JzHGAnmS3rqQBeBcUP5SYuGJWPT1hda2cV7wepLtS4WPD6D1Ry4jeSGmty6JGyBul9lhwPd6ntMMeyepAlWMqiTA/s320/pisau-terbang-li1.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5628759953734604338" /></a><div><div><b><span class="Apple-style-span" >SERIAL PISAU TERBANG LI (Xiao Li Fei Dao)</span></b></div><div><b><span class="Apple-style-span" >By Gu Long</span></b></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); "><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">Angin dingin laksana pisau, menggunakan bumi sebagai alasnya, dan mengiris manusia seperti</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >daging ikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Badai salju memanjang berribu-ribu mil, membuat segala sesuatu seakan-akan berkilauan bagai </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">perak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam badai musim dingin ini, sebuah kereta datang dari arah utara. Roda-rodanya memecahkan </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">es di tanah, tapi tidak sanggup memecahkan kesepian di muka bumi ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menguap, memanjangkan kakinya. Di dalam kereta cukuplah nyaman, tapi</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >perjalanan ini sungguh terlalu panjang, dan terlalu sepi. Ia tidak hanya merasa sangat lelah, tapi</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >juga kesal. Ia merasa kesepian adalah hal yang paling menyebalkan dalam hidupnya, namun</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >sayangnya kesepianlah yang begitu sering menemaninya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hidup seseorang memang penuh kontradiksi. Dan tidak seorang pun bisa berbuat apa-apa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menghela nafas dan mengambil botol anggurnya. Sambil minum anggur, ia mulai</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >batuk-batuk. Ia terus terbatuk-batuk sampai wajahnya memucat, seolah-olah api neraka sedang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >membakar tubuh dan jiwanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kini botol anggurnya sudah kosong. Ia meraih pisau kecilnya dan mulai mengukir sebentuk</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >manusia pada sepotong kayu. Pisaunya tipis dan tajam, jari-jarinya panjang dan kuat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Figur yang diukirnya adalah seorang wanita. Wanita yang sangat cantik dan hangat. Dengan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kepiawaiannya mengukir, figur wanita itu tampak sungguh-sungguh hidup.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia tidak hanya memberi wajah yang memikat, ia juga memberi figur wanita itu hidup dan jiwa,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >karena hidup dan jiwanya sendiri telah tertuang seutuhnya di ujung pisau kecil itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Usianya tidak lagi muda.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kerut-kerut kecil tampak di sekitar matanya. Tiap kerutan menyimpan semua kegembiraan dan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kesedihan dalam hidupnya. Matanya sajalah yang tetap muda belia.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia memiliki sepasang mata yang menarik, bersemu hijau, seperti angin musim semi bertiup</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >menggoyangkan daun pinus, hangat dan lentur. Seperti air laut yang bermandikan sinar mentari, </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">penuh vitalitas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mungkin karena sepasang matanya inilah, ia bisa hidup hingga hari ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya, ukirannya pun selesai. Ia menatap figur itu sambil termenung. Entah berapa lama. Lalu </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">tiba-tiba didorongnya pintu kereta dan meloncat keluar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sang kusir langsung menarik tali kekang kuda.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kusir ini memiliki sepasang mata yang tajam bagai elang, namun sewaktu menatap pada Li Xun</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Huan, tatapannya berubah hangat, penuh simpati dan kesetiaan. Seperti seekor anjing menatap</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tuannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menggali lubang di tanah untuk mengubur hasil ukirannya. Lalu ia termenung sambil</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >menatap gundukan salju, tempat ia menguburkan figur wanita itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jari-jarinya dingin membeku, wajahnya merah karena dingin yang menusuk, dan butiran-butiran</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >salju menutupi sekujur tubuhnya. Tapi ia tidak merasa dingin. Benda yang ia kuburkan seakanakan </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">adalah orang yang terpenting dalam hidupnya. Bersamaan dengan dikuburnya “wanita” itu, </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">hidupnya pun menjadi penuh dengan kehampaan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang lain akan merasa janggal melihat ini, namun sang kusir telah terbiasa. Ia hanya berkata,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >„Sudah hampir gelap dan perjalanan masih jauh. Mari naik ke atas kereta, Tuan Muda.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menoleh, dan melihat di atas salju di sebelah keretanya tampak sepasang jejak kaki.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sendirian berjalan, datang dari arah utara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jejak kaki itu cukup dalam, menandakan bahwa orang itu telah berjalan jauh, sangat lelah,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >namun menolak untuk beristirahat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menarik nafas panjang dan berkata, „Sulit dipercaya, seseorang mau bepergian</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dalam cuaca semacam ini. Kurasa ia pasti seseorang yang sangat kesepian, yang sangat</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >menderita.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sang kusir tidak menjawabnya, hanya mengeluh dalam hati, „Bukankah kau juga sangat</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kesepian dan menderita? Mengapa kau hanya bisa bersimpati akan keadaan orang lain, tapi</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >melupakan dirimu sendiri?“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ada banyak batang pohon pinus di bawah kursi keretanya, dan Li Xun Huan pun mulai mengukir</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >lagi. Tekniknya telah sempurna dengan begitu banyak latihan, karena yang pernah dan yang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >akan pernah diukirnya hanyalah wanita itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wanita ini tidak hanya mengisi relung-relung hatinya, tapi juga seluruh tubuhnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Badai salju akhirnya berhenti, tapi rasa dingin makin menusuk dan rasa sepi makin tebal. Suara</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >angin yang menderu membawa juga suara langkah-langkah kaki.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Walaupun suara ini lebih halus daripada derap langkah kuda, suara inilah yang dinanti-nantikan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan. Jadi walaupun sangat halus, suara ini tak akan luput dari pendengarannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Disingkapnya tirai kereta, dan terlihatlah bayangan seseorang berjalan di depan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang ini berjalan perlahan-lahan, tapi tidak pernah berhenti. Walaupun ia mendengar derap</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >langkah kuda, ia tidak menoleh sama sekali. Ia tidak memakai topi ataupun payung. Salju yang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mencair turun dari wajah ke lehernya. Pakaiannya pun hanya selembar baju yang tipis.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun kepalanya tegak, seakan-akan ia terbuat dari baja. Salju, hawa dingin, rasa lelah, lapar,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tidak dapat menaklukkannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidak ada satu hal pun yang dapat menaklukkannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sewaktu kereta melewatinya, barulah Li Xun Huan melihat wajahnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Alisnya tebal, matanya besar, bibirnya yang tipis terkatup rapat membentuk garis, hidungnya</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >lurus, membuat wajahnya tampak lebih kurus.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajah ini mengingatkan orang pada batu dalam pot bunga. Kuat, kokoh, dingin, seakan-akan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tidak ada hal yang cukup berarti baginya, bahkan dirinya sendiri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun bagi Li Xun Huan, wajah ini adalah wajah yang paling gagah yang pernah dilihatnya</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >seumur hidup. Walaupun agak sedikit muda, sedikit kurang dewasa, wajah ini memiliki</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kepribadian yang magnetis.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam mata Li Xun Huan terbayang sebentuk senyum. Ia membuka pintu keretanya dan berkata,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Mari masuk. Aku bisa memberimu tumpangan.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kata-katanya pendek dan singkat, penuh tenaga. Dalam hamparan salju tidak berujung ini, tak</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >seorang pun akan menolak ajakannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa sangka anak muda ini bahkan tak mau menoleh padanya! Ia bahkan tidak memperlambat</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >langkahnya, seakan-akan tidak mendengar orang berbicara padanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanya Li Xun Huan, “Apakah kau tuli?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangan anak muda itu tiba-tiba menyentuh pedang di pingganggnya. Walaupun jari-jarinya telah</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >membeku, gerakannya tetap cepat dan tangkas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tertawa, katanya, “Kurasa kau tidak tuli. Masuklah, dan mari minum. Seteguk</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >anggur tak akan menyakiti siapa pun.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu menjawab cepat, “Aku tidak sanggup beli.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bisa-bisanya anak muda ini bicara demikian! Bahkan kerut-kerut di sudut mata Li Xun Huan pun</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >ingin tersenyum, tapi ia sendiri malah tidak tersenyum. Sebaliknya ia berkata, “Aku</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mengundangmu minum bersamaku, bukan menjual anggur padamu.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu menjawab, “Aku tidak akan mengambil barang yang tidak kubeli dengan uangku</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >sendiri. Jika anggur itu tidak kubeli dengan uangku, aku tak akan meminumnya. Apakah</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >penjelasanku cukup jelas?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kata Li Xun Huan, “Cukup jelas.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dan anak muda itu berkata, “Bagus. Kau bisa pergi sekarang.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan berpikir sejenak, tiba-tiba ia berkata sambil tersenyum, “Baiklah. Aku pergi</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >sekarang, tapi waktu kau sudah punya uang untuk membeli anggur, maukah kau mengundangku</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >minum?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu menatapnya, lalu berkata, “Baik, aku akan mengundangmu.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tertawa dan keretanya mulai melaju, sampai ia tidak dapat lagi melihat anak muda</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >itu. Li Xun Huan bertanya dengan geli, “Pernahkah kau bertemu anak seaneh itu? Aku pikir ia</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >adalah seorang yang bijaksana, nyatanya kata-katanya sangat lugu, sangat jujur.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jawab sang kusir, “Ia adalah anak yang berkemauan kuat, itu saja.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan bertanya lagi, “Kau lihatkah pedang di pinggangnya?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Senyum simpul terbayang di bibir sang kusir. “Dapatkah itu dikatakan sebagai pedang?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam definisi baku, tentulah benda itu tidak dapat dianggap pedang, cuma sebilah logam yang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >panjangnya satu meter. Tidak ada ujung yang lancip, tidak ada sarung, hanya ada dua potong</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kayu yang dipakukan pada pangkal bilah logam itu, yang mungkin bisa dianggap sebagai</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >pegangannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sang kusir melanjutkan, “Menurut aku, itu hanya mainan anak-anak belaka.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kali ini Li Xun Huan tidak tersenyum, ia bahkan menghela nafas dan berkata, “Menurut aku,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mainan itu sangatlah berbahaya. Lebih baik tidak dimainkan.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Penginapan di kota kecil ini tidak besar, namun penuh sesak dengan orang-orang yang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >terperangkap badai salju.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di halaman ada banyak kereta kosong milik jasa ekspedisi. Di sebelah timur tampak umbulumbul</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >milik jasa ekspedisi tersebut, yang berkibar keras sejalan dengan deru angin. Tak bisa</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dibedakan lagi apakah gambar yang tertera pada umbul-umbul itu harimau ataukah singa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di rumah makan penginapan itu, seorang bertubuh besar dengan mantel bulu domba berjalan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >keluar masuk. Setelah minum beberapa kali, ia buka mantelnya, menunjukkan pada orang-orang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >bahwa ia tahan hawa dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu Li Xun Huan tiba, tidak ada lagi meja kosong. Tapi ia tidak kuatir sama sekali, karena ia</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tahu bahwa tidak banyak barang di dunia ini yang tidak dapat dibeli dengan uang. Oleh sebab</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >itu, sebentar saja ia sudah mendapatkan meja di sudut rumah makan. Ia segera memesan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >anggur dan mulai minum perlahan-lahan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia tidak pernah minum dengan cepat, tapi ia sanggup minum terus-menerus untuk beberapa hari</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tanpa berhenti. Ia terus minum, terus terbatuk-batuk, dan hari pun mulai senja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sang kusir masuk, berdiri di belakangnya dan berkata, “Kamar di sebelah selatan sudah kosong,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dan mereka telah membersihkannya. Tuan dapat beristirahat kapan saja.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan hanya mengangguk. Setelah beberapa saat, sang kusir menambahkan, “Ada</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >beberapa orang dari jasa ekspedisi Singa Emas. Tampaknya mereka sedang mengirim barang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dari perbatasan.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanya Li Xun Huan, “O ya? Siapakah kepala rombongannya?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jawab sang kusir, “Zhu Ge Lei, si Pedang Angin Kejut.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menaikkan alisnya, dan berkata dengan tertawa, „Orang ini bisa hidup sampai</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >sekarang? Hebat betul.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Walaupun ia sedang berbicara tentang orang di belakangnya, matanya terus menatap ke depan,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >seakan-akan sedang menantikan seseorang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sang kusir berkata, „Anak itu tidak berjalan cepat. Mungkin Anda harus menunggu</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kedatangannya sampai tengah malam.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tertawa, katanya, “Aku rasa ia tidak berjalan lambat, tapi ia ingin menghemat</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tenaganya. Pernahkah kau melihat seekor serigala berjalan dalam padang salju? Jikalau tidak ada</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mangsa di depan dan musuh di belakang, pastilah ia tidak akan berjalan cepat. Karena</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >menghabiskan tenaga dalam perjalanan adalah suatu pemborosan.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sang kusir tertawa juga, dan berkata, “Tapi anak itu kan bukan serigala.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tidak menjawab, karena saat ini ia mulai batuk-batuk lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kemudian dilihatnya tiga orang masuk dari pintu belakang, sambil berbicara keras-keras</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mengenai kisah-kisah dalam dunia persilatan. Seakan-akan mereka takut orang-orang tidak tahu</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >bahwa mereka adalah orang-orang penting dalam jasa ekspedisi Singa Emas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan mengenali orang gendut berwajah merah itu adalah Si Pedang Angin Kejut, tapi ia</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tidak ingin orang itu mengenalinya, sehingga ditundukkannya kepalanya untuk mengukir figur</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kayu lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untunglah Zhu Ge Lei tidak pernah menanggap penting orang-orang di kota kecil. Mereka segera</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >memesan makanan dan anggur, dan langsung mulai makan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sialnya, makanan dan minuman tidak menutup mulut mereka. Setelah minum beberapa kali, Zhu</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ge Lei menjadi makin sombong dan tertawa keras-keras. „Nomor Dua, ingatkah kau saat di kaki</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >gunung Tai Xing waktu kita bertemu ‚Empat Harimau Tai Xing’?“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang yang ditanya itu tersenyum. „Bagaimana aku bisa lupa? Waktu itu ‚Empat Harimau Tai</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Xing’ berani-beraninya mengambil barang kiriman, bahkan berkata ‚Zhu Ge Lei, kalau kau</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >merangkak, kami bebaskan kau. Kalau tidak, kami akan ambil bukan saja barang-barang kiriman,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tapi kepalamu juga sekalian.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang yang ketiga pun tertawa keras-keras. „Siapa sangka belum habis mereka mengayunkan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >golok, kakak tertua telah habis memenggal kepala mereka.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang yang kedua berkata, „Bukannya mau sombong. Kalau soal kekuatan telapak tangan, yang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >paling hebat adalah ketua jasa ekspedisi kami, ‚Si Telapak Singa Emas’. Tapi kalau soal keahlian</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >pedang, tak ada yang mengalahkan kakak tertua kami ini.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Zhu Ge Lei terbahak-bahak sambil mengangkat cawannya, namun tiba-tiba terdiam, sewaktu</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >penutup barang di sampingnya tiba-tiba tertiup angin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dua bayangan manusia muncul.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kedua orang ini mengenakan jubah merah darah dan topeng aneh yang biasa dipakai orangorang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >di luar perbatasan. Kedua orang ini tampaknya memiliki bentuk tubuh yang sama, dan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tinggi badan yang sama pula.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang awam mungkin tidak melihat muka mereka, tapi dari kelihaian kung fu dan pakaian</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mereka, secara tidak sadar pandangan mereka terarah pada kedua orang ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hanya mata Li Xun Huan yang tetap menatap pintu, karena sewaktu angin mulai menghempas</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >pintu itu lagi, ia melihat anak muda itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu berdiri tegak di luar pintu, dan sepertinya ia sudah ada di sana sejak lama. Seperti</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >seekor binatang buas. Walaupun ia ingin sekali merasakan kehangatan dalam penginapan dan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tidak ingin pergi, ia takut untuk masuk ke dalam dunia manusia.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan kembali menghela nafas, dan barulah sekarang ia mengalihkan perhatiannya pada</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kedua orang itu. Mereka telah menanggalkan topeng, memperlihatkan wajah mereka yang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >buruk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Telinga mereka kecil, hidung mereka besar, mungkin menutupi sepertiga wajah, membuat mata</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dan telinga mereka seolah-olah terpisah sangat jauh.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namum mata mereka menunjukkan kejahatan, seperti mata ular.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lalu mereka pun menanggalkan jubah mereka, dan terlihatlah baju mereka yang hitam. Tubuh</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mereka pun mirip ular, kurus panjang, dan dapat menyerang kapan saja. Membuat orang-orang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >merasa takut, dan juga jijik melihat mereka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kedua orang ini sangat mirip, hanya saja yang satu wajahnya putih, dan yang lain wajahnya</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >hitam. Gerakan mereka sangat lambat, membuka jubah, melipatnya, dan berjalan perlahan ke</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >arah meja. Kemudian mereka berjalan lewat depan Zhu Ge Lei.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Suasana di rumah makan sangat hening, sampai-sampai suara Li Xun Huan mengukir pun dapat </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">terdengar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Zhu Ge Lei, berpura-pura tidak melihat kedua orang ini, namun gagal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kedua orang ini pun menatapnya. Mata mereka bagaikan kuas, yang menyapu Zhu Ge Lei dari</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >atas sampai ke bawah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Zhu Ge Lei hanya dapat berdiri dan bertanya, “Bolehkah saya bertanya nama dari Tuan-Tuan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >yang terhormat? Maafkan kalau saya tidak mengenali.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang berwajah putih itu tiba-tiba berkata, “Jadi kaulah Si Pedang Angin Kejut Zhu Ge Lei?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Suaranya tajam dan berdesis, seperti suara ular. Nyawa Zhu Ge Lei seakan terbang mendengar</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >suara ini. “Y...ya.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang berwajah hitam pun tertawa dingin. “Pantaskah kau disebut Si Pedang Angin Kejut?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangannya bergetar. Sebilah pedang tipis panjang tiba-tiba muncul di tangannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pedangnya diarahkan pada Zhu Ge Lei, dan katanya, “Tinggalkan apa yang kau bawa, dan aku</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >akan mengampuni nyawamu.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang kedua yang duduk di situ berdiri tiba-tiba. Dengan tersenyum ia berkata, “Tuan-tuan pasti</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >salah sangka. Dalam ekspedisi ini, barang-barang kami antar ke perbatasan, bukan sebaliknya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kereta-kereta kami sudah kosong.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebelum ia dapat menyelesaikan kalimatnya, pedang orang berwajah hitam itu sudah melubangi</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >batang lehernya. Dengan sentakan ringan, kepalanya copot dan berguling jatuh.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Semua orang terbelalak. Kaki mereka menggigil di bawah meja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Zhu Ge Lei bisa hidup sampai hari itu, pastilah karena ia memiliki keahlian. Ia mengambil barang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dari kepitan tangannya, dan diletakkannya di atas meja. “Informasi kalian betul sekali. Kami</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >memang membawa sesuatu dari perbatasan. Tapi sayangnya, kalian berdua tidak punya cukup</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >keahlian untuk mengambilnya.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang berwajah hitam itu tergelak. “Apa yang akan kau lakukan?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jawab Zhu Ge Lei, „Tuan-tuan sepantasnya meninggalkan jejak keahlian silat Anda di sini,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >supaya waktu saya pulang, saya dapat memberikan alasan.“ Sambil berbicara, ia mundur tujuh</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >langkah. Pedang telah terhunus. Semua orang tahu ia akan bertarung sampai mati.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak disangka-sangka ia malah menjungkirbalikkan meja di sampingnya. Mangkok di meja itu</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >penuh dengan bakso udang yang langsung melayang ke udara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terdengar bunyi ‚si si’ dari pedangnya, dan terlihat cahaya terang pedang itu berkelebat. Lebih</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dari sepuluh bakso udang telah terbelah menjadi dua.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kata Zhu Ge Lei, „Kalau Anda bisa membuat hal yang sama, saya akan segera memberikan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >barang ini pada Anda. Jika tidak, silakan berlalu.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ilmu pedangnya cukup tinggi, dan kata-katanya pun cukup indah, tapi Li Xun Huan tertawa</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >diam-diam. Dengan cara ini, musuh-musuhnya hanya akan menebas bakso udang, bukan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kepalanya. Menang atau kalah, ia akan tetap hidup.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang berwajah hitam itu tertawa. „Ini adalah keahlian juru masak. Kau pikir ini adalah ilmu</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >silat?“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sambil berbicara, ia menarik nafas panjang dan membuat potongan bakso udang di lantai</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mendal kembali ke udara. Lalu, hanya dengan selarik sinar hitam, seluruh potongan bakso udang </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">itu tiba-tiba lenyap. Ternyata, semuanya tertusuk oleh pedangnya. Bahkan orang yang tidak tahu </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">silat pun tahu bahwa mengiris bakso udang di udara sangatlah sulit, namun lebih sulit lagi untuk </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">mengumpulkannya dengan satu tusukan pedang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajah Zhu Ge Lei pucat pasi melihat ilmu pedang orang itu, dan undur lagi beberapa langkah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Katanya, „Saya rasa Tuan-Tuan adalah ‚Ular Kembar Bernoda Darah’?“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu mendengar ini, orang ketiga yang masih duduk di meja gemetar ketakutan dan berusaha</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >merangkak pergi diam-diam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bahkan sang kusir di samping Li Xun Huan pun mengangkat alisnya, karena ia tahu bahwa</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >beberapa tahun belakangan ini, sedikit sekali perampok di daerah sungai kuning yang dapat</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >menandingi kedua orang ini. Baik dari segi keahlian, maupun kekejian. Kabarnya, jubah merah</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mereka adalah noda darah korban-korban mereka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun sebenarnya ia pun tidak tahu banyak. Karena orang-orang yang mengetahui apa yang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >sebenarnya telah dilakukan oleh ‚Ular Kembar Bernoda Darah’, 9 dari 10 telah kehilangan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kepalanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Hitam tertawa dan berkata, „Ternyata bisa juga kau mengenali kami. Setidaknya matamu</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tidak buta.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Zhu Ge Lei menggeretakkan giginya dan berkata, „Karena Anda berdua menginginkan barang ini,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >saya rasa saya tidak bisa berbuat apa-apa. Ambil saja dan pergilah.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih lalu berkata, „Kalau kau mau merangkak di lantai, akan kubiarkan kau hidup. Kalau</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tidak, kau bukan hanya harus meninggalkan barangmu, tapi juga kepalamu.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ini tidak lain adalah kata-kata Zhu Ge Lei sendiri sewaktu ia sedang menyombongkan diri. Kali</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >ini, kata-kata itu diucapkan Si Ular Putih, dan tiap kata terasa mengiris kulitnya seperti pisau.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajah Zhu Ge Lei berubah hijau, lalu menjadi pucat. Tiba-tiba tubuhnya jatuh ke tanah, dan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >merangkak mengelilingi meja sekali.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di saat inilah Li Xun Huan menghela nafas dalam-dalam, berkata pada dirinya sendiri, „Aku</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >melihat kepribadian orang ini telah berubah. Tidak heran ia bisa hidup begini lama.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Walaupun ia berbicara dengan lirih, kedua Ular Kembar dapat mendengarnya dan berpaling.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetapi Li Xun Huan seakan-akan tidak menyadarinya, dan terus berkonsentrasi pada ukirannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih tertawa, „Sepertinya di sini ada jago kungfu kelas satu. Sayang aku dan saudaraku</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tidak melihatnya.“ Si Ular Hitam berkata, „Barang ini diberikan kepada kami dengan sukarela.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau ada orang yang pedangnya lebih cepat daripada kita, kita pun akan secara sukarela</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >memberikan barang ini kepadanya.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangan Si Ular Putih bergetar dan sebuah pedang lain muncul. Kali ini warnanya putih. Katanya,</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >„Jika ada orang yang pedangnya lebih cepat daripada kami, kami akan menyerahkan barang ini</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dan juga kepala kami kepadanya.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mata mereka mengarah pada Li Xun Huan saat berbicara. Namun Li Xun Huan tetap</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >berkonsentrasi pada ukirannya. Seakan-akan tidak mendengar apa-apa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seseorang di luar tiba-tiba berteriak, “Berapa harga kepalamu?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu mendengar ini, Li Xun Huan terkejut, tapi juga gembira. Diangkatnya kepalanya, dan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >akhirnya terlihat olehnya anak muda itu masuk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bajunya belum kering betul. Di beberapa tempat bahkan tampak membeku. Namun ia berdiri</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tegak sepert tombak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Matanya juga masih terlihat kesepian, terlihat keras.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Matanya mengandung suatu kebuasan yang tidak dapat dijinakkan. Dapat bertempur kapan saja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Membuat sulit bagi orang untuk dekat padanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perhatian semua orang terarah pada pedang di pinggangnya. Waktu melihat pedang ini, Si Ular</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Putih tertawa geli, “Apakah kau yang bertanya?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu menjawab, “Ya.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih bertanya, “Kau hendak membeli kepalaku?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jawab si anak muda, “Aku hanya ingin tahu harganya, karena aku ingin menjualnya kepadamu.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih berusaha tenang dan bertanya lagi, “Menjual kepalaku kepadaku?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu berkata, “Betul sekali. Karena aku tidak berminat akan barang itu dan juga akan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >kepalamu.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih pun berkata, „Sepertinya kau hanya ingin menantangku.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >„Ya.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih menatap anak muda itu lekat-lekat, lalu memandang ke arah pedangnya, dan tibatiba</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini ia melihat hal selucu ini dalam hidupnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu hanya berdiri diam-diam, ia tidak mengerti apa yang sedang ditertawakan orang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rasanya tidak ada satupun yang lucu yang ia katakan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sang kusir juga menghela nafas. Anak ini sudah gila, pikirnya. Zhu Ge Lei pun berpikir anak</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >muda ini sudah hilang akal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba terdengar Si Ular Putih berkata, “1000 tail emas pun belum dapat membeli kepalaku.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jawab si anak muda, “1000 tail emas terlalu banyak. Aku hanya perlu 50 tail.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih berhenti tertawa, karena ia sadar anak muda ini tidak gila, dan tidak juga bercanda.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi kemudian ia melihat pedang itu lagi, dan kembali tergelak-gelak. “Baiklah, jika kau mau</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mengikuti perintahku, kuberi kau 50 tail.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sambil terus tertawa, ia tiba-tiba mengebaskan pedangnya ke arah lilin di atas meja. Tak ada</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >sesuatu pun yang terjadi. Semua orang tercekat, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Si Ular</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Putih pun meniup lilin itu perlahan, dan pecahlah lilin itu menjadi tujuh bagian. Pedangnya</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dikebaskan lagi dan lagi dan lagi. Ketujuh bagian itu terkumpul di pedangnya. Ajaibnya, api di</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >bagian yang teratas masih terus menyala!</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih berkata dengan sombongnya, “Pedangku cepat tidak?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajah anak muda itu tidak bergeming, jawabnya, “Sangat cepat.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih tertawa, “Bagaimana dengan kau?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jawab si anak muda, “Pedangku bukan untuk memotong lilin.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Lalu untuk apakah besi tua itu?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangan anak muda itu memegang pedangnya, dan berkata sekata demi sekata, “Pedangku-</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Adalah-Untuk-Membunuh-Orang.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih tersenyum. “Membunuh orang? Siapakah yang bisa kau bunuh?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kata anak muda itu, “KAU!”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bersamaan dengan kata ‘kau’ diucapkannya, ditusukkan pula pedangnya!</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pedang itu berasal dari pinggangnya. Semua orang juga melihatnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun hanya dalam sekejap, pedang itu telah menusuk leher Si Ular Putih. Semua orang juga</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >melihat bahwa pedang satu meter ini telah menembus tenggorokan Si Ular Putih!</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidak ada darah, sebab darah belum sempat keluar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); "><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">Anak muda itu menatap Si Ular Putih dan berkata, „Jadi pedangmu, atau pedangkukah yang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >lebih cepat?“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Putih hanya bersuara ‚ge ge’. Otot-otot wajahnya gemetar. Tiba-tiba mulutnya terbuka</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dan lidahnya terjulur ke luar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Darah keluar dari mulutnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Hitam mengangkat pedangnya, tapi tidak berani bertindak. Butir-butir keringat bergulir</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dari dahinya. Tangannya gemetar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu lalu menarik pedangnya dan darah pun mengalir dari tenggorokan Si Ular Putih.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia berteriak keras, “Kau...”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lalu ia jatuh ke lantai.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu menoleh ke arah Si Ular Hitam, “Ia sudah kalah. Mana 50 tailku?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mukanya sangat serius. Serius seperti seorang anak yang lugu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun kali ini tidak ada seorang pun yang berani menertawakannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan gemetaran, Si Ular Hitam bertanya, „Jadi kau benar-benar membunuhnya untuk 50 tail</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >perak?“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >„Betul sekali.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si Ular Hitam tidak tahu apakah ia seharusnya tertawa atau menangis. Tiba-tiba direnggutnya</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >rambutnya dan disobek-sobeknya bajunya, sehingga uang perak berhamburan. Dilemparkannya</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >seluruh uang perak itu ke arah anak muda itu. “Ini, ambillah. Ambil semuanya!”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lalu ia berlari keluar seperti orang kesurupan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu tidak mengejarnya. Ia bahkan tidak marah. Sebaliknya, ia berjongkok memunguti</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >uang perak. Dibawanya uang perak itu kepada pemilik penginapan, dan bertanya, “Kau pikir ini</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >ada 50 tail?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemilik penginapan sudah merangkak ke bawah meja. Tak sanggup berkata-kata. Hanya</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mengangguk-anggukkan kepalanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan menoleh pada sang kusir, dan tertawa, “Aku benar, kan?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sang kusir menghela nafas. „Kau sangat tepat. Mainan itu sangat berbahaya.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia melihat anak muda itu berjalan ke arah mereka, namun ia tidak bisa melihat Zhu Ge Lei. Zhu</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ge Lei masih ada di kolong meja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Baru saat inilah ia berani muncul, dan ia membokong anak muda itu!</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pedangnya tidak lambat. Anak muda itu pun tidak menyangka Zhu Ge Lei akan membunuhnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia sudah membunuh Si Ular Putih. Seharusnya Zhu Ge Lei berterima kasih kepadanya. Mengapa </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">mau membunuhnya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika semua orang berpikir pedangnya akan menembus jantung si anak muda, Zhu Ge Lei tibatiba </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">berteriak keras. Pedangnya mencelat dan tertancap di langit-langit.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pedangnya masih berayun-ayun di langit-langit, sementara tangan Zhu Ge Lei kini memegang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >tenggorokannya. Matanya terarah pada Li Xun Huan, dan bola matanya hampir melompat keluar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan tidak lagi mengukir, sebab pisau yang digunakannya untuk mengukir tidak ada lagi </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">di tangannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Darah mengalir ke punggung Zhu Ge Lei.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia menatap Li Xun Huan, dan dari tenggorokannya keluar suara ‚ge ge’. Saat itulah orang-orang</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >sadar bahwa pisau ukir Li Xun Huan telah berada di tenggorokan Zhu Ge Lei.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hanya saja, tidak seorang pun melihat bagaimana pisau ini berpindah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Keringat membasahi wajah Zhu Ge Lei yang kesakitan. Tiba-tiba dikatupkannya mulutnya dan</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >dicabutnya pisau itu dari lehernya. Ia memandang Li Xun Huan sambil berteriak, „Seharusnya</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >sudah kukenali engkau!“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Li Xun Huan mengeluh. „Sayangnya, baru sekarang kau menyadarinya. Kalau kau tahu, kau tidak </span><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 153); ">akan mencoba melakukan hal yang memalukan itu.“</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Zhu Ge Lei tidak mendengar kata-kata ini. Ia tidak akan pernah mendengar apa-apa lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anak muda itu pun menoleh, wajahnya terkejut. Ia tidak mengerti mengapa orang ini ingin</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >membunuhnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi hanya sebentar ia memandang, lalu berjalan kembali ke arah Li Xun Huan. Di balik</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >penampilannya yang liar dan tidak beraturan, tersembunyi secercah kehangatan dan senyuman.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia berkata singkat, “Aku ingin mengundangmu minum.”</span></div></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >BERSAMBUNG....</span></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-13397690717169194962011-07-13T01:24:00.001-07:002011-07-13T01:35:21.784-07:00PERKAMPUNGAN HANTU<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdg0ls4BwWTNhL6CYjfGqJAUrZMzy81y6y2ekjZIuYI_SsaBbVUmqk8_KCs07FQpGWdu0vSH76Gl5s99MvlHzX_HX0KiyjfBrbOKRymGdiCPDcgCOa6zg-YmXrg1OktxCBYKL_z4X0UQ/s1600/Perkampungan+Hantu.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 143px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdg0ls4BwWTNhL6CYjfGqJAUrZMzy81y6y2ekjZIuYI_SsaBbVUmqk8_KCs07FQpGWdu0vSH76Gl5s99MvlHzX_HX0KiyjfBrbOKRymGdiCPDcgCOa6zg-YmXrg1OktxCBYKL_z4X0UQ/s320/Perkampungan+Hantu.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5628752248049898802" border="0" /></a><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">SERIAL PENDEKAR 4 ALIS</span></span><br /><div style="text-align: left; color: rgb(0, 0, 153);"><br />Sepotong tembaga penindih kertas yang mengkilat terletak di atas<br />meja, di bawahnya tertindih 12 helai kartu putih. Di sekeliling meja<br />yang berbentuk antik itu berduduk tujuh orang. Tujuh tokoh yang<br />namanya mengguncangkan dunia Kangouw.<br />Mereka adalah Koh-siong Kisu, Bok-tojin, Koh-kua Hwesio, Tongjisiansing,<br />Siau-siang-kiam-khek, Sukong Ti-seng, dan Hoa Ban-lau,<br />Pribadi ketujuh orang ini sangat aneh, asal-usul mereka juga berbeda,<br />ada Hwesio, ada Tosu, pertapa dan bandit yang selalu be¬kerja<br />sendiran, ada jago pengawal istana, ada anak murid perguruan<br />ternama yang suka berkelana, juga ada pendekar angkatan tua yang<br />suka menggerayangi saku orang.<br />Mereka berkumpul di sini lantaran mereka ada satu persa¬maan. Yaitu<br />mereka adalah sahabat Liok Siau-hong.<br />Malahan sekarang mereka juga mempunyai satu persamaan lagi, yaitu<br />sikap mereka sangat khidmat, perasaan tertekan. Lebih-lebih Bok-tojin.<br />Setiap orang sama memandangnya dan menunggunya bicara.<br />Bok-tojin yang mengumpulkan keenam orang lain itu, hal ini tidaklah<br />mudah, dengan sendirinya karena ada alasan yang sangat penting.<br />Di atas meja ada arak, tapi tidak ada yang mengangkat cawan, juga ada santapan, namun juga tidak ada orang<br />menjamahnya.<br />Angin meniup sejuk membawa bau harum bunga. Dalam musim yang cerah ini mestinya waktu perasaan orang lagi<br />riang gembira. Mereka juga orang yang berkepandaian tinggi dan berpengalaman, mengapa pikiran mereka bisa<br />tertekan seperti sekarang?<br />Hoa Ban-lau adalah orang buta, dan orang buta mestinya tidak perlu nyala lampu, tapi lampu minyak di atas meja itu<br />justru dia yang menyalakannya.<br />Di dunia ini memang banyak urusan begini, yang mestinya tidak perlu terjadi justru terjadi.<br />Bok-tojin menghela napas dan akhirnya ia bersuara, “Setiap orang pasti pernah berbuat salah. Asalkan tahu salah dan<br />mau mem¬perbaiki, inilah hal yang baik.”<br />Meski dia sedapatnya mengekang perasaannya, suaranya tetap emosional, “Tapi ada sementara urusan sama sekali<br />tidak boleh berbuat salah, sekali berbuat salah hanya ada satu jalan yang dapat ditempuh.”<br />“Jalan kematian?” tanya Sukong Ti-seng.<br />Bok-tojin mengangguk, ia angkat penindih kertas, di bawah¬nya terletak 12 helai kartu dengan 12 nama.<br />“Orang-orang ini mestinya tidak perlu mati,” kata Bok-tojin pula, “Sebab siapapun sangat sulit membunuh mereka.<br />Cuma sa¬yang, mereka telah berbuat kesalahan yang fatal.”<br />Ia melolos empat helai kartu di antaranya, lalu menyambung, “Terutama keempat orang ini, nama mereka pasti juga<br />pernah kalian dengar.”<br />Keempat kartu itu memuat empat nama dengan keterangan seperlunya.<br />Ko Tiu.<br />Hiangcu seksi tiga dalam Hong-bwe-pang.<br />Tuduhan : Berkhianat, bersekongkol dengan musuh.<br />Pemburu : Sebun Jui-soat.<br />Akibatnya : Buron selama 12 hari, akhirnya mati dalam tambak.<br />Koh Hui-hun.<br />Ahli waris Pah-sun-kiam-khek.<br />Tuduhan : Membunuh anak istri sahabat, memperkosa istri kawan.<br />Pemburu : Sebun Jui-soat.<br />Akibatnya : Buron 15 hari, mati di tengah keramaian kota.<br />Liu Jing-jing.<br />Pendekar perempuan daerah Wilam, isteri Tiam-liong-kiam-khek Cia Kian.<br />Tuduhan : Berzinah, membunuh suami.<br />Pemburu : Sebun Jui-soat.<br />Akibatnya : Buron 19 hari, mati di gurun pasir.<br />Hay Ki-ko.<br />Berjuluk Tok-pi-sin-liong (si naga sakti tangan satu).<br />Tuduhan : Banyak membunuh orang tak berdosa.<br />Pemburu : Sebun Jui-soat.<br />Akibatnya : Buron 19 hari, mati tenggelam di laut.<br />Nama keempat orang itu dengan sendirinya pernah didengar mereka, tapi yang lebih dikenal mereka ialah Sebun Juisoat.<br />Si pemburu. Setiap orang tahu siapa Sebun Jui-soat. Semua tahu ilmu pedangnya nomor satu di dunia.<br />Sekonyong-konyong Siau-siang-kiam-khek berkata, “Pernah kulihat Sebun Jui-soat.”<br />Setelah pertempuran di puncak istana Ci-kim-sia tempo hari, sampai jago nomor satu dari pengawal istana inipun mau<br />tak mau harus mengakui ilmu pedang Sebun Jui-soat memang tidak ada ban¬dingannya.<br />“Tapi kuyakin dia bukan seorang yang suka ikut campur urus¬an tetek-bengek,” demikian jago pengawal istana itu<br />menambahkan lagi.<br />“Yang dilakukannya itu bukan urusan tetek-bengek.” kata Hoa Ban-lau.<br />Segera Sukong Ti-seng menyambung, “Meski dia sendiri ja¬rang berkawan, tapi dia paling benci bila ada orang<br />menjual saha¬bat.”<br />Siau-siang-kiam-khek tak bicara lagi, sebaliknya Tong-jisian-sing yang terkenal lihai senjata rahasianya dan terkenal<br />juga tidak suka banyak bicara, kini mendadak bertanya, “Kau anggap kesalah¬an fatal mereka adalah menjual<br />kawan?”<br />“Memangnya bukan?” ujar Sukong Ti-seng.<br />Tong-jisiansing menggeleng dan tidak bersuara lagi, sebab ia yakin orang lain pasti sudah tahu maksudnya.<br />Benar juga, ada yang tahu maksudnya, yaitu Bok-tojin, kata¬nya, “Meski perbuatan mereka tidak sama, tapi<br />kesalahan fatal mereka justru sama.”<br />“Dalam hal apa ada persamaan mereka?” tanya Sukong Ti-seng.<br />“Sebun Jui-soat,” tutur Bok-tojin. “Bilamana Sebun Jui-soat mau membunuh orang, tidak pernah ada orang yang<br />sanggup lolos. Seumpama dia kabur juga takkan lebih lama daripada 19 hari.”<br />Wajah Bok-tojin tambah prihatin, katanya pula, “Ke-12 orang ini sama mati di bawah pedang Sebun Jui-soat.<br />Sekarang ada lagi seorang yang berbuat kesalahan fatal serupa mereka, bahkan lebih gawat salahnya.”<br />“Oo?” semua orang bersuara heran.<br />“Sebab dia tidak cuma menjual kawan, malahan yang dijual¬nya ialah Sebun Jui-soat.”<br />“Siapa pengkhianat itu?” tanya orang banyak.<br />“Liok Siau-hong!”<br />Seketika semua orang terdiam, suasana terasa mencekam.<br />Siau-siang-kiam-khek Iagi memecahkan kesunyian, “Kutahu Liok Siau-hong bukan saja sahabat Sebun Jui-soat,<br />bahkan juga penolongnya.”<br />“Budi pertolongannya sudah dibalas oleh Sebun Jui-soat, sebaliknya sakit hatinya belum dibalasnya,” kala Bok-tojin.<br />“Sakit hati apa?” tanya Siau-siang-kiam-khek.<br />“Perampasan isteri.” tutur Bok-tojin.<br />Melengak juga Siau-siang-kiam-khek. “Ada bukti?” tanyanya.<br />“Ada,” jawab Bok-tojin, “Sebun Jui-soat memergoki mereka berada di tempat tidur “<br />Mendadak Siau-siang-kiam-khek mengangkat cawan dan menenggak araknya hingga habis Sukong Ti seng tidak kalah<br />cepat nya, sekali tenggak ia pun menghabiskan secawan.<br />Satu-satunya orang yang masih tetap tenang adalah Hoa Ban-lau. Meski secawan penuh, dia hanya mengecup sedikit<br />saja, lalu berkata, “Liok Siau-hong pasti bukan manusia rendah begini, di dalam persoalan ini pasti masih ada hal<br />lain.”<br />Seketika Sukong Ti-seng menyatakan setuju, “Ya, mungkin dia mabuk, bisa juga dia terkena obat bius, mungkin<br />mereka tidak melakukan apa-apa di tempat tidur.”<br />Alasan yang dikemukakan ini kurang baik, sampai dia sendiri pun kurang puas, maka ia menghabiskan lagi secawan<br />arak.<br />Orang yang memberikan pendapat biasanya adalah orang yang paling sedikit bicara.<br />“Aku tidak kenal Liok Siau-hong, tapi kutahu dia pernah memberi jasa baiknya pada keluarga Tong,” akhirnya Tongjisiansing<br />memberi pendapatnya. “Pendek kata, apakah urusan ini ada persoalan lain atau tidak, yang penting kita<br />harus bertanya langsung kepadanya.”<br />Tapi Bok-tojin lantas menggeleng kepala.<br />“’Tidak mau kau cari dia?” tanya Sukong Ti-seng.<br />“Bukan tidak mau, tapi tak dapat menemukan dia.” sahut Bok-tojin.<br />Memang, begitu persoalan ini terungkap, segera Liok Siau-hong kabur, siapapun tidak tahu dia lari kemana.<br />Bok-tojin lantas membeberkan ke-12 lembar kartu dan berka¬ta, “Maka kuminta kalian membaca ini....”<br />“Liok Siau-hong bukan Ko Tiu, juga bukan Tok-pi-sin-liong, perbuatan yang tidak senonoh ini memangnya ada<br />sangkut-paut apa dengan kita,” demikian tiba-tiba Sukong Ti-seng memotong ucap¬annya.<br />“Ada sedikit sangkut-pautnya,” ujar Bok-tojin.<br />“Sedikit yang mana?” tanya Sukong Ti-seng.<br />“Jalan kabur yang ditempuhnya,” kata Bok-tojin.<br />Maklum, bilamana hendak mencari Liok Siau-hong, maka le¬bih dulu harus, memastikan ke arah mana dia buron.<br />Maka Bok Tojin berkata pula, “Orang-orang ini tidak cuma ilmu silatnya sangat tinggi, juga sudah sangat luas<br />pengalamannya, kawakan Kangouw yang cerdik dan licin, bilamana mereka sudah siap buron, tentu mereka sudah<br />mengadakan perencanaan yang rapi, jalan yang mereka pilih juga pasti tidak salah.”<br />“Tapi sayang, mereka tetap tak dapat lolos,” jengek Sukong Ti-seng.<br />“Meski tak dapat lolos, tetap berguna untuk kita pelajan, ujar Bok-tojin.<br />Jalan lari yang dipilih ke-12 orang ini pada garis besarnya dapat dibagi menjadi empat: Berlayar ke laut, menuju ke<br />gurun pasir di luar tembok besar, membaurkan diri di tengah keramaian kota, atau mengasingkan diri ke tempat<br />terpencil.<br />“Kalian kan sahabat lama Liok Siau-hong,” kata Bok-tojin pu¬la, “tentunya kalian cukup kenal tabiatnya. Coba kalian<br />pikir, ke arah mana akan dia pilih?”<br />Tidak ada orang yang dapat menjawab. Siapapun tidak berani memastikan pendapatnya mutlak benar.<br />Perlahan Hoa Ban-Iau berucap, “Aku cuma dapat memastikan satu hal.”<br />“Coba katakan,” kata Bok-tojin.<br />“Dia pasti takkan menuju ke laut, juga takkan masuk ke gu¬run,” tutur Hoa Ban-lau.<br />Tidak ada yang bertanya mengapa dia dapat memastikan hal ini, sebab setiap orang tahu dia memiliki semacam indra<br />yang khas.<br />Sukong Ti-seng sudah menghabiskan delapan cawan arak, ka¬lanya, “Aku pun dapat memastikan sesuatu.”<br />Semua orang sama pasang telinga.<br />“Liok Siau-hong pasti takkan mati.” sambung Sukong Ti-seng.<br />Kepastiannya itu ada yang menyangsikan. “Sebab apa?”<br />“Kutahu ilmu silat Liok Siau-hong, juga pernah melihat ilmu pedang Sebun Jui-soat.” tulur Sukong Ti-seng.<br />Dengan sendirinya ia tidak menyangkal betapa cepat dan tepat gerak pedang Sebun Jui-soai, tapi dia berpendapat,<br />“Sejak dia ber¬istri dan punya anak, ilmu pedangnya lantas berubah menjadi lemah, sebab hatinya juga sudah<br />lemah.”<br />Sebab Sebun Jui-soat bukan lagi dewa pedang, tapi sudah mulai mempunyai sifat kemanusiaan.<br />“Ya, sebenarnya aku pun beranggapan begitu, sekarang baru diketahui kita semua salah,” ujar Bok-tojin<br />“Kita tidak salah,” seru Sukong Ti-seng.<br />Bok-tojin menggeleng, katanya, “Sebelum pertempuran maut di puncak Ci-kim-sia dahulu, pedangnya memang betul<br />sudah mulai lemah, sebab cintanya terhadap istri sudah melampaui keranjingan-nya terhadap pedang.”<br />Tampaknya Siau-siang-kiam-khek mengerti arti ucapannya ini, katanya, “Tapi keadaan menjadi lain setelah dia<br />mengalahkan Pek-in-sengcu.”<br />Pertempuran di puncak Ci-kim-sia itu jelas telah mengorban¬kan pula keranjingannya terhadap pedang dan<br />melampaui lagi cin¬tanya terhadap isteri.<br />Bisa jadi lantaran dia menyepelekan sang isteri sehingga me¬nimbulkan rasa simpati Liok Siau-hong, maka timbul<br />peristiwa ini.<br />Setiap orang sama berpendapat demikian, tapi tiada yang mau mengucapkannya.<br />“Beberapa waktu yang baru lalu aku bertemu dengan Liok Siau-hong,” tutur Bok-tojin. “Dia bilang padaku, ilmu<br />pedang Se¬bun Jui-soat sudah mencapai tingkatan yang “tak berpedang’.”<br />Lalu Bok-tojin menghela napas dan berkata pula, “’Waktu ku¬lihat Liok Siau-hong, dia sedang mabuk, dia bilang pula<br />padaku, bi¬lamana di dunia ini ada orang yang dapat membunuhnya, maka orang itu ialah Sebun Jui-soat.”<br />Kembali semua orang termenung. Dalam hati mereka sudah dapat menarik kesimpulan. Yaitu, bilamana Sebun Juisoat<br />dapat menyusul Liok Siau-hong, maka Liok Siau-hong pasti akan mati di bawah pedangnya.<br />Soalnya sekarang ialah, kemana larinya Liok Siau-hong? Be¬rapa lama dia dapat buron?<br />Jika dia lak akan menuju ke laut, juga tidak masuk ke gurun, maka kalau tidak berada di keramaian kota, tentu dia<br />kabur ke pe¬gunungan sepi.<br />Meski lingkaran pelarian Liok Siau-hong sekarang sudah me¬ngecil, tapi siapa pula yang tahu betapa banyak kota<br />ramai dan be¬tapa banyak pegunungan di dunia ini?<br />Mendadak Tong-jisiansing berdiri dan keluar.<br />“Kau mau pergi?” tanya Sukong Ti-seng dengan cawan arak terangkat.<br />“Aku kan tidak datang untuk minum arak?” jengek Tong-ji¬siansing.<br />“Apakah engkau tidak mau lagi mengurus persoalan ini?” ta¬nya Sukong Ti-seng.<br />“Bukan tidak mau mengurus, tapi sukar diurus,” sahut Tong-jisiansing.<br />Tiba-tiba Koh-siong Kisu juga menghela napas panjang dan bergumam, “Ya, memang sukar diurus.”<br />Koh-kua Hwesio juga mengangguk dan berkata, “Memang benar-benar....”<br />Belum lanjut ucapannya, mereka bertiga sudah melangkah ke¬luar semua. Siau-siang-kiam-khek ternyata tidak kalah<br />cepatnya da¬ripada mereka.<br />Sukong Ti-seng menaruh cawan arak dengan berat di atas me¬ja dan berseru, “Aku pun tidak datang untuk minum<br />arak melulu, setan alas yang hanya datang untuk minum arak.”<br />Dia juga melangkah pergi dengan cepat.<br />Di dalam rumah sekarang tertinggal dua orang dan yang masih idap tenang cuma Hoa Ban-lau saja.<br />“Prak”, mendadak cawan Bok-tojin tcremas remuk.<br />Han-lau tertawa dan berkata, “Apakah kau tahu mereka pergi kemana?”<br />“Setan yang lalui,” jengek Bok tojin.<br />“Aku lalui.” kata Ban-lau. “Aku bukan setan, tapi aku tahu.”<br />“Kau kira mereka pergi kemana’”<br />“Jika sekarang kita memburu ke Sebun san-ceng (perkam¬pungan keluarga Sebun) tentu dapat kita temukan<br />mereka, seorang pun takkan berkurang.”<br />Bok-Tojin tidak mengerti. Maka Ban-lau menambahkan, “Mereka pergi ke sana, sebab mereka sama ingin tahu<br />sesuatu, yaitu apakah betul Liok Siau-hong kabur ke sana.”<br />“Kau pasti?” tanya Bok-tojin.<br />Ban-lau mengangguk, “Aku merasa pasti, sebab kutahu mere¬ka adalah sahabat Liok Siau-hong.”<br />“Baiklah, kita pun berangkat,” ujar Bok-tojin sambil menepuk pundak Hoa Ban-lau. “Jika di dunia ini ada seorang yang<br />dapat me¬nemukan Liok Siau-hong, maka orang itu ialah dirimu.”<br />“Bukan diriku,” ujar Ban-lau.<br />“Habis siapa?”<br />“Liok Siau-hong sendiri.”<br />Ya, seorang kalau sudah kehilangan dirinya sendiri, maka se¬lain dia sendiri, siapa pula yang dapat menemukannya.<br />Tapi sekalipun Liok Siau-hong sudah kehilangan dirinya sen¬diri, sedikitnya ia belum kehilangan arah. Ia percaya<br />jalan ini tepat menuju ke barat, setelah melintasi lereng bukit di depan tentu dapat menemukan sumber air minum.<br />Malam sudah larut, kabut tebal di lereng pegunungan. Tapi ia tetap percaya kepada pandangannya sendiri. Tapi sekali<br />ini kembali dia salah lagi.<br />Di depan tidak ada lereng gunung, juga tidak ada sumber air. yang ada cuma hutan purba yang lebat.<br />Kelaparan memang salah satu penderitaan yang paling besar bagi manusia, akan tetapi kalau dibandingkan dengan<br />kehausan, la¬par menjadi semacam penderitaan yang lebih mudah ditahan.<br />Bibirnya sudah pecah, bajunya rombeng, luka di dada mulai bengkak. Sudah tiga hari dia buron di pegunungan sunyi<br />yang sukar menemukan sumber air ini.<br />Bilamana sahabatnya melihat dia sekarang pasti akan sama pangling. Siapapun takkan kenal lagi dia ialah Liok Siauhong<br />yang mempesona setiap anak perempuan itu.<br />Gelap gulita di tengah hutan, dalam kegelapan hampir meli¬puti segala macam bahaya, setiap ancaman bahaya itu<br />bisa mema¬tikan. Bilamana tersesat di lengah hutan lebat ini, kehausan saja sudah cukup fatal.<br />Apakah Liok Siau-hong dapai keluar dari hutan ini, ia sendiri tidak yakin. Ia sudah kehilangan kepercayaan kepada<br />kemampuan¬nya sendiri.<br />Akan tetapi ia harus maju terus ke depan dan tiada jalan Iain, apalagi pilihan untuk mundur. Sebab mundur terlebih<br />menakutkan.<br />Sebun Jui-soat justru sedang menguntit di belakangnya. Meski tak dilihatnya, tapi dapat dirasakannya, merasakan<br />hawa pedang khas yang akan membunuh itu.<br />Setiap saat dan dimana pun ia bisa mendadak merinding, da¬lam keadaan bagitu ia lantas tahu jarak Sebun Jui-soat<br />dengan dia sudah dekat.<br />Buron sendiri adalah semacam penderitaan. Haus, lelah, takut, sedih .... Semua itu serupa cambuk yang terus<br />memukulnya tanpa berhenti.<br />Semua itu sudah cukup membuatnya runtuh lahir batin, apa¬lagi dia juga terluka. Terluka oleh pedang.<br />Pada saat luka terasa sakit tentu akan terbayang olehnya se¬rangan pedang yang luar biasa cepatnya itu.<br />Seburi Jui-soat yang sudah ‘tanpa pedang’ itu akhirnya me¬lolos lagi pedangnya.<br />“Jika di dunia ini masih ada orang yang perlu kuhadapi lagi dengan pedang, maka orang itu ialah Liok Siau-hong.<br />Karena diri¬mu, terpaksa kugunakan lagi pedangku, sekarang padangku sudah kulolos, sebelum berlepotan darahmu,<br />pedang takkan kambali ke sa¬rungnya.”<br />Demikian diucapkan Sebun Jui-soat kepada Liok Siau-hong, tidak ada yang dapat melukiskan betapa cepat dan tajam<br />pedang Sebun Jui-soat, juga tidak ada yang dapat membayangkan ada orang mampu menghindari serangannya.<br />Sekali sinar pedang berkelebat, seketika darah segar tercecer. Memang tidak ada yang mampu menghindari serangan<br />kilat itu. Liok Siau-hong juga tidak, namun dia tidak mati.<br />Bisa tidak mati di bawah pedang kilat itu sudah merupakan keajaiban.<br />Di dunia ini, orang yang dapat lolos dengan hidup di bawah serangan pedang kilat itu mungkin juga cuma Liok Siauhong<br />saia seorang.<br />Dan begitulah. Liok Siau-hong terus buron dan sampai di hu¬tan lebat dan gelap ini.<br />Kegelapan yang tidak ada ujung pangkalnya. Sesungguhnya betapa banyak bahaya yang tersembunyi di balik<br />kegelapan itu?<br />Siau-hong tidak berani memikirkannya, bila terlalu banyak berpikir, besar kemungkinan dia sudah runtuh, bahkan bisa<br />gila.<br />Setelah masuk ke dalam hutan yang galap ini, sama seperti binatang buas jatuh ke dalam perangkap, tidak bebas<br />lagi. Dia men¬dapatkan setangkai kayu dan digunakan sebagai tongkat, ia terus merambat ke depan serupa seorang<br />buta. Tongkat itu sungguh tong¬kat penolong baginya.<br />Seorang yang gagah perwira sekarang harus dibantu oleh se¬potong kayu, bila teringat hal ini Siau-hong jadi tertawa<br />sendiri. Tertawa pedih, tertawa sinis.<br />Baru sekarang ia benar-benar merasakan betapa sengsaranya orang buta, dia juga baru mangerti betapa hebatnya<br />Hoa Ban-lau.<br />Seorang buta dapat hidup sebegitu tenang dan begitu gembira, entah betapa besar cinta hidup yang tumbuh dalam<br />hatinya?<br />Di depan ada pohon besar, Siau-hong berhenti di bawah pahon dengan napas terengah, sekarang ini mungkin satusatunya<br />kesem¬patan beginya unluk berganti napas, la pikir pada waktu Sebun Jui-soat menyusul sampai di hutan ini,<br />sebelum mengejar ke dalam hu¬tan mungkin dia akan berpikir sejenak, tapi akhirnya dia pasti akan mengejar masuk<br />hutan.<br />Hampir tidak ada urusan di dunia ini yang dapat mencegah¬nya, dia sudah bertekad akan membinasakan Liok Siauhong<br />di ba¬wah pedangnya.<br />Dalam kegelapan hampir tidak terdengar sesuatu suara apapun, kesunyian semacam ini juga sesuatu yang paling<br />menakutkan.<br />Napas Siau-hong hampir berhenti, mendadak tangannya bergerak secepat kilat, jarinya menjepit. Dia tidak melihat<br />apa-apa, tapi dia telah turun tangan.<br />Sekali dia turun tangan jarang sekah meleset. Pada saat benar-benar menghadapi bahaya, manusia juga bisa berubah<br />seperti bina¬tang, bisa mempunyai indera keenam dan kepekaan seperti binatang. ‘ Yang terjepit oleh jarinya<br />ternyata seekor ular. Ekor ular yang terjepit, sekali menyendal segera pula leher ular digigitnya. Seketika darah ular<br />yang anyir mengalir ke dalam kerongkongan dan masuk perutnya. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti benar-benar<br />sudah ber¬ubah menjadi binatang buas. Tapi dia tidak berhenti mengisap darah ular. Darah ular itu sekarang<br />dirasakannya sebagai penyelamat ba¬ginya.<br />Asalkan dapat memberi kekuatan baginya, memberi kehidup¬an baginya, saat ini apapun akan diterimanya. Sebab ia<br />tidak ingin mati, ia tidak boleh mati.<br />Jika sekarang ia mati, maka ia akan berubah menjadi setan pe¬nasaran dan akan kembali ke dunia manusia hidup<br />untuk mencuci bersih semua fitnah yang diterimanya ....<br />Kegelapan mulai menipis dan berubah menjadi remang kelabu yang aneh.<br />Kegelapan malam yang panjang ini akhirnya berlalu juga. Kini sudah tiba saatnya fajar akan menyingsing.<br />Tapi biarpun hari sudah terang, lalu bagaimana? Biarpun kegelapan sudah pergi, namun kematian masih terus<br />mengancamnya.<br />Hanyak daun kering div tanah, ia meraupnya segenggam untuk membersihkan darah pada tangannya. Pada saat<br />itulah dia mende-nt’.ir sesuatu suara.<br />Suara manusia entah darimana datangnya, seperti ada suara orang merintih.<br />Di tempat dan dalam keadaan begini mana bisa ada orang? Ji¬ka tidak terpaksa, siapa pula yang mau masuk ke<br />hutan purba ini? Menempuh jalan kematian ini?!<br />Jangan-jangan Sebun Jui-soat?<br />Mendadak Siau-hong merasakan sekujur badan dingin dan ka¬ku, napas pun terasa berhenti, ia mendengarkan<br />dengan tenang.<br />Terdengar lagi suara rintihan yang lemah, sebentar lenyap dan sebentar terdengar lagi, dari suaranya jelas penuh rasa<br />derita Sema¬cam penderitaan yang mendekati putus harapan.<br />Suara menderita itu jelas past, bukan pura-pura. Sekalipun orang mi benar Sebun Jui-soat adanya, penderitaannya<br />sekarang pasti juga tidak di bawah Liok Siau-hong.<br />Apakah dia juga mengalami sesuatu pukulan yang memati¬kan? Kalau tidak, mengapa hawa pedang pembunuh yang<br />khas juga lenyap sama sekali?<br />Siau-bong memutuskan untuk mencari, peduli orang ini Sebun Jui-soat atau bukan, harus ditemukannya.<br />Dan sudah tentu ditemukannya. Di atas daun kering dan tanah yang lembab menggeletak satu orang, sekujur badan<br />tampak me¬ringkuk menjadi satu kerena kesakitan.<br />Seorang yang rambutnya sudah ubanan, lemah, pucat, letih. duka dan ketakutan.<br />Waktu melihat Liok Siau-hong, orang tua itu seperti berusaha melompat bangun, tapi yang diperoleh adalah kejang<br />dan kesakitan.<br />Dia membawa pedang yang berbentuk antik, jelas sebilah pe¬dang yang sangat bagus. Akan tetapi pedang ini tidak<br />menakutkan, sebab orang ini bukan Sebun Jui-soat.<br />Siau-hong menghela napas lega, gumamnya, “Bukan, bukan dia.”<br />Biji leher si kakek tampak naik-turun, sorot matanya yang pe¬nuh rasa takut menampilkan setitik harapan, ucapnya<br />dengan ter¬engah, “Sia... siapa kau?”<br />“Aku bukan siapa-siapa,” sahut Siau-hong dengan tertawa.<br />“Aku cuma orang lalu saja.”<br />“Orang lalu?” si kakek menegas.<br />“Kau heran bukan? Masa orang lalu di tempat begini?” kata<br />Siau-hong.<br />Si kakek mengamat-amati dari bawah ke atas dan dan atas ke bawah, tiba-tiba sinar matanya menampilkan kelicikan,<br />katanya, “Apakah jalan yang kau tempuh serupa aku?”<br />“Sangat mungkin,” jawab Siau-hong.<br />Si kakek tertawa. Tertawa yang pedih, getir. Dan dia lantas terbatuk-batuk.<br />Siau-hong juga melihat orang terluka, ternyata juga bagian dada yang terluka, malahan kelihatan sangat parah.<br />Tiba-tiba si kakek bertanya pula, “Memangnya kau sangka si¬apa diriku?”<br />“Seorang lain,” sahut Siau-hong.<br />“Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?”<br />Siau-hong juga tertawa dan bertanya, “Tadinya kau kira siapa diriku? Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?”<br />Si kakek ingin menyangkal, tapi tidak dapat menyangkal.<br />Kedua orang saling pandang dengan sikap serupa dua ekor binatang buas yang sama-sama terluka.<br />Tidak ada orang yang dapat memahami sikap mereka ini, juga tidak dapat memahami perasaan mereka.<br />Entah sudah berapa lamanya, tiba-tiba si kakek menghela na¬pas panjang dan berkata, “Boleh kau pergi saja.”<br />“Kau minta kupergi?” tanya Siau-hong.<br />“Biarpun kularang kau pergi, toh kau pasti juga akan pergi,” ujar si kakek dengan tersenyum getir. “Keadaanku<br />agaknya terlebih parah daripadamu, dengan sendirinya tak dapat aku membantumu. Engkau memang tidak kenal<br />diriku, dengan sendirinya juga takkan membantuku.”<br />Siau-hong tidak bicara, juga tidak tertawa lagi. Ia tahu apa yang dikatakan kakek itu memang sejujurnya. Keadaan<br />sendiri juga sangai parah, bahkan terlebih celaka daripada apa yang dibayangkan orang. Buron sendirian saja belum<br />tentu lolos, dengan sendirinya ia tidak dapat dan tidak mau ketambahan beban.<br />Si kakek ini jelas beban yang sangat berat.<br />Selang sekian lama lagi, Siau-hong juga menghela napas dan berkata, “Ya, aku memang harus pergi.”<br />Si kakek mengangguk dan memejamkan mata, ia tidak me¬mandangnya lagi.<br />Siau-hong berkata pula, “Jika engkau ini seekor anjing liar, sa¬at ini aku pasti sudah pergi. Tapi sayang ..<br />“Sayang aku bukan anjing, tapi manusia,” tukas si kakek tiba-tiba.<br />“Sayang aku pun bukan anjing, aku pun manusia,” kata Siau-hong.<br />“Ya, sungguh sayang.” kata si kakek, meski matanya seperti terpejam, tapi sebenarnya diam-diam ia lagi mengintip<br />gerak-gerik Liok Siau-hong. Terpancar pula sifat kelicikannya<br />Siau-hong tertawa dan berkata pula, “Padahal sejak tadi kau tahu aku pasti takkan pergi.”<br />“Oo?!” si kakek bersuara heran.<br />“Sebab kau manusia, aku juga manusia, dengan sendirinya tak dapat kusaksikan kau mati konyol di sini.”<br />Mendadak si kakek membuka matanya, terbelalak lebar, lalu berkata, “Jadi hendak kau bawa pergi diriku?”<br />Bab 2. Tokko Bi, si tak kenal saudara<br />Published by Hiu_Khu on 2008/1/1 (364 reads)<br />Kegelapan mulai menipis dan berubah menjadi remang kelabu yang aneh.<br />Kegelapan malam yang panjang ini akhirnya berlalu juga. Kini sudah tiba saatnya fajar akan menyingsing.<br />Tapi biarpun hari sudah terang, lalu bagaimana? Biarpun kegelapan sudah pergi, namun kematian masih terus<br />mengancamnya.<br />Banyak daun kering di tanah, ia meraupnya segenggam untuk membersihkan darah pada tangannya. Pada saat itulah<br />dia mendengar sesuatu suara.<br />Suara manusia entah darimana datangnya, seperti ada suara orang merintih.<br />Di tempat dan dalam keadaan begini mana bisa ada orang? Jika tidak terpaksa, siapa pula yang mau masuk ke hutan<br />purba ini? Menempuh jalan kematian ini?!<br />Jangan-jangan Sebun Jui-soat?<br />Mendadak Siau-hong merasakan sekujur badan dingin dan kaku, napas pun terasa berhenti, ia mendengarkan dengan<br />tenang.<br />Terdengar lagi suara rintihan yang lemah, sebentar lenyap dan sebentar terdengar lagi, dari suaranya jelas penuh rasa<br />derita Semacam penderitaan yang mendekati putus harapan.<br />Suara menderita itu jelas pasti bukan pura-pura. Sekalipun orang mi benar Sebun Jui-soat adanya, penderitaannya<br />sekarang pasti juga tidak di bawah Liok Siau-hong.<br />Apakah dia juga mengalami sesuatu pukulan yang mematikan? Kalau tidak, mengapa hawa pedang pembunuh yang<br />khas juga lenyap sama sekali?<br />Siau-hong memutuskan untuk mencari, peduli orang ini Sebun Jui-soat atau bukan, harus ditemukannya.<br />Dan sudah tentu ditemukannya. Di atas daun kering dan tanah yang lembab menggeletak satu orang, sekujur badan<br />tampak meringkuk menjadi satu kerena kesakitan.<br />Seorang yang rambutnya sudah ubanan, lemah, pucat, letih, duka dan ketakutan.<br />Waktu melihat Liok Siau-hong, orang tua itu seperti berusaha melompat bangun, tapi yang diperoleh adalah kejang<br />dan kesakitan.<br />Dia membawa pedang yang berbentuk antik, jelas sebilah pedang yang sangat bagus. Akan tetapi pedang ini tidak<br />menakutkan, sebab orang ini bukan Sebun Jui-soat.<br />Siau-hong menghela napas lega, gumamnya, “Bukan, bukan dia.”<br />Biji leher si kakek tampak naik-turun, sorot matanya yang penuh rasa takut menampilkan setitik harapan, ucapnya<br />dengan terengah, “Sia... siapa kau?”<br />“Aku bukan siapa-siapa,” sahut Siau-hong dengan tertawa.<br />“Aku cuma orang lalu saja.”<br />“Orang lalu?” si kakek menegas.<br />“Kau heran bukan? Masa orang lalu di tempat begini?” kata<br />Siau-hong.<br />Si kakek mengamat-amati dari bawah ke atas dan dan atas ke bawah, tiba-tiba sinar matanya menampilkan kelicikan,<br />katanya, “Apakah jalan yang kau tempuh serupa aku?”<br />“Sangat mungkin,” jawab Siau-hong.<br />Si kakek tertawa. Tertawa yang pedih, getir. Dan dia lantas terbatuk-batuk.<br />Siau-hong juga melihat orang terluka, ternyata juga bagian dada yang terluka, malahan kelihatan sangat parah.<br />Tiba-tiba si kakek bertanya pula, “Memangnya kau sangka siapa diriku?”<br />“Seorang lain,” sahut Siau-hong.<br />“Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?”<br />Siau-hong juga tertawa dan bertanya, “Tadinya kau kira siapa diriku? Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?”<br />Si kakek ingin menyangkal, tapi tidak dapat menyangkal.<br />Kedua orang saling pandang dengan sikap serupa dua ekor binatang buas yang sama-sama terluka.<br />Tidak ada orang yang dapat memahami sikap mereka ini, juga tidak dapat memahami perasaan mereka.<br />Entah sudah berapa lamanya, tiba-tiba si kakek menghela napas panjang dan berkata, “Boleh kau pergi saja.”<br />“Kau minta kupergi?” tanya Siau-hong.<br />“Biarpun kularang kau pergi, toh kau pasti juga akan pergi,” ujar si kakek dengan tersenyum getir. “Keadaanku<br />agaknya terlebih parah daripadamu, dengan sendirinya tak dapat aku membantumu. Engkau memang tidak kenal<br />diriku, dengan sendirinya juga takkan membantuku.”<br />Siau-hong tidak bicara, juga tidak tertawa lagi. Ia tahu apa yang dikatakan kakek itu memang sejujurnya. Keadaan<br />sendiri juga sangai parah, bahkan terlebih celaka daripada apa yang dibayangkan orang. Buron sendirian saja belum<br />tentu lolos, dengan sendirinya ia tidak dapat dan tidak mau ketambahan beban.<br />Si kakek ini jelas beban yang sangat berat.<br />Selang sekian lama lagi, Siau-hong juga menghela napas dan berkata, “Ya, aku memang harus pergi.”<br />Si kakek mengangguk dan memejamkan mata, ia tidak memandangnya lagi.<br />Siau-hong berkata pula, “Jika engkau ini seekor anjing liar, saat ini aku pasti sudah pergi. Tapi sayang ..<br />“Sayang aku bukan anjing, tapi manusia,” tukas si kakek tiba-tiba.<br />“Sayang aku pun bukan anjing, aku pun manusia,” kata Siau-hong.<br />“Ya, sungguh sayang.” kata si kakek, meski matanya seperti terpejam, tapi sebenarnya diam-diam ia lagi mengintip<br />gerak-gerik Liok Siau-hong. Terpancar pula sifat kelicikannya<br />Siau-hong tertawa dan berkata pula, “Padahal sejak tadi kau tahu aku pasti takkan pergi.”<br />“Oo?!” si kakek bersuara heran.<br />“Sebab kau manusia, aku juga manusia, dengan sendirinya tak dapat kusaksikan kau mati konyol di sini.”<br />Mendadak si kakek membuka matanya, terbelalak lebar, lalu berkata, “Jadi hendak kau bawa pergi diriku?”<br />“Bagaimana dugaanmu?” tanya Siau-hong.<br />Si kakek berkedip, “Dengan sendirinya dapat kau bawa diriku, sebab engkau manusia, juga aku.”<br />“Alasan ini tidak cukup.”<br />“Tidak cukup? Masa ada alasan lain?”<br />“Betapa brengsek tetap manusia,” kata Siau-hong.<br />Ucapan ini sukar dipahami, si kakek juga tidak paham, terpaksa menunggu penjelasan lebih lanjut.<br />“Akan kubawa dirimu, sebab aku bukan saja manusia, juga seorang brengsek, maha brengsek.”<br />Dalam musim semi segala apapun tampak serba segar di bumi ini.<br />Pepohonan yang sudah layu kembali tumbuh dengan lebarnya. Dengan sendirinya hutan purba itu juga bertambah<br />rindang sehingga tak tembus sinar matahari.<br />Di tengah hutan lebat itu hanya remang-remang kelabu belaka, hanya dapat tertampak bayangan yang samar-samar,<br />itu pun tak dapat mencapai jauh.<br />Liok Siau-hong lelah membawa si kakek meneruskan perjalanan. Akhirnya ia berhenti, ia membaringkan dulu si kakek,<br />lalu ia sendiri pun rebah ke tanah. Sekarang biarpun diketahui Sebun Jui-soat sudah dekat di belakangnya, satu<br />langkah saja ia tidak sanggup bergerak lagi.<br />Sudah cukup jauh mereka meneruskan perjalanan. Tapi waktu ia menunduk, tiba-tiba dilihatnya bekas kaki sendiri di<br />atas tanah.<br />Rupanya meski mereka berusaha lari sekuatnya dan sekian lamanya, akhirnya mereka, kembali berada di tempat<br />semula.<br />Ini bukan lagi sindiran, tapi menyedihkan. Semacam kesedihan bilamana manusia sudah mendekati keputus-asaan.<br />Napas Siau-hong terengah-engah, napas si kakek juga megap-megap.<br />Seekor ular sawah raksasa mendadak meluncur turun dari dahan pohon, dengan sendirinya tenaga ular raksasa ini<br />sangat besar, sanggup melilit mati makhluk apapun.<br />Akan tetapi Siau-hong tak dapat bergerak, si kakek juga tidak dapat bergerak, syukurlah ular raksasa itu juga tidak<br />menghiraukan mereka, merayap lewat di samping mereka, Siau-hong tertawa, sampai ia sendiri tidak tahu mengapa<br />dirinya masih dapat tertawa.<br />Tiba-tiba si kakek memiringkan kepalanya dan menegur, ‘”He, brengsek, mengapa sejauh ini tidak kau tanya siapa<br />diriku dan siapa namaku?”<br />“Aku tidak perlu bertanya,” jawab Siau-hong. “Toh kita sudah hampir mati, bilakah pernah kau dengar ada orang mati<br />bertanya nama orang mati yang lain?”<br />Si kakek memandangnya lagi sampai lama, ingin bicara, tapi urung, waktu ia memandang alis dan kumisnya, akhirnya<br />dia berkata, “Ah, tiba-tiba aku teringat kepada seorang.”<br />“Siapa?” tanya Siau-hong. Liok Siau hong, ya, Liok Siau-hong yaug beralis empat itu.”<br />Kembali Siau-hong tcrtawa. “Seharusnya sejak mula teringat olehmu, satu-satunya orang brengsek paling besar di<br />dunia ini ialah Liok Siau-hong.”<br />“Tapi tidak kusangka Liok Siau-hong bisa berubah menjadi begini,” kata si kakek dengan menyesal.<br />“Memangnya kau kira seharusnya bagaimana Liok Siau-hong itu?”<br />“Sudah lama kudengar Liok Siau-hong adalah seorang perayu yang paling disukai orang perempuan . bahkan ilmu<br />silatnya sangat tinggi.”<br />“Ya aku pun pernah mendengar.”<br />“Makanya selama ini kuyakin Liok Siau-hong pasti seorang yang gagah dan cakap, tapi sekarang tampaknya engkau<br />serupa “<br />“Serupa seekor anjing yang menghadapi jalan buntu karena diuber orang,” tukas Siau-hong.<br />“Agaknya kesulitan yang kau timbulkan tidak kecil “ ucap si kakek.<br />“Ya, sangat besar.”<br />“Apakah gara-gara orang perempuan?” Siau hong menyengir. “Siapa suami perempuan itu? Kabarnya jurus andalan<br />Pek-in-sengcu yang maha lihai itupun dapat kau tangkis, masa di dunia ini masih ada orang lain yang dapat<br />menguber-uber dirimu sehingga menghadapi jalan buntu?”<br />“Ada, cuma ada seorang,” jawab Siau-hong. “Ya. setelah kupikirkan, rasaya memang cuma ada satu orang.” “Menurut<br />pikiranmu, siapa orang ini?” “Bukankah Sebun Jui-soat?” Siau-hong hanya menyengir saja. “Sungguh tidak kecil<br />kesulitan yang kau timbulkan ini,” ujar si kakek dengan menyesal. “Sungguh aku tidak mengerti sebab apa dapat kau<br />timbulkan kesukaran ini?”<br />“Sebenarnya aku pun tidak berbuat apa-apa, cuma secara kebetulan tidur seranjang dengan isterinya dan kebetulan<br />pula dipergoki dia.”<br />Si kakek memandangnya dengan terkejut sampai lama barulah ia menggeleng dan berkata. “Wah. rupanya nyalimu<br />memang tidak kecil.<br />Mendadak Siau-hong balas bertanya. “Dan kau? Kesulitan apa yang kau buat?”<br />Si kakek termenung sekian lama, lalu menjawab dengan menyesal, “Kesulitan yang ditimbulkan juga tidak kecil.”<br />“Ya memang dapat kulihat.” kata Siau-hong. “Jika tubuh seorang memakai baju yang berharga mahal, memegang<br />pedang antik bernilai, tapi diuber-uber orang seperti seekor anjing geladak, maka perkara yang ditimbulkan orang ini<br />pasti tidak kecil.”<br />“Malahan perkara yang kutimbulkan tidak cuma satu,” kata si kakek.<br />“Ada berapa banyak?” tanya Siau-hong.<br />“Dua,” ucap si kakek sambil memperlihatkan dua jari. “Yang seorang ialah Yap Koh-hong, yang lain Hun-yan-cu.”<br />“Yap Koh-hong dari Bu-tong yang terjuluk Siau-pek-liong (naga putih kecil)?” Siau-hong menegas.<br />Si kakek mengangguk.<br />“Dan Hun-yan-cu alias Ban-li-tah-hoa (menginjak bunga sejauh selaksa li)?”<br />Kembali si kakek mengangguk.<br />“Ai, perkara yang kau timbulkan memang tidak kecil dan sangat sulit.”<br />Yap Koh-hong adalah murid Bu-tong-pay, juga terkenal sebagai tokoh angkatan muda yang menonjol. Konon masih<br />terhitung sanak famili Pek-in-sengcu Yap Koh-seng. Sedangkan nama Hun-yan-cu, si walet berbedak, bahkan lebih<br />terkenal di dunia Kangouw, baik Ginkang maupun Am-gi (senjata rahasia) miliknya jarang ada bandingannya dalam<br />kalangan hitam.<br />“Cuma Yap Koh-hong adalah murid perguruan ternama, sedangkan Hun-yan-cu adalah kaum penjahat, mengapa<br />sekaligus kau bikin onar terhadap kedua orang itu.”<br />“Masa engkau tidak paham?” tanya si kakek.<br />Siau-hong menggeleng.<br />“Soalnya sangat sederhana, baik Yap Koh-hong maupun Hun-yan-cu, keduanya adalah keponakanku, keduanya anak<br />saudara perempuanku. Kebetulan bini mereka bertamu di rumahku ...”<br />Yap Koh-hong biasa berkelana di dunia Kangouw, Hun-yan-cu yang bekerja sebagai bandit itu juga suka berkeluyuran<br />kemana-mana, dengan sendirinya bini mereka hidup kesepian.<br />“Sebab itulah adalah layak jika aku berusaha menghibur hati mereka yang hampa,” tutur pula si kakek. “Siapa tahu,<br />kebetulan dipergoki mereka.”<br />Dengan melengak Siau-hong memandangnya, selang agak lama barulah ia berkata, “Tampaknya bukan cuma nyalimu<br />tidak kecil, bahkan engkau tidak mau kenal sanak famili segala.”<br />“Memangnya aku bukan orang begitu?” sahut si kakek dengan tertawa.<br />Siau-hong tambah terkejut, “He, jadi engkau memang dia?” “Belasan tahun terakhir ini, jarang ada orang Kangouw<br />yang tahu namaku ini, tak tersangka engkau ternyata tahu.”<br />Kiranya 20 tahun yang lalu di dunia Kungouw ada seorang bandit yang sangat terkenal, bandit ini selalu beroperasi<br />sendirian, namanya Tokko Bi dan berjuluk ‘Lak-jin-put-jin’ atau sanak famili juga tidak peduli.<br />Jika seorang berani berbuat apapun tanpa peduli sanak famili lagi, maka betapa keji dan kejam hati orang ini<br />dapatkah dibayangkan.<br />“Nah, tampaknya nama julukanmu memang cocok sekali dengan perbuatanmu.”<br />“Aku tidak peduli sanak famili, kau lebih penting perempuan daripada sahabat, engkau seorang brengsek, aku juga<br />tidak selisih seberapa. Kita berdua boleh dikatakan sepaham dan sehaluan. makanya juga dapat menempuh jalan<br />yang sama sekarang.”<br />“Untung di antara kita masih ada setitik perbedaan,” kata Siau-hong.<br />“Oo, setitik apa?” tanya Tokko Bi.<br />“Sekarang aku dapat angkat kaki dan kau terpaksa harus berbaring di sini untuk menanti ajal.”<br />Tokko Bi tertawa.<br />“Jika kau anggap sekarang hatiku tidak sekejam itu. maka salahlah kau. “Jika kau dapat tidak peduli sanak famili,<br />mengapa aku tidak boleh tak mempedulikan dirimu?”<br />“Tcntu saja kau dapat,” kata Tokko Bi.<br />Segera Liok Siau-hong berbangkit, sekali dia bilang mau angkat kaki, segera juga dia pergi.<br />Tokko Bi menyaksikan dia berdiri, kemudian baru dia bicara “Tapi kutanggung setelah kau pergi tentu kau akan<br />menyesal.<br />Siau-hong menoleh dan bertanya, “Sebab apa?”<br />“Sebab di dunia ini selain ada binatang yang makan orang, juga ada manusia yang makan manusia.”<br />“Kutahu, antara lain juga termasuk dirimu.”<br />‘Dan apakah kau tahu di dunia ini masih ada barang Iain yang juga bisa makan manusia?”<br />“Apa?” tanya Siau-hong.<br />“Pohon,” jawab Tokko Bi. “Ada pohon yang suka makan manusia. Orang yang tersesat, apabila masuk ke hutan<br />demikian, segera akan dimakan oleh pohon jenis ini dan selamanya jangan harap akan bisa keluar lagi dengan hidup.”<br />Kini sudah dekat lohor, namun suasana sekitar situ tetap remang kelabu.<br />Pepohonan raksasa yang rindang dengan rawa penuh daun kering berbau busuk, pada hakikatnya tak ada jalan yang<br />dapat dilalui.<br />Jika benar di dunia ini ada pohon pemakan manusia, maka jenis pohon ini pasti terdapat di sini.<br />Akhirnya Siau-hong memutar balik dan menatap wajah si kakek dengan tajam, katanya, “Jadi kau kenal jalan di sini?<br />Kau yakin dapat keluar?”<br />Tokko Bi tertawa pula, ucapnya dengan perlahan, “Aku tidak saja dapat membawamu keluar, juga dapat kubikin<br />selamanya Sebun Jui-soat tak dapat menemukan dirimu.” Siau-hong mendengus, ia tidak percaya.<br />“Dapat kubawa dirimu ke suatu tempat, di sana biarpun Sebun Jui-soat mempunyai kepandaian setinggi langit juga<br />tak dapat menemukan kau.”<br />Siau-hong menatapnya, tidak bergerak, tidak bersuara, tapi di kejauhan tiba-tiha ada suara orang menjengek<br />Suara jengekan itu tadinya masih belasan tombak jumlahnya, tapi tahu-tahu sudah berada di depannya.<br />Pendatang ini ternyata bukan Hun-yan-cu yang terkenal hebat Ginkangnya melainkan seorang yang bermuka pulih<br />pucat. Bahkan putih seluruhnya, tangannya putih, pedangnya putih, bajunya juga seputih salju.<br />Sudah sehari semalam mengadakan perburuan di dalam hutan yang gelap dan di rawa yang pengap ini, sikapnya<br />ternyata masih tetap tenang, bajunya juga tetap bersih.<br />Orangnya juga serupa pedangnya, putih bersih tidak berlepotan darah, juga tidak ada kotoran.<br />Pada saat kemunculannya itu, tubuh Liok Siau-hong yang terasa beku itu lantas mengendur lagi.<br />Tokko Bi tcrtawa penuh sifat mengejek, katanya, “Kau sangka dia Sebun Jui-soat, bukan?”<br />Memang, semula Siau-hong mengira yang muncul ini ialah Sebun Jui-soat, maka ia tidak manyangkal.<br />Pemuda ini memang mirip Sebun Jui-soat, muka yang pucat, sikap dingin dan pongah, pakaian seputih salju, bahkan<br />gaya berdirinya juga serupa Sebun Jui-soat.<br />Meski dia jauh lebih muda daripada Sebun Jui-soat, bentuk wajahnya juga lebih halus daripada Sebun Jui-soat. tapi<br />secara keseluruhannya dia serupa duplikat Sebun Jui-soat.<br />“Dia she Yap bernama Koh-hong,” tutur Tok-ko Bi. “’Biarpun kakek moyangnya juga tidak ada setitik hubungan<br />apapun dengan Sebun Jui-soat, tapi dia kelihatannya justru seperti anak Sebun Jui-soat.”<br />Siau-hong tertawa geli, “Ya, memang sangat mirip.” “Apakah kau tahu mengapa dia bisa berubah menjadi begini?”<br />tanya Tokko Bi.<br />Siau-hong menggeleng.<br />Tokko Bi menjengek, “Hm, justru kalau bisa dia sangat berharap akan menjadi anak Sebun Jui-soat.”<br />“Bisa jadi dia hanya ingin menjadi Sebun Jui-soat kedua, ujar Siau-hong.<br />“Tapi sayang, kebaikan Sebun Ju.-soat tiada setitik pun dapat ditirunya, sebaiknya ciri-cirinya justru telah lengkap<br />ditirunya,” jengek Tokko Bi.<br />“Tapi sedikitnya ada sesuatu cin Sebun Jui-soat yang tidak dapat ditiru orang lain.” ujar Siau-hong.<br />“Pedangnya?” tanya Tokko Bi.<br />“Bukan pedangnya, tapi kesepiannya.”<br />Kesepian. Serupa kesepian dingin salju di atas gunung di kejauhan. Seperti kesepian bintang di malam musim dingin.<br />Hanya seorang yang benar-benar dapat merasakan kesepian semacam ini, yang rela menahan kesepian ini, barulah<br />dia dapat mencapai tingkatan seperti apa yang telah dicapai Sebun Jui-soat.<br />Sejak tadi Yap Koh-hong hanya menatap Liok Siau-hong dengan tajam, baru sekarang ia bersuara, jengeknya, “Hm,<br />kau ini barang apa? Berani kau bicara tentang diriku di depanku?”<br />Liok Siau-hong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Ia tahu Tokko Bi pasti akan mendahului menjadi juru<br />bicaranya. Dan dugaannya memang tidak salah.<br />Dengan tertawa Tokko Bi lantas berkata, “Dia bukan barang melainkan manusia. Jika di dunia ini ada manusia yang<br />setimpal untuk bicara tentang Sebun Jui-soat, maka orang itu ialah dia ini.” “Sebab apa?” tanya Yap Koh-hong.<br />“Sebab dia mempunyai empat alis, juga lantaran di dunia ini cuma dia saja yang pernah tidur bersama isteri Sebun<br />Jui-soat.”<br />“Hah, Liok Siau-hong!” Yap Koh-hong tersentak kaget “Jadi kau Liok Siau hong?”<br />Terpaksa Siau-hong mengaku.<br />Urat hijau pada tangan Yap Koh-hong yang memegang pedang itu tampak menonjol, jelas dia sangat emosi,<br />jengeknya, “Seharusnya kubunuh kau dulu bagi Jui-soat....”<br />Tapi sayang, sekali ini orang yang harus kita bunuh bukan dia,” mendadak seorang memotong ucapannya di atas<br />pohon.<br />Di tengah dedaunan yang lebat itu segera bergemersak, sesosok bayangan lantas melayang turun segesit walet<br />berwarna jambon. Tertampaklah seraut wajah kemerahan seperti anak gadis dengan pakaian berwarna jambon yang<br />dibuat dengan sangat serasi dengan perawakannya, ikat pinggang berwarna jambon pula dan pada pinggangnya juga<br />tergantung sebuah kantung kulit warna jambon.<br />Bahkan sinar matanya juga menampilkan warna jambon, serupa kebanyakan lelaki bilamana melihat anak gadis yang<br />telanjang. Celakanya, pada waktu dia memandang Liok Siau-hong juga terpancar sikap demikian.<br />Mendadak Siau-hong merasa muak.<br />Namun Hun-yan-cu tidak mengacuhkan reaksi Siau-hong itu dia masih tetap tersenyum dan menatapnya, katanya<br />kemudian dengan tersenyum, “Liok Siau-hong memang tidak malu sebagai Liok Siau-hong, tidak mengecewakan<br />harapanku.”<br />“Oo?” melongok juga Siau-bong.<br />“Meski saat jni tampaknya engkau tidak terlalu baik, tapi bila kuberi sebaskom air panas, sepotong sabun, supaya<br />engkau mandi sebersihnya, habis itu engkau pasti akan menjadi seorang lelaki yang tentunya sangat menarik,”<br />dengan memicingkan mata Hun-yan-cu mengawasi Siau-hong pula, lalu menyambung, “Rasanya sekarang juga sudah<br />dapat kubayangkan dirimu.”<br />Agaknya Siau-hong tidak merasa muak lagi, sebab sekarang yang dirasakan olehnya adalah ingin sekali jotos<br />membikin ringsek hidung orang ini.<br />Untunglah pada saat itu Hun-yan-cu telah berpaling ke arah Yap Koh-hong dan berkata, “Orang ini bagianku, tidak<br />boleh kau sentuh dia.”<br />Yap Koh-hong juga merasa muak, jengeknya. “Huh. masa lelaki dan perempuan kau mau semua?”<br />Hun-yan-cu tertawa, katanya, “Terkadang aku pun menghendaki dirimu.”<br />Muka Yap Koh-hong yang pucat berubah menghijau.<br />“Aku pun tahu selama ini engkau sangat jemu padaku, tapi juga tidak dapat kekurangan diriku, sebab sekali ini jika<br />tidak ada diriku, bukan saja tak dapat kau temukan rase tua itu, bahkan juga jangan harap dapat pulang dengan<br />hidup.”<br />Ia tersenyum, lalu menyambung. “Kesatria muda dan perguruan ternama seperti dirimu ini, meski biasanya di luaran<br />sok berlagak gagah berani, tapi bila sudah berada di tengah hutan pemakan manusia ini, mungkin dua jam saja kau<br />tidak tahan hidup.”<br />Yap Koh-hong diam saja dan tidak menyangkal. Perlahan Hun-yan-cu menghela napas. “Maka sekarang bila<br />kuserahkan rase tua ini kepadamu, seharusnya kau merasa puas.”<br />Tangan Yap Koh-hong menggenggam pedangnya dan berkata, “Harus kau berikan dia padaku, kau tahu aku sudah<br />bersumpah harus membunuhnya dengan tanganku sendiri.”<br />“Dan bagaimana dengan Liok Siau-hong?” tanya Hun-yan-cu.<br />“Dia bagianmu, asal saja dia ....”<br />Belum lanjut ucapan Yap Koh-hong. mendadak Tokko Bi tertawa dan berseru, “Haha, kalian keliru semua, Liok Siauhong<br />bukan bagiannya, juga bukan bagianmu.”<br />“Habis bagian siapa?” tanya Hun-yan-cu.<br />“Bagianku,” kata Tokko Bi.<br />Hun-yan-cu juga bargelak tertawa, katanya, “Seumpama dia juga mempunyai hobi seperti diriku, kukira dia juga<br />takkan menaksir dirimu.”<br />“Tapi kalau dia ingin tetap hidup, dia tentu takkan membiarkan aku mati di tangan kalian,” ujar Tokko Bi.<br />Kembali Hun-yan-cu berpaling menghadapi Liok Siau-hong dan berkata dengan suara lambut, “Asalkan engkau tidak<br />ikut campur urusan kami, boleh juga kubiarkan hidup bagimu.”<br />Siau-hong diam saja tanpa memberi reaksi.<br />Setelah menarik napas lagi, Hun-yan-cu berkata, “Nah, Yap-toasiauya, agaknya sekarang boleh kau turun tangan.”<br />“Baik,” kata Yap Koh-hong. Bagitu bicara begitu pula pedang dilolos dari sarungnya.<br />Kecepatannya melolos pedang tidak dapat menandingi Sebun Jui-soat, tapi juga tidak lebih lambat daripada orang<br />lain.<br />Jurus serangan ini merupakan intisari ilmu pedangnya. Juga serangan yang mamatikan, tanpa kenal ampun.<br />Tokko Bi membuka mulut, ingin berteriak, tapi tidak keluar suara sedikitpun, Liok Siau-hong ternyata juga tidak<br />merintanginya.<br />Hun-yan-cu masih tertawa, tapi mendadak tertawanya terbeku. Tahu-tahu ujung pedang menongol keluar di dadanya,<br />darah berhamburan. Darah Hun-yan-cu sendiri.<br />Sungguh Hun-yan-cu tidak percaya, tapi sayang, mau tak mau dia harus percaya. Tangannya bergerak bermaksud<br />merogoh senjata rahasia dalam kantung kulit, tapi orangnya keburu roboh terkulai.<br />Pada ujung pedang Yap Koh-hong itu masih menitikkan darah, perlahan Yap Koh-hong meniup titik darah terakhir<br />pada ujung pedangnya.<br />Meniup titik darah pada ujung pedang sebenarnya adalah kebiasaan Sebun Jui-soat, tapi Yap Koh-hong telah dapat<br />menirukan setiap gerak-gerik nya dengan sangat persis.<br />Cuma sayang, dia bukan Sebun Jui-soat.<br />Sorot mata Yap Koh-hong menampilkan semacam perasaan terangsang dan penuh semangat, serupa perajurit yang<br />siap menyerbu musuh.<br />Titik darah terakhir tadi kebetulan jatuh di atas muka Hun-yan-cu, kulit mukanya masih berkerut-kerut, biji matanya<br />melotot besar, tapi semu merah pada wajahnya sudah lenyap.<br />Tiba-tiba Siau-hong merasa orang ini sangat kasihan. Biasanya dia suka kasihan kepada orang yang mati tanpa<br />mengetahui sebab-musababnya, ia tahu Hun-yan-cu pasti juga mati dengan penasaran.<br />Darah sudah kering, pedang sudah kembali masuk sarungnya. Tiba-tiba Yap Koh-hong berpaling dan melototi Tokko<br />Bi.<br />Tokko Bi juga sedang melototi Yap Koh-hong dengan pandangan heran dan curiga.<br />“Tentunya tak terpikir olehmu mengapa kubunuh dia. bukan?” jengek Yap Koh-hong.<br />Tokko Bi memang tidak pernah menyangka. Siapapun tidak pernah menduga.<br />“Kubunuh dia hanya lantaran dia hendak membunuhmu,” kata Yap Koh-hong pula.<br />“Kedatanganmu bukan untuk membunuhku?” tanya Tokko Bi.<br />“Bukan,” jawab Yap Koh-hong.<br />Tokko Bi tambah tercengang. “Namun sebenarnya kau....”<br />“Sebenarnya aku memang sudah bertekad akan membinasakan dirimu di bawah pedangku.” tukas Yap Koh-hong.<br />“Dan mengapa sekarang berubah pikiranmu?”<br />“Sebab kutahu engkau bukan lagi orang hidup.”<br />Ucapan ini sangat aneh dan tidak dimengerti oleh orang lain. Tapi Tokko Bi tampaknya paham malah, ia menghela<br />napas dan berkata, “Apakah kau pun orang San-ceng (perkampungan)?”<br />“Tak kau sangka bukan?”<br />Tokko Bi mengaku, “Ya, mimpi pun tak terpikir olehku.”<br />Sorot mata Yap Koh-hong menampilkan senyuman mengejek, katanya pula dengan perlahan, “Dengan sendirinya tak<br />tersangka olehmu. Ada sementara orang sama sekali tidak pernah terpikir apa yang akan dilakukannya sendiri.”<br />Tokko Bi juga menghela napas gegetun, “Orang dalam San-ceng sana sungguh sangat aneh, seperti selamanya tak<br />dimengerti oleh orang lain.”<br />“Justru lantaran itulah, maka dia sampai saat ini masih tetap ada,” ujar Yap Koh-hong.<br />Perlahan Tokko Bi mangangguk, mendadak ia membelokkan pokok pembicaraan, tanyanya, “Eh, pernah kau lihat cara<br />turun tangan Liok Siau-hong?”<br />“Tidak pernah,” jawab Yap Koh-hong. “Apakah kau tahu betapa tinggi ilmu silatnya?”<br />“Tidak tahu.”<br />“Betapa banyak pengetahuanmu terhadap orang ini?” “Kau tahu, dia pernah menyambut jurus serangan Thian-gwahui-<br />sian andalan Pek-in-sengcu.”<br />“Tapi sekarang dia telah dilukai oleh pedang Sebun Jui-soat.”<br />“Ya, dapat kulihat,” kata Yap Koh-hong, “Sekarang ingin kutanya lagi padamu, hendaknya kau pikirkan secara<br />mendalam baru memberi jawaban.”<br />Mendadak sikap Tokko Bi barubah sangat kereng, lalu menyambung sekata demi sekata, “Sekarang adakah<br />keyakinanmu akan dapat membunuh dia?”<br />Yap Koh-hong diam saja, matanya kembali menampilkan senyuman mengejek, urat hijau juga timbul pada dahinya,<br />selang agak lama barulah ia menjawab dengan perlahan. “Aku bukan Sebun Jui-soat.”<br />Tokko Bi memandanginya sekian lama, kemudian barulah ia berpaling ke arah Liok Siau-hong.<br />Sama sekali Liok Siau-hong tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, apa yang diperbincangkan mereka tadi seakanakan<br />sama sekali tidak dimengerti olehnya.<br />Tiba-tiba Tokko Bi tcrtawa dan berucap, ‘Tadi engkau tidak turun tangan menyelamatkan diriku.”<br />Siau-hong diam saja.<br />“Sekarang aku pun tidak bermaksud membunuhmu, sebab kami tidak yakin mampu membunuhmu,” kata Tokko Bi<br />pula.<br />Akhirnya Siau-hong membuka mulut, “Tapi jalan yang kita tempuh tadi rasanya lama.”<br />“Segala urusan di dunia ini laksana awan di angkasa, setiap saat bisa mengalami berbagai perubahan, apalagi antara<br />kita berdua?”<br />“Ehm, betul juga,” Siau-hong manggut-manggut.<br />“Maka sekarang biarlah kau tetap kau dan aku tetap aku, lebih baik kau pergi menuju ke jalanmu sendiri saja.”<br />“Kukira kurang baik,” sahut Siau-hong.<br />“Kurang baik?”<br />“Ya, sebab jalan yang kutempuh pasti tetap jalan tadi, jalan kematian.”<br />Tokko Bi tertawa, katanya, “Itu kan urusanmu sendiri.”<br />“Dan kau?” tanya Siau-hong.<br />“Dengan sendirinya ada jalanku sendiri yang akan kutempuh.”<br />“Jalan apa? Jalan menuju ke San-ceng?”<br />Tokko Bi menarik muka, jengeknya, “Jika sudah kau denga: untuk apa pula bertanya?”<br />Tapi Liok Siau-hong justru bertanya lagi, “San-ceng apa yang hendak kau tuju?”<br />“San-ceng yang tidak dapat kau datangi,” jawab Tokko Bi.<br />“Mengapa tidak dapat kudatangi?”<br />“Sebab kau bukan orang mati.”<br />“Hanya orang mati yang boleh datang ke San-ceng sana.<br />Tokko Bi mengiakan.<br />“Kau sendiri orang mati?” tanya Siau-hong.<br />Kembali Tokko Bi membenarkan. Siau-hong tertawa, katanya. “Baiklah, boleh kalian berangkat.”<br />Dengan tersenyum ia melambaikan tangannya dan berkata pula. “Jika aku tidak ingin pergi ke perkampungan orang<br />mati, juga tidak mau menjadi orang mati, asalkan tetap hidup, biarpun hidup lebih lama setengah jam saja kan Iebih<br />baik.”<br />Dia terus melangkah pergi dengan gagah, hanya sekejap saja sudah menghilang di tengah remang kelabu hutan lebat<br />itu.<br />Setelah bayangannya menghilang barulah Tokko Bi berteriak, “He, benar-benar kau biarkan dia pergi?”<br />“Dia memang sudah pergi,” ujar Yap Koh-hong. “Kau tidak kuatir dia akan membocorkan rahasia San-ceng?” “Rahasia<br />yang diketahuinya tidak banyak, apalagi dalam keadaan demikian, mungkin sekali dia memang tidak dapat hidup lebih<br />lama daripada setengah jam lagi.”<br />“Yang jelas sekarang dia kan tidak mati, malahan dapat menguntit kita sacara diam-diam.”<br />“Kita hendak pergi kemana?” tanya Yap Koh-hong tiba-tiba. “Dengan sendirinya ke San-ceng.” jawab Tokko Bi.<br />“Salah,” jengek Yap Koh-hong. “Bukan kita, tapi kau sendiri yang pergi.”<br />“Kau tidak pergi?” tanya Tokko Bi.<br />‘Mengapa aku harus pergi ke sana?” jawab Yap Koh-hong dengan tak acuh.<br />Air muka Tokko Bi seketika berubah.<br />“Kutahu engkau dan pihak San-ceng ada perjanjian, dengan sendirinya (ak dapat kubunuh dirimu, tapi aku pun tidak<br />bilang hendak membawamu ke sana.”<br />Air muka Tokko Bi tampak berkerut-kerut, ucapnya dengan gemetar, “Tapi kan dapat kau lihat selangkah pun aku<br />tidak sanggup berjalan lagi.”<br />“Itu kan urusanmu sendiri,” jengek Yap Koh-hong. Memangnya apa sangkut-pautnya denganku?”<br />Mendadak ia melolos pedang lagi dan menabas seranting daun pohon dan digunakan sebagai alas tempat duduk, lalu<br />ia duduk bersila di situ.<br />Dengan gemas Tokko Bi manatapnya, akhirnya ia tidak tahan dan bertanya pula, “Mengapa engkau tidak pergi?”<br />“Mengapa aku harus pergi?” jawab Yap Koh-hong dengan adem-ayem.<br />“Apakah hendak kau tunggu kematianku?”<br />“Boleh kau mati dengan perlahan, aku tidak tergesa-gesa,” jawab Yap Koh-hong. .<br />Dia bersikap sangat tenang dan santai, malahan dia lantas mengeluarkan sepotong daging rebus yang dibungkus<br />dengan kertas minyak, juga terdapat sebotol arak.<br />Bagi seorang kakek yang telah bergulat dengan kehausan dan kelaparan selama 36 jam, bau arak dan daging bukan<br />lagi merangsang melainkan semacam siksaan. Sebab dia hanya dapat memandang saja, dan bau sedap itu serupa<br />jarum tajam yang menusuknya sehingga membuatnya gemetar.<br />Seperti sengaja mengiming-iming, perlahan Yap Koh-hong meneguk araknya, lalu menghela napas puas, katanya,<br />“Kutahu hatimu tentu lagi menyesal mengapa tadi tidak membiarkan Liok Siau-hong pergi. Tapi ada satu hal yang<br />jelas tidak kau ketahui.”<br />Tokko Bi memang ingin memencarkan perhatiannya terhadap arak dan daging dengan berbicara, maka segera ia<br />bertanya, “Hal apa?”<br />“Sebabnya tidak kubunuh Liok Siau-hong bukan lantaran aku tidak yakin mampu membunuhnya, tapi sengaja<br />kubiarkan dia mati di tangan Sebun Jui-soat.”<br />“Oo!” Tokko Bi bersuara singkat.<br />“Tapi sekarang bila dia berani datang lagi, sekali pedangku terlolos pasti darahnya akan berhamburan.” ucap Yap Kohhong<br />dengan angkuh.<br />Untuk menghilangkan rasa lapar dan hausnya, Tokko Bi berusaha memencarkan perasaan itu dengan berbicara, maka<br />ia berkata pula “Apakah maksudmu di dunia ini tidak ada orang yang mampu menyelamatkan diriku lagi, juga tidak<br />ada yang sanggup menolong Liok Siau-hong keluar-dan hutan maut inir’<br />“Ya, pasti tidak ada,” jawab Yap Koh-hong.<br />Siapa duga, baru selesai ia bicara, mendadak ada tangan terjulur dari balik pohon dan merampas botol arak yang<br />dipegangnya.<br />Reaksi Yap Ko-hong tidak lambat, begitu tangan tertarik kembali, serentak ia pun sudah berada di belakang pohon.<br />Tapi di belakang pohon ternyata tidak ada seorang pun.<br />Waktu ia kembali lagi ke tempat semula, terlihat botol arak sudah berada di tangan Tokko Bi dan sudah hampir<br />tertenggak habis isinya.<br />Daging rebus yang terbungkus keras minyak tadi sekarang juga sudah lenyap. Keruan Yap Koh-hong melongo dan<br />tidak berani bergerak lagi, napas pun seakan-akan berhenti, hutan yang remang kelabu sunyi bagai kuburan.<br />Sampai angin pun berhenti meniup, tapi dari atas pohon tiba-tiba melayang turun sehelai benda.<br />Secepat kilat Yap Koh-hong melolos pedang dan menusuk tembus benda itu. Ternyata kertas minyak pembungkus<br />daging tadi yang tersunduk pada ujung pedangnya.<br />Tokko Bi tertawa, bergelak tertawa sehingga air mata pun tercucur keluar.<br />Tapi Yap Koh-hong seperti tidak mendengar, mukanya tampak pucat menghijau, perlahan ia tanggalkan kertas minyak<br />itu.<br />“Kertas itu tak berdarah, apa yang hendak kau tiup?” ejek Tokko Bi karena orang sok meniru gaya Sebun Jui-soat.<br />Yap Koh-hong lelap berlagak tidak mendengar, sekali berkelebat pedang sudah kembali ke sarungnya.<br />Kemudian ilia duduk kembali di tempat tadi, ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan satu lipatan kertas,<br />dengan sebatang jarum in paku lipatan kertas pada batang pohon di belakangnya, lulu menjengek. “Inilah peta<br />terperinci cara bagamana keluar dari hilian atau masuk ke gunung sirna, barang siapa mampu boleh silakan ambil<br />sekalian!”<br />Dia lelap duduk membelakangi pohon, duduk tanpa hei gerak, bahkan mata pun terpejam sehingga serupa pcriapa<br />vane sivl:in» bersemedi.<br />Suara tertawa Tokko Bi juga berhenti, rnatanya terbelalak me mandangi lipatan kertas yang terpaku di pohon itu. Ia<br />tahu inilah umpan Yap Koh-hong untuk memancing ikan.<br />Kungfu Bu-tong-pay terhitung kelas utama sejajar dengan Siau-lim-pay, sejak berumur empat tahun Yap Koh-hong<br />sudah masuk perguruan Bu-tong, maka Lwekangnya jelas sudah mencapai tingkatan yang top.<br />Sekarang ia memusatkan segenap tenaga dan pikirannya, meski mata terpejam, namun setiap gerak-gerik beberapa<br />tombak di sekitarnya, biarpun suara jatuhnya sehelai daun kering pun tak terhindar dari mata telinganya.<br />Jadi umpan sudah diaturnya dengan baik, tapi dimana ikannya? Apakah ikan itu mau terpancing?<br />Seketika napas Tokko Bi seakan-akan berhenti waktu dilihatnya sebuah tangan terjulur perlahan dari balik pohon.<br />Gerak tangan ini sangat enteng, cepat dan lincah, begitu tangan terjulur segera lipatan kertas yang terpaku di batang<br />pohon disentuhnya.<br />Tapi pada saat itu juga, kembali sinar pedang berkelebat secepat kilat “cret”, ujung pedang menancap di pohon,<br />tangan itu terpantek tepat di batang pohon.<br />Air muka Tokko Bi berubah pucat, air muka Yap Ko-hong juga berubah, tapi perubahan air muka kedua orang<br />mempunyai cita rasa yang berbeda.<br />Tokko Bi tidak melihat darah. Tangan bukan kertas, mengapa tak berdarah?<br />Maka dapatlah Tokko Bi menghela napas lega, sebab sekarang dapat dilihatnya dengan jelas tangan itu tidak<br />terpantek oleh ujung pedang, sebaliknya ujung pedang yang terjepit oleh jari tangan itu. Terjepit oleh kedua jari saja.<br />Air muka Yap Koh-hong yang pucat mendadak berubah merah, dengan butiran keringat memenuhi dahinya ia telah<br />menarik pedang sekuat tenaganya, namun pedang itu serupa terjepit oleh tanggam yang maha kuat, sedikit pun tidak<br />bergeming.<br />Jari tangan siapakah itu? Jari tangan siapa yang memiliki kekuatan gaib sehebat itu?<br />Siapa lagi? Dengan sendirinya tuma Liok Siau-hong saja.<br />Senyuman menghiasi wajah Tokko Bi pula, ucapnya, “Pedangmu sudah keluar pula dari sarungnya, tapi tampaknya<br />seperti tidak memercikkan darah?”<br />Yap Koh-hong menjadi nekat, mendadak ia lepaskan pedangnya terus melompat ke belakang pohon.<br />Sekali ini terlihat Liok Siau-hong berdiri di belakang pohon dan sedang memandangnya dengan tertawa, pada<br />tangannya masih memegang pedangnya, memegang pedangnya dengan jepitan dua jari pada ujung pedang itu.<br />“Tanpa menggunakan pedang juga dapat kubunuh kau,” jengek Yap Koh-hong.<br />“Tapi pedang ini punyamu dan tetap akan kukembalikan padamu,” ujar Siau-hong dengan tersenyum.<br />Segera Yap Koh-hong turun tangan, yang digunakan adalah ilmu pukulan lunak. ‘Bian-ciang’ yang terkenal dari Butong-<br />pay, diselingi pula dengan kungfu mencengkeram dan menangkap, kungfu bertangan kosong menghadapi lawan<br />yang bersenjata, kelima jarinya melengkung serupa kaitan baja.<br />Siapa tahu Siau-hong benar-benar menyodorkan pedang padanya, ujung pedang tetap terjepit oleh jarinya, tangkai<br />pedang yang diangsurkan.<br />Tanpa terasa Yap Koh-hong menjulurkan tangan untuk memegang, tapi air mukanya lantas berubah ketika dirasakan<br />darah merembes keluar dari genggamannya.<br />Padahal yang disodorkan Liok Siau-hong barusan jelas-jelas tangkai pedangnya, tahu-tahu yang terpegang olehnya<br />justru ujung pedang yang tajam. Sampai cara bagaimana Liok Siau-hong bergerak juga tidak terlihat olehnya.<br />“Ini kan pedangmu sendiri dan tidak ada orang yang hendak merampasnya, mengapa kau pegang sekuat itu?” ucap<br />Siau-hong dengan tcrtawa.<br />Wajah Yap Koh-hong pucat seperti mayat, tiba-tiba ia bertanya, “Perlu beberapa jurus serangan baru Sebun Jui-soat<br />dapat melukaimu?”<br />“Satu jurus,” jawab Siau-hong menegas.<br />“Masa tidak dapat kau sambut satu jurus serangnya?” Yap Koh-hong menegas.<br />Siau-hong hanya tersenyum getir saja tanpa menjawab. “Apakah waktu itu kau mabuk?” tanya Yap Koh-hong pula<br />Siau-hong menggeleng.<br />“Apakah betul satu jurus saja tidak mampu kau elakkanr kembali Yap Koh-hong menegas.<br />Siau-hong menghela napas, “Kau tahu, kau pernah melihat caranya turun tangan, akan tetapi orang yang menonton<br />di samping selamanya tetap udak paham betapa cepat serangannya.”<br />Yap Koh-hong menunduk dan memandang tangan sendiri, tangan yang masih mengucurkan darah, ujung pedang<br />yang dipegangnya tidak dilepaskannya, dari ujung pedang juga meneteskan darah dan menetes terus ....<br />Mendadak ia menghela napas panjang, dengan ujung pedang yang dipegangnya itu ia tikam hulu hati sendiri.<br />Seketika helaan napas terhenti dan mata mendelik. Melengak juga Liok Siau-hong, “Tidak ada maksudku hendak<br />kubunuh dirimu, buat apa engkau bertindak begini?”<br />Keringat memenuhi wajah Yap Koh-hong vang pucal itu, napasnya juga mulai memburu, ucapnya sekuat tenaga,<br />“Selama 20 tahun aku belajar ilmu pedang, kuyakin tidak ada tandingannya di dunia. Mestinya sudah kutantang<br />Sebun Jui-soat untuk bertanding di puncak Ci-kim-tian pada waktu lohor hari Toan-yang nanti.”<br />“Waktu lohor hari Toan-yang tahun ini?” Siau-hong menegas. “Ya,” jawab Yap Koh-hong lemah, “Meski aku tidak yakin<br />akan menang, tapi aku percaya sanggup menempurnya. Tapi setelah bertemu denganmu barulah kusadari biarpun<br />aku belajar 20 tahun lagi juga tetap bukan tandingannya ....”<br />Bicara sampai sini, dia terbatuk-batuk tiada hentinya, namun maksudnya sudah jelas diketahui Liok Siau-hong.<br />Maklumlah, apabila tiba pada hari Toan-yang sebagaimana di-janjikannya, kalau tidak hadir, tentu malu bertemu<br />dengan kawan Kangouw, jika hadir, jelas juga akan keok.<br />Sebab tiba-tiba ia menyadari ilmu pedang sendiri, selisih sangat jauh dengan Sebun Jui-soat. Kalau satu jurus<br />serangan Sebun Jui-soat saja tak mampu dielakkan oleh Liok Siau-hong, sedangkan sekarang dia mati kutu<br />menghadapi Liok Siau-hong, maka jarak antara ilmu pedangnya dengan Sebun Jui-soat jelas teramat jauh.<br />Maka tantangannya terhadap Sebun Jui-soat tiada ubahnya mendatangkan aib baginya, bagi pandangannya, aib<br />demikian jauh lebih besar daripada isterinya dihina orang.<br />Sorot mata Siau-hong menampilkan rasa kasihan, katanya, “Dan kau mati hanya lantaran urusan sepele ini?”<br />Yap Koh-hong mengangguk lemah.<br />Siau-hong menghela napas perlahan, tiba-tiba ia mendekati Yap Koh-hong dan berbisik beberapa patah kata padanya.<br />Mendadak kulit muka Yap Koh-hong berkerut-kerut seperti mengejang, sinar matanya menampilkan lagi semacam<br />perasaan yang sukar dimengerti oleh siapapun, ia tatap Siau-hong dengan bingung, lalu ambruklah dia.<br />Anehnya, sesudah roboh, pada ujung mulutnya menampilkan lagi secercah senyuman.<br />Pedang benda mati, manusia gugur dan pedang tetap hidup.<br />Siau-hong menggeleng dan menghela napas memandang pedang tak kenal ampun itu.<br />Bab 3. Hutan Pemakan Manusia, permulaan ke Perkampungan Hantu<br />Published by Hiu_Khu on 2008/1/1 (367 reads)<br />Buron tidak pernah berhenti. Kegelapan tiba pula.<br />Dalam kegelapan hanya terdengar dengus napas dua orang. Waktu suara dengusan berhenti, orangnya juga roboh<br />terkulai. Tidak peduli apakah tanah di situ kering atau lembab, sama sekali tidak ada hak pilih lagi bagi mereka..<br />Selangkah pun mereka tidak sanggup lari lagi, biarpun tenggorokan terancam pedang Sebun Jui-soat juga tetap<br />rebah.<br />Dipandang dalam kegelapan, pada setiap beberapa pohon selalu ada gemerdepnya setitik sinar bintang.<br />Cahaya kerlipan fosfor itu sangat lemah, biarpun dalam kege lapan pekat juga perlu diperhatikan benar-benar baru<br />dapat melihatnya. Dan bila ada sedikit cahaya terang saja kerlip fosfor itu segera akan lenyap.<br />“Apakah kita dapat keluar dengan mengikuti kerlip fosfor itu?”Siau-hong bertanya.<br />“Ehm.”<br />“Kau yakin?”<br />“Ehm.”<br />Meski keletihan setengah mati sehingga malas untuk bicara, terpaksa Tokko Bi harus menjawab juga, sebab ia tahu<br />Liok Siau-hong pasti akan terus bertanya.<br />“Ya, kuyakin pasti,” katanya dengan napas terengah. "Sebab asalkan sudah kau ikat perjanjian dengan mereka, maka<br />tidak nanti mereka mengkhianati dirimu.”<br />“Mereka itu siapa?” Siau-hong lantas bertanya lagi. “Apakah kau maksudkan orang di San-ceng sana?”<br />“Ehmm,” kembali Tokko Bi bersuara perlahan.<br />“San-ceng apa? Dimana letaknya?” Siau-hong masih terus bertanya. “Ada ikatan perjanjian apa antara kalian?”<br />Tokko Bi tidak menjawab, dari suara napasnya agaknya dia telah tertidur. Apakah dia tidur atau tidak, jelas ia telah<br />mengambil keputusan takkan menjawab lagi pertanyaan Siau-hong.<br />Agaknya Siau-hong juga merasa dirinya sudah bertanya terlalu banyak, ia lantas tutup mulut juga, malahan ingin<br />tutup mata untuk tidur senyenyaknya.<br />Tapi dia justru tidak dapat tidur.<br />Kerlip sinar fosfor di kejauhan itu tiba-tiba dirasakan sebentar jauh sebentar dekat.<br />Agaknya matanya juga sedemikian letih sehingga jarak dekat atau jauh tak dapat lagi dibedakannya. Tapi mengapa<br />dia sukar pulas? Maklumlah pikirannya sedang bekerja keras.<br />Hanya dalam kegelapan mutlak saja baru dapat membedakan tanda petunjuk jalan ini. Jika menggunakan obor, kerlip<br />sinar fosfor akan hilang. Pada siang hari lebih-lebih tak tertampak.<br />Unluk hal ini mungkin juga tak pernah terpikir oleh Sebun Jui-soat, maka dengan sendirinya ia pun takkan menempuh<br />perjalanan dalam kegelapan mutlak begini.<br />• Agaknya penghuni San-ceng atau perkampungan gunung sana sangat cerdik, setiap perencanaan mereka sudah<br />terpikir secara rapi dan sangat bagus.<br />• Apakah Tokko Bi benar-benar akan membawaku ke San-ceng sana?<br />• Dia ada ikatan perjanjian dengan mereka dan aku tidak ada, setibaku di sana, apakah mereka mau menerima<br />diriku?<br />• Apakah di sana benar-benar suatu tempat yang aman dan terahasia sehingga Sebun Jui-soat sekalipun sukar<br />menemukannya?<br />• Mengapa tempat ini hanya boleh didatangi oleh ‘orang mati’?<br />Siau-hong tidak bisa pulas, sebab terlalu banyak pertanyaan yang sukar terjawab, semuanya merupakan teka-teki.<br />Sampai kapan baru teka-teki ini dapat dipecahkan?<br />Kegelapan yang mutlak juga ketenteraman yang mutlak.<br />Napas Tokko Bi perlahan juga berubah menjadi tenang dan teratur, didengarkan dalam kegelapan jadinya serupa<br />musik saja.<br />Siau-hong mendengarkan sekian lamanya, ia merasa geli bila membayangkan dengkur Tokko Bi yang serupa nyanyian<br />pada masa kecilnya dahulu.<br />Ia merasa geli, tapi dia tidak sempat tertawa, sebab pada saat itu juga, dalam kegelapan mendadak bergema suara<br />jeritan ngeri, menyusul lantas “bluk”, tubuh seorang yang mencelat ke atas terbanting dengan keras di atas tanah<br />lumpur<br />“Siapa?” tegur Siau hong tanpa terasa.<br />Tidak ada jawaban orang, selang agak lama baru terdengar suara rintihan Tokko Bi dalam kegelapan sana, agaknya<br />terluka.<br />Siapakah yang menyerangnya dalam kegelapan?<br />Berdebar hebat jantung Siau hong, kerongkongan terasa kering, tangan basah berkeringat dingin. Maklumlah, dalam<br />kegelapan pekat ini dia tidak dapat melihat apapun.<br />Selang sekian lama pula baru terdengar keluhan Tokko Bi yang lemah, “Ada ... ada ular berbisa.”<br />Siau hong menghela napas lega, tanyanya., “Darimana kau tahu ada ular?”<br />“Tempat yang tergigit ini tidak merasakan sakit, tapi kaku pegal, tutur Tokko Bi.<br />“Di bagian mana lukamu?” tanya Siau Hong.<br />“Pundak kiri,” jawab Tokko Bi.<br />Siau hong merayap ke sana dan menemukan pundak kirinya, dirobeknya baju orang, segera jarinya merasakan bagian<br />yang bengkak itu, cepat ia pentang mulut dan mengisapnya dengan kuat tempat luka itu, sampai Tokko Bi berteriak<br />tak tahan barulah berhenti.<br />“Dapat kau rasakan sakit?” tanya Siau-hong.<br />“Ehm,” rintih Tokko Bi.<br />Kalau dapat merasakan sakit berarti bisa ular pada lukanya sudah terisap keluar seluruhnya.<br />Kembali Siau-hong menghela napas lega, katanya, “Jika masih bisa tidur, boleh tidur lagi. Kalau tidak, duduk saja<br />sebentar, tidak lama lagi fajar akan tiba.”<br />Tokko Bi merintih kesakitan pula sampai sekian lama, tiba-tiba ia berkata, “Mestinya kau tidak perlu berbuat begini<br />padaku.”<br />“Oo?!” Siau-hong ingin mendengarkan lebih lanjut.<br />“Setelah kau tahu jalan keluarnya sekarang, mengapa tidak kau tinggalkan saja diriku?”<br />Siau-hong termenung hingga lama baru menjawab, “Bisa jadi lantaran engkau masih dapat tertawa.”<br />Tokko Bi tidak mengerti.<br />Perlahan Siau-hong menyambung pula, “Sebab kurasakan, seseorang kalau masih bisa tertawa, maka dia tak dapat<br />dianggap seorang yang tidak mau kenal sanak famili lagi.”<br />Waktu fajar menyingsing, sinar fosfor petunjuk jalan itupun lenyap.<br />Dekat fajar tiba dapatlah Siau-hong istirahat sejenak.<br />Ada sementara orang mempunyai kekuatan yang serupa api di padang Malang, setiap saat dapat berkobar dengan<br />hebatnya, dan Liok Siau-hong adalah manusia jenis ini.<br />Sekali ini, sebelum kekuatan yang mulai berkobar lagi terkuras habis, segera diketahuinya bahwa mereka sudah<br />menembus hutan pemakan manusia itu.<br />Tertampaklah langit yang luas, sang surya baru terbit dari balik gunung di kejauhan sana, angin meniup sejuk<br />membawa bau harum dedaunan yang baru bersemi, butiran embun masih menghiasi kelopak serupa mutiara.<br />Siau-hong kucek-kucek mata sendiri, ia hampir tidak percaya kepada kenyataan ini. Sungguh keajaiban seakan-akan<br />dalam mimpi.<br />Tokko Bi yang mendekam di atas punggung Siau-hong juga berubah menjadi lebih segar. Tiba-tiba ia bertanya, “Di<br />depan sana bukankah ada sebatang pohon cemara tua?”<br />Waktu Siau-hong memandang ke sana, memang betul, ada pohon cemara tua satu-satunya tumbuh di depan batu<br />karang, jauh terpisah dari hutan lebat, seakan-akan tidak sudi tercampur dengan pepohonan yang bernilai rendah itu.<br />“Bukankah di bawah pohon cemara ada sepotong batu hijau besar?” Tokko Bi bertanya pula.<br />Betul juga, ada sepotong batu hijau sebesar meja, rata dan licin permukaan batu serupa pahatan.<br />Siau-hong mendekat ke sana dan berduduk di atas batu sambil menurunkan orang yang digendongnya, sambil<br />menghela napas lega ia berkata, “Akhirnya kita lolos juga dengan selamat.”<br />Dengan napas terengah Tokko Bi berkata, “Cuma sayang, tempat ini masih belum terhitung tempat yang aman.”<br />“Betapapun aku tidak jadi mangsa pohon pemakan manusia itu,” ucap Siau-hong pula.<br />“Namun sayang setiap saat engkau masih dapat mati di bawah pedang Sebun Jui-soat,” kata Tokko Bi.<br />Siau-hong menyengir, “Apakah tak dapat kau gunakan beberapa kata yang menyenangkan hatiku?”<br />Tokko Bi tertawa, “Aku cuma ing.n memberitahukan sesuatu padamu.<br />Siau-hong siap mendengarkan.<br />“Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang dapat menyelamatkan dirimu, tapi engkau telah menyelamatkan dirimu<br />sendiri.“<br />“Oo?!” Siau-hong melengak.<br />“Tadi waktu kau tolong diriku, sekaligus juga telah menolong dirimu sendiri.”<br />“Maksudmu, semula tidak ada niatmu hendak membawaku ke San-ceng itu?”<br />Tokko Bi mengangguk, katanya, “Ya, tapi sekarang sudah berubah pendirianku. Sebab biarpun aku biasanya tidak<br />mau tahu sanak famili, aku toh tetap manusia yang berperasaan.”<br />Ia menatap Siau-hong lekat-lekat, sorot matanya tajam bersifat licik itu tiba-tiba berubah menjadi lembut, ucapnya,<br />“Dalam keadaan begitu engkau tidak mau meninggalkan diriku, dengan sendirinya sekarang aku pun tidak dapat<br />meninggalkan dirimu.”<br />Maka tertawalah Siau-hong.<br />Betapapun manusia tetap mempunyai sifat kemanusiaan. Sifat manusia mempunyai sisinya yang bajik, terhadap ini<br />selamanya Siau-hong percaya penuh.<br />Di bawah pohon masih ada sepotong batu hijau yang lebih kecil, Tokko Bi berkata pula, “Coba pindahkan batu itu.<br />bukankah di bawahnya ada sebuah peti.”<br />Siau-hong mengejarkan apa yang disebutkan.<br />Memang benar, di situ ada sebuah peti anyaman rotan, di dalam peti ada sepotong daging rebus, seekor ayam<br />panggang, sebotol arak, sebungkus obat luka dan sebuah sempritan serta sepucuk surat.<br />Bentuk sempritan sangat aneh, kertas surat dan warna sampul surat juga istimewa, tampaknya serupa kulit orang<br />mati.<br />Surat itu hanya tertulis sepuluh huruf yang berbunyi: “Tiup sempritan, dengarkan gemanya dan ikuti menurut<br />suaranya’.<br />Siau-hong minum seceguk arak itu, lalu memuji. “Ehm, arak sedap! Tampaknya cara berpikir orang-orang ini sangat<br />cermat “Cara bekerja mereka bukan saja dengan perencanaan yang rapi, bahkan nama mereka juga dipercaya,” tutur<br />Tokko Bi. “Asalkan sudah kau teken kontrak dengan mereka, pasti mereka akan bertanggungjawab mengantarmu ke<br />San-ceng.”<br />“Kontrak apa?’” tanya Siau-hong.<br />“Kontrak menyelamatkan jiwa,” tutur Tokko Bi.<br />Sekali ini dia tak mengelakkan pertanyaan orang, maka Siau-hong bertanya pula, “San-ceng apa namanya?”<br />“Yu-leng-san-ceng,” jawab Tokko Bi.<br />Yu-leng-san-ceng! Perkampungan Hantu!<br />Hanya orang mati yang pergi ke tempat begitu.<br />Siau-hong merasa seram, ia coba bertanya pula, “Memangnya tempat itu hanya dihuni arwah orang mati saja?”<br />Tokko Bi tertawa misterius, jawabnya perlahan, “Justru lantaran tempat itu seluruhnya dihuni arwah orang mati,<br />makanya tiada seorang hidup pun dapat menemukannya, juga tidak ada seorang hidup pun berani menerjang ke<br />sana.”<br />“Dan kau?” tanya Siau-hong.<br />Tawa Tokko Bi bertambah misterius, ucapnya tenang, “Kalau aku sudah menuju kematian, dengan sendirinya tidak<br />bisa lain daripada mati.”<br />“Jika tiada jalan lain daripada mati, dengan sendirinya kau terhitung orang mati,” tukas Siau-hong.<br />“Rupanya sekarang baru jelas bagimu.”<br />“Tidak, aku tidak jelas, sedikitpun tidak mengerti,” ujar Siau-hong.<br />Sempritan itu berada pada tangannya, ia coba memandangnya dun meniupnya perlahan, mendadak bergema suara<br />melengking tajam yang aneh, sampai dia berjingkrat kaget<br />Pada saat itulah, dan kejauhan lantas berkumandang suara sempritan yang serupa, berkumandang dari arah barat<br />tepat.<br />Di pegunungan sunyi, untuk membedakan suara sempalan tidaklah sulit, segera mereka menuju ke arah suara<br />sempritan itu makin jauh makin meninggi, di sekeliling penuh gumpalan awan sehingga akhirnya mereka berada di<br />tengah awan belaka<br />Setelah minum arak dan makan ayam panggang, Siau-hong merasa penuh semangat dan tenaga, betapa jauh<br />perjalanan itu sanggup didatanginya.<br />Tetapi keadaan Tokko Bi makin lama makin payah, sampai Siau-hong pun dapat mencium busuk dari lukanya. Namun<br />Siau-hong tidak memusingkannya.<br />“Sebun Jui-soat kan bukan orang tuli?” gumam Tokko Bi.<br />“Tentu saja tidak tuli,” kata Siau-hong.<br />“Dan dengan sendirinya ia pun dapat mendengar suara sempritan tadi.”<br />“Pasti.”<br />“Makanya setiap saat dia dapat menyusul kemari.”<br />“Sangat mungkin.”<br />“Sekarang setelah kutahu cara orang menuju ke perkampungan gunung sana kan lebih baik kau tinggalkan diriku<br />saja,” ucap Tokko Bi. Karena sakitnya, kulit mukanya berkerut-kerut alias meringis. “Betapapun berjalan sendirian<br />tentu akan lebih cepat dari-pada menggendong diriku. Apalagi, jelas aku tidak berguna lagi, seumpama dapat<br />mencapai tempat tujuan juga takkan hidup lama lagi.”<br />Dia bicara dengan hati tulus ikhlas, namun Siau-hong seolan-olah tidak mendengar. Dia berjalan dengan lebih cepat,<br />gumpalan awan kini sudah mengembang di bawah kakinya, mendadak pandangannya terbeliak.<br />Langit cerah di depan sana, gunung menghijau bagai lukisan di kejauhan.<br />Tenggelam hati Siau Hong, tertekan sekali.<br />Ternyata di depannya adalah sebuah jurang yang tak terperikan dalamnya. Pegunungan yang serupa lukisan di<br />kejauhan itu tertampak jelas, namun dia sudah menghadapi jalan buntu.<br />la coba menjemput sepotong batu dan dilemparkan ke bawah. ternyata tiada terdengar gema suara apapun.<br />Di bawah penuh gumpalan awan dan tidak ada apa-apa, bahkan arwah orang mati juga tidak terlihat.<br />Memangnya Yu-leng-san-ceng (perkampungan arwah orang mati) itu terletak di bawah jurang yang tak terkirakan<br />dalamnya ini?<br />Siau-hong tersenyum getir, gumamnya, “Bilamana ingin menuju ke Yu-Ieng-san-ceng, tampaknya juga bukan<br />pekerjaan yang sulit, asalkan kau terjun ke bawah, tanggung akan menjadi orang mati, dan tiba di tempat tujuan.”<br />Tiba-tiba Tokko Bi berucap dengan terputus-putus, “Coba ... coba tiup sempritan lagi.”<br />Siau-hong menurut. Suara sempritan yang melengking tinggi itu memecahkan kesunyian puncak gunung dan juga<br />menembus awan.<br />Mendadak di tengah lautan awan muncul satu orang. Karena di atas langit penuh awan dan di bawah jurang juga<br />diliputi awan, maka orang ini menjadi serupa berdiri terapung di tengah awan.<br />Orang apakah yang dapat berdiri terapung di tengah awan?<br />Orang mati? Arwah orang mati?<br />Siau-hong menarik napas dingin, tiba-tiba dilihatnya orang ini sedang bergeser, bahkan bergerak dengan sangat cepat<br />seperti meluncur di atas awan, hanya sekejap saja warna bajunya sudah dapat dibedakan, raut wajahnya juga sudah<br />terlihat jelas.<br />Namun orang ini pada hakikatnya tidak punya raut wajah, mukanya rata serupa dipotong oleh senjata tajam.<br />Orang yang tidak pernah menyaksikan sendiri pasti tidak pernah membayangkan ada wajah semacam ini.<br />Nyali Liok Siau-hong tidak kecil, tapi demi melihat muka yang istimewa ini. kaki pun terasa lemas, hampir saja ia<br />jatuh terjerumus kc dalam jurang.<br />Ia pun dapat merasakan Tokko Bi yang digendongnya itu sedang gemetar, sementara itu orang aneh sudah sampai di<br />depan mereka. Cepat amat dalangnya.<br />Meski orang ini sudah melayang kc atas puncak, tapi gerak lu-buh orang ini tampak begitu enteng, cara berjalannya<br />seolah-olah mengapung di permukaan tanah.<br />Selama ini Liok Siau-hong yakin tokoh dunia Kangouw yang mempunyai Ginkang paling tinggi hanya ada tiga orang,<br />yaitu Sukong Ti-seng, Sebun Jui-soat dan dia sendiri. Tapi sekarang baru diketahui pendiriannya itu ternyata keliru.<br />Betapa aneh Ginkang orang ini serupa dengan mukanya yang aneh, kecuali menyaksikan sendiri, kalau tidak, sungguh<br />sukar untuk dibayangkan.<br />Sekarang orang itu pun sedang menatap Liok Siau-hong dengan tajam, kedua matanya tampak merah mencorong<br />serupa lahar yang baru tersembur keluar dari gunung berapi, panas dan berbahaya.<br />Menghadapi orang semacam ini. sungguh Siau-hong tidak tahu apa yang harus diucapkan.<br />Tapi Tokko Bi lantas menegur malah, “Apakah engkau Kau-hun-sucia dari Yu-lcng-san-ceng?”<br />Ketika diketahui orang aneh itu mengangguk. Tokko Bi lantas menyambung, “Namaku Tokko Bi, arwahku sekarang<br />sudah datang!”<br />Akhirnya orang itu buka mulut. “Kutahu, kutahu engkau akan<br />datang.”<br />Cara bicaranya sangat perlahan, suaranya lirih, serak sepat, sebab dia tidak berbibir.<br />Orang yang tidak pernah melihatnya, selamanya sukar membayangkan betapa anehnya cara bicara seorang yang tak<br />berbibir.<br />Tokko Bi tidak berani memandang lebih lama kepada orang itu ia kuatir mungkin dirinya tidak tahan dan bisa tumpah.<br />Mendadak orang yang disebut sebagai Kau-hun-sucia atau duta penggaet sukma .tu menjengek. “Hm. tidak beran,<br />kau pandang diriku, apakah karena mukaku terlalu jelek?”<br />Cepat Tokko Bi menyangkal, “O, tidak ...”<br />“Kalau bicara harus menghadap diriku dan menatap wajahku.<br />bentak Kau-hun-sucia.<br />Terpaksa Tokko B, memandang wajah orang, tapi tidak bicara lagi, sebab kerongkongannya serasa tersumbat dan<br />perut mulas sehingga sukar bersuara.<br />Selama ini Liok Siau-hong yakin tokoh dunia Kangouw yang mempunyai Ginkang paling tinggi hanya ada tiga orang,<br />yaitu Sukong Ti-seng, Sebun Jui-soat dan dia sendiri. Tapi sekarang baru diketahui pendiriannya itu ternyata keliru.<br />Betapa aneh Ginkang orang ini serupa dengan mukanya yang aneh, kecuali menyaksikan sendiri, kalau tidak, sungguh<br />sukar untuk dibayangkan.<br />Sekarang orang itu pun sedang menatap Liok Siau-hong dengan tajam, kedua matanya tampak merah mencorong<br />serupa lahar yang baru tersembur keluar dari gunung berapi, panas dan berbahaya.<br />Menghadapi orang semacam ini. sungguh Siau-hong tidak tahu apa yang harus diucapkan.<br />Tapi Tokko Bi lantas menegur malah, “Apakah engkau Kau-hun-sucia dari Yu-lcng-san-ceng?”<br />Ketika diketahui orang aneh itu mengangguk. Tokko Bi lantas menyambung, “Namaku Tokko Bi, arwahku sekarang<br />sudah datang!”<br />Akhirnya orang itu buka mulut. “Kutahu, kutahu engkau akan datang.”<br />Cara bicaranya sangat perlahan, suaranya lirih, serak sepat, sebab dia tidak berbibir.<br />Orang yang tidak pernah melihatnya, selamanya sukar membayangkan betapa anehnya cara bicara seorang yang tak<br />berbibir.<br />Tokko Bi tidak berani memandang lebih lama kepada orang itu ia kuatir mungkin dirinya tidak tahan dan bisa tumpah.<br />Mendadak orang yang disebut sebagai Kau-hun-sucia atau duta penggaet sukma .tu menjengek. “Hm. tidak beran,<br />kau pandang diriku, apakah karena mukaku terlalu jelek?”<br />Cepat Tokko Bi menyangkal, “O, tidak ...”<br />“Kalau bicara harus menghadap diriku dan menatap wajahku!”, bentak Kau-hun-sucia.<br />Terpaksa Tokko Bi memandang wajah orang, tapi tidak bicara lagi, sebab kerongkongannya serasa tersumbat dan<br />perut mulas se-hingga sukar bersuara.<br />Siau-hong tertawa, “Tidak perlu kau kuatirkan diriku, jika aku dapat sampai di sini dengan hidup, pasti juga kudapat<br />pulang kesana dengan hidup.<br />Tokko Bi bisa tertawa juga, serunya, “Haha, kutahu engkau tidak pernah memikirkan mati dan hidup, sebaliknya aku<br />sangat takut mati....”<br />“Tapi sekarang engkau tidak takut lagi,” tukas Siau-hong<br />Tokko Bi mengangguk, “Ya. sebab aku ...”<br />“Sebab engkau toh tak bisa hidup lama lagi, maka kesempatan hidup hendak kau berikan padaku.”<br />“Ya, inilah satu-satunya kesempatan,” ujar Tokko Bi.<br />“Perkataanmu ini sebelumnya sudah pernah kudengar, mak sudmu juga dapat kumaklumi, cuma....”<br />“Kau tetap tidak mau?” sela Tokko Bi.<br />Siau-hong tertawa, “Dapat bersahabat dengan seorang yang biasanya tidak kenal sanak famili, kan sangat<br />memuaskan bagiku? Cuma sayang aku tidak mempunyai kebiasaan membiarkan sahabat mati bagiku”<br />“Jadi kau pasti mau pergi?”<br />“Ya, kepergianku pasti lebih cepat daripadamu.”<br />Kau-hun-sucia memandangi mereka dengan dingin, sorot matanya menampilkan rasa jemu.<br />Dia jemu terhadap persahabatan, dengki terhadap segala apa yang baik di dunia ini, serupa kelelawar yang tidak suka<br />kepada sinar sang surya.<br />Sekonyong-konyong dari kejauhan ada suara orang berseru. “Bawa mereka kemari, keduanya bawa kemari semua!”<br />Suaranya nyaring berkumandang dari lautan awan sana, tiba-tiba di tengah awan muncul pula bayangan warna<br />jambon, tampaknya juga seperti berdiri mengapung di udara dan sedang menggapai ke sini.<br />“Siapa yang suruh membawa mereka ke sana? tanya Kau-hun-sucia.<br />“Lau-to-pacu!” Seru orang itu.<br />Nama ini seperti semacam mantera, sekonyong-konyong Liok Siau-hong terbawa ke suatu dunia lain.<br />Betapapun tidak mungkin ada orang dapat berdiri terapung di udara atau di tengah lautan mega.<br />Kau-hun-sucia juga manusia dan bukan arwah yang tak berwujud, tapi cara bagaimana dia datang dan pergi seperti<br />mengapung di udara?<br />Sesudah menuju ke sana barulah Siau-hong dapat melihat di tengah awang-awang terdapat seutas tali baja yang<br />besar terikat melintang di antara kedua puncak tebing.<br />Inilah jembatan mereka. Jembatan dari dunia fana menuju ke pintu akhirat.<br />Di sisi tebing sebelah sini ada sebuah keranjang bambu yang besar dan tergantung di atas kawat baja dengan roda<br />peluncur.<br />Tebing sebelah sini lebih tinggi, kalau tali penahan dibuka, segera keranjang bambu meluncur ke seberang sana.<br />Sakarang Tokko Bi sudah berada di dalam keranjang itu.<br />Kau-hun-sucia melirik Siau-hong dengan dingin, jengeknya, “Apakah kau pun ingin duduk di dalam keranjang?”<br />“Aku berkaki,” jawab Siau-hong.<br />“Jika terjungkal ke bawah tentu tiada soal kaki lagi, malahan akan hancur lebur tak terkubur.”<br />“Kutahu.”<br />“Kawat baja ini sangat licin, angin pegunungan juga sangat kencang, betapa tinggi Ginkang seorang juga bisa<br />tergelincir ke bawah.”<br />“Pernah kau jatuh ke bawah?” tanya Siau-hong dengan tertawa.<br />“Tidak.” jawab Kun-hun-sucia.<br />“Kau suka padaku?” tanya Siau- hong pula.<br />Kun-hun-sucia hanya mendengus saja.<br />“Jika tidak pernah jatuh kc bawah, darimana kau tahu aku akan jatuh?” ujar .Sian-hong dengan lak acuh. “Jika engkau<br />tidak suka padaku, mengapa kau piknkan mau hidupku?”<br />“Hm, baik, kau jalan dulu!” jengek Kun-hun-sucia.<br />“Hendak kau saksikan aku jatuh ke bawah dari belakang?” tanya Siau-hong.<br />“Kesempatan menonton cara begini sangat sedikit, sayang jika kusia-siakan tontonan menarik ini.”<br />Kembali Siau-hong tertawa, katanya, “Namun sekali ini kutanggung engkau pasti akan kecelik.”<br />Kawat baja itu memang benar sangat licin, angin juga meniup dengan kencang. Orang yang berjalan di atas jembatan<br />kawat demikian serupa api lilin yang bergoyang-gontai tertiup angin.<br />Sejauh mata memandang sekeliling hanya awan melulu yang mengapung di udara dan bergerak perlahan, seluruh<br />jagat raya ini seakan-akan bergerak di udara, memang tidak gampang jika ingin berjalan tenang dan mantap di atas<br />kawat baja ini.<br />Tapi sesuatu yang tidak mudah dilakukan justru semakin menarik bagi Liok Siau-hong.<br />Jalannya tidak cepat, sebab cepat terlebih gampang daripada lambat. Dia sengaja berjalan dengan lambat, seperti<br />seorang sedang berjalan mencari angin di tanah lapang.<br />Tentu saja Kau-hun-sucia terpaksa harus mengikut dari belakang dengan perlahan dan hal ini semakin menambah<br />rasa senang Liok Siau-hong.<br />Angin menghembus lewat di bawah selangkangannya, gumpalan awan melayang lewat di sekitarnya, tiba-tiba<br />dirasakannya tiada sesuatu di dunia ini yang perlu dirasakannya, umpama benar dia terjatuh ke bawah juga tidak<br />menjadi soal baginya. Dia tidak mahir menyanyi, suaranya juga serak seperti suara burung gagak, tapi sekarang dia<br />jadi ingin menyanyi.<br />Mendadak terdengar suara angin mendesir, sesosok bayangan lewat di atas kepalanya, seorang hinggap di depannya.<br />Siapa lagi kalau bukan si ‘muka rata’ alias tidak punya muka.<br />Siau-hong menyengir, “Nyanyianku tidak enak didengar? “Huh, itu bukan bernyanyi, tapi kerbau menguak, jengek<br />Kun-hun-sucia.<br />“Hahaha, jadi kau pun ada kalanya tidak tahan, haha, bagus, bagus sekali!” seru Siau-hong dengan terbahak.<br />Kembali ia menyanyi dengan suara keras, sudah barang tentu suaranya tetap serak basah.<br />Kau-hun-sucia memandangnya dengan dingin tiba-tiba ia bertanya, “Kau Liok Siau-hong?”<br />“He, kenapa segera dapat kau kenali diriku setelah aku bernyanyi? Memangnya suara nyanyianku lebih tenar daripada<br />namaku?”<br />“Jadi benar kau Liok Siau-hong?” kembali Kau-hun-sucia menegas.<br />“Kecuali Liok Siau-hong, siapa pula yang punya suara tenor ini?” ujar Siau-hong dengan lagak biduan besar.<br />“Dan kau tahu siapa diriku?” tanya Kau-hun-sucia.<br />“Tidak tahu,” sahut Siau-hong. Lalu ia menambahkan dengan tartawa. “Meski di dunia cukup banyak orang yang tidak<br />punya muka, tapi tidak ada seorang pun yang berbuat setuntas dan terang seperti dirimu.”<br />Sorot mata Kau-hun-sucia membara pula, mendadak ia mencabut sebuah tusuk kundai kayu hitam dari gelung<br />rambutnya terus menusuk ke muka Liok Siau-hong.<br />Gerak tangannya tidak istimewa, jurus serangannya juga biasa, tapi cepat luar biasa.<br />Siau-hong tidak sempat mengelak, untuk mundur juga tidak bisa, terpaksa ia angkat tangan dan hendak menjepit<br />senjata orang dengan dua jari.<br />Inilah kungfu yang tidak ada bandingannya dan tidak pernah meleset andalan Liok Siau-hong, tapi sekali ini dia justru<br />meleset.<br />Tusuk kundai kayu hitam yang biasa itu mendadak seperti berubah menjadi dua dan tetap menusuk matanya secepat<br />kilat.<br />Jika di tanah datar, serangan ini tentu juga dapat dihindarkan Liok Siau-hong, tapi sekarang dia berdiri di atas kawat<br />baja yang licin dan terapung di udara.<br />Waktu dia menggeliat, berdirinya menjadi goyah, mendadak ia terjungkal ke bawah.<br />Apabila manusia jatuh ke dalam jurang tentu akan berubah menjadi bergedel.<br />Tapi dia tidak jadi bcrgedel. Waktu Kau-hun-sucia menunduk, tertampak sebelah kaki menggantol pada kawat baja,<br />Siau-hong tergantung bagai baju jemuran dan bergoyang-goyang tertiup angin.<br />Sudah begitu, dia malah juga tidak gugup dan takut, malahan dia merasa senang dan bernyanyi pula, “Goyang,<br />goyang, ayo di goyang, goyang sampai seberang...”<br />Dia tidak meneruskan, sebab dia lupa syair lagu lanjutannya.<br />“Tampaknya kau benar-benar Liok Siau-hong adanya.” kata Kau-hun-sucia.<br />“Maka sekarang aku masih Liok Siau-hong, tapi sebentar lagi bukan mustahil akan berubah menjadi Liok bergedel”<br />ujar Siau Hong.<br />“Sungguh kau tidak takut mati?”<br />“Tidak betul,” jawab Siau-hong, “berr”, seperti kitiran, tahu-tahu tubuhnya berputar ke atas dan berdiri tegak lagi di<br />atas kawat baja. Lalu berucap dengan tersenyum, Tampaknya kau pun tidak sungguh-sungguh hendak mematikan<br />aku.”<br />“Hm, aku cuma ingin kau tahu sesuatu,” jengek Kau-hun-sucia.<br />“Oo, urusan apa?” tanya Siau-hong.<br />Pandangan Kau-hun-sucia tampak jalang pula, ucapnya sekata demi sekata, “Supaya kau tahu, pedang Sebun Jui-soat<br />bukan pedang kilat yang tidak ada bandingannya di dunia ini, aku bisa lebih cepat daripada dia.”<br />Sekali ini Liok Siau-hong tidak tertawa, tiba-tiba sorot matanya menampilkan semacam perasaan yang sangat aneh,<br />tanyanya sambil menatap orang, “Sesungguhnya siapa kau?”<br />“Seorang yang tidak punya muka,” jawab Kau-hun-sucia.<br />Karena tidak punya muka, dengan sendirinya tidak terlihat sesuatu perasaan pada wajahnya. Akan tetapi suaranya<br />tiba-tiba terdengar seperti membawa semacam rasa duka nestapa yang sukar dijelaskan.<br />Selagi Siau-hong hendak bertanya, mendadak si muka rata melayang pergi seperti burung, dalam sekejap saja sudah<br />menghilang di tangah lautan awan.<br />Bab 4. Liok-koangkoan, akhirnya Liok siau-hong punya rumah.<br />Published by Hiu_Khu on 2008/1/8 (297 reads)<br />Siau-hong berdiri termangu di tengah awan dan entah apa yang sedang dipikirkannya.<br />Selang agak lama barulah ia mulai melangkah ke depan dan akhirnya mencapai seberang sana. Dilihatnya di depan<br />puncak tebing itu ada seutas benang merah yang terikat melintang pada dua batang galah bambu.<br />Di kejauhan ada seorang mendengus padanya, “Bila kau terjang benang mati-hidup ini, maka jadilah kau orang mati.<br />Makanya boleh kau pikirkan lagi, akan tetap menyeberang ke sini atau putar balik ke sana.”<br />Dalam hati Siau-hong juga bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Terjang ke sana atau putar balik?”<br />Menerjang ke sana berarti orang mati, kalau putar balik mungkin juga Cuma ada jalan kematian.<br />Tiba-tiba Siau-hong tertawa, gumamnya, “Terkadang timbul hasratku untuk mati, tapi tidak pernah mati. Tak<br />tersangka hari ini aku dapat mati dengan semudah ini.”<br />Dengan tersenyum ia lantas melangkah ke seberang dengan gaya yang santai, memasuki dunia lain yang sebelumnya<br />tidak pernah dibayangkannya. Dunianya orang mati.<br />Sejauh mata memandang, tetap awan melulu, hampa dan tiada terlihat apapun, sampai Kau-hun-sucia tadi juga entah<br />berada dimana, juga Tokko Bi entah pergi kemana. Sesungguhnya tempat apa ini?<br />Dengan membusungkan dada, segera Liok Siau-hong melangkah ke depan, malahan mulutnya juga tidak mau<br />menganggur, ia bernyanyi pula, “Goyang digoyang, ooi, sampai di seberang, ooi ....”’ Belum rampung bernyanyi,<br />mendadak dari samping sana ada suara orang meratap, “O, kasihilah diriku, ampun!”<br />Suara ratapan itu berkumandang dari sebuah rumah gubuk kecil. Gubuk berwarna putih kelabu, berada di tengah<br />remang awan begini perlu mengamat-amatinya dengan cermat baru dapat menemukan gubuk sekecil ini<br />Akhirnya Siau-hong dapat melihat, namun cuma gubuk itu yang terlihai dan tidak melihat orang.<br />Suara rintihan itu belum lagi berhenti, maka Siau-hong lantas bertanya, “Apakah engkau terluka?”<br />“Aku tidak terluka, tapi hampir mati,” jawab orang itu suasana perempuan muda. “Hampir mati oleh karena<br />nyanyianmu.”<br />“Jika engkau sudah berada di sini, dengan sendirinya kau pun orang mati, apa alangannya bila mati sekali lagi?” ujar<br />Siau-hong. “Nyanyianmu itu, setan hidup saja tidak tahan, apalagi orang mati?”<br />Maka tergelaklah Liok Siau-hong.<br />Suara di dalam gubuk itu bertanya pula, “Apakah kau tahu siapa yang menolong kau tadi?” “Apakah engkau?”<br />“Tepat, memang aku,” tiba-tiba suara tertawanya kedengaran sangat manis. “Aku she Yap bernama Ling. Orang lain<br />suka memanggilku Siau-yap (Yap cilik).”<br />“Ehm, nama yang bagus,” puji Siau-hong. “Namaku juga tidak jelek. Cuma aku tidak mengerti, lelaki besar mengapa<br />bernama Siau-hong-hong segala.”<br />Siau-hong menyengir, jawabnya, “Namaku Liok Siau-hung dan bukan Siau-hong-hong.”<br />“Memangnya apa bedanya?”<br />“Hong-hong kan sepasang dan bukan seekor, Hong yang satu jantan, Hong yang lain betina.”<br />Perlahan Siau-hong melangkah ke sana, mendadak suasana dalam rumah menjadi hening, selang agak lama baru<br />terdengar Yap Ling menghela napas perlahan dan berkata, “Diriku tidak lebih cuma sehelai yap (daun) kecil saja,<br />bukan sepasang, juga tidak tahu apakah jantan atau betina?”<br />“Untuk ini kukira tidak perlu kau kuatir.” ujar Siau-hong. “Kujamin, cukup kupandang sekejap saja segera dapat<br />kubedakan apakah kau ini jantan atau betina.”<br />Mendadak ia menolak pintu dan menyelinap ke dalam. Dipandang dari luar, gubuk itu memang teramat kecil, sesudah<br />di dalam, rasanya terlebih sempit lagi seperti rumah burung merpati. Namun meski kecil burung merpati, isi perutnya<br />juga komplit. Gubuk .nipun serupa rumah orang lam. lengkap dengan segala pe rabotnya, malahan juga tersedia<br />sebuah ‘Be-thang’ bercat merah, yaitu tong kayu tempat membuang hajat atau sejenis kloset yang dikenal zaman<br />sekarang.<br />Siau-hong berminat terhadap ‘Be-thang’ itu, tapi sekarang dia justru memperhatikan tempat berak itu. Sebab pada<br />waktu dia masuk ke gubuk ini, dilihatnya seorang nona cilik berbaju merah justru lagi nongkrong di atas ‘Be-thang’<br />itu.<br />Kalau orang berak sedikitnya celana harus dipelorotkan ke bawah, tapi nona cilik itu duduk di atas ‘Be-thang’ dengan<br />pakaian rapi, malahan melototi kedatangan Siau-hong dengan mata terbelalak.<br />Muka Siau-hong menjadi merah sendiri.<br />Apapun juga, jika seorang anak perempuan sedang nongkrong di atas kloset, kan tidak pantas tempat itu dimasuki<br />seorang lelaki.<br />Tapi dia sudah kadung masuk ke situ, jika lari keluar lagi bisa tambah tidak enak?<br />Orang salah biasanya suka main gertak dulu, maka Siau-hong juga lantas menegur dengan tertawa, “Memangnya<br />engkau biasa menerima tamu sambil nongkrong di atas ‘Be-thang’?”<br />Nona yang mengaku bernama Yap Ling itu menggeleng kepala, jawabnya, “Hanya dalam dua macam keadaan barulah<br />kududuk di atas ‘Be-thang’.”<br />Keadaan yang satu itu tentu tidak perlu ditanyakan lagi, sebab hal itu pasti dilakukan oleh setiap manusia. Lantas apa<br />keadaan semacam lagi?<br />“Yaitu bilamana dari ‘Be-thang’ ini ada barang akan menerobos keluar,” tutur Yap Ling.<br />Maka Siau-hong tidak jadi tcrtawa lagi, memangnya selain bau busuk, barang apa yang bisa menerobos keluar dari<br />tong kotoran itu?<br />“Apakah kau ingin melihat apa isi tong ini?” tanya Yap Ling.<br />Cepat Siau-hong menggoyang kepala clan menjawab, “Tidak.”<br />“Tetapi sayang, biarpun tidak ingin melihat tetap harus kau lihat.<br />“Mengapa begitu?” tanya Siau-hong.<br />“Sebab barang di dalam tong ini akan kuberikan padamu.”<br />“Jika aku tidak mau, apa tidak boleh?”<br />“Tentu saja tidak boleh,” ujar Yap Ling.<br />Ketika melihat nona itu berdiri dan hendak membuka tutup be-thang, hampir saja Siau-hong kabur sambil memencet<br />hidung.<br />Tapi dia tidak jadi kabur, sebab bau be-thang ternyata tidak busuk, sebaliknya malah sangat harum.<br />Bersama dengan tersiarnya bau harum, serentak terbang pula sepasang burung seriti dan sepasang kupu-kupu.<br />Baru saja burung seriti dan kupu-kupu terbang keluar melalui jendela kecil, seperti main sulap saja. Yap Ling lantas<br />mengeluarkan pula seperangkat pakaian baru, sepasang sepatu halus dengan gulungan kaos kaki, sebotol arak,<br />sepasang cawan, dua pasang sumpit, sebuah kuali, sebuah senduk dan beberapa biji bakpau, akhirnya ada lagi seikat<br />bunga segar.<br />Siau-hong sampai melongo.<br />Siapa pun tidak mengira dari dalam tong tempat membuang hajat itu bisa dikeluarkan barang sebanyak itu.<br />“Burung dan kupu-kupu adalah tanda selamat datang kepadamu.” tutur Yap Ling. “Pakaian dan sepatu tentu cocok<br />dengan ukur-anmu. Arak adalah Tiok-yap-jing simpanan lama, isi kuali adalah ayam tim, bakpau juga baru keluar dari<br />kukusan.”<br />Lalu ia menengadah dan memandang Liok Siau-hong, sambungnya pula dengan hambar, “Apakah kau senang kepada<br />semuanya ini?”<br />Liok Siau-hong menarik napas, jawabnya, “Senangku setengah mati.”<br />“Kau mau?” Yap Ling menegas.<br />“Kunyuk yang tidak mau,” sahut Siau-hong.<br />Maka tertawalah Yap Ling, tertawa manis serupa madu, seindah bunga, serupa juga rase cilik yang bisa bikin celaka<br />orang dan luga lengket memikat orang.<br />Siau-hong memandangnya, ia menghela napas pula dan berucap, “Engkau ini betina, tidak pcrlu diragukan past,<br />betina.<br />Waktu Yap Ling memasukkan bunga segar tad. pada pot bunga, arak juga mula, masuk ke perut Liok Siau-hong.<br />Memandangi Tiok-yap-jing yang tidak mudah dibeli itu tertuang ke dalam perut Siau-hong seperti menuang air,<br />tampaknya si Yap cilik tidak merasa heran, sebaliknya ia merasa sayang. Tiba-tiba ia berucap dengan menyesal,<br />“Hanya ada satu hal yang tidak benar.”<br />Siau-hong tidak tahu apa yang dimaksudkan.<br />Maka Yap Ling memberi penjelasan, “Ada orang bilang dirimu ini baik kecerdikan, kungfu, kekuatan minum arak,<br />tebalnya kulit muka dan kesukaanmu kepada perempuan, semuanya jarang ada bandingannya.”<br />Siau-hong menaruh botol arak yang sudah kosong itu, katanya dengan tertawa, “Sekarang kan sudah kau saksikan<br />kekuatan minum arakku.”<br />“Ya, aku pun sudah menyaksikan kungfumu,” tukas Yap Ling. “Tadi engkau tidak terjatuh ke dalam jurang, betapapun<br />aku kagum padamu.”<br />“Tapi aku tidak gila perempuan, orang salah menafsirkan hal ini,” sambung Siau-hong.<br />“Hal ini juga tidak salah,” kata Yap Ling.<br />Siau-hong marah, “Apakah pernah aku bertindak kasar padamu?”<br />“Tidak?” jawab Yap Ling. “Sampai sekarang memang belum. tapi pada waktu kau lihat diriku, kedua matamu lantas<br />....”<br />Cepat Siau-hong memotong ucapannya, “Dalam hal apa yang kau maksudkan tidak benar?”<br />“Mengenai kulit mukamu,” ujar Yap Ling dengan tertawa. “Kulit mukamu ternyata tidak terlalu tebal, sebab kulihat<br />mukamu juga bisa merah.”<br />“Musti kau kira selama hidupku mukaku tidak pernah merah? Apakah .semua keterangan orang itu kau percaya<br />sepenuhnya?”<br />Yap Ling berkedip-kedip, lalu balas bertanya, “Apakah kau tahu berita ini kudengar dari siapa?”<br />“Siapa?”tanya Siau Hong.<br />“Lau-to-pocu,” jawab Yap-ling.<br />Orang inilah dengan namanya ingin diketahui Liok Siau-hong. mengapa orang ini mempunyai daya pikat sebesar ini?<br />Ia coba bertanya, “Apakah dia pemimpin kalian?” “Bukan saja pemimpin kami, juga juragan kami, bapak kami.”<br />“Sesungguhnya orang macam apakah dia?” “Seorang yang dianggap sebagai bapak secara sukarela oleh orang<br />banyak, boleh kau bayangkan seharusnya dia orang. macam apa?”<br />“Aku tidak tahu, selama ini tidak ada orang yang sukarela mau menjadi anakku, selama ini aku pun tidak mau<br />menjadi anak orang lain,” ujar Siau-hong.<br />“Masa cuma ingin kau tahu nama dan asal-usulnya saja?”<br />Siau-hong tidak dapat menyangkal, “Ya. itulah yang ingin kuketahui.”<br />“Jika benar ini tujuanmu, mungkin jiwamu benar-benar bisa melayang,” mendadak sikap Yap Ling berubah kereng.<br />“Bila kau ingin tinggal dengan baik di sini, maka sebaiknya jangan sekali-kali kau cari tahu seluk-beluk orang lain,<br />kalau tidak ....”<br />“Kalau tidak bagaimana?” tanya Siau-hong.<br />“Kalau tidak, biarpun kungfumu seratus kali lebih tinggi lagi juga setiap saat engkau dapat hilang.”<br />“Hilang?” Siau-hong menegas.<br />“Artinya hilang adalah dirimu bisa mendadak tidak kelihatan lagi, di dunia ini pasti tidak ada yang tahu kemana<br />kepergianmu.”<br />“Di sini sering terjadi orang hilang?’<br />“Sangat sering.”<br />Siau-hong menghela napas, “Tadinya kusangka di sini sangat aman dan tertib.”<br />“Di sini memang sangat tertib, ada tiga tertib. “Ketiga tertib apa?” tanya Siau-hong. ‘Tidak boleh mencari tahu selukbeluk<br />orang lain, dilarang membikin marah kepada Lau-pacu, lebih-lebih dilarang membangkang perintahnya.<br />“Apa yang dia perintahkan juga harus kulaksanakan?” Yap Ling mengangguk, “Ya, sekalipun dia suruh kau makan<br />najis juga harus kau makan.”<br />Siau-hong cuma menyengir saja.<br />Yap Ling bertanya pula, “Kau tahu sebab apa kudatang kemari dan memberitahukan semua ini kepadamu?”<br />Tertawa Siau-hong berubah menjadi cerah, katanya, “Dengan sendirinya lantaran kau suka kepadaku.”<br />Yap Ling jadi tertawa juga, “Tampaknya dia memang benar, kulit mukamu memang sangat tebal, mungkin tidak<br />mempan ditusuk pisau.”<br />Dia tertawa seindah bunga, semanis madu, lalu menyambung pula dengan perlahan, “Tapi awas, jika kau langgar<br />peraturanku, bisa kubeset kulit mukamu untuk kujadikan sandal.”<br />Mau tak mau Siau-hong menyengir pula, “Sedikitnya kan harus kau beritahu kepadaku apa peraturanmu?”<br />“Hanya ada dua peraturanku,” tutur Yap Ling. “Jangan merecoki Yap besar dan jangan membiarkan orang perempun<br />masuk ke Liok-kongkoan (kantor Liok).”<br />“Yap besar juga seorang manusia?”<br />“Yap besar adalah kakak Yap cilik, Liok-kongkoan adalah tempat kediaman Liok Siau-hong?”.<br />“Dimana letak Liok-koangkoan?” tanya Siau-hong.<br />“Di sini,” jawab Yap Ling sambil menunjuk lantai gubuk ini.<br />Lalu dia menambahkan, “Mulai saat ini tempat inilah rumahmu, malam hari tidur di sini, siang hari sebaiknya juga<br />berdiam saja di sini. Setiap saat bisa kudatang mengontrol dirimu.”<br />Siau-hong tertawa pula, tertawa yang aneh.<br />Seketika Yap Ling mendelik. “Kau berani menertawakan diriku.’”<br />“Aku tidak menertawai dirimu, aku menertawakan diriku,” jawab Siau-hong dengan tetawa aneh, tertawa yang<br />mengandung rasa pedih “Aku sudah hidup 30 tahun, baru pertama kali ini aku mempunyai rumah sendiri dan kamar<br />tidur sendiri ....”<br />Dia tidak meneruskan, sebab mulutnya mendadak terkancing oleh bibir Yap Ling, bibir yang terasa halus, lunak dan<br />dingin.<br />Bibir kedua orang hanya berkecupan perlahan saja, mendadak kepala si nona tepat mengenjot perut Liok Siau-hong,<br />pukulan keras lagi berat.<br />Sampai menungging Liok Siau-hong sambil memegang, perutnya yang tertonjok itu, sebaliknya Yap Ling mengikik<br />tawa dan ber-lari pergi.<br />“Ingat, perempuan mana pun dilarang masuk ke sini” terdengar suara Yap Ling berkumandang dari luar, “Lebih-lebih<br />Hoa-kuahu Janda Hoa, selangkah pun tidak boleh menginjak tempat ini.”<br />“Orang apa Hoa-kuahu?” tanya Siau Hong.<br />“Dia bukan orang melainkan anjing betina, anjing betina pemakan manusia.”<br />Liok Siau-hong mempunyai empat alis, tapi cuma punya satu tangan.<br />Dengan tangan kiri ia gosok-gosok perutnya yang kena genjot, dengan tangan kanan ia raba bibir yang dikecup tadi.<br />Air mukanya entah lagi menangis atau tertawa? Mungkin menyengir!<br />Bab 5. Teman pertama<br />Published by Hiu_Khu on 2008/1/9 (399 reads)<br />Dan begitulah, secara tidak jelas apa sebabnya dari orang hidup ia telah berubah menjadi ‘orang mati’, secara tidak<br />jelas duduknya perkara ia pun mendapatkan sebuah rumah.<br />Dia masih punya kaki, tapi tempat mana pun tidak dapat didatangi.<br />Tahu-tahu dia sudah tertidur dan mulai bermimpi, mimpi dirinya terbungkus oleh sehelai daun besar yang dingin, lalu<br />melihat seekor anjing betina budukan sedang menggerogoti tulangnya, sampai suara menggerogotnya terdengar<br />dengan jelas.<br />Dan segera dapat dilihatnya di dalam rumahnya benar-benar ada seorang sedang menggerogoti tulang. Tapi bukan<br />tulangnya, melainkan tulang ayam.<br />Yang duduk sambil menggerogoti tulang ayam itu juga bukan anjing betina melainkan satu orang.<br />Begitu Siau-hong mendusin, segera orang itupun merasa waswas, serupa kewaspadaan seekor binatang buas.<br />Orang itu berpaling dan menatap Liok Siau-hong, sorot matanya penuh rasa permusuhan. Namun mulutnya tetap<br />menggerogoti tulang ayam.<br />Siau-hong tidak pernah merlihat orang berminat sebesar ini terhadap tulang ayam, juga tidak pernah melihat orang<br />sekurus ini. Pada hakikatnya daging pada tubuh orang ini pasti lebih banyak daripada daging tulang ayam yang<br />digerogotinya itu.<br />Namun pakaiannya justru sangat perlente, sama sekali tiada tanda-tanda seorang miskin yang perlu menggerogoti<br />tulang ayam. Hanya pengemis yang mau menggerogoti tulang ayam.<br />Siau-hong coba menegur, “He, apakah kau sakit?”<br />“Kau sendiri sakit!” semprot orang itu hingga tulang ayam yang berada dalam mulut tersembur keluar memenuhi<br />lantai, terunjuk barisan giginya yang putih, ia menatap Siau-hong dengan benci.<br />“Kau kira aku sakit apa? Sakit lapar?” damprat pula orang itu.<br />“Masa engkau tidak lapar?” tanya Siau-hong.<br />“Kenapa aku lapar? setiap hari aku makan tiga kali, belum lagi ditambah jajan sekian kali.”<br />“Apa yang kau makan?”<br />“Nasi, mi, daging, ikan, sayur, apa yang dapat kumakan sudah kumakan.”<br />“Dan apa yang kau makan hari ini?<br />“Pagi tadi kumakan bubur ayam yang sedap. Siang tadi kumakan masakan ala utara, ada Ang-sio-ti-te (kaki babi),<br />ada bebek Peking, ada kuah tahu masak kepala ikan, ada udang goreng kailan, ada burung dara goreng dan banyak<br />lagi.” Siau Hong tertawa.<br />“Kau tidak percaya?” orang itu mendelik. “Aku cuma heran,” kata Siau-hong, “seorang yang mengaku biasa makan<br />serba enak, mengapa perlu menyusup ke rumah orang untuk menggerogoti tulang ayam.”<br />“Sebab aku suka,” kala orang itu.<br />Siau-hong tcrtawa pula, “Asalkan kau suka, selanjutnya jika di tempatku ada tulang ayam, setiap saat kusambut<br />kedatanganmu dengan senang hati.”<br />Tapi sorot mata orang itu berbalik menampilkan rasa curiga, tanyanya, “Kau sambut kedatanganku dengan senang<br />hati? Sebab apa?”<br />“Sebab untuk pertama kalinya aku punya rumah, sebab engkau tamu pertama rumahku, sebab aku suka berkawan.”<br />Tapi orang itu tambah beringas dan berteriak, “Aku bukan kawanmu.”<br />“Sekarang mungkin bukan, selanjutnya tentu.”<br />Meski orang itu masih menatapnya dengan tajam, tapi sikapnya mulai tenang.<br />Siapa pun harus mengakui bahwa biasanya Liok Siau-hong sangat pintar bergaul, semua sahabatnya juga sangat suka<br />padanya. Baik sahabat lelaki maupun kawan perempuan.<br />Siau-hong sudah bangun dan berduduk, tiba-tiba ia berkata pula dengan menyesal, “Sayang di sini tidak ada arak lagi,<br />kalau tidak, tentu kuminum dua cawan bersamamu.”<br />Sorot mata orang itu seketika mencorong terang, “Kalau tidak ada arak lagi, kenapa tidak kau cari keluar?”<br />“Belum ada setengah hari kudatang kemari, tempat ini belum hapal bagiku,” tutur Siau-hong. ‘Tapi dapat kujamin,<br />tidak sampai tiga hari, apapun yang ingin kau minum pasti dapat kusuguhkan.”<br />Kembali orang itu menatapnya sekian lama, akhirnya meng-heia napas, segala rasa was-was juga lantas mengendor,<br />ucapnya, “Aku adalah Yu-hun (arwah gentayangan), bisa jadi setiap saat kumasuk ke sini dan benar-benar tidak<br />menjadi soal bagimu?”<br />“Tidak, pasti tidak,” jawab Siau-hong.<br />Persahabatan memang tidak menjadi soal baginya. Sering pada tengah malam buta dia menyeret teman dari kolong<br />selimutnya untuk diajak minum arak. Dan temannya tidak pernah memusingkan tindakannya itu.<br />Sebab semua teman tahu bilamana orang lain tengah malam buta mencari dia, sama sekali dia udak marah,<br />sebaliknya kegirangan setengah mati.<br />Sementara itu han sudah mulai gelap, angin malam membawa kumandang suara genta.<br />“Itulah genta tanda makan malam.” kala orang yang mengaku sebagai Yu-hun atau arwah gentayangan itu.<br />Siau-hong tidak paham, maka Yu-hun memberi penjelasan pula, “Genta tanda makan malam artinya semua orang<br />harus berkumpul dan makan bersama di ruangan pendopo.”<br />“Setiap orang harus hadir?” tanya Siau-hong.<br />“Ya,” Yu-hun mengagguk.<br />“Setiap hari begitu?”<br />“Tidak, setiap bulan paling-paling cuma empat-lima kali.”<br />“Dalam waktu bagaimana?”<br />“Ce-it Cap-go (tanggal satu bulan lima belas) dan hari besi, atau kalau kedatangan orang ternama.”<br />Lalu dia mengamat-amati Liok Siau-hong dari atas ke bawah dan sebaliknya, kemudian berucap pula, “Kau pasti juga<br />orang ternama, apakah engkau Liok Siau-hong yang beralis empat itu?”<br />Siau-hong menyengir, “Tapi sayang Liok Siau-hong sekali ini bukan Liok Siau-hong yang dulu itu.”<br />Yu-hun hendak bicara pula, tapi urung, mendadak ia berhari kit dan berkata, “Segera akan datang orang membawamu<br />ke ruangan makan, aku harus pergi, sebaiknya jangan kau katakan kepada orans lain tentang kedatanganku ke sini.”<br />Siau-hong tidak bertanya apa sebabnya. Maklum, bilamana orang lain minta tolong kepadanya, jika dia menyanggupi,<br />selamanya ia tidak pernah tanya sebab musababnya.<br />Justru lantaran inilah maka pantas dia mempunyai banyak sahabat.<br />Agaknya Yu-hun juga sangat puas terhadap hal ini, tiba-tiba ia mendesis pula, “Setiba di ruangan makan nanti,<br />mereka pasti akan memberi hajar adat padamu.”<br />“Oo?!” Siau-hong melengak.<br />“Kau tahu, orang di sini sedikitnya ada separohnya orang gila, satu-satunya hobi mereka adalah memperlakukan<br />orang lain dengan sadis,” tutur Yu hun. “Mereka suka melihat orang tersiksa, malahan ada enam tujuh orang di<br />antaranya terlebih gila lagi.”<br />“Siapa siapa saja?” tanya Siau-hong.<br />“Seorang bernama Koan keh-po (nenek pengurus rumah tangga), seorang lagi disebut Tayciang-kun (panglima<br />besar), seorang dipanggil Piauko (kakak misan), seorang bernama Kaucu (si kait).<br />Hanya sempat nama empat orang disebutnya lalu ia melayang pergi.<br />Padahal jendela rumah sangat kecil, tapi sekali tangannya menahan ambang jendela, segera orangnya menerobos<br />keluar.<br />Tampaknya bukan cuma Ginkangnya tinggi, dia juga mahir Sok-kut-kang atau ilmu menyusutkan tulang.<br />Kedua macam kungfu itu adalah kungfu andalan Sukong Ti-seng? Apakah orang ini ada hubungan dengan Sukong Tiseng.<br />Bab 6. Si Anjing<br />Published by Hiu_Khu on 2008/1/14 (302 reads)<br />Siau-hong tidak sempat berpikir, sebab didengarnya di luar ada suara kaki yang sangat perlahan. Hanya telapak kaki<br />yang berkulit tebal seperti harimau atau singa saja yang dapat berjalan tanpa menimbulkan suara keras.<br />Biasanya juga cuma orang Kangouw ulung yang punya Ginkang tinggi saja yang dapat berjalan seringan binatang<br />buas semacam ini. Di perkampungan hantu ini masa juga terdapat tokoh sehebat ini?<br />Selagi Siau-hong tercengang, segera terdengar suara pintu diketuk, sungguh ia ingin tahu siapakah pendatang ini,<br />bagaimana bentuknya? Maka cepat ia membuka pintu.<br />Sesudah pintu terbuka, ia jadi melongo.<br />Yang mengetuk pintu ternyata memang bukan manusia melainkan benar-benar seekor binatang yang bertelapak kaki<br />tebal. Seekor anjing.<br />Anjing hitam mulus, hitam gilap sehingga di tengah malam gelap serupa seekor harimau kumbang.<br />Namun anjing ini tidak buas terhadap manusia, jelas anjing yang telah terlatih dengan baik sehingga sudah lenyap<br />rasa permusuhannya terhadap manusia.<br />Anjing ini tidak menyalak, sebab pada mulutnya menggigit sehelai kertas. Di atas kertas hanya tertulis empat huruf<br />yang berbunyi; “Silakan ikut padaku!”<br />Kiranya anjing inilah yang datang mengundang Liok Siau-hong makan malam.<br />Siau-hong tertawa. Apapun juga, kalau dapat makan nasi kan juga urusan yang menggembirakan. Lebih-lebih<br />sekarang, sungguh dia sangat menghendaki makan malam yang enak.<br />Ang-sio-ti-te, bebek Peking, udang cah kailan ....<br />Bilamana teringat nama-nama santapan yang disebut Yu-hun tadi, hampir saja ia menitikkan air liur.<br />Anjing itu sedang menggoyang ekor padanya, ia pun membelai kepala anjing itu, katanya dengan tersenyum, “Kau<br />tahu, aku lebih suka mendapatkan petunjuk jalan seperti kau, sebab anjing di sini sesungguhnya lebih menyenangkan<br />daripada manusianya.”<br />Malam tambah gelap, kabut juga tebal, meski di tengah kabut terkadang juga nampak beberapa titik cahaya api, tapi<br />makin menambah seram suasana yang gelap.<br />Anjing hitam berjalan di depan dan Siau-hong mengikut dari belakang. Waktu pandangannya sudah terbiasa dalam<br />kegelapan baru diketahui dirinya sedang berjalan di suatu jalan kecil yang berliku-liku.<br />Pada kedua tepi jalan tumbuh beraneka macam pohon, ada juga bunga dan rumput yang tidak dikenal namanya.<br />Pada waktu sang surya memancarkan cahayanya dengan gemilang, lembah pegunungan ini pasti sangat permai.<br />Akan tetapi di lembah pegunungan ini apakah juga pernah disinari oleh cahaya matahari?<br />Tiba-tiba Siau-hong merasakan yang benar-benar sangat ingin dilihatnya bukanlah Ang-sio-ti-te yang lezat, melainkan<br />cahaya matahari. Cahaya yang dapat menghangatkan badan dan membangkitkan semangat.<br />Seperti orang lain umumnya, dia juga pernah mengutuki smai matahari, yaitu bilamana sinar sang surya sedang<br />memancar dengan teriknya sehingga dia mandi keringat dengan napas terengah, maka dia lantas mencaci-maki sinar<br />matahari yang tidak kenal ampun itu<br />Akan tetapi yang sangat diharapkannya sekarang justru sinar matahari semacam itu.<br />Banyak urusan di dunia memang begitu, hanya pada waktu engkau kehilangan dia barulah kau tahu betapa<br />berharganya dia.<br />Tanpa terasa Siau-hong menghela napas, tiba-tiba didengarnya di tempat dekat juga ada orang menghela napas,<br />malahan seorang lantas berkata, “Liok Siau-hong, kutahu akan kedatanganmu, maka sudah kutunggu kedatanganmu<br />di sini.”<br />Tempat ini adalah Yu-leng-san-ceng, perkampungan arwah, dalam kegelapan entah bersembunyi betapa banyak<br />badan halus, suara orang ini juga serupa hantu yang mengambang dan sukar dilihat. Tangan Siau-hong sampai<br />berkeringat dingin. Jelas didengarnya orang yang bicara itu berada di dekatnya, tapi justru tidak terlihat sesosok<br />bayangan apapun.<br />“Tak dapat kau lihat diriku,” suara tadi bergema pula, “bilamana setan hendak menagih nyawa betapapun takkan<br />dapat dilihat ofang.”<br />“Memangnya aku berhutang jiwa padamu?” Siau-hong coba bertanya.<br />“Ya,” sahut suara itu.<br />“Jiwa siapa?”<br />“Jiwaku.”<br />“Siapa engkau?”<br />“Aku si jenggot biru yang mati di tanganmu itu.”<br />Siau-hong tertawa, bergelak tertawa.<br />Seorang kalau kelewat tegang, terkadang juga bisa tertawa secara aneh.<br />Meski keras suara tertawa Siau-hong, tapi sangat singkat. Sebab tiba-tiba diketahuinya yang bicara padanya bukanlah<br />manusia, juga bukan setan, tapi anjing hitam tadi.<br />Anjing hitam yang semula berjalan di depan sekarang telah berpaling ke sini dan sedang melotot padanya dengan<br />sinar mata<br />“Akulah si jenggot biru yang mati di tanganmu.” ucapan ini juga keluar dari mulutanjing itu.<br />Sungguh aneh, anjing masa bisa bicara? Apakah roh si jenggot biru telah hinggap di badan anjing hitam ini?<br />Betapa besar nyali Liok Siau-hong tidak urung juga merinding. Pada saat itulah anjing hitam lantas meraung dan<br />menubruknya.<br />Selagi Siau-hong hendak mencengkeram kaki anjing, siapa tahu dari perut anjing mendadak terjulur sebuah tangan.<br />Tangan manusia yang berpisau, sekali bergerak, pisau menyambar ke depan, mengincar perut Siau-hong.<br />Serangan ini sungguh jauh di luar dugaan, berapa orang yang sanggup menghindarkan serangan tak terduga ini.<br />Tapi sedikitnya ada satu orang. Mendadak perut Siau-hong mendekuk, secepat kilat kedua jarinya menjepit dan tepat<br />mata pisau terjepit olehnya.<br />Pada saat itu juga anjing hitam tadi lantas melompat ke udara lantas melayang jauh ke belakang, hanya sekejap saja<br />lantas menghilang dalam kegelapan.<br />Siau-hong memandang kegelapan di kejauhan sana, lalu memandang pisau yang masih dipegangnya dan menyengir<br />sendiri.<br />Sungguh rasanya seperti dalam mimpi, tapi justru kejadian nyata. Di Yu-leng-san-ceng yang serupa alam mimpi ini,<br />sesuatu peristiwa memang sukar dibedakan dengan jelas apakah terjadi dalam mimpi atau terjadi benar-benar.<br />Cuma satu hal lantas dimengerti lagi oleh Liok Siau-hong, yaitu: “Anjing di sini toh tidak lebih menyenangkan daripada<br />manusia.”<br />Bab 7. Orang-orang mati yang hidup kembali<br />Published by Hiu_Khu on 2008/1/16 (251 reads)<br />Tiba-tiba dari kegelapan berkumandang lagi suara orang, “Sekarang apakah kau mau manusia yang menjadi petunjuk<br />jalanmu?’”’<br />Yang dilihatnya sekarang memang manusia benar, yaitu Yap Ling.<br />Di tengah remang kabut, senyuman Yap Ling masib tetap manis.<br />“Sekarang seharusnya kau yakin bahwa di tempat ini sesung guhnya manusia lebih menyenangkan atau anjing lebih<br />menyenangkan?”<br />“Aku tidak tahu,” sahut Siau-hong.<br />“Masa belum tahu?”<br />“Aku cuma tahu satu hal,” kata Siau-hong. “Yaitu di sini anjing terkadang adalah manusia dan manusia juga anjing.”<br />Hoa-kuahu yang dimaksudkan belum tentu benar seekor anjing betina, tapi anjing hitam tadi jelas seorang manusia.<br />“Meski orang Kangouw ada juga yang suka menjadi anjing (kiasan bagi kaum antek), tapi yang bisa bekerja setuntas<br />ini hanya ada satu orang.”<br />“Kau tahu siapa dia?” tanya Yap Ling. “Ya, Kau-long-kun (si anjing cakap).” “Sudah kau ketahui sebelumnya?”<br />Siau-hong tertawa, “Sedikitnya kutahu si jenggot biru bukan mati di tanganku, tentu dia sendiri juga tahu. Sebab<br />itulah sekalipun dia benar menjadi setan buas juga tidak perlu mencari diriku.”<br />Yap Ling tertawa, ucapnya sambil berkedip, “Seumpama setan buas tidak perlu mencari dirimu, setan lapar pasti akan<br />mencari dirimu.”<br />“Setan lapar?” Siau-hong melenggong. “Arti setan lapar ialah orang yang mati kelaparan karena menunggu<br />kedatanganmu untuk makan. Jika tidak lekas kau hadir ke sana. malam ini sedikitnya akan bertambah 37 setan<br />lapar.”<br />“Seumpama aku tidak pergi, setan lapar yang benar cuma satu saja.”<br />“Masa cuma satu? Siapa?” tanya Yap Ling. “Aku sendiri,” jawab Siau-hong.<br />Kaucu si kait yang disebut-sebut Yu-hun itu memang salah seorang tokoh di Yu-leng-san-ceng ini.<br />Kemarin dia baru merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Waktu mendusin hari ini, rasa mabuknya belum lagi hilang,<br />kepala terasa sakil seakan-akan pecah, napsu birahinya berkobar.<br />Gejala yang pertama itu menandakan dia sudah tua.<br />Hanya 40 kati arak saja yang diminumnya dan sekarang kepalanya kesakitan seperti mau pecah.<br />Padahal sepuluh tahun yang lalu semalam dia pernah memecahkan rekor minum sebanyak 80 kati, setelah tidur dua<br />jam lantas pulih kembali semangatnya, dan dengan cuma sebelah tangan saja dia mampu membinasakan 23 orang di<br />antara 32 orang musuh yang mengerubutnya.<br />Bila teringat pada hal ini, sungguh dia sangat gemas dan menyesal, menyesali dirinya sendiri, mengapa orang<br />semacam dirinya ini juga bisa tua.<br />Akan tetapi setelah gejala kedua diketahuinya, tanpa terasa hatinya sangat terhibur, bagian tubuh tertentu itu<br />ternyata sekeras kaitan baja yang terpasang pada tangan kanannya yang buntung itu. Memangnya ada berapa kakek<br />berumur 70 yang sehat dan kuat seperti si kait ini?<br />Cuma sayang, perempuan di tempat ini terlalu sedikit, perempuan yang cocok dengan seleranya bahkan terlebih<br />sedikit.<br />Sesungguhnya, perempuan yang berada di Yu-leng-san-ceng yang terpandang olehnya cuma ada tiga orang.<br />Celakanya ketiga perempuan brengsek ini justru selalu mempermainkan dia.<br />Terutama si rase cilik yang cerdik dan licin itu, sudah berjanji tiga kali mau datang ke kamarnya, tapi tiga kali dia<br />menunggu siasia semalam suntuk. .<br />Bayangkan, kalau lelaki menunggu kedatangan pacar dengan hasrat yang menyala dan akhirnya harus kecewa,<br />sungguh hatinya jadi gregetan. Bila teringat hal ini, sungguh kalau bisa sekarang juga dia ingin menyeret si rase cilik<br />itu dan dibelejeti di tempat tidur, kalau pcrlu akan diperkosa.<br />Pikiran begitu makin mengobarkan hawa nafsunya, ia merasa kalau hari ini tidak terlampias, bisa jadi dia akan mati<br />meledak.<br />Begitulah selagi dia melamun membayangkan betapa manis senyum si rase cilik dan Cicinya yang selalu tampak<br />dingin serta janda Hoa yang masak serupa buah kesemek, tiba-tiba terdengar ada orang menggedor pintu, cukup<br />keras gedorannya.<br />Biasanya cuma ada dua-tiga orang yang berani menggedor pintunya sekeras ini, yaitu kalau bukan Koan-keh-po<br />tentulah Piauko.<br />Meski kedua orang ini adalah komplotannya yang paling erat, tetap juga dia marah.<br />Jika hasrat terganggu, biasanya lantas berubah menjadi gusar.<br />Dia meraih selimut untuk menutupi tubuhnya, lalu berteriak gusar, “Masuk!”<br />Yang bardiri di luar ialah Piauko alias kakak misan, mukanya putih licin, serupa telur ayam yang baru dikuliti<br />Melihat wajah yang halus ini, tidak ada orang yang dapat menerka berapa usianya. Mengenai hal ini, Piauko sendiri<br />biasanya sangat bangga, terkadang sampai ia sendiri juga melupakan usianya sendiri.<br />Ketika mendengar suara Kaucu yang geram, segera dia tahu si setan tua hari ini lagi birahi pula.<br />Dengan tersenyum ia mendorong pintu dan melangkah masuk, segera dilihatnya bagian tubuh Kaucu yang kurang<br />adat itu masih tertutup selimut. Dengan tersenyum ia menyapa, “Wah, tampaknya hari ini kau sangat bergairah,<br />apakah perlu kupetikkan dua genggam daun (Yap) bagimu?”<br />“Tutup mulutmu dan matamu yang serupa mata maling itu.” kembali Kaucu meraung. “Bila ingin perempuan dapat<br />kucari sendiri.”<br />“Memangnya berapa orang yang bisa kau dapatkan?” tanya Piauko.<br />Kaucu tambah murka, serentak ia melompat bangun dan menerjang ke depan Piauko, dengan kaitan tangan kanan ia<br />ancam perut orang sambil berteriak, “Coba bicara lagi satu kata saia, segera kusodet isi perutmu hingga berantakan.”<br />Tapi sedikit pun Piauko tidak takut, sebaliknya bertambah riang tertawanya, “Hahahaha! Bukan maksudku sengaja<br />membikin marah padamu, aku justru lagi menyembuhkan penyakitmu. Coba lihat sekarang, bukankah sudah lemas!”<br />Kaucu melotot dengan gemas, mendadak ia terbahak-bahak sembari menarik kaitannya, katanya. “Haha, tidak perlu<br />kau berlagak, kalau saja lelaki di sini lebih mudah didapatikan, kuyakin penyakitmu pasti akan lebih parah<br />daripadaku.”<br />Dengan tenang Piauko melangkah ke sana dan berduduk di kursi yang berada dekat jendela, lalu berucap, “Cuma<br />sayang lelaki di tempat ini memang makin lama makin sedikit. Saat ini, yang benar-benar kupenujui mungkin juga<br />cuma satu saja.” “Maksudmu Tayciangkun?” tanya Kaucu. “Dia terlalu tua,” jengek Piauko sambil menggeleng.<br />“Apakah Siau-jing?” “Dia cuma sebuah bantal bersulam saja.” “Barangkali Koan-keh-po?”<br />Piauko tertawa pula, “Dia sudah nenek-nenek, aku harus berterima kasih bila dia tidak mencari diriku.”<br />“Habis, sesungguhnya siapakah yang kau maksudkan?” tanya Kaucu.<br />“Liok Siau-hong,” jawab Piauko. “Apa katamu? Liok Siau-hong?” teriak Kaucu. “Apakah Liok Siau-hong yang beralis<br />empat itu?” “Kecuali dia, siapa pula yang dapat menggelitik hatiku?” ucap Piauko sambil memicingkan mata dengan<br />tertawa. “Cara bagaimana dia sampai di sini?” “Kabarnya akibat dia meniduri bini Sebun Jui-soat.” “Sudah kau lihat<br />dia?” “Hanya mengintip sekejap dua kejap saja.” “Bagaimana bentuknya?”<br />Mata Piauko kembali terpicing, “Dengan sendirinya seorang lelaki sejati, lelakinya lelaki.”<br />Kaucu baru saja berduduk, segera ia berbangkit pula dan mendekati jendela dengan kaki telanjang.<br />Cuaca di luar jendela remang tertutup kabut. Mendadak ia menoleh dan menatap Piauko, ucapnya, “Akan kubunuh<br />dia!”<br />“Apa katamu?” Piauko melonjak kaget. “Kubilang akan kubunuh dia!”<br />“Tidak kau dapatkan perempuan lantas hendak membunuh?” seru Piauko.<br />Kaucu mengepal erat tinjunya, ucapnya perlahan, “Usianya tahun ini paling banter baru tiga puluhan, sedangkan aku<br />sudah tu juh puluh. Tapi aku pasti dapat membunuhnya, aku yakin.”<br />Melihat sikap dan air mukanya itu, siapa pun dapat menduga tujuannya membunuh orang pasti tidak cuma unluk<br />pelampiasan belaka, tapi juga untuk membuktikan bahwa dia masih muda, masih tangkas.<br />Banyak kakek di dunia ini yang mencari anak perempuan muda, alasannya juga serupa, yakni ingin membuktikan dia<br />masih muda dan masih sanggup.<br />Mereka hanya melupakan sesuatu, meski muda memang menyenangkan, usia tua juga ada kesenangan tersendiri.<br />Piauko memandang Kaucu lekat-lekat, akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Baik, akan kubantu kau membunuh<br />dia, tapi kau pun harus membantuku mengerjai dia.”<br />“Baik!” ucap Kaucu.<br />Mendadak seorang menanggapi dengan menjengek, “Hm, baiknya memang baik, cuma sayang kalian sudah terlambat<br />satu langkah.”<br />Yang masuk mengikuti suara tertawa itu adalah seorang kakek tinggi kurus, berhidung seperti paruh elang dan<br />berbadan bungkuk.<br />Piauko menghela napas, katanya, “Sudah kuduga Koan-keh-po macam dirimu ini pasti akan ikut campur urusan<br />kami.”<br />“Kedatanganku hanya ingin memberitahukan suatu berita kepada kalian,” ujar si kakek alias Koan-keh-po atau si<br />nenek pengurus rumah tangga.<br />“Berita apa?” tanya Kaucu cepat.<br />“Si anjing hitam sudah mendahului pergi mencari Liok Siau-hong,” tutur Koan-keh-po. “Seumpama dia gagal,<br />berikutnya masih ada Ciangkun.”<br />“Ciangkun hendak bertindak apa?” melengak juga Kaucu.<br />“Sudah dia atur perjamuan besar di depan sana dan sedang menunggu kedatangan Liok Siau-hong.”<br />Malam tetap gelap, kabut tetap tebal. Namun perasaan Siau-hong sudah lain.<br />Betapapun berjalan bersama seorang anak perempuan cantik manis dan pintar tentu saja jauh lebih menyenangkan<br />daripada berjalan ikut di belakang seekor anjing hitam.<br />Yap Ling melirik Siau-hong, lalu berkata, “Tampaknya engkau sangat gembira.”<br />“Sedikitnya aku memang lebih gembira daripada tadi,” jawab Siau-hong.<br />“Sebab kau tahu aku takkan menggigitmu?”<br />“Ya, juga kau terlebih cakap daripada anjing tadi, lebih cakap daripada anjing mana pun.”<br />Yap Ling tartawa, sungguh manis sekali tertawanya, “Apakah hanya setitik ini saja kelebihanku dibandingkan dia?”<br />“Dengan sendirinya masih ada yang lain.”<br />“Apa lagi?” tanya Yap Ling.<br />“Engkau bisa bicara, kusuka mendengar bicaramu.”<br />Yap Ling berkedip dan berkata pula, “Kau suka kubicara apa saja? Apakah suka kuceritakan rahasia tempat ini?”<br />Siau-hong tertawa. Mungkin tertawanya banyak maknanya, tapi jelas tidak mengandung makna menyangkal<br />ucapannya.<br />“Kau ingin kubicara mulai darimana?”<br />“Mulai saja dari si kait.”<br />Yap Ling terbelalak, “Kau pun tahu si kait? Darimana kau tahu dia?”<br />“Aku tidak cuma tahu si kait, juga tahu Ciangkun, Piauko dan Koan-keh-po.”<br />Yap Ling menuju ke sana, memetik sehelai daun, lalu kembali, tiba tiba ia menghela napas dan berucap, “Sudah<br />terlalu banyak yang kau ketahui, namun jika kan tetap bertanya boleh juga kuberitahukan pula padamu<br />“Jika begitu, sebaiknya kau mulai dari si kait,” kata Siau-hong.<br />“Dia adalah kan pembunuh, juga seckor serigala jantan yang gemar main perempuan, yang paling ingin dilakukannya<br />sekarang adalah merobek celanaku dan menelentangkan aku di tempat tidur.”<br />Siau-hong menghela napas, ucapnya, “Sebenarnya tidak perlu kau beberkan sejelas ini.”<br />Mata Yap Ling yang bersih itu terbelalak pula, katanya. “Aku memang perempuan yang suka berterus terang,<br />kebetulan aku pun perempuan yang paling dapat memahami jiwa kaum lelaki.”<br />Siau-hong menyengir, “Sungguh kebetulan memang. Cuma sayang, bukan maksudku ingin tahu ada berapa banyak<br />lelaki yang ingin membelcjeti celanamu.”<br />Yap Ling berkedip-kedip, tanyanya tiba-tiba, “Jika ada orang ingin membuka celanamu, kau ingin mendengar tidak?”<br />“Hal ini juga biasa, bukan cuma sekarang akan terjadi,” jawab Siau-hong dengan tertawa.<br />“Tapi bagaimana kalau orang yang ingin membuka celanamu itu seorang lelaki?”<br />“Hah. seorang lelaki?” seru Siau-hong.<br />“Ah, salah ucapanku, bukan seorang, tapi dua orang.”<br />Siau-hong tidak dapat bersuara lagi, sampai sekian lama baru dia bertanya, “Apakah Piauko dan Koan-keh-po?”<br />“Darimana kau tahu?” kembali mata Yap Ling terbelalak lebar<br />“Nama kedua orang ini kedengarannya rada-rada seram.” ujar Siau-hong.<br />“Tapi orang yang paling menakutkan bukanlah mereka.” tutur Yap Ling.<br />“Oo?” Siau-hong ingin tahu.<br />“Pernah kau lihat orang merobek seekor banteng dengan bertangan kosong?”<br />“Tidak pernah,” Siau-hong menggeleng.<br />“Pernah kau lihat dengan sebuah jari saja batok kepala orang diketuknya hingga hancur?”<br />“Tidak,” jawab Siau-hong.<br />“Selekasnya semua itu akan dapat kau lihat.”<br />Siau-hong menelan liur, ucapnya, “Yang kau maksudkan apakah Ciangkun?”<br />“Betul,” jawab Yap Ling.<br />“Dia sedang menunggu kedatanganku?”<br />“Bukan cuma menunggu saja, bahkan sudah tidak sabar menunggu. Sebab itulah paling baik harus kau siapkan<br />sebuah wajan.” “Wajan untuk apa?” tanya Siau-hong. “Untuk menutup batok kepalamu!”<br />Saat itu Ciangkun atau panglima sedang berdiri di atas panggung. Tinggi badannya lebih delapan kaki, bobotnya 137<br />kati, pundaknya lebar, dadanya tebal, telapak tangannya kalau dipentang hampir selebar daun palem. Belulang pada<br />telapak tangannya hampir dua senti tebalnya. Senjata tajam apapun kalau terpegang olehnya pasti patah seketika.<br />Di depannya tertaruh sebuah wajan besar. Wajan itu di atas tungku, tungku terletak di depan panggung dan<br />panggung itu berada di tengah ruangan.<br />Ruangan pendopo itu dibangun beberapa meter tingginya dari halaman luar, panggung batu menjadi lebih tinggi lagi,<br />sedikitnya tujuh atau delapan kaki tingginya, wajan besar itupun tingginya lebih tiga kaki.<br />Api tungku tampak berkobar, isi wajan adalah daging rebus, bau sedap sungguh dapat memancing datang manusia<br />dan anjing dari jarak belasan li jauhnya.<br />Waktu Siau-hong masuk ke situ, Ciangkun sedang mengaduk daging rebus dengan sebuah gayung.<br />Begitu melihat Liok Siau-hong, segera ia menaruh gayungnya dan melotot sambil membentak, “Liok Siau-hong?”<br />Suara bentakannya menggelegar seperti bunyi geledek, namun Siau-hong sama sekali tidak berkedip, bahkan balas<br />membentak, “Ciangkun?”<br />“Kau mau kemari tidak?” seru Ciangkun pula. “Mau!” jawab Siau-hong. dia benar-benar mendekat ke sana,<br />langkahnya jauh lebih lebar daripada biasanya.<br />Ciangkun melotot padanya dan berkata pula, “Yang di dalam wajan adalah daging!”<br />“Ya, daging!” jawab Siau-hong. “Kau makan daging?” “Makan!”<br />“Dapat makan banyak?” “Cukup banyak!” “Baik, boleh kau makan!”<br />Gayung tadi lantas disodorkannya kepada Liok Siau-hong. Tanpa pikir Siau-hong lantas menyendok satu gayung<br />penuh. Satu gayung sama dengan isi satu mangkuk daging rebus yang panas.<br />Siau-hong tidak takut panas, dia makan dengan cepat, habis makan satu gayung barulah ia menarik napas lega,<br />ucapnya, “Ehm. daging lezat!”<br />“Memang daging lezat,” kata Ciangkun. “Engkau juga makan daging?” Siau-hong balas bertanya. “Makan.”<br />“Juga makan banyak?”<br />Tanpa menjawab Ciangkun lantas merampas gayung yang dipegang Siau-hong, ia pun menyendok segayung penuh<br />dan diganyang sampai habis, lalu ia menengadah dan menghembuskan napas, ucapnya, “Ehm, daging lezat!”<br />“Memang daging lezat,” tukas Siau-hong. “Kau tahu ini daging apa?” tanya Ciangkun. “Tidak.”<br />“Kau tidak takut ini daging manusia?” ‘Takut.”<br />“Kalau takut kenapa kau makan?” “Makan manusia kan lebih baik daripada dimakan manusia. Kembali Ciangkun<br />memelototi Siau-hong hingga sekian lama, katanya kemudian, “Baik, silakan makan.”<br />Kembali Siau-hong makan segayung, Ciangkun juga segayung, lalu giliran Siau-hong pula.<br />Satu gayung sama dengan isi satu mangkuk, satu mangkuk daging sama dengan satu kati. Hanya sekejap saja<br />sedikitnya sudah lima kati daging masuk perutnya.<br />Pada waktu makan gayung keenam, barulah Ciangkun bertanya, “Kau masih sanggup makan?”<br />Siau-hong tidak bersuara, mendadak ia main akrobat, ia berjumpalitan, sekaligus berjumpalitan 36 kali, habis itu baru<br />berdiri tegak dan menjawab, “Aku masih sanggup makan.” “Baik, silahkan makan lagi,” kata Ciangkun. Dan begitulah<br />makan dan makan lagi, setiap makan satu gayung daging, Siau-hong lantas berjumpalitan lima kali, sampai ratusan<br />kali ia berjumpalitan dan air mukanya tetap tidak berubah.<br />Mau tak mau hati Ciangkun terkesiap, ucapnya, “Ehm, akrobat bagus!”<br />Baru selesai berucap, “plotak”, ikat pinggangnya putus menjadi dua.<br />Siau-hong lantas bertanya, “Kau masih mampu makan?” Ciangkun juga tidak menjawab, ia melompat turun dari<br />panggung, sekali raih, tungku dipegangnya.<br />Tungku itu dibuat dari perunggu, ditambah lagi wajan besar di atas tungku, sedikitnya ada lima atau tujuh ratus kati<br />bobotnya. Tapi dengan sebelah tangan ia sanggup mengangkatnya, lalu diturunkan dan diangkat lagi, sekaligus<br />ratusan kali naik turun barulah tungku itu ditaruh pada tempat semula.<br />Segera ia rampas lagi gayung dari tangan Siau-hong dan berseru, “Nah, sudah kau lihat?”<br />Sekali ini dia makan dua gayung sekaligus. Terkesima Liok Siau-hong mamandangi gayung yang dipegang orang,<br />mendadak ia pun menirukan cara orang, ia angkat tungku itu naik-turun hingga ratusan kali, lalu merampas gayung<br />dan juga makan dua gayung daging sekaligus.<br />Mata Ciangkun juga melotot mengikuti tingkah Siau-hong itu. “Makan lagi?” tanya Siau-hong dengan napas rada<br />memburu. “Ya, makan lagi!” ucap Ciangkun sambil mengertak gigi. Dia pegang gayung dan menyendok pula,<br />terdengar suara “pletak” lagi. Sekali ini bukan ikat pinggang yang putus, tapi gayung menyentuh dasar wajan.<br />Satu gayung sama dengan satu kali daging, satu wajan berisi 30 atau 50 gayung, semuanya ternyata sudah<br />d.ganyang habis oleh<br />Siau-hong menghela napas panjang sambil meraba perutnya yang mcmbuncit, ucapnya. “Daging lezat.”<br />“Ini memang daging lezat,” tukas Ciangkun dengan melotot.<br />Kedua orang lantas bergelak tertawa, mendadak keduanya roboh bersama, roboh di alas panggung dan mas.h terus<br />tertawa.<br />Orang di bawah panggung sama melongo menyaksikan kelakuan mereka.<br />Tiba-tiba Ciangkun berkata pula. “Perutmu belum lagi meledak?”<br />“Belum,” jawab Siau-hong.<br />“Tak tersangka sekecil ini perutmu, tapi dapat memuat daging sebanyak itu.”<br />“Malahan aku makan satu gayung lebih banyak daripadamu,” kata Siau-hong.<br />“Tapi setiap gayung yang kusendok terlebih banyak daripadamu.<br />“Belum tentu benar.”<br />Serentak Ciangkun melompat bangun dan melototi Liok Siau-hong.<br />Tapi Siau-hong tetap berbaring dengan tenang.<br />“Bangun, boleh kita masak satu wajan daging dan berlomba lagi,” kata Ciangkun.<br />“Tidak, tidak mau berlomba lagi,” ujar Siau-hong.<br />“Jadi engkau mengaku kalah?’”<br />“Sebenarnya aku sudah menang, mengapa harus berlomba lagi? Kalau menang kenapa disuruh mengaku kalah<br />malah?”<br />Ciangkun mendelik, urat hijau tampak menonjol di dahinya, suatu tanda betapa geram hatinya.<br />Tapi Siau-hong bicara dengan hambar. “Rupanya bukan cuma perutmu saja yang kembung, kepalamu juga<br />melembung.”<br />Mendadak Ciangkun mengepal crat kedua tinjunya, ruas tulang seluruh badannya seakan-akan mengeluarkan suara<br />“keriat-keriut”, perawakan yang memang tinggi besar itu seolah-olah bertambah lebih tinggi lagi.<br />Tampaknya orang ini tidak cuma bertenaga raksasa, Gwakang (kekuatan atau kekebalan badan luar) juga terlatih<br />sampai puncaknya.<br />Dengan tertawa Siau-hong bertanya pula, “Kau ingin berkelahi?”<br />Ciangkun hanya bungkam saja. Dia sudah menghimpun tenaga, bila buka mulut tentu tenaga akan buyar.<br />“Meski makan daging lagi sudah berkurang minatku. kalau berkelahi dapat kuiringi,” kata Siau-hong.<br />Mendadak Ciangkun menggertak, kontan ia menjotos. Dia sudah siap sejak tadi, dengan sendirinya tenaga pukulannya<br />tidak kepalang dahsyatnya.<br />Terdengarlah suara gemuruh, wajan dan tungku terguling, meja kursi yang berdekatan juga berantakan bersama<br />mangkuk piringnya.<br />Liok Siau-hong juga terpukul hingga mencelat, melintasi beberapa meja dan melayang di atas kepala belasan orang,<br />serupa layangan putus.<br />Serentak terdengar suara bersorak memuji, Ciangkun berdiri tegak di atas panggung sehingga kelihatan terlebih<br />gagah perkasa.<br />Siapa duga, pada saat itu juga tiba-tiba terdengar deru angin, tahu-tahu Siau-hong sudah berada kembali di depan<br />Ciangkun dengan tersenyum simpul dan berkata, “Pukulanmu membikin badanku bertambah segar, apakah mau coba<br />lagi sekali?”<br />Ciangkun meraung murka, berturut-turut ia menghantam tiga kali. Pukulannya tidak banyak variasi, tapi praktis dan<br />efektif.<br />Ketiga pukulan ini meski tidak sedahsyat pukulan pertama, tapi jauh lebih cepat.<br />Kembali Siau-hong terpukul ke atas lagi, cuma sekali ini tidak mencelat, mendadak ia berjumpalitan di udara, lalu<br />turun di belakang Ciangkun.<br />Biarpun perawakan Ciangkun tinggi besar, reaksinya justru sangat lincah dan gesit, mendadak ia membalik tubuh,<br />bergerak sambil menyerang. Kembali tiga kali pukulan dilancarkan sekaligus.<br />Untung Liok Siau-hong juga lain daripada yang lain, mendadak ia berkelit terus menerobos lewat bawah ketiak<br />Ciangkun, sekaligus ia angkat siku Ciangkun dan kepalanya terus menumbuk iga orang.<br />Tubuh Ciangkun yang berbobot 173 kati itu terhuyung-huyung oleh serudukan Siau-hong itu dan hampir saja<br />terjungkal ke bawah panggung.<br />Sebaliknya Siau-hong juga tidak kurang terkejutnya. Tiba-tiba diketahuinya orang ini menguasai kekebalan badan<br />yang luar biasa, serudukan kepalanya itu serupa menanduk dinding batu, sampai kepala sendiri pusing tujuh keliling.<br />Karena terkejut dan kepala pusing, maka suara tertawa Siau-hong bertambah keras, serunya, “Kembali kau kalah<br />lagi!”<br />“Kentut!” teriak Ciangkun.<br />“Sekali pukul hampir kurobohkan dirimu, masa engkau tidak mengaku kalah?” ujar Siau-hong dengan tertawa.<br />“Kau pakai pukulan apa?” jengek Ciangkun.<br />“Pukulan kepala!”<br />“Huh, terhitung kungfu macam apa itu?”<br />“Inilah kungfu untuk berkelahi, asalkan dapat merobohkan lawan, cara bagaimana pun dapat digunakan.”<br />“Hm, ingin kulihat pukulan apa pula yang dapat kau gunakan?” jengek Ciangkun.<br />Segera ia pasang kuda-kuda dan menghantam lagi, pukulannya tambah gencar, serangannya tambah cepat, tekadnya<br />sekali ini harus merobohkan lawan.<br />Siau-hong memang tak mampu menembus pertahanan lawan, memang tidak ada orang yang sanggup membobol ilmu<br />pukulan Ciangkun yang rapat dan dahsyat ini.<br />Agaknya Siau-hong juga menyadari hal ini, dia tidak melakukan serangan, sebaliknya mundur ke pojok panggung<br />sana dan mendadak menungging sambil memegang perutnya, serunya, “Wah payah! Perutku mulas!”<br />Padahal ia tahu, biarpun perutnya mulas setengah mati dan kotoran keluar di celananya juga tidak akan diampuni<br />orang.<br />Benar juga. Ciangkun terus menubruk maju dan menghantam pula.<br />Tak terduga, pada saat tubuh Ciangkun mengapung itulah, se-licin belut Liok Siau-hong lantas meluncur lewat di<br />bawah kakinya, mendadak kedua tangannya menahan lantai, sekali melejit, pantatnya tepat menumbuk pantat<br />Ciangkun.<br />Karena perhatian Ciangkun tertuju untuk menyerang ke depan, dia tidak sempat menahan diri, sekali ini dia benarbenar<br />tertumbuk jatuh ke bawah panggung, hampir saja jatuh terguling.<br />“Haha, kembali kau kalah lagi!” seru Siau-hong sambil barkeplok.<br />Tidak kepalang gusar Ciangkun, mukanya masam, bibirnya hijau.<br />“Sekali ini mengapa tidak kau tanya pukulan apa yang aku gunakan?” ucap Siau-hong. Tapi Ciangkun diam saja.<br />“Yang kugunakan ialah pukulan pantat!” kata Siau-hong dengan tersenyum, “Maka lain kali bilamana kau temui lawan<br />yang dapat menyerang dengan pantat, sebaiknya cepat engkau menyingkir sejauhnya, sebab kau pasti bukan<br />tandingannya.”<br />Mendadak Ciangkun meraung murka, ia memukul lagi dengan dahsyat, tapi yang dihantamnya sekali ini bukan<br />manusia melainkan panggung batu.<br />Panggung yang ditumpuk dengan balok batu itu sampai retak sebagian, batu kerikil bertebaran. Menyusul tubuhnya<br />yang gede itu juga melompat ke atas, selagi masih mengapung di udara segera ia melancarkan pukulan kedua.<br />Hantaman dari udara tentu saja terlebih dahsyat, tapi juga lebih mudah memperlihatkan bagian kelemahan sendiri,<br />gaya serangan ini mestinya hanya boleh dilakukan bilamana menghadapi lawan yang lebih lemah.<br />Dan Liok Siau-hong jelas tidak lebih lemah daripada Ciang kun, serangan Ciangkun ini sungguh sangai besar<br />resikonya, sebab dia memperhitungkan Liok Siau-hong tidak dapat berdiri tegak Siapa pun sukar berdiri tegak di atas<br />panggung yang retak dan di bawah hujan batu kerikil.<br />Jika berdiri seorang tidak tegak dan kurang kuat, dangan sendirinya Udak mampu balas menyerang, kalau tidak dapat<br />balas menyerang tarpaksa harus menghindar, tap. cara bagaimanapun menghindar sukar mengelakkan angin<br />pukulannya yang dahsyat.<br />Kesehatan Siau-hong sendiri belum pulih, tubuhnya masih lemah, sebenarnya dia tidak tahan angin pukulan lawan<br />vang hebat itu.<br />Tapi dia tidak pcrlu menahan angin pukulan orang, dia malah dapat melancarkan serangan balasan, balas menyerang<br />dalam keadaan yang tidak memungkinkan.<br />Ciangkun sudah berpengalaman tempur, kemenangan yang terjadi pada sekejap itu sudah diperhitungkannya dengan<br />baik. Cuma sayang, sekali ini dia salah hitung.<br />Sesuatu yang dikerjakan oleh Liok Siau-hong memang banyak yang dianggap orang lain sebagai hal yang tidak<br />mungkin bisa di lakukan.<br />Sekali ini dia tidak memakai pukulan kepala, juga bukan pukulan pantat, tapi menggunakan tangan, jari tangan. Jari<br />sakti Liok Siau-hong yang tidak ada bandingannya.<br />Sekonyong-konyong Siau-hong mengegos ke samping sambil menjulurkan kedua jari dan menjentik perlahan. Jari<br />telunjuk tepat mengenai kepalan Ciangkun dan jari tengah mengenai dadanya.<br />Padahal apa gunanya dua jari manghadapi kepalan \ang dapat meretakkan panggung batu dan dada yang tidak<br />mempan dibacok golok?<br />Namun hasilnya segera terbukti, sukar orang membayangkan betapa lihai tenaga jarinya. Terdengar Ciangkun<br />meraung dan mencelat ke sana dan jatuh terbanting di atas batu kerikil yang berserakan di lantai.<br />Di tengah ruangan pendopo itu masih ada 36 orang, tapi udak ada setitik suara apapun, sampai suara napas saja<br />seakan-akan berhenti.<br />Mata ke-36 orang sama melototi Liok Siau hong, menampilkan semacam sorot mata yang aneh.<br />Siau-hong hanya menyengir saja, sabab ia tahu meski orangorang ini bukan sahabat Ciangkun, sekarang semuanya<br />tentu juga telah menjadi lawannya.<br />Seorang yang baru tiba di tempat yang belum dikenal ini dan mendadak harus mengikat permusuhan dengan 36<br />orang, betapapun hal ini urusan yang sangat tidak menyenangkan.<br />Dia hanya berharap luka Ciangkun tidak terlalu parah. Tapi ketika dia berpaling ke sana, Ciangkun yang tadinya rebah<br />di lantai itu sekarang sudah lenyap.<br />Waktu ia menoleh lagi, terlihatlah seorang berbaju kelabu sedang berjalan keluar dengan perlahan dan Ciangkun<br />ternyata berada dalam rangkulan orang itu.<br />Dengan mata telinga Siau-hong yang tajam, ternyata tidak dapat merasakan darimana munculnya orang berbaju<br />kelabu itu, juga tidak tahu cara bagaimana dia membawa pergi Ciangkun, tapi tahu-tahu orang sudah berada di<br />ambang pintu.<br />Mau tak mau Siau-hong melengak.<br />Sementara itu si baju kelabu sudah keluar pintu, ke-36 orang dalam ruangan pendopo juga lantas ikut keluar. Tiada<br />seorang pun yang menoleh dan memandang Siau-hong, seakan-akan menganggap Liok Siau-hong sudah menjadi<br />orang mati.<br />Betapapun menarik seorang mati, tentunya tidak ada orang yang sudi memandangnya lebih lama.<br />Siau-hong sendiri juga tiba-tiba merasa dirinya seperti berdiri di dalam kuburan, tidak ada manusia, tidak ada suara,<br />meski cahaya lampu masih menyala, tapi seperti sudah berubah menjadi sangat gelap<br />Apabila segala apapun tak terlihat, setitik sinar harapan saja tak terlihai, apa pula gunanya cahaya lampu?<br />Entah selang berapa lama. Siau-hong masih berdiri termangu di situ tanpa bergerak. Tempat ini memang asing<br />baginya, kemana dia akan pergi?<br />Dia memang sudah berada di jalan buntu, dia dapat pergi ke mana?’<br />Pada saat itulah dia melihat sepasang mata dan satu tangan.<br />Tangan yang putih dan kecil, sepasang mata yang membawa senyuman. Itulah Yap Ling yang sedang menggapai<br />padanya di luar pintu.<br />Segera Siau-hong mendekatinya.<br />Biarpun di luar pintu terdapat seratus perangkap dan seribu jebakan yang sedang menantikan, dia juga akan<br />mendatanginya tanpa ragu.<br />Sebab dirasakannya keadaan yang menyendiri dengan keputus-asaan jauh lebih menakutkan daripada mati.<br />Syukur di luar pintu tidak terdapat apa-apa, hanya ada satu orang dan kegelapan.<br />Mata Yap Ling dalam kegelapan tampak terang bagai bintang kejora. Dia memandang Siau-hong dengan tersenyum,<br />katanya tiba-tiba, “Selamat padamu!”<br />“Selamat apa?” Siau-hong merasa bingung.<br />“Sebab engkau tidak jadi mati,” tutur Yap Ling. “Seorang asalkan dapat tetap hidup adalah hal yang pantas diberi<br />ucapan selamat.”<br />“Memangnya aku mestinya mati?” tanya Siau-hong.<br />Yap Ling mengangguk.<br />“Dan sekarang?” tanya Siau-hong pula.<br />“Sekarang paling tidak engkau masih dapat hidup di Yu-leng-san-ceng ini.”<br />Siau-hong menghela napas lega, ia coba bertanya pula, “Siapakah orang berbaju kelabu tadi?”<br />“Tidak dapat kau terka?” jawab Yap Ling.<br />“Apakah Lau-to-pacu?” tanya Siau-hong.<br />Berputar biji mata Yap Ling, ia balas bertanya. “Kau kira dia orang macam apa?”<br />“Seorang yang menakutkan?”<br />“Kau pikir bagaimana ilmu silatnya.”<br />“Tak dapat kulihat.”<br />“Masa sampai dirimu tak dapat melihatnya.’<br />“Justru lantaran aku tak dapat menilainya. maka terasa menakutkan “<br />“Kau pikir seharusnya Lau To-pacu orang macam apa?” Tanya Yap Ling pula.<br />“Dengan sendirinya seorang yang sangat menakutkan.” Yap Ling tertawa, “Jika begitu orang tadi dengan sendirinya<br />Lau-to-pacu, mestinya tidak perlu kau tanya lagi.”<br />Siau-hong juga tertawa, namun bukan tertawa gembira. Seorang jago kelas tinggi seperti dia, kalau mendadak<br />menemukan seorang berkepandaian jauh lebih tinggi daripadanya, maka perasaannya pasti tidak enak.<br />Tiba-tiba Yap Ling menarik muka dan mendengus, “Hm, hari pertama kedatanganmu lantas bikin onar dan berkelahi<br />segala, kalau tidak ada orang memintakan ampun bagimu, saat ini sedikitnya engkau sudah mati dua kali.”<br />“Siapa yang memintakan ampun bagiku?” tanya Siau-hong. Yap Ling menuding hidungnya sendiri dan menjawab,<br />“Aku!” Siau-hong msnghela napas, “Ya, tentu saja kau. memang sudah kuketahui pasti kau.”<br />Tiba-tiba Yap Ling tersenyum manis, “Jika tahu, cara bagaimana akan kau balas kebaikanku?”<br />Siau-hong tersenyum, “Akan kugigit hidungmu!” Yap Ling mendelik, mendadak ia berjingkrak murka, “Enyah, lekas<br />enyah ke sarang anjingmu, kalau tidak ada suara genta dilarang keluar! “<br />“Inikah perintah Lau-to-pacu?” tanya Siau-hong. Tapi Yap Ling hanya mendengus saja. “Dapatkah kutemui dia<br />sekarang?”<br />“Tidak,” jawab Yap Ling tegas. “Tapi bilamana dia ingin menemuimu, mau lak mau harus kau temui dia.”<br />Siau-hong menghela napas, “Ya. lumayan juga apabila seorang dapal istirahat selama beberapa hari dengan tenang.<br />Susahnya kalau tidak makan nasi.”<br />“Kau akan makan nasi, makan tiga kali sehari, ada enam macam sayuran dan semacam kuah, boleh piilih sesukamu,<br />“kata Yap Ling.<br />“Apakah sekarang boleh kupesan santapanku untuk besok?” tanya Siau-hong.<br />“Boleh.” jawab Yap Ling.<br />“Baik, aku ingin makan Ang-sio-ti-te, jamur cah ayam, bebek campur tiga segar, hay-som masak ti-to dan...”<br />Yap Ling memandangnya dengan sorot mata yang menampilkan perasaan aneh.<br />“Aku gemar makan enak, jika kupesan santapan lezat kan tidak perlu diherankan,” kata Siau hong.<br />“Aku cuma heran, mengapa tidak ingin kau makan hidanganku?” kata Yap Ling.<br />Lampu sudah dipadamkan, Siau-hong berbaring dalam kege lapan, inilah malam pertama yang dilewatkannya di Yuleng-<br />san-ceng.<br />Baru setengah hari dia berada di sini dan sudah banyak kejadian aneh dan menakutkan yang dialaminya, juga banyak<br />orang aneh dan mengerikan yang dilihatnya. Terutama Kau-hun-sucia dan Lau-to-pacu, betapa tinggi ilmu silat kedua<br />orang ini sungguh sukar dibayangkan olehnya.<br />Meski sekarang dia masih hidup, tapi bagaimana selanjutnya?<br />Ia tidak ingin merenungkannya lagi. Tiba-tiba ia merasakan semacam rasa takut yang sukar dijelaskan.<br />Esok paginya, di lembah pegunungan masih penuh diliputi kabut, rumah gubuk kecil itu serupa terapung di tengah<br />awan, waktu membuka pintu, dirinya sendiri pun terasa melayang-layang di udara, seperti juga mengambang di atas<br />air.<br />Siau-hong menghela napas, ia menutup pintu lagi, perasaannya sangat tertekan.<br />Bab 8. Kesulitan Datang<br />Published by Hiu_Khu on 2008/1/17 (270 reads)<br />Satu-satunya suara yang dapat menggembirakan dia pagi ini adalah suara ketukan pintu waktu pengantar makan<br />datang.<br />Pengantar itu seorang burik, mukanya kaku, giginya kuning, mungkin tidak parnah disikat, satu-satunya bagian<br />tubuhnya yang menyenangkan orang hanya tangannya yang menjinjing rantang santapan itu.<br />Rantang makanan itu memang berisi enam macam masakan yang sesuai dengan pesanan Liok Siau-hong semalam.<br />Namun setiap macam masakan itu seluruhnya cuma terdiri secuil saja, secuil kecil. Orang yang rabun mungkin sukar<br />melihatnya.<br />Yang paling istimewa adalah masakan bebek campur tiga segar yang cuma terdiri dari sekerat tulang bebek, secuil<br />kulit bebek dan sehelai bulunya.<br />Keruan Siau-hong berjingkrak dan berteriak, “Inikah masakan bebek campur tiga segar?”<br />Si burik lantas mendelik dan menjawab, “Memangnya apa kalau bukan bebek? Apakah kucing?”<br />“Umpama betul bebek, lalu dimana tiga segar yang dimaksudkan?”<br />“Bulu bebek baru saja dibubut, kulit bebek juga baru saja disayat, tulang bebek pun masih segar, apalagi ketiga<br />macam ini jika tidak boleh disebut tiga segar?”<br />Mau tak mau Siau-hong jadi bungkam.<br />“Biang”, si burik merapatkan daun pintu dengan keras dan tinggal pergi.<br />Memandangi keenam jenis masakan dan memandang pula semangkuk nasi di depannya, Siau-hong jadi menyengir<br />sendiri.<br />Baru sekarang dia paham apa sebabnya Yu-hun-siansing itu sedemikian berminat menggeragoti tulang ayam.<br />Ia pegang sumpit, tapi lantas ditaruh kembali dan menghela napas,<br />Mendadak didengarnya di luar jendela sana juga ada orang menghela napas menyesal dan berucap, “Ang-sio-ti-te<br />yang kau dapat ini jauh lebih besar duripadu bagian yang kumakan kemarin, sedikitnya satu kali lebih besar.”<br />Tanpa berpaling Siau-hong tahu yang bicara itu ialah Yu-hun. si arwah gentayangan, ia coba bertanya, “Makanan<br />semacam ini sudah berapa lama kau makan?”<br />“Tiga bulan,” jawab Yu hun.<br />Serentak dm menerobos masuk melalui jendela, dia pandang santapan di atas meja sambil menjilat-jilat bibir,<br />kutunya pula, “Ada rahasianya cara makan santapan semacam ini,<br />“Rahasia apa?” tanya Siau-hong.<br />“Setiap macam santapan itu harus dimakan dengan perlahan pahng baik digosok dulu pada gigi lalu dijilat dengan<br />lidah dengan begitu baru akan diketahui rasa aslinya.”<br />“Bagaimana rasanya?” tanya Siau-hong.<br />“Rasanya membuat orang ingin mati dengan membenturkan kepala.<br />“Tapi sampai sekarang engkau sendiri belum lagi mati.”<br />“Soalnya aku belum mau mati, jika orang lain menginginkan aku mati, aku jadi bertambah gairah untuk hidup, supaya<br />mereka tahu.”<br />Siau-hong menghela napas gegetun, ucapnya, “Engkau dapat hidup sampai sekarang tentu tidaklah mudah.”<br />Yu-hun mengangguk perlahan, tiba-tiba dua titik air mata menetes.<br />Siau-hong tidak tega melihatnya, ia terus berbaring dan menutup kepalanya dengan bantal.<br />“Nasi sudah diantar kemari, kenapa tidak kau makan?” tanya Yu-hun.<br />“Boleh kau makan saja, aku tidak lapar.”<br />“Tidak lapar juga harus makan, mau tak mau harus makan.”<br />“Sebab apa?”<br />“Sebab engkau harus hidup!”<br />Mendadak ia tarik bantal yang menutupi muka Liok Siau-hong dan berteriak, “Jika kau ingin mati, kan lebih baik<br />kupukul mati kau sekarang juga, sebab pada tubuhmu sekarang masih berdaging dan dapat kujadikan santapan<br />sepuas-puasnya.”<br />Siau-hong memandangnya, memandang, muka orang yang tinggal kuh. membungkus tulang itu. lalu katanya. “Aku<br />she Liok bernama Siau-hong.”<br />“Kutahu,” jawab Yu-hun.<br />“Dan siapa engkau? Mengapa bisa datang ke sini?” Tanya Siau-hong dengan matanya yang cekung, lalu balas<br />bertanya, “Engkau sendiri mengapa bisa datang ke sini?” “Sebab....”<br />“Sebab engkau berbuat salah dan dikejar orang hingga kepepet, terpaksa menuju kejalan kematian ini.” potong Yuhun.<br />Siau-hong mengangguk.<br />“Sekarang orang Kangouw tentu mengira engkau sudah mati, Sebun Jui-soat juga menyangka dirimu sudah mati,<br />makanya dapat kau hidup terus di sini.”<br />“Dan kau?” tanya Siau-hong.<br />“Aku pun begitu juga,” jawab Yu-hun. “Baik Ciangkun, Piauko, Kaucu, Koan-keh-po dan lain-lain, keadaan mereka<br />juga sama saja.”<br />“Aku tidak takut asal-usulku diketahui mereka,” ujar Siau-hong.<br />‘Tapi mereka justru takut padamu.” “Sebab apa?” tanya Siau-hong.<br />“Sebab mereka masih tidak mempercayai dirimu. Betapapun mereka tidak ingin orang lain mengetahui mereka masih<br />hidup, kalau ....”<br />“Kalau tidak, musuh mereka pasti akan menyusul kemari, begitu?”<br />“Betul,” jawab Yu-hun.<br />“Bagaimana dengan dirimu? Kau pun tidak percaya kepadaku?”<br />“Seumpama aku percaya padamu juga tak dapat kuberitahukan asal-usulku.”<br />“Mengapa?” tanya Siau-hong.<br />Tiba-tiba sorot mala Yu-hun menampilkan semacam perasaan aneh, entah takut, entah pedih.<br />“Tidak, tidak dapat kukatakan, tidak boleh ....” ia bergumam seperti memperingatkan dirinya sendiri, lalu tubuhnya<br />hendak melayang pergi lagi<br />Namun sekali ini Liok Siau-hong tidak membiarkan orang pergi, secepat kilat ia pegang tangan orang dan bertanya<br />pula sekali, “Apa sebabnya?”<br />“Sebab .....” agaknya Yu-hun juga memutuskan akan bicara te rus terang, “sebab kalau kukatakan, kita takkan<br />bersahabbat lagi.” Siau-hong tetap tidak paham dan ingin hartanya pula siapa tahu tangan Yu-hun yang kurus kering<br />itu mendadak berubah se lunak kapas dan licin, tahu-tahu terlepas dan pegangannya. Padahal belum pernah ada<br />tangan orang yang dapat lolos dari pegangan Liok Siau-hong.<br />Waktu Siau-hong hendak memegang lagi, namun Yu-hun sudah menerobos keluar jendela dan melayang pergi serupa<br />arwah gentayangan benar-benar.<br />Siau-hong jadi melengak. Belum pernah dilihatnya orang menguasai Nuikang (kungfu lunak) setinggi ini. mungkin dia<br />cuma pernah mendengar saja, rasanya Sukong Ti-seng pemah bercerita, tapi sudah tidak teringat lagi ....<br />Dan begitulah, sudah dua-tiga hari Liok Siau-hong berdiam di gubuk itu. Malahan tepatnya dua hari atau tiga hari,<br />atau mungkin sudah empat hari, sampai dia sendiri tidak ingat lagi dengan jelas.<br />Rupanya lapar selain dapat membuat orang kehilangan tenaga, juga dapat merusak daya pikir orang, membuat orang<br />melupakan segala apa yang seharusnya dipikirkan olehnya.<br />Seorang berbaring sendirian di dalam gubuk seperti kotak burung merpati dengan menahan lapar, siapa yang tahan<br />penderitaan semacam ini?<br />Rupanya cuma Liok Siau-hong saja yang tahan. Urusan yang dapat ditahan oleh orang mungkin bisa membuatnya<br />meledak, tapi urusan yang orang lain tidak tahan diajustru sanggup bertahan.<br />Akan tetapi ketika mendengar suara genta berbunyi, tanpa terasa ia pun melonjak kegirangan.<br />“Kalau genta tidak berbunyi, dilarang keluar”. Sekarang genta berbunyi, ia melompat bangun dan menerjang keluar,<br />sampai sepatu saia tidak sempat dipakai lagi.<br />Di luar tetap ada kabut, waktunya senja sehingga masih kelihatan sisa cahaya mentari yang mengintip di balik kabut<br />tebal sana dan memantulkan lingkaran pelangi yang indah.<br />Betapapun dunia ini tetap permai, dapat hidup tetap merupakan sesuatu yang menggembirakan.<br />Ruangan pendopo itu masih tetap dihadiri 36 atau 37 orang saja, tiada satu pun yang dikenal Liok Siau-hong.<br />Orang yang pernah dilihatnya seluruhnya tidak berada di sini, baik Kau-hun-sucia, Ciangkun, Yu-hun, Yap Ling dan<br />lain-lain, entah mengapa tidak ada yang hadir. Juga Tokko Bi, entah mengapa lantas lenyap begitu saja di lembah<br />pegunungan ini.<br />Ia mencari tempat duduk yang terletak di pojok, tidak ada yang menghiraukan dia, bahkan tidak ada yang meliriknya,<br />air muka setiap orang tampak prihatin, perasaan setiap orang seperti sangat tertekan.<br />Orang yang hidup di tempat begini mungkin senantiasa demikian, Siau-hong menghela napas gegetun. Waktu ia<br />memandang ke depan baru diketahui panggung yang semula terdapat tungku itu sekarang sudah berganti pajangan,<br />yang terletak di situ adalah sebuah peti mati.<br />Peti mati baru gres, malahan belum dipantek tutupnya. Entah siapa yang mati? Apakah Ciangkun? Mereka<br />mendatangkan Liok Siau-hong, apakah hendak menuntut balas bagi Ciangkun.<br />Selagi Siau-hong merasa tidak tenteram, segera dilihatnya Yap Ling berlari masuk.<br />Anak perempuan yang suka bergurau dan suka berbaju merah itu sekarang telah berganti baju berkabung, bahkan<br />kelihatan menangis sangat sedih. Dan begitu dia menerobos masuk, segera ia menubruk di atas peti mati dan<br />menangis.<br />Siau-hong tidak menduga nona ini bisa menangis sedih begitu bagi orang lain, dia masih muda, cantik dan lincah, halhal<br />yang menyedihkan dan kemalangan rasanya seperti takkan menimpa dirinya. Memangnya siapa yang mati dan<br />ada hubungan apa dengan dia?<br />Selagi Siau-hong hendak mencari kesempatan untuk menghibur nona itu, siapa tahu Yap Ling lantas berseru padanya,<br />“Liok Siau-hong, kemari kau!”<br />Terpaksa Siau-hong mendekatinya. Ia tak tahu mengapa mendadak Yap Ung bisa memangnya. Ia tidak ingin terlalu<br />mendekat.<br />Tapi Yap Ling lantas berkaok-kaok mendesaknya supaya berjalan lebih cepat dan lebih mendekat ke sana, ke atas<br />panggung.<br />Waktu S.au-hong menengadah, baru sekarang dilihatnya nona itu sedang menatapnya dengan matanya yang<br />mengembeng air mata, memandangnya dengan benci dan penuh rasa permusuhan. Kau minta kunaik ke atas?” Siauhong<br />bertanya.<br />Yap Ling mengangguk.<br />“Untuk apa naik ke situ?” tanya Siau-hong pula.<br />“Supaya dapat kau lihat dia!” kata Yap Ling.<br />‘Dia’ yang dimaksudkan jelas orang yang membujur di dalam peti mati. Padahal orang mati, apa yang perlu dilihat<br />lagi?<br />Akan tetapi sikap Yap Ling tampak tidak sabar dan mengharuskan Liok Siau-hong melihatnya ke atas panggung.<br />Dengan terpaksa Siau-hong naik ke situ.<br />Yap Ling menggeser tutup peti mati sehingga teruar bau harum yang keras bercampur bau busuk mayat. Jenazah<br />dalam peti jelas sudah membusuk, mengapa nona itu berkeras menyuruh Siau-hong melihatnya?<br />Terpaksa Siau-hong memandangnya sekejap dan segera ia ingin tumpah.<br />Orang yang mati ternyata Yap Koh-hong adanya. Yap Koh-hong yang mati di tengah hutan pemakan manusia itu.<br />Dengan menggreget Yap Ling menatap Siau-hong dan bertanya, “Kau tahu siapa dia?”<br />Siau-hong mengangguk.<br />“Dia adalah kakakku, kakak kandungku, jika tak d.rawat oleh dia sejak kecil tentu aku sudah mati kelaparan,” sorot<br />mata Yap Ling penuh rasa duka dan dendam. “Dan sekarang dia mati terbunuh, kau bilang aku harus menuntut balas<br />baginya atau tidak?”<br />Siau-hong mengangguk pula.<br />Dia tidak suka berdebat dengan orang perempuan, apalagi dalam keadaan demikian, hakikatnya tidak ada tempat<br />baginya untuk bicara.<br />“Kau tahu cara bagaimana kematiannya?” kembali Yap Ling bertanya.<br />Siau-hong jadi serba salah, tidak dapat mengangguk, tidak dapat menggeleng, tak bisa memberi penjelasan, juga<br />tidak dapat menyangkal. Sungguh ia ingin ada sebuah peti mati lain agar dia dapat sembunyi di dalamnya.<br />“Hm, biarpun tidak kau katakan juga kutahu,” jengek Yap Ling.<br />“Kau tahu apa?” tanya Siau-hong tidak tahan.<br />“Dia mati di hutan maut sana, baru tiga hari dia mati, selama tiga hari ini hanya dirimu saja yang melalui hutan sana.”<br />“Memangnya kau kira aku yang membunuh dia?” tanya Siau-hong dengan menyengir.<br />“Ya,” seru Yap Ling.<br />“Salah!” tiba-tiba-seorang menanggapi sebelum Siau-hong menjawab.<br />“Apa? Salah?” teriak Yap Ling murka.<br />“Ya, salah, sebab orang yang pernah melalui hutan sana selama tiga hari ini tidak cuma Liok Siau-hong saja seorang.”<br />Yang tampil dan bicara membela Liok Siau-hong itu ternyata bukan lain daripada Tokko Bi yang menghilang sejak<br />masuk perkampungan hantu ini.<br />“Sedikitnya aku pun parnah lewat di hutan sana, aku pun datang dari sana,” demikian Tokko Bi menambahkan.<br />“Masa kau pun masuk hitungan? Kau mampu membunuh kakakku?” teriak Yap Ling.<br />“Seumpama aku tidak dapat, kan masih ada orang lain,” ujar Tokko Bi dengan menyesal.<br />“Masih ada orang lain?” Yap Ling menegas.<br />Tokko Bi mengangguk, “Ya. seumpama aku bukan tandingan kakakmu, tapi bagi orang itu tidaklah terlalu sulit jika dia<br />mau mem bunuh kakakmu.”<br />“Siapa yang kau maksudkan?” tanya Yap Ling dengan gusar.<br />“Sebun Jui-soat!” jawab Tokko Bi. Matanya bercahaya seperti mengandung senyum yang licik seperti seekor rase tua,<br />lalu menambahkan. “Nama ini pernah kau dengar bukan?’<br />Air muka Yap Ling berubah seketika, dengan sendirinya dia pernah mendengar nama itu.<br />Sebun Jui-soat, pedang saktinya pedang, dewa pedangnya manusia.<br />Setiap orang asalkan mendengar satu kali nama ini dan takkan terlupakan selamanya.<br />Tokko Bi meliriknya sekejap, lalu berucap pula, “Apalagi ketika itu Liok Siau-hong sendiri juga terluka sangat parah,<br />keadaannya ketika itu paling-paling hanya setengah Liok Siau-hong, apakah mampu membunuh si Naga Putih dari Butong-<br />pay yang termashur ini?”<br />“Dusta! Kau dusta!” teriak Yap Ling pula.<br />Kembali Tokko Bi menghela napas, ucupnya, “Seorang kakek yang biasanya sanak famili sendiri saja tidak mau<br />dikenal, masakah perlu berdusta bagi orang lain?”<br />Dengan sendirinya tiada alasan lagi bagi Yap Ling untuk menuduh Liok Siau-hong.<br />Malam masih diliputi kabut tebal, jalan sempit. Sudah sangat jauh mereka jalan berendeng di jalan yang sempit ini<br />tanpa bicara.<br />“Seorang kakek yang biasanya tidak kenal sanak famili lagi, mendapa mau berdusta bagiku?” akhirnya Siau-hong<br />buka mulut. Tokko Bi tertawa, “Sebab kakek ini suka padamu. Tapi cepat ia menambahkan. “Cuma untunglah kakek<br />mi tidak mempunya, penyakit seperti Hun-yan-cu yang suka kepada sesama jenisnya, maka sama sekali engkau tidak<br />perlu kuatir.<br />Siau-hong juga tertawa, “Dan kakek in, apakah punya arak?” “Bukan saja arak, juga ada daging.”<br />“Benar!” tambah cerah tertawa Siau-hong. “Selain ada daging, juga masih ada sahabat,” Kata Tokko Bi.<br />“Sahabatmu atau sahabatku?”<br />“Sahabatku sama dengan sahabatmu.”<br />Araknya memang arak baik, sahabatnya juga sahabat baik.<br />Bagi seorang tukang minum arak, arti sahabat baik biasanya adalah sahabat yang besar takaran minumnya.<br />Sahabat ini bukan saja menyenangkan caranya minum arak, cara bicaranya juga menyenangkan, setelah menenggak<br />beberapa cawan, tiba-tiba ia bertanya, “Kutahu engkau ini Liok Siau-hong, dan kau tahu siapa diriku?”<br />“Tidak tahu,” jawab Siau-hong.<br />“Mengapa tidak kau tanyakan?”<br />Siau-hong tertawa, tertawa getir, “Sebab aku sudah mendapatkan pelajaran.”<br />“Sudah pernah kau tanya orang lain dan orang lain tidak mau bicara?”<br />“Ehm,” Siau hong mengangguk.<br />“Tapi aku bukan orang lain, aku ialah aku,” dia tenggak habis arak yang berada pada tangan kirinya, lalu tangan<br />kanan mengait sepotong daging.<br />Daging dikait dan bukan dipegang, sebab tangan kanannya bukan tangan melainkan sebuah kaitan, kaitan besi.<br />“Engkau inikah Kaucu?” akhirnya Siau-hong teringat kepada orang ini.<br />Kaucu atau si kait mengangguk, “Kutahu engkau pasti pernah mendengar diriku dari orang lain, tapi ada satu hal pasti<br />tidak kau ketahui “<br />“Hal apa?” tanya Siau-hong.<br />“Yaitu pada hari pertama kedatanganmu sudah timbul niatku untuk bersahabat denganmu,” Kaucu menepuk pundak<br />Tokko Bi dan menyambung, “sebab sahabatmu juga sahabatku, musuhmu juga musuhku.”<br />“Jika sahabat kita adalah dia, lantas siapa musuh kita?” tanya Siau hong.<br />“Sebun Jui-soat!” jawab Kaucu.<br />Siau-hong melengak, “Hei, kau ....”<br />“Aku inilah Hay Ki-hoat!” tukas si kait.<br />Siau-hong tambah terkejut, “Hay Ki-hoat si Tok-pi-sin-liong (naga sakti bertangan satu) yang dahulu namanya<br />menggetarkan tujuh samudera raya itu?”<br />“Hahahaha!” si kait alias Hay Ki-hoat bergelak, Tak tersangka Liok Siau-hong juga kenal namaku!”<br />Siau-hong memandangnya dengan tercengang dan juga sangsi, tiba-tiba ia menggoyang kepala dan berkata, ‘Tidak,<br />kau bukan dia, Hay Ki-hoat sudah mati tenggelam di laut.”<br />Tertawa Hay Ki-hoat bertambah riang, “Yang mati adalah seorang lain, seorang yang memakai jubahku dan membawa<br />senjataku, wajahnya juga mirip diriku.”<br />Lalu dia memberi penjelasan pula, “Orang yang berada di sini semuanya pasti sudah pernah mati satu kali di luar<br />sana, bukankah kau pun begitu?”<br />Akhirnya Siau-hong mengerti, “Ya, inilah Yu-leng-san-ceng, hanya orang mati saja yang dapat datang ke sini.”<br />Hay Ki-hoat bergelak tertawa, “Jika Sebun Jui-soat mengetahui kita masih minum arak dan makan daging di sini,<br />mungkin dia bisa mati kaku saking gemasnya.”<br />“Tampaknya di sini masih terdapat banyak sahabatku,” ucap Siau-hong.<br />“Tidak salah, di sini sedikitnya ada 16 orang yang terdesak oleh Sebun Jui-soat dan terpaksa lari ke sini,” kata Hay Kihoat.<br />Gemerdep sinar mata Liok Siau-hong. tanyanya dengan tiba-tiba, “Apakah ,uga ada beberapa orang yang kabur ke<br />sini karena terdesak olehku?”<br />“Seumpama ada juga tidak perlu kau kuatirkan,” ujar Hay Ki-hoat.<br />“Ya, sebab aku sudah mempunyai sahabat seperti kalian ini.”<br />“Tepat” seru Hay Ki-hoat sambil mengangkat cawan araknya lagi, mendadak ia mendesis pula. “Hanya ada seorang<br />yang khusus perlu kau perhatikan.”<br />“Siapa?” tanya Siau-hong.<br />“Sebenarnya dia tidak dapat terhitung manusia melainkan cuma arwah gentayangan saja.”<br />“Ah, Yu-hun yang kau maksudkan.”<br />“Pernah kau lihat dia?” tanya Hay Ki-hoat.<br />Siau-hong tidak menyangkal.<br />“Kau tahu dia orang macam apa?”<br />“Aku justru sangat ingin tahu.”<br />“Di sini ada sebuah perkumpulan yang sangat aneh, namanya Goat-lo-hwe (kumpulan pini-sepuh). Pada waktu Lauto-<br />pacu tidak ada, segala urusan di sini menjadi tanggung jawab Goat-lo-hwe.”<br />“O, anggota Goat-lo-hwe dengan sendirinya adalah para sesepuh, tentu Anda termasuk satu di antaranya,” kata Siauhong<br />“Kecuali diriku, Goat-lo-hwe masih ada delapan anggota lain, padahal sesepuh yang sesungguhnya cuma ada dua<br />orang.”<br />“Dua orang yang mana?” tanya Siau-hong.<br />“Seorang ialah Kau-hun dan yang lain ialah Yu-hun.” tutur Hay Ki-hoat. “Mereka dan ayah dari kakak beradik she Yap<br />itu adalah tokoh yang membangun tempat ini bersama Lau-to-pacu dahulu, sekarang Yap tua sudah mati, orang yang<br />berada di sini tidak ada yang lebih tinggi tingkatannya daripada mereka.”<br />“Hanya lantaran ini harus khusus kuperhatikan dia?” tanya Siau-hong.<br />“Masih ada satu hal lain,” ujar Hay Ki-hoat.<br />Siau-hong mengangkat cawan arak dan menunggu ceritanya lagi<br />“Dia adalah sesepuh tempat ini. jika dia ingin membunuhmu setiap saat dapat ditemukan kesempatan, sebaliknya<br />sama sekali tak dapat kau sentuh dia.”<br />“Ada alasannya hendak membunuhku?” tanya Siau-hong.<br />“Ada.” kata Hay Ki-hoat, “sebab kau bunuh anaknya,”<br />“Anaknya? Siapa anaknya?” tanya Siau-hong.<br />“Hui-thian-giok-hou!”<br />Siau hong menarik napas dingin, tiba-tiba ia merasa arak yang diminumnya berubah menjadi air cuka.<br />Sebenarnya dia yang mendirikan Hek-hou-pang,” tutur Hay Ki-hoat pula. “Pada waktu Hek-hou-pang sudah mulai<br />berakar de ngan kuat, dia justru ikut Lau-to-pacu ke sini. Sebab dia juga telah menyalahi seorang yang mestinya tidak<br />boleh dimusuhi, karena tiada jalan, terpaksa dia lari ke sini.”<br />“Siapa musuhnya?” tanya Siau-hong.<br />“Bok-tojin, sesepuh dan tokoh terkenal Bu-tong-pay.”<br />Tanpa terasa Liok Siau-hong menarik napas lagi, baru diketahuinya sekarang mengapa sebegitu jauh Yu-hun tidak<br />mau menceritakan asal-usulnya.<br />“Hek-hou-pang kan hancur di tanganmu, anaknya juga mati di tanganmu. Kebetulan Bok-tojin juga sahabatmu, coba<br />pikir, bukankah cukup alasan baginya untuk membunuhmu?”<br />“Ya, benar,” Siau-hong menyengir.<br />“Yang paling runyam adalah biarpun jelas kau tahu dia hendak membunuhmu, tapi engkau justru tidak dapat<br />menyentuhnya.”<br />“Sebab dia adalah sesepuh dalam Goat-lo-hwe?” tanya Siau-hong.<br />Hay Ki-hoat mengangguk, “Selain dia, Goat-lo-hwe masih ada delapan anggota lagi, jika kau bunuh dia, kedelapan<br />orang itu juga takkan tinggal diam. Dan dapat kujamin, tidak ada seorang pun di antara kedelapan orang itu lawan<br />empuk bagimu.”<br />“Makanya terpaksa harus kutunggu dia turun tangan lebih dulu “ kata Siau-hong dengan menyesal.<br />“Sebelum dia yakin sekali serang pasti berhasil, tidak nanti d.a turun tangan,” ujar Hay Ki-hoat.<br />“Sekarang dia belum turun tangan, mungkin dia sedang menunggu kesempatan.”<br />Meski Siau hong tidak bicara lagi, tapi dia tidak menutup mulut. Mulutnya lagi asyik minum arak.<br />Kembal. Hay Ki-hoat menghela napas, katanya. Jika kau ma buk, maka tibalah kesempatan baginya.’<br />“Kutahu.” kata Siau-hong.<br />“Dan kau tetap minum?”<br />Tiba2 Siau-hong tertawa, “Kalau dia sesepuh, akhirnya tentu akan memperoleh kesempatan baik, mengapa sebelum<br />mati aku tidak minum arak lebih dulu.”<br />Minum arak tidak sama dengan makan nasi.<br />Orang yang biasanya takaran makannya cuma tiga mangkuk, tak mungkin dia mampu makan tiga puluh mangkuk.<br />Namun orang yang biasanya tidak pernah mabuk biarpun minum tiga ratus cawan, terkadang cukup minum beberapa<br />cawan saja bisa membuatnya mabuk.<br />Dan sakarang bukankah Liok Siau-hong sudah mabuk?<br />“Tidak, aku tidak mabuk,” demikian ia mendorong Tokko Bi dan Hay Ki-hoat. “Aku dapat pulang sendiri, kalian tidak<br />perlu mengantarku.”<br />Dia memang tidak kesasar. Memang begitulah orang mabuk, biarpun kelihatan sempoyongan dan hampir tak tahu<br />apa-apa lagi tapi dia masih tahu jalan untuk pulang, setiba di rumah barulah ia ambruk.<br />Seorang peminum arak pasti mempunyai pengalaman demikian. Dan Liok Siau-hong juga punya pengalaman serupa<br />ini, malahan sering.<br />Meski gubuk ini kecil seperti kotak merpati, apapun juga terhitung rumahnya.<br />Seorang petualang yang tak menentu tempat tinggalnya, sehabis mabuk ternyata menemukan dirinya dapat pulang ke<br />rumah. Sungguh penemuan yang menyenangkan.<br />Siau-hong lantas berdendang dan entah membawakan lagu apa, suaranya bertambah keras, tiba-tiba ia merasa suara<br />sendiri semakin merdu<br />Di dalam rumah tidak ada cahaya lampu, tapi begitu dia mendorong pintu, segcra dirasakan di situ ada seorang.<br />“Kutahu siapa dirimu, tanpa bersuara juga kutahu,” Siau hong tertawa, suara tertawanya juga sangat keras. “Engkau<br />ialah Yu-hun, sesepuh tempat ini, kau tunggu diriku di sini, apakah benar hendak kau bunuh diriku?”<br />Orang di dalam rumah tetap tidak bersuara.<br />Liok Siau-hong tergelak, “Seumpama hendak kau bunuh diri ku juga tidak akan main sergap, betul tidak” Sebab<br />engkau adalah murid utama Bu-tong-pay dari keluarga preman, sebab engkau ialah Ciong-siansing Ciong Bu-kut.”<br />Dia melangkah masuk dan merapatkan pintu, lalu mencari geretan sambil berucap pula, “Sebenarnya engkau juga<br />sahabat lama Bok-tojin, tapi tidak pantas kau bentuk sindikat semacam Hek-hou-pang secara sembunyi-sembunyi,<br />kalau tidak, masakah Bok-tojin perlu bertindak padamu.”<br />Tetap tidak ada suara jawaban, tapi sudah ada cahaya api. Begitu api menyala segera menyinari sebuah wajah orang,<br />wajah yang tinggal kulit membungkus tulang, matanya yang cekung seperti tengkorak itu sedang menatap Siau-hong<br />tanpa berkedip.<br />“Jika sekarang kita sudah menjadi orang mati, untuk apa pula mempersoalkan urusan masa lampau, apalagi....”<br />Liok Siau-hong tidak malanjutkan ucapannya, suaranya terputus mendadak, geretan api juga padam seketika. Sebab<br />tiba-tiba diketahuinya Ciong-siansing ini benar-benar telah menjadi orang mati.<br />Keadaan gelap gulita, Siau-hong berdiri dalam kegelapan tanpa bergerak, kaki dan tangan terasa dingin, sekujur<br />badan juga dingin seperti terjerumus ke dalam gua es. Cuma di sini bukan gua es melainkan sebuah perangkap.<br />Sudah dapat dirasakannya, cuma dia tidak dapat lari keluar. Hakikatnya tiada jalan lari baginya.<br />Maka dia lantas berduduk saja di situ. Baru saja berduduk, dari luar lantas berkumandang suara kaki orang berjalan,<br />menyusul ada orang menggedor pintu.<br />“Apakah engkau sudah tidur? Aku ingin bicara denganmu!” suaranya merdu, itulah suara Yap Ling.<br />Siau-hong bungkam saja tanpa menjawab.<br />“Kutahu engkau tidak tidur, mengapa tidak lekas membuka pintu?” suara Yap Ling bertambah bengis. “Apakah di<br />dalam rumah tersembunyi orang perempuan?”<br />Akhirnya Siau-hong menghela napas dan berucap. “Di dalam rumah ini tidak ada orang perempuan, setengah orang<br />saja tidak ada. tapi ada satu setengah orang mati.”<br />Dengan suara lebih garang Yap Ling berteriak pula, “Sudah kuperingatkan, bila berani kau masukkan orang<br />perempuan ke dalam rumah, segcra akan kubunuh kau, tak peduli orang perempuan itu hidup atau mati.”<br />“Blang”, mendadak pintu didobrak.<br />Api lantas menyala lagi dan akhirnya Yap Ling dapat melihat si orang mati, tanyanya, “Masih ada lagi setengah,<br />dimana?”<br />“Yang mati setengah ialah diriku,” ucap Siau-hong sambil menyengir.<br />Yap Ling memandangnya, lalu memandang orang mati pula, mendadak ia berjingkrak dan berteriak, “Hah, kau bunuh<br />dia? Mana boleh kau bunuh dia? Kau tahu siapa dia?”<br />Siau-hong tidak buka mulut, juga tidak perlu buka mulut, sebab di luar ada orang mewakili dia menjawab, “Dia tahu!”<br />Rumah itu sangat kecil, jendelanya terlebih kecil. Yap Ling sendiri berdiri di ambang pintu, orang di luar pada<br />hakikatnya tidak dapat masuk.<br />Tapi mereka mempunyai caranya sendiri. Mendadak terdengar suara “blang” sekali, dinding gubuk itu tercerai-berai,<br />atap rumah juga ambruk, orang yang semula berada di dalam rumah mendadak sudah berada di tempat terbuka.<br />Siau-hong tidak bergerak. Ambruknya atap rumah menjatuhi dia, tapi dia tidak menahannya dengan tangan, juga<br />tidak menghindar, ia cuma menghela napas panjang saja.<br />Untuk pertama kalinya dia mempunyai rumah ini, mungkin sekali juga unluk penghabisan kalinya.<br />“Kiranya di dunia ini selain ada manusia sial juga ada rumah sial,” ucap Siau-hong dengan gegetun. “Rumah ini sial<br />sebab salah memilih penghuni, orang menjadi sial karena salah berkawan.”<br />“Tapi kesialanmu justru lantaran .salah berbuat sesuatu.”<br />“Segala apa boleh kau lakukan, mengapa justru kau bunuh dia?”<br />“Kan sudah kukatakan padamu, sekalipun kau tahu dia hendak membunuhmu juga jangan kau sentuh dia. kalau<br />tidak, aku pun ti-dak akan melepaskan dirimu.”<br />Pembicara terakhir itu ialah Hay Ki-hoat, dua pembicara yang lain, yang seorang bermuka putih tanpa kumis atau<br />jenggot berpakaian perlente. Seorang lagi tinggi kurus, hidung bengkok dan punggung bungkuk, mukanya selalu<br />mengulum senyum. Muka yang satu selalu gembira, muka yang lain senantiasa masam.<br />“Yang manakah Piauko?” tanya Siau-hong tiba-tiba. Muka Piauko yang putih licin itu masih mengulum senyum, tapi<br />dia sengaja menghela napas dan berucap, “Untung aku bukan Piaukomu, kalau tidak, aku kan bisa ikut susah.”<br />Siau-hong juga menghela napas menyesal dan berkata, “Untung kau bukan Piaukoku, jika tidak mungkin aku akan<br />bunuh diri.” “Kujamin engkau tidak perlu bunuh diri, kami punya banyak cara untuk membikin kau mati,” ujar Piauko<br />dengan tertawa gembira seakan-akan merasa puas terhadap setiap patah kata yang diucapkannya.<br />Tiba-tiba yang seorang lagi menanggapi, “Aku memang Koan-keh-po (pengurus rumah tangga), maka mau tak mau<br />urusan ini aku harus ikut mengurus. Sebenarnya aku sudah malas bekerja, selama beberapa bulan terakhir ini aku<br />tidak dapat tidur dengan nyenyak, selalu pinggang linu dan punggung pegal, gigi juga sering sakit ...” Ia terus<br />mengomel dan mengeluh, bukan saja tidak puas terhadap kehidupannya sendiri, juga tidak puas terhadap orang lain.<br />“Sungguh tidak tersangka, sekaligus telah datang tiga anggota Goat-lo-hwe ke sini,” ucap Siau-hong dengan<br />tersenyum getir. “Empat, bukan tiga,” tukas Yap Ling tiba-uba. “Termasuk kau?” tanya Siau-hong dengan terkejut.<br />“Arti Goat-lo adalah mengenai kedudukannya dan bukan usianya “ jawab Yap Ling dengan ketus.<br />“Jawaban bagus,” seru Piauko.<br />Koan-keh-po lantas bicara pula, “Jika Lau-to-pacu tidak ada, asalkan jumlah suara di antara anggota Goat-lo-hwe<br />lebih banyak yang menyetujui, maka segala keputusan dapat dijatuhkan.”<br />“Jumlah suara lebih banyak meliputi berapa orang?” tanya Siau-hong.<br />“Anggota Goat-lo-hwe berjumlah sembilan orang, suara lebih banyak dengan sendirinya adalah lima orang.”<br />“Tetapi sekarang kalian yang hadir sepertinya cuma empat orang,” ujar Siau-hong dengan menghela napas.<br />“Lima,” tukas Koan-keh-po.<br />“Yang sudah mati juga dihitung?” tanya Siau-hong.<br />“Orang di sini memang orang mati semua, Ciong-siansing hanya mati lebih banyak satu kali saja.”<br />“Maka sekarang juga kalian dapat mengambil sesuatu keputusan?” tanya Siau-hong pula.<br />“Engkau sangat pintar, dengan sendirinya kau tahu urusan apa yang hendak kami putuskan,” ucap Piauko degan<br />perlahan.<br />“Yang akan kami putuskan adalah engkau pantas mati tidak?” sambung Koan-keh-po.<br />“Masa aku tak mendapat kesempatan sama sekali untuk membela diri?” tanya Siau-hong.<br />“Tidak ada,” jawab Koan-keh-po.<br />Siau-hong cuma menyengir saja.<br />“Nah, menurut pendapat kalian, dia pantas mati tidak?” tanya Hay Ki-hoat.<br />“Dengan sendirinya pantas mati!” seru Koan-keh-po.<br />“Jelas pantas mati,” sambung Piauko.<br />Hay Ki-hoat menghela napas menyesal katanya pula, “Kukira pendapat Ciong-siansing tentu juga sama dengan<br />kalian.”<br />“Sekarang tinggal minta pendapat nona Yap cilik saja,” kata Piauko.<br />Yap Ling menggigit bibir dan melirik Siau-hong sekejap, pandangannya serupa seckor kucing yang berhasil<br />mencengkeram seckor tikus.<br />Pada saal itulah mendadak dan dalam hutan yang gelap sana ada orang berseru, “Kenapa tidak kalian tanyakan<br />pendapatku?”<br />Tiba-tiha dalam hutan yang gelap itu ada cahaya lampu bergeser, muncul dua gadis cilik berdandan sebagai dayang<br />istana dan membawa lampu berkerudung, seorang perempuan berambut sangat panjang mengikut di belakang kedua<br />gadis cilik itu dengan langkah kemalas-malasan.<br />Perempuan ini tidak terlalu cantik, tulang pipinya terlalu tinggi, mulutnya juga agak lebar, kedua matanya sayu seperti<br />orang yang senantiasa merasa ngantuk. Pakaiannya juga bebas, hanya mengenakan jubah tidur warna hitam yang<br />sangat longgar, malahan seperti baju tidur orang lelaki cuma diikat dengan seutas tali pinggang sekenanya,<br />rambutnya pan-jang terurai, bertelanjang kaki tanpa kaos dan sepatu.<br />Namun tidak perlu disangsikan lagi dia seorang perempuan yang istimewa, kebanyakan lelaki pasti akan terpikat<br />bilamana memandangnya sekejap saja.<br />Melihat kemunculan perempuan ini, Piauko lantas mengernyitkan kening, sedangkan Yap Ling mencibir, Koan-keh-po<br />tersenyum dan bertanya, “Menurut pendapatmu dia pantas mati tidak?”<br />“Tidak,” jawab perempuan itu singkat dan tegas.<br />Mestinya Yap Ling belum memberi pendapatnya, sekarang mendadak ia melonjak dan berteriak, “Sebab apa tidak?”<br />Perempuan itu tertawa kemalas-malasan Iagi, katanya, “Untuk menjatuhkan hukuman mati kepada seorang, paling<br />tidak kalian harus membuktikan kesalahannya, dan kalian mempunyai bukti apa?”<br />“Mayat Ciong-siansing adalah bukti yang nyata,” kata Koan-keh-po.<br />Perempuan berjubah hitam itu menggeleng, ucapnya, “Jika kau bunuh orang, dapatkah kau sembunyikan mayat di<br />dalam rumah sendiri?”<br />Koan-keh-po memandang Piauko dan Piauko memandang Hay Ki-hoat, ketiga orang sama-sama tidak dapat<br />menjawab.<br />Serentak Yap Ling melonjak lagi dan berteriak, “Mereka tidak punya bukti, aku ada.”<br />“Kau ada bukti apa?” tanya perempuan berjubah hitam.<br />“Kusaksikan sendiri dia membunuhnya.” jawab Yap Ling.<br />Ucapan ini tidak saja membikin Siau-hong terkejut, bahkan Piauko dan lain-lain juga melenggong.<br />Sebaliknya si perempuan berjubah hitam tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, ucapnya dengan tak acuh.<br />“Umpama benar kau lihat juga tidak ada gunanya.”<br />“Siapa bilang tidak ada gunanya?” teriak Yap Ling pula.<br />“Aku,” jawab perempuan berbaju hitam.<br />Dengan langkah kemalasan dia mendekati Liok Siau-hong, sebelah tangan menggantol pada tali pinggang dan tangan<br />lain membetulkan rambut sambil berkata, “Jika di antara kalian ada yang tidak tunduk, boleh coba berurusan dulu<br />denganku.”<br />“Ai, mengapa engkau bertindak begini? Mengapa?” ujar Hay Ki-hoat dengan menyesal.<br />“Sebab aku suka, dan engkau tidak perlu urus,” jawab perempuan itu.<br />Hay Ki-hoat mendelik “Jadi sengaja kau paksa kami turun tangan?”<br />“Memangnya kau berani?” ejek perempuan itu.<br />Mata Hay Ki-hoat menjadi merah seperti mau menyemburkan api, tapi satu jari saja tidak berani bergerak.<br />Senyum Piauko tidak nampak Iagi menghiasi wajahnya, katanya dengan muka masam, “Hoa-kuahu, hendaknya kau<br />tahu diri sedikit. Meski orang she Hay menaksir dirimu, aku tidak pernah berurusan denganmu.”<br />Hoa-kuahu atau si janda Hoa meliriknya sekejap dan mendengus, “Hm, memangnya kau bisa apa? Hanya beberapa<br />jurus pedang yang kau dapatkan dari Pah-san Tosu tua itu juga berani berlagak di depanku?”<br />Muka Piauko yang kelam itu mendadak berubah merah padam, sambil menggertak ia melolos pedang, sebilah pedang<br />lemas yang biasanya melingkar pada pinggangnya.<br />Sekali pedang lemas disendal seketika terjulur lurus, serentak ia pun menubruk maju.<br />Siau-hong tidak menduga orang yang sok berlagak itu juga hisa meledak amarahnya ketika merasa terhina.<br />Namun janda Hoa seperti sudah menduga apa yang akan terjadi, tangan yang menyangkul ikat pinggang itu<br />mendadak bergerak, tali pinggang dari kain yang lemas im mendadak terlepas dan juga menjulur lurus terus membelit<br />pedang Piauko.<br />Hanya baja baik yang dapat digembleng menjadi pedang yang lemas, siapa tahu ikat pinggang kain tak putus ditabas<br />ujung pedangnya.<br />Waktu Hoa-kuahu menyendal lagi, ikat pinggang menyambar pula, plok tepat mengenai muka Piauko.<br />Muka Piauko lantas merah bengap. Muka Siau-hong mendadak juga merah.<br />Dengan sendirinya merah muka Siau-hong berbeda dengan merah muka Piauko. Merah muka Siau-hong disebabkan<br />jengah melihat sesuatu, sebab tiba-tiba diketahuinya di balik baju tidur Hoa-kuahu ternyata tidak terdapat sehelai<br />benang pun.<br />Waktu ikat pinggang dikebutkan lagi, baju Hoa-kuahu terbuka, maka bagian tubuhnya yang paling vital hampir terlihat<br />seluruhnya.<br />Akan tetapi Hoa-kuahu sama sekali tidak merasa kikuk, dia berdiri kemalas-malasan di tempatnya dan berkata, “Nah,<br />apakah kau mau coba-coba lagi?”<br />Piauko memang belum kapok dan masih ingin mencoba, namun Koan-keh-po dan Hay Ki-koat lantas merintanginya.<br />Biji leher Hay Ki-koat naik turun seperti orang yang kehausan, ingin dia mengalihkan pandangannya dari tubuh Hoakuahu.<br />tapi sayang rasanya sukar untuk berpaling begitu saja.<br />Usia Hoa-kuahu tentunya tidak muda lagi, namun tubuhnya ternyata masih montok serupa gadis remaja, bahkan<br />terlebih menggiurkan daripada gadis, lebih masak.<br />Hay Ki-koat menghela napas, katanya sambil menyengir, “Dapatkah kau rapatkan dulu bajumu baru kemudian bicara<br />lagi.”<br />“Tidak,” jawaban Hoa-kuahu tetap singkat tegas.<br />“Sebab apa?” tanya Hay Ki-koat.<br />“Sebab aku suka begini, kalian tidak dapat melarangku.<br />“Sebenarnya apa kehendakmu’” cepat Koan-keh-po.menyela.<br />“Aku pun tidak ingin apa-apa, hanya mengena, Liok Siau-hong, dia adalah orang yang dimasukkan sendiri ke sini oleh<br />Lau-to-pacu, bila ada yang hendak membunuhnya, harus tunggu sampai Lau-to-pacu pulang,” kata Hoa-kuahu.<br />“Dan sekarang bagaimana” tanya Koan-keh-po.<br />“Sekarang tentunya akan kubawa pergi dia.”<br />Yap Ling lantas melonjak lagi, teriaknya, “Berdasarkan apa kau berhak membawanya pergi?”<br />“Berdasarkan hak ikat pinggangku ini,” jengek Hoa-kuahu.<br />“Memangnya bisa apa ikat pinggangmu?” tanya Yap Ling dengan melotot.<br />“Ikat pinggangku memang tidak bisa apa-apa, paling-paling hanya dapat digunakan meringkus dirimu dan<br />membelejeti pakaianmu, lalu membiarkan dirimu ditunggangi si kait.”<br />Merah padam muka Yap Ling, tinjunya juga terkepal erat, tapi tidak berani bertindak, ia hanya mengentak kaki,<br />katanya dengan gemas, “Kalau Ciciku pulang, coba apakah kau berani bertindak demikian?”<br />“Cuma sayang, Cicimu belum pulang, maka terpaksa harus kau saksikan kubawa pergi dia,” ujar Hoa-kuahu dengan<br />tertawa.<br />Dia lantas menarik tangan Siau-hong, lalu berkata sambil mengerling genit, “Di tempatku sana ada tempat tidur<br />ukuran besar, cukup buat tidur kita bardua dengan nikmat, masakah tidak lekas kau ikut pergi bersamaku?”<br />Dia benar-benar menarik pergi Liok Siau-hong, dan orang lain juga cuma dapat memandangnya dengan terbelalak<br />tanpa bisa berbuat apa-apa.<br />Entah sudah lewat berapa lama kemudian, tiba-tiba Yap Ling berkata, “Kait tua, engkau bukan barang baik.”<br />“Aku memang bukan barang kaik, aku orang baik,” jawab Kaucu Hay Ki-koat.<br />“Huh, persetan, kau berani mengaku sebagai orang?” jengek Yap Ling. “Jelas di sini hanya dirimu saja yang dapat<br />melayani anjing betina ilu, mengapa kau diam saja dan tidak berani bertindak.”<br />“Sebab aku masih mengharapkan dia tidur bersamaku,” ujar si kait.<br />“Masa benar-benar kau menghendaki perempuan?” tanya Yap Ling.<br />“Ya, hampir gila kupikirkan perempuan “<br />“Baik, jika kau bunuh dia, akan kutidur bersamamu selama tiga hari,” seru Yap Ling.<br />“Hehe, apa kau cemburu”” tanya Hay Ki-koat alias si kait dengan tertawa. “Kau suka pada Liok Siau hong?”<br />Yap Ling mengertak gigi, ucapnya dengan gemas, “Apakah aku cemburu atau bukan, yang jelas apa yang kukatakan<br />pasti kutepati. Aku masih muda, anjing betina itu kan sudah nenek-nenek, sedikitnya dalam hal ini aku lebih unggul<br />daripadanya.”<br />“Akan tetapi....”<br />“Apa kau ingin melihat barang dulu?” tukas Yap Ling mendadak. “Baik....”<br />Tiba-tiba ia membuka kaki celananya sehingga kelihatan betisnya yang putih dan licin.<br />Mata Hay Ki-koat kembali melotot, “Hanya sekian saja yang dapat kulihat?”<br />“Jika kau ingin melihat yang lain, harus kau bunuh dulu anjing betina itu,” jawab Yap Ling.<br />Bab 9. Pergi ..... (tamat)<br />Published by Hiu_Khu on 2008/1/17 (535 reads)<br />Tempat tidur di kamar si janda Hoa memang sangat besar, sepreinya putih bersih, kasur selimutnya masih baru,<br />begitu masuk ke situ, dengan kemalas-malasan Hoa-kuahu lantas menjatuhkan diri di tempat tidur.<br />Siau-hong hanya berdiri saja di depan ranjang.<br />Si janda Hoa mengawasi Siau-hong dengan pandangan yang sayu, katanya tiba-tiba, “Sekarang tentunya kau sudah<br />tahu aku ini lah Hoa-kuahu yang menakutkan itu.<br />Siau-hong mengangguk.<br />“Tentunya kau pun pernah mendengar orang bilang aku ini anjing betina, anjing betina yang bisa makan manusia.”<br />Kembali Siau-hong mengangguk.<br />“Apakah kau tahu setiap lelaki di sini sama mengira setiap saat aku dapat ikut tidur bersama dia?”<br />Siau-hong tetap mengangguk saja.<br />Mata Hoa-kuahu tambah sayu dan penuh harap. “Jika begitu, mengapa tidak lekas kau naik kemari?”<br />Tapi Siau-hong tidak bergerak sama sekali.<br />“Engkau tidak berani?” tanya Hoa-kuahu.<br />Siau-hong tidak mengangguk lagi, juga tidak menggeleng.<br />Hoa-kuahu menghela napas, ucapnya, “Ya, tentu saja engkau belum berani, sebab sesungguhnya aku ini orang<br />macam apa belum lagi kau ketahui?!”<br />Tiba-tiba Siau-hong tertawa, katanya, “Tidaklah banyak orang yang dapat manggabungkan Lwekang asli keluarga Liu<br />di Hoaypak dan ilmu pedang Liu-in-kiam-hoat Tiam-jong-pay menjadi satu, sebab itulah ....”<br />“Sebab itu apa?” tanya Hoa-kuahu.<br />“Sebab itulah kuyakin engkau pasti putri Hoay-lam-tayhiap, istri Tiam-jong-kiam-kek, Liu Jing-jing.”<br />“Dan tentunya kau pun tahu aku pernah naik ranjang bersama empat kawan baik Cia Kian (Tiam-jong-kiam-kek, si<br />pendekar pedang dari Tiam-jong-pay).”<br />Siau-hong mengangguk, hal itu memang merupakan berita sensasi yang sangat menggemparkan dunia Kangouw.<br />“Jika kau tahu semuanya, mengapa tidak lekas naik kemari?” kata Hoa-kuahu pula.<br />Kembali Siau-hong tertawa, “’Sebab aku tidak suka, dan juga lantaran aku tidak dapat kau perintah.”<br />Hoa-kuahu tertawa juga, “Wah, tampaknya kau ini memang rada berbeda daripada lelaki lain.”<br />Mendadak ia melompat bangun dari tempat tidur dan berseru, “Mari kusuguh kau minum arak.”<br />Minum arak memang kegemaran Liok Siau-hong.<br />Semakin banyak arak yang ditenggak, mata Hoa-kuahu juga tambah sayu seperti Iciiuiup kabut.<br />Di lembah pegunungan ini memang selalu berkabut, sebab itulah selalu bertahan kemisleriusannya. Dan sekarang<br />bukankah demikian dengan Hoa-kuahu?<br />Untuk melihat tubuhnya yang telanjang mungkin tidak sulit, jika ingin melihat hatinya rasanya tidaklah mudah.<br />Setelah minum secawan arak pula tiba-tiba si janda bertanya “Apakah kau tahu sebab apa Hay Ki-hoat senantiasa<br />berharap aku aan naik ranjang bersama dia?”<br />“Sebab dia anggap engkau pernah naik ranjang dengan lelaki lain yang berada di tempat ini,” kata Siau-hong.<br />“Ya, setiap orang berpikir begitu.” Hoa-kuahu tertawa. “Pada-hal ... berapa lelaki yang benar-benar pernah naik<br />ranjang bersamaku, mungkin kau sendiri tidak dapat menerkanya.”<br />“Tiada satu pun?” tanya Siau-hong.<br />“Ada, cuma satu,” kala Hoa-kuahu.<br />Siau-hong menenggak arak lagi.<br />Pandangan Hoa-kuahu seperti melayang jauh ke sana, kepada bayangan orang yang berada jauh, yang penuh<br />dikagumi dan dicintainya.<br />Selang agak lama barulah ia terjaga dari lamunannya, “Mengapa tidak kau tanyakan padaku siapakah orang itu?”<br />“Untuk apa harus kutanya?” ujar Siau-hong.<br />Kembali Hoa-kuahu tertawa. “Kau ini memang orang yang istimewa, aku suka kepada lelaki yang istimewa.”<br />Tiba-tiba lenyap pula tertawanya, ‘”Sebenarnya Cia Kian (suaminya) juga seorang lelaki yang istimewa, aku kawin<br />dengan dia lantaran waktu itu aku memang menyukai dia.”<br />“Tapi kemudian hatimu berubah?!’”<br />“Yang berubah bukan diriku, tapi dia.”<br />Kabul pada matanya tiba-tiba terbelah satu garis, dibelah oleh pedang tajam yang penuh rasa pedih dan dendam, lalu<br />ia melanjutkan ‘Tentunya tidak pernah kau pikir dia berubah menjadi orang macam apa, lebih-lebih tak pernah terpikir<br />olehmu betapa menakutkan perbuatannya?”<br />“Menakutkan’” Siau-hong menegas.<br />“Apakah kau tahu sebab apa sampai aku naik ranjang bersama sahabat baiknya?” tanya Hoa-kuahu tiba-tiba,<br />tangannya terkepal erat, air mala menitik, “Sebab ... sebab dia yang minta aku berbuat demikian, dia suka ... dia suka<br />melihat ... bahkan dia berlutut dan memohon padaku untuk berbuat, malahan mengancam pula diriku dengan<br />pedangnya....”<br />Tiba-tiba Siau-hong menenggak lagi arak dalam cawannya,-ia merasa lambungnya mengejang dan hampir tumpah.<br />Waktu dia berpaling lagi, dilihatnya Hoa-kuahu sudah mengusap air matanya, ia menghabiskan isi cawannya dan<br />berucap pula, ‘Tentu engkau sangat heran untuk apa kuberitahukan semua ini kepadamu.”<br />Tapi Siau-hong tidak heran, sedikitpun tidak heran.<br />Rasa sedih dan duka seorang kalau sudah terpendam terlalu lama, biasanya memang ingin mencari seorang untuk<br />menumpahkan seluruh perasaannya.<br />Meski rasa pedih Hoa-kuahu sudah terlampias, namun dia sudah banyak menenggak arak, ucapnya pula, “Meski dia<br />sudah tua, tapi dia seorang lelaki sejati, lelaki yang berbeda dengan lelaki lain, mungkin aku tidak suka padanya, tapi<br />aku kagum padanya, asalkan dapat membuatnya senang, aku rela berbuat apapun baginya.”<br />la mendongak dan menatap Siau-hong, lalu menambahkan, ‘Bila sudah kau temui dia, pasti kau pun akan suka<br />kepadanya.”<br />“Yang kau maksudkan ....”<br />“Kumaksudkan Lau-to-pacu,” tukas si janda.<br />Siau-hong terkejut, “Lau-to-pacu?”<br />Hoa-kuahu mengangguk, “Dialah satu-satunya lelaki di sini yang pernah naik ranjang bersamaku, tentu tak kau<br />duga.”<br />Dia tertawa pedih, lalu menyambung, “Tadinya kukira di dunia ini tidak ada orang yang dapat memahami diriku dan<br />bersimpati padaku, tapi dia memahami diriku, simpati padaku, semua itu timbul dari lubuk hatinya yang murni.”<br />“Maka kau serahkan dirimu kepadanya?” tukas Siau-hong.<br />“Ya, bahkan aku rela mengorbankan segalanya baginya,” kata Hoa-kuahu. “Sekalipun dia suruh aku mati juga akan<br />kumati baginya. Namun... namun ....”<br />Dengan cepat ia habiskan secawan arak lagi, lalu menyambung, “Namun aku tidak menyukai dia, aku ... aku ...”<br />Dia tidak melanjutkan, perasaan cinta memang sukar untuk dijelaskan begitu saja, ia yakin Siau-hong pasti paham.<br />Siau-hong memang paham, bukan saja paham terhadap perasaan perempuan, juga paham akan pribadi orang seperti<br />to-pacu, si tangkai pisau tua, yang disegani dan mengepalai perkampungan hantu ini.<br />“Jika aku menjadi dirimu, aku pasti akan berbuat begini juga,” ucap Siau-hong dengan lembut. “Kutahu dia pasti<br />seorang manusia yang luar biasa.”<br />Hoa-kuahu menghela napas panjang, seperti, baru terbebas dari beban yang amat berat.<br />Dia pandang Siau-hong, sorot matanya memancarkan perasaan gembira dan terima kasih, katanya pula, “Sejak<br />kudatang ke sini belum pernah kurasakan kegembiraan seperti hari ini. Mari, kuhormati tiga cawan padamu.”<br />“Jika minum lagi mungkin bisa mabuk,” kata Siau-hong.<br />“Biarpun mabuk juga tidak menjadi soal,” si janda lantas mengangkat cawan pula. “Bila benar mabuk, aku tambah<br />berterima kasih padamu.”<br />Siau-hong bergelak tertawa. “Hahaha, bicara sejujurnya, memang sudah lama aku ingin mabuk sepuas-puasnya.”’<br />Maka mereka pun minum lagi dan mereka pun mabuk dan tergeletak di tempat tidur. Meski mereka saling rangkul<br />dengan erat, tapi hati mereka suci murni seperti anak kecil, mungkin selama hidup mereka tidak pernah suci bersih<br />seperti sekarang ini.<br />Lantas hubungan perasaan macam apakah ini?<br />Masa muda sudah akan berlalu, kejadian masa lampau tidak perlu ditoleh pula, seorang perempuan yang telah<br />kenyang dicaci, dinista dan seorang petualang yang terlunta-lunta, siapa pula di dunia ini yang dapat memahami<br />perasaan mereka.<br />Malam bertambah larut, kabut juga semakin tebal.<br />Jendela tidak tertutup, dar. balik kabut sana tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang dengan sorot mata yang penuh<br />rasa benci dan dengki.<br />Lalu melalui celah-celah jendela muncul pula sebuah pipa tiup kecil. Pipa tiup warna hitam dan asap yang ditiupkan<br />berwama ungu gelap.<br />Asap buyar, orang yang tidak mabuk pun akan mabuk. Orang ini yakin sepenuhnya pasti akan berhasil, sebab asap<br />yang ditiupnya adalah dupa bius yang paling hebat, ‘Siau-hun-sit-kut-san’, bubuk penyusup tulang dan pembetot<br />sukma. Sedikitnya sudah 13 kali ia gunakan dupa ini untuk pekerjaan besar dan tidak sekali pun gagal.<br />Maka pada waktu Liok Siau-hong dan Hoa-kuahu siuman, mereka tidak lagi berada di.tempat tidur yang empuk dan<br />longgar itu, melainkan berada dalam sebuah gua di bawah tanah.<br />Gua di bawah tanah ini dingin dan lembab, mereka meringkuk di pojok, tak ada yang tahu cara bagaimana mereka<br />berada di sini. Hanya ada seorang yang tahu.<br />Di dalam gua ini hanya ada sebuah kursi, Piauko berduduk di kursi itu dan sedang memandangi mereka dengan<br />dingin, dengan penuh rasa benci dan dengki.<br />Melihat Piauko, serentak Hoa-kuahu berteriak, “Hah, kau?!” “Tak kau sangka bukan?” jawab Piauko. “Memang tak<br />kuduga,” jengek si janda. “Hm, anak murid Pah-san-kiam-kek ternyata juga suka menggunakan obat bius yang<br />biasanya dipakai kaum pencuri yang rendah itu.”<br />“Hm, urusan yang tak terduga olehmu masih sangat banyak,” jengek Piauko pula.<br />“Tapi sedikitnya aku menjadi tahu juga segalanya,” kata Hoa-kuahu. “Rupanya perbuatanmu, baru sekarang kutahu.”<br />Kiranya orang yang datang ke perkampungan hantu ini sebelumnya sudah ada perjanjian lebih dulu dengan Lau-topacu.<br />Orang yang diperbolehkan masuk ke sini biasanya cukup dapat dipercaya. Tapi akhir-akhir ini banyak penghuni<br />di sini menghilang tanpa sebab, tidak ada yang tahu perbuatan keji siapa. Tapi sekarang Hoa-kuahu dapat menarik<br />kesimpulan.<br />Piauko juga tidak menyangkal, “Cuma sayang, siapa pun tidak menyangka akan diriku. Sekali ini bila kubunuh kalian,<br />tetap tidak ada yang mencurigai diukir”<br />Dia yakin akan hal ini, sebab kebanyakan orang tentu akan menyangka si kail yang membunuh mereka.<br />Hoa-kuahu juga tidak dapat menyangkal akan keyakinan Piau-ko itu. Sebab setiap penghuni Yu-leng-san-ceng hampir<br />semua mengetahui si kait berminat besar terhadap si janda cantik, juga sama tahu Kaucu atau si kait ingin<br />membunuh Liok Siau-hong.<br />“Padahal aku pun tahu kau dendam padaku,” kau Hoa-kuahu pula. “Sebab kau suka kepada orang lelaki, sedangkan<br />yang disukai orang lelaki ialah diriku.”<br />“Mungkin aku masih ada alasan lain,” ujar Piauko dengan tertawa.<br />“Alasan apa?” tanya si janda.<br />Mendadak Piauko tertawa aneh, katanya, “Mungkin tindakanku ini hanya untuk membela si kait tua.”<br />Tiba-tiba ada suara tertawa orang lain dan berkata, “Mungkin juga karena mendadak kau rasakan si kait tua sudah<br />berada di atas kepalamu dan setiap saat kaitannya dapat menggantol lehermu.”<br />Yang muncul ternyata tidak cuma Kaucu atau si kait saja, tapi ada juga Koan-keh-po. Serupa nenek pengurus rumah<br />tangga umumnya, dimana dan kapan saja wajahnya selalu bersungut. Sebaliknya Kaucu tertawa dengan gembira.<br />Piauko juga tertawa, dengan sendirinya tertawa yang tidak gembira atau menyengir.<br />Meski si kait Hay Ki-koat tidak sekaligus mengait lehernya, tapi kaitannya telah menggantol di atas pundaknya, serupa<br />tukang jagal mengait sepotong daging. Dengan sendirinya perasaan demikian tidak menggembirakan.<br />Di dunia ini justru ada sementara orang yang suka membikin gembira dirinya sendiri di atas ketidak gembiraan orang<br />lam. dan si kait Hay Ki-koat kebetulan adalah manusia jenis ini.<br />Dengan tertawa ia berkata, “Baru saja bukankah kau bilang akan membikin orang lain menyangka perbuatanmu ini<br />sebagai perbuatanku?”<br />Piauko tidak menyangkal, dia memang tidak dapat menyangkal.<br />“Soalnya kau ingin membunuh mereka, tetapi kau pun takut Lau-to-pacu tidak mengizinkan.” kata Hay Ki-koat pula.<br />“Padahal sebenarnya aku pun punya keinginan seperti dirimu.”<br />“Kau pun punya keinginan yang sama?” Piauko tak.mengerti.<br />“Ya, aku pun ingin membunuh Liok Siau-hong, tapi juga kuatir dirintangi Lau-to-pacu. Di antara kita hanya ada setitik<br />perbedaan.”<br />“Dalam hal apa?” tanya Piauko.<br />“Aku lebih mujur, dapat kutemukan seorang yang dapat kujadikan sebagai kambing hitam.”<br />Piauko paham apa yang dimaksudkan, tapi dia sengaja bertanya, “Siapa?”<br />“Kau,” kata Hay Ki-koat.<br />“Maksudmu agar kubunuh Siau-hong bagimu?” tanya Piauko.<br />“Memangnya kau tidak mau?”<br />“Masa aku tidak mau? Aku memang ingin membunuh dia, kalau tidak, untuk apa kuringkus dia ke sini.”<br />“Waktu itu bila kau bunuh dia, akulah yang akan kau jadikan kambing hitam, tapi sekarang, bagaimana?”<br />“Sekarang kalau aku tidak mau membunuhnya, akulah yang akan kau bunuh.”<br />“Haha, kau memang seorang yang pintar, makanya selama ini aku suka padamu.”<br />“Dan jika mau kubunuh dia, akan kau lepaskan diriku?”<br />“Sekarang juga akan kulepaskan kau, memangnya kau dapat lolos dari cengkeramanku?” ucap si kait. Lalu ia<br />singkirkan kaitannya dari pundak Piauko.<br />Piauko menghela napas lega, lalu berpaling memandang si kail, wajahnya menampilkan senyuman pula, tiba-tiba ia<br />bertanya, “Menurut pandanganmu, apakah aku ini mirip seorang yang mudah emosi dan kurang sabar?”<br />“Kau tidak mirip orang-orang begitu,” jawab si kait.<br />“Apakah aku tahu Hoa-kuahu ini seorang perempuan yang lihai dan sukat direcoki?”<br />“Kau tahu dengan jelas,” kala si kail.<br />“Jika demikian, mengapa tadi aku bertindak padanya.”<br />“Ya, sebab apa?” si kail malah bertanya.<br />Tertawa Piauko berubah, sangat aneh, “Sebab aku ingin disangka oleh mereka bahwa kungfuku tidak ada artinya bagi<br />kalian.” Si kait tidak dapat tcrtawa lagi, “Padahal?” “Padahal cukup satu jurus saja dapat kubunuh kau!” kata Piauko.<br />Kalimat ini meliputi delapan suku kata, pada waktu mengucapkan kala keenam barulah dia turun tangan, ketika kata<br />terakhir terucap, Hay Ki-koat pun sudah terbunuh olehnya.<br />Serangannya sungguh cepat dan efektif. Pada hakikatnya tidak ada yang tahu jelas cara bagaimana dia turun tangan.<br />Hanya terdengar dua kali suara “crat-cret” yang aneh, serupa golok si jagal membacok daging, lalu Hay Ki-koat<br />kelihatan roboh terkulai serupa babi mampus.<br />Liok Siau-hong dan Hoa-kuahu terkejut, tentu saja Koan-keb-po terlebih terkejut.<br />Piauko tepuk tangan yang kotor, lalu berucap pula dengan tersenyum, “Sudah lama kudengar para Hiangcu dari ketiga<br />seksi Hong-bwe-pang adalah tokoh yang lain daripada yang lain, lebih-lebih pemimpin umumnya, Ko Tiu, tapi sayang<br />sejauh ini hingga sekarang belum sempal kulihat betapa lihai kungfu andalanmu yang mengguncangkan dunia<br />Kangouw itu.”<br />Koan-keh-po yang selalu bersungut itu sekarang lebih mirip orang yang mau menangis, katanya, “Ah, mana ada<br />kungfu andalanku segala? Kepandaianku yang dapat kuandalkan adalah mengurus rumuh tangga orang, cuci pakaian<br />atau masak di dapur.”<br />“Kau tidak dapat membunuh orang?” tanya Piauko. Tidak,” Koan-keh-po menggeleng kepala.<br />Piauko menghela napas. “Ai. jika begitu, akan Iebih baik jika kubunuh kau saja.”<br />Mendadak Koan-keh-po melompat ke atas, selagi mengapung di udara, segera terjadi hujan senjata rahasia,<br />sedikitnya ada 50 buah semala rahasia kecil berhamburan ke arah Piauko.<br />Kiranya Koan-keh-po ini ahli am-gi atau senjata rahasia, ham-pir seluruh tubuhnya membawa senjata rahasia vang<br />mematikan dan setiap saat dapat dihamburkan.<br />Di dunia ini pasti tidak lebih 10 orang yang mahir menghamburkan senjata rahasia sebanyak ini dalam waktu sekejap.<br />Dan lebih sedikit pula orang yang mampu menghindarkan hujan senjata rahasia sebanyak ini.<br />Tapi Piauko justru satu di antara orang yang terlalu sedikit itu, bukan saja sudah diperhitungkannya kemungkinan<br />serangan Koan-keh-po ini, bahkan juga sudah siap dengan cara mengatasinya. Maka begitu terhambur senjata rahasia<br />lawan, tahu-tahu pedangnya juga sudah siap menunggu.<br />Begitu sinar pedang berkelebat, segala senjata rahasia itu tergulung hancur, sekali sinar pedang berkelebat lagi,<br />kontan Koan-keh-po lantas roboh, sesudah menggeletak di lantai barulah darah mengalir.<br />Waktu darah mengalir barulah Siau-hong menghembuskan napas lega, ucapnya, “Inikah Hwe-hong-kiam-hoat?”<br />“Betul,” jawab Piauko.<br />“Jadi kau ini satu-satunya ahli waris Pah-san-kiam-kek, Koh Hui-in?”<br />“Ya, aku inilah orangnya,” kata Piauko.<br />“Ilmu pedang Pah-san memang hebat,” ujar Siau-hong. “Cuma aku tidak habis mengerti, orang semacam dirimu ini<br />mengapa juga bisa terdesak oleh Sebun Jui-soat sehingga tiada jalan lain kecuali menuju ke sini?”<br />“Tentunya kau pun tidak bisa mengerti mengapa aku cuma membunuh mereka dan tidak membunuhmu?”<br />Siau-hong memang tidak mengerti.<br />“Alasan ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu lantaran aku memang tidak ingin membunuhmu,” ujar Piauko dengan<br />tertawa.<br />Siau-hong tambah tidak mengerti.<br />Maka Piauko bicara pula, “Lau-to-pacu selalu menganggap organisasinya ini sangat ketat dan terahasia, padahal sudah<br />lama ada tiga tokoh Kangouw mengetahuinya, orang pertama yang tahu ialah guruku,”<br />“Jadi kau….” melengak juga Siau-hong.<br />“Aku sengaja dikirim ke sini khusus untuk menyelidiki seluk beluk sindikat ini, sebab meski mereka sama lalui di dunia<br />Kangouw, ada suatu sindikat yang bernama Yu-leng-san-ceng, tapi tidak banyak mengetahui kekuatan organisasi<br />gelap ini.”<br />“O, jadi mareka sengaja menyuruhmu pura-pura terdesak oleh Sebun Jui-soat sehingga tiada jalan lari kecuali kabur<br />ke sini?”<br />“Ya, urusan ini sebenarnya cuma sebuah perangkap saja, sudah mereka perhitungkan Sebun Jui-soat pasti akan ikut<br />campur urusan ini. maka mereka juga sudah memperhitungkan pihak San-ceng pasti akan mengikat perjanjian<br />denganku.” “Sebab apa?” tanya Siau-hong.<br />“Sebab aku baru saja menerima sejumlah harta peninggalan yang cukup besar dan setiap saat sanggup membayarkan<br />sepuluh laksa tahil perak.”<br />“Uang kontrak di sini sedikitnya sepuluh laksa tahil perak?” tanya Siau-hong.<br />“Demi menyelamatkan jiwa sepuluh laksa tahil kan tidak banyak.”<br />“Ya, memang tidak banyak,” Siau-hong mengaku.<br />Jiwa memang sukar dinilai, memangnya urusan apa di dunia ini yang bisa lebih berharga daripada jiwa sendiri?<br />“Aku dikirim ke sini, tugasku yang utama adalah menyelidiki pribadi Lau-to-pacu ini,” tutur Piauko lebih lanjut.<br />“O, mereka pun tidak tahu seluk-beluk dan asal-usul Lau-to-pacu?”<br />“Ya, tidak ada yang tahu.”<br />“Bagaimana dengan kau?”<br />“Meski sudah sekian lama kudatang ke sini, tapi belum pernah kulihat wajah aslinya, sebab itulah aku buru-buru ingin<br />menemukan orang itu.”<br />“Orang itu siapa?” tanya Siau-hong.<br />“Orang yang akan mengadakan kontak dan membantuku.’ tutur Piauko. “Sudah disepakati sebelumnya selekasnya<br />mereka akan mengutus pembantu ke sini, tapi gerak-gerik setiap pendatang baru tidak bisa bebas, dengan sendirinya<br />juga sulit untuk mengetahui Koh Hui-in yang hendak dicari ialah diriku alias Piauko.”<br />“Karena kau tidak sabar menunggu, maka kau yang mencari-cari mereka?”<br />“Ya, sudah 12 orang yang pernah kutemui.”<br />“Dan semuanya salah alamat?”<br />“Benar, maka terpaksa kubunuh mereka untuk menghilangkan saksi.”<br />“Sekali ini kau kira aku adalah orang yang dikirim untuk membantumu?”<br />“Ya, kuharap sekali ini tidak keliru,” ucap Piauko sekata demi sekata sambil menatapnya dengan tajam.<br />Siau-hong menghela napas, ucapnya, “Aku pun berharap sekali ini kau tidak keliru.”<br />Piauko masih terus menatapnya, sorot matanya berubah setajam sembilu, tiba-tiba ia bertanya, “Kecuali guruku, Pahsan-<br />kiam-kek, masih ada dua tokoh lain yang ikut dalam perencanaan operasi ini. Siapa kedua tokoh yang lain? Siapa<br />yang mengutusmu ke sini? Apa kode pengenalmu?”<br />“Tidak dapat kukatakan,” jawab Siau-hong.<br />“Sebab pada hakikataya engkau memang tidak tahu?!”<br />Siau-hong mengangguk dan tesenyum kecut, katanya, “Sungguh menyesal, sekali ini tampaknya kau keliru lagi.”<br />Di dalam gua bawah tanah ini ada lampu, kini sudah permulaan musim semi, hawa tidak terlalu dingin.<br />Tapi mendadak Liok Siau-hong merasa merinding. Hal ini bukan disebabkan tangan Piauko mulai meraba tangkai<br />pedangnya lagi, melainkan di dalam gua ini tiba-tiba bertambah pula satu orang. Seorang berjubah kelabu dan<br />memakai caping bambu.<br />Baru saja tangan Piauko meraba tangkai pedangnya, tahu-tahu si baju kelabu sudah berada di belakangnya.<br />Siau-hong dapat melihat orang ini, Hoa-kuahu juga dapat melihatnya, tapi Piauko sendiri tidak merasakan apapun.<br />Pendatang ini serupa badan halus yang cuma berbentuk tapi tak berwujud.<br />Karena mukanya tertutup oleh caping bambu yang lebar dan berbentuk aneh, sama sekali Siau-hong tidak dapat<br />melihat wajahnya, tapi sudah dapat ditebaknya siapa dia.<br />Hoa-kuahu tidak memperlihatkan sesuatu tanda, tapi sorot matanya tidak urung menampilkan rasa girang. Si baju<br />kelabu juga lagi memberi isyarat tangan padanya.<br />Agaknya Piauko juga marasakan sesuatu yang tidak beres sekonyong-konyong ia membalik tubuh. Tapi di belakang<br />tidak ada orang, bahkan bayangan pun tidak ada.<br />Orang itu serupa bayangan saja yang melengket di belakang Piauko, kembali ia menggoyang tangan lagi kepada Hoakuahu.<br />Waktu Piauko berpaling kembali, si janda lantas menarik muka dan mendengus, “Sesungguhnya hendak kau bunuh<br />Liok Siau-hong atau mambunuhku lebih dulu?”<br />Perlahan Piauko membetulkan tempat duduknya, ucapnya dengan perlahan, “Tampaknya kalian seperti tidak takut<br />mati?”<br />“Toh harus mati, untuk apa takut?” kata Hoa-kuahu, “Cuma saja ....”<br />“Cuma kau tidak mau mati tanpa mengetahui sebab musababnya, begitu bukan?”<br />Hoa-kuahu membenarkan, ucapan Piauko ini memang tepat mengenai isi hatinya.<br />“Sebab itulah kau pun ingin tanya padaku, kecuali guruku, siapa pula yang mengetahui rahasia ini.”<br />“Jika kami toh akan kau bunuh, apa alangannya kau jelaskan?”” pinta si janda.<br />Piauko menatapnya, tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. “Apa yang kau tertawakan?” tanya Hoa-kuahu. “Kutertawai<br />dirimu,” jawab Piauko. “Jelas-jelas kau tahu, mengapa pura-pura tanya padaku?”<br />“Aku tahu apa?” ujar Hoa-kuahu.<br />“Selain guruku masih ada lagi dua orang, yang satu ialah Bok-tojin dan seorang lagi ialah bapakmu.” kata Piauko.<br />“Jelas-jelas kau pun mengemban tugas serupa diriku, kau pun datang ke sini untuk menjadi mata-mata, mengapa kau<br />berlagak pilon?”<br />Air muka Hoa-kuahu berubah seketika.<br />“Kuyakin sekarang kau pasti tahu Lau-to-pacu itu orang macam apa” kata Piauko pula. “Sebab engkau seorang<br />perempuan dan dapat tidur bersama dia “<br />“Sengaja hendak kau seret diriku ke dalam lumpur ini?” tanya Hoa-kuahu.<br />“Sebenarnya sudah lama kutahu rahasiamu,” sambung Piauko. “Apa yang kulakukan ini tidak lebih hanya sebuah<br />perangkap saja, ingin kupancing pembeberan rahasiamu, aku lebih suka salah membunuh seratus orang daripada<br />seorang agen rahasia tinggal di sini.”<br />Hoa-kuahu memandangnya dengan tajam, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata, “Ah, kiranya bukan niatmu<br />menyeret diriku ke dalam lumpur, tujuanmu hanya ingin mencari pengganti untuk mati bagimu.”<br />“Mengapa aku harus mencari pengganti?”<br />“Sebab meski tidak kau lihat Lau-to-pacu, tapi sudah tahu dia telah datang,” si janda menghela napas, lalu<br />menyambung, “Sungguh engkau ini seorang cerdik, cuma sayang, ada satu hal yang tidak kau ketahui.”<br />“Hal apa?” tanya Piauko.<br />“Bahwa ini memang sebuah perangkap, cuma yang terjebak bukan diriku melainkan kau.”<br />“Oo?!” Piauko melengak.<br />“Sudah lama aku dan Lau-to-pacu mencurigai dirimu, makanya kami mengatur perangkap ini untuk menjerat dirimu,”<br />tutur Hoa-kuahu. “Jika kau sangka aku terkena dupa biusmu, maka kelirulah kau.”<br />Lalu dia tepuk-tepuk lengan bajunya dan berbangkit perlahan. Padahal biasanya seorang yang terkena asap Siau-hunsan<br />itu dalam waktu saiu jam pasti tidak dapat bergerak, tapi sekarang Hoa-kuahu dapal berdiri dengan tegak.<br />Piauko lelap duduk di tempatnya, tiba-tiba ia berpaling kepada Liok Siau-hong dan berkala. “Bagaimana pendapatmu’”<br />Siau Hong menghela napas, “Ai. kalian semua orang pintar, sungguh aku sangai kagum .“<br />Mendadak Piauko bergelak tertawa. “Hahaha! Dapat membuat kagum orang semacam Liok Siau-hong, biarpun aku<br />Koh Hui-in harus mati juga tidak perlu menyesal,”<br />Dia ternyata cukup tegas. sekali bilang mati segera dia mati, bahkan jauh lebih cepat danpada dia membunuh orang.<br />Sekali ujung pedangnya membalik dan menikam dada sendiri, kontan darah ber hamburan, tubuhnya lantas<br />tersungkur.<br />Betapapun ia tidak mau menjadi saksi hidup sehingga orang lain dapat mengorek pengakuan dari mulutnya.<br />Maklum, jika kau ingin menyelidiki rahasia orang lain, maka lebih dulu kau harus senantiasa siap mengorbankan diri<br />sendiri.<br />“Sungguh tak tersangka dia benar-benar tidak takut mati setitik pun,” kata Hoa-kuahu dengan kening berkerut.<br />“Orang yang takut mati pada hakikatnya tidak dapat berbuat begini, orang terlalu pintar juga tidak dapat,” kata Lauto-<br />pacu tiba-tiba.<br />“Masih ada lagi sejenis orang yang tidak dapat berbuat begini,” tukas Siau-hong.<br />“Oo?!” Lau-to-pacu ingin tahu.<br />“Ada sejenis orang, kemana dia pergi seperti selalu mendapat kesulitan,” tutur Siau-hong. “Seumpama dia tidak ingin<br />mencari kesulitan, kesulitan sendiri juga akan menimpa dia.”<br />“Dan kau adalah jenis orang begini?”<br />“Ya. biasanya aku memang cukup kenal diriku sendiri.”<br />“Kesulitan yang kau timbulkan bagiku memang tidak sedikit.”<br />“Tapi engkau pasti tidak dapat membunuhku,” sela Siau-hong.<br />“Sebab apa?” tanya Lau-to-pacu.<br />“Sebab tidak ada minatku untuk datang kemari, engkau sendiri yang menghendaki kedatanganku, maka orang lain<br />boleh membunuhku, hanya engkau tidak dapat, sebab aku adalah tamu undangan.”<br />Lau-to-pacu termenung, katanya kemudian dengan perlahan, “Boleh juga tidak kubunuh dirimu, asal saja kau<br />sanggupi sesuatu padaku.”<br />“Urusan apa?” tanya Siau-hong.<br />“Tutup mulutmu serapatnya dan berjanji takkan mambocorkan rahasia tempat ini.”’<br />“Baik, kuterima.” jawab Siau-hong tegas.<br />“Bagus, kupercaya padamu. Sekarang pergilah!” kata Lau-to-pacu.<br />“Kau suruh aku pergi?” Siau-hong melengak.<br />“Umpama tuan rumah tidak dapat membunuh tamu, sedikitnya kan dapat menyuruhnya pergi.”<br />“Tapi di luar sana ....”<br />“Tak peduli siapa yang sedang menunggumu di luar, sedikitnya terlebih baik daripada kau mati di sini,” kata Lau-topacu<br />dengan dingin.<br />Siau-hong tidak bicara lagi, ia tahu tiada gunanya banyak bicara, terpaksa dia harus angkat kaki.<br />Tiba-tiba Lau-to-pacu memanggilnya lagi, “Betapapun engkau sudah pernah menjadi tamu undanganku, bahkan tidak<br />kau khianati diriku, maka bila engkau menghendaki sesuatu dapat kuberikan dan boleh kau bawa pergi.”<br />“Apapun yang kuminta pasti kau beri?” tanya Siau-hong.<br />“Ya, asalkan dapat kau bawa,” kata Lau-to-pacu.<br />“Baik, akan kubawa serta dia,” ucap Siau-hong. Yang diminta ternyata Hoa-kuahu.<br />Seketika Lau-to-pacu tidak dapat bicara. Sampai lama sekali barulah ia bersuara pula, “Baik, boleh kau bawa pergi<br />dia, cuma selanjutnya sebaiknya jangan sampai kulihat lagi dirimu.”<br />Lembah pegunungan masih diliputi kabut, untuk mencari jembatan kawat yang hampir lidak kelihatan itu tidaklah<br />mudah, untuk menyeberang juga tidak gampang.<br />Dan kalau sudah menyeberang ke sana, lalu bagaimana? Di lembah pegunungan ini adalah dunianya hantu, di luar<br />lembah sana bagaimana?<br />Siau-hong menghela napas panjang, tiba-tiba ia tertawa.<br />Hoa-kuahu memandangnya dengan heran, tanyanya, “Engkau tidak takut?”<br />“Takut apa?” tanya Siau-hong.<br />“Mati,” ucap Hoa-kuahu. perlahan ia pegang tangan Siau-hong. Apakah engkau tidak takut begitu keluar dilembah ini,<br />sagera akan mati di bawah pedang orang lain?”<br />“Toh aku sudah pernah mati satu kali, apa alangannya jika mati sekali lagi?” sahut Siau-hong dengan tersenyum.<br />Hoa-kuahu juga tersenyum. Apapun juga mereka toh keluar dari Yu-leng-san-ceng, keluar dari dunianya orang mati.<br />Dengan suara lembut Hoa-kuahu berkata, “Sering kupikirkan, asalkan aku dapat hidup lagi benar-benar, sungguh<br />puaslah hatiku.” <span style="font-weight: bold;"><br /><br />TAMAT</span></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7207248636360309145.post-16163023144635830832011-06-28T13:21:00.000-07:002011-06-28T13:28:42.524-07:00BENTROK PARA PENDEKAR_Seri 15-19 (TAMAT)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhXCBAJa1Zg-uZ4hxq9LBHTZQKIR8uQxUrZMyozIyPkx7nCAR5BM7GuE4I1yAK_V3uHlSwxLr0w7ROIF-r6xOB2m-_I55gd_Ej9jPHYvEfAsuAg2VHaobHY4dn6AGz7WITQqydAfTkUw/s1600/4686.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 112px; height: 152px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhXCBAJa1Zg-uZ4hxq9LBHTZQKIR8uQxUrZMyozIyPkx7nCAR5BM7GuE4I1yAK_V3uHlSwxLr0w7ROIF-r6xOB2m-_I55gd_Ej9jPHYvEfAsuAg2VHaobHY4dn6AGz7WITQqydAfTkUw/s320/4686.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5623369818893213266" /></a><div style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" >BENTROK PARA PENDEKAR</span></b></div><div style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" >Karya Gu Long</span></b></div><div style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" >Jilid 15</span></b></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perawakan tubuh tidak tinggi, juga tidak pendek, rambutnya beruban, tidak mempunyai kumis atau jenggot. Mukanya pucat pasi dan berbentuk aneh, seperti habis dihajar orang. Sehingga tampak lucu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi semua orang tidak berani tertawa melihat muka yang lucu ini, yang mereka lihat adalah sepasang mata yang dingin mengerikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Matanya tak berbiji dan berwarna kuning, seluruhnya bola matanya berwarna putih.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang yang pernah melihat mata seperti ini, pasti seumur hidup takkan melupakannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sedangkan panji yang digenggamnya bukanlah panji pengundang sukma, tapi panji tukang ramal yang bertuliskan, 'Ke atas menembus nirwana, ke bawah menyambangi neraka'.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata orang itu adalah seorang peramal buta.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah melihat dari dekat, barulah semua orang merasa lega. Namun semuanya melupakan satu hal, manusia kadang lebih menakutkan daripada setan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long duduk kembali di bangkunya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terlepas si buta ini benar-benar buta atau tidak, paling tidak dia adalah seorang yang luar biasa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bila ada orang buta datang mencarimu dengan menumpang perahu kertas, perahu untuk sembahyang orang mati, tentu saja dia datang dengan maksud jahat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tentu saja kau pun tak perlu berdiri di luar pintu menyambut kedatangannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apalagi Siau Cap-it Long jarang berdiri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan-lahan si buta berjalan mendekat, ternyata dia tidak menggunakan tongkat bambunya untuk menuntun jalan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang buta memiliki tanda khusus, Siau Cap-it Long dapat mengenalinya sekali pandang saja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau dia memang seorang buta, kenapa bisa datang sendiri ke tempat itu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah disebabkan cahaya lentera yang memancar dari kapal pesiarnya yang kelewat terang hingga dapat dirasakannya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukankah perasaan orang buta selalu lebih tajam ketimbang orang biasa?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang buta itu berjalan dengan lambat, tapi langkahnya mantap. Semua orang yang berkumpul di geladak menyingkir ke samping memberi jalan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu lewat di antara orang banyak, lagaknya acuh seakan seorang raja yang lewat di antara para hambanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belum pernah Siau Cap-it Long berjumpa dengan orang buta sesombong dan sejumawa ini, seandainya dia tidak buta pun belum tentu akan memandang sebelah mata terhadap semua yang hadir.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seandainya dia benar-benar bisa melihat, mungkin tak seorang manusia pun di dunia ini yang dipandang sebelah mata olehnya. Tentu selama ini dia telah banyak melakukan perbuatan yang membuatnya merasa bangga, lalu apa yang pernah diperbuatnya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bila benar ia telah melakukan suatu perbuatan yang membuatnya bangga, tentu adalah suatu perbuatan besar, bila perbuatan yang menggemparkan pastilah banyak orang yang tahu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun sekarang tak seorang pun yang tahu asal-usulnya, bahkan Hong Si-nio pun tak mengenalnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mempunyai firasat buruk mengenai kedatangan orang buta itu, dia pasti akan mendatangkan bencana atau kematian.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di luar pintu ruang kapal, tergantung empat buah lentera.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu itu si buta sudah berjalan hingga di bawah lentera.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Berhenti!" seru Siau Cap-it Long tiba-tiba.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si orang buta itu langsung berhenti, berdiri tegak lurus.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekalipun berdiri di bawah cahaya lentera yang terang benderang, namun sama sekali tak terlihat adanya debu atau kotoran yang menodai sekujur badannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Selama hidup belum pernah Siau Cap-it Long berjumpa dengan orang buta sebersih ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Saat itu si buta sedang menunggu dia bicara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tahukah kau tempat apakah ini?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si orang buta menggeleng.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tahu siapakah aku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali orang buta itu menggeleng.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau begitu, tidak seharusnya kau datang kemari."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi sekarang aku telah datang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mau apa kau datang kemari?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku adalah seorang buta."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sudah kulihat, kau memang buta."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang buta selalu banyak mendengar persoalan yang tak pernah didengar orang lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apa yang telah kau dengar?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Irama musik dan nyanyian."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Berarti kau tahu tempat ini adalah Se-ouw?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta mengangguk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Suara musik dan nyanyian ada dimana-mana," ujar Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi irama musik dan nyanyian yang kudengar tadi sama sekali berbeda."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Berbeda?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Beda sekali bila dibandingkan suara nyanyian lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dimana letak perbedaannya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ada irama lagu yang sedih, yang gembira, ada pula yang tenang penuh kebahagiaan, ada yang penuh dengan luapan emosi dan amarah," katanya perlahan, "seandainya kau pun buta seperti aku, dapat dipastikan kau akan mengerti banyak kejadian aneh dan menarik hati di balik irama lagu itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Lantas apa yang kau tahu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bencana dan tragedi!"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mengepal kencang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Suara angin menjelang badai pasti berbeda dengan suara angin kala tenang, jeritan binatang buas di kala ajal juga berbeda di kala damai," ujar si buta dengan memiringkan kepala, "seorang kalau hendak kena bencana, bisa dirasakan dari irama nyanyian yang didendangkan, aku dapat merasakan hal itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Berubah paras Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta melanjutkan omongannya, "Bencana ada kecil ada besar, bencana kecil paling mendatang kematian bagi diri sendiri, bencana besar bisa menyangkut jiwa orang lain yang tak berdosa."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tidak kuatir akan ikut terseret dalam bencana ini?" jengek Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kedatanganku ini justru hendak melihat keramaian."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Keramaian apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Nona yang membawakan nyanyian itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sungguh aneh, seorang buta dengan menumpang sebuah perahu kertas, khusus datang hanya untuk melihat orang menyanyi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long hanya diam saja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta juga diam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Semua hadirin juga diam, mereka tahu apa yang dikatakannya memang tidak untuk bergurau.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau benar-benar buta?" tanya Siau Cap-it Long sambil menatapnya tajam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta mengangguk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Masakah seorang buta bisa melihat?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang buta memang tak bisa melihat," katanya dengan tertawa penuh kepedihan, mukanya berkerut-kerut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Saat itulah Siau Cap-it Long merasa seperti pernah bertemu dengan orang ini, tapi justru saat ini tidak teringat siapa gerangan dia.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tetapi orang buta justru dapat melihat apa yang tak bisa dilihat orang biasa," kata si buta.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bencana maksudmu?" sela Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta manggut-manggut, lalu berkata, "Karena itulah aku kemari, ingin kutahu bencana macam apa yang bakal terjadi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa kau tertawa?" tegur si buta.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tawa Siau Cap-it Long makin keras.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bencana itu bukan sesuatu yang menggelikan," seru si buta.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku justru sedang menertawakan diriku sendiri."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab selama ini belum pernah kudengar hal yang tak masuk akal ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata ada orang yang bisa menggerakkan hati Siau Cap-it Long. Biasanya Hong Si-nio pun tak sanggup menahan rasa gelinya dan akan tertawa terbahak-bahak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang ia tak berani tertawa, tak mampu tertawa. Sebab dia tahu kejadian ini memang bukan suatu hal yang menggelikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah yang sedang menyanyi itu Pin-pin?" bisik Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hm."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau bilang Pin-pin sakit parah, bahkan mengidap penyakit yang tak bisa diobati."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hm."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah menghela napas panjang, Sim Bik-kun berkata pula, "Apakah benar si buta ini bisa melihat suatu kejadian hanya dari mendengar suara nyanyiannya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio diam, tak menjawab. Bukannya dia tak mau menjawab, tapi memang dia tak bisa menjawab. Kejadian ini memang tak masuk akal, namun justru benar-benar terjadi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah lewat beberapa lama, ia pun menghembuskan napas panjang, katanya, "Aku hanya berharap dia tidak melihat kejadian yang lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bencana yang mereka hadapi memang sudah kelewat banyak. Lalu apalagi selain bencana yang bisa dilihat si buta ini?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang mengatakan Hong Si-nio itu liar dan galak, lebih mirip seorang lelaki, bahkan caranya minum lebih hebat dari lelaki.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun tiada yang mengatakan dia tidak cantik, dan sesungguhnya memang dia seorang yang cantik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perempuan, biasanya selalu beranggapan bahwa dirinya terlebih cantik dari orang lain. Namun berbeda dengan Hng Si-nio, dia beranggapan Sim Bik-kun terlebih cantik daripada dirinya, bahkan tiada yang lebih cantik darinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun sekarang anggapannya itu tidak benar, sebab sekarang dia menyaksikan ada seorang perempuan lain yang lebih cantik ....</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pin-pin!</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kecantikannya seakan mampu menyedot sukma setiap orang yang menyaksikannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Saat itu Pin-pin sedang menuruni tangga, mukanya pucat dan sayu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta berdiri di hadapannya, seakan sedang mengawasinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apa yang kau lihat?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta masih diam, lama kemudian baru menjawab, "Aku melihat sebuah rawa, rawa di lembah curam, tak ada kehidupan di sana...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba mukanya bercahaya, kemudian lanjutnya, "Tapi di tengah rawa itu ada seorang wanita."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah yang ia maksudkan dengan rawa di lembah curam itu adalah lembah penyiksaan itu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah yang ia maksudkan dengan seorang wanita itu adalah Pin-pin yang didorong oleh Thian-kongcu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Darimana ia bisa tahu semua ini?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menarik napas panjang, tanyanya, "Apalagi yang bisa kau lihat?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta bergumam lagi, "Aku lihat wanita itu merambat naik, tampaknya ia sedang sakit, sakit parah ..." Setelah menghembuskan napas, lanjutnya, "Tampaknya dia akan segera jetuh ke bawah, tapi mendadak ada sebuah tangan, tangan yang menariknya ke atas."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tentunya tangan seorang lelaki."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kini tangan itu sedang menggenggam sebilah golok yang aneh, sedang si wanita sedang menyanyi di sisinya, tapi mendadak senar kecapi putus dan dia tersungkur ke tanah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah wanita yang sedang menyanyi itu adalah wanita di rawa itu?" tukas Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Benar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau yakin? Dan kau dapat melihat wajahnya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tak bisa melihat wajahnya," sahut si buta ragu sejenak, "tapi dapat kulihat ada toh (noda sejak lahir) hijau setelapak tangan di pantat kirinya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belum habis ucapannya, paras muka Pin-pin seketika berubah hebat, kagetnya bukan main seakan dia didorong ke dasar jurang yang dalam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebetulnya dia bukanlah seorang wanita yang mudah kaget ataupun takut, bahkan keteguhan hatinya melebihi baja, itulah sebabnya dia masih hidup sampai sekarang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi sekarang mengapa ia nampak begitu takut?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah memang di pantat kirinya ada toh hijau itu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tersungging senyuman aneh di bibir si buta, katanya pula, "Ternyata aku tak salah lihat, aku tahu, aku tak bakal salah lihat...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan si buta membalikkan tubuh hendak beranjak pergi, tapi mendadak tongkatnya ditusukkan ke tenggorokan Pin-pin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pin-pin tak bergerak, juga tak berusaha menghindar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekujur tubuhnya seakan kaku, jangankan menghindar, bergerak pun tak mampu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Semua orang menyaksikan tongkat si buta menusuk ke arah tenggorokan Pin-pin secepat kilat, namun tenggorokan Pin-pin masih seperti keadaan semula, tanpa terluka sedikit pun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untung di sampingnya ada Siau Cap-it Long, kecuali dia, siapa yang mampu menyelamatkan jiwanya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak ada yang melihat bagaimana ia turun tangan, namun si buta dapat merasakannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia rasakan ada segulung tenaga menyerang bawah ketiaknya, dalam keadaan seperti itu, apabila ia tidak menarik tusukan tongkatnya, tentu dadanya akan remuk terhajar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta melompat mundur sejauh tujuh-delapan kaki, namun Siau Cap-it Long telah berdiri di depan pintu, menghadang jalan perginya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Golok jagal rusa masih tetap berada di sarungnya. Tapi semua orang bisa merasakan hawa membunuh yang terpancar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta membalik tubuh dan berdiri berhadapan dengan Siau Cap-it Long, mukanya yang perot kaku membesi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia tahu, orang yang berada di hadapannya ini takkan membiarkan dirinya berlalu dari situ dalam keadaan hidup.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau telah salah sasaran," kata Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Oya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Yang ingin kau bunuh kan aku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau suruh aku membunuhmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena kau sudah datang ke sini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dan kau pun ingin membunuhku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tidak menyangkal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta tertawa, ujarnya hambar, "Padahal walau aku tak ingin membunuhmu, kau pun bisa membunuhku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sambil menatap wajah si buta, muncul perasaan aneh dalam hati Siau Cap-it Long, rasanya dia pernah bertemu dengan orang ini, tapi seketika tidak teringat siapakah dia?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangannya mulai meraba golok di pinggangnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sudah kukatakan, mesti aku buta, tapi bisa melihat apa yang orang lain tak bisa melihat," kata si buta.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang apa yang kau lihat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kusaksikan ada tangan menggenggam golok."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tidak kaget, kenyataan memang begitu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku pun melihat kau bertekad membunuhku," lanjutnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tertawa dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Seandainya peristiwa ini terjadi dua tahun yang lalu, kau pasti akan membiarkan aku berlalu, tapi sekarang kau telah berubah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi dua tahun lalu kita pernah bertemu?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Umpama kita pernah bertemu, kuyakin dua tahun yang lalu kau bukan manusia semacam ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apa lagi yang kau lihat?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku lihat segumpal darah, di tengah genangan darah terdapat kutungan tangan, dalam genggaman kutungan tangan itu terdapat sebilah golok."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dapat kau lihat darah siapakah itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Darah siapa?" si buta tertawa, lanjutnya, "tentu saja darahmu, tangan dan golokmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kematian bukan sesuatu yang menggelikan," tegur si buta.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Yang kutertawakan kali ini adalah kau"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab kali ini kau telah salah melihat." Golok jagal rusa masih berada dalam sarungnya. Golok belum dilolos, namun hawa membunuh makin tebal. Perlahan-lahan orang buta itu meletakkan kain putih di tangan kanannya, tiba-tiba ia melejit ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, tongkat bambu ditusukkan ke depan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika melancarkan serangan, tongkat bambu yang lurus kaku itu bergetar dan meliuk-liuk, seakan berubah seperti ular. Seekor ular berbisa! Seekor ular berbisa yang hidup!</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika pertama kali melihat ular berbisa, waktu itu Siau Cap-it Long baru enam tahun. Yang dia jumpai adalah seekor ular derik yang ekornya bisa berbunyi keras.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Itulah untuk pertama kalinya dia digigit ular, juga merupakan terakhir kalinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah itu, asal dia melihat sekilas, dengan cepat ia dapat membedakan jenis ular berbisa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untuk menghadapi kawanan binatang melata ini hanya ada satu cara, yaitu menghantam bagian tujuh inci di belakang kepala yang paling mematikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Selama ini dia tak pernah meleset, tak pernah gagal. Tapi kini dia gagal menemukan bagian itu, dia tak tahu dimana letaknya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ular berbisa di tangan si buta ini jauh lebih berbahaya dari ular berbisa yang pernah dijumpainya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kecuali si bangsawan Siau-yau-hou Thian-kongcu, ternyata orang buta ini merupakan lawan yang paling menakutkan, lawan tangguh yang selama hidup belum pernah dijumpainya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia tahu, dalam keadaan seperti ini dia harus tenang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketika tongkat bambu yang menyerupai ular berbisa itu menusuk tiba, dia sama sekali tidak bergerak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengapa dia tidak bergerak?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidak bergerak itu berarti apa?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidak bergerak berarti bergerak!</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukankah teori itu adalah rahasia paling tinggi dari ilmu silat?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Serangan tongkat si buta dari sungguhan berubah menjadi serangan tipuan, tongkatnya berubah seakan menjadi belasan tongkat yang mengancam bersama. sehingga sulit membedakan mana yang serangan sungguhan dan mana yang tipuan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bergerak berarti tidak bergerak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bayangan tongkat bambu seolah membeku menjadi selapis bayangan semu yang membingungkan, selapis kabut cahaya yang mengambang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kini Siau Cap-it Long mulai bergerak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba tubuhnya melompat sejauh delapan kaki.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tok, tok, tok", tongkat si buta menutul di lantai ruang kapal, tahu-tahu lantai kapal telah bertambah belasan lubang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menghembuskan napas panjang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekonyong-konyong tongkat bambu berbalik menyerang ke atas, lalu menyapu secepat kilat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebenarnya tempat dimana Siau Cap-it Long berdiri lebih menguntungkan ketimbang si buta, namun siapa tahu lengan si buta pun seakan ikut berubah menjadi seekor ular berbisa, meliuk-liuk sesuka hatinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lekas Siau Cap-it Long mundur ke belakang sambil melancarkan tendangan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekilas gerakan ini sangat sederhana, namun justru tongkat si buta kena tertendangan dengan telak hingga mencelat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Agaknya si buta tak menyangka akan gerakan ini. Cepat ia berputar untuk melindungi bagian tubuhnya yang lemah, lalu telapak tangan kiri membacok kaki Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menarik kakinya dan berdiri tegak di ruang geladak, kemudian ia sodokkan kepalannya ke hidung lawan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Gerakannya masih biasa saja dan sederhana.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa pun pasti menduga si buta akan dengan mudah menghindarinya, namun siapa sangka tiba-tiba pipi kirinya terasa sakit.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata pukulan Siau Cap-it Long yang sederhana itu telah bersarang di wajahnya yang jelek itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta berjumpalitan di udara dan kembali berputar. Jarang ada orang yang bisa melakukan gerakan semacam itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang tahulah Siau Cap-it Long siapakah si buta ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pin-pin pun tahu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seketika berubah hebat wajah kedua orang ini seakan melihat sukma gentayangan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam waktu singkat tubuh si buta yang masih berputar itu menerobos jendela dan melayang keluar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terdengar kumandang suaranya di kejauhan, "Ilmu silatmu sudah bertambah maju dibanding dua tahun silam, hanya sayang ...." Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara "Byuur."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya rembulan masih bersinar terang, gelombang air segera menghiasi permukaan danau, namun bayangannya sudah lenyap.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paras Pin-pin seketika pucat, segera Siau Cap-it Long menggenggam tangannya yang dingin membeku.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seketika suasana menjadi hening, bahkan suara napas pun tak terdengar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah lewat beberapa lama, dengan menghela napas Ong Bing berkata, "Sungguh lihai ilmunya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Semua tahu jurus serangan yang dilancarkan si buta sungguh lihai dan mematikan dengan perubahan yang luar biasa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jarang ada orang yang bisa menghindari serangan itu, namun Siau Cap-it Long berhasil mengalahkannya, walaupun dengan jurus yang sangat umum dan sederhana.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >XXIV. MABUK CINTA</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Telaga Se-ouw ditimpa cahaya rembulan, indah mempesona.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa orang yang mampu mengubah watak Hong Si-nio?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jantung Hong Si-nio masih berdebar dengan kencang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Debar jantungnya bukan dikarenakan pertarungan itu, namun sekarang dilihatnya Siau Cap-it Long sedang merangkul Pin-pin naik ke loteng.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimana pun ia seorang perempuan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia sanggup mengorbankan diri demi orang, namun tak sanggup mengendalikan perasaan hatinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimana pula perasaan Sim Bik-kun?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan tertawa paksa ujar Hong Su-nio perlahan, Dia memang gadis yang mearik dan patut dikasihani."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun memandang ke tempat jauh, seakan hatinya juga berada di sana, lama kemudian baru dia menjawab sambil menunduk, "Ya, aku tahu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah sekarang kita akan naik dan mencarinya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun tampak sangsi dan tidak menjawab.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tidak bertanya lagi karena dilihatnya Ong Bing sedang beranjak menghampiri mereka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dilihatnya Ong Bing celingukan seakan ada yang dicarinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa yang kau cari?" tegur Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Loji."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kini Hong Si-nio baru sadar kalau Su Jiu-san sudah tidak ada di sana.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perahunya yang tadi ditarik balik terlihat sedang berlayar menjauh, sebagian besar para jago pun sudah pergi. Sisanya ada yang sedang tiduran atau sedang menikmati arak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mana Su-loji?" kembali Ong Bing bertanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mana aku tahu, dia toh bukan anak kecil yang harus diawasi terus, kalian pun tak pernah menyerahkan dia padaku," jawab Hong Si-nio sambil menarik muka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing melengak, katanya, "Masakah dia pergi bersama orang lain?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa tidak kau periksa ke dalam?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bagaimana denganmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut campur."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia pun menarik tangan Sim Bik-kun dan diajak masuk ke dalam ruang kapal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang ia tahu, ternyata Sim Bik-kun bukan jenis perempuan yang dapat mengambil keputusan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebenarnya ia masih mempunyai banyak persoalan yang perlu ditanyakan kepadanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan terkejut Ong Bing mengawasi mereka yang sedang berjalan masuk ke ruang kapal, tak tahan teriaknya, "He, mau apa kalian? Kalian pun datang untuk membunuh Siau Cap-it Long?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tidak menanggapi. Tiba-tiba terdengar ada seseorang menjawab, "Sekalipun semua orang ingin membunuh Siau Cap-it Long, namun kedua perempuan ini adalah kekecualian."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cepat Ong Bing berpaling, segera ia tahu yang bicara adalah Hu It-gwan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mengapa mereka terkecuali?" tanya Ong Bing penasaran, "memangnya kau tahu mereka itu siapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sahut Hu It-gwan dengan tersenyum licik, "Kalau mataku belum lamur, perempuan yang bicara tadi adalah Hong Si-nio."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukan main kaget Ong Bing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Nama Hong Si-nio memang selalu mengagetkan orang yang mendengar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau pernah mendengar nama perempuan ini bukan?" kembali Hu It-gwan bertanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Darimana kau mengenalinya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali Hu It-gwan tertawa, "Sekalipun perempuan ini susah dihadapi, namun ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, ilmu menyarunya pun jelek sekali."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Lalu siapa perempuan yang satunya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tidak tahu, siapa yang sudi berjalan berendeng dengan perempuan siluman itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah kau melihat Su-loji?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, memang tadi aku melihat dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang dimanakah dia?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau Hong Si-nio saja tidak tahu kemana dia pergi, darimana aku tahu," kembali Hu It-gwan tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tawanya sunggu mirip rase, licik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah dia ikut pergi bersama perahu itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hu It-gwan menggeleng.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aneh, masakah orang segede itu bisa lenyap secara mendadak," kata Ong Bing dengan kening bekernyit.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Menurut apa yang aku tahu, orang yang sering berhubungan dengan Hong Si-nio, seringkali lenyap tak keruan parannya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" bentak Ong Bing sambil melotot.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hu It-gwan tersenyum.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kapal di atas air, orang di atas kapal, kalau orangnya tidak berada di kapal, lantas dia dimana?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba Ong Bing menerjang ke depan dan langsung menceburkan diri ke danau.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Melihat hal ini Hu It-gwan menghela napas panjang, gumamnya, "Agaknya orang ini tidak bodoh, kali ini dia menemukan tempat yang tepat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ruang di atas loteng perahu tidak terlalu besar, biarpun begitu pajangannya cukup menawan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tempat lilin terbuat dari perak, cahaya lentera masih menyinari seluruh ruangan kapal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long berdiri terpekur di depan jendela, memandang kegelapan malam, entah apa yang sedang dipikirkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mungkin dia terbayang kembali lembah yang mengerikan itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak ada perubahan pada wajahnya, namun Pin-pin dapat menebak apa yang sedang dipikirkan lelaki ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Selama ini ia tidak mengganggunya. Setiap kali ia termenung, dia memang tidak pernah mengganggu ketenangannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebetulnya dalam hatinya penuh dengan persoalan yang ingin ditanyakannya, bahkan persoalan yang tak terlupakan dan sangat menakutkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya ketakutan masih terbayang di wajahnya, setiap kali ia pejamkan mata, selalu terbayang mimik aneh si buta itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Keheningan menyelimuti suasana di kapal itu. tiba-tiba terdengar ada orang berbicara. Tak jelas apa yang dibicarakan, tapi dilihatnya ada dua orang sedang berjalan ke atas loteng.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dua orang yang berdandan sebagai tukang perahu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekilas dikenalinya salah seorang adalah Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kebetulan Hong Si-nio pun sedang menatap ke arahnya, tanyanya, "Apakah benar di pantatmu ada toh hijau?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan Hong Su-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setiap orang dapat mendengar pertanyaan itu dengan jelas, namun tak ada yang menduga pertanyaan apa yang pertama kali akan diajukan Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Padahal banyak yang ingin diucapkan Sim Bik-kun, namun dia tetap saja diam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebetulnya ingin dia menerjang maju dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan Siau Cap-it Long. Namun tidak ia lakukan, ia hanya diam dan berdiri menjublek di belakang Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pin-pin pun tak menjawab pertanyaan Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio pun tak bertanya lebih lanjut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya Siau Cap-it Long memutar tubuh berhadapan dengan mereka. Ia tahu sedang berhadapan dengan siapa, namun sekarang ia hanya memandangi kaki sendiri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak tahu apa yang harus diucapkannya, ketiga perempuan ini penting dalam kehidupannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Salah satunya adalah kekasih hatinya, demi perempuan ini ia telah merasakan berbagai penderitaan dan siksaan, bahkan siap berkorban demi dirinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seorang lainnya adalah penolong dirinya, yang seorang lagi telah menyerahkan segalanya bagi dirinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mereka bertiga telah mengorbankan segalanya bagi dirinya, kini secara tiba-tiba berkumpul bersama di sini, sekarang apa yang bias ia perbuat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ombak di luar tenang, perasaan orang dalam ruang kapal justru bergelora.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba Hong Si-nio tersenyum dan berkata, "Tampaknya penyamaran kami sangat bagus, sampai Siau Cap-it Long sendiri tidak mengenali kami."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tertawa, "Untung aku masih mengenali suaramu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau kau sudah mengenali kami, kenapa tidak menyuguh arak?" tegur Hong Si-nio sambil bertolak pinggang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long segera menuang arak, sewaktu menuang ia melirik ke arah Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia tahu Hong Si-nio takkan membiarkan dirinya sengsara, ia lebih suka diri sendiri tersiksa dan menderita.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mendekatinya, mengangkat cawan arak itu dan ditenggaknya habis, setelah itu katanya, "Arak bagus!"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tentu saja arak bagus.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Arak ini adalah Li-ji-ang berusia 30 tahun," katanya tertawa, "kalau ingin menikmati arak jenis ini paling enak kalau ditemani masakan kepiting dari Yang-ting-ouw."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Akan kumasakkan kepiting untuk teman arak," kata Pin-pin tiba-tiba sambil bangkit berdiri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku ikut," seru Hong Si-nio, "masalah kepiting rasanya aku lebih pintar dari kau."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bila mereka berempat berkumpul, tentunya tempat itu akan terasa sempit. Kesempatan ini digunakan mereka berdua untuk mengundurkan diri dari situ.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mereka sengaja memberi kesempatan kepada Siau Cap-it Long dan Sim Bik-kun untuk saling bicara. Namun Sim Bik-kun hanya berdiri mematung, memandang ke tempat jauh dengan pandangan kosong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya Sim Bik-kun berkata dengan suara perlahan, "Di meja sudah ada kepiting."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di atas meja memang sudah tersedia kepiting. Pin-pin dan Hong Si-nio tahu hal ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mereka tak habis mengerti mengapa Sim Bik-kun justru tak membiarkan mereka pergi agar dirinya bisa bicara berdua dengan Siau Cap-it Long. Apakah ia tak ingin bicara dengan Siau Cap-it Long? Atau dia tak berani?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada wajah Siau Cap-it Long tampak sedih, namun ia tetap tersenyum, "Kepiting itu masih hangat, memang cocok untuk teman minum arak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arak sudah mengalir ke dalam perut, namun kemurungan tetap saja menyelimuti hati masing-masing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tetap tertawa, bicara juga paling banyak, apalagi setelah meneguk beberapa cawan arak. Katanya, "Apakah benar di tubuhmu ada toh hijau?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Harusnya dia tak perlu bertanya, semua orang tahu apa yang dikatakan si buta itu adalah benar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan tertunduk, terpaksa Pin-pin menjawab lirih, "Benar!"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah benar berada di pantat?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Muka Pin-pin merah jengah, dengan tersipu dia menunduk makin dalam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebenarnya hal ini merupakan rahasia pribadinya. Lalu dari-mana si buta tahu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio berpaling mengawasi muka Siau Cap-it Long, seakan bertanya apakah dia tahu juga akan hal ini?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajah Pin-pin semakin jengah, ujarnya, "Kecuali ibuku, hanya ada satu orang lain yang tahu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa?" tanya Hong Si-nio segera.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kakakku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siau-yau-hou?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio melengak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Setelah ibu meninggal, hanya tinggal dia seorang yang tahu akan rahasia ini," ujar Pin-pin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia bicara dengan tegas, dia memang bukan jenis perempuan yang sembrono.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bukankah kakakmu sudah mati?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajah Pin-pin semakin memucat, terbias rasa takut dan ngeri, ia hanya diam saja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio kembali bertanya, "Setelah kakakmu mati, apakah rahasia ini tidak diketahui orang lain lagi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pin-pin tetap bungkam, ia hanya melirik ke arah Siau Cap-it Long sekejap.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Muka Siau Cap-it Long ikut memucat, terpancar rasa ngeri di balik matanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Peristiwa apa yang membuatnya ngeri?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah peristiwa yang sama seperti yang dialami Pin-pin?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio sebentar melihat ke arahnya, lalu memandang Pin-pin, tanyanya, "Sebetulnya apa yang kalian pikirkan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak ada yang kami pikirkan," jawab Pin-pin dengan tersenyum paksa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi kalian menduga Siau-yau-hou belum mati?" desak Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pin-pin bungkam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long juga diam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Keduanya seakan mengakui dugaan itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Melihat perubahan mimik kedua orang ini, Hong Si-nio ikut bergidik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia kenal siapakah Siau-yau-hou.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang ini memang lihai, tak ada persoalan yang tak sanggup dia lakukan. Tidak heran, seandainya ada orang yang bisa bangkit dari kematian, maka orang itu adalah dirinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long hanya menyaksikan tubuhnya tercebur ke dalam jurang, tapi dia tidak melihat jasadnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali Hong Si-nio meneguk secawan arak, lalu berkata dengan tersenyum, "Rasanya tak mungkin si buta itu adalah dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab Siau-yau-hou orang cebol, sedang si buta tidak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mungkin saja dia bukan orang cebol sejak lahir."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bagaimana bisa begitu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang baru aku tahu, mustahil seorang cebol bisa meyakinkan ilmu silat sedemikian lihai."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Yang jelas dia seorang cebol."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menepekur sejenak, kemudian tanyanya, "Apakah kau pernah mendengar bayi khikang dari agama To?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tentu saja Hong Si-nio pernah mendengar. Setiap orang yang berlatih ilmu kebatinan, pasti memiliki tenaga murni, bila tenaga murni sudah terbentuk, maka wujudnya seperti bayi, bayi inilah yang seringkali keluar dari badan kasarnya untuk berkeliaran.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang berwujud bayi inilah yang disebut bayi khikang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi itu hanya ada dalam dongeng."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Benar, tapi dongeng bukannya tanpa dasar dan fakta."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Fakta bagaimana?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Konon ada semacam kepandaian, bila dilatih sempurna, maka tubuhnya bisa menyusut bagai seorang bocah," Siau Cap-it Long menjelaskan, "kepandaian itu disebut Kiu-coan-huan-tong."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Pernah kau saksikan kepandaian ini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Belum."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi kepandaian inipun cuma dongeng belaka?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mungkin saja."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau pun menduga Siau-yau-hou menguasai kepandaian ini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jika ada orang yang berhasil melatih kepandaian ini, orang itu pastilah dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tak sanggup tertawa lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bila ada orang menguasai kepandaian itu hingga puncak kesempurnaan, ketika terluka, tenaga murninya pasti akan buyar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tetap diam, hanya mendengarkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long melanjutkan, "Kalau orang yang menguasai kepandaian itu terluka parah, maka wujudnya akan kembali pada bentuk sebenarnya." Setelah menghela napas, katanya pula, "Pin-pin bukan orang cebol, ketika dia mulai tahu urusan, Siau-yau-hou sudah menjadi jagoan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena itu kau beranggapan Siau-yau-hou bukan orang cebol, tapi karena menguasai kepandaian semacam itu?" kata Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hm."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena dia jatuh ke jurang dan terluka parah, maka wujudnya kembali seperti semula?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long diam tanpa menjawab, hakikatnya dia sudah beberapa kali menghadapi peristiwa yang tidak masuk akal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebenarnya Hong Si-nio ingin tertawa, namun melihat perubahan wajah orang, dia pun urung tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi kau tetap menduga si buta itu adalah Siau-yau-hou?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mungkin saja."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apa dasarnya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kecuali Siau-yau-hou, si buta ini terhitung jagoan tangguh yang pernah kuhadapi, bukan saja serangannya aneh dan lihai, lengannya bisa meliuk-liuk seperti ular."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio percaya, ia sendiri ikut menyaksikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ilmu itu disebut Yoga," Siau Cap-it Long menjelaskan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Yoga!?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, berasal dari Thian-tok (India)."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi kepandaian si buta dari Thian-tok?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Paling tidak ia pernah belajar Yoga, konon ilmu Kiu-coan-huan-tong juga berasal dari Thian-tok."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Lalu apalagi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Wajah si buta tidak keruan, biji matanya sudah berubah menjadi kuning, mungkin ia telah minum racun Kim-kwa-lo, rumput beracun yang hanya tumbuh di lembah pembunuh."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rumput beracun Kim-kwa-lo tumbuh di sepanjang tebing lembah, bila layu bisa dipakai sebagai bahan pewarna, biasanya dipergunakan orang Tibet.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jubah kaum Lhama berwarna kuning memakai bahan ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kim-kwa-lo termasuk jenis rumput langka dan beracun jahat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi orang yang telah minum racun Kim-kwa-lo mukanya jadi begitu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau tidak mampus, biasanya akan berubah seperti itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menghela napas panjang, katanya, "Tampaknya apa yang kau ketahui lebih banyak ketimbang diriku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long kembali tertawa paksa, sahutnya, "Belakangan ini aku banyak membaca buku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tak kusangka kau ada waktu untuk membaca."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ilmu silatku pun banyak bertambah maju."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Pernah kudengar dari si buta."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jika ia tak pernah menempurku, darimana dia tahu?" setelah menghela napas ia menambahkan, "Yang jelas tiada seorang pun yang bisa melihat hal yang tak bisa dilihat orang lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kecuali Siau-yau-hou, tak ada orang kedua yang tahu rahasia Pin-pin."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long terdiam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangan Hong Si-nio berkeringat dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jangan-jangan orang yang dipelihara anjing adalah dia?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang yang dipelihara anjing?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tiong-cu dari Thian-tiong itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau pun tahu soal Thian-tiong?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Biarpun buku yang kubaca tidak banyak, tapi persoalan yang kuketahui justru tidak sedikit," kata Hong Si-nio sambil tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah menenggak beberapa cawan arak kembali ia melanjutkan, "Bukan hanya soal Thian-tiong, ketuanya si anjing kecil juga sudah kuketahui."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Darimana kau tahu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tentunya ada yang memberitahu padaku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Toh Lin."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa Toh Lin itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang yang mengajakku naik perahu delapan dewa."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Perahu delapan dewa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Masakah kau tak tahu perahu delapan dewa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak tahu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Belum pernah kau naik perahu itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Belum."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tertegun dibuatnya, apa yang diucapkan Siau Cap-it Long selamanya adalah benar. Ia heran bagaimana Siau Cap-it Long bisa tidak tahu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ingatkah kau ketika mereka mengundangmu minum arak di atas perahu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Nah, perahu itu adalah perahu delapan dewa."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"O, begitu, tapi aku tidak mengunjungi perahu mereka."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena penunjuk jalan yang membawaku ke sana tiba-tiba berubah pikiran."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena dia takut aku mampus dibokong orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa orang itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Seorang pemuda pengantar surat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maksudmu Siau Cap-ji Long?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long manggut-manggut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Padahal sudah kuduga pastilah dia, Siau Cap-ji Long mana tega menyaksikan Siau Cap-it Long mampus," setelah tersenyum sejenak lanjutnya, "dan kalau bukan dia, siapa yang sudi membantu Siau Cap-it Long."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan tertawa getir Siau Cap-it Long menyela, “Tapi tak kusangka bisa bersahabat dengan dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dia tidak jadi membawamu ke sana, lantas diajak kemana?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mencari seseorang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Pin-pin?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tentu saja Pin-pin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Demi Pin-pin siksaan apapun akan dihadapinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >XXV. PERMAINAN KEMATIAN</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long bukanlah orang yang mandah dituntun, tapi demi Pin-pin apapun akan dilakukannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pin-pin menundukkan kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun juga menundukkan kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengangkat cawan arak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long pun mengangkat cawan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Namun cawan-cawan itu sudah kosong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya Hong Si-nio pula yang mulai buka suara, katanya pada Pin-pin, "Hari itu, mengapa kau menghilang secara tiba-tiba?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tak biasa minum arak, maka sedikit mabuk, lalu aku minum teh untuk mengurangi pengaruh arak ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa tahu setelah minum teh justru dia tak sadarkan diri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Yang mencampuri teh dengan obat bius adalah Hamwan Sam-seng, namun yang membawa pergi adalah Hamwan Sam-coat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mereka persembahkan Pin-pin kehadapan si Raja hiu. Raja hiu ini justru tidak makan manusia, terhadap Pin-pin pun sikapnya sangat sungkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tampaknya dia ingin memanfaatkan diriku untuk memeras Siau-toako melakukan sesuatu tugas, makanya dia menahan aku," kata Pin-pin dengan menunduk, waktu menyebut "Siau-toako" nadanya sungguh mesra.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siau Cap-ji Long tak tahu tempat dimana aku dikurung," lanjut Pin-pin dengan lirih, "tapi tak kusangka justru dialah yang mengajak Siau-toako mencariku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun tetap diam seakan tidak mendengar. Hong Si-nio menghela napas, katanya, "Tak kusangka si Raja hiu punya murid seperti itu." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Muridnya itu tidak termasuk orang baik, tapi apakah juga termasuk sahabat yang baik?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tak menjawab, hanya tersenyum getir. Kembali Siau Cap-it Long mengangkat cawannya, cawan yang sudah diisi arak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mata Hong Si-nio semakin terang, katanya pula, "Kau tak pernah ke perahu delapan dewa, namun aku pernah ke sana."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi kau bertemu si Raja hiu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, tapi dia tiak melihat aku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kok bisa begitu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab orang mati tak bisa melihat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi si Raja hiu sudah mati?" berubah paras Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Bukan hanya dia yang mati, semua orang yang tercantum dalam undangan semuanya sudah mati, kecuali Hoa Ji-giok."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa yang membunuh mereka?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Seharusnya adalah kau."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang lain beranggapan begitu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tertawa getir.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio melanjutkan, "Senjata yang dipakai membunuh adalah sebilah golok, bahkan hanya dengan sekali bacokan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Memang kecuali aku, siapa yang bisa membunuh si Raja hiu hanya dengan sekali bacokan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya begitulah, siapa pula yang bisa membunuh Hamwan Sam-seng dengan sekali tebasan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tak bisa menebaknya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menggeleng, katanya pula, "Memangnya kau bias menebak?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Buat apa aku pikirkan, kejadian semacam ini bukan yang pertama kali bagiku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengawasinya. Kemudian mengangkat cawan untuk menutupi wajahnya, dia sama sekali tak berpaling ke arah Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah Sim Bik-kun sedang mengawasinya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimana perasaannya jika orang yang dicintainya difitnah orang?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba Siau Cap-it Long bertanya, "Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Untuk memenuhi sebuah undangan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Undangan siapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Undangan seseorang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Manusia yang dipelihara anjing."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Si pengundang tentunya dua orang bukan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hm."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Lalu siapa yang satunya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio meneguk araknya, kemudian baru menjawab, "Lian Shia-pik."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long terdiam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long memang merasa malu dan menyesal bila bertemu dengan orang ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio pun melanjutkan ucapannya, "Dimanakan mereka berjanji untuk bertemu? Bisakah kau duga?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menggeleng.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Di sini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Di kapal Cui-gwat-lo?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Saat bulan purnama di kapal Cui-gwat-lo."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bulan masih bulat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long memandang rembulan, kemudian menunduk. Ia tidak bertanya darimana Hong Si-nio tahu akan hal itu, juga tidak bertanya kepada Sim Bik-kun kenapa ia meninggalkan Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia hanya menduga Lian Shia-pik pasti mempunyai hubungan dengan semua peristiwa keji itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang Lian Shia-pik akan datang ke sini, sedangkan Sim Bik-kun berada pula di sini, ia tak berani membayangkan apa yang bakal terjadi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba Sinm Bik-kun berdiri, sambil memandang rembulan katanya, "Waktu sudah hampir pagi, seharusnya aku pergi dari sini." Seketika perasaan Siau Cap-it Long menjadi dingin. Seharusnya memang ia tidak berada di sini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi kemana ia bisa pergi?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mengawasi cawannya yang sudah kering. Sim Bik-kun tidak memandangnya, sekejap pun tidak. Siapa bilang ia tidak sedih? Siapa bilang ia tidak menderita? Namun tidak mungkin baginya untuk tetap tinggal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba Hong Si-nio melotot ke arahnya, "Kau benar-benar akan pergi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Walau kita datang berdua, tapi aku bisa pergi sendiri."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau akan pergi seorang diri?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menggebrak meja. "Tidak boleh jadi!"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa tidak boleh?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau belum menemani aku minum arak, masakah mau pergi begitu saja? Tak nanti kubiarkan kau pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun terperanjat, lalu tertawa paksa, "Jangan-jangan kau sudah mabuk."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Peduli aku mabuk atau tidak, kau tak boleh pergi dari sini," seru Hong Si-nio melotot.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun menggenggam tangannya, "Kalau kau memaksaku minum, aku akan minum, kemudian aku tetap akan pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kita datang berdua, seharusnya juga pergi bersama."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalian berdua tidak boleh pergi," mendadak terdengar seorang membentak nyaring.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Semua orang tahu watak Hong Si-nio, dia bilang mau datang pasti datang, bilang pergi pasti pergi, siapa sanggup menghalanginya, walau diancam dengan golok ia takkan peduli.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau-yau-hou pun tak sanggup menghalanginya, namun kini ada orang melarangnya pergi. Dengan tersenyum Hong Si-nio mengawasi orang itu, ternyata adalah Ong Bing yang sedang berjalan menaiki tangga.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seluruh tubuh Ong Bing basah kuyup, wajahnya masih tetap dingin kaku.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Barusan kau yang berteriak?" tegur Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hm."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau melarang aku pergi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hm."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >”Tahukah kau mengapa aku masih duduk di sini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing melotot padanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hong Si-nio melanjutkan, "Karena aku memang tidak ingin pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang ingin pergi pun tak mungkin bisa pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa? Memangnya kau ingin menahan aku?” Jengek Hong Si-nio sambil memicingkan mata.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hm."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sayang, kaki ini tumbuh di badanku, ketika aku ingin pergi, siapa pun takkan mampu menahannya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Biarpun kaki itu tumbuh di badanmu, bila kakimu itu yang ingin pergi, aku akan memotongnya," kata Ong Bing dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi kalau aku ingin pergi, kau akan memotong kedua kakiku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hm."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah menghela napas Hong Si-nio berujar pula, "Bila perempuan kehilangan kaki, betapa jeleknya dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing tertawa dingin, katanya, "Paling tidak lebih bagus daripada seorang lelaki yang wajahnya dipenuhi lubang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tak kulihat ada lubang di wajahmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Itu disebabkan aku tak pernah berhubungan dengan dirimu"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Lantas siapa yang pernah berhubungan dengan aku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Su-loji."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Su Jiu-san?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Masakah sudah kau lupakan dia?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah di wajahnya ada lubang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mengapa tidak kau lihat sendiri," kata Ong Bing tertawa dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >* * * * *</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di wajah Su Jiu-san memang telah bertambah dengan beberapa lubang, lubang bekas luka yang mematikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perasaan Hong Si-nio ikut sedih, bagaimanapun Su Jiu-san cukup dikenal olehnya, kesannya termasuk baik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak tahan lagi Hong Si-nio bertanya setelah menghela napas panjang, "Dimana kau temukan dia?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dalam air."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kukira tadi dia sudah pergi dari sini," kata Hong Si-nio lirih, "tak kusangka...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing mengepal tinjunya, serunya, "Kau pasti tak akan mengira ada orang melempar dia ke dalam air bukan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Benar, sama sekali tak kuduga."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tak tahu siapa yang telah membunuhnya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio hanya menggeleng.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing bertambah gusar, "Kalau kau tidak tahu, memangnya siapa yang tahu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan kaget Hong Si-nio mengawasinya, "Kenapa harus aku yang tahu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena kaulah pembunuhnya," damprat Ong Bing beringas. Hong Si-nio tertawa lagi, namun mimik tawanya tidak wajar. Siapa pun dia kalau dituduh sebagai pembunuh, pasti takkan bisa tertawa secara wajar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dari samping Hou Bu-pe sejak tadi mengawasinya, mendadak ia bertanya, "Bukankah kau sudah lama kenal Su Jiu-san?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang yang kukenal memang banyak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bukankah dia juga sudah mengenalmu sejak kau datang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengangguk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bukankah sejak tadi ia selalu membuntutimu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengiakan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau dia selalu di sampingmu, kalau ada orang membunuhnya, mungkinkah engkau tidak tahu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Hong Si-nio berjingkrak gusar, semprotnya, "Sudah kubilang tidak tahu, ya tidak tahu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia berjingkrak gusar, lebih garang dibanding Ong Bing, suaranya juga lebih keras dibanding teriakan Ong Bing. Jelas kelihatan ia sedang gugup.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maklum Hong Si-nio tidak tahu dan susah menduga kecuali dirinya siapa yang mampu membunuh Su Jiu-san di atas kapal ini, lalu membuangnya ke dalam air.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Yang pasti Su Jiu-san bukan jago yang gampang dihadapi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tahu," mendadak Siau Cap-it Long bicara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hou Bu-pe mengerut kening, "Kau tahu apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Paling tidak aku tahu satu hal," ujar Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Coba jelaskan," kata Hou Bu-pe.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Yang pasti tiada seorang pun di dunia ini yang berdiri diam mematung di tempatnya terus, apalagi membiarkan orang lain membuat lubang di mukanya, kecuali dia itu patung kayu," sampai di sini Siau Cap-it Long tertawa, lalu melanjutkan, "Su Jiu-san jelas bukan patung kayu, satu-satunya tokoh kosen di Kangouw yang mewarisi ilmu murni dari Thi-san-bun. Kalau sekarang ada orang menciptakan buku daftar senjata, kipas besinya itu mungkin masuk tiga puluh besar di antaranya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sepertinya tidak sedikit yang engkau ketahui," jengek Hou Bu-pe.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku juga tahu, umpama benar dia sebuah patung kayu, bila dilempar orang ke dalam air, tentu menimbulkan suara yang cukup keras. Aku yakin yang hadir di sini tiada yang tuli, kenapa kalian tidak mendengar orang tercebur ke dalam air?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Coba kau jelaskan," jengek Hou Bu-pe.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab dia tidak mati di atas kapal ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau tidak mati di atas kapal, memangnya mati dimana?" teriak Ong Bing penasaran.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Di dalam air," ujar Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dalam air?" seru Ong Bing pula.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Membunuh orang dalam air pasti tidak menimbulkan suara, maka orang yang berada di atas kapal tidak ada yang mendengar apa-apa."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tadi jelas dia masih berada di atas kapal, kenapa mendadak bisa berada dalam air?" semprot Ong Bing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tadi jelas aku berada di loteng, kenapa mendadak berada di lantai bawah?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau sendiri yang turun bukan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau aku sendiri bisa turun dari loteng, kenapa dia sendiri tidak bisa turun ke air?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing melenggong, "Baik-baik ada di kapal untuk apa dia turun ke air?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hal ini aku tidak tahu, kalau bisa, ingin aku tanya padanya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing tertawa dingin, "Sayang dia tidak bisa menjelaskan kepadamu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang ini jelas tidak mungkin menjelaskan kepadaku, tapi Su Jiu-san...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tidak yakin kalau orang ini adalah Su Jiu-san?" Tanya Ong Bing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau yakin dia adalah Su Jiu-san?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jelas yakin."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apa dasarmu kau yakin kalau ini mayat Su Jiu-san?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bersambung</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><b>BENTROK PARA PENDEKAR</b></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><b>Karya Gu Long</b></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><b>Jilid 16</b></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing melenggong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pakaian orang ini memang mirip Su Jiu-san, tapi raut wajahnya jelas tidak bisa dikenali lagi. Maklum siapa pun dia kalau mukanya berlubang besar, tampangnya tentu berubah mengerikan dan susah dikenali wajah aslinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kata Siau Cap-it Long lebih jauh, "Tiba-tiba Su Jiu-san menghilang, tahu-tahu engkau mengangkat mayat ini dari dalam air, maka engkau beranggapan orang ini adalah Su Jiu-san, padahal...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Padahal kenapa?" tanya Ong Bing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tawar suara Siau Cap-it Long, "Padahal kau sendiri sekarang tidak yakin kalau mayat ini adalah Su Jiu-san."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing tidak bisa menyangkal. Mendadak ia sadar bahwasanya dirinya tidak yakin, tidak punya bukti, tiada pegangan berani memastikan kalau mayat ini adalah Su Jiu-san.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hou Bu-pe berkata dingin, "Sepertinya kau beranggapan Su-loji sendiri yang turun ke air untuk membunuh orang ini, lalu didandani mirip dirinya, supaya orang beranggapan dirinya sudah mampus."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apa hal itu tidak mungkin?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa dia berbuat demikian? Kenapa mengelabui kami?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Silakan kau bertanya sendiri kepadanya," ujar Siau Cap-it Long kalem, "kecuali dirinya, kurasa tiada orang bisa memberi penjelasan kepadamu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ada sebuah perkataan ingin aku tanyakan kepadamu," desis Hou Bu-pe.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long sedang mendengarkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Beringas sikap Hou Bu-pe, suaranya meninggi, "Kalau mayat ini bukan Su Jiu-san, lalu dimana Su Jiu-san sekarang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long belum menjawab, seorang telah menjawab pertanyaan itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orangnya ada di sini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seorang perempuan yang berpendidikan, perempuan bangsawan, kalau orang sedang bicara, biasanya tidak berani menyeletuk bicara, tak berani campur bicara. Selama ini Sim Bik-kun dikenal sebagai perempuan dari keluarga bangsawan, tapi kali ini ia berani melanggar kebiasaan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dia ada di sini," wajahnya pucat, tapi sorot matanya memancar terang, menatap seorang dengan tajam, "Orang inilah Su Jiu-san.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >XXVI. TERBONGKAR KEDOKNYA</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau insan persilatan di Kangouw bilang banyak kaum Bulim mengenal Sim Bik-kun, komentar ini rasanya berlebihan, terlalu dibesar-besarkan. Insan persilatan yang mengenal dirinya, yakin tidak kalah banyak dibanding mereka yang mengenal Hong Si-nio. Bukan saja tahu bahwa Sim Bik-kun adalah wanita tercantik di Bulim, siapa pun tahu dia adalah perempuan suci anak bangsawan yang patuh aturan keluarga.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang tahu dan yakin perempuan yang punya watak sesuci dia pasti tidak akan sembarang bicara, dan takkan berbohong. Kalau tidak yakin, jelas ia tidak akan sembarang bicara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apa benar orang ini adalah Su Jiu-san?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pandangan seluruh hadirin beralih ke arah yang dituding Sim Bik-kun, mereka melihat seraut wajah yang aneh. Seraut wajah tanpa alis, tanpa hidung dan tanpa mulut. Seraut wajah kaku mirip topeng kayu. Yang dituding Sim Bik-kun ternyata bukan lain adalah si baju hijau yang bertutup muka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Yang hadir hanya sekilas memandangnya terus berpaling, siapa pun tak sudi lama-lama memandangnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajah itu tanpa mimik, hanya ada dua lubang, dua lubang hitam dan dalam. Sepasang bola mata dalam lubang kelihatan bercahaya, tajam bagai ujung senjata yang siap membuat lubang di tubuh orang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hou Bu-pe tidak memandangnya lebih lama, ia berpaling mengawasi Sim Bik-kun, lalu bertanya, "Kau bilang dia adalah Su Jiu-san?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan kencang Sim Bik-kun menggenggam jari-jari tangannya, kepalanya mengangguk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hou Bu-pe tertawa dingin, "Tapi waktu kami naik ke atas kapal, dia sudah berada di atas kapal."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang yang tadi itu bukan dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bukan dia?" seru Hou Bu-pe.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menimbrung, "Waktu Siau Cap-it Long menari dengan goloknya tadi, orang ini sudah berganti yang lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hou Bu-pe mengerut kening, tidak percaya. "Bukankah orang ini tadi pernah mcnghilang sejenak?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Waktu dia kembali, orangnya sudah berganti orang lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Berganti Su Jiu-san maksudmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tidak bisa membedakan," sahut Hong Si-nio, "tapi Sim ... kalau temanku ini bilang orang ini adalah Su Jiu-san, maka dia pasti benar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dia ...." Hou Bu-pe sangsi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Segera Hong Si-nio menambahkan, "Kalau tidak percaya, kenapa tidak kau buka tutup mukanya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak urung Hou Bu-pe berpaling mengawasinya dua kali. Muka yang ditutup itu jelas tidak kelihatan mimiknya, tapi dua bola mata yang setajam gurdi dalam lubang itu berubah menjadi lebih gelap, lebih dalam dan menakutkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau benar kau bukan Su Jiu-san, kenapa tidak kau perlihatkan wajah aslimu supaya dilihat orang banyak," demikian kata Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak kuat menahan emosi, mendadak Ong Bing berkata, "Kalau betul kau adalah Su-loji, cobalah kau bicara, jelek-jelek kita adalah saudara senasib sepenanggungan, memangnya aku membantu orang luar untuk memojokkanmu malah?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak si baju hijau menghardik keras, "Babi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing melenggong, "Apa kau bilang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dingin suara si baju hijau. "Aku bilang kalian adalah babi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mata Ong Bing membelalak lebar, berdiri terkesima seperti tidak mendengar atau mengerti perkataannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maklum reaksi lelaki ini memang tidak secepat orang lain. Si baju hijau berkata, "Sebaliknya kalian tahu siapa perempuan ini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Yang dituding adalah Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tadi Hong Si-nio sempat mengucap satu huruf "Sim", tapi semua yang hadir tiada yang memperhatikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hijau berkata, "Dia inilah Sim Bik-kun. Perempuan yang meninggalkan keluarga lantaran kepincut Siau Cap-it Long, demi Siau Cap-it Long, suami sendiri boleh dijual, lalu apa yang dia ucapkan kalian mau mempercayainya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rona muka Sim Bik-kun kelihatan pucat pias, namun sikapnya tampak tenang dan tegar. Beberapa kali Hong Si-nio bermaksud menukas perkataan si baju hijau, tapi ditarik olehnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya lampu menyinari wajahnya, kali ini ia tidak menundukkan kepala lagi, malah mengangkat kepala membusung dada. Sepertinya ia merasakan persoalan ini sudah bukan hal yang memalukan bagi dirinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Berdasar apa kau bilang aku adalah Su Jiu-san, kau punya bukti apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mukamu itu buktinya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau pernah melihat mukaku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Berani kau membuka kedokmu supaya hadirin bisa melihat wajahmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku sudah bilang, kedatanganku kemari bukan untuk ditonton orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau datang untuk membunuh orang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Betul."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang saatnya kau membunuh orang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"0? Ya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Begitu tutup mukamu dibuka, paling sedikit ada seorang akan roboh terkapar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau bukan aku, pasti engkau."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau aku bukan Su Jiu-san, kau rela mati?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Akur."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hijau tertawa dingin, jengeknya, "Putusan ngawur kurang bijaksana, kau pasti mampus."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Memangnya sedang kutunggu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa tidak kau kemari membuka sendiri kedokku? Tidak berani bukan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun tidak bicara lagi, tapi kakinya melangkah menghampiri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menarik napas pendek, sampai sekarang baru ia menyadari Sim Bik-kun ternyata sudah berubah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Awalnya ia pantang bicara menyinggung perasaan orang, tapi apa yang tadi diucapkan sungguh amat tajam, setajam ujung golok.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bahwasanya Sim Bik-kun adalah perempuan yang lemah lembut, tapi sekarang berubah menjadi wanita yang penuh tekad dan pemberani.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mengawasinya melangkah ke sana, tidak mencegah atau merintanginya, sebab hatinya teramat bangga.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bangga akan keberaniannya, bangga oleh tekadnya yang teguh.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Betapapun sekarang dia sudah berdiri, bukan orang yang berdiri dipapah orang lain, tapi beidiri dengan tenaga dan kekuatan sendiri, berdiri dengan dua kaki sendiri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak tahan Hong Si-nio berteriak memperingati, "Awas, hati-hati dia membokongmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa berpaling Sim Bik-kun menjawab, "Dia tidak berani."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab aku sudah melihat jelas wajah aslinya, juga tahu siapa majikannya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Yaitu...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Baru sepatah kata, dari luar kabin mendadak seorang menerjang masuk seraya berteriak, "Nona Sim, buat apa kau tempuh bahaya. Biar aku saja yang menyingkap kedoknya." Habis perkataannya, orang itu sudah berada di depan si baju hijau, tubuhnya kurus pendek, gerak-geriknya selincah kera, siapa lagi kalau bukan Ciangbunjin Sing-gi-bun aliran selatan, Jong-wan Hu It-gwan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Melihat Hu It-gwan menerjang ke depannya, sepasang bola mata si baju hijau yang tersembunyi tampak mengkeret ngeri, kelihatan lebih kaget dibanding orang lain.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau ...." sepertinya dia ingin bicara. Tapi Hu It-gwan bergerak lebih cepat, secepat kilat meraih tutup mukanya. Maka terdengar suara "Plok" yang keras, lelatu api berpijar, tutup muka yang terbuat dari kayu tebal itu mendadak pecah berantakan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jerit kesakitan berkumandang dalam kabin, cepat sekali Hu It-gwan berjumpalitan mundur di tengah udara, dimana tangannya membalik, ia taburkan segenggam Siang-bun-ting, lalu dengan gerakan Hwi-niao-to-lin (burung terbang pulang ke hutan), tubuhnya siap menerobos jendela.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Betapa telengas scrangannya, sungguh tepat dan cepat, semua yang hadir tak menduga sebelumnya. Terutama Siang-bun-ting atau paku pelenyap sukma yang ditaburkan itu teramat ganas dan jahat, tiga belas bintik sinar seluruhnya diarahkan ke tubuh Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sudah dalam perhitungannya, Siau Cap-it Long dan lain-lain pasti berusah menyelamatkan jiwa Sim Bik-kun lebih dulu, dan tidak sempat memperhatikan dirinya lagi. Tapi ia melupakan si baju hijau yang sudah ia robohkan, ia menilai rendah seorang yang kecundang oleh perbuatan kejinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Muka si baju hijau babak-belur tak keruan, berlepotan darah, karena menahan kesakitan, tubuhnya bergetar dan menggigil, dua tulang pundaknya hancur. Tapi biar mampus ia tidak membiarkan Hu It-gwan melarikan diri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Karena tulang pundak hancur, dua tangannya lumpuh, tapi ia masih punya mulut, giginya masih mampu bekerja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Baru saja Hu It-gwan menerobos lewat jendela, mendadak ia rasakan tungkai kakinya kesakitan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata si baju hijau menggigit kakinya, mirip hewan kelaparan yang menggigit mangsanya, begitu tergigit, mati pun takkan dilepaskan. Kembali berkumandang lolong kesakitan yang keras, yang menjerit kesakitan kali ini adalah Hu It-gwan. Tubuhnya terbanting ke dalam jendela, dengan gerakan Le-hi-ta-ting (ikan lele meletik), ia masih berusaha melompat keluar melarikan diri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi kepala si baju hijau mendadak menyeruduk bagian tengah antara dua pahanya. Hu It-gwan menjengking sambil memeluk perut, tubuhnya jungkir balik di lantai, air mata, liur dan hidungnya meleleh, wajahnya berkerut menahan sakit yang luar biasa. Kejap lain, yang hadir di kabin mencium bau tidak sedap, ternyata celananya basah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiap manusia pernah hidup. Tiap manusia akhirnya pasti mati. Tapi ada sementara orang hidup miskin merana, waktu mati tetap miskin merana, kalau benar demikian. itulah yang dinamakan derita yang patut dibuat sedih.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hijau rebah telentang di lantai, napasnya memburu, selebar mukanya berlepotan darah, mulut pun menghamburkan darah, darah di tubuhnya bercampur darah musuhnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak si baju hijau mcngeluarkan suara lirih lemah. "Losam ... Losam ...." dia mcmanggil saudaranya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mungkin masih ada orang yang sangsi, siapa dia sebenarnya, setelah mendengar panggilannya. orang sudah maklum adanya. Ternyata pandangan dan tudingan Sim Bik-kun tidak salah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Muka Hou Bu-pe tampak kuyu, katanya setelah menghela napas panjang, "Apakah yang telah terjadi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Suara Su Jiu-san amat lirih seperti orang mengigau, terpaksa mereka berjongkok mendekatkan telinga. "Lotoa, aku salah," desahnya, "jangan kalian berbuat salah lagi, musuh besarmu bukan Siau Cap-it Long, bukan dia yang harus dibunuh, yang patut mampus adalah .... "</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan kencang Hou Bu-pe menggenggam tangannya, Su Jiu-san menggeliat kesakitan, dari mulutnya keluar tiga huruf kata, sayang suaranya teramat lemah, tiada orang bisa mendengar. Siapakah orang yang pantas mampus? Siapakah orang pertama si baju hijau?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dalam peristiwa ini ternyata mereka sudah bersekongkol."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Betul."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hu It-gwan sudah tahu bahwa si baju hijau yang pertama sudah menyingkir dan diganti oleh Su Jiu-san, maka dia menghentak dengan Gun-gwan-it-khi-kang untuk melindunginya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Benar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi tanpa sebab tak mungkin mendadak Su Jiu-san lenyap bukan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maka mereka sudah mempersiapkan jenazah orang lain, supaya orang berpendapat Su Jiu-san betul sudah mati, mampus di tangan Hong Si-nio."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing mengepal sepasang tinjunya, geram sekali hatinya, "Si tua kera itu malah menyuruhku pergi mencari jenazah orang itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena dia menghendaki kau melabrak dan mengadu jiwa dengan aku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajah geram Ong Bing tampak merah jengah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tidak mencari perkara padanya, dengan suara lembut ia berkata, "Kalau aku jadi engkau, aku pun akan berpikir demikian. Rencana ini sungguh rumit dan jahat. Kurasa mimpi pun mereka tidak menyangka ada orang dapat memecahkan rahasia mereka."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapakah si baju hijau yang pertama?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kenapa dia menyingkir?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah menyingkir kenapa diganti orang lain?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kenapa Su Jiu-san mau menggantikan dia?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebetulnya apa maksud mereka? Bagaimana asal-usulnya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang aku hanya ingin tahu satu hal," kata Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Satu hal apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku hanya tahu mereka pasti orang-orang Thian Cong."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Thian Cong itu apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ong Bing masih ingin bertanya, Hou Bu-pe mendadak berdiri, katanya perlahan, "Urusan itu kalian tidak perlu tahu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena kami harus segera pergi." Sorot matanya memandang ke tempat jauh, bukan mcngawasi Siau Cap-it Long, namun ucapannya ditujukan kepada Siau Cap-it Long, "Mungkin kami tidak pantas datang kemari." Lalu tangan Ong Bing ditariknya, tanpa menoleh mereka beranjak pergi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak lama kemudian terdengar "Byuur, byuur" dua kali, ternyata mereka tidak menunggu kapal datang menyemput mereka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebetulnya mereka tidak perlu buru-buru pergi," kata Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Yang harus pergi kan hanya mereka berdua, kapal penyeberangan tidak lama lagi pasti datang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sorot matanya memandang ke arah nan jauh, selama ini tidak pernah ia mengawasi Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lalu perkataannya ditujukan pada siapa? Mendelu hati Hong Si-nio, entah demi dia? Atau demi Sim Bik-kun? Atau untuk diri sendiri? Sebelum ia membuka suara, Sim Bik-kun sudah berkata, "Malam ini, mungkin tiada perahu penyeberangan lagi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bola mata Hong Si-nio seketika cemerlang, tanyanya, "Kenapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena yang harus pergi sudah pergi, buat apa perahu penyeberangan datang lagi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi engkau ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Sim Bik-kun tertawa lebar, katanya, "Biar kulihat apakah arak di lantai atas sudah habis, kalau kau tidak berani minum, mumpung ada kesempatan lekaslah kau minggat saja."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengawasi orang naik ke loteng, Hong Si-nio tertawa riang, katanya menggeleng kepala, "Aku ini juga perempuan tapi isi hati perempuan, sungguh aku tidak paham."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long juga tertawa, tertawa getir.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio juga memandang jauh ke depan, tidak melirik padanya, "Tapi, syukurlah, aku mulai paham satu hal."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long diam, sedang mendengarkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengerling sekilas padanya, suaranya sendu, "Sekarang aku sadar, aku mengerti, bagaimana perasaan seorang yang difitnah orang lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long berdiam diri, akhirnya manggut-manggut, "Ya, memang tidak enak rasanya ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jarang orang membiarkan sisa arak dalam cawan, orang juga jarang membiarkan air mata membasahi pipi, begitulah manusia macam mereka. Begitu terisi penuh, cawan itu segera akan kosong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukan mereka benar-benar ingin menikmati minum arak, bagi mereka arak tak lebih hanya sebuah alat, alat yang dapat membuat manusia lupa diri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Padahal mereka juga sadar, maklum dalam hati ada sementara persoalan yang tidak mungkin bisa dilupakan selamanya ....</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau sorot mata Hong Si-nio tampak bercahaya, pandangan Sim Bik-kun sebaliknya seperti diliputi kabut tebal. Secangkir demi secangkir mereka minum dan minum, mereka tidak mengajak orang lain minum juga tidak banyak bicara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sepanjang pergaulan mereka belakangan ini, tidak pernah terbayang oleh Hong Si-nio bahwa Sim Bik-kun juga bisa dan mampu minum arak sebanyak itu, tidak habis mengerti kenapa dia mau minum arak secara demikian. Hong Si-nio maklum, pasti bukan untuk melupakan sesuatu, karena semua peristiwa itu sepanjang hidup takkan bisa dilupakan. Lalu untuk apa ia berbuat demikian? Apakah dari relung hati yang paling dalam ingin melimpahkan perasaannya, tapi tak berani melimpahkan di hadapan orang? Bukankah arak dapat menambah keberanian orang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Hong Si-nio menurunkan cawan araknya, "Aku tak mau minum lagi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?" tanya Sim Bik-kun mengerut alis.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena bila aku mabuk, aku tidak bisa mendengar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak mendengar apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak mendengar apa yang kau ucapkan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tidak bilang apa-apa, tidak omong apa-apa."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi aku tahu banyak omongan yang ingin kau bicarakan, yang pasti cepat atau lambat, sekarang atau besok kau pasti bicara."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pantasnya ia tidak omong begitu, tapi air kata-kata banyak masuk perut, tak kuasa ia menahan diri, mulut pun mudah mengoceh sembarangan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun jelas masih bisa mendengar omongannya, perlahan ia turunkan cawan di meja, wajahnya seperti dilapisi halimun tipis, mendadak ia berkata, "Kalian tahu tidak, siapa si baju hijau yang pergi itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kabut tebal menyelimuti permukaan danau, waktu segulung angin berhembus, segulung kabut menerobos jendela masuk ke kabin, bila menengadah melihat luar jendela, rembulan sudah tergantung jauh di ufuk langit.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kabut seperti membungkus sekujur tubuh mereka, perlahan Sim Bik-kun beranjak keluar, berdiri bersandar di pagar kayu, memandang jauh ke kabut di tengah danau, seolah ia lupa menjawab pertanyaan yang diajukan tadi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio justru mengulang pertanyaan tadi, "Kau sudah tahu siapa si baju hijau itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Suara Sim Bik-kun perlahan, "Kalau kau mau sering memperhatikan gerak-geriknya, akan kau temukan beberapa segi perbedaannya dengan orang lain." Ucapan ini jelas bukan jawaban, tapi dengan sabar Hong Si-nio pasang kuping mendengarkan dengan seksama.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tiap orang pasti punya ciri khas yang berbeda dengan orang lain, kadang hanya gerakan kecil yang tidak diperhatikan orang lain, tapi bila engkau lama bergaul dengan dia, hidup cukup lama bersama dia, sekecil apapun perbedaan itu, kau pasti akan dapat melihat cirinya itu," sampai di sini ia berhenti.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tetap diam. mendengar dengan sabar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maka, umpama ia mengenakan kedok muka, kau akan tetap dapat mengenalinya," dengan suara perlahan, lebih tegas Sim Bik-kun meneruskan, "Begitu berada di sini, perasaanku lantas berkata bahwa aku kenal orang ini, kenal siapa si baju hijau itu. Maka aku mulai memperhatikan dirinya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya tak tahan Hong Si-nio bertanya, "Maka begitu mereka berganti orang, kau lantas dapat membedakan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun manggut-manggut, tapi kepalanya tidak berpaling.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Darimana kau dapat membedakan kalau orang kedua adalah Su Jiu-san adanya"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab dalam kebiasaan hidupnya ia selalu memegang kipas, tangannya tak pernah berhenti menggerakkan kipas lipatnya itu, maka biar tangan tidak memegang kipas, tangannya tetap bergerak seperti kalau ia memegang kipas."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lama Hong Si-nio terbenam dalam renungannya, akhirnya bertanya, "Bagaimana dengan Lian Shia-pik? Ada perbedaan apa dia dengan orang lain?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang ia maklum bahwa si baju hijau yang pertama itu adalah Lian Shia-pik, kecuali Lian Shia-pik, perempuan mana yang pernah hidup bersama Sim Bik-kun selama itu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku yakin kau tahu kalau dia akan datang memenuhi janji itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa Siau Cap-it Long juga berada di Cui-gwat-lo, maka dia merasa perlu datang dahulu ke sini melihat keadaan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mungkin mereka sudah tahu kalau Siau Cap-it Long sudah berada di Cui-gwat-lo, maka tempat perjanjian pertemuan itu mereka tentukan di sini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untuk kali ini di hadapan orang lain ia menyebut nama Siau Cap-it Long tanpa ragu atau canggung, kini sikapnya betul-betul tenang, tapi waktu menyebut nama orang, suaranya terdengar agak aneh. Hong Si-nio menghela napas, "Apapun persoalannya, yang pasti dia sudah datang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, dia sudah datang," ujar Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau dia sudah datang, kenapa harus pergi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mungkin mumpung ada kesempatan, ia harus mengatur rencana lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau ia harus pergi, kenapa Su Jiu-san harus menggantikan kedudukannya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena dia perlu seorang tetap hadir di sini untuk melihat perkembangan situasi dan kondisi di sini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bila dia datang kembali, dia bisa mengelabui mata kuping orang lain, begitu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sembarang waktu mereka bisa ganti berganti orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Menurut pendapatmu, mungkin tidak dia kembali?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Pasti datang." sahut Sim Bik-kun, suaranya terdengar berubah aneh, "Dia pasti akan datang, maka aku harus segera pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Saat Lian Shia-pik datang, adalah waktu penentuan kalah menang, atau mati hidup antara Lian Shia-pik dengan Siau Cap-it Long. Dua orang itu, yang satu adalah suaminya, seorang lagi adalah orang penting dalam kehiduapannya; peduli siapa menang atau kalah di antara kedua orang ini, ia pantang hadir dan menyaksikan dari pinggir. Maka ia harus menyingkir.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi kau tidak menyingkir."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, aku tidak menyingkir."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau masih berada di sini supaya ada kesempatan melimpahkan perasaanmu ini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Masih ada omongan yang ingin kuucapkan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Coba jelaskan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Beberapa hari belakangan ini, tentu kau merasakan aku banyak perubahan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio memanggut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dapat kau menerka kenapa aku berubah?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tidak bisa menerka."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Seorang kalau sudah bertekad, sudah mengambil keputusan, dia pasti berubah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau sudah mengambil keputusan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun mengangguk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Keputusan apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku bertekad akan memberitahu kepadamu satu hal," kata Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mendengarkan, tiba-tiba relung hatinya diliputi perasaan takut dan ngeri yang tak berani ia bayangkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak ia rasakan persoalan yang akan disampaikan Sim Bik-kun adalah kejadian yang amat menakutkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kuberitahu padamu. Hanya engkaulah teman hidup Siau Cap-it Long yang paling baik, paling cocok, dan hanya kau seorang yang betul-betul memahami dirinya, mempercayainya, kalau dia membiarkanmu pergi, maka dia orang dogol, dia sudah pikun," selesai bicara mendadak tubuhnya melompat terbang dan "byuurrr" terjun ke dalam danau. Hong Si-nio melompat menerkam, namun sudah terlambat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio membanting kaki. serunya sambil berpaling, "Lekas ambil lentera, lekas bawa lentera kemari."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ucapannya ia tujukan kepada Pin-pin. Pin-pin duduk melamun di buritan, tanpa bergeming seperti tak mendengar teriakannya. Wajahnya yang pucat menampilkan mimik yang sukar ditebak. Sejak tadi ia sudah duduk mematung di tempat itu, namun tiada orang memperhatikan dirinya. Hong Si-nio kembali membanting kaki, tahu-tahu ia pun terjun ke dalam air.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Air danau dingin, perasaan Hong Si-nio lebih dingin, ia tidak melihat Siau Cap-it Long, juga tidak menemukan Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia ingin berteriak minta tolong, tapi begitu mulut terbuka, air danau yang dingin seperti ujung pedang tertelan dalam tenggorokan. Baru sekarang ia sadar dirinya tidak pandai berenang, dalam air dirinya pasti takkan bisa menolong orang, justru orang lain yang akan menolong dirinya, waktu ia sadar akan kesalahan ini, badannya terus melorot turun tenggelam ke dasar danau.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sepertinya kematian sudah dekat, amat dekat, anehnya dalam sekejap ini ia tidak merasa ngeri, tidak merasa takut menghadapi kematian. Sering kali orang bilang, pada detik-detik menjelang ajal, seorang kadang memikirkan banyak kejadian yang aneh-aneh.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >XXVII. SEMI BERAKHIR MIMPI PUN BUYAR</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi hanya satu hal terpikir dalam benaknya, apakah Siau Cap-it Long dapat menolong Sim Bik-kun?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekuatnya ia meronta ingin melompat keluar mencari mereka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia tak mampu melompat, sekujur badannya seperti dibetot oleh jari-jari tangan yang tidak kelihatan, di saat ia pasrah, di saat ia rasakan badannya makin dingin dan terjerumus ke tempat yang makin gelap. Mendadak dari tengah kegelapan itu ia lihat sepasang bola mata yang memancarkan cahaya, sepasang mata itu seperti berkembang menjadi puluhan pasang, puluhan pasang mata Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sudah pasti Hong Si-nio tidak ingin mati.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada detik-detik yang menentukan mati hidupnya itu, ia tidak pernah berdoa untuk diri sendiri. Dia hanya berdoa semoga sang maha pencipta melindungi Siau Cap-it Long, menemukan dan melindungi Sim Bik-kun. Sebab ia tahu, bila Sim Bik-kun mati, betapa duka lara Siau Cap-it Long akan makin keras, makin merasa dan jauh. Biar diri sendiri harus mati, berkorban demi Siau Cap-it Long, ia tidak rela sang pujaan dibebani derita yang berkepanjangan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long oh Siau Cap-it Long, sampai kapan baru kau akan menyelami, mengerti betapa perasaan Hong Si-nio padamu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apa kau akan menunggu hingga akhir hayatnya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >* * * * *</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hari sudah terang tanah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Betapapun panjang sang malam, akhirnya cuaca akan kembali terang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mentari muncul dari peraduannya, cahayanya yang gemerlapan membayang di permukaan danau. Kini sorot mata Siau Cap-it Long sudah tidak memancarkan cahaya, kalau sekarang kau melihat matanya, pasti tidak percaya bahwa lelaki ini adalah Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hanya seorang yang hatinya sudah beku, sudah hampa tanpa perasaan, sudah mati, maka ia akan berubah seperti itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bola matanya seperti mata ikan yang sudah kaku, bola mata ikan yang sudah beku, rona matanya jauh lebih menakutkan dibanding air mukanya. Pertama yang Hong Si-nio lihat adalah sepasang mata itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata Hong Si-nio tidak mati, waktu siuman badannya terasa hangat dan kering, tapi perasaannya, hatinya lebih dingin dibanding air danau yang paling dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab ia sudah melihat sepasang mata Siau Cap-it Long, ia tidak melihat Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sisa arak semalam masih berada di meja, di loteng kapal itu tiada orang ketiga, mungkinkah Pin-pin juga minggat diam-diam? Kursi berserakan, kabin kereta yang mewah dengan perabot serba mahal kini kacau balau, cahaya matahari yang menyorot masuk terasa guram, suasana terasa kosong dan hampa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimana dengan Sim Bik-kun?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah ia tidak menemukan dia?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah dia hilang ditelan air danau yang dingin itu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tidak berani bertanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Melihat sorot mata yang dirundung putus asa, ia tidak berani bertanya, tak perlu bertanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Aku masih hidup, Sim Bik-kun justru sudah mati.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia berhasil menolongku, Sim Bik-kun justru hilang untuk selamanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tidak bergerak, tidak bersuara, hatinya hancur, hancur lebur.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia menderita bukan lantaran kematian Sim Bik-kun, tapi demi Siau Cap-it Long. Sebab secara mendalam ia ikut merasakan betapa derita batinnya, betapa pilu hatinya, kecuali dirinya, yakin tiada orang kedua yang dapat meresapi derita itu, tiada orang dapat membayangkan betapa mengenaskan penderitaannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long duduk dekat pintu luar ruang kabin, pandangannya mendelong mengawasi permukaan danau. Alunan lembut air danau masih kelihatan begitu lembut, elok dan mempesona.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimana dengan Sim Bik-kun? Danau seindah dan sejernih itu, kenapa melakukan perbuatan yang begitu kejam, tega dan tidak kenal kasihan?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tidak bergerak, tidak buka suara. Pakaiannya yang tadi basah kuyup mulai kering ditiup angin musim rontok yang menghembus, air matanya pun sudah kering.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan Hong Si-nio berdiri, perlahan maju mendekati lalu duduk di sampingnya. Siau Cap-it Long tidak berpaling, tidak memandangnya. Hong Si-nio mengisi secawan arak lalu diangsurkan kepadanya. Siau Cap-it Long tidak menolak, tapi tidak mengulur tangan menerima cawan arak itu. Melihat pandangan matanya yang kosong, melihat rona mukanya yang membeku dingin, hampir Hong Si-nio tidak tahan ingin memeluknya kencang, menghiburnya dengan cara apa saja yang bisa ia lakukan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia tidak melakukan apa-apa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab ia tahu, dalam kondisi sekarang, bujukan dan rayuan macam apapun, bagi Siau Cap-it Long tidak lebih mirip ujung jarum yang menusuk hulu hatinya, semacam sindiran yang akan lebih membuatnya sedih dan lara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiada persoalan macam apapun di dunia ini yang bisa menghiburnya, peduli persoalan apapun kemungkinan besar justru bisa menusuk perasaan dan melukai hatinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Entah berapa lama mereka saling bungkam. Jidat Siau Cap-it Long sudah basah oleh keringat. Hong Si-nio menggigit bibir, sekuatnya ia menahan air mata, waktu ia mengangkat kepala, baru ia sadari mentari sudah doyong ke arah barat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu yang paling berharga dalam sehari telah berlalu tanpa terasa. Sekarang hembusan angin mulai terasa dingin, cahaya senja juga mulai guram. Mereka terus duduk begitu, diam tanpa suara, tanpa terasa sudah duduk berjam-jam lamanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio sudah merasakan badannya mulai penat, pantatnya mulai kesemutan, namun ia tidak berani bergerak. Bibirnya terasa kering, padahal cawan arak berada di tangannya, tapi tiada niat untuk meminumnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hembusan angin musim rontok mulai terasa dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Siau Cap-it Long berkata, "Bisa tidak kau berbicara?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Suaranya rendah lirih, tapi Hong Si-nio berjingkat kaget. Tak menyangka orang mau bicara, ia juga tidak mengerti harus bicara apa. Dalam keadaan dan kondisi sekarang, apa yang bisa ia bicarakan?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pandangan kosong Siau Cap-it Long tetap terarah ke tempat nan jauh, "Terserah mau bilang apa, yang penting kau bicara .... bicara dan bicara terus tanpa henti."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cukup lama mereka berdiam diri, kesunyian ini sungguh bisa membuat orang gila.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimana dengan Sim Bik-kun?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mestinya Hong Si-nio ingin mengajukan pertanyaan ini, tapi ia tidak berani mengemukakan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cawan diangkat ke mulut, secawan arak ia tenggak habis, lalu pelan-pelan ia turunkan cawan arak itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long berkata, "Mestinya banyak persoalan ingin kau bicarakan, kenapa kau tidak bicara?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku ...." Hong Si-nio ragu-ragu, suaranya perlahan, "aku pikir...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Pikir apa?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku ingin mencari Pin-pin."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak perlu kau mencarinya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak perlu?" seru Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena dia juga sudah pergi. Waktu aku kembali, dia sudah pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajahnya tidak menujukkan perubahan, tapi bola matanya tampak berkedip-kedip. Walau sudah mengerahkan setaker tenaga untuk mengendalikan diri, tapi ia sendiri tak mampu mengendalikan banyak perubahan yang terjadi di tubuhnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata Pin-pin juga sudah pergi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Betapapun Siau-yau-hou adakah saudara kandungnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bahwa kenyataan membuktikan dia belum mati, entah kapan dia pasti akan kembali.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau dia pasti akan datang, maka dia pasti harus pergi?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau Sim Bik-kun sudah pergi, kenapa dia tidak boleh pergi?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menggenggam kencang tangannya, kuku jarinya tembus melukai kulit daging sendiri. Mendadak ia amat membenci Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kini sudah akan tiba detik-detik menentukan mati hidup Siau Cap-it Long, dalam waktu sekejap itu, jiwa dan kebesaran nama baiknya, akan mengalami ujian berat yang menakutkan, kalau tidak hidup pasti mati.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kini saatnya dia perlu dihibur dan diberi semangat, dia malah tinggal pergi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tak mengira Pin-pin bisa pergi?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apapun yang kau pikir," tukas Siau Cap-it Long, "kau salah menduga."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena kau tidak memahaminya," kata Siau Cap-it Long, "maka kau takkan mengira kenapa dia pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tadi ia menganjurkan Hong Si-nio bicara, tapi berulang kali ia memutus omongan Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bahwa dia ingin Hong Si-nio terus bicara, mungkin karena ia sendiri juga ingin bicara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka Hong Si-nio bungkam, mendengar orang bicara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long memang meneruskan bicara, "Lama dan lama sekali, ia pernah memberitahu padaku, suatu hari bila dia ingin mati, ia akan pergi secara diam-diam, kemana pergi tidak memberitahu kepadaku, aku juga tidak boleh tahu." Kelopak matanya tampak kedutan, "Sebab dia tidak ingin aku melihatnya mati, dia rela mati secara diam-diam, mati sendiri tiada orang di sampingnya, dia tidak ingin aku bersedih karena kematiannya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mestinya bisa kupikir akan hal itu. Aku tahu dia wanita berwatak keras yang ingin menang sendiri, aku juga tahu cirinya itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi kau tadi pasti salah duga, untuk betul-betul memahami seorang memang tidak mudah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio segera bertanya, "Apakah penyakitnya kambuh kembali?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Justru karena penyakitnya makin memburuk, jelas tak mungkin ikut aku gelandangan, maka kami kembali dan menetap di sini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maka kau sengaja mengundang orang-orang gagah di daerah ini berkumpul di sini, maksudmu supaya ia melihat apakah di antara mereka ada anak buah Thian Cong?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan Siau Cap-it Long mengangguk, cukup lama baru berkata pula, "Aku berharap begitu mendengar beritaku di sini, segera kalian memburu ke sini, tapi tak nyana ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak nyana kedatangannya justru merupakan kesalahan besar yang tak mungkin dihapus untuk selamanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengalihkan perhatian, "Apa benar kau beranggapan si buta itu adalah Siau-yau-hou?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mungkin sekali adalah dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah dia pula orang yang memelihara anjing? Apakah orang yang berjanji pertemuan dengan Lian Shia-pik betul adalah dia?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kuharap betul dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab urusan yang harus dibuat perhitungan, cepat atau lambat kan harus diselesaikan, kalau bisa dibereskan sekaligus kan lebih baik, bukan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apa benar perhitungan ini bisa sekali beres? Antara budi dan dendam yang ruwet, mungkinkah bisa diselesaikan dalam sekali perhitungan?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mungkin hanya bisa dibereskan dengan satu cara. Kalau seorang sudah mati, maka dia sudah tidak berhutang apapun terhadap orang, orang lain juga takkan bisa menagih hutang padanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengawasinya, mendadak ia sadar tubuhnya sudah basah oleh keringat, karena mendadak hatinya diresapi rasa takut seperti yang dirasakan Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Siau Cap-it Long berkata, "Malam ini belum tanggal lima belas, kita masih bisa mabuk-mabukan lagi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau ingin mabuk?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau mau menemaniku bukan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio berdiri, "Biar kucari arak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di bawah loteng masih ada arak, tapi sudah tiada manusia. Semua yang hadir tadi kini sudah pergi semua. bukan hanya tamu-tamu undangan yang pergi, semua kelasi, tukang masak, pokoknya semua petugas di kapal ini sudah pergi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kapal itu masih berada di tengah danau. Hanya mereka berdua yang masih tinggal di kapal itu, tempat ini kini menjadi dunia milik mereka berdua.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dapat bersanding dua-duaan dengan Siau Cap-it Long adalah cita-cita Hong Si-nio selama hidup, kejadian yang amat menggembirakan hatinya. Tapi saat itu ia merasakan dalam relung hatinya dirambati rasa ketakutan yang timbul dari ujung kakinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut, dengan memompa semangat ia menjinjing sebuah guci arak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Peduli apapun yang akan terjadi, sekarang mereka kumpul bersama. Umpama harus mati, baik atau buruk mereka akan mati bersama.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka dengan langkah lebar ia jinjing guci arak dan melangkah naik ke loteng.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sehari lagi telah berlalu, kini sudah tiba tengah malam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Guci arak berada di meja, Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio duduk berhadapan, mereka tidak menyinggung Sim Bik-kun, namun dalam sanubari mereka tetap mcngenangnya, bayangannya tetap terekam dalam relung hatinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba Siau Cap-it Long berkata, "Aku kenal kau mungkin sudah belasan tahun."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tepatnya enam belas tahun."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mulutnya terasa kering, relung hatinya amat getir, enam belas tahun, berapa kali enam belas tahun umur manusia?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sepanjang tahun ini, walau jarang kita bertemu, tapi aku tahu kau lebih memahamiku dibanding orang lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa bersuara Hong Si-nio manggut-manggut. "Maka aku mohon kau memaafkan aku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Memaafkanmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sepanjang hidupku kesalahan yang pernah kulakukan sungguh teramat banyak, pantasnya tidak patut aku minta maaf kepada orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang hidup, sebagai manusia biasa, siapa tidak pernah melakukan kesalahan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa pun yang pernah melakukan kesalahan, dia harus menebus dengan imbalan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menggenggam jari-jari tangan sendiri, "Imbalan apa yang ingin kau berikan? Mati?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menunduk diam, lama kemudian baru bersuara, "Hidup ini apa nikmatnya? Kenapa kematian dibuat takut."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menyela, "Maka kau ingin mati, maka kau ingin aku memaafkan engkau. Sebab kau sendiri tahu, kalau engkau mati, berarti berhutang budi kcpadaku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long juga menggenggam jari-jarinya dengan kencang, suaranya datar, "Kalau aku tidak mati, apakah aku tidak menyia-nyiakan dia?" Sebelum Hong Si-nio berkomentar ia menyambung, "Kalau di dunia ini tiada manusia macam diriku, mungkin dia bisa hidup senang, hidup tenteram dengan keluarganya, tapi sekarang...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Hong Si-nio berdiri, katanya, "Di bawah masih ada arak, akan kuambil satu guci lagi, aku masih ingin minum."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukan dia ingin mabuk, tapi tidak senang mendengar ucapannya, betapapun ia seorang perempuan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lampu-lampu di bawah loteng sudah padam seluruhnya, tangga loteng itu sempit dan gelap, dengan langkah gontai ia turuni anak tangga, terasa perasaannya seperti mengambang, sekujur badannya seperti kosong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya rembulan menyorot masuk lewat jendela, cahaya nan lembut temaram, waktu kakinya menginjak lantai dasar ia mengangkat kepala, mendadak ia rasakan ada seorang duduk mematung di kegelapan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa di situ?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang di kegelapan itu tidak bersuara, tidak bergerak. Hong Si-nio tidak bertanya lagi karena kini ia sudah melihat jelas seorang yang mengenakan baju hijau dengan warna dan kain yang kumal, sebuah tutup muka yang lurus persegi menutup mukanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hijau yang misterius itu datang lagi, yang datang kali ini jelas bukan Su Jiu-san.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa kau sebenarnya?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hijau tetap tidak bergerak, tidak bersuara, di tengah kegelapan, keberadaannya mirip setan dedemit yang datang hendak menagih nyawa orang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menarik napas panjang, katanya dingin, "Peduli kau orang atau setan, berani datang kemari, apa salahnya aku melihat wajahmu, kalau tidak, umpama benar kau ini setan, jangan harap bisa lari dari sini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sorot matanya tampak memancarkan sinar, keadaannya sudah mulai sinting. Kalau Hong Si-nio sudah mabuk, apa yang ingin dia lakukan, semua orang di dunia ini jangan harap ada orang yang bisa merintanginya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak ia menerjang masuk sambil meraih tutup di muka orang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang itu tetap tidak bergerak, cahaya rembulan kebetulan menyorot ke mukanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tertegun menjublek sesaat lamanya, akhirnya berseru, "Lian Shia-pik, ternyata benar engkau."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajah Lian Shia-pik memutih, bola matanya merah diwarnai darah, sepertinya dia juga pernah mengucurkan air mata.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dingin suara Hong Si-nio, "Bu-kau Kongcu yang biasa mengagulkan diri, sejak kapan kau malu bertemu dengan orang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sorot mata Lian Shia-pik dingin menatapnya tajam, wajahnya membeku seperti mengenakan kedok muka saja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tampang yang tidak memperlihatkan perubahan, ada kalanya paling memilukan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukankah Lian Shia-pik dengan Sim Bik-kun adalah pasangan yang menjadi pujaan orang banyak?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau Siau Cap-it Long tidak hidup di dunia ini, bukankah pasangan muda ini bisa hidup rukun dan bahagia?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Membayangkan pengalaman hidup sepasang muda-mudi ini, Hong Si-nio menjadi tidak tega, akhirnya ia menghela napas, "Kalau ingin minum arak, boleh kau ikut aku naik ke loteng, masih teringat tidak, dahulu kita pernah minum bersama bukan? Kita bertiga."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sudah tentu Lian Shia-pik masih ingat, kejadian waktu itu jelas takkan mudah dilupakan begitu saja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengawasi Hong Si-nio, tak tertahan ia juga menghela napas, di saat ia menghela napas itulah, mendadak Hong Si-nio melihat sebuah tangan terulur keluar. Sebuah tangan yang putih, tangan yang halus mulus dengan jari-jari lentik lagi runcing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Begitu melihat tangan ini, perasaan Hong Si-nio seperti tenggelam ke dasar danau. Ia kenal tangan ini. Di saat ia terkesima itulah tangan mulus itu mendadak bergerak secepat kilat memegang lengannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Didengarnya seorang berkata di belakangnya, "Masihkah kau ingat dahulu kita juga pernah minum bersama, hanya kita berdua saja." Senyum tawanya terdengar lembut dan halus, tapi Hong Si-nio tidak bersuara, jari-jari tangannya menggenggam kencang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hoa Ji-giok!</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak usah berpaling Hong Si-nio mengenali suara orang itu, ia tahu bahwa yang memegang lengannya adalah Hoa Ji-giok. Hong Si-nio menjadi ngeri dan merinding bulu kuduknya, ia rela dibelit ular atau digigit hewan beracun, tapi tidak rela dan merasa jijik disentuh orang ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jari jemari tangan Hoa Ji-giok yang lain justru memeluk pinggangnya, katanya tetap tersenyum, "Masih ingat tidak, arak yang kita minum di ruang pengantin malam pertama itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio membungkam, ia ingin berteriak, ingin tumpah, sekali tendang ia ingin membunuh orang ini, sayang dia hanya bisa berdiri mematung, diam tanpa kuasa. Meski badan dingin menggigil, beruntung ia melihat Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long berdiri di anak tangga, air mukanya lebih putih dibanding wajah Lian Shia-pik, suaranya dingin mengancam, "Lepaskan dia!"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hoa Ji-giok mengedipkan mata, sengaja bertanya, "Dia ini apamu, berdasar apa kau minta aku melepasnya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Lepaskan dia," kembali Siau Cap-it Long mengancam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tahu aku ini apanya? Tahukah kau, dia dan aku pernah sembahyang kepada langit dan bumi, masuk pelaminan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jari Siau Cap-it Long menggenggam kencang gagang golok.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Golok jagal rusa, tangan Siau Cap-it Long siapa tidak mengenalnya, siapa pun tokoh silat kosen bila melihat tangan itu menggenggam golok, siapa pun takkan mampu tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hoa Ji-giok justru tertawa riang, "Aku kenal golokmu itu, golok peranti membunuh orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tidak menyangkal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kata Hoa Ji-giok dengan tertawa, "Sayangnya, bila golokmu terlolos keluar, yang terbunuh mampus pertama bukan aku, tapi malah dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jari-jari Siau Cap-it Long yang menggenggam gagang golok memutih, namun sulit ia mencabut goloknya. Ia tahu apa yang diucapkan Hoa Ji-giok bukan main-main.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Malah berani kujamin," ujar Hoa Ji-giok lebih jauh, "orang kedua yang bakal mampus juga bukan aku, tapi engkau."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"O?" Siau Cap-it Long bersuara dalam mulut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Oleh karena itu, umpama dengan jiwamu ditukar dengan jiwanya, aku tetap tidak setuju, sebab ajalmu sudah pasti tak mungkin dihindarkan lagi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Memicing bola mata Siau Cap-it Long, ia rasakan dari kegelapan sebelah sana muncul lagi dua orang, tangan mereka membekal tiga batang senjata yang mengeluarkan sinar kemilau. Sebatang golok ganco yang diikat rantai dan sepasang Long-ge-pang yang terbuat dari perak murni. Dua jenis senjata yang berbeda, yang satu jenis lembut yang lain keras, jarang ada tokoh Bulim zaman ini yang menggunakan senjata jenis ini. Kalau ada orang mampu memakai jenis senjata ini, tak perlu diragukan, mereka pasti jago kosen.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Diam-diam perasaan Siau Cap-it Long mulai tegang. Ia insaf dalam kondisi seperti ini memang sukar dan tak berdaya menolong Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Hong Si-nio berteriak, "Tidak perlu kau berkorban bersamaku, kalau aku harus mati hari ini, kenapa tidak lekas kau pergi saja?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mengawasinya, sorot matanya menampilkan mimik aneh, entah marah? Rindu? Atau sedih?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hoa Ji-giok tertawa riang, "Kenapa kau menyuruhnya pergi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hoa Ji-giok berkata, "Sebab kau sendiri tahu, di dunia ini hanya ada Siau Cap-it Long yang mati terpenggal kepalanya, tidak pernah terjadi Siau Cap-it Long yang melarikan diri."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Gemeratak gigi Hong Si-nio, "Kalau begitu lekas kau bunuh aku saja."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tidak ingin melihat dia mampus?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tidak ingin melihat dia mampus di tangan manusia rendah dan picik macam tampangmu ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau aku atur supaya kau menyaksikan kematiannya, bagaimana?" ucap Hoa Ji-giok sambil mengulap tangan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka sinar gemerdep golok ganco dan Long-ge-pang mulai bergerak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Golok Siau Cap-it Long masih berada di rangkanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau belum boleh mati," ujar Hoa Ji-giok, "sebab selama kau masih hidup, dia takkan berani mencabut goloknya." Lalu dengan tersenyum lebar ia berpaling ke arah Siau Cap-it Long, "Sebab bila golokmu terlolos, maka kau akan menyaksikan kematiannya, kutanggung dia akan mampus lebih mengenaskan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Betapa cepat Siau Cap-it Long melolos golok, rasanya belum ada orang kedua yang mampu menandinginya, tapi dalam kondisi sekarang, ia rasakan goloknya itu seperti beban berat yang tak mampu digerakkan lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sejak tadi Lian Shia-pik mengawasinya dingin, sekarang tiba-tiba berkata, "Tanggalkan golokmu, akan kusuruh dia melepasnya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa tanya tanpa ragu, perlahan tapi pasti Siau Cap-it Long menanggalkan goloknya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Golok jagal rusa, golok yang diperolehnya dengan mempertaruhkan jiwa raga, sekarang seenaknya saja ia buang golok itu ke lantai.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bila dapat menolong jiwa Hong Si-nio, kepala sendiri boleh terpenggal, apa arti sebatang golok?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Hoa Ji-giok bergelak tawa, serunya "Sekarang sudah pasti dia mampus, kau juga pasti mampus."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Golok jagal rusa adalah golok peranti membunuh orang, kecepatannya ibarat golok itu membabat rumput layaknya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangan Siau Cap-it Long adalah tangan kilat yang menggerakkan golok secepat halilintar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Yakin tiada ketajaman golok macam apapun di dunia ini yang dapat menandingi ketajaman golok jagal rusa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Yakin tiada tangan siapa pun di dunia ini yang dapat memainkan ilmu golok menakutkan seperti yang dimainkan Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kini ia tidak mungkin mencabut golok, tidak berani melolos senjata, tapi sejauh golok masih berada di tangannya, tiada orang berani bertingkah di hadapannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang ia buang begitu saja golok yang mujizat itu. Mengawasi golok yang tergeletak di lantai, air mata Hong Si-nio bercucuran.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sampai sekarang baru ia paham benar, demi dirinya, ternyata Siau Cap-it Long rela mengorbankan segala-galanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bersambung</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><b>BENTROK PARA PENDEKAR</b></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><b>Karya Gu Long</b></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><b>Jilid 17</b></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan berlinang air mata ia mengawasi Siau Cap-it Long, hatinya manis dan kecut, senang juga berduka, akhirnya tak tahan menangis tergerung-gerung, serunya di tengah sedu sedannya, "Kau ini pikun, goblok. Kenapa selalu demi kepentingan orang lain, kau melakukan perbuatan sebodoh ini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tawar namun tegas suara Siau Cap-it Long, "Aku tidak pikun, tapi kau adalah Hong Si-nio."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hanya sembilan patah kata, diucapkan secara enteng dan jelas, tapi siapa tahu, betapa hangat perasaan yang terkandung dalam sembilan patah kata itu. Hancur luluh perasaan Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan Lian Shia-pik berdiri, lalu maju beberapa langkah</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >mengambil golok itu, secepat kilat mendadak mencabut golok. Gaya dan gerakannya mencabut golok ternyata juga cepat luar biasa. Sinar golok berkelebat, tahu-tahu sudah kembali ke sarungnya, tapi poci arak yang terbuat dari tembaga tahu-tahu sudah terbelah menjadi dua. Arak dalam poci meleleh keluar mirip darah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik mengelus rangka golok, sorot matanya memancar terang, gumamnya, "Golok bagus, sungguh golok kilat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bola mata Hoa Ji-giok juga memancar terang, katanya "Kalau bukan golok kilat, mana mampu memenggal leher Siau Cap-it Long."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik menghela napas panjang, "Siapa duga, golok ini akhirnya jatuh di tanganku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sejak awal sudah kuperhitungkan," ujar Hoa Ji-giok tertawa, "cepat atau lambat golok itu akhirnya menjadi milikmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Lian Shia-pik berkata dengan tatapan tajam, "Lepaskan dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mimik tawa Hoa Ji-giok seketika berubah beku, serunya, "Kau ... betul kau minta aku melepasnya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dingin suara Lian Shia-pik, "Memangnya kau anggap aku ini orang yang tidak dapat dipercaya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi kau...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apa yang pernah kukatakan tak pernah kujilat lagi," kata Lian Shia-pik tegas, "tadi aku bilang, bila dia menanggalkan golok, akan kubebaskan Hong Si-nio."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Benderang lagi bola mata Hoa Ji-giok, tanyanya, "Tapi kau tidak bilang, setelah membebaskan dia, lalu membiarkan dia pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, memang tidak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau juga tidak bilang akan membunuhnya dengan golok itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Juga tidak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hoa Ji-giok tertawa lagi, tawa lebar sambil melepas tangan, "Biar kulepas dulu baru kau membunuhnya, baik ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Gelak tawanya mendadak putus. Karena pada saat itulah sinar golok kembali berkelebat, sebuah lengan orang mendadak tertabas putus, lengan yang berlepotan darah. Gelak tawa itu berubah menjadi lolong kesakitan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukan lengan Hong Si-nio yang tertabas buntung, tapi lengan Hoa Ji-giok.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dingin suara Lian Shia-pik, "Tidak kubilang tidak akan membunuhmu bukan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hoa Ji-giok beringas, pekiknya, "Bila membunuhku, kau akan menye ...." Belum habis ia bicara, sinar golok kembali berkelebat, tubuh Hoa Ji-giok langsung roboh terkapar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sampai mati ia tidak pernah menyangka Lian Shia-pik bakal membunuhnya, siapa pun yang menyaksikan peristiwa ini juga pasti tidak akan menyangka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya rembulan tidak berubah, suasana malam tetap lengang. Angin yang berhembus mengandung bau amis.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perut Hong Si-nio seperti dikocok-kocok, rasa mual hampir membuatnya tumpah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Manusia macam apapun, peduli dia cantik, agung atau berkedudukan tinggi, kalau mampus dipenggal golok, keadaannya tentu amat mengerikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Selama ini Hong Si-nio tidak pernah melihat orang mati, tapi sekarang tak tahan untuk tidak melihatnya. Sebab sampai detik ini, ia masih belum percaya, bahwa Hoa Ji-giok benar sudah mampus.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengawasi mayat yang meringkuk di tengah genangan darah, hampir ia tidak percaya bahwa Hoa Ji-giok yang licik, licin mirip ular sanca beracun itu benar-benar sudah menjadi mayat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata darahnya juga merah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu golok menyambar lehernya, kepalanya terpenggal, jiwanya pun melayang, matinya sungguh teramat cepat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menarik napas panjang, mendadak ia sadar sekujur badannya basah kuyup oleh keringat dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >XXVIII. BERTINDAK JANGAN KEPALANG TANGGUNG</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya rembulan menyinari golok di tangan Lian Shia-pik, sinarnya yang kemilau mirip bayangan cahaya rembulan di permukaan air danau, golok itu putih bersih, tiada noda darah. Wajah Lian Shia-pik pucat, perlahan ia mengelus mata golok, akhirnya menarik napas panjang, katanya, "Senjata tajam yang tiada bandingan di dunia, nama besar golok ini tidak perlu diragukan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menatapnya tajam, sorot matanya menampilkan perasaan aneh, namun mulutnya tetap bungkam, orang lain jelas takkan ada yang mau bersuara, dalam keheningan, dalam kabin hanya terdengar deru napas orang yang berat. Long-ge-pang diturunkan, golok sabit itupun seperti menjadi guram. Dua orang ini diam-diam sudah siap minggat. Mendadak Lian Shia-pik melambaikan tangan, "Saudara Ho Ping, coba kemari, aku ingin bicara."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Golok sabit bimbang sejenak, akhirnya maju mendekat, dengan tawa dipaksakan bertanya, "Kongcu ada pesan apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku hanya ingin tanya satu hal."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tanya soal apa?" tanya Ho Ping.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tahukah kau kenapa aku membunuh Hoa Ji-giok?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ho Ping menggeleng kepala, ia tidak bodoh ‘orang yang tahu terlalu banyak, hidupnya selalu takkan panjang', tentu dia paham akan pengertian ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Betul kau tidak tahu?" Lian Shia-pik menegas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Betul tidak tahu," sahut Ho Ping.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik menghela napas, "Urusan sepele tidak tahu, apa arti hidupmu ini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Berubah air muka Ho Ping, badannya langsung berjumpalitan ke belakang, di tengah udara, golok sabitnya mengiris turun ke bawah, ilmu golok sabitnya ini sebetulnya ajaran murni dari laut timur, jurusnya aneh, licik dan cepat sekali, termasuk ilmu golok kelas satu di kalangan Kangouw, gerak goloknya yang kemilau itu jelas memebendung serangan yang bakal datang menyergap dirinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sayang aksinya tak mampu membendung serangan golok jagal rusa. "Ting", hanya sekali berdenting. golok sabit jatuh ke lantai, bila sinar golok berkelebat lagi, darah pun berhamburan di angkasa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Badan Ho Ping yang tinggi besar itu mendadak terbanting jatuh tepat di antara genangan darahnya sendiri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekali menggerakkan golok, Lian Shia-pik tidak memperhatikan korbannya, berpaling ke sana ia berkata, "Saudara The Kong, ada persoalan yang juga ingin minta penjelasanmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jelas The Kong tidak berani mendekat, Lian Shia-pik malah yang maju beberapa langkah, The Kong menyurut mundur dua langkah, namun punggungnya sudah mepet dinding, tiada jalan mundur, mendadak ia berkata lantang, "Selama ini aku tidak pernah ada hubungan dengan orang she Hoa, umpama kau membacoknya sepuluh kali, aku tidak akan memberi komentar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku hanya ingin tanya," ujar Lian Shia-pik, "tahukah kau kenapa aku membunuhnya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >The Kong mengangguk, ia bukan orang bodoh, jelas takkan mau mengatakan 'tidak tahu'.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tahukah kau apa alasanku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maksud awal kedatangan kita ke sini adalah untuk membunuh Siau Cap-it Long, tapi mendadak kau merubah tujuan semula."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jelaskan lebih lanjut."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Merah berganti hijau muka The Kong, akhirnya memberanikan diri melanjutkan, "Merubah haluan di medan perang, merupakan larangan besar bagi Thian Cong. Kau takut dia membocorkan rahasia, apa boleh buat, maka kau membungkam mulutnya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik menghela napas, "Tahukah kau berapa kecepatan kilat menyambar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik menghela napas lalu melanjutkan, "Urusan rumit ini juga kau ketahui, bagaimana mungkin aku membiarkan kau hidup?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Berubah air muka The Kong, sambil menggerung keras Long-ge-pang di tangan kiri menyapu dengan jurus Hing-sau-jian-kun (menyapu bersih ribuan tentara), sementara Long-ge-pang atau pentung gigi serigala di tangan kanan mengepruk dengan tipu Thay-san-ap-ting (gunung Thay menindih kepala). Diselingi deru angin kencang keduanya menyerang, sepasang pentung besinya ini beratnya ada tiga puluh tujuh kati, jurusnya kencang tenaganya besar perbawanya keras sekali, sayang gerakannya masih terlambat, jelasnya kalah cepat, sinar golok yang tajam luar biasa mendahului membacok badannya secepat kilat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tahukah kau berapa kecepatan kilat menyambar, betapa besar kekuatannya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Golok itu tetap bersih, tiada noktah darah. Lian Shia-pik mengelus mata golok, sorot matanya menampilkan pujian dan sayang, mulutnya menggumam, "Belul-betul golok tiada bandingan di dunia, senjata ampuh yang tidak bernama kosong."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Hong Si-nio berkata, "Berpisah sekian tahun, permainanmu ternyata tidak pernah lambat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Golok inipun tidak pernah tumpul," ujar Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku hanya tahu ilmu pedangmu cukup tinggi, tak kunyana kau pun pandai main golok."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Golok atau pedang, sama-sama senjata untuk membunuh orang, aku mahir membunuh orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang yang pandai menggunakan pedang, bila mendapatkan golok sebagus itu, mungkin tidak mengembalikan kepada pemiliknya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jelas tidak," ujar Lian Shia-pik tetap mengelus mata golok, mendadak tangannya mengayun, golok di tangannya meluncur terbang, bagai bianglala golok itu meluncur terbang ke arah Siau Cap-it Long, tapi yang meluncur di bagian depan justru gagang golok bukan mata golok.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku jelas takkan menyerahkan golok ini kepada orang lain, aku hanya mau menyerahkan kepadanya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bersinar mata Hong Si-nio, "Kenapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena dia adalah Siau Cap-it Long."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, hanya Siau Cap-it Long pantas menggunakan golok itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ujung mulut Lian Shia-pik mengkeret sekilas, "Peduli dia ini orang baik atau orang jahat, di kolong langit, memangnya hanya dia seorang yang setimpal menggunakan golok ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau senjatanya bukan golok, tapi pedang?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ujung mulut Lian Shia-pik kembali mengunjuk senyum misterius, suaranya lebih kalem, "Kalau golok ini berubah pedang, maka pedang itu pasti adalah pedangku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Meski dingin dan perlahan perkataannya, namun bernada bangga, penuh keyakinan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sejak beberapa tahun lalu ia sudah punya keyakinan itu, ia tahu dirinya bakal menjadi ahli pedang, jago pedang yang tiada bandingan di kolong langit.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengawasi orang, Hong Si-nio menghela napas, "Ternyata pribadimu tidak berubah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan ringan Siau Cap-it Long menyambut goloknya, lalu mengelus mata goloknya, katanya, "Ada sementara orang mirip golok ini, golok ini selamanya takkan jadi tumpul, orang seperti itu mana bisa berubah." Lalu ia berpaling mengawasi Lian Shia-pik, "Kuingat kau dahulu juga sering minum arak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tidak salah ingat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik juga mengangkat kepala mengawasinya, mereka saling tatap, lama sekali, akhirnya berkata perlahan, "Kau pernah bilang, ada sementara orang selamanya takkan pernah berubah, orang yang sering minum arak, kebanyakan manusia jenis itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bukankah kau manusia jenis itu?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik memanggut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seguci arak berada di atas meja, mereka bertiga duduk berhadapan mengitari meja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang bertambah satu orang di antara mereka, bagi perasaan Hong Si-nio, hubungan dirinya dengan Siau Cap-it Long justru bertambah akrab, jaraknya makin dekat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kini mereka sama merasakan, dari badan orang ini seperti tumbuh tekanan aneh yang tak bisa dijelaskan dan tidak terlihat, tekanan berat mirip tajam pedang. Waktu menghadapi Ang Ing dan Lok Liu dahulu, mereka juga merasakan adanya tekanan dari badan mereka. Demikian pula dari badan Lian Shia-pik yang mengeluarkan tekanan, yakin lebih besar, lebih berat dibanding waktu itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa sadar tapi pasti Hong Si-nio mendekat di samping Siau Cap-it Long, sampai sekarang baru ia merasakan pribadi Lian Shia-pik ternyata jauh lebih aneh, khas dan susah diterka tindak-tanduknya. Tak tahan akhirnya ia bertanya, "Apa benar tujuanmu hendak membunuh kami?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Rencana ini sebetulnya cukup rapi, sudah lama kuatur rencana ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi mendadak kau berubah haluan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Pribadiku takkan pernah berubah, tapi rencana bisa saja sewaktu-waktu berubah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena persoalan apa rencanamu kali ini berubah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab aku mendengar percakapan kalian tadi di sini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau dengar seluruh percakapan kami?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku mendengar jelas sekali, maka aku mengerti orang macam apa dia sebenarnya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Benar kau memahaminya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Paling tidak aku sudah mengerti, dia bukan orang yang dingin tak kenal budi seperti yang dikatakan orang, walau dia menghancurkan keluarga kami, tapi dalam sanubarinya yang paling dalam, mungkin jauh lebih sengsara dari kami."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sayangnya derita dan sengsara hatinya takkan pernah dipahami orang lain, tiada orang bersimpati kepadanya." Lama Lian Shia-pik menepekur, akhirnya berkata perlahan, "Riang atau gembira banyak macamnya, derita yang benar-benar derita semua sama, kalau orang pernah meresapi derita yang benar-benar derita, maka ia akan mengenal penderitaan orang lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hanya orang yang benar-benar merasakan siksa derita, baru akan memahami derita orang lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku mengerti, sudah lama aku mengerti ...." Sorot matanya memandang jauh ke depan, tabir malam tampak remang, bola matanya seperti dilapisi halimun. Apakah cahaya rembulan mengaburkan pandangannya? Atau karena air mata yang berlinang?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengawasi sepasang bola mata orang, mendadak Hong Si-nio merasakan derita yang mengendap dalam sanubarinya mirip derita yang dirasakan Siau Cap-it Long, sama dalam sama keras.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik berkata lagi, "Karena aku mengerti betapa menakutkan rasa derita itu, maka aku tidak ingin melihat orang lain ikut menderita karena persoalan yang sama."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Benarkah?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik tertawa, mimik tawanya kelihatan betapa sedih dan pilu hatinya. Dengan suara lirih akhirnya ia berkata pula, "Yang harus pergi, cepat atau lambat memang harus pergi. Sekarang dia sudah pergi, pergi ke lempat dimana ia ingin pergi, membawa seluruh budi dan dendam. Kalau demikian maksudnya, kenapa kita tidak melupakan dendam yang bersemayam dalam sanubari kita?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menghela napas, katanya sendu, "Betul, dia pergi membawa seluruh dendamnya, baru sekarang aku mengerti maksudnya, selama ini aku salah paham kepadanya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kepalanya menunduk, ia tidak berani memandang kepada Siau Cap-it Long, tidak tega memandangnya, karena air mata sudah bercucuran membasahi pipi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Yang harus pergi sudah pergi, urusan ini juga tiba saatnya berakhir, kenapa aku harus menciptakan kesalahan yang baru?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maka, kau bisa merubah haluan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik tertawa-tawa, "Apalagi akhirnya aku sadar, tiap orang kapan saja bisa melakukan kesalahan, seorang kalau menderita karena sadar akan perbuatannya yang salah, bukankah dia harus mengeluarkan imbalan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengawasinya, seperti belum pernah selama hidupnya bertemu dengan orang di hadapannya ini. Mungkin baru sekarang ia betul-betul melihat jelas orang di depannya ini. Mendadak ia bertanya, "Pernahkah kau berbuat salah?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku adalah orang biasa," sahut Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau sadar mestinya kau tidak menjadi anggota Thian Cong?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dalam hal ini aku tidak salah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak salah?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku masuk Thian Cong hanya dengan satu tujuan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tujuan apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Membongkar rencana jahat mereka, menghancur-leburkan organisasi mereka," kata Lian Shia-pik dengan tangan tergenggam kencang, "sengaja aku berpura-pura patah semangat, luluh-lantak, bukan untuk menipu kalian, sekarang kuyakin kau sudah mengerti apa tujuanku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sedikitpun aku tidak mengerti," sahut Hong Si-nio geleng kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik menenggak secawan arak, mendadak bertanya, "Kau mengerti orang macam apa sebenarnya Lian Shia-pik?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio juga mengangkat cawannya, setelah minum secawan baru menjawab, "Seorang yang tabah, cerdik, tapi juga terlalu membanggakan diri sendiri."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang semacam itu mendadak masuk jadi anggota Thian Cong, lalu apa yang kau pikir?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku akan berpikir, dia pasti punya maksud tertentu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maka kalau engkau sebagai Congcu dari Thian Cong, umpama membiarkan dia masuk ke Thian Cong, segala kegiatannya pasti selalu diperhatikan, tindak-tandukmu pasti diawasi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, benar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi bila seorang yang sudah luluh, patah arang, apalagi setan arak, jelas berbeda bobotnya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi masih ada yang belum aku mengerti, kenapa kau cari permusuhan dengan Thian Cong? Kenapa harus merendahkan derajat dan susah payah lagi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sorot mata Lian Shia-pik memandang lurus jauh ke depan, lama menepekur, akhirnya berkata lirih, "Sejak kakek moyangku Hun Jun-kong dengan sepasang tangannya membangun Bu-kau-san-ceng sampai sekarang sudah tiga ratusan tahun lamanya, selama tiga ratusan tahun, anak cucu Bu-kau-san-ceng, kapan dan dimana pun dia selalu disanjung, dihormati orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Diam-diam Hong Si-nio mengisi cawannya yang sudah kosong, lalu menunggu orang bercerita lebih lanjut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kakek dari kakek moyangku Thian-hong-kong demi membela keadilan bagi kaum Bulim di Kanglam, seorang diri ia meluruk ke Thian-san, menantang Thian-san-jit-kiam yang pada waktu itu disegani dan ditakuti orang, mereka bertarung tiga hari tiga malam, dua puluh sembilan luka di tubuhnya tidak membuatnya binasa, akhirnya ia paksa Thian-san-jit-kiam ikut dia turun gunung ke Kanglam, mohon maaf dan mengaku dosa."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sampai di sini ia angkat cawan araknya, mukanya yang pucat mulai bersemu merah, lalu melanjutkan, "Lima puluh tahun yang lalu, kawanan Mo-kau membuat onar di Kanglam, bersekongkol dengan tujuh puluh dua aliran hitam perairan, mendirikan serikat, mengagulkan diri sebagai organisasi yang paling kuasa di Kanglam. Kakek moyangku seorang diri meluruk ke markas besar mereka, delapan puluh kali pertempuran besar kecil dialaminya, tak pernah sebabak pun dikalahkan, syukur kaum persilatan di Kanglam akhirnya tidak tertindas atau diperas mereka. Masih banyak anggota keluarga mereka yang membuat kongpo, menghormati dan mengagungkan kebesarannya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio segera menghabiskan satu cawan arak sebagai rasa hormatnya. Mendengar kisah kepahlawanan para Cianpwe persilatan masa lalu, sikapnya berubah mirip anak-anak yang tekun dan gairah mendengar cerita lama.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik sendiri kelihatan amat terharu tapi berkobar semangatnya, suaranya lebih keras, "Aku adalah anak cucu marga Lian, aku pantang nama baik, kebesaran dan wibawa Bu-kau-san-ceng runtuh dan hancur di tanganku, tidak akan kubiarkan intrik dan rencana busuk Thian Cong terlaksana."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengangkat cawannya lagi, menenggak habis. "Berdasar omonganmu ini, aku pantas menghormatimu tiga cawan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik benar-benar menghabiskan tiga cawan, mendadak menarik napas panjang, "Sayangnya sampai sekarang aku belum tahu siapa sebenarnya ketua Thian Cong?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio melenggong, "Kau belum tahu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik geleng kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi di hadapanmu dia belum pernah memperlihatkan wajah aslinya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak pernah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi dia belum mempercayaimu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dia belum pernah mempercayai siapa pun. Kalau ada yang pernah melihat muka aslinya, mungkin anjing yang dia pelihara itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tertawa, tertawa getir, pada saat itulah mendadak dari kejauhan ia dengar tiga kali lolong anjing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Berubah air muka Lian Shia-pik, tawanya dingin, "Sudah kuduga dia pasti datang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dia memang memelihara anjing, tapi yang memelihara anjing belum tentu dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Yang ini pasti dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bukankah kalian janji bertemu di malam bulan purnama?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Malam ini sudah bulan purnama."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menengadah, rembulan bundar tepat bercokol di cakrawala. Di tengah hambusan angin, berkumandang lagi dua kali lolong anjing, suaranya lebih keras, jelas jaraknya makin dekat, seperti sudah berada di luar jendela.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio ikut tegang, dengan suara lirih ia bertanya, "Dia tahu kau berada di sini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi dia tidak tahu kalau aku sudah berubah pendirian."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang dia tentu mengira Siau Cap-it Long sudah mampus di tanganmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maka dia pasti datang untuk menyaksikan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Menyaksikan apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Menyaksikan batok kepala Siau Cap-it Long."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maksudmu dia getol melihat kepala Siau Cap-it Long terpenggal dari badannya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dia sendiri pernah bilang, sepanjang Siau Cap-it Long masih hidup, hidupnya akan selalu dirundung ketakutan, susah makan tak bisa tidur."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Berputar bola mata Hong Si-nio, tanyanya pula, "Berapa lama kalian merencanakan muslihat ini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kira-kira setengah bulan,"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Setengah bulan yang lalu, bagaimana kalian tahu Siau Cap-it Long bakal berada di Cui-gwat-lo?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Di samping siapa saja, pasti ada yang sudi membocorkan rahasia, tak perlu heran kalau jejaknya mudah diketahui orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Menurut pendapatmu, siapa pembocor rahasia itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak tahu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Setengah bulan yang lalu," Hong Si-nio coba menganalisa, "Siau Cap-it Long sendiri mungkin tidak tahu kalau hari ini ia bakal berada di Cui-gwat-lo."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Pasti ada seorang tahu, kalau tidak, mana mungkin kita tentukan tempat pertemuan di sini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tidak bicara lagi, mendadak ia teringat sesuatu yang amat menakutkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perjalanan Siau Cap-it Long ke Se-ouw bukankah diatur oleh Pin-pin?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mungkinkah Pin-pin yang membocorkan perjalanan mereka kali ini?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebelum dia berencana datang ke Se-ouw, bukankah hanya Pin-pin saja yang tahu akan kedatangannya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab ia maklum kalau dirinya mau pergi kemana saja, Siau Cap-it Long pasti takkan pernah menentangnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio merasakan kaki tangannya menjadi dingin, tak tahan diam-diam ia mencuri pandang ke arah Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long duduk mematung, wajahnya kaku, seakan-akan tidak mendengar percakapan mereka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Lian Shia-pik berkata pula, "Betapa ketat, keras dan tinggi disiplin organisasi Thian Cong, tiada bandingannya di kolong langit. Akan tetapi tak mungkin dicegah di antara anggota Thian Cong pasti ada yang berkhianat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Segera Hong Si-nio bertanya, "Kau tahu siapa saja para pengkhianat itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Semuanya sudah menjadi mayat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sudah menjadi mayat?" tanya Hong Si-nio melenggong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Menurut apa yang kutahu, para pengkhianat itu sekarang sudah mampus semua."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa yang membunuh mereka?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siau Cap-it Long."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bahwa Siau Cap-it Long memberantas para pengkhianat Thian Cong, bukankah merupakan peristiwa yang menggelikan?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio justru merasa ngeri, makin dipikir makin menakutkan, untung keadaan tidak memberi kesempatan untuknya berpikir lebih jauh.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dari arah danau berkumandang salak anjing dua kali, sebuah perahu tampak meluncur datang di bawah pancaran cahaya rembulan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di perahu itu ada seekor anjing tiga sosok manusia, seorang nelayan tua mengenakan caping menggerakkan kayuh di tangannya, seorang anak kecil bcrpakaian hijau berdiri di haluan, tangannya menjinjing sebuah lampion kertas putih, di bawah lampion itu tampak duduk seorang berpakaian hitam, raut wajahnya tampak mengkilap ditimpa cahaya lampion, demikian pula sepasang tangannya juga memancarkan sinar gemerdep, tangannya memeluk seekor anjing kecil.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Congcu atau ketua Thian Cong akhirnya muncul. Kenapa mukanya kelihatan mengkilap?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Muka mengenakan kedok, tangan dibungkus sarung tangan, entah terbuat dari apa, begitu ditimpa cahaya kelihatan gemerdep.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apakah dia senang duduk di bawah cahaya lampu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Benar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik merendahkan suara, "Makanya cukup dua kali kau awasi mukanya, pandanganmu bisa kabur."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tidak berani bertanya lagi, jantungnya berdegup dua kali lebih kcncang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hatinya harap-harap cemas supaya orang ini lekas naik ke atas kapal, ia bersumpah akan menyingkap kedok orang dan membuktikan siapa dia sebenarnya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa nyana dalam jarak tcrtentu, perahu itu mendadak berhenti, anjing kecil dalam pelukan orang baju hitam mendadak melompat dan lari ke haluan lalu menyalak ke arah rembulan. Maka datang sambutan suara lolong anjing yang ramai dari tengah danau, lalu muncul lagi tiga perahu yang meluncur datang dari kejauhan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiap perahu ada satu anjing tiga sosok manusia.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >XXIX. PERJANJIAN SAAT TERANG BULAN</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perahu-perahu itu berayun mengikuti gelombang lembut di tengah danau, semua berhenti di kejauhan, bentuk dan warna bulu keempat anjing itu sama, demikian pula pakaian keempat orang itu mirip satu dengan yang lain.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di bawah cahaya lampion kertas putih, muka keempat orang itu sama-sama gemerdep, kelihatannya betapa seram dan mengerikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tertegun di tempatnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu berpaling ke arah Lian Shia-pik, mimik orang mirip dirinya, kelihatan heran, takjub dan kaget.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anjing kecil yang berlari ke haluan itu sudah melompat kembali ke dalam pelukan orang baju hitam. Anak kecil baju hijau yang menenteng lampion mendadak tarik suara dengan nada tinggi, "Lian-kongcu ada dimana, silakan keluar untuk bicara."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Empat bocah buka mulut dan berteriak bersama, tutup mulut berbareng, nadanya sama iramanya juga mirip, sepatah kata pun tidak meleset.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Suara Hong Si-nio teramat lirih, "Kau mau keluar tidak?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik geleng kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Begitu keluar jiwaku pasti melayang," sahut Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tidak mengerti.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Satu dari keempat orang baju hitam itu adalah Congcu asli."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau sendiri tidak mampu membedakan mana tulen siapa palsu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik menggeleng kepala, "Maka aku tidak boleh ke sana, bahwasanya aku tidak tahu harus naik ke perahu yang mana."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maksudmu jika naik ke perahu yang salah, kau bakal mati?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Janji pertemuan ini Hoa Ji-giok yang mengatur, dia yang menentukan, di antara mereka pasti sepakat menggunakan kode pertemuan yang sebelumnya sudah saling disetujui."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hoa Ji-giok tidak menjelaskan kepadamu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menghela napas, katanya, "Makanya sebelum ajal dia bilang, kalau kau membunuhnya, kau pasti menyesal."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba satu di antara empat perahu itu bergerak meluncur ke arah Cui-gwat-lo.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bangkit semangat Hong Si-nio, katanya, "Begitu banyak urusan di dunia, kalau berkukuh tak mau ke sana, terpaksa dia yang datang kemari."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik bertanya, "Kau tahu yang datang palsu atau tulen?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Persetan dia palsu atau tulen, apa salahnya kita tunggu dia di bawah lampu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sampan itu meluncur perlahan, akhirnya berhenti di bawah pagar Cui-gwat-lo.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Baru saja si baju hitam berdiri, anjing cilik dalam pelukannya kembali menyalak tiga kali lalu berlari masuk kabin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Suasana dalam kabin sunyi gelap, begitu menerobos masuk, anjing cilik itu langsung mendekati mayat Hoa Ji-giok. Suara salaknya mendadak berubah mirip ringkik sedih yang memelas hati.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu masih hidup Hoa Ji-giok tidak pernah memberi rasa senang kepada sesamanya, maka setelah mati, hanya seekor anjing yang merasa sedih baginya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Hong Si-nio merasa ingin tumpah. Sekuatnya ia tahan, sementara langkah di luar kabin makin dekat, derap langkahnya mirip daun musim semi yang berguguran di tanah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak dari luar pintu muncul seraut wajah yang mengeluarkan cahaya. Baru saja Hong Si-nio hendak maju ke sana, dua bayangan orang tahu-tahu sudah menerobos lewat di sampingnya. Selama ini belum pernah ia saksikan gerak orang yang begitu cepat, baru sekarang ia sadar, ternyata gerak-gerik Lian Shia-pik tidak kalah cepat dibanding Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang baju hitam yang baru saja melangkah masuk kabin kelihatan amat kaget, baru ada berniat mundur, tulang iganya mendadak kesakitan kena jotosan tinju orang, begitu keras dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa hingga air kecut tumpah dari perutnya. Mulutnya yang terpentang baru saja ingin berteriak, sebuah jotosan tinju yang lain sudah menghajar mukanya lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kontan kunang-kunang bertaburan di depan matanya, badannya terjengkang miring ke belakang, akhirnya roboh di lantai, roboh di depan kaki Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Baru saja Hong Si-nio menghembuskan napas yang sejak tadi ditahannya, orang ini tahu-tahu roboh di depannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Langkah orang ini ringan, jelas Ginkangnya tidak lemah, gerak-gerik dan reaksinya cepat serta cekatan, terhitung tokoh kosen kelas satu di Bulim. Apalagi dalam melaksanakan aksinya kali ini, mereka yakin pasti berhasil, boleh dikata kedua orang ini sudah mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam kegelapan, sekilas kedua orang ini saling pandang, sorot matanya menampilkan reaksi yang aneh, entah saling memberi peringatan atau sayang menyayangi. Lian Shia-pik menghela napas, katanya, "Orang ini jelas bukan Thian Sun."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dia bukan?" Siau Cap-it Long balas bertanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku pernah melihat dia turun tangan menghukum orang, menilai kemampuan ilmu silatnya, umpama kau dan aku bergabung menyerang dia, dalam tiga puluh jurus yakin takkan bisa mengalahkan dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long bungkam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak terpikir olehnya tokoh mana di dunia ini yang mampu mengalahkan mereka berdua dalam tiga puluh jurus.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio berjongkok lalu meraba-raba badan orang yang menggeletak di lantai, mendadak ia berteriak kaget, "Orang ini sudah mati."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mana mungkin mati?" kata Lian Shia-pik. "Tenaga seranganku tidak berat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku juga ingin mengompes keterangan dari mulutnya," ujar Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kelihatannya, dia ... dia mati ketakutan," belum habis Hong Si-nio bicara, mulutnya menguak hampir tumpah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Entah sejak kapan dalam kabin besar itu tercium bau busuk yang tak mungkin dijelaskan dengan kata-kata, bau busuk justru teruar dari badan orang yang sudah jadi mayat ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Anjing kecil itu melompat ke atas mayat sambil menyalak berulang-ulang. Dari luar kabin mendadak berkumandang dua jeritan yang menyayat hati, menyusul "byuurrr, byuurr" dua kali.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu Hong Si-nio memburu ke depan sana, tukang perahu dan anak kecil di haluan itu sudah tidak kelihatan, riak air di pinggir sampan kelihatan masih bergelombang, lampion kertas putih tampak mengambang di permukaan air.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di antara riak gelombang mendadak timbul riak air warna merah darah. Sementara tiga perahu yang lain di kejauhan sudah memutar haluan tengah meluncur ke tengah danau.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Sinio membanting kaki, katanya, "Tentu mereka melihat gelagat yang tidak menguntungkan, bocah tidak berdosa itupun mereka bunuh."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menghela napas, "Bila mereka lolos kali ini, untuk mencari jejak mereka selanjutnya tentu tidak gampang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maka kita harus mengejar," ujar Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mengejar bagaimana?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Perahu yang berada di tengah itu lajunya agak lambat, duduklah di perahu di bawah ini serta membuntutinya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Betul, biar aku mengejar perahu di sebelah kiri," ujar Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bila dapat mencari tahu jejak mereka, kita harus segera pulang, jangan sembarang bergerak, apalagi beraksi secara sembrono," kata Siau Cap-it Long kepada Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau ... kau akan menungguku di sini?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bagaimanapun hasilnya," kata Siau Cap-it Long lebih jauh, "besok menjelang tengah hari, aku pasti kembali ke tempat ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengangkat kepala mengawasinya, seperti ingin bicara apa, mendadak ia membalik badan lalu melompat turun ke perahu yang terikat di bawah pagar, diraihnya galah bambu panjang lalu menutul pinggir kapal besar, setetres air mata mendadak jatuh di tangannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dilihat dari kejauhan, tiga sampan di depan itu seperti hampir lenyap di telan tabir malam yang berkabut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >* * * * *</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Permukaan air remang-remang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Malam sudah larut, entah masih berapa lama datangnya fajar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Gelombang air danau mengalun lembut, tabir malam juga terasa halus dan tenang, kecuali suara pengayuh menyentuh air di kejauhan, jagat raya seperti sunyi senyap tak ada suara apapun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perahu di depan sudah tidak kelihatan, perahu di kiri kanan itupun sudah meluncur jauh, perahu yang di tengah tinggal titik bayangan yang mulai samar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekuat tenaga Hong Si-nio mengayuh, perahunya melaju dengan kecepatan tinggi, air mata terus bercucuran di pipinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Selama ini belum pernah ia mengucurkan air mata sebanyak ini, hati sendiri merasa heran dan tak mengerti, kenapa hari ini ia mengucurkan air mata. Ia merasa dirinya seperti amat terpencil, sebatangkara, tak terkatakan betapa rasa takut dalam sanubarinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dunia ini seolah-olah menjadi kosong. Seakan tinggal dirinya seorang yang masih berada di mayapada.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Walau ia paham Siau Cap-it Long pasti akan menunggu dirinya di Cui-gwat-lo. Janji yang pernah diucapkan Siau Cap-it Long tidak pernah membuat orang kecewa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Entah kenapa hatinya masih dirundung rasa takut, seolah-olah perpisahan ini akan berlangsung lama, takkan bisa berjumpa lagi selamanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kenapa hatinya dirasuk pikiran semacam itu? Hong Si-nio tidak tahu dan tak mampu menjelaskan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali ia teringat kepada Sim Bik-kun, teringat omongan Sim Bik-kun yang diucapkan sebelum berpisah, ".... hanya engkau yang setimpal menjadi pendamping Siau Cap-it Long, dan hanya engkau yang benar-benar dapat memahaminya ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setaker tenaga Hong Si-nio meluncurkan perahunya, dengan menghabiskan tenaga ia berusaha tidak menggunakan otak memikirkan urusan tetek-bengek, namun bayangan itu terus merasuk hatinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam kondisi seperti ini, dia mengharap sukma Sim Bi-kun muncul di hadapannya, membantu dia menentukan arah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hembusan angin kencang membuatnya sadar, waktu ia mengangkat kepala, baru ia sadar perahu di depan yang ia kejar sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di tengah kegelapan, hembusan angin membawa suara galah menyentuh air, ada niat mengejar ke sana, mendadak ia rasakan air di bawah perahunya berpusar, pusaran air makin kencang seperti mengandung kekuatan yang menyedot perahunya meluncur yang diarahkan ke tujuan lain.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perahu yang ia tumpangi ternyata meluncur tanpa mampu ia kendalikan lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio bukan jenis perempuan yang mudah ketakutan dan menjerit-jerit melihat tikus. Kini hampir saja ia menjerit keras, sayangnya umpama dia berteriak pun tidak akan ada orang mendengar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pusaran air terasa makin keras, makin kencang, sepertinya ada sebuah tangan tidak kelihatan yang menarik perahunya. Terpaksa ia berdiri mendelong mengawasi ke depan, membiarkan perahunya ditarik orang entah kemana.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Malam makin kelam, hitam pekat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Entah kenapa tangannya mendadak menjadi lemas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekonyong-konyong perahunya menabrak sebuah tonggak yang muncul di permukaan air.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di depan tampak sebuah bangunan kecil berloteng, loteng itu muncul di permukaan air pinggir danau disanggah beberapa tonggak besar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di atas loteng terdapat tiga jendela yang mengarah ke tiga arah mata angin, di dalam jendela tampak cahaya lampu yang guram.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ada lampu tentu ada orang. Siapa yang berada di loteng itu? Kekuatan misterius yang luar biasa itu, kenapa membawa perahu Hong Si-nio ke tempat ini?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa pikir galah panjang di tangan Hong Si-nio menutul di haluan perahunya, meminjam pantulan air, akhirnya perahunya merapat di tepian.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Besar hasrat Hong Si-nio meninggalkan perahu itu, maka tanpa pikir akibat dan apapun yang bakal terjadi, umpama di loteng kecil itu menunggu setan iblis, sudah tidak peduli lagi. Yang penting, kalau kedua kakinya bisa berpijak di tanah, hatinya baru akan merasa lega dan aman.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rasa air dingin dituang ke dalam hidung sudah pernah dirasakan, mendadak ia sadari mati dengan cara apapun, lebih mending daripada mampus tenggelam di air.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di belakang loteng kecil itu terdapat sebuah balkon sempit, pagar bambu di pinggir balkon ada beberapa pot bunga seruni yang lagi mekar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya lampu menyorot lewat jendela, padahal ketiga jendela itu semuanya tertutup rapat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio melompati pagar bambu itu dan turun di balkon, setelah berdiri baru ia menarik napas lega.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perahunya masih berputar di permukaan air, mendadak suara air beriak keras, kepala seorang muncul di permukaan, siapa lagi kalau bukan orang tergagah di Thay-ouw, yaitu Cui-pau Ciang Hing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata bocah ini sehaluan dengan mereka. Setelah menggigit bibir, Hong Si-nio tertawa, katanya, "Ku kira setan air sedang cari mangsa, tak nyana engkau adanya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ciang Hing tertawa lebar, dua tangannya menahan pinggir perahu, badannya langsung melompat ke atas lalu berdiri di buritan, ia mendongak sambil tertawa, katanya, "Wah, tak kuduga, Hong Si-nio yang punya nama besar ternyata masih ingat dan kenal orang sepertiku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tahu kalau aku ini Hong Si-nio yang terkenal itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sudah tentu aku tahu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Berputar bola mata Hong Si-nio, tanyanya, "Tempat inikah rumahmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Di sini Se-ouw, bukan Thay-ouw, hanya sementara kucari tempat ini untuk berteduh," sahut Ciang Hing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"O, jadi tempat ini tempat tinggalmu sementara."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Boleh, anggap saja demikian."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau membawaku ke tempat tinggal sementaramu ini, apa ada minat menjadikan aku bini sementara?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ciang Hing tampak melenggong, mulutnya megap-megap tak mampu mengeluarkan suara. Sungguh tidak nyana, Hong Si-nio bisa mengajukan pertanyaan itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan mengerling tajam Hong Si-nio bertanya, "Coba jelaskan, benar tidak?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ciang Hing membersihkan air di mukanya, akhirnya menjawab. "Bukan begitu maksudku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tertawa lagi, tawa manis yang menggiurkan, "Peduli apa maksudmu, yang pasti tempat ini rumah tinggalmu, sebagai tuan rumah kenapa tidak kau sambut tamumu masuk ke rumah?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Baik, segera aku naik ke atas," ujar Ciang Hing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia tarik ujung tali lalu diikat di tonggak sebelahnya, mirip cecak saja ia merambat naik ke atas. Hong Si-nio berdiri di belakang pagar menunggunya, wajahnya yang jelita dihiasi senyum lebar yang tak kalah mekar dibanding bunga seruni di pinggirnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Berhadapan dengan wanita jelita secantik ini, senyum nan menawan hati, kalau hatinya tidak terpincut atau terangsang, jelas dia bukan lelaki tulen, laki-laki jantan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ciang Hing jelas adalah lelaki tulen. Kalau tidak memandang ke atas, tak tahan untuk tidak melihat ke atas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tertawa renyah, "Tak kuduga, bukan saja kau pandai berenang, Pia-hou-kangmu juga amat tinggi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ciang Hing seperti dibikin pusing, dengan mendongak ia tertawa, katanya, "Aku hanya ...." Belum habis ia bicara, mendadak sebuah benda hitam menghantam dari atas, tepat di wajahnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kali ini Ciang Hing benar-benar semaput.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Batok kepala siapa pun, pasti tak lebih keras dibanding pot bunga, apalagi Hong Si-nio mengantam dengan seluruh tenaganya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Prak", benturan cukup keras, badan Ciang Hing tampak terjengkang, lalu "Byuurrr", pot bunga itu ikut tercebur di air.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menepuk-nepuk tangan, suaranya dingin, "Di air aku terhitung bebek yang tak pandai berenang, tapi di atas tanah, kapan saja aku mampu membuatmu menjadi itik yang mampus di air."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lampu masih menyala di atas loteng, namun tiada suara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau tempat ini sudah disewa Ciang Hing, kini Ciang Hing sudah tenggelam dalam air, loteng ini jelas tidak berpenghuni. Kalau tiada orang lain dalam rumah ini, mungkin sekali di loteng ia dapat menemukan rahasia yang menyangkut rahasia Thian Cong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau Ciang Hing bukan anggota Thian Cong, buat apa ia menuntun perahu Hong Si-nio ke tempat ini, pengejaran Hong Si-nio atas ketiga perahu itu jadi batal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Itulah keputusan Hong Si-nio dalam waktu sekilas dengan tebakannya yang jitu, Hong Si-nio amat puas akan keputusannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pintu loteng ternyata sempit, dari luar pintu tidak terkunci. Baru saja Hong Si-nio hendak mendorong pintu, daun pintu tiba-tiba terbuka, seorang berdiri di ambang pintu, mengawasinya, bola matanya yang indah kelihatan sedih, capai, rambutnya yang mayang hitam semampai di pundak, sikapnya nan anggun mirip sekali dewi air yang tampak semampai di keremangan malam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sim Bik-kun!" pekik Hong Si-nio. Mimpi pun tak pernah menyangka, di tempat ini ia bertemu dengan Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun adalah manusia biasa, bukan dewi dari kahyangan, bukan roh gentayangan. Dia belum mati, sebagai manusia berdarah daging yang masih hidup dan punya perasaan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau ...!" pekik Hong Si-nio kaget, "bagaimana kau bisa berada di sini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun tidak menjawab pertanyaannya, ia membalik badan melangkah ke dalam. Di ruang itu ada ranjang, ada meja ada kursi, di atas meja ada lampu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia memilih pojok dimana cahaya lampu paling guram, lalu menarik kursi duduk di sana, sepertinya ia tidak ingin Hong Si-nio melihat matanya yang benjol merah karena menangis.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio juga melangkah masuk, dengan tajam mengawasinya, seperti ingin melihat jelas dan tegas apakah benar dia adanya? Atau roh gentayangan yang masih penasaran.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan tawa dipaksakan, akhirnya Sim Bik-kun berkata, "Aku belum mati."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio juga tertawa nyengir, "Sudah kulihat jelas."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bukankah kau merasa heran?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku ... aku teramat senang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hatinya memang amat senang, sesuai harapan dan doanya selama ini semoga muncul keajaiban menyelamatkan jiwa Sim Bik-kun. Semoga Siau Cap-it Long dan Sim bik-kun diberi kesempatan sekali lagi untuk bertemu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Keajaiban itu sekarang benar-benar muncul.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimana bisa muncul? Sim Bik-kun berkata perlahan, "Sebetulnya aku sendiri tidak menduga, masih ada orang yang menolongku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa menolongmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ciang Hing."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tentu Ciang Hing adanya, kemampuannya dalam air, seperti kemampuan Siau Cap-it Long di daratan, malah ada orang pernah bilang, kapan saja ia mampu mencari sebatang jarum di dasar laut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mencari orang jelas lebih mudah dibanding mencari jarum.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak heran kemana-mana kami tak berhasil menemukan dirimu, ternyata diseret pergi oleh setan air itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Itulah isi hati Hong Si-nio yang tidak sempat ia utarakan. Sebab Sim Bik-kun berkata lebih jauh, "Aku tahu kau pasti pernah melihatnya, kemarin malam dia juga berada di Cui-gwat-lo."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menyeringai getir, "Aku pernah melihatnya. Waktu si baju hijau pertama itu hilang, dia berteriak paling keras."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun berkata, "Dia memang orang yang simpatik, waktu masih hidup ayahku almarhum mengenalnya, malah pernah sekali menolong jiwanya, maka sepanjang hidupnya sekarang ia selalu mencari kesempatan untuk membalas budi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apa betul dia menolongmu untuk balas budi?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun memanggut, "dia merasa curiga akan peristiwa yang terjadi di Cui-gwat-lo hari itu, maka setelah orang banyak berlalu, dia masih ingin menyelidiki permasalahannya secara diam-diam."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dia kembali tepat pada saat kau menceburkan diri ke air?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak, dia sudah agak lama bersembunyi di air, belakangan baru aku tahu, dalam sehari, ia sering berendam di air untuk beberapa jam lamanya, menurutnya dia merasa dalam air jauh lebih segar daripada berada di daratan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jelas dia lebih senang berendam dalam air, sebab sekali ia berada di daratan, kapan saja kemungkinan jiwanya melayang seperti bebek mampus.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jelas Hong Si-nio tidak mengutarakan jalan pikirannya ini, sebab ia merasakan kesan Sim Bik-kun terhadap lelaki ini tidak jelek. Namun demikian ia toh bertanya, "Setelah dia menolong dirimu, kenapa tidak mengantarmu pulang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun tertawa, tawa getir lagi kecut, "Pulang? Pulang kemana? Cui-gwat-lo kan bukan rumahku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tapi kau ... maksudmu kau tidak ingin bertemu dengan kami lagi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tertunduk kepala Sim Bik-kun, agak lama baru bersuara, "Aku tahu kalian pasti menguatirkan diriku, sebab ...." Diam-diam ia mengusap air mata, "Sebab kalau di dunia ini kurang satu orang sepertiku ini, hidup kalian mungkin jauh lebih senang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio juga menundukkan kepala, tak tahu bagaimana perasaan hatinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia tidak ingin berdebat dengan Sim Bik-kkun, yang pasti saat ini bukan saatnya untuk beradu mulut dengannya. Kata Sim Bik-kun lebih jauh, "Tapi Ciang Hing kuatir kalian merasa sedih, maka diam-diam ia pergi mengawasi kalian, cukup lama dia pergi." Sampai di sini ia menghela napas panjang, lalu mengulang perkataannya tadi, "Ia memang seorang yang amat simpatik."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mulut Hong Si-nio seperti dibungkam malah. Baru sekarang ia sadar dalam hal ini ia keliru menyalahkan Ciang Hing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Secara layap-layap tadi aku seperti tertidur sejenak, seperti kudengar sesuatu suara di luar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"O, ya?" Hong Si-nio bersuara dalam mulut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Suara apakah itu?" tanya Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata wajah Hong Si-nio menjadi merah, saat ia kesulitan omong, seorang dari luar berkata dengan tertawa, "Itu suara seekor bebek yang ditembak jatuh ke dalam air."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Biasanya muka Hong Si-nio jarang merah, tapi kali ini merah mukanya tidak kalah dibanding warna kepiting yang sudah direbus.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab dengan badan basah kuyup dilihatnya Ciang Hing melangkah masuk, badannya tidak kurang suatu apa, malah bertambah satu. Satu benjolan besar yang merah di kepalanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sim Bik-kun mengerut kening, tanyanya, "Kenapa jidatmu benjol sebesar itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ciang Hing tertawa getir, "Tidak apa-apa, hanya karena ingin dibuat perbandingan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Perbandingan apa?" tanya Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Perbandingan antara batok kepalaku dengan pot bunga di luar itu, entah mana lebih keras."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengawasi benjolan besar di kepala orang, lalu menoleh ke arah Hong Si-nio dan melihat mimik mukanya yang lucu, sorot matanya seketika menampilkan rasa geli. Memang sudah cukup lama ia tidak pernah tersenyum lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Hong Si-nio berkata, "Coba kau terka, yang keras pot bunga atau kepalanya lebih keras?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jelas pot bunga lebih keras," sahut Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau pot bunga lebih keras, kenapa pot bunganya kurang satu sudut sebaliknya kepalanya bertambah satu sudut?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya Sim Bik-kun tersenyum lebar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio memang ingin memancingnya tertawa, melihat orang tertawa lebar, hati Hong Si-nio merasa senang lagi lega.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ciang Hing menghela napas, katanya, "Sekarang baru aku sadar akan satu hal."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hal apa?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Baru sekarang aku mengerti, kenapa banyak orang di Kang-ouw menganggap kau ini siluman perempuan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku sebaliknya merasa ada satu hal yang tidak kumengerti."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Satu hal apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menarik muka, "Kenapa kau merintangi aku mengejar perahu itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena aku tidak ingin kau mampus di air."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maksudmu aku harus berterima kasih kepadamu malah?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tahu cara kematian tukang perahu dan anak kecil itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tahu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Senjata rahasia ini kuperoleh dari badan mereka," kata Ciang HIng. Senjata rahasia yang ia maksud adalah paku segitiga, sedikit lebih panjang dari paku umumnya, lebih lencir, warnanya juga lebih legam, sepintas pandang memang tidak menarik perhatian.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Begitu melihat orang mengeluarkan paku itu dari saku bajunya, Hong Si-nio lantas berteriak kaget, "Sam-ling-toh-kut-ting?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku yakin kau kenal paku ini," ujar Ciang Hing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Umpama aku belum pernah makan daging babi, sedikitnya pernah melihat babi berjalan," jengek Hong Si-nio keki.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bersambung</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" >BENTROK PARA PENDEKAR</span></b></div><div style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" >Karya Gu Long</span></b></div><div style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" >Jilid 18</span></b></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Insan persilatan jarang yang tidak mengenal paku luar biasa ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Konon senjata rahasia di seluruh kolong langit ada seratus tujuh puluhan jenis, yang paling menakutkan hanya tujuh macam. Sam-Iing-toh-kut-ting atau paku segitiga penembus tulang adalah salah satu dari tujuh senjata rahasia yang paling ditakuti itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Senjata rahasia jenis ini umumnya digerakkan oleh pegas dengan daya sambit teramat keras, umpama berada di bawah air juga dapat mencapai jarak tiga sampai lima tombak, di dalam air yang paling ditakuti adalah senjata rahasia jenis ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kapan aku pernah berada di bawah air, aku bukan setan air, juga bukan ikan yang hidup dalam air," omel Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Di permukaan air, senjata ini bisa mencapai jarak delapan tombak, jarak sejauh ini sasaran masih bisa ditembak mampus."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maksudmu orang yang membawa senjata rahasia ini berada di perahu yang kukejar itu?" tanya Hong Si-nio. Ciang Hing menganggukkan kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tertawa dingin, "Jadi kau sangka aku gentar menghadapi senjatanya itu? Kalau sambitan paku ini tak mampu aku hindari, memangnya aku masih terhitung siluman perempuan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lahirnya ia bersikap keras kepala, padahal batinnya diam-diam berterima kasih.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Yang pasti Hong Si-nio tidak yakin dapat meluputkan diri dari sambaran senjata rahasia ganas itu. Sementara itu, Sim Bik-kun berdiri di sana sambil menundukkan kepala mengawasi jari-jari kaki sendiri, entah persoalan apa yang masih mengganjal dalam hatinya. Senyum tawanya tadi tersapu oleh datangnya kabut tebal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mendekatinya, menepuk pundaknya, "Kenapa tidak kau tanya kepadaku, dia ada dimana?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kepala Sim Bik-kun menunduk lebih rendah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tempat ini tidak jelek, tapi tak mungkin kau diam di sini sepanjang hidupmu, kapan saja kau boleh pergi, apa kau lupa siapa yang pernah bilang demikian?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terangkat kepala Sim Bik-kun, memandang Ciang Hing sekilas lalu menunduk lagi, perasaan hati perempuan tak enak diucapkan di hadapan lelaki. Syukur Ciang Hing bukan lelaki dogol yang tidak kenal perasaan orang, dengan tertawa ia bertanya, "Kalian merasa lapar belum?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Lapar sekali," sahut Hong Si-nio segera.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Biar kucari makanan untuk kalian sambil ganti pakaian, pulang pergi kira-kira setengah jam cukuplah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau boleh pergi mencari makanan, pergi ganti pakian tidak perlu buru-buru."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ciang Hing tertawa lebar, pergi sambil mengelus kepalanya, tak lupa ia menutup daun pintu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Baru sekarang Sim Bik-kun mengangkat kepalanya, suaranya lirih, "Dia ... dia dimana? Kenapa tidak bersamamu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio menarik napas panjang, baru saja hendak buka mulut, "Blang", daun pintu yang baru saja dirapatkan mendadak diterjang terbuka, seorang terbang masuk, "Brak", jatuh di atas meja, meja itu hancur berkeping, badan orang itu menggelinding jatuh di lantai, bola matanya melotot lurus, siapa lagi kalau bukan Ciang Hing yang baru saja beranjak keluar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belum ada setengah jam, malah baru beberapa menit, tapi dia sudah kembali secepat itu. Waktu keluar gerak-geriknya segar bugar, kenapa mendadak kembali dengan jungkir balik menumbuk meja malah? Memangnya badannya terbang dilempar orang?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cui-pau (macan air) Ciang Hing bukan seonggok karung, bukan barang yang mudah diangkat, dijinjing lalu dilempar sesuka hati orang. Sigap sekali Hong Si-nio maju dua langkah menghadang di depan Sim Bik-kun, padahal kalau diukur betulan kepandaian silatnya tidak unggul banyak dibanding kemampuan Sim Bik-kun, tapi setiap kali berada bersama Sim bik-kun, ia selalu menganggap dirinya lebih kuat, lebih perkasa, ada kewajiban dirinya melindungi orang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mata Ciang Hing melotot lurut mengawasinya, rona mukanya menambilkan mimik yang susah dilukiskan, dari ujung mulutnya tiba-tiba merembes keluar dua jalur darah segar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Darah segar tapi bukan warna merah, warna hitam, warna hitam juga bermacam-macam, ada hitam yang kelihatan cantik, tapi ada hitam yang menakutkan. Darah yang meleleh dari ujung mulut Ciang Hing adalah darah hitam yang menakutkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak urung Hong Si-nio berjingkat ngeri, ”Kenapa engkau?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mulut Ciang Hing terkancing, giginya gemerutuk, darah terus membanjir makin deras dari mulutnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belum pernah Hong Si-nio saksikan darah segar hitam yang keluar dari mulut orang segelap itu warnanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Sim Bik-kun berkata pula, "Dapat kau membuka mulut?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ciang Hing meronta, sekuatnya dia menggeleng kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa mulutnya saja tidak bisa dibuka?" teriak Hong Si-nio gugup.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ciang Hing seperti ingin bicara tapi tak bisa bicara, mendadak ia menggerung keras, sebuah benda menyembur keluar dari mulutnya, "Ting", jatuh di lantai, jelas adalah sebatang paku segitiga penembus tulang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tenggelam perasaan Hong Si-nio, perlahan ia mengangkat kepala, di keremangan malam di luar sana ia lihat bayangan seorang di tengah tabir gelap dengan mukanya yang mengkilap ditimpa cahaya rembulan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Begitu keluar pintu Ciang Hing lantas kepergok orang ini, baru saja mulut terpentang hendak bersuara, paku segitiga itu sudah menyambar masuk ke mulutnya dan tepat mengenai lidahnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengepal tinju, terasa mulutnya kering lagi getir, derita yang dirasakan Ciang Hing seperti dirasakan pula olehnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang baju hitam di luar itu mendadak bersuara, "Kau ingin menolong jiwanya tidak?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio manggut-manggut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Baik, potong dulu lidahnya, kalau terlambat tak tertolong lagi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak urung Hong Si-nio bergidik dibuatnya, ia tahu untuk menolong jiwa Ciang Hing memang harus memotong dulu lidahnya supaya racun tidak merembes ke jantung.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Sim Bik-kun mengertak gigi, dari pinggir sepatu Ciang Hing ia mencabut sebilah belati, dimana tangannya bergerak ia cekik leher di bawah dagunya, sehingga Ciang Hing membuka mulut lebar. Dimana sinar belati berkelebat, lidahnya yang sudah membengkak hitam besar terpotong jatuh ke lantai. "Klotak", ujung lidah itu sudah mengeras kaku, Ciang Hing mengerang sekali lalu semaput.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengawasinya dengan terbelalak, serunya, "Kau... kau tega turun tangan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Terpaksa harus turun tangan, aku tak bisa melihat dia mati."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio termenung, mendadak ia sadar membandingkan antara mereka berdua, siapa lemah di antara mereka berdua, kini ia mulai sadar, ternyata Sim Bik-kun bukan wanita lemah. Ada sementara orang, secara lahir kelihatan lemah lembut, tapi pada detik-detik genting, kadang bisa melakukan perbuatan yang tak pernah terduga oleh siapa pun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Berada di luar, orang baju hitam mengawasi mereka, dengan dingin berkata, "Sekarang kalian boleh ikut aku pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ikut engkau? Siapa sih engkau?" tanya Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku yakin engkau tahu siapa diriku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Memangnya kau ini Thian Sun? Benar-benar Thian Sun?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bu-siang-thian-sun, sin-gwa-hoa-sin, cin-ce-si-ke, ke-ce-si-cin," si baju hitam berdendang. Yang artinya Thian Sun tak berwujud, badan di luar bentuk badan, yang tulen itulah palsu, yang palsu juga adalah tulen.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Berputar bola mata Hong Si-nio, katanya, "Tahukah engkau siapa diriku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hong Si-nio bukan?" ujar si baju hitam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi kau tahu siapa diriku, pernah melihat roman mukaku, apa salahnya kau beri kesempatan aku melihat wajahmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Cepat atau lambat, entah kapan kau akan bisa melihat mukaku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang biar kulihat dulu mukamu, nanti kuikut kau pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau tidak?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Permintaanku tidak terkabul, kenapa aku harus mengabulkan permintaanmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jadi kau tidak mau ikut aku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau ingin aku ikut, aku justru ingin duduk santai di sini, memangnya apa yang bisa kau lakukan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sembari bicara ia tarik sebuah kursi lalu duduk dengan santai, seperti anak kecil yang aleman terhadap orang tuanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan caranya ini banyak ia menghadapi lelaki, tiap kali praktek tak pernah gagal sekalipun. Jarang lelaki yang cemberut muka menghadapi cewek ayu yang aleman di hadapannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hitam justru terkecuali, dengan dingin ia menyeringai, "Kau ingin tahu aku bisa berbuat apa terhadapmu, begitu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio mengeluarkan suara di tenggorokan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Baik, coba lihat," jengek si baju hitam, sambil menyeringai ia melangkah masuk, mukanya yang mengkilap kelihatan menakutkan, ternyata sepasang tangannya juga amat menakutkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa pun yang mengawasi mukanya pasti bergidik seram, sorot matamu menjadi guram, kalau mengawasinya saja tidak begitu jelas, bagaimana mungkin kau bisa bergebrak dengannya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak tahan Hong Si-nio berjingkrak murka, teriaknya. "Berani kau kurang ajar terhadapku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bukan hanya kurang ajar, malah sangat kurang ajar," jengek si baju hitam dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Di antara empat Thian Sun yang tulen atau palsu tadi, bukankah satu di antaranya pernah naik ke Cui-gwat-lo?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hm," si baju hitam mendengus hidung.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tahu bagaimana nasibnya sekarang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Mampus maksudmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tahu bagaimana dia mampus?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hitam menggeleng kepala. "Karena mimpi pun ia tidak menduga, sejurus saja tak mampu melawan, begitu kami bergerak, jiwanya lantas melayang," tutur katanya lincah, membuat orang yang mendengar percaya. Hong Si-nio memang ahli main sandiwara, apalagi aleman di hadapan lelaki.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sayang ia belum melihat apakah si baju hitam sudah terbujuk oleh rayuannya, maka ia bertanya lagi, "Bagaimana kepandaianmu dibanding dia?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, setanding," sahut si baju hitam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tempat ini bukan Cui-gwat-lo, tapi kalau berani maju setindak lagi, biar kulumat jiwamu di tanganku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apa benar?" jengek si baju hitam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jelas benar," seru Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Satu langkah aku maju ke depan, jiwaku pasti melayang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak akan salah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hitam segera melangkah maju satu tindak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perut Hong Si-nio seperti mengkeret, ia insaf dalam kondisi seperti ini dirinya terpaksa harus turun tangan, sekilas ia berpaling ke arah Sim Bik-kun, Sim Bik-kun juga tengah mengawasinya, mereka berdua serempak turun tangan bersama, mereka menubruk ke arah si baju hitam, maklum dua cewek ini bukan perempuan lemah yang gentar diterpa angin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Secara nyata ilmu silat mereka mestinya terhitung kelas satu di kalangan Kangouw, kalau si baju hitam yang satu ini setingkat dengan si baju hitam yang mampus di Cui-gwat-lo itu, padahal secara nyata si baju hitam itu tak mampu menghadapi rangsekan bersama serangan Siau Cap-it Long dengan Lian Shia-pik, berarti kesempatan menang dua cewek ini jelas boleh diperhitungkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio berharap hanya dalam setengah jurus saja dirinya dapat merebut kesempatan, sepuluh jurus kemudian berhasil merobohkan lawan yang satu ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Begitu menerkam ke depan, sepasang telapak tangannya merangsek dengan serangan gencar, telapak tangannya menari bagai kupu-kupu mengitari bunga, jurus awal menggunakan serangan pancingan menunggu reaksi lawan menemukan lubang kelemahannya lalu menyergap. Jurus permainan kungfu Hong Si-nio memang ajaran murni dari aliran Koan-im cabang Lam-hay, jurusnya beraneka perubahannya ruwet, gayanya indah mempesona.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jurus Hoa-hu-ping-hun, Ou-tiap-siang-hwi atau hujan bunga dan air berhamburan, kupu-kupu terbang berpasangan, merupakan ilmu pukulan murni dari kepandaiannya yang tulen, kelihatannya kosong padahal berisi, serangannya berisi tapi kadang hanya gertakan belaka, isi kosong, kosong isi tidak menentu dan susah diraba juntrungannya. Siapa tahu, baru saja jurus permainan dilancarkan, mendadak ia rasakan di depan matanya seperti terjadi hujan air dan bunga berhamburan, pergelangan tangannya tahu-tahu tercengkeram oleh jari-jari yang dingin, keras bagai besi, jari yang lain dengan tepat menutuk Giok-sim-hoat di belakang lehernya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tidak langsung roboh semaput, sekilas itu otaknya terbayang akan Siau Cap-it Long. Sekarang baru ia insaf betapa jauh jarak kepandaian silatnya dibanding Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siau Cap-it Long, dimana engkau," demikian pekik Hong Si-nio sekuatnya, sayang suaranya tidak keluar dari tenggorokan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lekas sekali hujan air dan bunga di depan matanya lenyap tak berbekas, pandangannya kini terasa gelap, gelap yang tak berujung pangkal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >* * * * *</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di pantai utara Se-ouw terdapat sebuah Po-ciok-san, di antara lamping gunung Po-ciok-san dibangun sebuah pagoda yang dinamakan Po-siok-tha, di bawah Po-siok-tha, di pinggir kanan terdapat sebuah Lay-hong-thing.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Saat itu Siau Cap-it Long berada di sana.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >XXX. SARANG NAGA GUA HARIMAU</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebuah perahu panjang meluncur di permukaan air, ditelan tabir malam, meluncur menyusuri tepian bagian utara. melewati Se-ling-kio terus meluncur ke kiri berlabuh di bawah Po-ciok-san.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perjalanan ini tidak dekat, perahu itu dikayuh dengan kecepatan cukup tinggi, tapi sepanjang jalan Siau Cap-it Long masih dapat mengejarnya dengan ketat hingga tiba di tempat ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebuah tandu kecil yang dipikul dua orang sejak tadi sudah menunggu kedatangannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Begitu meninggalkan perahu, melompat ke daratan, si baju hitam naik ke tandu, bocah pembawa lampion terus membuntutinya di belakang tandu, sementara itu tukang perahu menggerakkan galah panjangnya di air, perahu itu segera meluncur jauh ke tengah danau.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemikul tandu adalah lelaki berperawakan tegar berpakaian hitam ketat dengan tali pinggang merah, mengenakan sepatu laras tinggi warna hitam pula, kepalanya mengenakan caping rumput lebar, baju di depan dadanya dibiarkan terbuka, menunjukkan kulit dadanya yang keras mengkilap karena keringat. Jalan pegunungan jelas sukar ditapak, tapi langkah mereka begitu enteng, cekatan seperti beranjak di tanah datar layaknya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tandu itu pasti tidak ringan, tapi di pundak kedua orang ini seperti memikul keranjang kosong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengamati gerak-gerik kedua orang ini, Siau Cap-it Long menyadari kekuatan kaki kedua orang ini pasti tidak asor dibanding kepandaian jago Kangouw kelas satu zaman itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Thian Cong merupakan sarang naga gua harimau, tidak sedikit jago-jago kelas wahid yang berkumpul di sini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Menyusuri jalanan kecil yang berlika-liku terus naik ke atas, kedua pemikul tandu terus beranjak ke atas menuju ke Po-siok-tha yang ditimpa penerangan cahaya rembulan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long belum tidur, belum makan, hampir satu setengah jam ia mengayuh perahunya membuntuti musuh sampai di sini, semestinya juga merasa lelah. Umpama badannya dibangun dari besi juga akan merasa penat, perlu istirahat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tidak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam darahnya seperti mengalir kekuatan yang mendukung segala aktivitasnya tanpa batas, kalau ia tidak rela roboh, tiada seorang pun dapat merobohkan dirinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di bawah penerangan cahaya rembulan, Po-siok-tha kelihatan begitu indah mempesona, di depan pagoda berdiri satu paseban, dalam paseban seperti ada bayangan orang, siapa dia tidak terlihat jelas, karena cahaya rembulan teraling oleh bayangan pagoda, dilihat dari kejauhan, bayangan orang dalam paseban jadi lamat-lamat, seperti ada juga seperti tiada.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sepanjang jalan kedua pemikul tandu berlenggang tak kenal lelah, menyusuri jalan berbatu yang ditimpa sinar bulan tanpa mengeluarkan suara.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Malam semakin larut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long terus mengikuti ke depan, bocah yang menenteng lampion, meski cahayanya redup, tapi cukup menuntunnya untuk menentukan arah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah di puncak Po-ciok-san ini Thian Cong juga mendirikan cabang rahasianya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau kedua pemikul tandu melangkah enteng bagai terbang, sementara bocah penenteng lampion terus membuntuti tanpa ketinggalan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Alam sekelilingnya sunyi senyap, pada saat itulah, sinar api dalam lampion putih yang dibawa si bocah tiba-tiba padam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemikul tandu akhirnya menghentikan langkah, dilihatnya si bocah tetap mengangkat tinggi lampion putih yang apinya sudah padam, berdiri diam tak bergerak. Si baju hitam berkata, "Coba periksa, apakah lilinnya habis?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Suaranya runcing mirip suara perempuan. Terdengar si baju hitam berkata pula, "Lekas ambilkan lilin dan sulut lagi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dua kali si baju hitam berbicara, tapi bocah penenteng lampion diam saja tanpa memberi reaksi, tetap berdiri di tempatnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemikul di belakang tiba-tiba menimbrung, "Memangnya bocah ini bisa tidur sambil berdiri? Biar kuperiksa."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Serempak kedua orang menurunkan tandu, pemikul di belakang lebih dekat, maka ia maju ke depan si bocah penenteng lampion, tangannya diulur menepuk pundak orang sembari berkata, "Kau...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Baru sepatah kata, suaranya mendadak putus, seperti mulutnya mendadak disumbat suatu benda. Penenteng lampion mematung di sana, pemikul tandu juga mematung di sana</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemikul di depan geleng-geleng, segera ia datang menghampiri, begitu berada di depan mereka berdua, mendadak badannya menjadi kaku dengan mata terbeliak dan badan kaku mirip orang yang mendadak kena sihir.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiga orang itu seperti terpengaruh sihir yang aneh luar biasa berubah menjadi manusia kayu, tingkah dan gaya mereka sungguh membuat orang yang melihatnya ngeri dan seram.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menyaksikan dari kejauhan, tak urung ikut merasa takjub, kaget lagi heran, tokoh selihai dia pun tak tahu apa sebenarnya yang terjadi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Memangnya badan Siau Cap-it Long basah kuyup, menghadapi misteri yang menegangkan ini, tanpa sadar badannya menggigil kedinginan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sementara itu si baju hitam tetap duduk di tandu tanpa gerak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah dia juga kena sihir?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hampir tak tahan, Siau Cap-it Long ingin melompat maju memeriksa, si baju hitam mendadak menjengek dingin, "Bagus, serangan bagus. Kik-khong-tiam-hiat (menutuk jalan darah dari jarak jauh), Bi-liap-siang-jin (butir beras melukai orang), tokoh kosen seperti ini, kenapa main sembunyi mirip panca-longok?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kali ini ia bicara cukup panjang, terdengar jelas memang suara perempuan, hanya waktu bicara sengaja suaranya diibikin serak saja. Apakah Cong-cu (ketua) Thian Cong seorang perempuan?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia bicara dengan siapa?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dari dalam Lay-hong-thing seorang mendadak berkata, "Sejak tadi aku berada di sini, kau tidak melihat?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seorang melangkah keluar dari kegelapan, baju blaco celana putih, tangannya menenteng lembaran kain putih, panji-panji yang menari ditiup angin, meski cahaya rembulan guram, delapan huruf merah di kain putih panji itu masih terbaca jelas, "Siang-tong-jong-im, He-sit-kiu-yu".</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang ini ternyata bukan lain adalah si buta peramal, ilmu silatnya tinggi, sepak terjangnya misterius.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimana mungkin si buta ini mendadak muncul di tempat ini?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apa betul dia adalah Siau-yau-hou Thian-ci-cu yang mahir dan menguasai Kiu-coan-hoan-thong, Bu-siang-sin-kang itu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kenapa dia berada di sini, seperti sengaja menunggu kedatangan si baju hitam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Melihat orang mendadak muncul, si baju hitam kelihatan mengejang sekejap, agak lama kemudian baru menarik napas dan berkata, "Kaukah?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dingin suara si buta, "Kau masih mengenalku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhirnya si baju hitam turun dari tandu, kedua tangan digendong di belakang punggung, beranjak masuk ke dalam paseban, suaranya terdengar sember, "Kau juga mengenaliku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta menyeringai, "Kalau aku tidak mengenalimu, siapa sanggup mengenalimu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hitam menghela napas, katanya, "Betul, kalau kau tidak mengenaliku, siapa bisa mengenaliku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang aku sudah datang, coba jelaskan, bagaimana membereskannya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kan milikmu, pantasnya aku mengembalikan kepadamu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jangan lupa. jiwa ragamu pun menjadi milikku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tidak lupa," ujar si baju hitam, "aku tidak mungkin lupa."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dengan sepasang tangan ini aku membangun Thian Cong, kau...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak si baju hitam memotong perkataannya, "Darimana kau tahu aku berada di Thian Cong?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kecuali dirimu, siapa lagi orang di dunia ini yang tahu rahasia Thian Cong?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hitam menundukkan kepala, mulutnya bungkam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di tengah malam nan sunyi, cukup panjang percakapan mereka, angin gunung menghembus kencang, hawa dingin menembus tulang, Siau Cap-it Long mengikuti percakapan mereka dengan jelas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiap patah kata yang terucapkan mereka, jelas mengandung banyak rahasia yang susah dicerna orang lain, rahasia yang menakutkan, rahasia yang mengerikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Makin mendengar bulu kuduk Siau Cap-it Long mengkirik seram, bukan hanya kaki tangan dingin, hati dingin, otaknya juga seperti menjadi beku.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak si baju hitam berkata, "Kau ... betul kau ingin aku mati?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta menjawab, "Aku sudah mati sekali, tentunya sekarang giliranmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Memangnya aku belum pernah mati sekali? Kenapa kau memaksaku ...." Sampai di sini mendadak ia turun tangan, menebarkan cahaya kemilau dingin, sementara badannya secepat kilat berputar mengitari paseban dua lingkaran, mendadak bayangannya menghilang entah kemana.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta menjejak bumi, badannya melambung berjumpalitan di angkasa, menghindari sergapan senjata rahasia orang, di tengah udara ia membentak, "Berani kau membokongku? Kau ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam paseban tinggal satu orang, tapi mulutnya masih mencaci maki, jelas tiada sambutan atau reaksi orang lain. Begitu angin gunung berhembus, si buta mendadak berhenti sambil tutup mulut, akhirnya ia sadar si baju hitam telah minggat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seorang diri ia berdiri di tengah kegelapan, kelihatan betapa menyedihkan, sungguh kasihan, sungguh kenakutkan, mendadak ia menengadah bergelak tawa, serunya, "Jangan lupa, tiga ratus enam puluh cabang Thian Cong semua aku yang mendirikan, memangnya kau bisa lari kemana?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Loroh tawanya terdengar pilu, dengan cepat ia bergerak mengitari paseban dua kali, mendadak bayangannya pun menghilang entah kemana.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Angin berhembus kencang, bintang-bintang sudah menghilang di angkasa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemikul tandu dan bocah penenteng lampion masih tetap berdiri mematung di tempatnya, di bawah cahaya rembulan, tampak betapa mengerikan roman muka mereka, mata melotot, mulut terbuka lebar, seperti sedang melolong kesakitan, seperti juga sedang minta tolong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mendekat, tangan diulur, dengan enteng ia tepuk puncak si bocah, badan si bocah roboh menyentuh pemikul pertama, pemikul pertama menyentuh pemikul kedua, tiga orang sama-sama roboh kaku, sekujur badan sudah kaku dingin, sepertinya tertutuk jalan darahnya dengan jarum berbisa, begitu racun bekerja jiwa pun melayang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Betapa mengerikan senjata rahasia itu, sungguh tak terbayangkan kehebatannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bahwa si baju hitam dan si buta dua-duanya bisa menghilang tanpa bekas, kejadian ini sungguh sukar diterima dengan akal sehat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan langkah mantap Siau Cap-it Long mendekati paseban, berdiri di tempat tadi si baju hitam berdiri, mendadak mulut menghardik, tangan membalik mencabut golok.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sinar golok meluncur seperti lembayung, di tengah deru anginnya yang kencang, beruntun terdengar suara "cras, cras, cras" enam kali, enam tiang paseban segi enam itu tertabas putus seluruhnya. Di tengah suara gemuruh runtuhnya atap paseban, satu di antara enam tiang itu ternyata berlubang bagian tengahnya, di bawah lubang itu ditemukan sebuah lorong bawah tanah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lorong rahasia yang dibangun di bawah tiang memang dibuat sedemikian rupa bagusnya, kalau bukan seorang ahli teknik jelas takkan bisa menemukan letak rahasia kuncinya, tiga hari tiga malam jangan harap bisa menemukan lorong bawah tanah itu. Bahwasanya Siau Cap-it Long tidak perlu mencari, dengan cara yang gampang dan langsung ia bongkar semua rahasia itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long hanya menggunakan golok, di dunia ini, kekuatan mana yang mampu menandingi ketajaman, kehebatan tabasan golok Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lorong bawah tanah itu lembab dingin, cahaya sinar matahari takkan pernah bisa masuk ke tempat ini, angin pun takan berhembus sampai di sini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dari puncak gunung yang diterangi cahaya rembulan, turun sampai di sini, layaknya masuk ke sebuah kuburan, lebih layak kalau diartikan masuk ke neraka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tidak peduli, dengan langkah lebar ia masuk ke dalam lorong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Asal dapat membongkar rahasia ini, dia rela terjeblos ke dalam neraka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Menyusuri undakan yang menjulur panjang ke bawah, makin rendah makin gelap, di sini tiada setitik sinar, tak terlihat ada bayangan orang, di ujung undakan teraling dinding, waktu ia meraba dengan jari tangan, terasa itulah sebuah patung Buddha dari batu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dimana orangnya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si baju hitam dan si buta apakah ditelan oleh setan iblis yang bersembunyi dalam kegelapan?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long memejamkan mata, perlahan ia menarik napas panjang, waktu membuka mata pula, lapat-lapat ia dapat membedakan bentuk patung Buddha itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sejak lahir Cap-it Long memiliki sepasang mata tajam, apalagi sekarang Lwekangnya teramat tinggi, di tengah gelap yang paling pekat sekalipun ia dapat melihat bayangan yang tidak mungkin terlihat orang lain.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Patung Buddha yang teramat besar seperti sedang mengawasi dirinya dari atas, kepala tertunduk, sikapnya seperti dirundung masalah serius, entah sedang gusar karena terasing di tempat nan dingin ini atau penasaran karena di tempat yang tidak terawat ini dirinya terasing dari dunia ramai.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau kehadiranmu di sini benar-benar sakral, kenapa tidak memberi petunjuk menolong kesulitan orang? Buat apa duduk menyepi tanpa peduli manusia umumnya berbuat jahat di depan matamu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukankah banyak orang di dunia ini mirip dengan patung batu ini, selalu cuci tangan menonton saja, membisu tuli tanpa mau mencampuri urusan manusia.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Menghadapi patung besar di hadapannya, Siau Cap-it Long tertawa dingin, "Kulihat kau ini hanya seonggok batu yang bodoh, berdasar apa aku harus menghormat kepadamu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Patung batu tetap duduk diam, anteng dan tenang. Entah sudah berapa lama duduk di sini, selama ini belum pernah ada orang, untuk persoalan apapun tidak pernah mengganggu ketenanganmu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menggenggam gagang goloknya, "Selama hidup manusia di dunia ini selalu diliputi bencana dan sengsara, tiap orang akan selalu merasakan siksa derita, kenapa hanya kau terkecuali?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Entah kenapa timbul angkara murka dalam sanubarinya, amarah yang membakar relung sanubarinya, tanpa sadar ia mencabut pula goloknya, dengan goloknya ia ingin membabat hancur seluruh angkara di dunia fana ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sinar golok berkelebat, bunga api berpijar, bacokan goloknya tepat mengenai dada patung batu yang bidang itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di tengah kegelapan, mendadak berkumandang suara rintih yang lirih. Lorong panjang ini jelas tiada orang lain, apakah suara rintihan itu datang dari patung batu ini?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah patung batu yang bisu tuli ini, akhirnya bisa merasakan sengsara orang lain?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu Siau Cap-it Long mencabut goloknya, jari-jemarinya terasa basah oleh keringat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Begitu goloknya menusuk tembus ke dalam batu, setelah dicabut tentu meninggalkan celah lubang. Demikian pula dengan golok Siau Cap-it Long, di tempat mana pun golok itu membacok atau menusuk, pasti akan meninggalkan lubang yang mematikan. Dari lubang luka bekas tusukan goloknya, bukan darah yang mengalir keluar, tapi selarik sinar kemilau yang guram.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terdengar pula suara rintih.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Suara rintih keluar dari celah lubang golok tusukan Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mata Siau Cap-it Long menjadi benderang, kembali ia mengayun golok berulang, pecahan batu berhamburan, cahaya makin benderang, wajah patung batu itu makin kelihatan jelas, muka patung kini mulai tampak tersenyum. Walau dadanya terbelah, justru memberi petunjuk berharga bagi Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia berkorban diri menerangi orang lain, umpama dia bukan seonggok batu keras, sekarang yakin sudah menjadi patung dewa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sinar lampu yang gemerdep di tengah kegelapan, kelihatan mirip cahaya emas yang kemilau di istana nan megah cemerlang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya cemerlang keemasan itu menyorot keluar dari lubang yang dibuat Siau Cap-it Long di dada bidang patung batu besar itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dimana ada pelita, di situ pasti ada orang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menerobos masuk lewat lubang yang dibuatnya, masuk ke lubang kubur dalam kuburan, masuk neraka dalam neraka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pelita berada di dinding, orang berada di bawah pelita emas itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya lampu lembut biarpun redup, orangnya justru sudah kaku dingin. Mayat si buta tampak meringkuk, sepertinya mengkeret jadi kecil, sebilan pisau perak menancap di hulu hatinya, pisau itu sudah ia cabut keluar sendiri, darah masih menetes di ujung pisau.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata darahnya juga berwarna merah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu jari-jari tangannya dibuka, pisau perak itu diambilnya, darah segar berlepotan di telapak tangannya, mengalir di antara jari-jari tangannya, membentuk sebuah huruf Thian.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si buta ternyata bukan lain, betul adalah Siau-yau-hou Kosu Thian adanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ternyata dia tidak mampus di dasar Sat-jin-gay, jurang yang ribuan meter dalamnya itu, kini mampus di bawah lorong gelap nan dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangannya yang satu masih menggenggam kencang sebelah tangan si baju hitam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangan si baju hitam juga sudah kaku dingin, tutup mukanya masih memancarkan cahaya kemilau.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu topeng penutup mukanya disingkap, yang tersembunyi di baliknya adalah seraut wajah memucat putih nan cantik jelita, sepasang bola matanya yang melotot seperti mengawasi Siau Cap-it Long, rona matanya seperti mengandung perasaan yang sukar diterima oleh akal sehat, entah murka? Ketakutan? Atau sedih?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ketua generasi kedua Thian Cong, ternyata memang benar adalah Pin-pin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kedok yang mengkilap itu jatuh di tanah, telapak tangan Siau Cap-it Long basah oleh keringat dingin. Keringat dingin yang lebih dingin dibanding darah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setengah bulan yang lalu, Siau Cap-it Long sendiri mungkin tidak tahu kalau dirinya bakal berada di Cui-gwat-lo, bagaimana mungkin ada orang membocorkan jejaknya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab aktivitasnya selama ini, seluruhnya diatur oleh Pin-pin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Para pengkhianat Thian Cong, bagaimana mungkin terbunuh seluruhnya di tangan Siau Cap-it Long?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab Pin-pin menghendaki Siau Cap-it Long membunuh mereka semua.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kecuali Thian-ci-eu, memang hanya Pin-pin seorang yang tahu rahasia Thian Cong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan memperalat Siau Cap-it Long, ia membunuh mereka yang tidak tunduk dan patuh pada dirinya, dengan Siau Cap-it Long sebagai umpan, ia menuntun perhatian orang lain, secara diam-diam ia mengatur tipu daya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bila akhirnya ia merasa Siau Cap-it Long sudah tidak bermanfaat lagi bagi dirinya, diam-diam ia menyingkir, lalu mengatur tipu daya memperalat Lian Shia-pik untuk membunuhnya, membabat rumput sampai ke akar-akarnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rencananya memang rumit, rapi dan ces-pleng. Betapapun rapi rencananya, tak pernah terpikir olehnya, bahwa Siau-yau-hou ternyata masih hidup, mencari dan membuat perhitungan terhadapnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kini kakak beradik sama-sama mampus di tangan masing-masing, budi dendam di antara mereka sudah berakhir, tamat mengikuti jiwa yang melayang, semua rahasia kini telah terbongkar dan memperoleh jawabannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau dicerna dan dirasakan dengan cermat, hanya itulah jawaban yang patut dan pantas diterima.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Akhir kisah ini adalah akhir satu-satunya yang bisa diterima secara umum, memangnya belum puas menerima akhir kisah ini?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mungkin hanya Siau Cap-it Long seorang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan mendelong ia berdiri menghadapi dua mayat orang, rona mukanya mengunjuk perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan rangkaian kata nan panjang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apa yang sedang ia pikirkan dalam hati?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangan orang mati, masih saling genggam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah menjelang ajal kakak beradik ini sadar dan saling mengerti, hakikatnya mereka adalah saudara sedarah sedaging. Waktu tangan mereka dibuka, baru terlihat ternyata jari-jari mereka sama menggenggam tongkat besi yang menjulur keluar dari celah-celah dinding batu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Begitu Siau Cap-it Long melepas pegangan tangan mereka, tongkat besi itu mendadak menyendal naik, tanpa mengeluarkan suara selembar besi baja besar melorot turun, "Blang", berdentam keras menyentuh bumi, menutup jalan keluar, jalan satu-satunya untuk keluar dari lorong bawah tanah ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah mati, dua saudara kakak beradik ini ternyata menginginkan pengiring seorang Siau Cap-it Long dalam kuburnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sesal, dendam permusuhan telah berakhir, semua tipu muslihat telah terbongkar, cinta kasih dan persahabatan sudah berubah kosong, masihkah ada yang berharga dalam kehidupan ini?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long duduk menggelendot di dinding batu, dinding batu nan dingin, cahaya api semakin guram.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pikiran Siau Cap-it Long kosong, tiada rasa sedih, pilu atau amarah, tiada rasa takut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang satu-satunya yang ia tunggu hanya kematian. Bagi dirinya mati bukan hal yang menakutkan, tak perlu dibuat sedih atau marah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Entah berapa lama kemudian, api akhirnya padam, alam semesta kembali menjadi gelap gulita.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Memangnya kenapa kalau gelap? Kalau mati sudah bukan menjadi ganjalan, apa artinya kegelapan?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long merasa ingin tertawa, tertawa lebar, habis tertawa lalu menangis, habis menangis berteriak, berteriak keras, melolong panjang, kenyataan ia tetap duduk mematung tanpa bergerak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rasa penat merasuk sekujur badan, lelah yang amat sangat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia pernah mencintai orang, juga dicintai orang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Peduli mencintai atau dicintai, cinta adalah perasaan nan agung dari lembar kehidupan manusia yang paling suci dan bersih.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia pernah merasa terhina, pernah merasa bangga, siapa pun dia kalau bisa hidup sepanjang hayat di kandung badan seperti dirinya, patut merasa puas dan bangga.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sayang sekali, sekarang belum tiba saatnya ia harus ajal dengan percuma.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekonyong-konyong dari atas berkumandang teriakan kaget seorang, menyusul selarik cahaya menyorot masuk menyinari badannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia dapat merasakan hangatnya cahaya mentari, juga jelas mendengar teriakan kaget dan senang seorang di atas, "Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Long masih hidup." Menyusul seorang melompat turun, membimbing badannya berduduk, dia bukan lain adalah Lian Shia-pik. dari gerak dan suaranya ia mengenal siapa dia.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi kelopak matanya seperti diganduli benda berat ribuan kati, tak kuasa ia membuka mata, tekanan yang berat luar biasa melebihi tabir kegelapan seperti menindih sanubarinya, menindih tepat di atas dadanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia merasa badannya amat penat, amat lelah, lelah sekali....</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sayang kegelapan seperti mendadak meninggalkan dirinya, tiba-tiba ia merasakan napasnya dapat menghirup hawa segar yang berbau harum, mirip saat dirinya berada di hutan waktu muda dulu, hawa segar di ladang liar yang belum pernah dijamah manusia.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang ia bukan lagi anak muda seperti pengalamannya dahulu. Tempat ini bukan ladang atau hutan liar yang luas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di sekitar dirinya ia merasa banyak orang sedang berkerumun saling celoteh entah persoalan apa yang diperbincangkan, ia tidak jelas mendengar percakapan mereka, namun yang jelas ia mendengar setiap orang yang bicara tentu tak lepas menyebut nama Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekonyong-konyong suara seorang menekan pembicaraan banyak orang, ia tidak melihat siapa dia tapi ia mengenal suara orang ini. Siapa lagi kalau bukan Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Suaranya kalem jelas tapi bertenaga, "Sekarang tentu kalian sudah tahu, Siau Cap-it Long juga dijebak dan dicelakai orang, yang membuatnya celaka bukan lain adalah adik sepupu Siau-yau-hou yang bernama Kosu Pin, yaitu ketua generasi, kedua dari Thian Cong. Jadi persoalan Cayhe dengan Siau Cap-it Long, meski cukup lama tak terselesaikan, tapi sekarang semua peristiwa itu telah berlalu, masa lalu biarlah menjadi kenangan. Menaruh golok bersumpah menjadi umat Buddha yang soleh, aku hanya mengharap...”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tidak mendengar jelas perkataan selanjutnya, ia hanya berharap selekasnya meninggalkan tempat ini, meninggalkan kehidupan, meninggalkan mereka, ia tidak ingin berhadapan lagi dengan tokoh-tokoh kosen, orang-orang gagah ....</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak ia melompat berdiri menghampiri Lian Shia-pik, katanya, "Kau menolongku, aku berhutang nyawa kepadamu." Habis bicara tanpa menoleh lagi ia beranjak pergi dengan langkah cepat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Untuk bertahan hidup memang bukan hal yang mudah, tapi ia bersumpah akan terus mempertahankan jiwa raga.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab ia berhutang nyawa kepada orang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sepanjang jalan hidupnya, Siau Cap-it Long belum pernah berhutang kepada orang lain, hutang macam apapun, ia akan selalu berusaha untuk melunasinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mentari sudah doyong ke barat, senja telah menjelang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Air yang mengalir di bawah jembatan Se-ling-kio terasa makin dingin, rumput yang bertebaran di ladang ilalang di musim rontok mulai menguning.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rembulan sudah menongol dari peraduannya..</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kapal besar Cui-gwat-lo entah masih berlabuh di dermaga semula tidak?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Apakah Hong Si-nio masih menunggu dirinya di sana?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perahu kecil panjang itu meluncur di permukaan air, cuaca di danau Se-ouw terasa sejuk, Siau Cap-it Long berada di perahu kecil itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Peduli mati atau hidup, tetap tinggal di sini atau mau pergi entah kemana, sekali-kali ia pantang meninggalkan Hong Si-nio begitu saja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cuaca belum seluruhnya gelap, cahaya lampu sudah menyala di Cui-gwat-lo, sayup-sayup seperti berkumandang seorang bersenandung.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perahu kecil itu terus meluncur makin dekat, di buritan kapal besar seorang menghaidik dengan lantang, "Siau-kongcu sedang menjamu para tamu di sini, orang-orang yang tidak berkepentingan diharap menyingkir."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long berkata, "Muncul lagi Siau-kongcu yang menjamu para tamu di sini? Siau-kongcu yang mana?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan pongah lelaki di buritan itu berkata, "Siapa lagi, sudah tentu Siau Cap-ji Long yang terkenal sebagai pendekar angkatan muda itu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tertawa lebar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia sendiri heran kenapa dirinya bisa tertawa geli, tapi kenyataan ia memang sedang tertawa, tertawa lebar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Gelak tawanya mengejutkan orang-orang dalam kabin, seorang dengan menggendong tangan melangkah keluar, sikapnya angkuh, pakaiannya perlente, masih muda, membusung dada, siapa lagi kalau bukan Siau Cap-ji Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Begitu melihat Siau Cap-it Long, senyum lebar seketika menghias wajahnya yang cakap, sikapnya berubah hormat dan sungkan, serunya, "Kau telah datang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tahu aku akan datang?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Seorang meninggalkan sepucuk surat untukmu, minta aku menyerahkan kepadamu," demikian kata Siau Cap-ji Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Surat dari siapa?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Orang yang mengantar surat ini." sahut Siau Cap-it Long. Jawabannya sungguh jenaka, namun sikapnya serius, dengan laku hormat dengan kedua tangannya ia mengangsurkan surat itu kepada Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sampul suratnya masih baru, namun kertas suratnya sudah lusuh, sepertinya pernah diremas, lalu digelar lagi lalu ditekan merata.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku sudah pergi. Lenganmu tentu kesemutan tertindih kepalaku, tapi bila kau siuman, lenganmu pasti takkan kesemutan lagi. Yang mereka cari hanya aku seorang, kau tidak perlu ikut dan tak usah ikut. Kelak umpama takkan bisa bertemu lagi denganku, yakin kau akan cepat memperoleh berita tentang diriku. " Perasaan Siau Cap-it Long mengendap makin rendah. Ia kenal surat itu, sebab surat itulah yang ia tinggalkan untuk Hong Si-nio. tak pernah terbayang dalam benaknya, Hong Si-nio menyimpan surat itu, lebih tak disangka sekarang ia kembalikan surat itu kepada dirinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi ia paham, mengerti apa maksudnya, waktu meninggalkan surat ini, bukankah ia sudah siap untuk menghadapi kematian. Mati.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Itulah berita satu-satunya yang ia tinggalkan untuk dirinya "Aku tidak boleh mati. Aku masih hutang jiwa kepada orang lain.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Angin kencang berhembus, sampul surat di tangan Siau Cap-it Long tertiup lepas melayang-layang, lalu jatuh ke danau, sampul surat itu hanyut mengikuti alunan gelombang halus di permukaan danau, mirip sekali sekuntum bunga yang rontok.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bunga telah berguguran, musim semi dalam kehidupan ini juga telah menjelang, masih adakah yang tersisa?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengawasinya Siau Cap-ji Long berkata, "Mestinya Wanpwe ingin mengajak Siau-tayhiap minum bersama."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa tidak kau siapkan saja," ujar Siau Cap-it Long tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-ji Long tertawa, katanya, "Wanpwe tidak berani, rasanya kurang setimpal." Tawanya begitu simpatik, begitu sopan sambil meitibungkuk, "Siau-tayhiap, kalau tiada pesan lain, maaf Wanpwe mohon diri."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengawasi orang membalik badan beranjak masuk ke kabin, Siau Cap-it Long ingin tertawa, namun tak bisa tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tukang perahu yang mengendalikan perahu kecilnya mendadak menepuk bahunya, : "Orang tidak ingin kau minum araknya, berdiri di sini apa gunanya, hayolah pergi saja.”</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long memanggut perlahan, katanya menyengir, "Kalau harus pergi, ya harus pergi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tukang perahu mengawasinya, tanyanya, "Apa kau ingin minum arak?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mengiakan sambil memanggut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Berapa banyak duit yang kau bawa?" tanya tukang perahu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangan Siau Cap-it Long merogoh kantong, lalu ditarik keluar pula, tangannya kosong alias tongpes. Siau Cap-it Long baru sadar kini dirinya tidak punya uang sepeser pun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tukang perahu malah tertawa lebar, "Ternyata kau ini juga setan arak, mana ada setan arak yang punya banyak duit, rasanya ongkos perahu kali ini juga harus kurelakan gratis." Sembari bicara galah di tangannya menutul ke air, perahu itu meluncur ke tengah danau, "Kalau kau mau menungguku setengah jam lagi, akan kuadakan jual beli sebentar, nanti aku traktir kau minum sepuasnya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Baik, aku tunggu," ujar Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lalu ia duduk di pinggir perahu, matanya mendelong menatap ke temnat jauh, kabut tebal mendatangi membuat pemandangan permukaan danau makin kabur, tabir malam pun makin gelap.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemandangan malam di Se-ouw sebetulnya tak banyak berubah indahnya, sayang sekali malam ini bukan lagi malam kemarin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >* * * * *</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pasar malam baru saja buka, saat paling ramai di sepanjang jalan raya ini, toko-toko sepanjang jalan mulai menyulut lampu, tampak betapa indah mempesona kain sutra, keramik, berbagai makanan yang dijajakan di beberapa toko itu, para pembeli juga menghias wajah dengan senyum lebar dan tawa senang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tukang perahu sudah berganti pakaian bersih, dengan langkah lebar ia berjalan di depan, sikapnya kelihatan bersemangat, senang dan bingar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Duit di kantongnya mungkin tidak cukup untuk membayar seguci arak, namun sikap dan polanya mirip orang pongah, seolah-oleh dunia ini milik kita.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab kemarin ia sudah melampaui kehidupan sehari yang melelahkan, kini tiba saatnya ia menampakkan diri sebagai lelaki sejati.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan menepuk pundak Siau Cap-it Long ia berkata, "Arak yang dijual di jalan ini paling mahal, jangan kita minum di sini. Tapi tiap hari aku pasti melancong ke sini, berapa lama pun tak jadi soal, kan tidak perlu bayar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tawanya memang riang gembira, sebab di sini ia bebas mau melihat apa saja sesuka seleranya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cukup hanya melihat dan melihat, hatinya amat puas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau seorang punya pandangan hidup seperti tukang perahu ini, maka segala persoalan di dunia ini tak perlu dibuat kapiran, tak usah sedih, tak perlu keluh gerutu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Siau Cap-it Long merasa hidupnya ternyata tidak sebanding dengan tukang perahu ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bahwasanya ia tidak punya jiwa terbuka, hati yang lulus dan pikiran bajik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kebetulan terlihat oleh Siau Cap-it Long di depan sana ada sebuah bank.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah dekat, mendadak Siau Cap-it Long berhenti dan berkata, "Kau tunggu aku sebentar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau mau apa?" tanya tukang perahu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku ... aku akan masuk sebentar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tukang perahu tertawa, "Dalam bank ini tiada sesuatu yang pantas jadi tontonan, daging bakpao bukan dibungkus kertas, uang yang ada dalam almari besi juga takkan bisa kelihatan." Namun ia mengikuti langkah Siau Cap-it Long masuk ke dalam bank, "Ikut masuk sambil melihat-lihat juga tak mengapa."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kasir bank kira-kira berusia pertengahan, namun rambut kepalanya sudah ubanan, melihat dua lelaki beranjak masuk, sorot pandangnya menampilkan mimik kaget dan heran, namun sikapnya tetap hormat, sapanya, "Tuan-tuan ada keperluan apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sepertinya aku masih punya rekening di bank ini," ucap Siau Cap-it Long. Dari atas lihat ke bawah, lalu dari bawah pandang ke atas, beruntun dua kali kasir bank memperhatikan Siau Cap-il Long, lalu katanya dengan tawa dipaksakan, "Apa tuan tidak salah ingat?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Jelas tidak," sahut Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tuan she apa?" tanya kasir bank.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"She Siau, Siau Cap-it Long."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kasir bank langsung tertawa lebar, "O, kiranya Siau-toaya, betul, Siau-toaya memang punya rekening di bank kami."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bisa anda tolong periksa masih berapa banyak tabungan uang dalam rekeningku, aku ingin mengambilnya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >”Umumnya bank kami berdasar cek atau buku rekening bank untuk mengambil uang, tapi untuk Siau-toaya kami boleh memberi kemudahan," sampai di sini senyum tawanya berubah aneh, suaranya menjadi perlahan, "sebab rekening Siau-toaya baru saja kami tutup."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maksudku apakah ada uang dalam rekeningku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ada, tentu ada," sahut kasir bank, dengan laku hati-hati ia menarik sebuah laci di balik punggungnya, mengeluarkan sekeping uang tembaga, perlahan ia taruh di meja, dengan senyum getir berkata, "Sisa rekening Siau-toaya. hanya sebanyak ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tidak bergerak, tidak bersuara, bagaimana pun uang tembaga ini kelihatan masih baru, disorot sinar lampu kelihatan masih kemilau mirip emas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Apa Siau-toaya ingin memeriksa pembukuan kami?" tanya kasir bank.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menggeleng kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kasir bank berkata lebih jauh, "Kalau Siau-toaya ingin menyimpan sisa uang ini dalam rekeing bank, dengan senang hati akan kucatat dalam buku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Siau Cap-il Long berpaling, "Satu sen duit dapat beli apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tukang perahu garuk-garuk kepala, lalu berkedip mala, sahutnya, "Dapat membeli sebungkus besar kacang goreng."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan kedua jarinya, Siau Cap-it Long jepit keping uang tembaga itu, dengan senyum lebar ia berkata, "Kacang cocok untuk teman minum arak, satu sen duit ini jelas akan kumanfaatkan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Betul sekali, satu sen tidak banyak, mending daripada tidak ada."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sambil bergelak tawa riang mereka melangkah keluar dari bank, kasir bank mengawasi mereka sambil menggeleng kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kasir bank jelas takkan mengerti, kenapa satu sen duit dapat membuat mereka segembira itu, sebab ia jelas mengetahui hanya dalam semalam lelaki yang semula memiliki harta berlimpah ini, telah jatuh bangkrut habis-habisan, duitnya tinggal sisa satu sen.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Si kasir tahu karena tadi ia sempat memeriksa buku rekening bank atas nama Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sepanjang usianya melebihi setengah abad, dan tiga puluh tahun menjadi kasir bank, belum pernah ia saksikan orang yang mendadak kaya secepat itu, tapi belum pernah melihat orang yang jatuh bangkrut secepat itu pula.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bersambung</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" >BENTROK PARA PENDEKAR</span></b></div><div style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" >Karya Gu Long</span></b></div><div style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" >Jilid 19 Tamat</span></b></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bentuk pedang itu kuno antik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di mata pedang yang kelihatan antik itu terukir empat huruf 'Hiap Gi Bu Siang' yang berarti jiwa satria tiada duanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pedang itu terbual dari emas murni, jelas bukan senjata untuk membunuh orang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hanya sebagai lambang hormat mereka terhadap Lian Shia-pik, maka nilai sesungguhnya dari pedang itu tidak terletak dari bobot emasnya, tapi empat huruf yang terukir di batang pedang itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >'Hiap Gi' atau pendekar pembela kebenaran, jelas makin surut saja nilai luhur kedua huruf itu, apalagi ditambah 'Bu Siang' yang berarti tiada duanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam kesan sanubari manusia umumnya, empat huruf itu hanya setimpal dianugrahkan kepada Lian-cengcu yang menjadi pemilik Bu-kau-san-ceng.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Malam telah larut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dentam tambur dan hingar-bingar gembreng makin jauh, lalu tak terdengar lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang banyak yang tadi hadir dalam ruang besar ini sudah bubar. Dalam ruang besar itu kini tinggal Lian Shia-pik seorang dan sebuah lampu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia kelihatan lelah, seperti merasa sebal dan resah oleh keramaian tadi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan ia menyipitkan mata, tangannya mengelus perlahan keempat huruf yang terukir di batang pedang, tangannya enteng elusannya lembut, seperti mengelus di dada sang kekasih yang mempesona.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >‘HIAP GIBU SIANG'.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukan tawa riang, gembira, bukan tawa yang membangkitkan semangatnya, tapi seringai tawa yang mengandung cemooh dan hina.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Angin malam berhembus masuk lewat jendela, hawa dingin mulai merangsang badan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jari-jari Lian Shia-pik yang mengelus pedang mendadak berhenti, seringai tawa yang menghias mukanya juga seketika lenyap. Tapi nada suaranya tetap tenang dan mantap, "Siapa yang berdiri di kebun?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tio Pek-ki." seorang menjawab di luar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik memanggut, "Masuklah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dari gerombolan rumpun kembang, Tio Pek-ki beranjak keluar, dengan langkah enteng perlahan menghampiri dengan sikap hormat dan prihatin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia. Siapa lagi kalau bukan Tio Toa, si tukang perahu yang meninggalkan Siau Cap-it Long di kedai arak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya lampu menyinari pedang emas, cahaya yang memancar menerangi seluruh lingkup ruang besar itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tio Pek-ki jelas sudah melihat pedang emas itu, tapi dia menunduk pura-pura tidak melihat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik seperti sedang menggumam, "Inilah tanda bukti betapa besar belas kasih para tetua kampung, mestinya aku tidak berani menerima, namun kecintaan itu sungguh sukar untuk aku tolak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Bagi seluruh warga perkampungan kita, penghargaan ini rasanya pantas sekali. Tanpa kebesaran dan wibawa Cengcu yang disegani seluruh insan persilatan, mana mungkin penduduk perkampungan ini dapat hidup aman tenteram dan sentosa, penghargaan sekecil ini rasanya cukup setimpal."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tio Pek-ki mengobral omongan, seolah-olah mewakili para sesepuh kampung, dan pedang emas itu adalah anugrah untuk Bu-kau-san-ceng layaknya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik tertawa-tawa, "Yang benar, aku ini juga orang biasa, mana berani mendapat anugrah Hiap Gi Bu Siang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tio Pek-ki masih ingin mengucap rangkaian kata pujian yang lebih muluk, entah kenapa mendadak tenggorokan seperti tersumbat hingga tak mampu bicara lagi. Sebab ia sadar, sorot mata Lian Shia-pik yang tajam dan dingin sedang menatapnya lekat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Diam-diam Tio Pek-ki bergidik tanpa kedinginan, dengan tersipu dari balik badannya ia keluarkan sebuah buntalan kain panjang, dengan kedua tangan ia angsurkan kepada Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bungkusan panjang itu berisi sebatang golok, golok yang menggetar dunia persilatan dan ditakuti gembong penjahat yang memusuhi pemilik golok ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kek-lok-to, golok jagal rusa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan golok itu keluar dari rangkanya. Mata golok yang dingin kemilau, menyinari wajah Lian Shia-pik nan dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sinar golok tajam benderang, sorot matanya juga mencorong. Sorot mata yang mencorong bergerak dari ujung kanan ke ujung kiri. Lambat laun rona muka yang semula dingin mulai bersemu merah lalu mengulum senyum. Lian Shia-pik boleh tertawa senang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kali ini tawanya tidak mengandung mimik hina atau cemoohan, tapi merasa senang, menang dan puas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi tawa itu hanya sekilas menghias ujung mulutnya, mendadak sirna tak berbekas lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sorot matanya setajam pisau menatap muka Tio Pek-ki, "Cara bagaimana golok ini berada di tanganmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kuganti dengan beberapa poci arak dan sebungkus kacang goreng," sahut Tio Pek-ki.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"O? Begitu?" seru Lian Shia-pik tak acuh.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Araknya malah yang paling murah dan sebungkus kacang yang hanya dijual di pasar. Cengcu pasti tidak menduga, golok pusaka yang menggetar dunia, bisa kuperoleh hanya dengan pengorbanan yang tidak berarti."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sikap Lian Shia-pik memang seperti melenggong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan bangga Tio Pek-ki berkata lebih lanjut, "Cengcu pasti tidak menduga, Siau Cap-it Long menyuruh aku menggadaikan goloknya ini, maksudnya hanya untuk ditukar beberapa poci arak dan bungkusan kacang. Siau Cap-it Long yang menggetar Kangouw itu kini sudah menjadi setan arak tulen, nama besar Siau Cap-it Long selanjutnya bakal dihapus dari lembar kehidupan insan persilatan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Hal ini memang membuat orang tidak menduga."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tio Pek-ki tertawa, "Kalau seorang hanya ingin minum dan minum tiap hari, betapapun besar dan nyaring nama besarnya, akhirnya pasti luntur dan luluh oleh arak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik manggut-manggut. "Betul, tidak salah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maka dia sudah tidak setimpal menggunakan golok ini," kata Tio Pek-ki lebih jauh, "orang gagah yang setimpal menggunakan golok ini sekarang siapa lagi kalau bukan Cengcu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“O? Masa aku?" seru Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sekarang umpama menyuruh Siau Cap-it Long membabat rumput dengan golok ini, yakin rumput pun takkan terbabat olehnya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Golok jagal rusa ini memang bukan untuk membabat rumput, manfaat utama golok ini tetap satu, hanya membunuh orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tio Pek-ki tertegun, "Membunuh orang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Betul, membunuh orang. Terutama orang yang menganggap dirinya paling pintar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sembari bicara golok di tangannya mendadak berkelebat menabas leher Tio Pek-ki.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu batok kepala itu jatuh menggelinding di lantai, sikap dan mimik muka Tio Pek-ki belum berubah. Itulah rasa kaget dan heran, mati pun ia tidak mengerti kenapa Lian Shia-pik justru membunuhnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mata golok yang cemerlang dengan cahayanya tampak bersih tiada noktah darah sedikitpun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Golok bagus," dengan jari-jemarinya Lian Shia-pik mengelus golok itu dengan sikap sayang, sorot mata nan memuji, "Betul-betul golok bagus." Mendadak ia mengangkat kepala serta meninggikan suara, "Mana petugas!"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dua lelaki berseragam hijau sambil mengiakan melangkah masuk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik membungkus kembali golok jagal rusa, katanya, "Cepat kejar Siau Cap-it Long, langsung kembalikan golok ini kepadanya. Katakan kepadanya, hanya orang macam Siau Cap-it Long di dunia ini yang pantas menggunakan Kek-lok-to ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekilas kedua lelaki itu saling pandang, mimiknya seperti heran dan kaget, tapi tak berani banyak bertanya, begitu menerima buntalan langsung mengundurkan diri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setelah keluar dari ruang besar satu di antaranya tak tahan menghela napas, katanya, "Dapat berkenalan dengan sahabat seperti Cengcu kita, hidup Siau Cap-it Long terhitung tidak sia-sia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Temannya menimbrung, "Sikap Cengcu terhadap Siau Cap-it Long rasanya cukup adil, benar lagi penuh rasa cinta kasih ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiap manusia yang hidup di dunia, ada kalanya senang, semua serba terpenuhi, semua keinginan terkabul, sudah tentu ada kalanya semuanya tidak menyenangkan, tidak cocok selera tidak memenuhi syarat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebagai makhluk yang punya akal budi tinggi, maka manusia menciptakan arak. Arak adalah sahabat manusia, terutama orang yang lagi kehilangan akal budi, orang yang gagal dalam menggapai cita-cita, tidak jarang arak digunakan untuk menghilangkan rasa resah, rasa sedih dan putus asa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang yang tercapai keinginannya, hidup senang hidup mewah juga tidak jarang menggunakan arak sebagai pelampias rasa bangga, percaya diri dan arogan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka dimana pun ada orang menjual arak, penjual arak tidak kuatir tidak dikunjungi setan arak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long memang peminum berat, tapi dia bukan pelanggan arak, sebab pelanggan harus punya duit untuk beli arak, Siau Cap-it Long justru bokek, tidak pernah punya duit. Tidak punya duit, syukur ada teman atau siapa saja yang mau mentraktir dirinya minum. Padahal Siau Cap-it Long tidak punya teman yang selalu mau mentraktir dirinya minum arak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jangan kata teman yang mentraktir minum tidak punya, teman yang tidak mentraktir apa-apa juga tiada.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa duit tak punya teman, namun arak masih tetap bisa diminumnya dengan puas, tidak jarang ia minum sampai mabuk. Kondisinya sekarang bukan lagi sebagai penggemar arak, ibaratnya ia bermusuhan dengan arak, tak peduli kapan saja, dimana saja, ada arak harus diminum habis, pengaruh air kata-kata sudah tidak ia pedulikan lagi, pokoknya minum.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di seluruh pelosok dunia, dimana saja pasti ada arak, arak tak pernah habis diminum, mungkinkah seorang bisa minum habis seluruh arak yang ada di dunia ini? Maklum kalau Siau Cap-it Long minum dan minum, tiap hari minum, tiap hari mabuk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belasan li di wilayah ini, dimana ada orang jual arak, Siau Cap-it Long pasti pernah ke sana. Tiap tempat ia hanya bisa minum sekali, akibatnya, kalau bukan hidung dihajar bocor, mata sembab, bibir pecah, badan babak belur, tentu diseret dan dibuang orang ke selokan seperti orang mengusir anjing buduk layaknya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukan saja bokek, Siau Cap-it Long sudah tidak punya apa-apa yang berharga, pakaian yang melekat di badan sudah compang-camping, kotor dan jorok.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long yang sudah bangkrut, bahkan pakaian bobrok yang melekat di badan itu mendadak lenyap, hilang tak keruan parannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiada orang pernah melihat ia muncul di tempat dimana orang menjual arak. Dalam pikiran masyarakat luas terkesan hilangnya Siau Cap-it Long ibarat riak kecil yang bergeming di permukaan air, tiada orang memperhatikan mati hidupnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hanya satu orang memperhatikan nasibnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-ji Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dulu dimana ada orang jual arak, di sana dengan mudah orang akan menemukan Siau Cap-it Long, sekarang di pelosok manapun dimana ada orang jual arak, bayangan Siau Cap-it Long tidak pernah muncul lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-ji Long tidak percaya, orang yang sudah kecanduan minum ini bisa meninggalkan kebiasaannya itu. Semua kedai arak besar kecil, restoran ternama sampai hotel termewah pun sudah dilacaknya, namun bayangan Siau Cap-it Long tak pernah ditemukan lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau setan arak meninggalkan arak, sama dengan ikan meninggalkan air, mana mungkin bisa hidup?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-ji Long hampir tidak percaya kalau kejadian ini kenyataan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di saat hampir putus asa, saat kehabisan akal, suara caci maki dan kegaduhan mendadak berkumandang dari Hong-ping-ciu-lo.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong-ping-ciu-lou adalah restoran termegah, termewah di kota ini, para tamu yang mampir di restoran ini semua berkantong tebal, dari kalangan atas, entah para pejabat, pedagang besar atau orang-orang gagah, dalam keadaan biasa tak mungkin terjadi kegaduhan yang mengundang perhatian orang banyak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di halaman depan restoran berkerumun banyak orang melihat keramaian, satu dengan yang lain berceloteh entah membicarakan kejadian apa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dua pelayan restoran yang mengenakan seragam bersih menyeret keluar seorang lelaki yang mabuk, dilempar ke jalanan, menyusul kaki tangan bekerja, menendang menggenjot serabutan silih berganti tanpa kenal kasihan, pemabuk itu dihajarnya hingga babak belur.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Saking bernafsu sambil menghajar memaki kalang kabut, "Kurang ajar, hari ini kau tertangkap bapakmu, bersembunyi di gudang arak menghabiskan beberapa guci, kami yang celaka menerima ganjaran majikan, hayo hajar saja sampai mampus."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di antara penonton ada yang berhati bajik, segera membujuk, "Sudahlah, jangan dipukul lagi coba lihat dia sudah semaput, kasihan kan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kasihan apa?" damprat pelayan itu, "memangnya siapa kasihan kepada kami? Dua hari keparat ini bersembunyi di gudang arak, menghabiskan empat guci arak kelas satu, majikan menuduh kami yang mencuri, malah memotong gaji segala. Lebih celaka lagi guci yang kosong dia isi air, para tamu yang kami suguh arak mendamprat kami menyuguhkan arak palsu, hampir saja majikan memecat dan memutus hubungan kerja. Semua gara-gara keparat ini, kalau belum menghajarnya tidak terlampias rasa dongkol kami."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemabuk itu meringkuk di tanah dengan tangan memeluk kepala, biar ditendang, dipukul dan diapakan pun diam saja, mulut pun bungkam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di antara orang yang berkerumun mendadak seorang berseru keras, "Nah coba lihat, Siau-tayhiap telah datang, biar Siau-tayhiap bantu memberi keadilan, apakah dia masih pantas dihajar."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pelayan Hong-ping-lou mana ada yang tidak kenal Siau Cap-ji Long, dengan tertawa lebar segera maju menyambut, "Siau-tayhiap, syukur kau datang, mohon pertimbangkan dan memberi keadilan”.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-ji Long mengulap tangan, pelayan itu menghentikan perkataannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-ji Long berjongkok dengan kedua jarinya ia angkat dagu orang. Seketika bercahaya bola matanya, sekilas ia tertegun di tempatnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long!</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mengangkat kepalanya, dengan tertawa ia berkata, "Halo saudaraku, syukur kau datang, sungguh aku senang, lekas traktir aku minum."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-ji Long menyeringai dingin, "Siapa itu saudaramu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Margaku Siau, margamu juga Siau, aku bernama Cap-it Long, kau bernama Cap-ji Long, kalau bukan saudaraku, memangnya kau ini siapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tetap dingin sikap Siau Cap-ji Long, "Kau adalah kau, dan aku tetap aku, tak perlu menarik persaudaraan segala."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menegakkan muka, katanya dengan seri tawa lucu, "Baiklah anggap bukan saudara, jelek-jelek masih terhitung sahabat bukan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa bilang aku ini sahabatmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, ya, ya, bukan sahabat juga bukan soal. Mentraktirku minum dua cawan boleh kan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-ji Long menggeleng kepala, "Aku tidak biasa mentraktir teman minum arak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kalau begitu tolong pinjam dua keping duit, biar aku minum sendiri, boleh tidak?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali Siau Cap-ji Long menggeleng kepala, "Aku tidak pernah meminjamkan duit untuk setan arak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Pinjam 10 ketip saja, tolonglah, besok kukembalikan ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Satu peser pun takkan kupinjamkan," kata Siau Cap-ji Long, "kedatanganku hanya ingin memberi sebuah benda lain."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"O? Ya?" menyala bola mata Siau Cap-it Long, "benda apakah itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Coba lihat sendiri."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu buntalan kain itu dibuka, golok jagal rusa yang menggetar dunia persilalan itu kembali berada di tangan Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Golok pusaka tidak berubah, gemerdep cahayanya tak berkurang, halus bagai permukaan air yang disorot sinar rembulan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengangkat tinggi golok pusakanya di atas kepala, Siau Cap-it Long bergelak tawa, bola matanya yang mabuk berputar memandang sekelilingnya, "Nah, kalian lihat bukan? Inilah Kek-lok-to yang paling berharga di dunia, golok pusaka yang nilainya sebanding sebuah kota, kalian pernah mendengar bukan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa tidak pernah mendengar kebesaran nama Kek-lok-to, dengan sorot kaget dan heran mereka mengawasi Siau Cap-ji Long, kenapa golok pusaka semahal itu diserahkan kepada seorang pemabukan. Siau Cap-it Long mengangsurkan golok di tangannya kepada kedua pelayan itu, "Coba kalian periksa, berapa harga golokku ini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan gelisah kedua pelayan itu mengawasi Siau Cap-it Long, dengan memanggut mereka berkata, "Ya, ya, golok pusaka ini berharga."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan terbahak-bahak Siau Cap-it Long lemparkan golok itu ke tanah. Serunya, "Kalau begitu, tolong bantu aku menyerahkan kepada kasir, akan kujual untuk minum arak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kedua pelayan itu ragu-ragu tak berani mengulur tangan menerima.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tertawa lebar, "Nah ambillah, tahukah kau ular arak di perut Siau-tayhiap sudah merambat ke ujung mulut, tunggu apa lagi?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sampai di sini Siau Cap-ji Long harus bersikap, diam-diam ia memberi tanda kepada kedua pelayan itu, lalu beranjak pergi keluar dari kerumunan orang banyak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa akan percaya seorang pendekar besar seperti Siau Cap-it Long bisa berubah menjadi seperti itu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dahulu Siau Cap-it Long juga pernah melempar goloknya itu tanpa ragu, waktu itu karena ia ingin menolong jiwa Hong Si-nio.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang tanpa ragu ia pun melempar goloknya ke tanah, siap diganti beberapa keping uang hanya untuk minum arak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long yang nama besarnya menggetar kolong langit, kali ini betul-betul runtuh total.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >* * * * *</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hujan lebat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Habis hujan terbitlah terang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long berusaha merangkak bangun di tengah pecomberan, sepertinya dia sudah kehabisan tenaga, kehabisan keberanian untuk berdiri tegak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia sudah berdiri lalu terperosok jatuh lagi, jatuh di bawah kaki seorang muda.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seorang muda yang seusia Siau Cap-ji Long, bersikap gagah, bangga dan angkuh.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Seorang pemuda yang dahulu sama dirinya waktu ia berusia semuda ini, berhadapan dengan pemuda ini, ia seperti melihat potret dirinya di waktu muda, sayang bayangan itu lambat laun sirna tak berbekas lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemuda itu tengah menatapnya, rona mukanya membayangkan mimik yang aneh, tangan kanan menjinjing seguci arak, tangan kiri menggenggam golok.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kek-lok-to.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menundukkan kepala, ia tidak berani berhadapan dengan pemuda ini, tidak berani berhadapan dengan golok pusakanya sendiri. Sepertinya ia kehilangan keberanian untuk menghadapi kenyataan, malah tidak berani berhadapan dengan masa yang telah lalu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka ia berusaha meloloskan diri sendiri supaya mabuk. Sekarang dalam kondisinya, arak di tangan pemuda ini, nilainya jauh lebih tinggi dibanding golok pusakanya itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak pemuda itu berkata, "Kau ingin minum?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lekas sekali Siau Cap-it Long mengangguk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sayang ini bukan arakmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangan Siau Cap-it Long saling genggam, dengan punggung tangannya ia menggosok bibir mulutnya yang mengering, berusaha berdiri tapi selalu gagal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemuda itu menatapnya dingin, mendadak mengangkat golok di tangannya, "Kau ingin golokmu ini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long melengos.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sayang golok ini sudah bukan milikmu lagi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak tahan Siau Cap-it Long bertanya, "Sekarang golok ini milikmu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pemuda itu menyeringai, "Dengan golok ini kemarin kau memperoleh arak, dengan senyum manisku hari ini aku memperoleh golokmu ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Senyum manis?" tanya Siau Cap-it Long tidak mengerti. Lebar senyum pemuda itu, senyum yang penuh ejek, senyum yang susah dilukis artinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tahukah kau, ada orang tertawa, kadang lebih menakutkan dibanding saat tidak tertawa." Siau Cap-it Long jelas tahu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Nah, ketahuilah, aku ini adalah Siau-bin Cap-jit Long."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Cap-jit Long?" Siau Cap-it Long mengulang nama orang dengan tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cap-jit Long manggut-manggut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Margamu bukan Siau?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cap-jit Long tidak menjawab, matanya menatap mata Siau Cap-it Long. Cukup lama baru berkata, "Apa betul kau ini Siau Cap-it Long?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tidak mampu menyangkal. Cap-jit Long berkata pula. "Benarkah kau ini Siau Cap-it Long yang malang melintang di bumi? Memberantas komplotan Siau-yau-hou, bentrok dengan Thian-kongcu itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali Siau Cap-it Long tak mampu membantah. Dengan tertawa Cap-jit Long berkata, "Kabarnya ilmu golokmu tiada tandingan di kolong langit, sudikah memberi kesempatan kepadaku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kesempataan? Kesempatan bagaimana?" tanya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau punya tangan, golok ada di sini, cukup memberi kesempatan padaku untuk menjajal ilmu golokmu, bukan hanya arak seguci ini menjadi milikmu, seluruh persediaan arak di Hong-ping-lou berapa banyak kau mampu minum, silakan habiskan seluruhnya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jari-jari Siau Cap-it Long kembali saling genggam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cap-jit Long tertawa lebar, "Pertaruhan ini cukup adil, aku yakin kau tidak akan menolaknya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Siau Cap-it Long berkata lantang, "Tidak."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tidak? Kenapa tidak?" tanya Cap-jit Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku tidak mau main golok," tegas jawaban Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa tidak? Tanganmu tetap tanganmu, golok ini juga tetap adalah golokmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long meronta menegakkan dada, serunya, "Golokku tidak untuk tontonan."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, golokmu untuk membunuh orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >“Betul."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cap-jit Long terloroh-loroh, sepanjang hidupnya seperti belum pernah terloroh sekeras hari ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Membunuh orang bukan hal yang menggelikan," kata Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau bisa membunuh orang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menggeram rendah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau masih mampu membunuh orang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menunduk mengawasi tangannya. Tiada darah di tangan, hanya kotor oleh lumpur.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau punya tangan, di sini masih ada golok, bila kau mampu menggunakan tangan mencabut golok ini untuk membunuhku, seguci arak ini bakal jadi milikmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku takkan membunuh orang hanya karena seguci arak," teriak Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Lalu demi apa kau berani membunuh orang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kaki Cap-jit Long mendadak melayang menendang pencomberan di depannya, menendang muka Siau Cap-it Long, lalu ia bersihkan alas sepatunya dengan muka Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekujur badan Siau Cap-it Long mengejang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cap-jit Long berkata, "Mungkin tidak karena perbuatanku tadi kau membunuh orang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Siau Gap-it Long mengangkat kepalanya, dengan bola matanya yang merah darah menatapnya lekat-lekat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tidak berani bukan?" jengek Cap-jit Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perlahan Siau Cap-it Long mengulur tangan hendak mencabut golok, golok berada di depan mata, tapi jari tangannya seperti takkan bisa menyentuh golok itu selamanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jari-jari tangannya gemetar. Makin lama makin keras seperti ada gempa hingga daun-daun pohon berguguran.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cap-jit Long tertawa, tertawa lebar, "Aku tahu bukan kau tidak berani membunuh orang, tapi sekarang kau sudah tidak mampu membunuh orang." Di tengah gelak tawanya ia menyambung, "Golok ini tetap adalah golok pusaka, tapi Siau Cap-it Long sudah bukan Siau Cap-it Long yang dahulu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dari loteng restoran mendadak berkumandang pertanyaan seorang, "Memangnya kenapa Siau Cap-it Long yang sekarang?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan gagang golok Cap-jit Long memecah segel di mulut guci, arak dalam guci seluruhnya ia siram ke muka, kepala dan badan Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa pun takkan kuat menahan penghinaan macam ini, biar jiwa melayang juga takkan terima dihina seperti ini. Siapa pun dia menghadapi peristiwa seperti ini, dengan nekad akan membusung dada, mengayun tangan mencabut golok mengadu jiwa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long justru melakukan perbuatan yang tidak pernah disangka oleh siapa pun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiba-tiba ia membuka mulut. Mulutnya terbuka bukan hendak berteriak, bukan ingin melampiaskan angkara dalam hati. Tapi ia membuka mulut untuk menyambut arak yang meleleh di pipi, di mukanya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Orang-orang yang menonton sudah tak tahan, mulai bersorak sorai, ada yang bertepuk tangan malah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cap-jit Long tertawa riang, "Hai, coba kalian lihat, macam apa sekarang dirinya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Belum hilang suaranya, mendadak sebuah tangan terulur tiba menyanggah dagunya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka tubuh Cap-jit Long seperti orang kecil naik awan terbang melayang jauh ke sana. Sementara golok di tangannya berpindah di tangan orang ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tangan siapakah itu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sehebat setangkas itukah tangan itu?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa lagi kalau bukan Lian Shia-pik yang Hiap-gi-bu-siang itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >XXXII. JELAS DUDUK PERSOALANNYA</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu Siau Cap-it Long mengangkat kepala, ia melihat Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Wajahnya tidak dihiasi cemooh, tiada belas kasihan, namun terbayang rasa lembut, pengertian yang luhur dan simpatik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan sebelah tangan ia memapah Siau Cap-it Long, katanya lantang, "Hayo, kita pergi minum."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bagaimana rasanya arak?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang mungkin Siau Cap-it Long sudah tidak bisa membedakan bagaimana rasa arak, karena minum teramat cepat, minum terlalu banyak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik membiarkan orang minum, ia hanya mengawasi saja, akhirnya ia pun berkata, "Kekuatanmu minum kelihatannya bertambah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mengangkat cawan besar, satu tenggak ditelan habis.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Berapa banyak kau bisa minum arak sehari?" tanya Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Makin banyak makin baik."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tiga guci besar?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kurang lebih bolehlah."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebelum ini kita bukan tcrhitung teman, tapi persoalan yang sudah lampau tak perlu dibicarakan lagi, sekarang ...." ia menarik napas panjang, "sekarang pantasnya aku menemanimu barang dua tiga hari saja, ada urusan yang harus segera kuselesaikan, hari ini aku hanya bisa meninggalkan 100 guci arak untukmu, cukup untuk satu bulan, satu bulan lagi, aku akan datang kembali."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mengangkat pula cawannya, lalu arak ditenggaknya habis, mendadak air mata meleleh di pipi jatuh di cawannya yang kosong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa pernah melihat Siau Cap-it Long menangis? Tidak pernah ada.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa mau percaya Siau Cap-it Long rela mengucurkan air mata hanya karena diloloh seratus guci arak? Yakin tak pernah ada.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sepanjang sejarah hidup Siau Cap-it Long hanya mengucurkan darah, kapan pernah mengucurkan air mata? Tapi sekarang, air matanya benar-benar bercucuran.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengawasi air mata meleleh di muka orang yang kotor, Lian Shia-pik menghela napas panjang, "Kau ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Siau Cap-it Long menyeletuk, "Dahulu mungkin kita bukan sahabat, tapi sekarang kita sudah menjadi teman."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik mengawasinya cukup lama kemudian baru bertanya, "Apa betul sekarang kita sudah menjadi teman?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long memanggut. "Kau menangis, apakah merasa haru terhadapku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long diam tidak memberi jawaban, juga tidak menyangkal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Lian Shia-pik tertawa, mimik tawanya tampak aneh. Sambil tertawa ia mengangsurkan golok pusaka di tangannya ke hadapan Siau Cap-it Long, "Inilah golokmu, sekarang tetap milikmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menunduk, mengawasi sarung goloknya yang kuno lagi kusam, lama kemudian baru menggumam, "Golok ini tetap golok yang dahulu, tapi diriku? Aku berubah menjadi apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik menatapnya lekat, lama juga berdiam baru bertanya, "Tahukah kau kenapa berubah menjadi begini?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long manggut-manggut, lalu geleng-geleng kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau tidak tahu, pasti tidak tahu. Sebab ...." desis suara Lian Shia-pik terputus.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab apa?" tanya Siau Cap-it Long</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab yang betul-betul tahu rahasia ini, di kolong langit ini hanya satu orang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa dia kau selamanya takkan pernah menduganya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Siapa dia?" Siau Cap-it Long mengulang pertanyaannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku," sahut Lian Shia-pik, sampai di sini mendadak sikapnya berubah, sorot matanya setajam pisau, sementara jari jemarinya hanya lima senti dari tubuh Siau Cap-it Long. Dia siap menunggu segala reaksi. Siapa tahu sama sekali Siau Cap-it Long tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Tiada reaksi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik berkata lebih jauh, "Keadaanmu berubah jadi begini, semua gara-gara perbuatanku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mengawasi orang, sorot mata tajam Lian shi-pik makin memicing, suaranya lebih pelan, "Tahukah kau siapa sebenarnya ketua Thian Cong?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sorot mata Siau Cap-it Long kosong, gerak-geriknya mirip orang pikun, "Kau ...."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Betul, inilah aku," kata Lian Shia-pik, "seluruh rencana ini adalah buah karyaku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bahwasanya pengakuan ini ibarat sebatang jarum runcing yang dapat menghunjam hulu hati orang, namun betapapun besar batang jarum yang menusuk perasaan Siau Cap-it Long, orangnya tetap mematung linglung, tanpa memberi reaksi sedikitpun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di dunia ini hakikatnya sudah tiada persoalan apapun yang dapat membuatnya sedih, entah karena dia sudah kehilangan perasaan, tidak punya perasaan seperti manusia umumnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik bertutur, "Waktu kalian berduel hari itu, aku juga berada di Sat-jin-gay. Waktu Siau-yau-hou terjungkal ke dalam jurang, aku melihatnya sendiri. Setelah kau pergi membawa Pin-pin, aku berusaha turun ke jurang menilik keadaannya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Melihatnya?" desis Siau Cap-it Long, "untuk apa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab aku tahu orang seperti dia takkan semudah itu mampus hanya karena jatuh ke dalam jurang. Kalau di dunia ini betul ada manusia yang punya jiwa rangkap, orang itu adalah dia."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Waktu kau turun ke bawah, apa betul dia belum mati?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Belum."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau ingin menolongnya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik tertawa, "Yang ingin kutolong bukan orang macam dia, tapi aku butuh rahasianya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Rahasia?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tiap orang punya rahasia, rahasia orang macam dia, bagi orang lain, bukan lagi dianggap harta terpendam."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Rahasianya, berarti adalah rahasia Thian Cong?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Betul."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Dia memberitahu rahasianya kepadamu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Betul."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenyataan dia belum mati, mana mungkin memberitahu rahasianya kepadamu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Karena tidak bisa tidak dia harus memberitahu kepadaku."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik menghela napas, "Karena dia sudah berubah, berubah lamban lagi tak perasa. Tapi kau tidak pantas bertanya soal ini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long masih belum paham.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab kau bisa memperkirakan sendiri, kalau tidak dia bocorkan rahasia itu, kematian adalah bagiannya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Setelah dia membocorkan rahasianya?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali Lian shia-pik menghela napas, "Hal ini juga tidak pantas kau tanyakan, setelah mengajukan pertanyanmu ini, kematianmu akan lebih cepat."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tertawa, menyengir tawanya persis seperti orang linglung, orang pikun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Setelah aku menguasai rahasia Thian Cong, segera aku adakan pembenahan organisasi Thian Cong, sayang banyak orang-orang Thian Cong yang tidak mau menerima perintahku, maka dengan mengatur tipu daya, supaya mereka bermunculan di antara engkau dan Pin-pin, aku tahu Pin-pin pasti mengatur muslihat supaya engkau membunuh mereka semua." Dengan tertawa cerah ia menyambung, "Itulah yang dinamakan pinjam golok membunuh orang, sekali panah dua burung terbunuh."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long tetap diam mendengarkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebetulnya banyak kesempatan aku bisa membunuhmu, hal ini tentu kau sendiri juga tahu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long mengakui.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Tahukah kau kenapa selama ini aku belum juga turun tangan?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menggeleng kepala.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab," Lian Shia-pik menekan suaranya lebih tajam, "akan kubuat kau mati lebih menderita, aku akan membereskanmu secara tuntas. Akan kubuat orang banyak putus asa dan kecewa terhadapmu, akan kubuat orang banyak berpendapat kau ini tidak lebih hanyalah binatang yang tidak bisa ditolong, tak bisa dinasehati lagi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sampai di sini ia bicara, roman mukanya yang pucat-pias itu terlihat berkerut-merut saking dibakar emosi, sorot matanya pun menampilkan bayangan marah, penasaran dan tersiksa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab ia merindukan Sim Bik-kun. Ia akan berusaha merebutnya kembali, bukankah hanya jiwa dan raga Sim bik-kun, tapi juga akan merebut simpati dan cintanya kembali.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Maka ia harus berusaha supaya Sim bik-kun kecewa dan putus asa melihat penampilan Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Demi mencapai semua maksud dan tujuannya itu, ia rela mengorbankan apa saja, dengan imbalan apa saja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia mencintai Sim Bik-kun, cinta yang amat dalam, maka bencinya terhadap Siau Cap-it Long juga benci amat dalam.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hanya benci karena cinta yang tidak terbalas, terhitung dendam yang paling mengerikan, paling menakutkan. Siau Cap-it Long mulai menenggak arak lagi. Arak sebanyak itu adalah jamak kalau membuatnya beku, beku perasaan, beku pikiran, pokoknya lahir batinnya beku. Menilai kondisinya sekarang, terutama sorot matanya masih membayangkan rasa derita yang luar biasa. Di balik rasa takutnya itu terbayang juga akan rasa ketakutan. Bukan takut terhadap Lian Shia-pik, ngeri menghadapi tipu daya Lian Shia-pik, tapi ngeri karena dendam kesumatnya itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik berkata lebih jauh, "Dengan segala upaya, aku buat kau terkenal. tersohor, kaya raya, punya kedudukan, pamormu tinggi, semua mencapai puncaknya, lalu kubiarkan kau jatuh, dengan memperalat kehebatanmu, aku berantas para pengkhianat itu. Dua hal karya baikmu itu, tentu baru sekarang kau sadari."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Aku ...." Siau Cap-it Long menggumam dalam mulut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebenarnya aku masih mengatur kau pergi ke Pat-sian-cun untuk membunuh para pengkhianat itu, hanya rencana ini tidak tercapai dengan tuntas," sampai di sini ia tertawa sejenak baru melanjutkan, "tapi pada waktu itu, tiada seorang pun di dunia ini yang bisa merintangi, membatalkan rencanaku, umpama kau sendiri tidak ke sana, aku sendiri bisa turun tangan membunuh mereka."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maka sengaja kau membuatku salah terka, sebab kau merasa turun tangan sendiri lebih gampang."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebetulnya aku memang lebih senang turun tangan sendiri, segala urusan apapun aku senang mengerjakan sendiri."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Lalu kau sendiri menyamar jadi si buta itu?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Akan kubuat kau salah terka, menyangka si buta itu sebetulnya adalah Siau-yau-hou, menganggap dia belum mampus."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kenapa?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab segala tanggung jawab peristiwa ini aku bebankan kepada Pin-pin."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menundukkan kepala, mulutnya menggumam, "Pin-pin ... Pin-pin ... oh, gadis yang harus dikasihani”.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Setelah segala rencana besar itu sukses, Pin-pin dan Siau-you-hau akan betul-betul mati, maka di dunia ini takkan ada orang lain tahu rahasiaku, jelas takkan ada curiga bahwa akulah ketua Thian Cong. Maka seperti dahulu aku ini ibarat batu jade yang utuh, akulah Lian Shia-pik adalah ksatria yang tiada bandingannya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long sudah mabuk, kondisinya yang lemah sudah pantas roboh, tapi masih ada satu pertanyaan, hal ini harus ia tanyakan. Dengan mengerahkan setaker sisa tenaganya, ia berusaha bertahan, suaranya lantang, "Kenapa kau beberkan semua rahasia itu kepadaku?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Sebab akan kubuat kau menderita, akan kubuat kau sendiri merasa dirimu adalah bocah linglung yang tak bisa diobati lagi."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kembali wajahnya menampilkan rasa bangga, lembut dan senyum lebar. Waktu berdiri ia pegang pundak Siau Cap-it Long, "Sekarang saatnya aku pergi. Seratus guci arak itu tetap kutinggalkan untukmu. Tapi satu hal kau harus ingat, mungkin setelah kau habiskan seratus guci arak itu, apakah kau masih bisa bertahan hidup?"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa menunggu jawaban Siau Cap-it Long, ia melangkah keluar pintu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu ia tiba di ambang pintu, Siau Cap-it Long roboh terlentang di lantai.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan langkah ringan Lian Shia-pik menyusuri taman kembang, perasaannya riang seperti mau terbang saja. Selama hidup rasanya belum pernah punya perasaan segembira kali ini, bukan hanya lantaran jerih payahnya selama ini terkabul, lebih penting adalah tanpa mengeluarkan tenaga, tak usah menggunakan kekerasan, entah main pedang atau ayun golok, tapi dengan nyata ia berhasil merobohkan Siau Cap-it Long yang terkenal di jagat raya ini. Roboh mengenaskan, kalah total.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Paling tidak ia sudah membuktikan satu hal, memiliki ilmu silat yang digdaya bukan berarti jago kosen, orang kuat. Tapi pengetahuan luas, rencana yang cermat dan muslihat yang lihai baru terhitung modal utama setiap insan persilatan yang punya ambisi menguasai dunia.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tidak salah bukan?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Betapa gagah perkasanya Siau Cap-it Long, kenyataan sekarang menjadi si lemah yang nasibnya lebih mengenaskan dibanding seekor anjing. Anjing liar, anjing buduk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik ingin tertawa, tawa lebar, buah kemenangannya memang tidak mudah diperolehnya, betapapun sulit dan rumit persoalannya, yang penting sekarang ia sukses.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dari awal diam-diam ia membuat rencana ini, diam-diam merasakan siksa derita yang susah dicerna secara lahiriah, termasuk hilang bini, harta benda ludes. Kini semua itu tak lama lagi akan kembali ke tangannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sudah tentu kecuali Sim Bik-kun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ia percaya Sim Bik-kun sudah mati waktu terjun ke danau, kalau tidak ia yakin sang bini yang cantik itu akan kembali lagi dalam pelukannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kematian Sim Bik-kun sebagai tumbal, tapi ia berhasil meruntuhkan Siau Cap-it Long, kalau diperhitungkan antara 'beroleh' dan 'hilang', rasanya masih setimpal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sampai di ujung langit sekalipun rumput akan tetap tumbuh subur.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Masih banyak wanita secantik Sim Bik-kun di dunia ini, tapi tiada orang kedua seperti Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >* * * * *</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ruang besar itu terang benderang, namun suasana telah sunyi senyap.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pedang yang terbuat dari emas itu masih berada di meja, memancarkan cahaya kemilau. Bola mata Lian Shia-pik saat itu juga sedang memancarkan cahaya terang yang aneh.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sejak kini, Bu-kau-san-ceng bakal menjadi lambang “Jin Gi" dalam sanubari khalayak ramai. Lian Shia-pik, tiga nama besar itu akan menjadi harum dan terkenal sepanjang abad, dipuja sebagai pendekar di antara pendekar, orang gagah di antara orang gagah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiada orang tahu bahwa Lian Shia-pik adalah generasi kedua ketua Thian Cong, rahasia ini akan tetap menjadi rahasia seiring dengan tamatnya riwayat Siau Cap-it Long, ia mampu membongkar rahasia ini, Bu-kau-san-ceng akan tetap disanjung, dipuja sebagai perkampungan suci bersih umpama batu jade yang disakralkan sebagai batu mulia tanpa cacad, berabad-abad, beribu-ribu tahun tetap menjadi lambang kebesaran yang tak pernah pudar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik tertawa senang, tertawa puas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam sekejap ini, ia betul-betul merasakan sebagai pemenang, jerih payah selama beberapa tahun, bersabar dan tekuk lutut menahan hina, hari ini akhirnya memperoleh tebusan yang amat tak bernilai.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak ia punya perasaan senang dan lega karena beban selama ini menindihnya terlalu berat. Secara reflek ia mengulur tangannya mengelus pedang emas itu. Batang pedang dingin, hatinya justru panas membara, jari-jemarinya yang hangat mengelus batang pedang nan dingin, terasa nyaman dan segar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Saat ini ia betul-betul bergairah, dia memang memerlukan hawa segar, hati yang nyaman untuk meredam gejolak perasaannya, hati yang tenang dan tenteram.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak ia tertegun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di atas pedang emas itu semula diukir empat huruf "Hiap Gi Bu Siang"</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Empat huruf itu tidak berubah, tetap keempat huruf itu, cuma urutan keempat huruf itu yang berubah terbalik, menjadi "Hiap Gi Siang Bu'.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di bawah keempat huruf itu semula diukir juga beberapa nama sponsor pembuat pedang emas itu. Kini nama mereka sudah berubah menjadi "PERSEMBAHAN RAMPOK BESAR SIAU CAP-IT LONG".</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pedang tetap pedang emas semula, kecuali perubahan huruf-huruf yang diukir di batang pedang, tiada keanehan yang lain. Itu menandakan bahwa huruf-huruf semula yang terukir di batang pedang dihapus orang dengan kekuatan 'Tay-lik-kim-kong-jiu' atau ilmu sejenisnya, lalu diukir kembali dengan huruf-huruf baru yang terbaca sekarang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kecuali Siau Cap-it Long, siapa mampu melakukannya?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kecuali Siau Cap-it Long, siapa memiliki Lwekang setinggi ini?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi bukankah Siau Cap-it Long sudah ambruk, sudah runtuh total? Apakah semua itu hanya merupakan perangkap?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak Lian Shia-pik merasa hatinya mencelos, perasaannya mengendap turun mirip tenggelam ke dasar jurang, orangnya seperti batu yang dijemur di terik matahari, mendadak jatuh ke dasar jurang yang bersalju.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Perasaan dingin yang entah datang darimana, sekonyong-konyong seperti mengurung dirinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bukan hanya hatinya dingin, badannya juga mulai menggigil. Pedang lepas dari tangannya jatuh di lantai dengan suaranya yang memekak telinga.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik menegakkan badan sambil menarik napas panjang, lalu dihamburkan dari mulut perlahan-lahan, mendadak berteriak, "Mana orangnya."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Yang dipanggil segera muncul.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rona muka Lian Shia-pik sudah wajar kembali, sepatah demi sepatah berkata, "Sulut dupa, siapkan kuah teratai, siapkan perjamuan besar, hiburan tambur dan musik."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lalu Lian Shia-pik berendam dalam air bak yang mengepul hangat, namun ia masih merasakan sekujur badannya kedinginan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Selama ini dia belum pernah dijatuhkan orang, memangnya dia lelaki kuat yang tidak mudah dijatuhkan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi sekarang dalam sanubarinya ia merasakan kejatuhan itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cita-cita hidupnya selama ini adalah menjatuhkan Siau Cap-it Long secara tuntas, remuk redam di tangannya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sekarang mendadak ia menyadari, yang berhasil ia hancurkan tidak bukan tidak lain adalah keinginannya sendiri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mendadak ia menyadari dirinya sungguh menggelikan. Ia ingin tertawa, tertawa bebas, tertawa lepas.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia benar-benar tertawa, sambil bergelak tawa ia berdiri, terus keluar dari ruang besar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Ruang sebelah juga terang benderang, alunan musik berkumandang merdu, belasan cewek yang semampai sedang menari gemulai, dengan langkah lebar ia beranjak ke tengah cewek-cewek yang sedang menari itu. Dia berusaha mengendorkan segalanya, entah hati, pikiran atau lahir batinnya. Sebab ia tahu detik-detik yang memutuskan kalah menang sudah di ambang mata.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kalau Siau Cap-it Long tidak roboh, berarti dirinya yang akan tumbang, hal ini jelas dan tak perlu diragukan lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Gong Ping Ciu Lou.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Di restoran ini juga terang benderang, musik mengalun merdu, para penari membawakan tari gembira. Sepertinya Siau Cap-it Long juga berusaha mengendorkan segala pikiran, lahir batin. Arak masih berada di atas meja. Dalam hati Siau Cap-it Long sudah merasakan keberadaan arak itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan nanar ia mengawasi Lian Shia-pik beranjak masuk, Lian Shia-pik juga sedang mengawasi dirinya, sorot mata mereka berdua tampak terang, bening namun dingin.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada detik-detik singkat ini, hati mereka sama-sama dirasuk perasaan aneh, seperti sedang mengawasi duplikat diri sendiri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dalam mata mereka, dalam sanubari yang paling dalam, di suatu tempat rahasia yang paling tersembunyi di relung hati mereka, bukankah antara mereka punya persamaan yang selama ini tak pernah diungkap? Kenapa mereka sama-sama mencintai satu wanita? Kenapa begitu mendalam cinta mereka?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tanpa bicara, tanpa bersuara. Begitulah mereka saling pandang, saling tatap.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Mungkin hingga sekarang Lian Shia-pik baru melihat jelas siapa sebenarnya Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long pasti dan bukan manusia yang bisa dihancurkan hanya dengan arak.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Arak hanya sebuah alat. Tiba-tiba Lian Shia-pik mengangkat cawan, terus ditenggak habis, "Arak bagus."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Ya, arak bagus."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Arak, arak banyak menyelesaikan urusanmu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long manggut-manggut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Maka kau tahu aku pasti datang ke sini."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long hanya mengiakan saja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Kau dan aku sama-sama tahu, hari ini akan tiba juga."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long memanggut.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long juga tertawa.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Silakan," seru Lian Shia-pik.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >"Silakan," seru Siau Cap-it Long dengan senyum lebar, mereka sama-sama beranjak keluar.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya senja tampak begitu indah mempesona, hembusan angin sudah terasa dingin. Sedingin senyum mereka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Daun rontok berhamburan. Daun yang berhamburan itu beterbangan di jalan raya panjang itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Jalan raya sunyi sepi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sinar senja menerangi lembah, daun-daun pohon mulai menguning di musim rontok, disorot cahaya mentari tampak membentang merah bagai tabir api.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sorot mata Lian Shia-pik seperti api membara mengawasi Siau Cap-it Long. Mengawasi golok pusaka yang terkenal di dunia itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada zaman ini, di kolong langit, yakin tiada golok lain yang lebih tajam dibanding golok jagal rusa. Di dunia ini, pasti tiada tangan yang dapat memainkan ilmu golok seperti yang dimainkan Siau Cap-it Long, begitu menakutkan, begitu mengerikan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Setiap insan persilatan pasti tahu akan hal ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik jelas juga tahu akan hal ini.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dan sekarang, golok yang tajam luar biasa itu tengah tergenggam di tangan Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siapa pun dia, berhadapan dengan lawan seperti ini, tak ingkar lagi pasti timbul rasa lakut, rasa ngeri dalam hatinya, tapi tidak dengan Lian Shia-pik. Sebab sanubarinya dilembari keyakinan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sejak beberapa tahun lalu ia sudah punya keyakinan itu, ia percaya tiada tokoh mana pun di dunia ini yang mampu mengalahkan dirinya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long adalah manusia biasa, dia pun tidak terkecuali. Maka ia amat tenang, hatinya mantap.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dengan menatap tajam Siau Cap-it Long, maksudnya hanya ingin menambah tekanan bagi hati Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia menatap Siau Cap-it Long hanya ingin menikmati mimik Siau Cap-it Long menjelang ajal.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Serpihan cahaya akhir dari mentari senja tepat menyinari batang golok jagal rusa, sinarnya membias di wajah dan mata Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Terasa oleh Lian Shia-pik dari sorot mata Siau Cap-it Long muncul cahaya yang aneh, cahaya cemerlang yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata, cemerlang yang tiada duanya di dunia.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Pada detik sekilas itulah, keyakinan Lian Shia-pik mendadak meleleh, mendadak sirna seperti sisa salju di musimn semi yang ditimpa terik mentari. Mendadak hatinya dirasuk rasa takut yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata, rasa takut yang belum pernah ada sepanjang hidupnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Betapa hebat, betapa kuat rasa ketakutan, seberat sambaran sinar golok tajam itu. Dan pada detik-detik yang menentukan itulah, Siau Cap-it Long melakukan perbuatan yang tidak pernah disangka oleh siapa pun, mimpi pun tak pernah terbayangkan oleh siapa pun.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long menurunkan goloknya. Meletakkan Kek-lok-to. Meletakkan Kek-lok-to yang luar biasa, golok pusaka yang digdaya, golok sakti yang tiada duanya di dunia. Meletakkan di depan kaki Lian Shia-pik. Di tempat dengan mudah sekali raih Lian shia-pik bisa menjamahnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kejap lain, cahaya senja telah lenyap, kemilau golok itupun telah sirna, mendadak Siau Cap-it Long juga menghilang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab dalam pandangan Lian Shia-pik sudah tiada Siau Cap-it Long, sudah tiada rasa takut. Tapi juga jelas sudah tiada keyakinan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Keyakinan jelas merupakan unsur terpenting untuk menundukkan lawan meraih kemenangan, tapi bagi seorang pemenang, keyakinan itu sudah tidak bermanfaat lagi, sudah tidak penting lagi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sebab ia sudah memperoleh kemenangan. Apakah rasa kemenangan itu? Nikmat, puas, terangsang, riang gembira atau mungkin kosong.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Sejenis rasa kosong yang hanya diresapi oleh seorang yang pernah meraih kemenangan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rasa kosong yang dirasakan Lian Shia-pik datang sekilas saja, sekejap goloknya memapas, sekilas sinar menyambar. Rasa kosong yang jauh lebih mengerikan dibanding rasa takut itu sendiri.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia melihat Kek-lok-to.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hanya melihat Kek-lok-to yang ditaruh di tanah depan kakinya, Kek-lok-to yang dapat ia ambil hanya dengan sedikit membungkuk badan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia tidak melihat Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tak pernah terpikir dalam benaknya, yang benar-benar menakutkan, mengerikan bukanlah golok ini. Yang benar menakutkan adalah Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Siau Cap-it Long yang aneh, yang tak bisa dilukiskan, Siau Cap-it Long yang tiada duanya di langit, bumi atau dimana saja.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Malam gelap pekat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lian Shia-pik hanya melihat kegelapan. Sepanjang hidupnya, hanya saat itulah yang ia rasakan paling gelap.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Lalu ia mendengar suatu suara yang aneh. Suara yang aneh, suara yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, suara yang hanya bisa ia rasakan dan ingin tumpahkan setelah mendengarnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Dia mendengar tulang kepala sendiri yang terpukul remuk.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >* * * * *</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Rembulan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Bintang bertaburan.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya rembulan dan sinar bintang membias di muka Lian Shia-pik nan pucat pias, roman mukanya lebih pucat dibanding putih mata Siau Cap-it Long.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tiada orang bisa melukiskan mata Siau Cap-it Long, jelas takkan ada orang bisa menggambarkan bagaimana bola mata Siau Cap-it Long saat itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Cahaya rembulan berkerlap-kerlip, bintang masih menyinari golok pusaka yang menggeletak di tanah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kek-lok-to masih berada di sana, Siau Cap-it Long sudah pergi.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu Siau Cap-it Long pergi, tidak membawa nyawa Lian Shia-pik, hanya membawa harapan, bangga dan kemenangan, harapan yang menjadi cita-citanya selama hidup.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Waktu berlalu ia hanya berkata, "Kau tidak boleh mati, karena aku masih berhutang kepadamu."</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Kau tidak boleh mati. Aku pun pantang mati.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Hong Si-nio tak boleh ajal. Sim Bik-kun juga tak boleh gugur.</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >Tapi sejak zaman dahulu, sejak ribuan, laksaan tahun lalu, di dunia ini ribuan dan laksaan manusia, memangnya siapa yang tidak bisa mati?</span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" >T A M A T</span></div><div style="text-align: justify;"><br /></div>SOELISTIJONO.SPdhttp://www.blogger.com/profile/10780576548078462820noreply@blogger.com